Hubungan perilaku komunikasi dengan praktek budidaya pertanian organik

(1)

Kabupaten Bantul)

IKHSAN FUADY

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Hubungan Perilaku Komunikasi dengan Praktek Budidaya Pertanian Organik (Kasus di Desa Srigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, Februari 2011

Ikhsan Fuady NIM I352080111


(3)

Agriculture Cultivation Practices (Case: Red Onion Farmers in Srigading Village Subdistrict of Saden, Distric of Bantul)1 Under the supervision of DJUARA P. LUBIS and RICHARD W E LUMINTANG.

Sustainable agriculture development holds an important issue now days. Famers’ Communication behaviors in information seeking constitute a pivotal position in

order to increase the farmers’ autonomy. The objectives of this research were: (1)

to describe the practices of organic agriculture cultivation in red-onion farmers, (2) to analyze the correlation between farmers’ characteristics and the red-onion

organic agriculture practices, (3) to analyze the correlation between farmers’

communication behavior and red-onion organic agriculture practices, (4) To

analyze the correlation between farmers’ assessment towards agricultural technology, (5) to analyze the correlation between the red-onion organic

agriculture practices and the degree of farmers’ autonomy in getting the

production tools. This research was designed qualitatively using survey method. The data was analyzed using Tau-Kendall Test. This research produced several results such as: an Organic practice that has been conducted by the farmers was

not utterly organic. The organic performer’s behavior was influenced by

communication behavior variable and individual characteristics’. The farmers’

Autonomy was much correlated with farming activities’ behavior.


(4)

Pertanian Organik (Kasus Petani Bawang Merah di Desa Srigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul) Dibimbing oleh DJUARA P. LUBIS dan RICHARD W.E. LUMINTANG.

Pembangunan pertanian yang mengedepankan produktivitas dengan mengandalkan heavy input dari luar terbukti telah menimbulkan permasalahan yang komplek, baik terhadap kesehatan maupun lingkungan. Paradigma pembangunan pertanian telah mengalami perubahan. Paradigma baru sistem pertanian lebih menekankan pada pertanian berkelanjutan dengan memanfaatkan sumberdaya lokal yang ramah lingkungan. Salah satu bentuk pertanian bekelanjutan ini adalah pertanian organik dengan memanfaatkan semberdaya lokal. Rendahnya pemahaman petani tentang bagaimana melakukan praktek usaha budidaya bawang merah secara organik, disebabkan oleh banyak faktor. Salah satu faktor rendahnya pengetahuan petani adalah kurangnya sosialisasi dan juga keterlibatan petani di dalam proses pencarian informasi tentang inovasi. Dalam konteks komunikasi untuk memberdayakan petani dalam budidaya pertanian yang berkelanjutan, melalui peningkatan partisipasi komunikasi terlebih dahulu perlu dikaji dan diidentifikasi pola dan perilaku komunikasi yang terdapat pada petani di dalam pemenuhan kebutuhan informasi usaha taninya. Oleh karena itu yang menjadi tujuan penelitian ini adalah, (1) mendeskripsikan praktek budidaya pertanian organik pada petani bawang merah, (2) menganalisis hubungan antara karakteristik petani dengan praktek budidaya pertanian bawang organik, (3) Bagaimana hubungan antara perilaku komunikasi petani dengan praktek budidaya pertanian bawang organik, (4) menganalisis hubungan antara penilaian petani terhadap teknologi pertanian organik dengan praktek budidaya bawang petani, (5) menganalisis hubungan praktek budidaya pertanian bawang organik dengan tingkat kemandirian petani dalam mendapatkan sarana produksi.

Penelitian ini merupakan penelitian kuntitatif dengan metode survey. Penelitian dilaksanakan selama dua bulan bertempat di Desa Srigading Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul. Sumber data primer dalam penelitian ini diperoleh dari 30 responden yang diambil secara random. Penelitian ini menggunakan analisis statistic deskriptif dan statistic inferensia. Analisis yang digunakan untuk melihat hubungan antar peubah (analisis korelasi) adalah dengan menggunakan uji tau kendal. Data diolah dengan menggunakan program komputer perangkat lunak (software) Statistical Package for Sosial Science (SPSS) versi 16.0.

Hasil penelitian menunjukkan, praktek usaha tani bawang merah yang dilakukan petani belum mengadopsi sepenuhnya pertanian organik (pure organik). Namun sudah terjadi pergeseran-pergeseran pemanfaatan bahan-bahan organik dari sumberdaya lokal untuk menggantikan sarana produksi anorganik. Sebagian besar petani sudah mulai menggunakan sumberdaya lokal sebagai subtitusi untuk meningkatkan produksi pertaniannya. Salahsatu bentuk penggunaannya adalah petani mulai menggunakan pupuk organik dalam jumlah yang besar untuk menggantikan pupuk anorganik, petani juga mulai melakukan pengendalian HPT dengan menggunakan kombinasi pengendalian hayati, teknis, mekanis, untuk menggatikan pestisida kimia. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa factor-faktor individu seperti luas kepemilikan lahan, tingkat pendapatan, tingkat


(5)

penyediaan sarana produksi untuk pengendalaian hama penyakit tanaman.

Kesimpulan umum penelitian ini adalah Praktek organik usaha budidaya bawang merah yang dilakukan oleh petani adalah tidak sepenuhnya organik. Tingkat pengadopsian pupuk organik oleh petani cukup tinggi, namun untuk tingkat adopsi pengendalian HPT masih dikategorikan sedang. Faktor-faktor perilaku komunikasi yang mempengaruhi praktek pertanian organik adalah komunikasi interpersonal dengan pihak lain, peubah keterdedahan media tidak memiliki korelasi yang nyata yang disebabkan rendah dan terbatasnya akses media ke petani. Pengalaman berusaha tani, tingkat pendidikan, luas lahan, dan pendapatan memiliki hubungan yang nyata terhadap adopsi petani dalam penggunaan pupuk organik pada lahan usaha taninya, tetapi factor-faktor tersebut tidak memiliki hubungan terhadap penerapan pengendalian hama secara terpadu. Karakteristik inovasi dari pertanian organik tidak memiliki hubungan yang nyata terhadap praktek petani di dalam pemanfaatan sarana produksi organik. Faktor-faktor praktek pertanian organik yang memiliki hubungan yang nyata terhadap kemandirian petani adalah penerapan pengendalian hama penyakit secara terpadu dengan mengedepankan pemanfaatan sumberdaya lokal yang ada.


(6)

©Hak Cipta milik IPB 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip Hak Cipta sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya


(7)

Bantul)

IKHSAN FUADY

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

(9)

Nama : Ikhsan Fuady NRP : I352080111

Program Studi : Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Ir. Richard W. E. Lumintang, MSEA

Ketua Anggota

Diketahui

Koordinator Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Komunikasi Pembangunan

Pertanian dan Pedesaan

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(10)

Tesis yang berjudul: Hubungan Perilaku Komunikasi dengan Praktek Budidaya Pertanian Organik (Kasus Petani Bawang Merah di Desa Srigading Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul)

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS, selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Ir, Richard W. E. Lumintang, MSEA, sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis dalam proses penyelesaian tesis ini.

Pada kesempatan ini juga, penulis tidak lupa menyampaikan terima kasih kepada Ayahanda Arsyad dan Ibunda Endang K., serta kakak-kakak dan

adik-adikku, sahabat dan seluruh keluarga atas do’a, dukungan serta bantuan yang

diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan.

Terimaksih yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada bapak Wisnu yang telah bersedia menerima dan meluangkan waktunya untuk penulis di rumahnya selama penelitian ini dilakukan. Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada bapak Suroto yang telah banyak membantu dalam memandu penulis selama berinteraksi dengan petani baik di lahan pertanian maupun diwaktu pertemuan kelompok tani.

Selama proses penelitian dan penulisan tesis ini, tidak sedikit hambatan rintangan yang dihadapi penulis, dan penulis meyakini bahwa tidak ada gading yang tak retak, tidak ada karya tulis yang sempurna, tidak ada lembaran putih yang tidak berbecak, tidak ada manusia yang sempurna dan seterusnya. Untuk itu penulis berterima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan masukkan, saran dan kritik dalam penyempurnaan tesis ini.

Terakhir penulis ucapkan semoga tesis ini bermanfaat bagi pembangunan pertanian Indonesia dan semoga dapat dijadikan rujukan bagi pengembangan ilmu komunikasi.

Bogor, Februari 2011.


(11)

Endang Karlani. Anak berdarahkan Bangka-Yogyakarta merupakan putra ke empat dari tujuh bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar hingga Sekolah Menengah Umum di Bangka, dan melanjutkan pendidikan Strata 1 di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2002 jurusan Sosial Ekonomi Pertanian.

Penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan Strata 2 di Komunikasi pembangunan pertanian dan pedesaan Sekolah pascasarjana IPB pada tahun 2008.


(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pertambahan penduduk yang cepat perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas dan kuantitas jumlah makanan. Tuntutan ini mendorong munculnya sistem pertanian modern yang memiliki ciri-ciri ketergantungan pada: (1) pupuk sintetis, (2) bahan kimia sintesis untuk pengendalaian hama penyakit, dan gulma, (3) varietas unggul untuk tanaman monokultur. (Rukka 2003).

Pada permulaan tahun 1970-an, dalam rangka peningkatan produksi pangan nasional dan swasembada pangan, pemerintah meluncurkan suatu program pembangunan pertanian yang dikenal secara luas dengan program revolusi hijau, yang dimasyarakat dikenal dengan program Bimas. Tujuan utama dari revolusi hijau adalah untuk meningkatkan produktivitas pertanian, khususnya sub sektor pertanian pangan melalui penerapan paket teknologi pertanian modern. Paket tersebut terdiri dari pupuk non-organik, obat-obatan pelindung tanaman dan bibit unggul. Peningkatan produksi pertanian khususnya tanaman pangan merupakan salah satu upaya pemerintah dalam membangun sektor pertanian, karena sektor pertanian ini memegang peranan penting dan strategis dalam memantapkan swasembada pangan nasional (Soetrisno 2006).

Program yang diterapkan saat itu memberikan hasil yang signifikan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan. Namun akhir-akhir ini muncul berbagai permasalahan akibat kesalahan manajemen di lahan pertanian seperti pencemaran lingkungan oleh pupuk kimia dan pestisida, serta timbulnya resistensi dan resurgensi hama sebagai akibat pemakaian bahan-bahan sintesis tersebut. Hal ini berdampak pada penurunan kualitas hasil panen, lingkungan, dan berdampak pada penurunan kualitas kesehatan manusia (Soetrisno 2006).

Revolusi hijau yang telah dilaksanakan pemerintah juga telah menyebabkan petani Indonesia menjadi bodoh. Banyak pengetahuan lokal yang menyangkut pertanian telah banyak dilupakan oleh petani. Para petani lebih menggantungkan diri pada paket-paket teknologi pertanian produk industri. Ketergantungan tersebut menimbulkan kerentanan baru, yaitu petani menjadi objek permainan harga produk-produk tersebut (Soetrisno 2006).


(13)

Paradigma pembangunan pertanian telah mengalami perubahan. Dua Peristiwa penting yang menandai kelahiran paradigma baru sistem pertanian berkelanjutan. Peristiwa pertama adalah laporan dari komisi dunia tentang lingkungan hidup dan pembangunan (World Commission on Environment and Development) pada tahun 1987, yang mendifinisikan dan mempromosikan paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Peristiwa kedua adalah konferensi Dunia di Rio de Janeiro pada tahun 1992, yang membahas Agenda 21 dengan mempromosikan program Sustainable Agriculture an Rural Development (Manguiat 1995).

Salah satunya model dari sistem pertanian berkelanjutan adalah sistem pertanian organik. Food and Agriculture Organizaton (2002), mendefinisikan pertanian organik sebagai sistem manajemen produksi holistik yang meningkatkan dan mengembangkan kesehatan ekosistem, termasuk siklus biologi dan aktivitas biologi tanah. Pertanian organik menekankan pada meminimalkan input eksternal seperti menghindari penggunaan pupuk dan pestisada sintesis. Pertanian organik merupakan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Kesuburan tanah dijaga dan ditingkatkan dengan cara mengoptimalkan aktivitas biologi tanah, hama, dan penyakit tanaman dikendalikan dengan merangsang adanya hubungan seimbang antara inang dan predator, meningkatkan populasi serangga yang menguntungkan dan penggunaan pestisida organik.

Di Indonesia, pertanian organik belum dapat berkembang dengan baik karena petani pada umumnya masih terbiasa menggunakan pupuk kimia dan pertisida secara berlebihan (Adiyoga 2002).

Di Indonesia sendiri, gaung pertanian organik sudah berkembang lebih dari 10 tahun yang lalu, akan tetapi pemainnya dapat dihitung dengan jari Kemudian meningkat pesat sejak terjadi krisis moneter, dimana sebagian besar saprodi yang digunakan petani melonjak harganya berkali-kali lipat. Petani mulai melirik alternatif lain dengan model pertanian organik. Melalui proses adaptasi, pertanian organik mulai digeluti dan mendapat respon yang cukup baik, dengan ditandai oleh bermunculnya kelompok petani organik di berbagai daerah. Di Jawa


(14)

Tengah, sentra pertanian organik terletak di Klaten, Yogyakarta, Karanganyar, Magelang, dan Kulonprogo. Di Jawa Barat; Bogor, Bandung dan Kuningan. Di Jawa Timur; Malang, serta beberapa daerah di Bali (Sudirja 2008).

Permintaan akan produk-produk organik merupakan peluang dunia usaha baru baik untuk tujuan ekspor maupun kebutuhan domestik. Beberapa negara berkembangpun mulai memanfaatkan peluang pasar ekspor produk organik ini terhadap negara maju, diantaranya buah-buah daerah tropik untuk industri makanan bayi ke Eropa, herbas Zimbabwe ke Afrika Selatan, kapas Afrika ke Uni Eropa, dan teh Cina ke Belanda dan kentang ke Jepang. Umumnya, ekspor produk organik dijual dengan harga cukup tinggi, biasanya 20 persen lebih tinggi dari produk pertanian non-organik. Keuntungan pokok pertanian organik sangat bervariasi, dalam beberapa kajian ekonomi menyatakan bahwa pertanian organik memiliki akses nyata terhadap prospek jangka panjang (Sudirja 2008).

Beberapa studi menunjukkan bahwa pertanian organik berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah tenaga kerja dibandingkan dengan pertanian konvensional. Terutama pada sistem pertanian organik melalui diversifikasi tanaman, perbedaan pola tanam dan jadwal tanam dapat mendistribusikan kebutuhan tenaga kerja berdasarkan waktunya (Sudirja 2008).

Perubahan dari sistem usaha tani konvensional ke sistem usaha tani yang seimbang secara ekonomis, ekologis dan sosial memerlukan suatu proses transisi, yaitu penyesuaian terhadap perubahan yang dilakukan secara sadar untuk membuat sistem usaha tani yang lebih seimbang dan berkelanjutan. Tansisi berhubungan dengan tenaga kerja, lahan atau uang dan pengambilan resiko, sehingga dibutuhkan strategi yang sesuai dengan kondisi lahan pertaniannya. Dukungan, kepercayaan diri, dan imaginasi, serta perbaikan pemasaran dan kebijakan harga yang cocok sangat diperlukan petani dalam proses transisi (Reijntjes et al, 1994).

Selain itu rendahnya pemahaman petani tentang teknik budidaya pertanian organik juga disebabkan oleh kekurangan informasi yang disebabkan karena terbatasnya akses yang di dapat oleh petani. Gerakan pertanian organik masih perlu perhatian semua pihak agar lebih maju pada masa yang akan datang dan dapat berkembang.


(15)

Rendahnya pemahaman petani tentang bagaimana melakukan praktek usaha budidaya bawang merah secara organik, disebabkan oleh banyak faktor. Salah satu faktor rendahnya pengetahuan petani adalah kurangnya sosialisasi dan juga keterlibatan petani di dalam proses pencarian informasi tentang inovasi. Menurut Slamet (2000), kegiatan pembangunan selama ini umumnya belum secara nyata memberdayakan masyarakat. Masyarakat pada umumnya kurang memiliki informasi yang berguna untuk dapat memilih alternatif perilaku yang menguntungkan bagi kehidupannya. Salah satu strategi pemberdayaan masyarakat adalah bagaimana membuat masyarakat mampu membangun dan memperbaiki kehidupan sendiri dalam arti: mampu (berdaya), tahu (mengerti), termotivasi, dapat memanfaatkan peluang, bersinergi, mampu bekerja sama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari, dan menangkap informasi, serta bertindak sesuai kondisi.

Pemberdayakan petani dalam budidaya pertanian yang berkelanjutan, melalui peningkatan partisipasi komunikasi petani, perlu terlebih dahulu dikaji dan diidentifikasi pola dan perilaku komunikasi yang terdapat pada petani di dalam pemenuhan kebutuhan informasi usaha taninya.

Perumusan masalah

Dinamika arus informasi yang terjadi dewasa ini menuntut setiap orang untuk mampu mengikuti setiap perkembangan yang ada. Setiap orang pada tatanan masyarakat ini, harus menjalani suatu siklus kehidupan yang bisa dikatakan tidak terhindarkan. Siklus kehidupan yang dipahami oleh masyarakat seakan menuntut keseragaman dalam setiap pola kehidupan, tidak terkecuali di dalam pola pertanian organik. Proses pembelajaran di dalam pertanian organik ini sangat erat kaitannya dengan perilaku komunikasi yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri.

Proses mempercepat pergeseran paradigma pertanian menuju pertanian yang ramah lingkungan perlu peningkatan sosialisasi dan partisipasi petani tentang arti penting pertanian yang berkelanjutan tersebut. Percepatan pergeseran paradigma ini perlu terlebih dahulu dilakukan identifikasi perilaku komunikasi yang terdapat pada masyarakat lokal setempat, sehingga didapat gambaran yang


(16)

tepat tentang kebiasaan dari perilaku komunikasi petani tersebut. Kondisi sosial lokal seperti perilaku komunikasi masyarakat dalam berinteraksi sosial memiliki sifat dan ciri yang khas. Perilaku komunikasi merupakan hal yang penting di dalam mengenali suatu masyarakat karena perilaku komunikasi merupakan salah satu petunjuk dari sifat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam berkomunkasi di lingkungannya.

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah ada dan survei di lapangan, ada beberapa hal yang menyangkut faktor-faktor yang mempengaruhi kesadaran petani akan perlu dan pentingnya informasi tentang pertanian organik;

a. Kesadaran petani terhadap kebutuhan akan pentingnya informasi masih kurang, seperti; kurangnya keaktifan mencari informasi, kurangnya intensitas mengikuti pertemuan dan interaksi dengan sumber informasi.

b. Ketersediaan informasi lokal dinilai masih sangat kurang dan belum sesuai dengan kebutuhan petani, serta kurang mampu menjawab permasalahan usaha taninya.

c. Sumber informasi yang tersedia masih sangat terbatas, seperti hanya sesama petani, pedagang saprodi.

d. Masih rendahnya tingkat kemampuan petani untuk memperoleh informasi, baik dari aspek jarak, lokasi maupun waktu dan biaya.

Model pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan merupakan suatu hal yang harus digalakkan dalam rangka memperbaiki kualitas lingkungan. Sosialisasi dari berbagai pihak merupakan salah satu cara untuk menginformasikan kepada masyarakat yang belum memahami dan melakukannya. Perilaku komunikasi yang terjadi pada petani bawang merah ini, di dalam pencarian dan penyebaran serta adopsi budidaya pertanian organik merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji.

Berangkat dari latar belakang yang ada, maka permasalahan-permasalahan yang dapat diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut:

1) Bagaimana praktek budidaya pertanian organik pada petani bawang merah? 2) Bagaimana hubungan antara karakteristik petani dengan praktek budidaya


(17)

3) Bagaimana hubungan antara perilaku komunikasi petani dengan praktek budidaya pertanian bawang organik?

4) Bagaimana hubungan antara penilaian petani terhadap teknologi pertanian organik dengan praktek budidaya bawang petani?

5) Bagaimana hubungan praktek budidaya pertanian bawang organik dengan tingkat kemandirian petani dalam mendapatkan sarana produksi?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan bermasalahan yang ada maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Mendeskripsikan praktek budidaya pertanian organik pada petani bawang

merah.

2) Menganalisis hubungan antara karakteristik petani dengan praktek budidaya pertanian bawang organik.

3) Menganalisis hubungan antara perilaku komunikasi petani dengan praktek budidaya pertanian bawang organik.

4) Menganalisis hubungan antara penilaian petani terhadap teknologi pertanian organik dengan praktek budidaya petani.

5) Menganalisis hubungan praktek budidaya pertanian organik dengan tingkat kemandirian petani dalam mendapatkan sarana produksi.

Kegunaan Penelitian

Hasil yang diperoleh diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut: 1) Hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan oleh pihak terkait dalam

merumuskan kebijakan maupun pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

2) Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan pemikiran bagi pemerintah daerah setempat untuk mempercepat proses sosialisasi inovasi-inovasi yang akan didesiminasikan kepada masyarakat setempat.


(18)

(19)

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Perilaku Komunikasi

Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan. Dengan kata lain, perilaku pada umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu. Tujuan spesifik tidak selamanya diketahui dengan sadar oleh yang bersangkutan. Dorongan yang memotivasi pola perilaku individu yang nyata dalam kadar tertentu berada dalam alam bawah sadar (Hersey& Blanch 2004), sedangkan Rogers menyatakan bahwa perilaku komunikasi merupakan suatu kebiasaan dari individu atau kelompok di dalam menerima atau menyampaikan pesan yang diindikasikan dengan adanya partisipasi, hubungan dengan sisitem sosial, kekosmopolitan, hubungan dengan agen pembaharu, keterdedahan dengan media massa, keaktifan mencari informasi, pengetahuan mengenai hal-hal baru.

Gould dan Kolb yang dikutip oleh Ichwanudin (1998), perilaku komunikasi adalah segala aktivitas yang bertujuan untuk mencari dan memperoleh informasi dari berbagai sumber dan untuk menyebarluaskan informasi kepada pihak manapun yang memerlukan. Perilaku komunikasi pada dasarnya berorientasi pada tujuan dalam arti perilaku seseorang pada umumnya dimotivasi dengan keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu.

Berdasarkan pada definisi perilaku yang telah diungkapkan sebelumnya, perilaku komunikasi diartikan sebagai tindakan atau respon dalam lingkungan dan situasi komunikasi yang ada, atau dengan kata lain perilaku komunikasi adalah cara berfikir, berpengetahuan dan berwawasan, berperasaan dan bertindak atau melakukan tindakan yang dianut seseorang, keluarga atau masyarakat dalam mencari dan menyampaikan informasi melalui berbagai saluran yang ada di dalam jaringan komunikasi masyarakat setempat (Hapsari 2007).

Rogers (1993) mengungkapkan ada tiga peubah perilaku komunikasi yang sudah teruji secara empiris signifikan yaitu pencarian informasi, kontak dengan penyuluh, dan keterdedahan pada media massa. Peubah pertama yaitu pencarian informasi masih perlu didampingi dengan penyampaian informasi, sesuai dengan model transaksional yang bersifat saling menerima dan memberi informasi secara bergantian.


(21)

Di dalam mencari dan menyampaikan informasi, seyogyanya juga mengukur kualitas (level) dari komunikasi. Berlo (1960) mendeskripsikan level komunikasi adalah mengukur derajat kedalaman mencari dan menyampaikan informasi yang meliputi (1), sekedar bicara ringan, (2), saling ketergantungan (independen), (3), tenggang rasa (empaty), (4), saling interaksi (interaktif).

Kebutuhan seseorang akan informasi mampu menggerakannya secara aktif melakukan pencarian informasi. Perilaku komunikasi sesama petani dalam rangka mencari dan menyebarkan informasi dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional. Lebih lanjut Berlo (1960), mengungkapkan bahwa perilaku komunikasi seseorang dapat dilihat dari kebiasaan berkomunikasi. Berdasarkan definisi perilaku komunikasi, maka hal-hal yang sebaiknya perlu dipertimbangkan adalah bahwa seseorang akan melakukan komunikasi sesuai dengan kebutuhannya. Halim (1992) mengungkapkan bahwa komunikasi, kognisi, sikap, dan perilaku dapat dijelaskan secara lebih baik melalui pendekatan situasional, khususnya mengenai kapan dan bagaimana orang berkomunkasi tentang masalah tertentu.

Kifli (2002) menyatakan bahwa faktor internal yang mempengaruhi perilaku komunikasi petani adalah kondisi ekonomi. Kondisi ekonomi yang tinggi memberikan kesempatan yang luas kepada petani untuk melakukan interaksi dengan lingkungan, misalnya pada petani yang memiliki tingkat ekonomi yang rendah suatu kesempatan harus mencari informasi mengenai harga jual produk, menemui PPL dan lainnya terpaksa ditinggalkan karena harus memenuhi tambahan penghasilan. Adi (2002) mengungkapkan bahwa gelar teknologi ternyata membentuk persepsi positif petani karena petani dapat secara langsung melihat, memahami, mengenal, dan mempraktekkan inovasi serta akan terjadi komunikasi interpersonal.

Rafinaldy (1992) membatasi perilaku komunikasi anggota ke dalam beberapa peubah yaitu; perilaku membicarakan informasi kredit, hadir dalam rapat, jumlah media yang digunakan, pemanfaatan media massa, kontak dengan Pembina, dan partisipasi sosial. Sedangkan adopsi inovasi dalam penelitian ini dinyatakan dalam peubah pemanfaatan kredit. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sekitar 42 persen responden tidak aktif membicarakan informasi kredit dan 49 persen responden partisipasi sosialnya rendah, sebagian responden yang pernah


(22)

hadir namun pada umumnya tidak pernah kontak dengan pembinanya, repsonden pada umumnya menggunakan sedikitnya dua media komunikasi untuk memperoleh informasi dengan rata-rata menghabiskan waktunya untuk membaca, mendengar, dan melihat media massa yang komunikasi hampir 17 jam setiap minggunya.

Pambudy (1999) dari hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang memiliki hubungan yang kuat terhadap perilaku komunikasi peternak dalam menerapkan wirausaha tenaknya. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah partisipasi sosial dengan kontak sesama peternak, kontak dengan penyuluh, kontak dengan media massa dan kontak dengan kelompok. Lebih lanjut Pambudy mengungkapkan bahwa kontak dengan media massa menjadi faktor pendorong meningkatnya perilaku berwirausaha dijelaskan oleh perilaku komunikasi yang lebih mampu mengakses informasi dari media massa.

Rukka (2003) menyatakan bahwa tingginya tingkat motivasi petani dalam mengadopsi inovasi sangat ditentukan sifat inovasi tersebut. Petani akan cepat menerima suatu inovasi bila unsur-unsur karakteristik dari inovasi tersebut cenderung positif. Namun kalau unsur-unsur saling kontradiktif, maka inovasi tersebut akan menyulitkan petani dalam mengadopsinya.

Tingkat penerapan usaha tani organik pada padi sawah, menurut Rukka (2003) terhadap motivasi petani berbanding positif. Terutama motivasi intrinsik untuk melakukan budidaya secara organik dengan motif untuk meningkatkan pendapatan dan juga meningkatkan pengetahuan.

Perilaku komunikasi yang berhubungan dengan praktek budidaya pertanian organik pada petani bawang antara lain:

Keterdedahan Pada Media Massa

Media massa memiliki peranan memberikan informasi untuk memperluas cakrawala, pemusatan perhatian, menumbuhkan aspirasi dan sebagainya tetapi tergantung pada keterdedahan khalayaknya terhadap media massa (Schramm dan Kincaid 1977).

Pada penelitian adopsi inovasi menunjukan bahwa orang-orang yang pertama kali mengenal atau menerima ide-ide baru (early knowers atau early adopters) ternyata orang-orang yang lebih banyak memanfaatkan jasa media


(23)

massa dibandingkan dengan mereka yang mengenal atau mengadopsi ide-ide baru itu belakangan (Wiryanto 2000).

Dari 116 penelitian yang dikumpulkan oleh Rogers dan Shoemaker (1981), sekitar 69 persen mendukung pendapat bahwa ada hubungan antara pemanfaatan media komunikasi dengan adopsi. Studi Gross dan Tavez menggungkapkan bahwa ada hubungan antara penggunaan inovasi di bidang pertanian dengan membaca buku, majalah, dan mendengarkan radio. Gross lebih lanjut mengungkapkan bahwa membaca buletin, majalah, dan surat kabar ternyata dapat dipakai sebagai pembeda yang signifikan antara penerima dan penolak inovasi (Muhadjir 2001).

Perubahan perilaku khalayak tidak hanya dipengaruhi oleh keterdedahan pada satu media massa tetapi juga memerlukan lebih dari satu saluran komunikasi massa lainnya seperti tv, radio, film, dan bahan cetakan lainnya (Schramm dan Kincaid 1977).

Kontak pada saluran interpersonal

Pada model-model proses komunikasi massa, model efek terbatas menunjukan bahwa pengaruh komunikasi massa sangat terbatas, tidak powerfull, sama sekali tidak efektif manakala tujuannya untuk menimbulkan sikap dan atau perilaku nyata. Perubahan yang nyata sebagian besar diakibatkan oleh komunikasi antar pribadi (Wiryanto 2000).

Model efek terbatas mengungkapkan bahwa pesan-pesan media tidak seluruhnya mencapai mass audiens secara langsung, sebagian besar malahan berlangsung secara bertahap. Tahap pertama dari media massa ke para pemuka pendapat (opinion leader). Tahap kedua dari pemuka pendapat kepada khalayak ramai (mass audiens atau followers). Pada tahap kedua ini merupakan komunikasi interpersonal (Wiryanto 2000).

Seseorang untuk meyakinkan informasi yang diperolehnya akan melakukan kontak interpersonal dengan tokoh masyarakat maupun agen pembaharu. Pada tahap ini seseorang akan memerlukan pemuka pendapat untuk memberikan pertimbangan tentang biaya atau informasi lainnya yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menilai apakah inovasi itu cocok dengan kebutuhannya (Rogers 1993).


(24)

Seseorang akan lebih cepat mengadopsi inovasi, apabila ia lebih banyak melakukan kontak komunikasi interpersonal dengan agen pembaharu dan tokoh masyarakat. Meningkatnya pengaruh pada seseorang untuk mengadopsi atau menolak inovasi, merupakan hasil interaksinya dalam jaringan komunikasi dengan individu lain yang dianggap dekat serta memiliki pengaruh terhadap dirinya, namun demikian hal ini sangat tergantung pada norma-norma yang berlaku apakah mendukung atau menolak perubahan (Rogers 1993).

Beberapa hasil studi tentang perilaku dan proses adopsi inovasi, Saleh (1988), mengemukakan bahwa perilaku komunikasi pemuka tani DAS Citanduy yang dominasi antara lain: a) menjadikan PPL terdekat sebagai tempat bertanya pertama kali bila menjumpai masalah, b) menyebarkan informasi lewat dari satu cara atau melalui teman yang berminat, c) Tingkat partisipasi sosial rendah dan parilaku mencari informasi lewat media massa berimbang antara yang sebentar, lama, dan tidak pernah. Sulastini (1990) dalam kepemimpinan dan perilaku komunikasi tim penggerak PKK di kabupaten Banyumas, mereka relatif sering mencari informasi dan menyebarkan informasi, melakukan kontak dengan penyuluh serta cukup lama tersentuh media massa.

Intensitas Interaksi dalam Kelompok Komunikasi

Eksistensi kelompok adalah pentingbagi individu dan masyarakat. Ketika seseorang bergerak dalam ruang kehidupannya, kooperasi menjadi esensial dalam mencapai tujuan. Michael dalam Wiryanto (2005) mendifinisikan komunikasi dalam kelompok sebagai interaksi secara tatap mukaantara tiga orang atau lebih dengan tujuan yang telah diketahui, seperti berbagi informasi, menjaga diri, pemecaham masalah yang mana anggota-anggotanya dapat mengingat karakteristik pribadi anggota anggota lain secara tepat.

Soekartawi (1988) menyatakan bahwa proses adopsi inovasi tidak terlepas dari pengaruh interaksi antar individu, anggota masyarakat atau kelompok masyarakat, juga pengaruh interaksi antar kelompok dalam suatu masyarakat.

Terjadinya interaksi antar petani dalam kelompok sangat penting sebab merupakan forum komunikasi yang demokratis di tingkat akar rumput (Slamet, 2003). Forum kelompok itu merupakan forum belajar sekaligus merupakan forum pengambilan keputusan untuk memperbaiki nasib mereka sendiri. Melalui


(25)

forum-forum semacam itulah pemberdayaan ditumbuhkan yang akan berlanjut pada tumbuh dan berkembangnya kemandirian petani; tidak mengantungkan nasib dirinya pada orang lain, yakni penyuluh sebagai aparat pemerintah. Demikian juga melalui kelompok-kelompok itu kepemimpinan di kalangan petani akan tumbuh dan berkembang dengan baik melalui pembinaan penyuluhan. Untuk menunjang kepemimpinan para petani, para penyuluh pertanian perlu disiapkan dengan baik untuk melakukan pembinaan sebagai konsekuensi dari keberhasilan pendekatan kelompok menjadikan kelompok tani yang dinamis.

Kemandirian

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata “mandiri” berarti dalam

keadaan dapat berdiri sendiri tanpa tergantung pada orang lain. Kemandirian menurut Saragih (2005), adalah kemampuan berusaha sendiri, kreatif, kerja keras, dan competitiveness.

Menurut Sumardjo (1999), mengacu pada konsep filsafat moral autonomy dari Kant, otonomi moral adalah kehendak manusia untuk bertindak dari prinsip yang diyakininya sendiri, mampu mengatur diri sendiri, menentukan diri sendiri, mengarahkan diri sendiri, bebas dari kehendak orang lain, berhak untuk mengikuti kemauannya sendiri.

Kemandirian adalah perwujudan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan potensi dirinya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, yang dicirikan oleh kemampuan dan kebebasan menentukan pilihan yang terbaik (Hubeis 1992). Sementara menurut Radi (1997), petani yang mampu mewujudkan pertanian mandiri adalah petani yang memiliki karakter; a) mampu memanfaatkan keanekaragaman sumber daya pertanian secara optimal melalui kemampuannya sendiri, b) mampu memanfaatkan teknologi pertanian yang ramah lingkungan, serta tidak menutup diri terhadap berlangsungnya transformasi teknologi yang lebih menguntungkan (integrasi teknologi lokal dengan teknologi luar secara selektif), c) mampu mengembangkan keunggulan kompetitif dan d) memiliki kemampuan manajerial dan keterampilan mengelola usaha secara bisnis. Menurut Verhagen yang dikutip oleh Marliati (2008), mengemukakan bahwa kemandirian merupakan kemampuan memilih berbagai alternatif yang tersedia agar dapat digunakan untuk melangsungkan kehidupan yang serasi dan


(26)

berkelanjutan. Lebih lanjut Marliati mengungkapkan bahwa kemandirian terdiri dari kemandirian materil, kemandirian intelektual, dan kemandirian pembinaan. Melalui kemandirian material, seseorang memiliki kapasitas untuk memanfaatkan secara optimal semua potensi sumber daya alam yang mereka miliki tanpa harus menunggu bantuan orang lain atau tergantung dari luar. Kemandirian intelektual, memiliki kapasitas untuk mengkritisi dan mengemukakan pendapat tanpa dibayangi rasa cemas atau tekanan dari pihak lain. Kemandirian pembinaan, yaitu memiliki kapasitas untuk mengembangkan dirinya sendiri melalui proses pembelajaran discovery learning tanpa harus tergantung atau menunggu sampai adanya agen pembaharu atau pembina yang mengajarkan mereka.

Kemandirian yang dimaksudkan pada penelitian ini adalah kemandirian material petani dimana seseorang memiliki kapasitas untuk memanfaatkan secara optimal semua potensi sumber daya alam yang mereka miliki tanpa harus menunggu bantuan orang lain atau tergantung dari luar atau kemampuan petani di dalam mendapatkan sarana produksi yang meliputi pupuk, dan pestisida serta kemandirian dalam memasarkan produk mereka tanpa ada tekanan dan ketergantungan pada pihak lain.

Agussabti (2002) mengungkapkan bahwa kemandirian petani dalam mendapatkan sarana produksi berkorelasi positif terhadap kedinamisan petani, artinya petani yang memiliki mobilitas yang tinggi, seringnya kontak dengan dunia luar, selalu terbuka terhadap perubahan akan memiliki banyak alternatif di dalam pemenuhan kebutuhan sarana produksinya.

Kemandirian Petani dalam Usaha Pertanian Organik

Pembangunan pertanian dewasa ini menghadapi persaingan bebas dalam era globalisasi. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur untuk penyediaan input pertanian, pemasaran sangat diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup petani. Kecenderungan adanya persaingan yang semakin ketat di pasar dunia menyebabkan hanya petani-petani yang lebih efisien saja yang mampu bertahan (Van den ban dan Hawkins 1999). Inilah yang menjadi dasar pentingnya sumberdaya pertanian yang mandiri untuk mewujudkan pertanian yang maju dan tangguh.


(27)

Pembangunan pertanian yang berorientasi pada peningkatan produksi pada petani telah mengakibatkan terjadinya ketergantungan petani terhadap input-input pertanian anorganik yang tinggi. Kondisi ini menggambarkan pembangunan pertanian yang kurang memperhatikan aspek keberlanjutan yang disebabkan oleh belum mandirinya petani dalam pengambilan keputusan adopsi inovasi dalam pengembangan usaha tani sayurnya, sehingga dalam jangka waktu panjang akan merugikan petani itu sendiri (Agussabti 2002).

Penggunaan input-input secara terus-menerus dari luar yang biasa dilakukan saat ini menimbulkan monopoli perdagangan bibit dan pestisida oleh perusahaan trans-nasional. Kondisi ini yang memaksa petani agar tergantung pada perusahaan trans-nasional untuk memperoleh saprodi yang mereka butuhkan. Hal ini selain menyebabkan hilangnya varietas bibit yang dimiliki oleh petani secara besar-besaran juga mengancam keanekaragaman hayati dan juga survival petani itu sendiri (Soetrisno 2006).

Bertolak dari kondisi ini, Winangun (2005) mengemukakan perlunya meningkatkan partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan menumbuhkan jiwa kewirausahaan. Rumah tangga petani memiliki tiga macam kekuatan; kekuatan sosial, politik, dan psikologis. Kekuatan sosial menyangkut akses terhadap dasar-dasar produksi, termasuk informasi dan pengetahuan. Kekuatan psikologis direfleksikan dalam rasa memiliki potensi individu. Dalam hubungan ini peningkatan kemandirian dapat dicapai melalui pemberdayaan yang bersifat partisipatif.

Keputusan mandiri merujuk pada kemampuan petani menentukan sendiri tujuan usaha taninya, merencanakan sendiri, menggunakan sumber-sumber yang dipilih sendiri untuk kepentingannya sendiri. Petani akan mendapatkan kepuasan dari kegiatan usaha tani yang diputuskan dan dikerjakan sendiri. Keputusan ini bukan berarti petani tidak membutuhkan pihak lain tetapi mereka mengembangkan proses belajar yang tidak tergantung pada pihak lain, sedangkan pertimbangan dan nasihat dari pihak lain masih dibutuhkan (Agussabti, 2002).

Agussabti (2002) mengungkapkan bahwa kemandirian petani sangat tergantung pada keputusan untuk mengadopsi inovasi untuk kemajuan usaha taninya. Petani yang mandiri pada umumnya memilih komoditas dan inovasi yang


(28)

melekat padanya bersifat lebih kompleks. Petani pada umumunya mampu dan memiliki kemampuan di dalam pengelolaan potensi sumber daya yang mereka miliki, sehingga cenderung relatif lebih aman dan tidak ragu-ragu dalam mengambil suatu keputusan. Agussabti (2002) lebih lanjut mengungkapkan bahwa kemandirian petani dalam mengadopsi inovasi sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain tingkat mobilitas dan kontak dengan sumber informasi yang tinggi yang menjadikan mereka lebih terbuka terhadap perubahan ide-ide baru.

Pertanian Berkelanjutan dan Pertanian Organik

Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah pemanfaatan sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumberdaya tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources) untuk proses produksi pertanian dengan menekan dampak negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin. Keberlanjutan yang dimaksud meliputi : penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas produksi, serta lingkungannya. Proses produksi pertanian yang berkelanjutan akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati yang ramah terhadap lingkungan (Kasumbogo Untung, 1997).

FAO (2002) Organic agriculture is a holistic production management system which promotes and enhances agro-ecosystem health, including biodiversity, biological cycles and soil biological activity. It emphasises the use of management practices in preference to the use of off-farm inputs (...) This is accomplished by using, where possible, agronomic, biological, and mechanical methods, as opposed to using synthetic materials, to fulfil any specific function within the system." Pertanian organik merupakan salah satu bagian pendekatan pertanian berkelanjutan, yang di dalamnya meliputi berbagai teknik sistem pertanian, seperti tumpangsari (inter-cropping), penggunaan mulsa, penanganan tanaman dan pasca panen. Pertanian organik memiliki ciri khas dalam hukum dan sertifikasi, larangan penggunaan bahan sintetik, serta pemeliharaan produktivitas tanah.

Menurut Manguiat (1995), ada dua peristiwa penting yang menandai kelahiran paradigma baru sistem pertanian berkelanjutan. Peristiwa pertama


(29)

adalah laporan dari komisi dunia tentang lingkungan hidup dan pembangunan (World Commission on Environment and Development) pada tahun 1987, yang mendifinisikan dan mempromosikan paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Peristiwa kedua adalah konferensi Dunia di Rio de Janeiro pada tahun 1992, yang membahas Agenda 21 dengan mempromosikan program Sustainable Agriculture an Rural Development.

Sistem pertanian berkelanjutan dapat dilaksanakan dengan menggunakan beberapa macam model sistem. Salah satunya adalah sistem pertanian organik. Pengertian sistem pertanian organik menurut International Federation Of Organik Agriculture and Food (IOFAM) (2004) adalah sistem pertanian yang mengedepankan daur ulang unsur hara dan proses alami dalam pemeliharaan kesuburan tanah dan keberhasilan produksi. (IFOAM) lebih lanjut menyatakan bahwa pertanian organik bertujuan untuk: (1) menghasilkan produk pertanian yang berkualitas dengan kuantitas memadai, (2) membudidayakan tanaman secara alami, (3) mendorong dan meningkatkan siklus hidup biologis dalam ekosistem pertanian, (4) memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah jangka panjang, (5) menghindarkan seluruh bentuk cemaran yang diakibatkan penerapan teknik pertanian, (6) memelihara keragaman genetik sistem pertanian dan sekitarnya, dan (7) mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis yang lebih luas dalam sistem usaha tani.

Sistem pertanian organik bertujuan untuk meningkatkan produksi melalui proses pemupukan dan dalam pelaksanaannya tidak menggunakan bahan penunjang lain yang anorganik. Sistem ini menitikberatkan pada pertanaman polikultur, rotasi tanaman, pemanfaatan tanaman sisa, penggunaan pupuk kandang, pupuk hijau, pengolahan tanah yang tepat, serta pengendalian hama dan penyakit secara hayati (Sitanggang 1993).

Departemen Pertanian Amerika Serikat pada tahun1980 mengeluarkan definisi tentang pertanian organik sebagai berikut: Suatu sistem produksi yang menghindarkan atau sebagian besar tidak menggunakan pupuk sintetis, pestisida, hormon tumbuh, pakan ternak tanpa zat additive . Kelayakan yang maksimum dapat dicapai dengan menerapkan suatu sistem pertanian organik berdasar pada rotasi tanaman, residu tanaman, pupuk kandang, kacang-kacangan penutup tanah,


(30)

pupuk hijau-an, limbah organik dari luar sistem, budidaya secara mekanis, batuan alam, dan aspek pengendalian hayati. Kesemua aspek ini bertujuan untuk mempertahankan produktivitas tanah, mensuplai unsur hara bagi tanaman, dan mengontrol hama, gulma dan hama lainnya. Konsep tersebut juga meliputi serangkaian observasi dimana tanah sebagai bagian dari sistem kehidupan harus diberi asupan dengan cara membiarkan berkembangnya mikro organisma penting dalam recycle hara bagi tanaman dan menghasilkan humus.

Menurut Stockdale et al (2001) produksi tanaman di dalam pertanian organik dapat dikarakterisasikan dengan meningkatnya keragaman pola penanaman berdasarkan waktu dan luasan dibandingkan cara budi daya empat konvensional (menggunakan bahan anorganik). Di dalam pertanian organik bagaimana hubungan produksi tanaman dan kesehatan tanaman dijabarkan dalam bentuk diagram seperti yang terlihat pada Gambar 1. Tujuan diterapkannya keragaman genetik, pertama untuk menjalankan sistem dalam penyediaan bahan dan nutrisi organik. Kedua, memelihara kesehatan tanaman sehingga dapat menjaga produksi yang berkelanjutan.

Keuntungan yang diperoleh dari diterapkannya diversifikasi tanaman pada pertanian organik adalah :

1. meningkatkan jumlah dan komposisi tanaman yang dipanen 2. meningkatkan stabilitas panen

3. mengurangi serangan penyakit 4. mengurangi pemakaian pestisida 5. mengontrol gulma

6. mengurangi erosi tanah

7. recycle cadangan hara yang berada di tanah bagian dalam 8. transfer N dari spesies yang memfiksasi N


(31)

Pertanian organik secara ekonomis sangat menguntungkan dan secara ekologis dapat menjaga kelestarian lingkungan. Dilihat dari aspek sosial tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat serta secara teknik mudah untuk diterapkan oleh petani (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura 1993).

Menurut Sudana (2009) usaha pertanian organik harus dilakukan secara intensif dalam bentuk perusahan yang lengkap dengan struktur organisasinya serta jelas tugasnya dan dimanajemen dengan baik. Usaha tani yang dilengkapi dengan struktur organisasi dan manajemen yang baik akan dapat diefisiensikan secara optimal modal tetap (fixed cost) dan biaya produksi (variable cost) sehingga kuantitas dan kualitas produknya terjamin demikian juga kontinuitasnya. Pertanian organik perorangan sebenarnya dapat berkembang baik asalkan modal ditingkatkan sebesar 500 persen guna memenuhi modal tetap (fixed cost) untuk membuat green house, rumah plastik, sumur serta saluran/pipa irigasi serta biaya produksi untuk meningkatkan tenaga kerja dan pembelian bibit unggul. Peningkatan modal yang besar tersebut kemungkinan masalah hama dan penyakit


(32)

berkurang, mutu produksi meningkat secara kualitas dan kuantitas serta kontinuitasnya terjamin karena tidak lagi tergantung pada musim. Untuk hal ini sangat diperlukan bantuan pemerintah atau swasta memberikan kredit ringan pada pengusaha pertanian organik perorangan. Sebenarnya banyak petani konvensional yang ingin berubah menjadi petani organik, namun modal dan teknologi masih banyak belum dimiliki. Selain itu diperlukan usaha pemerintah atau swasta untuk mendirikan suatu lembaga sertifikasi, sehingga petani yang baru beralih ke pertanian organik mendapat kepercayaan dari konsumen jika telah memiliki sertifikat organik dari lembaga resmi.

Hasil penelitian Adiyoga (2002), mengemukakan meskipun usaha tani organik menunjukan perkembangan yang cukup baik, kontribusi terhadap produksi sayuran Indonesia masih sangat kecil yaitu kurang dari satu persen. Lebih lanjut Witono mengemukakan bahwa prospek pengembangan sayuran organik cenderung menjanjikan. Hal ini dapat dilihat dari belum terpenuhinya permintaan yang disebabkan keterbatasan pasokan.

Pertanian organik secara intersif pada tanaman hortikiulura di negara beriklim tropis agak kurang berkembang dibandingkan dengan Negara-negara beriklim sedang (temperate) ( Velenzuela, 1999).

Berkembangnya sistem pertanian input rendah merupakan teknik pertanian berkelanjutan dengan masukan sarana produksi rendah melalui penguasaan teknologi budidaya yang baik, seperti bibit berkualitas, pemupukan berimbang, penerapan pengendalian hama terpadu, dan pengaturan jarak tanam (Deptan, 2009).

Perubahan dari sistem usaha tani konvensional ke sistem usaha tani yang seimbang secara ekonomis, ekologis, dan sosial memerlukan suatu proses transisi, yaitu penyesuaian terhadap perubahan yang dilakukan secara sadar untuk membuat sistem usaha tani lebih seimbang dan berkelanjutan. Transisi berhubungan dengan tenaga kerja, lahan atau uang dan pengambilan resiko, sehingga dibutuhkan strategi yang sesuai dengan kondisi lahan pertaniannya. Dukungan, kepercayan diri, dan imaginasi, serta perbaikan pemasaran dan kebijakan harga yang cocok sangat diperlukan petani di dalam proses transisi ini (Reijntjes et al, 1994).


(33)

Beberapa kendala yang dihadapi dalam melakukan pertanian organik, diantaranya:

1. Adanya hama “transmigran” dari kebun yang nonorganik, sehingga

produktivitas lahan menjadi semakin rendah,

2. Akibat rendahnya produksi tidak bisa mengimbangi permintaan pasar yang ada.

3. Dalam pertanian organik yang murni disyaratkan tanah relatif masih

“perawan”, padahal penelitian menunjukkan bahwa tanah pertanian di

Indonesia sudah jenuh fosfat.

4. Pasar terbatas, karena produk organik hanya dikonsumsi oleh kalangan tertentu saja.

5. Kesulitan menggantungkan pasokan dari alam. Pupuk misalnya, harus mengerahkan suplai kotoran ternak dalam jumlah besar dan kontinu.

Budidaya Bawang Merah

Bawang merah (Allium ceppa Lin) merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang sejak lama diusahakan oleh petani secara intensif. Komoditas ini juga merupakan sumber pendapatan dan kesempatan kerja yang memberikan kontribusi cukup tinggi terhadap perkembangan ekonomi wilayah, karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi, maka pengusahaan budidaya bawang merah telah menyebar di hampir semua provinsi di Indonesia (Balitsa, 2005).

Tanaman bawang merah lebih baik tumbuh pada daerah beriklim kering, Tanaman ini peka terhadap curah hujan dan intensitas hujan yang tinggi, serta cuaca berkabut. Tanaman ini membutuhkan penyinaran cahaya matahari yang maksimal. Tanaman ini dapat membentuk umbi di daerah yang suhu udaranya rata-rata 22 derajat celcius, tetapi hasil umbinya tidak sebaik di daerah yang suhu udaranya lebih panas. Bawang merah akan membentuk umbi besar bilamana ditanam di daerah dengan penyinaran lebih dari 12 jam. Di bawah suhu udara 22 derajat selcius tanaman bawang merah tidak akan membentuk umbi (Rismunandar, 1986).

Bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan sejak lama yang telah lama diusahan oleh petani secara intensif. Komoditas ini juga merupakan sumber pendapatan bagi petani. Usaha tani bawang merah ini usaha


(34)

tani komersil yang memerlukan perlakuan intensif sehingga padat modal dan tenaga (Purmiyati 2002).

Tanaman bawang merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang memerlukan input sintesis yang tinggi. Penambahan input dari luar tentu akan berdampak buruk bagi lahan pertanian ke depannya, sehingga sistem budidaya yang ramah lingkungan dan berkelanjutan merupakan suatu hal yang mesti di kembangkan pada sistem pertanian ke depan.

Budidaya tanaman bawang merah di dalam perawatannya, sangat tergantung pada input dari luar, baik dalam penyediaan unsur hara maupun pengendalian organisme pengganggu tanaman. Dari hasil penelitian Balitsa, pemupukan bawang merah pada lahan bekas padi sawah di dataran rendah dengan menggunakan pupuk nitrogen sebanyak 200 sampai 300 kilogram yang dikombinasikan dengan pupuk pospat sebanyak 90 kilogram dan kalium sebanyak 50 sampai 150 kilogram per hektar. Pemupukan ini dilakukan secara bertahap (Balitsa 2005).

Hasil penelitian Sulistiyono (2002), mengungkapkan bahwa, intensitas penyemprotan tanaman bawang merah yang dilakukan oleh petani dikategorikan tinggi, dengan rata-rata 18,93 kali per tanam artinya penyemprotan dilakukan oleh petani pada kisaran 2 sampai 3 hari sekali penyemprotan. Di sini dapat dilihat adanya kecenderungan petani menggunakan pestisida berdasarkan sistem kalender. Penyemprotan pestisida dilakukan oleh petani dimulai saat sebelum tanam hingga dua atau empat hari menjelang panen.

Purmiyati (2002) mengungkapkan bahwa usaha tani bawang merah secara konvensional memerlukan perlakuan intensif, sehingga padat modal dan tenaga kerja. Secara umum usaha tani bawang merah di Kabupaten Brebes tidak efisien dalam penggunaan input karena nilai NPMxi/Pxi tidak sama dengan satu, sehingga produksi dan prosuktivitas optimal sulit dicapai.

Pada hasil penelitian Handayani (2007) “ Anasisis Keunggulan

Komparatif Dan Kompetitif Usaha Tani Bawang Merah Konvensional Dan Organik Di Kabupaten Brebes” juga menghasilkan kesimpulan yang serupa yaitu

pendapatan usaha tani bawang merah organik lebih besar jika dibandingkan dengan usaha tani bawang merah bawang merah. Pada usaha tani bawang merah


(35)

konvensional nilai R/C di atas biaya totalnya lebih besar dibandingkan dengan usaha tani bawang merah organik. Hal ini menunjukan bahwa usaha tani bawang merah organik lebih efisien jika dibandingkan dengan usaha tani konvensional.

Adopsi Inovasi

Masalah yang cukup mendasar yang dialami di negara-negara yang sedang berkembang adalah masalah proses transformasi melalui pengalihan, penerapan, dan pengembangan ilmu dan teknologi. Proses transformasi industry di dalam negara-negara terbelakang dapat dipandang sebagai proses pembangunan guna mencapai tujuan yang dicita-citakan (Hartomo & Aziz 1990).

Difusi inovasi menurut Rogers (1993) merupakan bentuk khusus komunikasi. Adapun yang menjadi ciri komunikasi adalah pesan-pesan yang disebarluaskan berisi ide-ide, atau praktik ataupun hal-hal baru. Difusi dapat diartikan sebagai proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu di kalangan warga dalam suatu sistem sosial. Pengkajian difusi adalah telaah tentang pesan - pesan yang bersifat inovatif (ide baru), sedangkan pengkajian komunikasi meliputi telaah terhadap semua bentuk pesan. Perbedaan lainnya adalah bahwa di dalam riset komunikasi, hanya memperhatikan pada perubahan sikap dan pengetahuan komunikan tanpa memperhatikan resiko terjadinya perubahan tingkah laku yang tampak dari komunikan, tetapi pada riset difusi, lebih mengarahkan perhatian pada perubahan tingkah laku yang tampak, dimana komunikan menyatakan menerima atau menolak inovasi yang diberikan, bukan sekedar perubahan sikap dan pengetahuan saja.

Terdapat empat unsur utama dalam difusi inovasi yaitu inovasi, saluran-saluran komunikasi, waktu dan sistem sosial.

Inovasi

Inovasi merupakan ide, praktik, atau obyek yang baru oleh suatu individu ataupun unit adopsi yang lain (misanya organisasi). Tidak begitu penting apakah suatu ide yang dimaksud memang benar-benar baru secara obyektif jika diukur menurut urutan waktu sejak hal itu pertama kali dipakai atau ditemukan.


(36)

Kebaruan menurut persepsi sesorang terhadap ide menetukan reaksi terhadap hal tersebut. Kalau ide tersebut tampak baru bagi seseorang, maka hal tersebut merupakan satu inovasi. Kebaruan inovasi baik masyarakat tidak hanya menyangkut pengetahuan baru karena bisa saja inovasi tersebut merupakan informasi lama namun masyarakat tersebut belum memutuskan sikap untuk menyukai dan tidak menyukainya ataupun untuk menerima atau menolaknya. Oleh karena itu, aspek kebaruan dalam satu inovasi terlihat dari pengetahuan, persuasi, atau suatu kepuasan untuk mengadopsi.

Saluran –saluran komunikasi

Komunikasi diartikan sebagai proses dimana partisipan menciptakan beberapa informasi dan menyebarkan informasi tersebut untuk mencapai suatu pengertian bersama. Difusi merupakan bentuk khusus dari komunikasi dimana informasi yang dipertukarkan menyangkut ide-ide baru. Inti dari difusi adalah pertukaran informasi dari satu individu ke individu lainnya, menyangkut :

a. suatu inovasi,

b. individu atau unit adopsi lain yang mengetahui atau berpengalaman menggunakan inovasi,

c. individu lain atau unit lain yang belum menggunakan inovasi, d. saluran komunikasi yang menghubungkan kedua belah pihak.

Saluran komunikasi merupakan alat dimana pesan dapat sampai dari individu ke individu lainnya. Sifat dari hubungan pertukaran informasi antar sepasang individu menentukan kondisi-kondisi di mana seorang sumber akan atau tidak akan menyampaikan inovasi ke penerima dan yang menentukan efek dari penyampaian tersebut. Prinsip yang mendasar dalam komunikasi adalah penyampaian ide terjadi antar dua individu yang memiliki kesamaan atau homofili. Homofili diartikan sebagai tingkat dimana pasangan individu yang berinteraksi adalah sama dalam atribut-atribut tertentu seperti keyakinan, pendidikan, status dan lainnya. Komunikasi akan berjalan efektif ketika dua individu homofilus.


(37)

Waktu

Waktu merupakan elemen terpenting dalam proses difusi. Dimensi waktu dalam proses difusi terkait dalam aspek berikut :

1. dalam proses keputusan inovasi dimana seseorang sejak pertama kali mengetahui inovasi sehingga menerima atau menolaknya

2. dalam keinovatifan seorang individu maupun unit adopsi, yakni dalam hal kecepatan atau kelambatan relatif dalam mengadopsi suatu inovasi dibandingkan dengan anggota lain dari suatu sistem

3. dalam sistem (rate of adoption) suatu inovasi di lingkungan suatu sistem, biasanya diukur melalui jumlah anggota sistem yang mengadopsi inovasi dalam jangka waktu tertentu.

Sistem sosial

Sistem sosial didefinisikan sebagai seperangkat unit yang saling berhubungan dan tergabung dalam upaya bersama memecahkan masalah untuk mencapai cita-cita bersama. Anggota atau unit sistem dapat berupa individu, kelompok informal, organisasi atau unit. Penting untuk dicatat bahwa difusi terjadi di lingkungan suatu sistem karena struktur sosial dari sistem berpengaruh pada difusi melalui beberapa cara. Sistem sosial membentuk batasan di lingkungan dimana satu inovasi menyebar.

Ketika pertama kali suatu inovasi disodorkan atau diperkenalkan kepada masyarakat, orang pada umunya memperhatikan hal-hal yang dapat membantu mempercepat proses penyebarannya. Dengan demikian inovasi tersebut perlu dikembangkan atau dimodifikasi agar dapat cepat diterima di masyarakat luas. Filgel dalam Muhadjir (2001) menyodorkan enam atribut untuk membuat keputusan mengadopsi suatu inovasi atau tidak yakni, biaya memadai, manfaat besar, efisiensi tinggi, resiko kecil, dan mudah dilaksanakan.

Gambar 2Tahap Penyebaran Inovasi (Rogers 1993) penyebaran

perubahan

menolak atau menerima

Legitimasi perubahan

privat atau publik Awal

perubahan

Penyaringan perubahan

mengimbangi atau menguatkan penyebaran


(38)

Penerimaan atau penolakan suatu inovasi adalah keputusan yang dibuat oleh seseorang. Jika ia menerima (mengadopsi inovasi), yaitu mulai menggunakan ide baru, praktek baru, atau barang baru itu dan menghentikan penggunaan ide-ide yang digantikan oleh inovasi itu. Keputusan inovasi adalah proses mental, sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambilnya keputusan untuk menerima atau menolaknya dan kemudian mengukuhkannya (Rogers 1993).

Proses Keputusan Inovasi

Di dalam pandangan tradisional mengenai proses keputusan inovasi, yang disebut proses adopsi dikemukakan oleh komisi-komisi ahli-ahli sosiologi pedesaan pada tahun 1955, proses ini terdiri dari lima tahap (Rogers dan Shoemaker 1981):

1. Tahap kesadaran, dimana seseorang mengetahui adanya ide-ide baru tetapi kekurangan informarmasi mengenai hal itu.

2. Tahap menaruh minat, dimana seseorang mulai menaruh minat terhadap inovasi dan mencari lebih lanjut informasi mengenai inovasi tersebut.

3. Tahap penilainan, dimana seseorang mengadakan penilaian terhadap ide baru itu dihubungkan dengan situasi dirinya saat ini dan masa mendatang dan menentukan mencobanya atau tidak.

4. Tahap percobaan, dimana seseorang menerapkan ide-ide baru itu dalam skala kecil untuk menentukan kegunaannya, apakah sesuai dengan situasi dirinya. 5. Tahap penerimaan, dimana seseorang menggunakan ide baru secara luas dan

secara tetap.

Rogers menyusun suatu model proses keputusan inovasi yang terdiri dari empat tahap, yaitu:

a. Pengenalan, dimana seseorang mengetahui adanya inovasi dan memperoleh, beberapa pengertian tentang bagaimana inovasi itu berfungsi.

b. Persuasi, dimana seseorang membentuk sikap berkenan atau tidak berkenan terhadap inovasi.

c. Keputusan, dimana seseorang terlibat dalam kegiatan yang membawanya pada pemilihan untuk menerima atau menolak inovasi.


(39)

Gambar 3 Proses keputusan inovasi (Rogers 1993)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Praktek Usahatani Karakteristik Petani

Sampson dalam Humaedah (2007), mengemukakan bahwa faktor internal individu merupakan ciri-ciri yang dimiliki oleh seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dengan lingkungannya. Karakteristik tersebut terbentuk oleh faktor-faktor biologis dan sosiopsikologis. Karaktersistik individu merupakan salah satu faktor penting untuk diketahui dalam rangka mengetahui perilaku suatu masyarakat.

Puttileihalat (2007), dalam hasil penelitiannya mengungkapkan karakteristik individu yang mempengaruhi perilaku komunikasi antara lain: umur, tingkat pendidikan, luas lahan, pangalaman berusaha tani, status pekerjaan.

a. Umur

Umur menggambarkan pengalaman dalam diri seseorang sehingga terdapat perbedaan keragaman perilaku berdasarkan usia yang dimiliki.

Adopsi Menolak Pengadopsian Terlambat Tetap menolak Terus mengadopsi Diskontinuiansi a.Ganti yang

baru b.Kecewa

Ciri-ciri inovasi dalam pengamatan penerima 1. Keuntungan telatif 2. Kompatibilitas 3. Kompleksitas 4. Trialabilitas 5. Observavilitas Variabel 1.Penerima(sikap terhadap perubahan), 2.Sifat-sifat sosial

(kekosmopolitan) 3.Kebutuhan nyata terhadap inovasi 4.Dan sebagainya

Pengenalan Persuasi Keputusan Konfirmasi

Sistem Sosial 1.Norma sosial, 2.Toleransi

terhadap perubahan 3.Kesatuan

komunikasi 4.Dan seterusnya

Implementas ii


(40)

petani yang berusia lebih tua tampaknya kurang cenderung melakukan difusi inovasi pertanian daripada mereka yang relatif muda. Petani yang berumur muda biasanya akan lebih bersemangat dibandingkan dengan petani yang lebih tua (Soekartawi 1988).

b. Pendidikan

Pendidikan merupakan suatu proses pembentukan watak seseorang sehingga memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku. Proses pembentukan watak terjadi karena adanya interaksi antara potensi yang dimiliki seseorang, lingkungan dan pendidikan/pengajaran (Yolanda 1998). Sukanto (2002) menyatakan bahwa pendidikan mengajarkan kepada individu aneka macam kemampuan, membuka fikiran ilmiah. Petani yang relatif lebih cepat dalam menerapkan hal-hal yang baru umumnya adalah petani yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi dari masyarakat sekitar, pandai dan pengetahuan luas.

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang. Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi umumnya lebih menyadari kebutuhan akan informasi, sehingga menggunakan lebih banyak jenis sumber informasi dan lebih terbuka terhadap media massa (Jahi, 1988).

Rukka (2003), pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat adopsi petani akan suatu inovasi. Rendahnya kualitas sumber daya manusia akan menyebabkan rendahnya motivasi petani di dalam menerapkan suatu teknologi baru.

Hasil penelitian Sadono (1999) mengatakan bahwa faktor internal yang berkorelasi nyata dengan tingkat penerapan pengendalian hama terpadu (PHT) adalah tingkat pendidikan dan persepsi petani terhadap PHT itu sendiri.

c. Luas kepemilikan lahan

Hernanto (1989) mengemukakan bahwa luas lahan usaha tani dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yakni lahan yang sempit dengan luas lahan kurang dari setengah hektar, lahan yang sedang dengan luas lahan setengah sampai dua hektar, dan lahan luas dengan luas lebih dari dua hektar. Sehubungan dengan Wiriaatmadja (1977) mengungkapkan bahwa petani-petani yang memiliki


(41)

tanah usaha yang luas akan memiliki sifat dan kegemaran untuk mencoba teknologi baru dan akan selalu berusaha sendiri mencari informasi yang dibutuhkan.

d. Pengalaman berusaha tani

Pengalaman merupakan interaksi yang dialami seseorang selama hidupnya dengan lingkungannya sehingga ia mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman tentang suatu kejadian. Semakin sesuainya pengalaman petani dengan suatu kejadian.

Pengalaman seseorang petani secara tidak langsung berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan. Petani yang memiliki penagalaman berusaha tani lebih lama senderung lebih selektif di dalam proses pengambilan keputusan (Mardikanto 1992).


(42)

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran

Sistem budidaya pertanian organik merupakan suatu sistem pertanian yang memperhatikan aspek-aspek keseimbangan ekosistem dengan melakukan praktek-pratek budidaya yang memanfaatkan sumberdaya lokal dengan input sintetis yang rendah. Penggunaan pupuk dan pestisida sintetis yang dilakukan selama ini telah menimbulkan permasalahan lingkungan dan juga permasalahan sosial yang kompleks. Di samping itu penggunaan input dari luar ini menyebabkan tingginya biaya produksi dan tingkat efisiensi produk yang rendah serta ketergantungan akan sarana produksi (pupuk, benih dan pestisida sintetis). Di Kabupatem Bantul khususnya di Kecamatan Sanden perkembangan sistem budidaya pertanian organik ini terasa masih sangat lambat yang disebabkan oleh banyak faktor. Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang di dalam melakukan/mengadopsi suatu inovasi. Individu satu dengan individu lainnya pun memiliki tingkat adopsi yang berbeda-beda tergantung dari faktor-faktor yang mendukung dan faktor penghambat, baik yang sifatnya dari dalam individu ataupun dari luar individu yang bersangkutan dan juga dipengaruhi oleh karakteristik inovasi itu sendiri.

Perilaku komunikasi merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi tinggi rendahnya seorang petani di dalam mengadopsi suatu teknologi. Perilaku komunikasi yang terdiri dari: keterdedahan petani akan media massa, keaktifan petani di dalam berinteraksi dengan individu-individu yang lebih memahami akan suatu teknologi, serta intensitas interaksi petani di dalam kelompoknya secara langsung mempengaruhi praktek usaha tani yang dilakukannya.

Adapun faktor lain yang mempengaruhi praktek pertanian organik yang dilakukan oleh petani adalah faktor penilaian petani akan teknologi pertanian organik itu sendiri yang memiliki peranan penting di dalam praktek usaha pertanian organik oleh petani, seperti tingkat keuntungan yang diperoleh, kemudahan untuk diterapkan, kecocockan dengan kebutuhan, kemudahan untuk dicoba dan juga diamati akan menjadi pertimbangan petani untuk menerapkan praktek usaha tani organik itu sendiri.


(43)

Sebagai dampak (outcome) dari penerapan/praktek budidaya pertanian organik pada akhirnya adalah adanya kemandirian petani itu di dalam mendapatkan sarana-sarana produksi yang meliputi kemandirian akan benih, pupuk serta pestisida disetiap masa kegiatan usaha taninya. Kemandirian petani di dalam usaha tani ini tentu menyebabkan meningkatnya bargaining position petani yang selama ini menjadikan petani sebagai objek penderita dari setiap pembangunan.

Berdasarkan uruaian di atas maka secara skematis dapat digambarkan kerangka pemikian sebagai berikut:


(44)

Gambar 4. Kerangka pemikiran perilaku komunikasi petani organik.

Praktek Usaha Tani(Output) (Y1) Y1.1 Pemanfaatan Pupuk

Y1.2 Pemanfaatan Pestisida Perilaku Komunikasi (X2)

(Pencarian info pertanian organik) X2.1 Keterdedahan pada media massa X2.2 Keterlibatan/kontak interpersonal

dengan fasilitator/LSM X2.3 Interaksi dalam kelompok tani

Penilaian petani terhadap teknologi (X3) X3.1 Keuntungan relatif

X3.2 Kompatibilitas X3.3 Kompleksitas X3.4Triabilitas X3.5 Observabilitas

Kemandirian Petani(Outcome) (Y2) Y2.1 Akses Pupuk Y2.2 Akses pestisida

Karakteristik Petani (X1) X3.1 Pengalaman

X3.2 Luas Lahan X3.3 Pendapatan X3.4 Pendidikan


(45)

Hipotesis

H1 :Terdapat hubungan antara karakteristik petani dengan praktek pertanian organik.

H2 :Terdapat hubungan antara perilaku komunikasi petani dalam mencari informasi pertanian organik dengan praktek pertanian organik.

H3 :Terdapat hubungan antara penilaian petani akan teknologi pertanian organik dengan praktek pertanian organik.

H4 :Terdapat hubungan antara praktek usaha tani petani dengan tingkat kemandirian petani akan pupuk dan pestisida.

Apabila hasil statistik menunjukan bahwa adanya hubungan yang nyata pada taraf alfa 10 persen maka hipotesis tersebut diterima, sebaliknya apabila hubungan antara peubah yang diteliti tidak menunjukan adanya hubungan yang nyata pada alfa 10 persen maka hipotesis tersebut ditolak.


(46)

METODE PENELITIAN

Desain Penelitian

Penelitian ini dirancang sebagai penelitian survey yang bersifat

explanatory research yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengevaluasi dengan menjelaskan hubungan antar variable-variabel melalui pengujian hipotesa (Singarimbun & Effendy 1989). Penelitian ini berisikan uraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungannya antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan Metode penelitian survei merupakan metode pelaksanaan penelitian suatu informasi yang dikumpulkan dari responden dengan menggunakan kuisioner, dengan dibatasi pada pengertian survei sampel sebagai informasi dari sebagian populasi yang mewakili seluruh populasi yang ada.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengumpulan data di lapangan dilaksanakan selama dua bulan terhitung dari Bulan April sampai dengan Bulan Mei. Lokasi tempat penelitian ini adalah di Desa Srigading Kecamatan Sanden. Dalam penelitian ini pemilihan lokasi ditentukan secara purposif atau secara tersengaja dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut merupakan salah satu daerah sentra bawang merah organik di Kabupaten Bantul.

Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi merupakan jumlah keseluruhan dari unit-unit analisis yang memiliki cirri-ciri yang akan diduga. Populasi pada penelitian adalah seluruh petani yang mengusahakan usaha tani bawang merah yang tergabung dalam gabungan kelompok tani (Gapoktan) Desa Srigading Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul. Dalam penelitian ini populasinya adalah seluruh anggota gabungan kelompok tani yang berada di Desa Srigading. Kelompok tani yang ada di Desa Srigading ini terdiri dari 12 kelompok tani yang tergabung dalam satu gapoktan Desa Srigading. Total dari anggota Gapoktan di Desa Srigading ini adalah sebanyak 1150 petani.


(47)

Sampel adalah sebagian dari populasi yang diambil secara representatif untuk mewakili populasi yang ada. Adapun penentuan sampel dilakukan secara

random sampling (acak sederhana), Seluruh populasi (petani bawang yang tergabung dalam kelompok tani di Desa Srigading) Di daftar dan di lakukan pengambilan secara acak. Kondisi masyarakat yang relatif homogen dan kondisi geografis yang relatif sama memungkinkan pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan jumlah yang relative kecil. Penentuan responden secara simple random sampling yaitu sejumlah 30 responden dari populasi.Untuk pengambilan sampel ini seluruh populasi yang ada didata dan kemudian diambil sebanyak 30 sampel, dimana setiap anggota populasi memiliki ksempatan yang sama untuk dipilih.

Data dan Instumentasi

1. Jenis Data

a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dengan cara menggali secara langsung melalui teknik wawancara secara terstruktur kepada responden dengan alat bantu kuesioner, panduan wawancara (interview guide), penelusuran observasi yaitu pengamatan secara langsung ke lahan pertanian mengamati kegiatan petani. Alat bantu kuesioner yang digunakan di dalamnya penelitian ini berisi pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan peubah-peubah yang akan diteliti dalam penelitian ini. Instrumen di dalam penelitian ini berupa pertanyaan-pertanyaan baik yang terbuka ataupun tertutup yang berhubungan dengan peubah-peubah yang diamati dalam penelitian. Instrumen ini terdiri dari beberapa bagian, yaitu:

1. Pertanyaan tentang karakteristik individu petani, 2. Pertanyaan tentang perilaku komunikasi,

3. Pertanyaan tentang karakteristik inovasi

4. Pertanyaan tentang praktek usaha pertanian organik, 5. Pertanyaan tentang kemandirian petani

b. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari instansi-instansi yang berhubungan dengan penelitian dan juga hasil kajian pustaka yang dianggap


(48)

relevan dengan penelitian ini, meliputi : keadaan penduduk, mata pencaharian penduduk, keadaan geografis, dan sebagainya.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan :

a. Wawancara yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara langsung bertanya dan bertatap muka antara penanya dengan responden(petani bawang merah) dengan panduan daftar pertanyaan (kuesioner). Data yang diperoleh ini nantinya dipergunakan sebagai data primer.

b. Observasi yaitu melakukan pengamatan langsung ke lahan pertanian untuk melihat dan mengetahui secara langsung berbagai macam aktifitas petani di lahan pertanian.

c. Pencatatan dan kajian pustaka yaitu mencatat data yang diperlukan serta ada hubungannya dengan penelitian ini yang telah ada di instansi-instansi ataupun sumber-sumber informasi baik dalam bentuk hardcopy ataupun softcopy. Data yang diperoleh dipergunakan sebagai data sekunder.

Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan spesifikasi kegiatan penelitian dalam mengukur suatu peubah atau memanipulasinya atau dapat diatrikan juga sebagai meletakkan arti dalam suatu konstruk atau peubah dengan cara menetapkan kegiatan atau tindakan-tindakan yang perlu untuk mengukur konstruk atau peubah itu. Definisi operasional diambil dari beberapa sumber sebagai acuan.

Tabel 1. Variabel, definisi operasional, indikator, dan pengukuran

Variabel Definisi Operasional

Indikator Pengukuran Karakteristik individu (X1)

Tingkat pendidikan Lamanya petani mendapatkan atau mengikuti pendidikan formal.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh responden yang dikategorikan ke dalam tiga kategori yaitu : tinggi, sedang, dan rendah.

Pernyataan responden berkaitan dengan jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh responden yang dikategorikan ke dalam tiga kategori yaitu: Rendah: SD - SLTP, Sedang: SLTA, dan Tinggi : Sarjana.


(1)

Lampiran 3. Uji reliabilitas dan validitas

1.

Keterdedahan Media

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items

.977 6

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted

Media1 10.9000 29.878 .979 .967

Media2 11.0000 31.333 .962 .969

Media03 11.2000 32.622 .923 .973

Media4 10.9000 29.878 .979 .967

Media5 11.0000 31.556 .941 .971

Media6 11.0000 32.444 .778 .987

2.

Kontak Interpersonal

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items

.809 6

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted

interpersonal1 11.4000 12.933 .401 .812

interpersonal2 11.7000 12.233 .352 .824

interpersonal3 11.3000 11.344 .565 .781

interpersonal4 11.1000 9.433 .687 .751

interpersonal5 11.5000 10.500 .685 .754


(2)

3.

Interaksi dalam kelompok

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items

.772 6

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted

interaksi1 14.8000 7.289 .000 .804

interaksi2 14.3000 5.344 .311 .811

interaksi3 14.1000 4.989 .441 .768

interaksi4 13.6000 4.711 .793 .666

interaksi5 13.6000 4.711 .793 .666

interaksi6 13.6000 4.711 .793 .666

4.

Keuntungan relatif

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items

.860 12

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted

VAR00001 37.2000 37.511 .815 .850

VAR00002 38.0000 32.889 .528 .852

VAR00003 37.8000 31.733 .663 .840

VAR00004 37.9000 31.211 .736 .833

VAR00005 37.3000 34.456 .796 .837

VAR00006 37.5000 36.278 .475 .853

VAR00007 37.9000 38.100 .125 .882

VAR00008 37.5000 34.278 .585 .846

VAR00009 37.3000 38.011 .496 .855

VAR00010 37.9000 36.322 .402 .857

VAR00011 38.0000 32.667 .733 .835


(3)

5.

Kompatibilitas

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items

.947 12

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted

kompatibilitas1 37.4000 79.156 .569 .948

kompatibilitas 37.2000 77.733 .670 .945

kompatibilitas3 37.1000 77.878 .845 .942

kompatibilitas4 37.3000 74.233 .790 .941

kompatibilitas5 37.5000 72.722 .661 .948

kompatibilitas6 38.1000 74.544 .625 .948

kompatibilitas7 37.3000 73.344 .848 .940

kompatibilitas8 37.1000 72.100 .956 .936

kompatibilitas9 37.3000 72.678 .892 .938

kompatibilitas10 38.0000 75.333 .598 .949

kompatibilitas11 37.4000 73.822 .822 .940

kompatibilitas12 37.1000 72.100 .956 .936

6.

Kompleksitas

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items

.951 12

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted

kompleksitas1 39.7000 42.678 .056 .962

kompleksitas2 40.0000 31.556 .977 .940

kompleksitas3 39.9000 34.767 .959 .941

kompleksitas4 40.1000 37.656 .585 .953

kompleksitas5 39.8000 35.511 .895 .943

kompleksitas6 39.8000 35.511 .895 .943

kompleksitas7 39.8000 41.956 .156 .961

kompleksitas8 40.1000 35.433 .870 .944

kompleksitas9 40.0000 34.889 .931 .942

kompleksitas10 39.9000 34.767 .959 .941

kompleksitas11 39.7000 36.233 .858 .944

kompleksitas12 39.7000 36.233 .858 .944


(4)

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items

.914 12

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted

trialabilitas1 39.1000 26.767 .714 .904

trialabilitas2 39.2000 23.067 .915 .893

trialabilitas3 38.9000 30.989 .236 .921

trialabilitas4 39.1000 25.211 .955 .892

trialabilitas5 39.2000 25.511 .919 .894

trialabilitas6 39.1000 26.322 .781 .901

trialabilitas7 38.8000 30.622 .362 .917

trialabilitas8 39.1000 31.433 .132 .925

trialabilitas9 39.2000 25.511 .919 .894

trialabilitas10 39.0000 26.000 .841 .898

trialabilitas11 39.1000 26.767 .714 .904

trialabilitas12 38.8000 31.956 .075 .925

8.

Observabilitas

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items

.735 12

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted

observabilitas1 37.8000 13.289 .188 .736

observabilitas2 38.2000 9.956 .816 .648

observabilitas3 38.4000 9.156 .894 .625

observabilitas4 38.1000 11.656 .391 .715

observabilitas5 38.9000 12.767 .303 .726

observabilitas6 38.1000 10.767 .599 .683

observabilitas7 38.1000 11.656 .587 .694

observabilitas8 38.0000 11.111 .524 .695

observabilitas9 38.1000 11.656 .587 .694

observabilitas10 38.3000 16.011 -.401 .832

observabilitas11 37.7000 13.344 .260 .731


(5)

Lampiran 4. Uji tau kendal variabel karakteristik individu dengan praktek

usaha tani organik

Adopsipupuk AdopsiPHT

Kendall's tau_b Pengalaman Correlation Coefficient .389* -.008

Sig. (2-tailed) .020 .963

N 30 30

Pendidikan Correlation Coefficient .554** .025

Sig. (2-tailed) .001 .884

N 30 30

Pendapatan Correlation Coefficient .358* .327

Sig. (2-tailed) .036 .060

N 30 30

LuasLahan Correlation Coefficient .577** .293

Sig. (2-tailed) .001 .091

N 30 30

Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Uji tau kendal variabel karakteristik inovasi dengan praktek usaha tani

organik

pupukorganik pestisidanabati

Kendall's tau_b

keuntunganrelatif Correlation Coefficient .251 .045

Sig. (2-tailed) .101 .774

N 30 30

kompatibilitas Correlation Coefficient .243 .216

Sig. (2-tailed) .108 .160

N 30 30

kompleksitas Correlation Coefficient -.003 -.029

Sig. (2-tailed) .984 .854

N 30 30

trialabilitas Correlation Coefficient .236 .149

Sig. (2-tailed) .117 .329

N 30 30

observabilitas Correlation Coefficient -.091 .102

Sig. (2-tailed) .554 .512

N 30 30


(6)

Uji Tau Kendal Perilaku Komunikasi Dengan Praktek Usaha Tani Organik

Adopsipupukorganik adopsipestidahayati Kendall's

tau_b

keterdedahanmedia Correlation Coefficient .283 .164

Sig. (2-tailed) .064 .293

N 30 30

kontakinterpersonal Correlation Coefficient .361* .281

Sig. (2-tailed) .016 .065

N 30 30

interaksikelompok Correlation Coefficient .173 .274

Sig. (2-tailed) .254 .076

N 30 30

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Uji tau kendal variabel praktek usaha pertanian organik dengan

kemandirian petani

kemandirianpupuk kemandirianPHT

pupukorganik Correlation Coefficient .201 .140

Sig. (2-tailed) .223 .418

N 30 30

pestisidahayati Correlation Coefficient .148 .682**

Sig. (2-tailed) .379 .000

N 30 30