Analisis Relasi Sosial antara Warga Masyarakat dengan Para Pemangku Kepentingan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Terkait Akses Sumberdaya Hutan Lokapurna

i

ANALISIS RELASI SOSIAL ANTARA WARGA MASYARAKAT DENGAN PARA
PEMANGKU KEPENTINGAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK
TERKAIT AKSES SUMBERDAYA HUTAN LOKAPURNA

MELISA ANJANI PUSPITASARI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA


Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Analisis Relasi
Sosial antara Warga Masyarakat dengan Para Pemangku Kepentingan Taman
Nasional Gunung Halimun Salak terkait Akses Sumberdaya Hutan Lokapurna,”
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbingan dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013

Melisa Anjani Puspitasari
NIM I34090055

iv

ABSTRAK
MELISA ANJANI PUSPITASARI. Analisis Relasi Sosial antara Warga
Masyarakat dengan Para Pemangku Kepentingan Taman Nasional Gunung

Halimun Salak Terkait Akses Sumberdaya Hutan Lokapurna. Dibimbing oleh
RINA MARDIANA
Penelitian ini bertujuan untuk, pertama, menelaah riwayat dan dinamika
perubahan akses warga masyarakat terhadap kawasan hutan Lokapurna. Kedua,
menganalisis pengaruh perubahan relasi sosial antara warga masyarakat dengan
para pemangku kepentingan kawasan hutan Lokapurna, Taman Nasional Gunung
Halimun Salak. Penelitian dilakukan dengan metode survei yang didukung dengan
data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama, kawasan hutan
Lokapurna telah mengalami tiga kali perubahan status dan fungsi hutan. Dari
common pool state property (hutan lindung) berubah menjadi common pool
private property (hutan produksi Perhutani), dan sekarang kembali menjadi
common pool state property (taman nasional). Kedua, relasi antara masyarakat
dengan pemangku kepentingan lain berada pada tipe “marginal”. Kondisi ini
mencerminkan bahwa di mata masyarakat baik potensi kerjasama maupun tingkat
ancaman pemangku kepentingan tergolong sedang.
Kata kunci: Relasi sosial, akses, pemangku kepentingan, common property
resource
ABSTRACT
MELISA ANJANI PUSPITASARI. The Social Relations Analysis between Local
Community and the Stakeholders of Mount Halimun Salak National Park with

regards to Access over Lokapurna’s Forest Resource. Supervised by RINA
MARDIANA.
The objectives of this research is, firstly, to analyze the history and dynamics of
the access of local community over Lokapurna’s forest area. Secondly, to analyze
the effect of changing social relations between local community and the
stakeholders of Lokapurna’s forest of the Gunung Halimun Salak National Park.
A survey method supported with qualitative data is applied. The results show that,
first, up to present, the governance regime and property right of Lokapurna’s
forest has been changing three times. Initially, the Lokapurna’s forest classified as
protection forest of common pool state property, then changes to production forest
of common pool private property, and lastly became conservation forest or
national park of common pool state property. Second, the social relations between
local community and their stakeholders are classified as “marginal”. The local
community viewed the opportunity of cooperation and threat from their
stakeholder as medium level.
Keywords: social relations, access, stakeholders, and common property resource.

v

ANALISIS RELASI SOSIAL ANTARA WARGA MASYARAKAT DENGAN PARA

PEMANGKU KEPENTINGAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK
TERKAIT AKSES SUMBERDAYA HUTAN LOKAPURNA

MELISA ANJANI PUSPITASARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

vi

Judul Skripsi


Nama
NIM

Analisis Relasi Sosial antara Warga Masyarakat dengan Para
Pemangku Kepentingan Taman Nasional Gunung Halimun
Salak Terkait Akses Sumberdaya Hutan Lokapurna
Melisa Anjani Puspitasari
134090055

Disetujui oleh

Rina Mardiana 1 SP., M .Si.
Pembimbing

Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS .
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

0 1 AiJ 2 13


vii

Judul Skripsi

Nama
NIM

: Analisis Relasi Sosial antara Warga Masyarakat dengan Para
Pemangku Kepentingan Taman Nasional Gunung Halimun
Salak Terkait Akses Sumberdaya Hutan Lokapurna
: Melisa Anjani Puspitasari
: I34090055

Disetujui oleh

Rina Mardiana, SP., M.Si.
Pembimbing

Diketahui oleh


Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

viii

PRAKATA

Puji Syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya yang luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Analisis Relasi Sosial antara Warga Masyarakat dengan
Para Pemangku Kepentingan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Terkait
Akses Sumberdaya Hutan Lokapurna” dengan baik. Penulisan skripsi ini
dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan kelulusan di Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan

terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tugas
skripsi ini, diantaranya:
1. Rina Mardiana, SP., M.Si dan Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS selaku dosen
pembimbing skripsi yang telah memberikan waktu dan bimbingan serta
saran selama proses penulisan sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan baik.
2. Ibunda tercinta Eka Sulistiyani dan ayahanda MS. Supriadi, selaku orang
tua tercinta atas doa terbaiknya serta Nindya Dwikartika, Olivia
Damayanti dan Aditya Putra Ramadhan selaku adik-adikku tersayang yang
telah memberikan dorongan semangat kepada penulis.
3. Bapak Abdul Malik dan Ibu Siti yang telah membantu dan memberikan
masukan selama penulis berada di lapangan.
4. Sahabat terbaikku Arif Irawan dan Aniyati Wibawati yang selalu
memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis sehingga
terselesaikannya skripsi ini.
5. Sahabat terbaikku di Departemen SKPM 46 yaitu Tanti Ningsih, Marwah
Rahayu M, Lorenza, Vici, Ema H, Nurcholilah J, Karina H, Santi Arisona,
Lansa Sofia S, dan Siska Oktavia yang selalu menjadi sahabat selama
penulis menimba ilmu di IPB.
6. Rekan UKF, Eco Agrifarma, Taekwondo IPB, Sanggar Juara untuk

mengasah softskill organisasi dan manajemen serta pengalaman luar biasa
kepada penulis.
7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
membantu doa, semangat dan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik. Akhir kata, semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan memberikan inspirasi sebagai
alternatif solusi konflik sosial terkait sumberdaya alam.
Bogor, Juli 2013

Melisa Anjani Puspitasari

ix

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN

vi

vi
vi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian

1
2
2
2

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Definisi Sumberdya Alam
Definisi Taman Nasional
Definisi Pemangku Kepentingan
Pemangku Kepentingan Taman Nasional

Definisi Hak atas Properti (Properti Right) dan Akses
Relasi antara Pemangku Kepentingan
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Definisi Operasional

3
3
3
4
4
5
6
7
7
8

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Pendekatan dan Metode Pengambilan Sampel
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengolahan dan Analisis Data

11
11
11
12

GAMBARAN UMUM DESA GUNUNG SARI
Kondisi Geografis, Ekologis, dan Demografis
Kondisi Sosial

13
14

AKSES SUMBERDAYA HUTAN DI KAWASAN LOKAPURNA,
TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK
Sejarah Kawasan TNGHS: Tinjauan Aspek Properti
Pemangku Kepentingan Kawasan Hutan Lokapurna TNGHS
Akses Masyarakat terhadap Kawasan Lokapurna TNGHS
Ikhtisar

17
18
19
20

RELASI ANTARA WARGA MASYARAKAT DENGAN PARA
PEMANGKU KEPENTINGAN YANG LAIN
Pandangan Masyarakat terhadap Pemangku Kepentingan Lain: Aspek
Ancaman terhadap Akses Masyarakat ke dalam Kawasan Hutan
Pandangan Masyarakat terhadap Pemangku Kepentingan Lain: Aspek

21
22

10

Kerjasama
Karakter Pemangku Kepentingan Lain di Mata Masyarakat
Ikhtisar

23
24

PENUTUP
Simpulan
Saran

25
26

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

27
31
49

11

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5
6.
7.

Jumlah dan presentase penduduk Desa Gunung Sari Kecamatan
Pamijahan tahun 2012
Luas lahan menurut jenis pemanfaatannya di Desa Gunung Sari
Tingkat pendidikan Desa Gunung Sari
Kepentingan utama para pihak dalam pengelolaan kawasan Lokapurna,
Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Indeks akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan di kawasan
Lokapurna, Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Pandangan masyarakat terhadap para pemangku kepentingan lain
dalam aspek ancaman
Pandangan masyarakat terhadap para pemangku kepentingan lain
dalam aspek kerjasama

13
14
15
18
19
21
23

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.

Managing stakeholder: type and strategies
Kerangka pemikiran
Mata pencaharian penduduk di Desa Gunung Sari
Modifikasi matriks Savage et al (1991) untuk menganalisis kategori
pemangku kepentingan di hutan Lokapurna TNGHS

7
8
14
24

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.

Kuesioner
Hasil pengolahan data
Peta wilayah penelitian
Responden hasil accidental sampling
Dokumentasi

31
39
46
47
48

12

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kontribusi industri perkayuan terhadap pendapatan nasional mencapai 20
persen dalam beberapa dekade terakhir dan memberikan kesempatan kerja yang
luas. Keadaan seperti itu menjadikan hutan sebagai salah satu sumberdaya yang
sangat penting keberadaannya bagi manusia. Tidak hanya dari segi ekonomi yang
dapat mendatangkan devisa bagi negara, tetapi juga berperan dalam menopang
kehidupan masyarakat sehari-hari 1 . Dalam skala kecil, hutan berperan penting
sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat setempat yang memperoleh
pendapatannya dari hasil hutan terutama dari hasil hutan non-kayu seperti rotan,
damar, tanaman obat, dan sebagainya. Selain itu hutan seringkali dijadikan tempat
berbagai kegiatan ritual dan kerohanian oleh masyarakat setempat (McCarthy
2002)2. Melimpahnya sumberdaya hutan juga menyebabkan banyak pihak dengan
aneka kepentingan untuk terlibat dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Penetapan
kawasan konservasi merupakan salah satu cara agar dapat menjamin sumberdaya
hutan tersebut tetap terjaga kelestariannya.
Mengacu kepada UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya, kawasan konservasi dibagi menjadi dua, yaitu
Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Kawasan
konservasi yang paling terkenal adalah taman nasional yang termasuk ke dalam
KPA, dengan fungsinya yaitu sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa serta kawasan
pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
(Ngadiono 2004).
Perubahan status fungsi hutan seringkali juga menyebabkan terjadinya
perubahan relasi diantara pemangku kepentingan yang terlibat di dalam suatu
kawasan. Keadaan seperti ini juga terjadi di wilayah Lokapurna. Lokapurna
merupakan suatu kawasan di Desa Gunung Sari yang masuk ke dalam wilayah
perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) pada tahun 2003.
Sejak perubahan status tersebut, selain menyebabkan akses masyarakat terhadap
sumberdaya hutan semakin terbatas, tetapi juga menyebabkan para pemangku
kepentingan yang terlibat seperti masyarakat, pemerintah desa, organisasi lokal,
dan Balai Taman Nasional membentuk suatu relasi baru untuk membicarakan
perihal kebijakan yang berlaku terhadap sumberdaya hutan.
Penelitian ini dipandang penting dilakukan karena sejak kawasan hutan
Lokapurna menjadi bagian dari kawasan TNGHS, analisis relasi sosial antara
komunitas lokal dengan para pemangku kepentingan belum pernah dilakukan oleh
para peneliti di kawasan ini. Padahal analisis relasi sosial dikalangan pemangku
kepentingan sangat dibutuhkan untuk melihat sejauh mana relasi yang terjadi
diantara masyarakat dengan pemangku kepentingan lain bersifat mendukung atau
sebaliknya, menegasikan fungsi konservasi taman nasional.
1
2

Menurut Kartodihardjo (1999) dalam Yasmi et al (2005)
Dirujuk dari Yasmi et al (2005)

2

Masalah Penelitian
Mengingat alasan yang telah dikemukakan, masalah penelitian dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana riwayat akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan di
kawasan Lokapurna? Apakah mereka telah mengakses hutan Lokapurna
jauh sebelum kawasan hutan tersebut berubah menjadi atau menjadi
bagian dari kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak?
2. Dengan berubahnya status kawasan hutan produksi Lokapurna menjadi
kawasan konservasi, maka sejauh mana warga masyarakat memandang
pemangku kepentingan yang baru (diantaranya Balai TNGHS) sebagai
pihak yang dapat diajak bekerjasama dalam melindungi, menjaga, dan
memanfaatkan kawasan hutan? atau sebaliknya, warga memandang para
pemangku kepentingan yang baru tersebut merupakan ancaman terhadap
akses mereka ke kawasan hutan?
Atas dasar dua masalah penelitian tersebut selanjutnya ditetapkan tujuan
penelitian skripsi ini sebagai berikut.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1. Menelaah riwayat dan dinamika perubahan akses komunitas masyarakat
terhadap kawasan hutan Lokapurna yang sekarang telah menjadi bagian
kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
2. Menganalisis pengaruh perubahan relasi sosial antara warga masyarakat
dengan para pemangku kepentingan Taman Nasional Gunung Halimun
Salak terhadap perlindungan dan pemanfaatan berkelanjutan kawasan
hutan Lokapurna, sebagai akibat berubahnya struktur akses warga
masyarakat
Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi akademisi, diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi
dan pengetahuan mengenai analisis relasi antara masyarakat dengan
pemangku kepentingan terkait akses sumberdaya hutan di kawasan
Lokapurna, Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
2. Bagi pemerintah, diharapkan dapat mengambil tindakan yang tepat dalam
mengatasi permasalahan yang timbul terkait relasi yang terjadi antara
masyarakat dengan pemangku kepentingan di kawasan Lokapurna, Taman
Nasional Gunung Halimun Salak.
3. Bagi masyarakat, diharapkan penelitian ini dapat menjadi masukan bagi
masyarakat untuk membangun relasi sosial yang sesuai untuk
perlindungan dan pemanfaatan berkelanjutan kawasan hutan Lokapurna,
Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

3

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Sumberdaya Alam
Pengertian sumber daya alam menurut Bastian (2012) yaitu sesuatu yang
ada di alam yang berguna dan mempunyai nilai dalam kondisi dimana kita
menemukannya. Tidak dapat dikatakan sumberdaya alam (SDA) apabila sesuatu
yang ditemukan tidak diketahui kegunaannya sehingga tidak mempunyai nilai,
atau sesuatu yang berguna tetapi tidak tersedia dalam jumlah besar dibanding
permintaannya sehingga ia dianggap tidak bernilai. Secara ringkasnya, sesuatu
dikatakan SDA apabila memenuhi 3 syarat yaitu: sesuatu itu ada, dapat diambil,
dan bermanfaat. Dengan demikian, pengertian SDA mempunyai sifat dinamis,
dalam arti peluang sesuatu benda menjadi sumberdaya selalu terbuka. Pemahaman
mengenai SDA akan semakin jelas jika dilihat menurut jenisnya. Berdasarkan
wujud fisiknya, SDA dapat dibedakan menjadi 4 jenis yaitu: sumberdaya
lahan/tanah, sumberdaya hutan, sumberdaya air, dan sumberdaya mineral.
Taman Nasional
Taman nasional merupakan bagian dari wilayah hutan konservasi, dimana
hutan konservasi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 10/2010 diartikan sebagai
kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok
pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Sementara
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-II/2006, memaparkan bahwa
taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam baik daratan maupun
perairan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang
dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang
budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi.
Fungsi taman nasional sendiri menurut Ngadiono (2004) adalah sebagai
kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keragaman jenis
tumbuhan dan satwa serta kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya
alam hayati dan ekosistemnya. Taman Nasional Gunung Halimun ditetapkan
berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 288/Kpts/II/1992 dan SK nomor
282/KP/H-II/1992 tanggal 26 Februari 1992 dengan luas 40 000 ha. Kawasan ini
sebelumnya merupakan hutan lindung dengan luas 39 941 ha yang ditetapkan
pada masa pemerintah Belanda (1924-1939).
Selanjutnya berdasarkan SK Menteri Pertahanan nomor 40/Kpts/Um/1997
tanggal 11 Januari 1997, kawasan ini diubah statusnya dan ditetapkan sebagai
cagar alam. Kemudian pada tahun 2003, diterbitkan Keputusan Menteri
Kehutanan nomor 175/Kpts-II/2003 tentang penunjukan kawasan Taman Nasional
Gunung Halimun dan kelompok Hutan Gunung Salak seluas 113 357 ha di
Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten menjadi Taman Nasional Gunung
Halimun Salak.

4

Pemangku Kepentingan (Stakeholders)
Dalam skripsi ini pemangku kepentingan merupakan terjemahan dari
stakeholders. Untuk selanjutnya akan terus digunakan istilah pemangku
kepentingan. Freeman (1984) dalam Fontaine et al. (2006) menyatakan definisi
pemangku kepentingan adalah kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi
atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan organisasi.
Adapun definisi pemangku kepentingan yang lain menurut Gonsalves et al.
(2005) dalam Iqbal (2007) yaitu, siapa yang memberi dampak dan/atau siapa yang
terkena dampak kebijakan, program, dan aktivitas pembangunan. Mereka bisa
laki-laki atau perempuan, komunitas, kelompok sosial ekonomi, atau lembaga
dalam berbagai dimensi pada setiap tingkat golongan masyarakat. Setiap
kelompok ini memiliki sumberdaya dan kebutuhan masing-masing yang harus
terwakili dalam proses pengambilan keputusan dalam kegiatan pembangunan.
Pemangku Kepentingan Taman Nasional
Ada banyak pemangku kepentingan yang terlibat dalam kawasan taman
nasional, baik itu atas nama kelompok ataupun individu. Di setiap kawasan taman
nasional, jenis dan jumlah pemangku kepentingan yang terlibat tidak selalu sama.
Berikut di bawah ini adalah para pemangku kepentingan yang sering terlibat
dalam kawasan taman nasional, diantaranya:
1. Masyarakat
Ostrom (1992) dalam Fuad dan Maskanah (2000) menyatakan, masyarakat
adalah sekelompok orang yang terikat oleh suatu kepercayaan-kepercayaan, nilainilai, norma-norma, dan preferensi-preferensi yang mengatur tindakan kolektif,
anggota kelompoknya relatif stabil, interaksi antar anggota kelompok diharapkan
berlangsung terus-menerus, dan relasi-relasi yang terjadi bersifat langsung dan
multiples.
Dalam masalah akses pemanfaatan sumberdaya hutan, masyarakat lokal
selalu ditempatkan sebagai pihak yang memicu terjadinya kerusakan hutan, yang
berakibat pada timbulnya konflik. Sebagaimana hasil penelitian Diantoro (2011),
masyarakat memasuki hutan karena kondisi ekonomi mereka yang terbatas,
sehingga pada saat yang bersamaan mereka memerlukan lahan yang lebih luas
sebagai sandaran hidup mereka, namun tidak selamanya posisi masyarakat berada
pada pihak yang menyebabkan kerusakan hutan, hasil penelitian dari Tim
Indoforest (2011) menunjukkan bahwa, masyarakat lokal bukanlah pihak yang
menyebabkan terjadinya kerusakan hutan di wilayah Taman Nasional Lore Lindu,
melainkan selama berabad-abad penduduk sekitar telah menjaga hutan secara
lestari. Mereka berkonflik dengan pihak taman nasional hanya karena mereka
merasa terusir dari wilayah yang telah mereka tempati selama ini.
2. Lembaga Adat Desa
Lembaga adat desa seringkali berusaha untuk memperkuat dan
menghidupkan legitimasi control maupun penguasaan tanah yang berbasis klaim
adat, serta berusaha untuk menjaga keberlanjutan hukum adat yang selama ini
mereka taati. Namun tidak jarang para tokoh adat berusaha mengambil
keuntungan untuk dirinya sendiri, dengan mengatasnamakan kepentingan lembaga

5

adat. Hal ini kemudian memicu terjadinya konflik horisontal, tetapi tidak sedikit
pula peran lembaga adat yang menjalankan perannya sebagaimana mestinya,
seperti yang ditunjukkan pada hasil penelitian Tim Indoforest (2011) di Taman
Nasional Lore Lindu (TNLL), dikatakan bahwa, lembaga adat mereka berupaya
dengan keras agar pihak taman nasional dapat mengakui keberadaan adat mereka,
dan membolehkan mereka untuk tetap tinggal di tanah leluhur mereka, serta dapat
ikut serta dalam mengelola TNLL.
3. Pemerintah
Pemerintah merupakan suatu badan yang memiliki suatu otoritas dalam
pembuatan peraturan. Dalam kasus koflik di wilayah taman nasional ini
pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting, karena tidak jarang konflik
yang terjadi di wilayah taman nasional adalah akibat dari peraturan yang saling
tumpang tindih antara pemerintah pusat dan pemeritah daerah. Hal ini dapat
dilihat dari hasil penelitian Wulan et al (2004), dimana pemerintah daerah
berusaha membuat suatu kebijakan untuk memperoleh pendapatan asli daerah,
agar bisa mensejahterakan masyarakat yang ada di wilayahnya, sedangkan
pemerintah pusat tetap mempertahankan kebijakannya tentang konservasi
kehutanan agar hutan tetap terjaga kelestariannya dan fungsinya.
4. Swasta
Pihak swasta merupakan suatu badan usaha yang bergerak di bidang
industri, jasa, atau investasi. Pihak swasta terkadang berperan sebagai salah satu
penyebab konflik di wilayah taman nasional. Kerap dijumpai pihak swasta
berkolusi dengan pemerintah dalam memanfaatkan sumberdaya hutan, yang
seharusnya tidak boleh diakses. Sikap semacam ini menimbulkan kecemburuan
bagi masyarakat setempat. Sebagaimana ditunjukkan pada hasil penelitian
Rahmawati et al (2008), yang melihat adanya perbedaan tindakan antara Balai
TNGHS kepada masyarakat dan kepada perusahaan Teh Nirmala. Terhadap kebun
perusahaan yang berada tepat di tengah-tengah TNGHS, Balai TNGHS tidak
memberikan tindakan atau sanksi apapun, karena perusahaan telah memiliki Hak
Guna Usaha (HGU) untuk perkebunan.
5. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Dalam pembahasan mengenai konflik yang terjadi di wilayah taman
nasional ini, peran LSM lebih cenderung untuk mendukung kesejahteraan
masyarakat sekitar. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian tim Indoforest (2011),
di wilayah Taman Nasional Lore Lindu. LSM bersama masyarakat berusaha
untuk memperjuangkan agar masyarakat Desa Katu, Provinsi Sulawesi Tengah,
dapat mempertahankan lahan leluhur mereka, namun dalam kasus konflik sosial
ini, peran LSM hanya sebagai pendamping, karena tugasnya hanyalah
mendampingi pihak-pihak yang terlibat konflik, agar konflik tersebut dapat
diredam.
Hak atas Properti (Property Right) dan Akses
Secara garis besar hak atas sesuatu terdiri atas dua jenis, yaitu (Schlager
dan Ostrom dalam Meinzen-Dick dan Knox 2001):

6

a) Hak Menggunakan (right to use)
Hak menggunakan meliputi hak akses, yaitu untuk masuk ke domain
sumberdaya, misalnya hak untuk melewati sebidang tanah, pergi ke suatu
hutan atau kanal dan hak pemanfaatan yaitu untuk menghilangkan sesuatu,
misalnya untuk mengambil air, beberapa kayu bakar, pakan ternak atau ikan.
b) Hak Mengendalikan (right to control)
Hak mengendalikan meliputi hak pengelolaan, yaitu untuk memodifikasi atau
mengubah sumberdaya, misalnya dengan menanam pohon atau semak,
memperbesar suatu saluran irigasi, atau membatasi apa yang bisa dipanen.
Hak ini terdiri atas dua macam,
 Hak eksklusive (exclusive right), yaitu hak pemanfaatan, nilai manfaat
dari sesuatu dan biaya penegakan, secara ekslusif jatuh ke tangan
pemilik termasuk keuntungan yang diperoleh dari transfer hak
kepemilikan tersebut, dan
 Hak pengalihan (transfer right), yaitu hak untuk mengalihkan
kepemilikan atau penguasaan kepada orang lain, baik karena warisan,
penjualan atau hadiah.
Istilah common-pool resources diperkenalkan secara spesifik oleh Ostrom
sebagai sumberdaya alam yang mempunyai dua karakteristik, yaitu: (1) memiliki
rivalness di dalam pemanfaatan, artinya setiap konsumsi atau pemanenan oleh
seseorang atas sumberdaya akan mengurangi kemampuan atau jatah orang lain
dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut. Sebagai contoh adalah hutan, padang
rumput, bahan tambang, dan lainnya, (2) besarnya biaya yang harus dikeluarkan
untuk membatasi atau mencegah pihak lain mengakses sumberdaya tersebut 3 .
Mengingat besarnya biaya yang harus dicurahkan untuk mencegah pihak lain
akses ke common-pool resource, maka common-pool resource cenderung menjadi
sumberdaya alam yang diakses terbuka oleh banyak pihak (open access resource).
Bila common-pool resource menjadi open access resource; maka sumberdaya
tersebut berpeluang besar mengalami degradasi atau kehancuran.
Menurut Nugroho (2006) property right adalah hak untuk mengelola,
memperoleh manfaat, dan memindah-tangankan hak yang dikuasai atas suatu
sumberdaya yang dimiliki oleh individu, komunitas, atau negara. Terdapat
beragam aransemen kelembagaan terkait dengan hak kepemilikan, yaitu: (1)
kepemilikan oleh pribadi (private property), (2) kepemilikan oleh negara (state
property), (3) kepemilikan oleh komunitas adat (communal/customary property),
dan (4) tanpa kepemilikan/ akses terbuka (open access property).
Relasi antara Pemangku kepentingan
Relasi antar pemangku kepentingan merupakan suatu bentuk hubungan
yang terjalin diantara para pemangku kepentingan yang ada di suatu wilayah, hal
ini sejalan dengan pendapat Meyers (2001) dalam Winara dan Mukhtar (2010)
bahwa para pemangku kepentingan memiliki derajat kekuatan yang sangat
berbeda-beda dalam mengendalikan keputusan, dan memiliki derajat potensi yang
berbeda dalam mencapai tujuan tertentu. Hal ini berarti untuk mencapai tujuan

3

Dirujuk dari tulisan Maria S.W Sumardjo et al (2011)

7

yang diinginkan oleh semua pemangku kepentingan maka mereka harus
bekerjasama dengan menyumbangkan pengaruhnya masing-masing.
Tingkat relasi yang terjadi antara masyarakat dengan para pemangku
kepentingan yang lain dapat dilihat dengan metode analisis pemangku
kepentingan yang diperkenalkan oleh Savage et al (1991). Langkah pertama yang
dilakukan adalah dengan menentukan tinggi rendahnya tingkat kerjasama dan
ancaman yang dirasakan oleh masyarakat terhadap para pemangku kepentingan
lain. Hasil yang didapat nantinya dimasukkan ke dalam matriks yang ada di
bawah ini. Selanjutnya berdasarkan potensi kerjasama dan potensi ancaman yang
timbul, dapat diketahui sejauh mana relasi yang terwujud antara komunitas
masyarakat dengan pemangku kepentingan lain. Dalam konteks ini adalah para
pemangku kepentingan kawasan hutan Lokapurna, Taman Nasional Gunung
Halimun Salak.
Potential for treat
High
High

Potential for
cooperation
Low

Low

Stakeholder type 4
Mixed blessing
Strategy: collaborate
Stakeholder type 3
Non-supportive
Strategy:defend

Stakeholder type 1
Supportive
Strategy: involve
Stakeholder type 2
Marginal
Strategy: monitor

Gambar 1. Managing stakeholder: type and strategies (Savage et al. 1991) 4
Kerangka Pemikiran
Sejak Kawasan Lokapurna masuk ke dalam wilayah perluasan Taman
Nasional Gunung Halimun Salak, banyak pemangku kepentingan yang terlibat,
diantaranya adalah Balai Taman Nasional, masyarakat, pemerintah desa, dan
organisasi lokal. Dalam skripsi ini relasi antara masyarakat dengan pemangku
kepentingan lain dianalisis dengan menggunakan teori Savage et al (1991) dengan
melihat seberapa besar potensi ancaman dan kerjasama yang diberikan oleh
masing-masing pemangku kepentingan tersebut dari sudut pandang masyarakat.
Relasi yang terbentuk diantara masyarakat dengan pemangku kepentingan ini
dipengaruhi oleh akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Keterkaitan
berbagai variabel tersebut secara rinci disajikan pada Gambar 2 di halaman
selanjutnya.
Hipotesis Penelitian
Masyarakat memandang para pemangku kepentingan di kawasan hutan
Lokapurna TNGHS sebagai ancaman terhadap akses mereka ke kawasan hutan
dimaksud. Sebagai akibatnya, tidak tumbuh kerjasama yang kuat diantara warga
masyarakat dan para pemangku kepentingan dalam membangun perlindungan dan
pemanfaatan berkelanjutan kawasan hutan Lokapurna, TNGHS

4

Dirujuk dari tulisan Andrew L. Friedman dan Samantha Miles

8

Pemerintah
Desa

Masyarakat kawasanan
Lokapurna
Akses masyarakat
terhadap
sumberdaya hutan

Organisasi
Lokal

Keterangan

Relasi masyarakat
dengan Pemangku
Kepentingan Lain
(Savage at al 1991):
- Ancaman
- Kerjasama

BTNGHS

= Berhubungan dengan
= Fokus penelitian
Gambar 2 Kerangka pemikiran
Definisi Operasional

Untuk mengukur variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian
ini, maka dikemukakan rumusan batasan serta operasionalisasi dari masingmasing variabel tersebut. Adapun variabel-variabel yang akan dioperasionalkan
adalah :
1. Akses sumberdaya hutan oleh warga Lokapurna adalah kemampuan warga
untuk mengambil manfaat dari sumberdaya hutan yang diukur secara ordinal
melalui 4 jenis pertanyaan yang disusun secara berjenjang (skala jarak sosial
Bogardus)5, yakni:
- Pertanyaan tentang berkemah
- Pertanyaan tentang mengambil ranting, kayu, atau buah
- Pertanyaan tentang mengambil tanaman, satwa, atau menebang pohon
- Pertanyaan tentang mengkonversi hutan menjadi lahan pertanian atau lahan
usaha.

5

Lebih lanjut mengenai skala jarak sosial Bogardus dapat dilihat di Singarimbun dan Effendi
(1989: 113)

9

2.

Relasi antara warga masyarakat dengan pemangku kepentingan lain diukur
dengan cara:
a. Ancaman, yaitu ukuran tindakan individu yang dirasa dapat merugikan
orang atau kelompok lain. Indikator variabel ini adalah tindakan individu
yang merugikan orang atau kelompok lain yang diukur secara ordinal
melalui 5 jenis pertanyaan yang disusun secara berjenjang (skala jarak
sosial metode Bogardus), yakni:
- Pertanyaan tentang perbedaan pendapat
- Pertanyaan tentang persaingan
- Pertanyaan tentang kesepakatan yang relatif sering berubah
- Pertanyaan tentang keadilan
- Pertanyaan tentang kepercayaan.
b. Kerjasama, yaitu ukuran tindakan seseorang dalam bekerja secara bersama
dengan orang atau kelompok lain yang diukur secara ordinal melalui 4
jenis pertanyaan yang disusun secara berjenjang (skala jarak sosial metode
Bogardus), yakni:
- Pertanyaan tentang pandangan masyarakat mengenai kepentingan para
pemangku kepentingan lain
- Pertanyaaan tentang kenyamanan masyarakat dalam menyampaikan
pendapatnya secara terbuka, karena didengarkan secara berhati-hati oleh
para pemangku kepentingan lain
- Pertanyaan tentang pelibatan masyarakat dalam perlindungan
sumberdaya hutan
- Pertanyaan tentang penghargaan kontribusi masyarakat.

10

11

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di wilayah Lokapurna, Desa Gunung Sari,
Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi tersebut
dipilih secara purposive dengan alasan wilayah penelitian ini pada tahun 2003
berdasarkan SK Menhut no 175, masuk ke dalam kawasan perluasan Taman
Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Selama bergabung ke dalam kawasan
TNGHS kajian mengenai relasi antara masyarakat dengan pemangku kepentingan
lain belum ada, selain itu juga karekteristik yang terdapat di daerah ini sesuai
dengan penelitian yang akan diteliti. Berdasarkan alasan tersebut, maka kawasan
Lokapurna, Desa Gunung Sari dipilih sebagai lokasi penelitian. Penelitian
lapangan dilaksakan pada minggu pertama bulan April sampai Mei 2013.
Pendekatan dan Metode Pengambilan Sampel
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan didukung oleh
data kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan menggunakan metode survey
dengan alat pengumpulan data berupa kuesioner yang diberikan kepada responden
yang telah dipilih. Penelitian survey merupakan penelitian yang mengambil
sampel dari satu populasi (Singarimbun dan Efendi 1989). Sementara pendekatan
kualitatif menggunakan metode studi kasus dan wawancara.
Responden didefinisikan sebagai pihak yang memberikan keterangan
tentang diri dan kondisi di sekitarnya. Untuk memilih responden digunakan salah
satu teknik penarikan sampel, yaitu penarikan accidental sampling. Metode ini
digunakan karena terdapat syarat-syarat tertentu untuk menjadi responden, dengan
ukuran pernah berinteraksi dengan hutan. Accidental sampling sendiri merupakan
suatu penarikan sampel dimana seseorang diambil sebagai sampel karena
kebetulan orang tersebut ditemui (Mustafa 2000). Alasan pengambilan sampel
dengan metode ini, karena populasi penelitian yang bersifat homogen, terkait
dengan interaksinya terhadap hutan (dalam hal ini populasi yang diteliti bekerja
sebagai petani hutan dan pengusaha warung makanan). Jumlah responden yang
diambil sebanyak 30 responden.
Teknik Pengumpulan Data
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer terutama diperoleh dari wawancara terstruktur dengan
kuesioner kepada responden. Selain wawancara dengan kuesioner data primer
juga diperoleh melalui wawancara mendalam kepada 5 informan. Juga dilakukan
observasi untuk melihat keadaan kawasan Lokapurna di Desa Gunung Sari yang
tergolong sebagai bagian dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai sumber
diantaranya Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, organisasi lokal
(Fusyakah), pemerintah Desa Gunung Sari, dan literatur penelitian seperti tesis,
laporan penelitian serta jurnal.

12

Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Jawaban responden atas 4 jenis pertanyaan tentang akses masyarakat
terhadap sumberdaya hutan (sebagaimana diutarakan pada definisi operasional),
diukur melalui skor ordinal sebagai berikut:
- Tidak Pernah, diberi skor 1
- Jarang, diberi skor 2
- Sering, diberi skor 3
- Selalu, diberi skor 4
Nilai maksimum setiap responden diukur dengan indeks. Indeks maksimum untuk
akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan adalah 16. Adapun indeks minimum
adalah 1.
Jawaban responden atas 4 jenis pertanyaan tentang kerjasama antara
masyarakat dengan pemangku kepentingan lain (sebagaimana diutarakan pada
definisi operasional), diukur melalui skor ordinal sebagai berikut:
- Tidak Pernah, diberi skor 1
- Jarang, diberi skor 2
- Sering, diberi skor 3
- Selalu, diberi skor 4
Nilai maksimum indeks untuk kerjasama antara masyarakat dengan pemangku
kepentingan lain adalah 16. Adapun indeks minimum adalah 1.
Jawaban responden atas 5 jenis pertanyaan tentang ancaman pemangku
kepentingan terhadap akses masyarakat di dalam hutan Lokapurna (sebagaimana
diutarakan pada definisi operasional), diukur melalui skor sebagai berikut:
- Tidak Pernah, diberi skor 1
- Jarang, diberi skor 2
- Sering, diberi skor 3
- Selalu, diberi skor 4
Nilai maksimum indeks untuk kelompok pertanyaan ini adalah 20. Adapun indeks
minimumnya adalah 1.
Data yang telah diperoleh disajikan dalam bentuk tabel frekuensi, tabulasi
silang dan grafik. Tabel frekuensi digunakan untuk mengolah dan menganalisis
data dengan satu variabel, sedangkan tabulasi silang digunakan untuk mengolah
dan menganalisis data dengan dua variabel. Pengolahan data dilakukan dengan
menggunakan Microsoft Excell 2007.
Analisis relasi antara masyarakat dengan pemangku kepentingan dilakukan
dengan menggunakan metode pendekatan yang dikembangkan oleh Savage et al
(1991) untuk mengetahui seberapa besar relasi yang terjalin diantara masyarakat
dengan pemangku kepentingan di lokasi penelitian. Urutan dalam pengujiannya
yaitu:
1. Mengidentifikasi pemangku kepentingan yang terlibat
2. Menentukan kategori potensi ancaman dan kerjasama yang terjadi
3. Memasukkan hasil yang telah dikelompokkan dengan kategori tinggi ataupun
rendah pada tingkat ancaman dan kerjasama ke dalam matriks managing
stakeholders: type and strategies (Savage et al 1991) (Gambar 1).

13

GAMBARAN UMUM DESA GUNUNG SARI
Kondisi Geografis, Ekologis, dan Demografis
Desa Gunung Sari adalah salah satu desa yang terletak di sekitar kawasan
hutan Lokapurna, TNGHS. Secara administratif desa ini merupakan bagian dari
Kecamatan Pamijahan. Desa ini mempunyai luas wilayah sebesar 683 240 ha
yang terdiri dari 3 dusun (dusun I adalah RW 01, RW 02, RW 03, dan RW 04;
dusun II adalah RW 05, RW 06, RW 07; dusun III adalah RW 08, RW 09), 9 RW
dan 43 RT.
Dilihat dari topografi dan kontur tanah, Desa Gunung Sari Kecamatan
Pamijahan secara umum berupa sawah dan daratan yang berada pada ketinggian
antara 600 m s/d 800 m di atas permukaan laut dengan suhu rata-rata berkisar
antara 22o s/d 28o celcius.
Secara demografi, jumlah penduduk Desa Gunung Sari sebanyak 12 368
jiwa yang terdiri dari 6 432 jiwa laki-laki dan 5 936 jiwa perempuan dengan
jumlah kepala keluarga sebanyak 3 563 KK sedangkan jumlah keluarga miskin
(GAKIN) 936 KK dengan presentase 29,67 persen dari jumlah yang ada di Desa
Gunung Sari. Untuk lebih jelasnya, jumlah penduduk Desa Gunung Sari dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1

Jumlah dan presentase penduduk Desa Gunung Sari Kecamatan
Pamijahan tahun 2012
Jenis Kelamin

Jumlah Penduduk (Jiwa)

Persen (%)

Pria

6.432

52,01

Wanita

5.936

47,99

Total

12.368

100

Sumber: Profil Desa Gunung Sari (2012)
Pada umumnya lahan yang terdapat di Desa Gunung Sari digunakan secara
produktif dan hanya sedikit saja yang tidak dipergunakan. Hal ini menunjukkan
bahwa kawasan Desa Gunung Sari memiliki sumberdaya alam yang memadai dan
siap untuk diolah. Sebagian besar lahan di Desa Gunung Sari dimanfaatkan untuk
kawasan persawahan dan sisanya dimanfaatkan untuk perumahan, fasilitas umum,
fasilitas sosial, dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya mengenai luas tanah dan
pemanfaatannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

14

Tabel 2 Luas lahan menurut jenis pemanfaatannya di Desa Gunung Sari
Pemanfaatan Lahan

Luas (ha)

Persen (%)

Rumah dan Pekarangan

44,030

15

Sawah

349,230

45

Fasilitas Umum

17,95

10

Fasilitas Sosial

0,50

5

Lain-lain

165,12

25

Total

576,83

100

Sumber: Profil Desa Gunung Sari (2012)
Pada Tabel 2 terlihat bahwa lahan seluas 44,030 ha (15 persen)
dimanfaatkan untuk kawasan perumahan dan pekarangan. Lahan seluas 349,230
ha (45 persen) dimanfaatkan untuk kawasan persawahan. Seluas 17,95 ha (10
persen) dimanfaatkan untuk fasilitas umum, 0,50 ha (5 persen) dimanfaatkan
untuk fasilitas sosial, dan sisanya seluas 165,12 ha (25 persen) dimanfaatkan
untuk hal-hal lain.
Kondisi Sosial
Mata pencaharian penduduk Desa gunung sari sebagian besar adalah
petani dan buruh tani, sedangkan sisanya yaitu pedagang, PNS, TNI, karyawan
swasta, dan wirausaha. Untuk jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
50
40
30
20
10
0

42.8

3.38

9.05
0.55

0.02

4.69

9.05

presentase

Gambar 3 Mata pencaharian penduduk di Desa Gunung Sari

15

Berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat bahwa di Desa Gunung Sari
terdapat beragam jenis pekerjaan yang dilakukan oleh penduduknya. Penduduk
yang bekerja sebagai petani ada 42,8 persen, buruh tani sebanyak 3,38 persen,
pedagang sebanyak 9,05 persen, PNS sebanyak 0,55 persen, TNI/Polri sebanyak
0,02 persen, karyawan swasta sebanyak 4,69 persen, dan wirausaha lainnya
sebanyak 9,05 persen. Dari penjelasan di atas dapat dilihat masyarakat yang
bekerja sebagai petani dan buruh tani sangat mendominasi (46,18 persen). Hal ini
dikarenakan lokasi lahan yang sangat mendukung untuk pertanian.
Pendidikan merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan
sehingga pendidikan adalah sebuah investasi (modal) di masa yang akan datang.
Adapun jumlah sarana dan prasarana pendidikan di Desa Gunung Sari Kecamatan
Pamijahan terdiri dari jenjang TK/sederajat sampai dengan SLTA/sederajat.
Tabel 3 Tingkat pendidikan Desa Gunung Sari
Jumlah Penduduk
(Jiwa)
Tidak/Belum Tamat SD
625
SD
1245
SLTP
612
SLTA
532
Diploma 3
86
Sarjana
176
Pasca Sarjana
15
Total
3291
Sumber: Profil Desa Gunung Sari (2012)
Pendidikan

%
18,99
37,83
18,60
16,17
2,61
5,35
0,46
100

Berdasarkan tabel di atas hampir sebagian besar masyarakat Desa Gunung
Sari menempuh pendidikan SD, dengan yang tamat SD sebanyak 37,83 persen,
meskipun begitu ada 18,99 persen masyarakat Desa Gunung Sari yang
tidak/belum tamat SD, selanjutnya masyarakat yang telah lulus SLTP ada sekitar
18,60 persen, SLTA sebanyak 16,17 persen, D-3 sebanyak 2,61 persen, sarjana
sebanyak 5,35 persen, selanjutnya yang lulusan pasca sarjana sebanyak 0,46
persen.

16

17

SEJARAH, PEMANGKU KEPENTINGAN, DAN AKSES MASYARAKAT
TERHADAP KAWASAN HUTAN LOKAPURNA TNGHS
Sejarah Kawasan TNGHS dan Hutan Lokapurna: Tinjauan Aspek Property
Lokapurna merupakan salah satu kawasan yang berada di Desa Gunung
Sari, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Pada tahun 1967 kawasan
Lokapurna merupakan kawasan hutan lindung yang dikelola oleh Balai
Konservasi Sumberdaya Alam. Hak pemanfaatan sumberdaya alam secara
eksklusif dimiliki oleh pemerintah. Dalam konteks hak properti, kawasan hutan di
Desa Gunung Sari pada dekade 1960 tergolong sebagai common pool state
property right.
Pada tahun 1987 dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 268
tentang perubahan fungsi hutan lindung menjadi hutan produksi di bawah
penguasaan dan pengelolaan Perum Perhutani. Di sini kawasan hutan di Desa
Gunung Sari beralih dikuasai oleh Perum Perhutani, dimana manfaat dan biaya
ditanggung sendiri oleh pemilik. Dalam konteks hak properti, kawasan hutan
Lokapurna di Desa Gunung Sari pada akhir dekade 1980, berubah menjadi
common pool private property right. Sifat properti tersebut memungkinkan Perum
Perhutani memberikan izin kepada para petani untuk melakukan tumpang sari
selama lima tahun.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 175 tahun 2003 tentang peluasan
kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS); merubah
lagi status dan fungsi kawasan hutan Lokapurna. Kawasan hutan Lokapurna
seluas 25.677 ha yang semula merupakan common pool private property right
berubah lagi dan menjadi kawasan TNGHS atau common pool state property right.
Kawasan hutan yang semula berada di bawah kuasa Perum Perhutani, berubah
menjadi di bawah kuasa Balai TNGHS. Namun demikian selama enam tahun
selanjutnya kawasan hutan Lokapurna secara defacto masih berada di bawah
kuasa Perum Perhutani. Balai TNGHS baru benar-benar mengelola kawasan hutan
Lokapurna pada tahun 2009.
Meski terjadi tiga kali perubahan status dan fungsi kawasan hutan di
Lokapurna, namun dari segi konsepsi Ostrom, kawasan hutan yang dimaksud
masih merupakan common pool resource yang senantiasa akan berhadapan
dengan ancaman menjadi open access resource. Untuk mencegah terjadinya akses
terbuka, TNGHS dikelola menurut zonasi. Berdasarkan Rencana Pengelolaan
Taman Nasional Gunung Halimun Salak Periode 2007-2026, zonasi kawasan
TNGHS terdiri atas:
(1) Zona Inti dan Zona Rimba,
(2) Zona Rehabilitasi,
(3) Zona Pemanfaatan,
(4) Zona Khusus,
(5) Zona Religi, Budaya, dan Sosial, serta Zona Tradisional, dan
(6) Zona Lainnya.
Namun demikian, zonasi TNGHS khususnya untuk wilayah Lokapurna,
belum jelas benar di mata masyarakat. Warga masyarakat belum sepenuhnya
mengetahui apakah seluruh kawasan hutan Lokapurna tergolong dalam zona

18

tertentu, seberapa luas, dan dimana saja batasnya. Hal ini menyebabkan
masyarakat Lokapurna kebingungan dalam mengakses sumberdaya hutan. Meski
demikian masyarakat kini sudah tidak dapat secara bebas memanfaatkan
sumberdaya hutan, padahal sebelumnya masyarakat sudah terbiasa untuk
mengambil ranting dan bercocok tanam di dalam hutan. Sementara itu keberadaan
air terjun dan pemandian air panas yang menjadi objek wisata mendorong
wisatawan domestik mengunjungi lokasi tersebut. Kondisi ini membuka peluang
bagi masyarakat untuk membuka usaha berupa warung di lokasi-lokasi yang
berdekatan dengan objek wisata.
Kawasan hutan Lokapurna6 berdasarkan SK Menhut No 175 tahun 2003
termasuk ke dalam wilayah perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Wilayah yang termasuk ke dalam lokasi ini meliputi RW 8 dan RW 9 dengan
jumlah penduduk 114 KK.
Kawasan Lokapurna ini memiliki potensi ekowisata yang sangat tinggi,
selain keadaan hutannya yang masih asri, kawasan ini juga memiliki beberapa
curug dan pemandian air panas yang dijadikan sebagai tempat wisata alam.
Curug-curug tersebut diantaranya Curug Cigamea, Curug Seribu, Curug Pangeran,
dan Curug Ngumpet. Sedangkan untuk pemandian air panasnya, merupakan
sumber mata air yang berasal dari aliran air panas Kawah Ratu.
Pemangku Kepentingan Kawasan Hutan Lokapurna TNGHS
Pemangku kepentingan yang ada di dalam suatu wilayah akan berbeda
dengan pemangku kepentingan yang ada di wilayah lain. Begitu juga dengan
pemangku kepentingan yang ada di wilayah Lokapurna. Hasil identifikasi para
pemangku kepentingan di lokasi penelitian terdiri dari empat kategori, yaitu:
- Masyarakat Desa Gunung Sari yang bermukim di sekitar kawasan hutan
Lokapurna
- Pemerintah Desa Gunung Sari
- Fusyakah, organisasi lokal di tingkat kawasan Lokapurna, diketuai oleh H.
Daden
- Balai TNGHS, yang dipimpin oleh seorang kepala balai.
Kepentingan para pihak di atas dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Kepentingan utama para pihak dalam pengelolaan kawasan Lokapurna,
Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Pemangku Kepentingan
Balai TNGHS

Kepentingan Utama

Masyarakat Desa Gunung Sari

Bertanggungjawab sebagai penguasa dan
pengelola kawasan TNGHS
Meningkatkan kesejahteraan rumahtangga

Pemerintah Desa Gunung Sari

Pembangunan masyarakat desa

Organisasi Lokal Fusyakah

Pemberdayaan masyarakat

6

Masyarakat setempat lebih sering menggunakan nama Lokapurna dibanding Desa Gunung Sari,
untuk menyebutkan lokasi RW 08 dan RW 09.

19

Akses Masyarakat terhadap Kawasan Lokapurna TNGHS
Hasil pengukuran akses masyarakat terhadap kawasan hutan Lokapurna
TNGHS dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5

Indeks akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan di kawasan
Lokapurna, Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Akses Masyarakat terhadap Hutan

Indeks
Akses7

Berkemah

1

Mengambil ranting/ kayu/ buah

3

Mengambil tanaman/ satwa/ menebang pohon

7

Mengkonversi hutan menjadi lahan pertanian/ lahan usaha

12

Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa akses masyarakat Lokapurna
dalam wujud konversi hutan menjadi lahan pertanian dan lahan usaha tergolong
paling tinggi, sebagaimana ditunjukkan oleh nilai indeks sebesar 12. Namun untuk
akses lain seperti berkemah; mengambil ranting, kayu, dan buah; serta mengambil
tanaman, satwa, dan menebang pohon cenderung rendah, dengan indeks masingmasing sebesar 1, 3, dan 7.
Adapun alasan mengapa akses masyarakat dalam wujud konversi hutan
menjadi lahan pertanian dan lahan usaha paling tinggi dibandingkan yang lain
adalah, karena konversi hutan menjadi lahan pertanian dan lahan usaha sudah
dilakukan oleh masyarakat sejak sebelum kawasan Lokapurna menjadi bagian dari
kawasan TNGHS. Pola akses ini masih terus dilanjutkan hingga sekarang walau
kawasan Lokapurna telah berubah status menjadi TNGHS. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Ibu S, bahwa:
“Dulu sebelum wilayah ini bergabung dengan taman nasional
masyarakat di sini sering mengambil ranting-ranting kering di hutan
untuk dijadikan kayu bakar selain itu kami juga sering ke dalam hutan
untuk bercocok tanam, kemudian sejak adanya wisata alam berupa
curug, banyak dari kami yang kemudian membuka warung, baik di
rumahnya ataupun di sekitar lokasi wisata tersebut untuk menambah
penghasilan, termasuk juga saya. Namun sejak adanya pemberian
kompor gas gratis oleh pemerintah dan berubahnya kawasan
Lokapurna menjadi kawasan taman nasional, kami tidak lagi
mengambil ranting-ranting di hutan, karena kegiatan itu sudah tidak
diperbolehkan lagi. Untuk bercocok tanam kami memang masih
mempunyai lahan di dalam hutan dan masih sering untuk
mengolahnya, tetapi sudah tidak sesering dulu, kebanyakan dari kami
lebih memilih untuk menjalankan usaha warung kami, dan bercocok
tanam hanya untuk sekedar tambahan saja.”
7

Indeks berkisar antara 1-16. indeks 16 menunjukkan nilai tertinggi dalam hal berkemah,
mengambil ranting, kayu, buah, tanaman, satwa, menebang pohon, dan mengkonversi hutan
menjadi lahan pertanian dan lahan usaha.

20

Ikhtisar
Pemangku kepentingan yang ada di wilayah Lokapurna, Taman Nasional
Gunung Halimun Salak (TNGHS) terdiri dari empat kategori, yaitu Balai TNGHS,
masyarakat Desa Gunung Sari, pemerintah Desa Gunung Sari, dan organisasi
lokal Fusyakah. Para pemangku kepentingan tersebut mempunyai kepentingan
yang saling berbeda dalam mengakses sumberdaya hutan.
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, akses yang dilakukan oleh
masyarakat ada empat yaitu berkemah; mengambil ranting kayu, dan buah;
mengambil tanaman, satwa, dan menebang pohon; serta mengkonversi hutan
menjadi lahan pertanian dan lahan usaha. Diantara keempat akses tersebut nilai
indeks yang paling besar adalah akses masyarakat dalam wujud konversi hutan
menjadi lahan pertanian dan lahan usaha, dengan indeks sebesar 12.

21

RELASI ANTARA WARGA MASYARAKAT DENGAN PARA
PEMANGKU KEPENTINGAN LAIN
Analisis mengenai relasi antara masyarakat dengan pemangku kepentingan
lain mengkaji, seberapa besar hubungan yang terjalin diantara masyarakat dengan
pemangku kepentingan lain yang ada di wilayah Lokapurna TNGHS. Untuk
menganalisis tingkat relasi tersebut, dapat dilihat dengan menggunakan dua
indikator, yaitu ancaman dan kerjasama masing-masing pemangku kepentingan
lain dari sudut pandang masyarakat.
Pandangan Masyarakat terhadap Pemangku Kepentingan Lain:
Aspek Ancaman terhadap Akses Masyarakat ke dalam Kawasan Hutan
Hasil pengolahan data mengenai pandangan masyarakat terhadap
pemangku kepentingan lain dalam aspek ancaman terhadap akses masyarakat ke
kawasan hutan, dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini.
Tabel 6 Pandangan masyarakat terhadap para pemangku kepentingan lain dalam
aspek ancaman
Pandangan Masyarakat terhadap Para
Pemangku Kepentingan Lain8
Pemangku kepentingan selalu berbeda
pendap