Landasan Sosiologis Landasan Yuridis

69 perdata yang dibuat oleh bangsa sendiri dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia yang terus berkembang.

B. Landasan Sosiologis

Masyarakatpara pencari keadilan khususnya para pebisnis sudah lama menghendaki agar pengadilan mampu menyelesaikan sengketa yang cepat dan tidak formalistik. Hal ini sesuai UU No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa proses acara dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Tahun 1993 Mahkamah Agung mengeluarkan kebijakan berupa SEMA Nomor 6 Tahun 1993 jo Keputusan Ketua MA Nomor MA007SKIV1994 yang pada intinya, Pengadilan diharapkan dalam waktu maksimal 6 enam bulan setiap perkara perdata telah diputus. Kenyataannya, masyarakatpara pencari keadilan, sering mengeluhkan berbagai hal, terutama yang berkaitan dengan proses beracara di pengadilan khususnya proses beracara perdata yang cenderung lama dan berbelit-belit, sehingga sangat merugikan para pencari keadilan, baik ditinjau dari sisi waktu, biaya, pelayanan pihak pengadilan, maupun dari sisi putusan pengadilan itu sendiri. Berkaitan dengan putusan pengadilan, berdasarkan kenyataan objektif, bahwa putusan pengadilan tidak mampu memberi penyelesaian yang memuaskan kepada para pihak. Di samping itu Putusan pengadilan juga tidak mampu memberi kedamaian dan ketentraman kepada pihak-pihak yang berperkara, dan keadaan kalah menang dalam berperkara tidak membawa 70 kedamaian, tetapi menimbulkan bibit duka dan permusuhan serta kebencian. Putusan pengadilan sering tidak memberikan kepastian hukum, pada hal secara filosofis dan doktrin, dalam kehidupan Negara Hukum dan masyarakat demokrasi mesti diberi kepastian penegakkan hukum, karena hal itu merupakan jaminan atas penegakkan asas equal treatment perlakuan yang sama dan equal before the law sama kedudukan dan penerapan hukum yang dilakukan terhadap semua orang.

C. Landasan Yuridis

Hukum Acara Perdata yang sekarang berlaku berasal dari HIR S.1941-No. 44 yang masih berlaku sampai sekarang berkat pasal II Aturan Peralihan UUD NRI Th 1945. HIR memuat baik hukum acara perdata maupun hukum acara pidana yang berlaku bagi Pengadilan Negeri. Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Drt tahun 1951, bagian yang memuat hukum acara perdata hanya diberlakukan untuk daerah Jawa dan Madura, sedang Rechts Reglement Buitengweste RBg. S 1927 No. 277 yang pada garis besarnya adalah sama dengan HIR, untuk Bumiputra. D alam HIR diatur 2 hukum acara yaitu: Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana dan ini diatur sekaligus dalam HIR, tapi sejak berlakunya Undang-Undang No. 8 tahun 1981 yang memperlakukan Hukum Acara Pidana yang baru Nasional maka HIR yang di dalamnya menjadi Hukum Acara Pidana dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Di samping HIR dan RBg, ketentuan hukum beracara perdata juga dapat dijumpai di berbagai peraturan perundang- undangan Nasional, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku IV tentang Pembuktian dan Daluarsa. 71 Selain itu, juga ada beberapa Surat Edaran Mahkamah Agung SEMA yang dijadikan acuan dalam beracara antara lain: SEMA Nomor 2 Tahun 1962 tentang Cara Pelaksanaan Sita Atas barang-barang yang tidak bergerak. Perintah kepada semua juru sita untuk melakukan penyitaan ditempat dimana barang- barang itu terletak dengan mencocokkan batas-batasnya dan dengan disaksikan oleh Pamong desa. SEMA Nomor 9 Tahun 1964 tentang Putusan Verstek, yang dapat diberikan pada sidang ke-2 dan seterusnya. Terhadap putusan dapat diajukan banding, SEMA Nomor 04 Tahun 1975 tentang Sandera Gijzeling, SEMA Nomor 05 Tahun 1975 tentang sita jaminan dalam melaksanakan sita jaminan conservatoir beslag tidak mengabaikan syarat-syarat yang diberikan oleh Undang-Undang Pasal 227 HRI261RBg dan mengingat adanya perbedaan syarat dan sifat antara conservatoir beslaag dan revindicatoir beslaag, SEMA Nomor 09 Tahun 1976 tentang Gugatan terhadap Pengadilan dan Hakim, SEMA Nomor 6 Tahun 1992 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri, SEMA Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pengawasan dan Pengurusan Biaya-biaya Perkara, SEMA Nomor 5 Tahun 1994 tentang Biaya Administrasi, dan SEMA No. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Lembaga Perdamaian Di samping itu, beberapa Peraturan Mahkamah Agung PERMA juga merupakan salah satu aturan yang mengatur acara perdata di Indonesia, antara lain; PERMA Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan. Berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2000 tersebut, Mahkamah Agung menyatakan bahwa paksa badan adalah upaya paksa tidak langsung dengan memasukkan seorang debitur yang beritikad tidak baik dalam rumah tahanan negara yang ditetapkan oleh Pengadilan, 72 untuk memaksa yang bersangkutan memenuhi kewajibannya, PERMA Nomor 1 Tahun 2001 tentang Permohonan Kasasi Perkara Perdata Yang Tidak Memenuhi Persyaratan Formal. Menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2001 tersebut, Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang memutus perkara yang memohonkan kasasi, tidak meneruskan kepada Mahkamah Agung permohonan kasasi yang tidak memenuhi persayaratan formal. Persyaratan formal adalah persyaratan yang wajib dipenuhi oleh pemohon kasasi sebagaimana diatur dalam Pasal 46 dan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Gugatan Perwakilan Kelompok class action. Hal ini untuk kepentingan efsiensi dan efektifitas berperkara penyelesaian pelanggaran hukum yang merugikan serentak atau sekaligus dan massal terhadap banyak orang yang memiliki fakta, dasar hukum, dan tergugat yang sama, dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan perwakilan kelompok, PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Proses mediasi di Pengadilan. Semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator dan PERMA No.1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, dalam rangka untuk mempercepat penyelesaian suatu perkara di Pengadilan. Dengan melihat kenyataan sebagaimana dijelaskan di atas, dapat dikatakan bahwa hukum acara perdata yang berlaku saat ini pengaturannya tersebar dalam beberapa peraturan, hal ini tidak menguntungkan, baik bagi hakim dan 73 penegak hukum lainnya maupun bagi masyarakatpara pencari keadilan. Berdasarkan uraian tersebut dan untuk mewujudkan hukum beracara perdata murah, sederhana, efektif dan efisien ketentuan Hukum Acara Perdata yang didasarkan pada HIR dan RBg perlu dilakukan pembaharuan sesuai dengan kebutuhan hukum. 74

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP