Analisis kinerja usaha penggilingan padi, studi kasus pada tiga usaha penggilingan padi di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat

ANALISIS KINERJA USAHA PENGGILINGAN PADI
STUDI KASUS PADA TIGA USAHA PENGGILINGAN PADI
DI KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT

TURSINA ANDITA PUTRI

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Analisis
Kinerja Usaha Penggilingan Padi, Studi Kasus Pada Tiga Usaha
Penggilingan Padi di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat” adalah benar karya
saya dengan arahan dari pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk
apapun perguruan tinggi lain atau lembaga lain manapun. Sumber Informasi yang
berasl atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2013

Tursina Andita Putri
NRP. H34090003

ABSTRAK
TURSINA ANDITA PUTRI. Analisis Kinerja Usaha Penggilingan Padi, Studi
Kasus Pada Tiga Usaha Penggilingan Padi di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Dibimbing oleh NUNUNG KUSNADI.
Pemerintah mempertahankan harga gabah di tingkat tertinggi untuk
melindungi pendapatan petani sebagai produsen beras. Kondisi ini membuat
tingginya biaya produksi usaha penggilingan padi. Di sisi lain, intervensi
pemerintah dalam penentuan harga beras melalui pengaturan harga tertinggi untuk
melindungi kesejahteraan konsumen membuat harga beras sebagai output dari
usaha penggilingan padi rendah dan kemudian menurunkan pendapatan bisnis
penggilingan. Kebijakan pemerintah terhadap harga gabah dan beras dapat
mengurangi pendapatan usaha penggilingan padi. Multiple case study mencoba
memotret aktivitas dan manajemen usaha penggilingan padi guna

mengidentifikasi variabel kunci yang mempengaruhi kinerja usaha penggilingan
padi. Ada tiga usaha penggilingan padi yang dipilih menjadi kasus pada penelitian
ini, yaitu usaha maklon, non maklon, dan gabungan (maklon dan non maklon).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja usaha non maklon yang lebih baik
daripada usaha maklon dan kombinasi (maklon dan non maklon). Analisis
keuangan menunjukkan bahwa tiga jenis usaha penggilingan padi
menguntungkan. Maklon lebih efisien dari kedua usaha lainnya karena produk
usaha adalah jasa sehingga tidak terpengaruh oleh kebijakan harga. Jenis usaha,
harga input dan output, dan manajemen pengolahan hasil sampingan akan menjadi
variabel kunci yang menentukan kinerja bisnis. Variabel ini harus lebih dipelajari
dalam penelitian masa depan.
Kata Kunci: kinerja, multiple case study, usaha penggilingan padi

ABSTRACT
TURSINA ANDITA PUTRI. Rice Milling Business Performance Analysis, Case
Studies in Three Rice Milling Enterprises in Cianjur, West Java. Supervised by
NUNUNG KUSNADI.
Government maintains grain price at high level to protect farmers income as
rice producer. This condition create high production costs of rice milling. On the
other hand, government intervention in the rice pricing with the setting of a

ceiling price to protect the walfare of consumers makes rice price low as the
output of rice milling and then reduse revenue of milling business. This policy
implies less profit for rice milling business. This multiple case study attempts to
portrait activity and management milling business and to identify the key
variables that determine performance of rice milling businesses. In this study,
three types (maklon, non maklon, and combination of both) of rice milling
business were selected. The result showed that non maklon’s performance is better
than that of maklon and combination (maklon and non maklon). Financial analysis
revealed that the three types of rice milling business are profitable. Maklon is
more efficient than two other types because the main product is services so that it

is not affected by grain and rice price. Type of business, price of inputs and
outputs, and by-product management would be the key variable that determine the
business performance. These variables should be more studied in the future
research.
Key words : multiple case study, performance, rice miiling industry

ANALISIS KINERJA USAHA PENGGILINGAN PADI
STUDI KASUS PADA TIGA USAHA PENGGILINGAN PADI
DI KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT


TURSINA ANDITA PUTRI

Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi
Pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Proposal : Analisis Kinerja Usaha Penggilingan Padi, Studi Kasus Pada
Tiga Usaha Penggilingan Padi di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat
Nama
: Tursina Andita putri
NRP

: H34090003

Disetujui oleh

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkah dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Kinerja
Usaha Penggilingan Padi Studi Kasus Pada Tiga Usaha Penggilingan Padi di
Kabupaten Cianjur, Jawa Barat”. Shalawat dan salam senantiasa tercurah
kepada Nabi Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah dan pemimpin terbaik

bagi umat manusia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS
selaku pembimbing. Ibu Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si dan Ibu Dr. Ir. Netti
Tinaprillina, MM selaku dosen penguji atas saran dalam perbaikan skripsi ini.
Terima kasih juga disampaikan kepada Ibu Dra. Yusalina, MSi yang senantiasa
mengarahkan dan membantu penulis dalam menjalani masa-masa perkuliahan
sebagai wali akademik. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
keluarga Bapak Nanan, Bapak H. Asep, Bapak H. Apud, Bapak H. Miftah, dan
Bapak Jenit selaku pemilik dan pengelola usaha penggilingan serta Bapak Yayat
Duriat dan Bapak Nasep sudrajat beserta staf Balai Pengembangan Budidaya
Tanaman Pangan dan Hortikultura Kecamatan Gekbrong atas bantuan dan
arahannya selama penulis mengumpulkan data di lokasi penelitian. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada ayah, umak, serta seluruh keluarga, atas
segala doa, support, dan kasih sayangnya. Terima kasih dan tetap semangat untuk
teman-teman Agribisnis 46 dan penghuni setia Kost Griya Pink.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2013

Tursina Andita Putri


vi

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Pola Usaha Penggilingan Padi
Pengelolaan Usaha Penggilingan Padi
Struktur Biaya
Kinerja Usaha Penggilingan Padi
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangkat Pemikiran Teoritis

Konsep Kinerja Usaha
Konsep Manajemen Usaha
Konsep Pendapatan
Konsep Imbangan Penerimaan dan Biaya
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Metode Penelitian
Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis dan Pengolahan Data
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN USAHA
PENGGILINGAN PADI KASUS
Keadaan Wilayah, Topografi, dan Demografi Lokasi Penelitian
Keadaan Wilayah dan Topografi Kabupaten Cianjur
Keadaan Demografi penduduk
Gambaran Umum Usaha Penggilingan Padi di Cianjur
Gambaran Umum Usaha Penggilingan Padi Kasus
Alamat Usaha Penggilingan Padi Kasus
Sejarah Usaha
Tipe Usaha

Kapasitas Produksi
Bentuk dan Perizinan Usaha
Kepemilikan Aset Usaha
Modal Kerja
Karakteristik Pelaku Usaha Penggilingan Padi Kasus
ANALISIS KINERJA USAHA PENGGILINGAN PADI
Aktivitas Pengusahaan Penggilingan Padi
Aktivitas Pengadaan Gabah
Aktivitas Pengeringan Gabah

vi
viii
ix
x
1
1
7
10
11
11

11
12
13
14
15
17
17
18
19
23
26
27
30
30
30
30
31
33
33
33

35
36
38
38
39
43
45
45
48
64
66
67
67
68
72

vii

Aktivitas Pengolahan Gabah
Aktivitas Pengolahan Beras
Aktivitas Penjualan Beras
Pengelolaan Produk Sampingan Produksi
Pengelolaan Sekam
Pengelolaan Dedak
Pengelolaan Menir dan Broken Rice
Manajemen Pengusahaan Penggilingan Padi
Perencanaan (Planning)
Pengorganisasian (Organizing)
Pengarahan (Actuating)
Pengawasan (Controlling)
Analisis Pendapatan Pengusahaan Penggilingan
Penerimaan Usaha Penggilingan Padi
Pengeluaran Usaha Penggilingan Padi
Analisis Pendapatan dan Imbangan Penerimaan dan Biaya
Analisis Harga Pokok Penjualan Beras
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

76
81
82
86
86
88
89
90
90
94
96
98
99
99
101
103
104
107
107
108
108
111

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Persentase pengeluaran rata-rata per kapita sebulan
kelompok barang konsumsi di indonesia tahun 2012
Perkembangan jumlah produksi, konsumsi, dan
impor beras indonesia tahun 1971-2010
Jumlah usaha penggilingan padi di Indonesia
pada Tahun 2008 dan 2012
Potensi kerugian akibat kehilangan pascapanen
di Indonesia Tahun 2011
Jumlah ketersediaan dan kebutuhan konsumsi beras penduduk
di Kabupaten Cianjur Tahun 2008-2011
Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin
Luas wilayah dan jumlah penduduk menurut wilayah pengembangan
di Kabupaten Cianjur Tahnu 2011
Alamat masing-masing usaha penggilingan padi kasus
Sejarah masing-masing usaha penggilingan padi kasus
Tipe masing-masing usaha penggilingan padi kasus
Bentuk dan jenis perizinan pada usaha penggilingan padi kasus
Kepemilikan tanah dan banguan usaha penggilingan padi kasus
Jenis mesin giling yang dimiliki usaha penggilingan padi kasus
Peralatan pada masing-masing usaha penggilingan padi kasus
Jumlah tenaga kerja pada masing-masing
usaha penggilingan padi kasus

2
4
5
6
34
35
36
38
39
44
46
48
58
61
63

viii

16
17
18
19
20
21
22
23
24

Identitas pelaku usaha masing-masing usaha penggilingan padi kasus
Biaya transportasi unuk kendaraan operasional pada PB. Jembar Ati
Tipe kepemimpinan pada masing-masing manajer
usaha penggilingan padi kasus
Penerimaan masing-masing usaha penggilingan padi kasus
per ton beras yang dihasilkan Tahun 2012
Biaya yang dikeluarkan masing-masing usaha penggilingan padi
kasus per ton beras yang dihasilkan Tahun 2012
Analisis pendapatan dan imbangan penerimaan dan biaya
pengusahaan penggilingan padi per ton beras yang dihasilkan
Persentase masing-masing komponen penerimaan
usaha penggilingan padi kasus Tahun 2012
Harga pokok pejualan per ton beras yang dihasilkan
masing-masing penggilingan padi kasus
Perbandingan harga penjualan dan harga pokok penjualan
per kilogram beras pada masing-masing
usaha penggilingan padi kasus

66
85
97
100
102
103
105
106

106

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23

Perkembangan Produktivitas Padi Nasional Tahun 2007-2012
Rata-Rata Harga Gabah di Tingkat Penggilingan dan
Kurva biaya total dan biaya per unit jangka pendek
Kerangka Pemikiran Operasional Kinerja Usaha Penggilingan Padi
Di Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat
Peta Wilayah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat
Diagram Penyebaran Penduduk Berdasarkan Lapangan Usaha
di Kabupaten Cianjur
Contoh Surat Izin Usaha Penggilingan Padi Kasus
Lokasi Tempat Produksi Beras PB. Doa Sepuh
Lokasi Tempat Produksi Beras PB. Laksana Jaya
Lokasi Tempat Produksi Beras PB. Jembar Ati
Lokasi Tempat Pengolahan dan Packaging Beras PB. Jembar Ati
Lantai Jemur pada Masing-Masing Usaha Penggilingan Padi Kasus
Mesin Husker pada Penggilingan Padi
Mesin Polisher pada Penggilingan Padi
Rangkaian Mesin Husker dan Polisher pada Usaha Penggilingan Padi
Mesin Cleaner, Separator, dan Rice Grader
Alat Penggerak Mesin Penggilingan Pada
Usaha Penggilingan Padi Kasus
Ruangan-ruangan pada Oven PB. Jembar Ati
Jenis Timbangan Mekanik pada Usaha Penggilingan Padi Kasus
Peralatan Tambahan Aktivitas Usaha Penggilingan Padi Kasus
Tahap-Tahap Pengolahan Gabah Menjadi Beras pada
Usaha Penggilingan Padi kasus
Struktur Organisasi pada PB. Doa Sepuh
Struktur Organisasi pada PB. Laksana Jaya

3
8
26
29
33
36
47
49
50
52
52
53
54
55
55
56
58
60
61
62
77
95
96

ix

24

Struktur Organisasi pada PB. Jembar Ati

96

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Tabel luas panen, produktivitas, dan produksi tanaman padi
di Indonesia Tahun 2012
112
2.
Produksi padi sawah menurut kabupaten dan kota di Jawa Barat
Tahun 2007 - 2011
113
3.
Banyaknya usaha penggilingan padi menurut skala usaha
di masing-masing provinsi di Indonesia Tahun 2012
114
4.
Usaha penggilingan padi berdasarkan kecamatan
di Kabupaten Cianjur tahun 2010
115
5.
Biaya pada masng-masing usaha penggilingan padi kasus
per ton beras yang dihasilkan Tahun 2012
116

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tanaman pangan merupakan subsektor pertanian yang bersentuhan
langsung dengan kehidupan manusia tidak hanya secara sosial budaya, namun
juga ekonomi bahkan politik. Kebijakan yang menyangkut tanaman pangan akan
menimbulkan multiplier effect dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat. Hal
ini disebabkan karena sub-sektor tanaman pangan merupakan penyedia bahan
pangan bagi penduduk. Selain itu, sub-sektor ini juga memiliki peran penting
dalam perekonomian. Dapat diketahui bahwa pada tahun 2012 (angka sangat
sementara) sub-sektor tanaman pangan mampu menyumbang sekitar 15,65 persen
dari total Produk Domestik Bruto Non Migas dan telah menjadi mata pencaharian
bagi 39.328.915 jiwa penduduk Indonesia (BPS 2012).
Komoditas tanaman pangan terdiri dari dua bagian besar, yaitu padi-padian
(cereals) dan umbi-umbian (tubers). Tanaman pangan yang tergolong kategori
cereals adalah padi, jagung, sorgum, kedelai, kacang hijau, dan gandum.
Sedangkan tubers terdiri atas ubi kayu dan ubi jalar. Beras sebagai produk olahan
utama dari padi (Oryza sativa) merupakan komoditas pangan yang memiliki
karbohidrat yang tinggi jika dibandingkan dengan tanaman pangan lainnya. Hal
inilah yang kemudian mempengaruhi jumlah konsumsi masyarakat terhadap
beras.
Budaya mengkonsumsi produk olahan beras yang ditanamkan sejak revolusi
hijau juga berpengaruh positif pada permintaan beras. Penduduk Indonesia sejak
kecil telah dikenalkan kepada beras atau nasi sebagai bahan makanan utama
sehingga sebagian masyarakat menganggap bahwa makan diidentikkan dengan
mengonsumsi nasi yang berasal dari beras. Fenomena lain menunjukkan bahwa
ada beberapa wilayah di Indonesia bagian timur yang menggantungkan pangan
utamanya pada beras, contohnya Malra, Maluku Tenggara. Hampir seluruh
masyarakat di Malra mengkonsumsi nasi sebagai pangan pokoknya, namun di
wilayah ini hampir tidak pernah ditemui tanaman padi sehingga kebutuhan beras
selalu dipasok dari luar daerah, seperti Surabaya. Hal ini menunjukkan sebenarnya
pada zaman dahulu sudah ada komoditas lokal yang menjadi pangan utama
masyarakat. Pengalihan kebiasaan disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya
adalah pengaruh kebijakan orde baru dalam menyokong program swasembada
beras sehingga pada akhirnya masyarakat terbiasa untuk mengkonsumsi beras.
Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2012 Triwulan 1
diketahui bahwa pengeluaran penduduk Indonesia untuk konsumsi padi-padian
mencapai 17,90 persen dari total pengeluaran konsumsi makanan per kapita per
tahun. Fakta ini menjelaskan bahwa penduduk Indonesia masih bergantung pada
beras untuk pemenuhan pangan pokoknya. Hal ini sesuai dengan pendapat
Khuimaidi (1997) yang menyatakan bahwa beras telah mengambil porsi terbesar
dalam hidangan dan menjadi sumber energi terbesar bagi penduduk 1.
1

Khumaidi, Muhamad. 1997. Beras Sebagai pangan Pokok Utama Bangsa Indonesia, Keunikan
dan Tantangannya. Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Gizi FAPERTA IPB; 04 Januari 1997.
Bogor (ID). IPB Pr.

2

Tabel 1 Persentase pengeluaran rata-rata per kapita sebulan menurut kelompok
barang konsumsi di Indonesia Tahun 2012a
Kelompok Barang Konsumsi
Jumlah
Persentase (%/kap/tahun)
Padi-padian (beras)
57.908
17,90
Umbi-umbian
2.785
0,86
Ikan
26.600
8,22
Daging
13.075
4,04
Telur dan Susu
19.024
5,88
Sayur-sayuran
23.949
7,40
Makanan jadi
80.532
24,90
Tembakau dan sirih
39.038
12,07
Lain-lain
60.546
18,72
Jumlah makanan
323.478
100,00
a

Sumber: Badan Pusat Statistik 2012 (Diolah)

Beras merupakan salah satu komoditi pangan yang memiliki peran yang
sangat strategis baik dari sisi produsen maupun konsumen. Seringkali beras
dianggap sebagai kebutuhan dasar yang penting keberadaannya baik ditinjau dari
aspek fisiologis, psikologis, sosial maupun antropologis bagi manusia. 2
Ketersediaan beras di pasar akan berdampak signifikan pada kestabilan nasional,
karena dengan persediaan beras yang cukup di pasar dan dengan harga yang
terjangkau dapat menciptakan kondisi yang aman bagi suatu negara, terutama
Indonesia. Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat Indonesia
memiliki ketergantungan yang lebih kepada nasi sebagai panganan utama.
Salah satu upaya pemerintah dalam menyediakan beras sebagai pangan bagi
sebagian besar penduduk Indonesia ditunjukkan melalui berbagai program kerja
pengingkatan produktivitas padi. Gambar 1 Menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi
produktivitas dari tahun 2007 hingga 2012. Pada tahun 2010 hingga 2011 terjadi
penurunan produktivitas. Penurunan produksitas tersebut dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor, seperti praktek konversi lahan pertanian yang gencar dilakukan
oleh penggiat bisnis properti. Hal ini terbukti dari adanya penurunan luas panen
yang pada tahun 2010 yaitu 13,253 juta ha menjadi 13,204 juta ton pada tahun
2011 (BPS 2012). Namun, penurunan produktivitas ini menjadi motivasi bagi
pemerintah untuk terus mengupayakan peningkatan produksi beras mengingat
pertumbuhan penduduk yang terus meningkat. Upaya yang dilakukan sepertinya
menampakkan hasil dimana pada awal tahun 2012 terdapat peningkatan produksi
yang sangat signifikan.

2

Abdul Waries Patiwiri. 20-21 Juli 2004. Kondisi dan Permasalahan Perusahaan Pengolahan Padi
di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional : Upaya Peningkatan Nilai Tambah
Pengolahan Padi. F-Technopark Fateta-IPB. Hlm 22.

3

52
51
50
49
48
47
46
45
44

51,19
49,99

50,15

49,80

2009

2010

2011

48,94
47,05

2007

2008

2012

Gambar 1 Perkembangan produktivitas padi nasional (ku/ha) Tahun 2007-2012
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012 (diolah)

Wilayah Indonesia yang menghasilkan beras dengan produktivitas tertinggi
antara lain adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan,
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Lampung, Banten,
Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Jawa Barat dikenal sebagai
lumbung beras nasional kedua setelah Provinsi Jawa Timur, dengan total luas
areal panen mencapai 1,94 juta ha atau 14,46 persen dari luas panen nasional
(Lampiran 1). Menurut Angka Ramalan II Badan Pusat Statistik pada tahun 2012,
produktivitas rata-rata provinsi Jawa Barat mencapai 5,86 ton per Ha atau diatas
rata-rata nasional yang hanya mencapai 5,12 ton per Ha, serta total produksi
mencapai 11,40 juta ton atau 16,54 persen dari produksi nasional.
Jawa Barat sebagai lumbung padi nasional tidak terlepas dari peranan atau
kontribusi masing-masing daerah untuk menghasilkan produksi padi. Hampir
seluruh kabupaten atau kota di provinsi Jawa Barat melakukan budidaya tanaman
padi. Kabupaten yang memiliki kontribusi terbesar pada total produksi padi di
Jawa Barat adalah kabupaten Indramayu, yaitu mencapai 11,87 persen. Jumlah
tersebut kemudian disusul oleh beberapa kabupaten lainnya, seperti Kabupaten
Karawang, Subang, Garut, Tasikmalaya, dan Cianjur yang masing-masing
menyumbang sebesar 10,16 persen; 9,36 persen; 7,30 persen; 7,13 persen; dan
6,36 persen (Lampiran 2).
Secara umum pemenuhan beras sebagai bahan pangan pokok saat ini
mayoritas masih dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Namun, produksi
padi dalam negeri belum mencukupi seluruh kebutuhan konsumsi nasional.
Adapun perbandingan produksi dan konsumsi beras nasional Indonesia
ditunjukkan pada Tabel 2.

4

Tabel 2 Perkembangan jumlah produksi, konsumsi, dan impor beras Indonesia
Tahun 1971-2010a
Tahun
Jumlah
Produksi
Konsumsi
Impor
penduduk (jiwa)
(juta ton)
(juta ton)
(juta ton)
1971
119.208.229
13,72
14,21
0,52
1980
147.490.298
22,29
21,50
0,54
1990
179.378.946
29,04
30,12
0,19
2000
206.264.595
32,96
35,88
1,50
2010
237.556.363
38,00
38,55
0,95
a

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012 (Diolah)

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa permintaan beras dari tahun ke
tahun terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk Indonesia.
Menurut hasil sensus Badan Pusat Statistik tahun 2010, jumlah penduduk
Indonesia telah mencapai 237.556.363 jiwa dengan rata-rata laju pertumbuhan
penduduk selama sepuluh tahun terakhir sebesar 1,49 persen per tahun.
Pertumbuhan penduduk ini tidak diimbangi dengan pertumbuhan produksi padi
nasional sepuluh tahun terakhir yang hanya mencapai 1.595.069 ton Gabah
Kering Giling (GKG) per tahun. Selain itu, pertumbuhan permintaan juga
didorong oleh konsumsi beras rata-rata penduduk Indonesia yang tergolong tinggi,
yaitu sebesar 113,48 kg beras per kapita per tahun (BPS, 2012). Hal inilah yang
kemudian menjadi alasan utama bagi pemerintah melakukan impor beras untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri. Mengantisipasi adanya kebijakan impor beras
untuk memenuhi kebutuhan nasional, pemerintah melalui program Peningkatan
Produksi Beras Nasional (P2BN) menargetkan Indonesia mampu mencapai
surplus 10 juta ton pada tahun 2014.
Jika dilirik dari proses produksi beras maka dapat diketahui bahwa beras
merupakan produk turunan utama yang dihasilkan dari padi. Beras merupakan
gabah yang telah dikupas kulit sekamnya dan telah mengalami proses penyosohan
hingga warna putih (Sa’id, et al. 2002). Selain beras, padi juga menghasilkan
produk turunan berupa dedak, beras menir, sekam, dan lain-lain. Pengolahan butir
padi menjadi beras merupakan salah satu tahapan pascapanen. Proses pengolahan
ini telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang. Diawali dengan
menggunakan penggilingan padi manual, yaitu proses menumbuk padi dengan
menggunakan alu dan lesung hingga menggunakan mesin dengan teknologi
canggih.
Sistem penggilingan padi merupakan rangkaian mesin yang berfungsi untuk
melakukan proses giling gabah, yaitu dari bentuk gabah kering giling sampai
menjadi beras siap konsumsi. Melalui penggilingan, gabah memiliki nilai tambah
sebesar 400-600% dalam bentuk beras giling (Rachmat et al. dalam Thahir 2010).
Selain itu, penggilingan padi merupakan pusat pertemuan antara produksi,
pascapanen, pengolahan, dan pemasaran gabah. Penggilingan padi memiliki peran
yang sangat penting dalam sistem agribisnis padi atau perberasan di Indonesia.
Hal ini menyebabkan penggilingan padi sebagai mata rantai penting dalam suplai
beras nasional yang dituntut dapat memberikan kontribusi dalam penyediaan

5

beras, baik dari segi kuantitas maupun kualitas untuk mendukung ketahanan
pangan nasional.
Di Indonesia, sistem penggilingan padi umumnya terdiri dari tiga bagian
pokok, yaitu husker, separator, dan polisher. Bagian lainnya hanya merupakan
bagian pendukung untuk memperoleh hasil produksi yang lebih baik. Sistem
pengolahan gabah menjadi beras umumnya dikelola oleh pihak swasta secara
komersial. Hampir seluruh usaha penggilingan padi di Indonesia dikelola oleh
pihak swasta. Peran swasta dalam pengadaan beras melalui usaha penggilingan
padi sangatlah besar. Sekitar 93 persen ketersedian beras di pasar merupakan
akibat beroperasinya unit usaha penggilingan padi swasta (Patiwiri, 2004). Hal ini
dilatarbelakangi oleh kemampuan individu petani yang terbatas dalam memiliki
separangkat mesin penggilingan. Dari segi biaya, serangkaian mesin tersebut
membutuhkan modal yang relatif besar. Selain itu, kepemilikan lahan sawah yang
sempit dengan produksi padi yang sedikit membuat petani tidak efisien untuk
memiliki mesin penggilingan secara individu.
Dari segi ekonomi, keberadaan usaha penggilingan sangat berperan dalam
akselarator peningkatan kesejahteraan masyarakat. Seperti kegiatan usaha lainnya,
penggilingan padi dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar.
Melalui menajemen usahanya, penggilingan padi seringkali terlibat membantu
petani dalam proses penyimpanan dan pemasaran hasil panen petani. Selain itu,
terkadang tingkat harga dan pendapatan yang diperoleh petani serta tingkat harga
yang harus dibayar konsumen turut ditentukan oleh keberadaan penggilingan padi.
Dalam kaitannya dengan proses penggilingan padi peranan ini tercermin dari
besarnya jumlah penggilingan padi dan sebarannya yang hampir merata di seluruh
daerah sentra produksi padi di Indonesia (Lampiran 3).
Tabel 3 Jumlah usaha penggilingan padi di Indonesia pada Tahun 2008 dan 2012a
Jenis Usaha Penggilingan padi
2008
2012
Penggilingan padi besar (PPB)
5.133
2.075
Penggilingan padi sedang (PPS)
8.628
Penggilingan padi kecil (PPK)
39.425
169.044
Rice milling unit (RMU)
35.093
Unit penggilingan engelberg
1.630
Unit mesin huller
14.153
Unit mesin penyosoh beras
13.178
Jumlah
108.512
182.199
a

Sumber: Ridwan Thahir (2010) dan Badan Pusat Statistik (2012)

Pendataan jumlah penggilingan pada tahun 2008 dan 2012 memiliki
klasifikasi usaha yang berbeda-beda. Pada tahun 2008, klasifikasi usaha
penggilingan padi didasarkan pada konfigurasi mesin yang dimiliki oleh unit
usaha sedangkan klasifikasi usaha penggilingan padi pada tahun 2012 didasarkan
pada klasifikasi usaha menurut skala usaha. Berdasarkan Tabel 3 di atas diketahui
bahwa usaha penggilingan padi 12 tahun terakhir mengalami peningkatan jumlah
yang signifikan, yaitu sekitar 68,13 persen. Jika jumlah usaha penggilingan padi
pada tahun 2008 hanya dapat melayani sekitar produksi padi dari kurang lebih
11,5 juta hektar lahan, namun pada tahun 2012 dengan peningkatan jumlah maka

6

penggilingan padi yang ada telah melayani sekitar 65,76 ton produksi padi petani
dari kurang lebih 13,2 juta hektar luas lahan padi sawah dan ladang.
Tersebarnya penggilingan padi di Indonesia tidak serta merta dapat
memenuhi kebutuhan pasokan beras nasional. Hal ini disebabkan oleh sebagian
besar keadaan penggilingan padi yang belum efisien dalam keseluruhan
aktivitasnya. Ketidakefisienan tersebut sangat dipengaruhi oleh keadaan industri
penggilingan padi saat ini, seperti penggunaan mesin penggilingan padi kurang
dari kapasitas maksimum, rendemen yang terus menurun, buruknya mutu gabah
yang dihasilkan sehingga memiliki daya saing yang rendah, dan sebagainya.
Unit penggilingan padi pada tahun 2008 diketahui telah mencapai 108.512
unit dengan kapasitas kumulatif diperkirakan 109,5 juta ton per tahun (Ditjen
P2HP 2009 dalam Thahir 2010). Produksi padi Nasional hanya 60,3 juta ton pada
tahun 2008, setara dengan faktor konversi dari gabah ke beras 65 persen. Hal ini
menyebabkan banyak unit penggilingan padi bekerja di bawah kapasitas
terpasang. Fenomena ini telah tejadi sejak tahun 2003 sehingga diperkirakan
hanya 40 persen unit penggilingan padi yang beroperasi dengan kapasitas penuh
(Thahir, 2010).
Tingkat kehilangan hasil yang sangat tinggi pada sistem pengolahan padi
di Indonesia mengindikasikan buruknya penanganan pengolahan pasca panen di
Indonesia. Kehilangan hasil dapat merugikan perorangan seperti petani padi atau
usaha jasa panen dan pasca panen. Kehilangan hasil jika diakumulasikan secara
keseluruhan juga akan menimbulkan kerugian pada masyarakat dan negara.
Potensi kehilangan pasca panen dengan asumsi produksi padi nasional tahun 2012
Aram II yaitu sebesar 65,76 juta ton adalah mencapai 8,78 juta ton, yaitu sekitar
13,35 persen. Kehilangan hasil ini disebabkan karena tidak adanya integrasi dari
setiap subsistem agribisnis beras.
Tabel 4 Potensi kerugian akibat kehilangan hasil pasca panen di Indonesia Tahun
2011a
Proses Pasca
% Kehilangan Jumlah KPP
Jumlah KPP
Nilai KPP
Panen
Pasca
Tahun 2011
Tahun 2011
(Rp
Panen(KPP)b
(Ton GKP)c
(Ton Beras)d
triliyun)e
Pemanenan

4,55

2.992.080

1.675.266

12,56

Perontokan

3,38

2.222.688

1.244.483

9,33

Pengeringan

0,98

644.448

3.608.264

27,06

Penyimpanan

1,37

900.912

504.421

3,78

Penggilingan

2,16

1420.416

795.291

5,97

13,35

8.778.960

4.915.340

36,87

Jumlah
a

Sumber : Buletin teknologi pascapanen pertanian vol. 3, 2007 (Diolah).; b Kehilangan hasil pada
ekosistem pada lahan irigasi.; c Produksi padi nasional Tahun 2011 Aram III sebesar 65,76 juta
ton.; d Asumsi tingkat redemen sebesar 55,99 %.; e Asumsi harga beras Rp 7500/Kg.

Rendemen giling dari tahun ke tahun mengalami penurunan secara
kuantitatif dari 70 persen pada akhir tahun 70an menjadi 65 persen pada tahun
1985, dan 63,2 persen pada tahun 1999. Rendemen tersebut terus menurun hingga

7

pada tahun 2000, rendemen paling tinggi hanya 62 persen, bahkan kenyataan di
lapang rendemen giling hanya mencapai maksimal 60 persen 3. Setiap penurunan
rendemen satu persen maka menyebabkan kehilangan jumlah beras lebih dari
657.600 ton, yang kemudian menyebabkan kerugian devisa setara lebih dari
381,40 juta USD per tahun (asumsi pada tahun 2012 produksi nasional sebesar
65,76 juta ton dan harga ratberas menurut world bank pada tahun 2012 adalah 580
USD per ton). Penurunan rendemen dapat dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti
penggunaan mesin penggilingan padi yang telah berumur tua, 32 persen dari
mesin penggilingan padi yang digunakan dideteksi berumur lebih dari 15 tahun
(Thahir, 2010). Selain itu, sistem konversi masih menerapkan sistem penyosohan
one pass.
Meningkatnya kualitas beras dan rendemen hasil olahan akan menyebabkan
meningkatnya keuntungan yang diperoleh oleh pengusaha penggilingan padi.
Selain itu efisiensi pada kegiatan proses pascapanen juga akan menambah
keuntungan bagi pengusaha pengolahan padi. Keuntungan ini akan makin
bertambah apabila hasil samping dari pengolahan padi lebih dimanfaatkan. Saat
ini, hasil samping berupa menir, dedak dan sekam belum mendapat perhatian
yang serius baik dari pemerintah maupun dari pelaku usaha penggilingan padi itu
sendiri. Nilai tambah yang dapat diperoleh dari pemanfaatan hasil samping
pengolahan padi di lndonesia belum maksimal.
Berbagai permasalahan yang dihadapi oleh industri penggilingan padi
kemudian akan mempengaruhi aktivitas dan manajemen usaha penggilingan padi.
Aktivitas dan manajemen yang berbeda juga akan mempengaruhi perbedaan
alokasi biaya yang dikeluarkan dan juga penerimaan yang diperoleh. Adanya
perbedaan tersebut kemudian akan memperjelas kinerja masing-masing usaha
penggilingan padi pada penelitian ini.

Perumusan Masalah
Usaha penggilingan padi merupakan usaha yang menghubungkan aktivitas
petani dan konsumen. Dalam melakukan aktivitasnya, usaha penggilingan padi
memerlukan input usaha berupa padi atau gabah. Sedangkan output yang
dihasilkan oleh usaha penggilingan padi berupa beras merupakan produk pangan
utama bagi masyarakat Indonesia.
Gabah merupakan hasil produksi budidaya tanaman padi yang dilakukan
oleh petani dalam kurun waktu empat bulan untuk satu musim tanam. Petani
seringkali mengalami harga yang rendah terhadap gabah yang dihasilkan,
terutama pada saat panen raya dimulai. Rendahnya harga pada saat panen raya
disebabkan melimpahnya pasokan gabah di pasar. Untuk melindungi petani
sebagai produsen beras dan sekaligus insentif bagi petani agar tetap melakukan
budidaya tanaman padi di musim berikutnya maka pemerintah Indonesia
menetapkan kebijakan harga beli gabah atau yang dikenal dengan HPP (Harga
Pembelian Pemerintah). Penetapan HPP dilakukan untuk menjaga harga tetap
berada di level tertinggi agar petani tetap mendapatkan harga yang layak dari hasil
3

Budiharti, Uning, dkk. Perbaikan Konfigurasi mesin pada penggilingan padi kecil untuk
meningkatkan rendemen giling padi. Prosiding, Litbang - Departemen Pertanian Republik
Indonesia.

8

panennya. Hal ini tentu sangat membantu petani dalam memasarkan hasil
panennya dan mengurangi resiko harga yang dialami petani.
Gabah merupakan salah satu input dari kegiatan operasional usaha
penggilingan padi. Sehingga dengan adanya kebijakan harga gabah melalui HPP
maka akan mempengaruhi besaran biaya pembelian input yang dikeluarkan oleh
pengusaha penggilingan padi. Semakin tinggi HPP yang ditetapkan pemerintah
maka akan semakin tinggi biaya yang dikeluarkan untuk membeli gabah yang
kemudian akan menyebabkan tingginya biaya produksi usaha penggilingan padi.
6.000,00

Rp/Kg

5.000,00
4.000,00
3.000,00
2.000,00
1.000,00
0,00

Januari
GKP (HPP) 2.685,00
GKP
4.475,32
GKG (HPP) 3.300,00
GKG
4.857,87

Gambar 2

Februari
2.685,00
4.232,68
3.300,00
4.755,16

Maret
3.350,00
3.692,51
4.150,00
4.360,88

April
3.350,00
3.797,13
4.150,00
4.354,87

Mei
3.350,00
3.902,53
4.150,00
4.352,63

Juni
3.350,00
3.932,23
4.150,00
4.426,92

Juli
3.350,00
3.957,75
4.150,00
4.489,00

Rata-rata harga gabah di tingkat penggilingan dan HPP gabah
menurut kualitas gabah Tahun 2012
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012 (diolah)

Berdasarkan Inpres Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Kebijakan Pengadaan
Gabah atau Beras dan Penyaluran Beras Oleh Pemerintah maka sejak tanggal 27
Februari 2012 diberlakukan HPP untuk gabah kering panen dengan kualitas kadar
air maksimum 25 persen dan kadar hampa atau kotoran maksimum 10 persen
adalah Rp 3.300 per kg di petani atau Rp 3.350 per kg di penggilingan. Sedangkan
Harga pembelian gabah kering giling dengan kualitas kadar air maksimum 14%
dan kadar hampa/kotoran maksimum tiga persen adalah Rp 4.150 per kg di
penggilingan atau Rp 4.200 per kg di gudang Perum Bulog. 4
Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa HPP gabah bukan merupakan
harga minimal gabah yang harus dibayar oleh usaha penggilingan padi. Harga
gabah yang ditawarkan oleh petani kepada pedagang pengumpul maupun kepada
usaha penggilingan padi lebih tinggi dibandingkan HPP yang telah ditetapkan
oleh pemerintah. Upaya pemerintah untuk melindungi petani kemudian akan
menyebabkan tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh usaha penggilingan
padi untuk memperoleh input produksi.

4

http://www.bisnis-kti.com/index.php/2012/02/hpp-gabah-dan-beras-ditetapkan-naik-rerata-25/.
[diunduh 2013 Feb 03]

9

Di sisi lain, pemerintah juga menetapkan kebijakan harga beras. Kebijakan
harga beras merupakan upaya bagi pemerintah untuk melindungi konsumen
sehingga mendapatkan beras dengan harga yang relatif murah dan terjangkau.
Berdasarkan Inpres Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Kebijakan Pengadaan Gabah
atau Beras dan Penyaluran Beras Oleh Pemerintah, maka sejak tanggal 27
Februari 2012 pemerintah menetapkan HPP beras dengan harga Rp 6.600 per kg
di Bulog. Dampak kebijakan ini adalah harga beras yang dijual kepada Bulog
hanya dihargai maksimal sesuai dengan HPP beras yang berlaku.
Kebijakan lainnya yang mampu menggangu stabilitas harga beras di pasar
adalah adanya kebijakan impor beras. Melalui kebijakan impor, pasar beras akan
dibanjiri oleh beras impor yang kemudian mempengaruhi harga beras.
Berdasarkan teori diketahui jika jumlah barang yang ditawarkan meningkat maka
akan menyebabkan turunnya harga barang tersebut. Sehingga, melalui kebijakan
impor pemerintah dapat mengendalikan harga beras agar tetap berada dikisaran
harga standar sehingga konsumen dapat membeli beras dengan harga yang
terjangkau.
Beras merupakan salah satu output produksi usaha penggilingan padi.
Adanya kebijakan kemudian dapat mempengaruhi harga beras, dimana harga
beras ditekan untuk tetap berada di level rendah agar dapat terjangkau oleh
konsumen. Hal tersebut akan menyebabkan beras yang dihasilkan oleh usaha
penggilingan padi dihargai murah oleh pasar sehingga menyebabkan penerimaan
usaha akan berkurang.
Kebijakan pemerintah seringkali diupayakan untuk melindungi petani
sebagai produsen padi dan konsumen beras. Akan tetapi, kebijakan tersebut justru
akan menyebabkan usaha penggilingan padi mengalami posisi yang sulit dimana
input produksi selalu diupayakan tinggi sedangkan harga output ditekan agar
terjangkau oleh konsumen. Namun, berdasarkan data penyebaran usaha
penggilingan padi, dapat diketahui bahwa masih banyak usaha penggilingan padi
di Indonesia yang mampu bertahan dan bahkan mampu mengembangkan
usahanya. Hal tersebut tentu akan sangat dipengaruhi oleh manajemen usaha yang
dilakukan oleh pengelola masing-masing usaha penggilingan padi.
Di Indonesia terdapat beberapa klasifikasi usaha penggilingan padi, yaitu
berdasarakan tipe usaha, berdasarkan konfigurasi mesin, dan berdasarkan skala
usaha. Berdasarkan tipenya maka usaha penggilingan padi dapat digolongkan
menjadi tiga, yaitu maklon, non maklon, dan kombinasi keduanya. Istilah maklon
dan non maklon meupakan istilah lokal. Oleh sebab itu, Winarno (2007)
memberikan istilah rice milling commercial untuk usaha penggilingan padi
dengan tipe maklon dan service mills untuk usaha penggilingan padi dengan tipe
maklon.
Maklon merupakan usaha penggilingan padi yang hanya memberikan jasa
penggilingan kepada petani atau pedagang pengumpul selaku pemilik gabah untuk
mengolah gabah menjadi produk turuannya. Hasil olahan mesin penggilingan padi
yaitu beras dan dedak akan diberikan kepada pemilik gabah. Kemudian pengusaha
usaha penggilingan padi akan memperoleh upah atas jasa yang telah diberikan.
Upah yang diterima oleh pengusaha penggilingan padi dapat berupa uang maupun
produk hasil olahan mesin misalnya beras. Pembayaran upah dengan
menggunakan beras ataupun hasil lainnya dikenal dengan istilah natura.

10

Non maklon merupakan usaha (kesatuan) dimana seluruh aktivitas usaha
penggilingan dimiliki dan dikelola oleh pengusaha usaha penggilingan padi. Input
usaha berupa gabah dimiliki langsung oleh pengusaha usaha penggilingan.
Pengadaaan input produksi dapat dilakukan melalui pembelian gabah kepada
petani maupun pedagang pengumpul. Gabah yang telah diperoleh kemudian
diproses melalui serangkaian kegiatan seperti pengeringan dan penggilingan untuk
menghasilkan output berupa beras, dedak, sekam, dan menir. Hasil olahan
tersebut kemudian akan didistribusikan kepada pelanggan yang telah menjalin
kerjasama dengan usaha penggilingan padi. Serangkaian proses yang dilakukan
dimanajemen oleh seorang pengusaha yang bertanggungjawab atas usaha tersebut.
Adanya variasi usaha penggilingan padi tersebut akan menyebabkan
munculnya variasi pengusahaan dan manajemen usaha dalam mengahadapi
keadaan dan permasalahan yang dihadapi oleh pengusaha penggilingan padi.
Perbedaan atau variasi tersebut pada hakikatnnya merupakan upaya bagi usaha
penggilingan padi untuk meminimalisir biaya produksi sehingga pengusaha
memperoleh keuntungan maksimal atau melalui peningkatan nilai tambah dari
output usaha penggilingan. Oleh sebab itu, diperlukan suatu penelitian untuk
mempelajari secara mendalam aktivitas usaha yang dilakukan oleh pengusaha
penggilingan padi. Hal ini dilakukan untuk menggambarkan kinerja usaha
penggilingan padi dan variabel kunci yang mempengaruhinya.
Berdasarkan uraian di atas, maka masalah yang akan dikaji dalam penelitian
ini adalah:
1. Bagaimana manajemen dan aktivitas masing-masing usaha penggilingan
berdasarkan tipe usaha?
2. Bagaimana struktur biaya dari masing-masing tipe usaha penggilingan padi?
3. Apakah pengusahaan penggilingan padi dari masing-masing tipe usaha
sudah menguntungkan dan seberapa efisien aktivitas usaha yang dilakukan?
4. Mengapa terdapat variasi pengusahaan penggilingan padi berdasarkan tipe
usaha?
5. Variabel kunci apa sajakah yang mampu mempengaruhi kinerja usaha
penggilingan padi?

Tujuan Penelitian
1.
2.
3.
4.

Mendeskripsikan manajemen dan aktivitas usaha penggilingan padi
berdasarkan tipe usaha
Menganalisis struktur biaya masing-masing usaha penggilingan padi
berdasarkan tipe usaha
Menganalisis keuntungan dan efisiensi masing-masing usaha penggilingan
padi berdasarkan tipe usaha
Mengidentifikasi variabel-variabel kunci yang mempengaruhi kinerja usaha
penggilingan padi.

11

Manfaat Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran
yang bermanfaat yang bersifat membangun bagi:
1.
Peneliti (researcher), diharapkan dapat mengembangkan kemampuan
berfikir analitis serta dapat mengaplikasikan bidang keilmuan Agribisnis
yang telah diterima selama menjalani kuliah di Institut Pertanian Bogor.
Selain itu, penulisan ini dapat menjadi sarana untuk melatih peneliti
menuangkan ide, gagasan, dan pemikiran berkaitan dengan fata yang ada
dilapangan.
2.
Pengusaha penggilingan padi (bussines owner), diharapkan dapat menjadi
pedoman untuk meningkatkan kinerja dan merumuskan strategi usaha
penggilingan padinya dalam upaya mencapai usaha penggilingan padi yang
efisien dan efektif.
3.
Pemerintah (policy maker), diharapkan dapat menjadi salah satu masukan
untuk pengambilan kebijakan dalam rangka meningkatkan efisiensi
penggilingan padi sebagai usaha pascapanen.
4.
Pembaca (reader), diharapkan dapat menambah pengetahuan dan bisa
menjadi referensi, pedoman, literatur, dan inspirasi untuk melakukan
penelitian berikutnya yang lebih lengkap.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada analisis kinerja usaha penggilingan padi di
Kabupaten Cianjur dengan metode multiple case study. Usaha penggilingan padi
yang dijadikan sebagai kasus pada penelitian ini adalah usaha penggilingan padi
dengan klasifikasi tipe usaha, yaitu penggilingan padi maklon, non maklon, dan
kombinasi. Studi kasus ini bertujuan untuk mendapatkan informasi lebih rinci atau
mendalam terkait manajemen dan pelaksanaan aktivitas usaha pada masingmasing tipe usaha penggilingan padi. Data yang lengkap dan rinci dapat
digunakan untuk menggambarkan kinerja usaha penggilingan padi dan
menganalisis variabel kunci yang mempengaruhinya.
Kinerja usaha penggilingan padi akan dibahas melalui analisis deskriptif
terkait dengan aktivitas pada usaha penggilingan padi beserta manajemen dalam
pengelolaan usaha tersebut. Selain itu akan diidentifikasi struktur biaya dan
penerimaan untuk menggambarkan kinerja usaha berdasarkan profitabilitas dan
imbangan biaya dan penerimaan (R/C analysis) pada masing-masing usaha.

TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian dengan topik kinerja usaha penggilingan padi dan penelitian yang
membahas komoditi padi bukanlah suatu hal yang baru. Oleh karena itu,
penelitian ini juga menggunakan beberapa laporan penelitian terdahulu sebagai
referensi dan pedoman. Referensi yang digunakan adalah berasal dari jurnal,
artikel ilmiah laporan penelitian, skripsi, tesis, dan disertasi. Berdasarkan referensi

12

yang telah dibahas maka dapat diperoleh kesimpulan atas beberapa konsep yang
berhubungan dengan tujuan penelitian ini.

Pola Pengusahaan Penggilingan Padi
Di Indonesia, usaha penggilingan padi memiliki peranan dalam
mengkonversi gabah menjadi beras. Oleh sebab itu, mayoritas usaha penggilingan
padi di Indonesia melakukan serangkaian aktivitas pascapanen dimulai dari
pengeringan gabah sampai dengan pengepakan beras. Keseluruhan aktivitas yang
dilakukan oleh satu unit usaha penggilingan padi seringkali menimbulkan resiko
produksi yang tinggi, seperti tingkat kehilangan hasil yang tinggi sehingga
kerugian yang dicapai sangat tinggi.
Mengantisipasi kerugian akibat resiko produksi tersebut, di Thailand
aktivitas pascapanen tidak dilakukan oleh satu unit usaha melainkan terdapat
spesialisasi aktivitas. Patiwiri (2004) memberikan contoh dua perusahaan yang
berperan dalam konversi gabah menjadi beras dengan aktivitas yang berbeda
tetapi saling terkait satu sama lain. Perusahaan pengolahan padi Siam Kasikij Silo
Co. Ltd merupakan perusahaan pengolahan padi yang memiliki spesifikasi usaha
pada proses pengeringan dan penyimpanan gabah.
Gabah Kering Giling dari perusahaan Siam Kasikij Silo Co. Ltd kemudian
diolah oleh perusahaan Charoen Phokphand Intertrade Co. Ltd untuk kemudian
menjadi beras yang siap untuk dikonsumsi. Selain itu, perusahaan ini juga
melakukan reprocessing, yaitu mengolah beras kualitas buruk menjadi beras yang
berkualitas baik. Kedua perusahaan diatas sangat memperhatikan aspek kualitas,
keamanan, kebersihan dan kesehatan agar bisa menjadi perusahaan penghasil
beras dengan mutu terbaik.
Pola penggilingan dengan spesialisasi usaha juga terdapat di Vietnam. Di
distrik Rach Gia, Provinsi Long Anh pabrik penggilingan padi mimiliki bentuk
formula Rice Milling Polish (RMP). Hal ini diungkapkan oleh M. Nur Gaybita
pada tahun 2008 ketika rombongan PERPADI melakukan studi banding di daerah
ini. RMP merupakan pola kegiatan yang tidak memproses gabah menjadi beras,
tetapi memproses beras setengah jadi (derajat sosoh 50 persen) atau di Indonesia
dikenal dengan beras pecah kulit (brown rice) menjadi beras berkualitas.
Sedangkan proses penggilingan beras pecah kulit menjadi beras dilakukan di
pedesaan dengan Rice Milling Unit (RMU) atau dapat juga disebut Penggilingan
Padi (PP). Dengan demikian, seluruh sekam sudah tinggal di pedesaansehingga
pengangkutan gabah ke RMP lebih efisien.
Adanya spesialisasi usaha yang dilakukan akan memberikan keuntungan
bagi masing-masing usaha penggilingan. Keuntungan yang diperoleh masingmasing usaha penggilingan padi diantaranya adalah untuk mengurangi resiko
produksi karena rendahnya mutu yang dihasilkan, tidak adanya usaha
penggilingan padi yang menganggur akibat pasokan input yang terbatas. Selain
itu, keuntungan juga diperoleh secara industri dimana industri penggilingan padi
akan berkembang secara menyeluruh sehingga fungsinya sebagai akselarator
kesejahteraan rakyat dapat dipenuhi.
Berbeda dengan apa yang diterapkan oleh dua negara produsen beras
sebelumnya, yaitu Thailand dan Vietnam. Korea dan sebagian daerah di Indonesia

13

lebih memilih pola usaha penggilingan padi RPC (Rice Processing Complex).
RPC merupakan suatu kawasan sistem pengolahan padi yang terdiri dari subsitem
pengeringan, subsitem penyimpanan, subsistem penggilingan dan subsistem
pengemasan yang terintegrasi dalam satu lini proses menggunakan mesin modern.
RPC merupakan konsep yang dilakukan dalam rangka mengontrol seluruh alur
proses dalam sistem yang terintegrasi agar mutu produk dapat terjaga
keragamannya dan dapat mengurangi susut bobot. RPC dapat menekan tingkat
kehilangan hasil sehingga secara otomatis akan meningkatkan pendapatan usaha
penggilingan padi. Menurut Sutrisno (2004) pola RPC yang diterapkan di Korea
telah berhasil mengurangi susut bobot saat pengolahan dari 6 persen menjadi 1
persen. Selisih ini akan bernilai sangat besar jika dikonversikan terhadap jumalah
output yang dihasilkan dan harga output tersebut.
Berbagai inovasi pola usaha penggilingan padi yang diterapkan oleh
pengusaha penggilingan padi merupakan salah satu upaya untuk dapat
memaksimalkan keuntungan yang diperoleh. Selain itu, dengan konsep pola usaha
yang telah dijalankan kemudian diharapkan industri penggilingan padi mampu
berkembang dan memiliki daya saing sehingga mampu menghasilkan beras
dengan kualitas terbaik dan kinerja usaha yang efektif dan efisein.

Pengelolaan Usaha Penggilingan Padi
Di Indonesia, usaha penggilingan padi merupakan salah satu usaha yang
berfungsi sebagai tempat pengolahan padi milik petani yang selanjutnya
didistribusikan kepada konsumen. Peranan ini kemudian menjadikan usaha
penggilingan padi sebagai titik sentral dari suatu kawasan pertanian. penggilingan
padi ikut menentukan jumlah ketersediaan pangan, mutu pangan, harga pangan,
pendapatan petani, serta lapangan pekerjaan di pedesaan. Penggilingan padi
menjadi titik simpul industri pedesaan sehingga memainkan peranan yang sangat
besar terhadap perekonomian pedesaan.
Berdasarkan status hukumnya, penggilingan padi di Indonesia dapat
dikelompokkan menjadi perusahaan pribadi, perusahaan komanditer atau
Commanditaire Vennontschap (CV), Perseroan Terbatas, Koperasi, Badan Usaha
Milik Petani (BUMP) dan Unit Pengolahan Gabah dan Beras Bulog (UPGB
Bulog). Perum Bulog adalah salah satu BUMN yang ditugaskan untuk melakukan
pembelian hasil produksi petani padi, menjaga cadangan beras nasional serta
menyalurkan beras bagi keluarga miskin. Perum Bulog saat ini memiliki
infrastruktur berupa kantor pusat, kantro divre di 26 provinsi, kantor subdivre di
102 kabupaten atau kota, 1500 lokasi gudang dengan kapasitas 4.500.000 ton
yang tersebar di seluruh Indonesia. Perum Bulog juga memiliki sarana Unit
Pengolahan Gabah dan Beras (UPGB) sebanyak 97 unit dan 57 Drying Center.
Fasilitas yang telah dimiliki oleh Bulog belum mampu menampung seluruh
hasil produksi dari petani. Publikasi Patiwiri (2004) dalam Lokakarya
Peningkatan Daya Saing Beras Nasional Melalui Peningkatan Kulaitas
menyebutkan bahwa Bulog hanya mampu melakukan pengadaan dalam negeri
berupa gabah dan beras sekitar 2-2,5 juta ton setara beras. Jumlah tersebut relatif
masih kecil, yaitu hanya sekitar 7 persen dari total produksi nasional sebanyak 54
juta ton gabah.

14

Peran swasta dalam pengadaan beras melalui usaha penggilingan padi di
Indonesia sangatlah besar. Diperkirakan sekitar 93 persen ketersedian beras di
pasar merupakan akibat beroperasinya unit penggilingan padi swasta. (Patiwiri,
2004). Hal tersebut juga terjadi di Vietnam, sekitar 91,6 persen usaha
penggilingan padi yang ada di Vietnam dikuasai atau dimiliki oleh sektor swasta.
Hampir setiap tahun (1995 sampai 2000), usaha penggilingan padi yang dimiliki
swasta dapat memproduksi sekitar 90 persen dari jumlah total beras giling yang di
produksi di Vietnam untuk kebutuhan domestik maupun luar negeri.
Di Indonesia, sebagian usaha penggilingan padi yang dikelola oleh pihak
swasta masih banyak mengalami permasalahan seperti akses terhadap permodalan
yang sangat terbatas, kemampuan manajemen dari pengusaha yang terbatas, dan
sebagainya. Hal ini mengakibatkan usaha yang dijalankan mayoritas adalah usaha
penggilingan padi dengan skala kecil. Nugraha (2008) menyebutkan bahwa skala
usaha yang kecil memiliki tingkat efisiensi yang lebih besar dibandingkan dengan
usaha penggilingan padi dengan skala besar. Namun, yang menjadi perhatian
disini adalah dengan skala yang kecil akan memberikan tingkat pendapatan yang
kecil juga. Sehingga upaya untuk mencapai kesejahteraan pengusaha penggilingan
padi akan relatif sulit.
Tidak hanya di Indonesia, di Vietnam keberadaan usaha penggilingan padi
yang dikelola oleh sektor swasta juga mengalami berbagai permasalahan. Namun,
berbeda dengan di Indonesia, permasalahan dominan yang dihadapi adalah
ketidakpastian mengenai perkembangan pasar. Hal ini dipicu oleh keterbatasan
informasi yang diperoleh oleh pengusaha karena hingga saat ini pemerintah
Vietnam belum bisa mengakomodasi mekanisme penyebaran informasi untuk
usaha penggilingan padi swasta. Para pengusaha mendapatkan informasi melalui
media, sepe