Perbedaan Morfometrik Ukuran Tubuh Ayam Ketawa, Pelung dan Kampung Melalui Analisis Diskriminan Fisher, Wald-Anderson, dan Jarak Minimum Mahalanobis

ABSTRACT
Morphometric Differences of Chicken Body Measurement in Ketawa, Pelung,
Kampong Using Discriminant Fisher Analysis, Wald-Anderson and Mahalanobis
Minimum Distance
Fastasqi, R. H. Mulyono and R. Afnan
The objectives of the research were to study the differences of Ketawa
chicken in Yogyakarta, Jakarta and Bogor; also compared to Pelung and Kampong
chicken in Bogor using Discriminant Fisher analysis, Wald-Anderson Grouping and
D2-Mahalanobis Minimum Distance. Identification and characterizations of local
adorn chicken in Indonesia is very important for animal conservation program. The
samples at age of 7 months were taken purposively. The linear morphometric body
measurement were length of femur, tibia, tarsometatarsus, third tarsus, wing,
maxilla, neckbone, sternum, circumference of tarsometatarsus, height of comb and
width of sternum. Research results showed the differences between Ketawa male
chicken in Yogyakarta vs Jakarta by four identifying markers (length of tibia,
maxilla, neckbone and height of comb); Ketawa male chicken vs Pelung male
chicken by seven identifying markers (length of femur, tibia, tarsometatarsus, wing,
neckbone, sternum, and circumference of tarsometatarsus); Pelung male chicken vs
Kampong male chicken by two identifying markers (length of wing and neckbone).
The sex identification, rearing purposes and the different type of chicken have
contributing in the linear morphometric body measurement. Wald-Anderson

grouping in Ketawa male chicken Yogyakarta vs Jakarta and Ketawa male chicken vs
Pelung male chicken have been corrected 100%, which means that there were not
found incorretly grouping. Whereas there was 7,15% error grouping correction in
Pelung male chicken vs Kampong male chicken. The value of D2-Mahalanobis
minimum distance depend on the type of the chicken (singer, layer and broiler).
Keywords: Morphometric, Chicken, Discriminant Fisher, Wald-Anderson,
D2 -Mahalanobis.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki banyak ayam lokal yang berpotensi untuk dikembangkan.
Pengembangan ayam lokal yang banyak dijumpai adalah ayam hias. Ayam hias
dipelihara untuk mendapatkan warna bulu yang indah dan suara kokok yang merdu.
Masyarakat perkotaan memelihara ayam hias untuk menghilangkan stres akibat
tekanan hidup yang tinggi. Hal ini memunculkan paradigma bahwa memelihara
ayam lokal tidak hanya di pedesaan, melainkan juga dapat dipelihara di perkotaan.
Dampak positif yang timbul yaitu terbentuk beberapa organisasi pecinta ayam hias
dan kontes-kontes ayam hias di beberapa kota besar di Indonesia.
Beragam ayam lokal dengan ciri yang khas antara lain ayam Ketawa, ayam
Pelung, dan ayam Kampung. Ayam Ketawa dan ayam Pelung ditemukan di

Indonesia merupakan rumpun ayam penyanyi; sedangkan ayam Kampung adalah
moyang ayam Ketawa dan ayam Pelung yang dipelihara sebagai ayam dwiguna.
Ayam Ketawa merupakan ayam hias dari Sulawesi Selatan dengan kekhasan suara
kokok. Ayam Pelung memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan ayam
lokal lain dan suara kokok ayam jantan yang merdu. Ayam Kampung banyak
dipelihara oleh masyarakat, karena mudah dipelihara dan tidak rentan terhadap
penyakit.
Usaha identifikasi dan karakterisasi ayam hias lokal masih sangat diperlukan.
Kegiatan ini dianggap penting karena disamping berguna untuk keperluan keragaman
unggas lokal Indonesia, juga berguna dalam program pemuliaan ternak unggas.
Identifikasi dapat dilakukan terutama pada ciri fenotipe baik secara kualitatif (warna
bulu, kulit, tarsometatarsus dan bentuk jengger) maupun secara kuantitatif
(morfometrik, produktivitas dan ketahanan terhadap penyakit atau parasit).
Identifikasi fenotipe secara deskriptif diperlukan untuk mengetahui ciri khas dari
performa ayam hias tertentu yang dapat dibedakan dengan ayam hias lain secara
visual. Hal tersebut diharapkan dapat membantu peternak ayam hias untuk
menghasilkan keturunan yang baik tanpa merusak keragaman unggas lokal
Indonesia.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan morfometrik ayam
Ketawa yang terdapat di peternakan Godean (Yogyakarta), Permata Hijau (Jakarta)
dan Cileungsi (Bogor); dibandingkan dengan ayam Pelung yang terdapat di
Salabenda (Bogor) dan Dramaga (Bogor) serta ayam Kampung Bantarjati (Bogor)
melalui analisis Diskriminan Fisher, penggolongan Wald-Anderson dan jarak
ketidakserupaan minimum D2-Mahalanobis. Manfaat dari penelitian ini adalah
menemukan peubah pembeda yang dapat menjadi ciri pembeda pada masing-masing
rumpun ayam sebagai upaya pengkayaan sumber informasi genetik dan diharapkan
dapat membantu peternak pemula ayam hias lokal untuk menentukan arah tujuan
pemeliharaan, tanpa merusak plasma nutfah unggas lokal Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA
Ayam Lokal Indonesia
Ayam merupakan jenis unggas dan diklasifikasikan ke dalam kingdom
Animalia, phylum Chordota, subphylum Vertebrata, kelas Aves, ordo Galliformes,
famili Phasianidae, genus Gallus, spesies Gallus gallus (Rose, 1997). Ayam lokal
Indonesia atau dikenal dengan sebutan ayam buras (ayam bukan ras) merupakan
komoditas yang paling banyak dipelihara oleh masyarakat Indonesia khususnya di
pedesaan. Ayam yang telah mempunyai nama dan ciri tersendiri disebut ayam lokal
spesifik, yang dipelihara untuk tujuan produksi daging, telur, atau merupakan hewan

kesayangan dengan manfaat antara lain sebagai penghias halaman, aduan, keperluan
ritual atau sebagai pemberi kesenangan melalui suara kokok yang merdu (Sunarto et
al., 2004). Beberapa keunggulan lain dari ayam lokal yaitu mempunyai kemampuan
bertahan dan berkembang biak dengan baik, meskipun kondisi kualitas pakan yang
rendah serta tahan terhadap beberapa penyakit. Ayam lokal perlu dipertahankan
melalui pemurnian dan pemanfaatan secara optimal sebagai penyedia protein hewani
(Sulandari et al., 2007).
Ayam lokal mempunyai keanekaragaman sifat genetik yang dimunculkan
dalam penampilan fenotipe, seperti warna bulu, kulit, paruh, bentuk tubuh, jengger,
bulu penutup, penampilan produksi, pertumbuhan, dan reproduksinya (Sidadolog,
2006). Keanekaragaman dapat dimunculkan secara evolusi maupun revolusi, akibat
dari sistem pemeliharaan dan perkawinan yang tidak terkontrol dari generasi ke
generasi. Faktor lingkungan yang menekan juga merupakan faktor yang sangat
menentukan, karena ada upaya untuk mempertahankan diri melalui proses adaptasi.
Proses adaptasi yang berlangsung lama dapat memunculkan sifat dan penampilan
baru dan kemudian dapat diwariskan secara genetik dari generasi ke generasi (Noor,
2000).
Ayam Ketawa
Kawasan Sidrap (Sidenreng Rappang) di Sulawesi Selatan memiliki satu
potensi unggulan di bidang perunggasan yang belum dibudidayakan secara

maksimal. Terdapat satu jenis ayam yakni ayam Ketawa, dengan ciri khas suara
kokok yang unik. Ujung suara kokok ayam Ketawa terdengar seperti orang tertawa

karena kokok yang dihasilkan tergagap-gagap. Menurut kepercayaan masyarakat
Bugis, ayam ini dipercaya dapat membawa keberuntungan. Maka tidak heran, bila
saat ini harga jual ayam ketawa dapat mencapai hingga puluhan juta rupiah. Ayam
ini berukuran sedang bahkan kecil, tetapi lebih besar dari ayam Kate (Sartika dan
Iskandar, 2006). Warna baku ayam ketawa yang digemari orang Bugis meliputi
Bakka, Lappung, Ceppaga, Kooro, Ijo Buata dan Bori Tase. Penampakan fisik ayam
Ketawa dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini.

(a)
Sumber: Koleksi Pribadi

(b)

Gambar 1. Ayam Ketawa Jantan (a) dan Ayam Ketawa Betina (b)
Ayam Pelung
Ayam Pelung tumbuh pesat dan berkokok dengan suara besar, panjang, dan
berirama. Masyarakat bertujuan memelihara ayam pelung dengan tujuan sebagai

ayam hias. Noerdjito et al. (1979) menyatakan bahwa pendayagunaan ayam Pelung
sebagai penghasil daging belum dimanfaatkan secara optimal, pemeliharaan
ditujukan untuk memperoleh ayam Pelung jantan penyanyi. Performa fisik ayam
Pelung besar, tegap dan jika berdiri tegak, tembolok akan tampak menonjol. Bobot
badan dewasa jantan dapat mencapai 5,4 kg dan bobot pada betina dapat mencapai
4,5 kg (Sulandri et al., 2007). Ayam Pelung memiliki kaki panjang, kuat dengan
proporsi daging paha yang tebal. Nataamijaya (2005) menyatakan bahwa sebagian
besar ayam Pelung betina dewasa memiliki warna bulu yang hitam (61%), berwarna
bulu coklat kehitaman (20%) dan kuning gambir (19%). Ayam Pelung jantan dewasa
memiliki bulu berwarna hitam dan merah (100%). Ayam Pelung yang bagus mampu
berkokok dengan leher tegak agar suaranya tinggi dan terdengar sampai jauh.
Penampakan fisik ayam Pelung disajikan pada Gambar 2.

(a)
Sumber: Koleksi Pribadi

(b)

Gambar 2. Ayam Pelung Jantan (a) dan Ayam Pelung Betina (b)
Ayam Kampung

Ayam Kampung merupakan ayam strain asli Indonesia yang banyak
dipelihara masyarakat, karena kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang sangat
baik. Manfaat dan keunggulan ayam Kampung ini adalah sebagai produsen daging
dan telur. Produksi rataan telur per induk selama satu tahun sebanyak 146 butir
dengan sistem pemeliharaan intensif (Sulandari et al., 2007). Potensi tersebut tetap
ada meskipun fakta yang beredar di masyarakat adalah ayam dipelihara dengan
sistem ekstensif, yaitu ternak diumbar saat siang hari dan hanya diberi pakan pada
pagi dan sore hari. Secara umum, ayam Kampung bertubuh ramping dengan kaki
panjang serta warna bulu yang beragam. Bobot badan pada jantan mencapai 1,5-1,8
kg dan pada betina sekitar 1,0-1,4 kg (Sulandari et al., 2007). Penampakan fisik
ayam Kampung disajikan pada Gambar 3 dibawah ini.

(a)
Sumber: Koleksi Pribadi

(b)

Gambar 3. Ayam Kampung Jantan (a) dan Ayam Kampung Betina (b)

Morfologi dan Ukuran-Ukuran Tubuh Ayam

Pertumbuhan merupakan suatu proses fisiologis yang terjadi sangat kompleks
dalam tubuh makhluk hidup dan bersifat spesifik. Pertumbuhan pada hewan muda
meliputi proses tumbuh maupun peningkatan ukuran dan jumlah sel tubuh. Herren
(2000) menyatakan bahwa secara umum pertumbuhan didefinisikan sebagai
peningkatan ukuran atau volume bahan atau zat hidup. Lebih lanjut Herren (2000)
menyatakan bahwa semua organ tubuh ternak akan dibentuk pada pertumbuhan
prenatal (sebelum ternak lahir), sedangkan peningkatan dari ukuran dan sistem
dewasa tubuh serta perkembangan terjadi pada pertumbuhan posnatal (setelah ternak
lahir). Selama periode pertumbuhan pre dan posnatal, sel-sel meningkat dalam
ukuran (hypertrophy) ataupun jumlah (hyperplasia).
Herren (2000) menyatakan bahwa ternak mengalami pertumbuhan secara
cepat dari waktu ternak tersebut dilahirkan sampai dengan mencapai dewasa
kelamin. Pada periode tersebut, ternak memulai suatu tahap pertumbuhan yang cepat
ketika jaringan tulang dan otot tumbuh. Selama fase ini, ternak mencapai laju
pertumbuhan dan efisiensi pakan terbaik. Lebih lanjut dijelaskan bahwa setelah
ternak mencapai dewasa kelamin, pertumbuhan tetap berlanjut, meskipun kecepatan
pertumbuhan lebih lambat sampai dengan pertumbuhan dari otot dan tulang berhenti.
Ukuran dari seekor ternak sebagian besar tergantung pada ukuran dan jumlah dari
tulang dan otot. Lawrence dan Fowler (1997) menyatakan bahwa faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan tulang dapat dibagi ke dalam faktor exogenous (pakan)

dan faktor endogenous (kebanyakan oleh faktor hormonal). Pertumbuhan tulang
lebih banyak diatur oleh faktor genetik, disamping sirkulasi hormon, vitamin A dan
D (Rose, 1997). Testosteron sebagai steroid dari androgen mengakibatkan
pertumbuhan yang lebih cepat pada ternak jantan dibandingkan dengan ternak betina.
Hormon testosteron dengan dosis rendah akan meningkatkan pelebaran dari
epiphysis tulang dan membantu hormon pertumbuhan, sedangkan hormon estrogen
berpengaruh sebagai penghambat pertumbuhan kerangka (Herren, 2000).
Rataan pertumbuhan tulang pada unggas cenderung mengalami kenaikan
pada umur 4-12 minggu kemudian mulai umur 12-20 minggu laju pertumbuhan
tulang mengalami penurunan (Jull, 1979). Setelah unggas mencapai dewasa tubuh,
sangat sedikit perubahan yang terjadi pada tulang bahkan dapat tidak mengalami

pertumbuhan sehingga pengukuran panjang maupun lingkar pada tulang dapat
memberikan hasil yang lebih akurat untuk mengetahui ukuran tubuh jika
dibandingkan dengan bobot badan (Hutt, 1949).
Dalton (1981) menyatakan bahwa nilai heritabilitas (daya waris) dari ukuranukuran tubuh ayam yaitu panjang tarsometatarsus (0,40-0,55), lebar dan lingkar dada
(0,15-0,35) dan panjang tulang sternum (0,30-0,57). Heritabilitas ini berhubungan
dengan proporsi yang dapat diwariskan pada generasi selanjutnya dari keragaman
fenotipik yang dikontrol oleh gen (Noor, 2000). Sehubungan dengan hal tersebut,
heritabilitas ukuran-ukuran tubuh mempunyai peranan penting terutama dalam

seleksi. Lebih lanjut, Noor (2000) menyatakan bahwa seleksi merupakan proses
membiarkan individu-individu yang memiliki gen-gen terbaik untuk bereproduksi
sedangkan ternak lain tidak diberikan kesempatan bereproduksi sehingga
menghasilkan keturunan dengan sifat-sifat yang diinginkan. Falconer dan Mackay
(1996) menyatakan bahwa seleksi merupakan salah satu faktor yang dapat mengubah
frekuensi gen secara systematic processes. Noor (2000) menambahkan bahwa seleksi
akan meningkatkan frekuensi gen-gen yang diinginkan dan menurunkan frekuensi
gen-gen yang tidak diinginkan.
Morfometrik
Morfo menunjukkan perbedaan bentuk spesies dalam suatu populasi
(Campbell dan Lack, 1985). Morfometrik dapat diartikan sebagai suatu cara yang
mencakup pengukuran bentuk atau suatu cara pengukuran yang memungkinkan
sesuatu untuk diuji. Menurut Hutt (1949), sifat kuantitatif dapat digunakan untuk
menentukan morfologi dan kemurnian suatu bangsa ayam. Sehubungan dengan hal
tersebut, Ishii et al. (1996) menyatakan bahwa ukuran dan bentuk tubuh ternak
digunakan untuk menentukan pertumbuhan baku dan menilik ternak. Ukuran-ukuran
tubuh dapat juga digunakan untuk mengetahui morfogenetik dari jenis ternak tertentu
dalam populasi yang tersebar luas antar wilayah atau negara. Hasil yang didapat akan
menggambarkan hubungan morfogenetik dan memberikan gambaran bentuk tubuh
hewan sebagai ciri khas bangsa ternak tertentu (Mulliadi, 1996).

Sifat kuantitatif berperan penting dalam bidang peternakan terutama yang
terkait dengan sifat produksi. Penampilan sifat-sifat kuantitatif ini dipengaruhi oleh
genetik (keturunan), lingkungan dan interaksi antara genetik dan lingkungan

(Campbell dan Lasley, 1985). Hutt (1949) menyatakan bahwa beberapa sifat
kuantitatif yang terpenting adalah bobot badan, panjang tulang femur, panjang tulang
tibia, tulang tarsometatarsus, lingkar tarsometatarsus, panjang jari ketiga, panjang
sayap, panjang maxilla, dan tinggi jengger. Beberapa sifat yang berhubungan dengan
produktivitas unggas yaitu panjang tarsometatarsus (betis), lingkar metatarsus,
lingkar dada, panjang paha dan dada (Hutt, 1949). Skeleton ayam yang dibentuk
oleh tulang merupakan struktur hidup dengan fungsi utama sebagai pelindung tubuh,
memberikan kekerasan dan bentuk pada tubuh, berperan sebagai pengungkit, tempat
cadangan mineral dan memberikan fasilitas tempat untuk pembentukan darah
(Frandson, 1992). Ukuran kerangka ayam bagi peternak merupakan indikator
produksi ternak karena dapat menentukan produktivitas antara lain untuk menduga
bobot ayam yang akan dihasilkan.
Ukuran tulang paha, betis dan tarsometatarsus serta perbandingan antara
panjang dengan lingkar tarsometatarsus menunjukkan nilai-nilai yang efektif untuk
pendugaan konformasi tubuh (Nishida et al., 1980). Lebih lanjut Nishida et al.
(1982) menyatakan bahwa bentuk tubuh ayam dipengaruhi oleh tinggi jengger,
panjang sayap, panjang femur dan panjang tibia. Ukuran linear permukaan tubuh
ayam Pelung dan Kampung disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Ukuran Linear Permukaan Tubuh Ayam Pelung dan Ayam Kampung
Variabel

Ayam Pelung


Panjang Femur
150,38±17,2a
Panjang Tibia
180,10±13,6a
Panjang
127,30±19,9a
Tarsometatarsus
Lingkar Tarsometatarsus
63,80±6,3a
Panjang Jari Ketiga
Panjang Sayap
260,72±1,48a
Panjang Maxilla
41,08±5,80a
Tinggi Jengger
69,77±12,86a
Panjang Sternum
Keterangan : ♂ = jantan; ♀ = betina

Ayam Kampung






130,24±15,1a
151,30±12,5a

102,29±6,45b
152,95±10,24b

83,48±3,79b
123,14±5,92b

100,00±12,5a

110,04±9,11b

85,81±4,52b

49,40±6,2a
229,00±7,1a
37,52±5,38a
27,90±9,23a
-

53,92±7,44b
64,27±5,93b
234,79±15,10b
35,99±3,65b
49,45±19,40b
130,76±10,31b

39,64±3,02b
52,64±5,16b
192,14±11,61b
31,70±1,86b
16,84±10,09b
105,24±8,08b

Sumber: a) Nugraha (2007); b) Sulandari et al. (2007)

Tulang Femur. Tulang femur (stylopodium) adalah tulang kuat yang berbentuk pipa.
Pada posisi berdiri, tulang femur ini miring secara kraniodistal dan lateral.
McLelland (1990) menyatakan bahwa tulang femur merupakan tulang yang terdapat
antara tulang pelvis pada bagian atas dan tulang tibia pada bagian bawah. Bagian
ujung distal dari femur miring secara kraniolateral yang membawa banyak anggota
badan bagian belakang mendekat ke pusat gravitasi tubuh.
Tulang Tibia. Bagian anggota badan sering kali didasarkan sebagai drumstick dan
terdiri atas seperti balutan, fibula dan tibia yang tergabung dengan baris proksimal
dari tulang tarsal ke bentuk tibiotarsus (McLelland, 1990). Tulang tibia adalah tulang
yang kuat, berbentuk pipa dengan ujung distal yang mana baris proksimalnya dari
tulang tarsal (ossa tarsalia) (Nickel et al., 1977).
Tulang Tarsometatarsus. Pembentukan tulang metatarsus pada unggas sampai
dengan sempurna relatif lebih cepat pada betina yaitu 139 hari tetapi lebih lambat
pada jantan yaitu 195 hari (Hutt, 1949). McLelland dan King (1975) menyatakan
bahwa tulang tarsometatarsus sebagai tulang campuran yang dibentuk dari gabungan
baris distal dari tulang tarsal ke tiga tulang metatarsal (digit II, III, dan IV)
(McLelland, 1990). Pada jantan dan juga beberapa betina, sebuah tulang mata-taji
tumbuh dari bagian distal dari permukaan tengah tarsometatarsus. Nickel et al.
(1977) menyatakan bahwa tulang tarsometatarsus (ossa cruris), zeugopodium terdiri
atas tibia dan fibula dan merupakan hasil gabungan dari tulang metatarsal II, III, dan
IV dan baris distal dari tulang tarsal dengan ujung proksimal menunjang dua
permukaan artikular konkaf yang dipisahkan oleh protruberance. Tarsometatarsus
dan sebagian besar dari kaki ditutupi sisik yang bervariasi warnanya. Warna kuning
pada

tarsometatarsus

ditemukan

mengandung

pigmen

karotenoid

dalam

epidermisnya ketika pigmen melanik tidak ada (North dan Bell, 1990).
Tulang Digit. Menurut McLelland dan King (1975); McLelland (1990), pada
kebanyakan burung termasuk ayam lokal memiliki digit I sampai IV (dengan jumlah
tulang jari sebanyak dua, tiga, empat dan lima). Jari pertama secara tepat berada
paling belakang. Tulang ini memperlihatkan suatu variasi yang baik dalam struktur.
Posisi dari jari-jari menyatakan kepentingan dalam taksonomi yang dihubungkan
dengan posisi burung saat bertengger ataupun tidak bertengger.

Tulang Sayap. Nickel et al. (1977) menyatakan bahwa skeleton sayap burung terdiri
atas: 1) stylopodium yang terdiri atas tulang lengan atas atau humerus; 2)
zeugopodium yang terdiri atas radius dan ulna; 3) autopodium, yang dibuat dari
basipodium yang terdiri atas pergelangan atau carpus, metapodium (metacarpus) dan
acropodium (jari-jari atau digiti). Humerus adalah tulang yang kuat, bersifat
pneumatik dan tulang berbentuk pipa (Nickel et al., 1977). McLelland (1990)
menambahkan bahwa pergerakan yang terjadi pada tulang ini termasuk elevasi,
depresi, protraksi dan retraksi. Elevasi adalah gerakan mengangkat atau menaikkan
bahu sebesar 45°, sedangkan depresi adalah gerakan menurunkan atau menggerakkan
bahu ke bawah sebesar 70°, protraksi adalah gerakan menggerakkan bahu ke anterior
sebesar 30° dan retraksi adalah gerakan menarik bahu ke posterior sebesar 30°.
Tulang lengan depan (ossa antebrachii) terdiri atas ulna dan radius yang kecil.
Kedua tulang ini adalah tulang dengan panjang yang hampir sama dan dipisahkan
oleh lebar spatium interosseum, serta tampak mirip satu sama lain (Nickel et al.,
1977). Secara umum, tulang ulna mempunyai ukuran yang lebih besar dibandingkan
dengan radius (McLelland dan King, 1975). Kedua tulang ini menjadi seperti busur
sepanjang ukuran panjang sehingga hal ini memberikan perlindungan melawan
paksaan pembengkokan pada saat terbang dari sayap dan ulna-radius beratrikulasi
dengan tulang karpal ulnar dan radial (McLelland, 1990).
Tulang Maxilla. Maxilla (ossa maxillaria) merupakan tulang kecil dan terbentuk
dari tepi kaudal dari paruh bagian atas dan juga bagian dari tulang langit-langit
mulut. Tulang maxilla ini tergabung dengan tulang nasal dan premaxillary dengan
palatine dan tulang zygomatic (Nickel et al., 1977).
Jengger. Semua bangsa ayam mempunyai jengger walaupun beberapa jengger
berukuran kecil. Bagian subcuties jengger mengandung banyak pembuluh darah dan
bagian corium merupakan sebuah jaringan komplek yang terdiri atas kapiler darah
(Nickel et al., 1977). Warna merah pada jengger dihubungkan pada darah di bawah
sinus kapiler, sedangkan untuk beberapa ayam yang mempunyai jengger berwarna
hitam lebih berhubungan dan pigmen melanin (Lucas dan Stettenheim, 1972). Hutt
(1949) menyatakan bahwa sejak domestikasi dari tetua unggas lokal modern, secara
jelas ditemukan sejumlah mutasi yang mempengaruhi jengger dan menghasilkan
bentuk jengger rose, pea, walnut, trifid, duplex, atau V dan side sprigs. Hal ini juga

dinyatakan Lucas dan Stettenheim (1972) yang mendukung bahwa terdapat beberapa
modifikasi dari jengger yang telah berkembang dalam proses domestikasi seperti
buttercup, V-shaped, pea, rose, silkie, strawberry dan cushion. Jengger tunggal
(single comb) dibagi menjadi empat bagian yaitu pangkal, tubuh, ujung dan bilah.
Jengger pea adalah jengger dengan tampilan rangkap tiga atau tiga jengger tunggal
yang ukuran tingginya lebih rendah dibandingkan dengan single comb atau buttercup
comb. Hutt (1949) menyatakan bahwa P merupakan gen tipe jengger pea. Noor
(2000) menyatakan bahwa bentuk jengger tunggal (single comb) dikontrol oleh
sepasang alel yang resesif (rr). Jengger rose merupakan elaborasi lebih lanjut tipe
pea comb dari pangkalnya (Lucas dan Stettenheim, 1972). Lebih lanjut Hutt (1949)
menyatakan bahwa kondisi jengger ini disebabkan oleh gen dominan R.
Tulang Dada (Sternum). Sternum atau tulang dada adalah tulang yang luas, secara
dorsal konkaf dan secara ventral konveks, tulang dengan bentuk pipih yang
membentuk suatu perlindungan ventral untuk lebih atau setengah dari rongga tubuh.
Bentuk dan ukuran tulang dada berhubungan dengan otot terbang utama (Nickel et
al., 1977).
Analisis Diskriminan
Analisis diskriminan dapat digunakan untuk mengetahui peubah-peubah
pembeda yang dapat membedakan kelompok-kelompok populasi dan digunakan
sebagai kriteria pengelompokan. Analisis diskriminan dilakukan berdasarkan
perhitungan statistik terhadap kelompok yang terlebih dahulu diketahui secara jelas
dan mantap pengelompokannya (Gaspersz, 1992). Analisis ini dapat mengetahui
peubah fenotipik morfometrik yang menunjukkan penciri bangsa yang disebutkan
sebagai peubah pembeda. Lebih lanjut Gaspersz (1992) menyatakan bahwa metode
fungsi diskriminan pada awalnya dikembangkan oleh Ronald A. Fisher pada tahun
1936 sehingga fungsi diskriminan yang dibangun itu sering pula disebut sebagai
fungsi diskriminan linier Fisher. Fungsi linier tertentu atau fungsi diskriminan
merupakan fungsi pembeda (pemisah) terbaik bagi dua atau lebih populasi yang telah
diukur dalam beberapa karakter.
Mangku (1993) menyatakan bahwa analisis diskriminan merupakan salah
satu teknik yang penting dalam analisis banyak peubah (multivariate analysis).
Purnomo (2003) menambahkan bahwa fungsi diskriminan linier bersandarkan pada

asumsi bahwa beberapa kelompok mempunyai matriks peragam yang sama dan
menggunakan sebaran normal ganda. Analisis ini merupakan suatu metodologi
statistik yang berhubungan dengan data yang mana dua atau lebih peubah diukur dari
tiap objek atau individu. Secara umum, analisis diskriminan memusatkan pada
hubungan yang terjadi diantara peubah (variables-directed techniques) dan di antara
individu (individual-directed techniques). Afifi dan Clark (1996) menyatakan bahwa
teknik analisis diskriminan digunakan untuk menggolongkan individu-individu ke
dalam satu dari dua atau lebih alternatif kelompok (populasi) berdasarkan
pengukuran-pengukuran yang telah ditetapkan. Teknik ini juga dapat digunakan
untuk

mengidentifikasi peubah yang

berkontribusi untuk membuat

suatu

penggolongan. Lebih lanjut Mangku (1993) menyatakan bahwa analisis diskriminan
ini dapat memberikan suatu eksistensi berbagai kelompok dari individu-individu
sehingga dapat diketahui cara terbaik untuk memaparkan perbedaan antara kelompok
(discriminant problems) dan suatu cara untuk menentukan individu-individu baru ke
dalam satu kelompok yang ada (classification problem).
Interaksi Genetik dan Lingkungan
Interaksi genetik dan lingkungan biasa dievaluasi sebagai perubahan relatif
pada performa dua atau lebih genetik dalam dua atau lebih lingkungan. Mathur
(2003) menyatakan perlu dilakukan pendugaan seberapa besar interaksi untuk dapat
mengevaluasi signifikansi biologis dan aturan dalam program seleksi. Besarnya
interaksi genetik dan lingkungan tergantung pada penciri, genetik dan lingkungan.
Interaksi genetik dan lingkungan secara umum lebih tinggi pada beberapa sifat
dengan heritabilitas tinggi, yaitu reproduksi dan efisiensi pakan; tetapi lebih rendah
pada sifat dengan heritabilitas tinggi yang lain, yaitu pertumbuhan dan ukuran tubuh.
Efek yang tidak menguntungkan karena ada pengaruh interaksi genetik dan
lingkungan pada genetik yang diinginkan dapat diatasi dengan cara penyesuaian
manajemen pemeliharaan. Namun dalam banyak kasus penyesuaian tersebut tidak
berhasil sesuai yang diharapkan bahkan bisa menambah biaya dan tidak efektif. Tiga
hal penting perlu dipertimbangkan dalam interaksi genetik dan lingkungan yaitu,
pilihan bangsa atau garis keturunan yang baik, seleksi untuk perbaikan lebih lanjut,
perbaikan lebih lanjut dalam genotip terpilih seperti ukuran tubuh atau penggunaan
gen utama.

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juni 2011. Data diperoleh
dengan melakukan pengukuran terhadap peubah-peubah permukaan linear tubuh
ternak ayam Ketawa, ayam Pelung dan ayam Kampung. Lokasi penelitian meliputi
peternakan ayam Ketawa Permata Hijau (Jakarta), peternakan ayam Ketawa Godean
(Yogyakarta), peternakan ayam Ketawa Cileungsi, peternakan ayam Pelung
Salabenda, peternakan ayam Pelung Dramaga dan peternakan ayam Kampung
Bantarjati (Bogor).
Materi
Materi penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah ayam Ketawa,
ayam Pelung dan ayam Kampung. Ayam-ayam yang diamati terdiri atas jenis
kelamin jantan dan betina, dengan umur seragam yakni 7-8 bulan. Pengambilan
sampel ayam pada masing-masing jenis kelamin dilakukan sebanyak 15 ekor.
Peralatan yang digunakan adalah jangka sorong dan pita ukur. Selain itu
digunakan lembar isian yang berisikan data-data peubah ukuran permukaan linear
tubuh ayam yang diamati, alat tulis, dan kamera digital.
Prosedur
Pengumpulan Data
Seluruh data diperoleh dengan cara pengukuran langsung kemudian
diklasifikasikan berdasarkan rumpun ayam (kelompok) dan jenis kelamin. Data
primer tersebut diolah menggunakan software statistik berdasarkan klasifikasi
tersebut, yaitu Minitab versi 15.1.20.0. Hasil pengolahan data disajikan dalam bentuk
tabel dan gambar.
Pengukuran Peubah Permukaan Linear Tubuh
Pengukuran peubah-peubah permukaan linear tubuh dilakukan secara langsung
pada masing-masing jenis kelamin ayam yang diamati sebanyak 15 ekor. Pengukuran
ini dilakukan di enam lokasi berbeda yaitu Jakarta, Godean, Cileungsi, Dramaga,
Salabenda dan Bantarjati.

Peubah-peubah permukaan linear tubuh yang diamati sebanyak sebelas peubah,
terdiri atas panjang femur (X1), panjang tibia (X2), panjang tarsometatarsus (X3),
lingkar tarsometatarsus (X4), panjang jari ketiga (X5), panjang sayap (X6), panjang
maxilla (X7), tinggi jengger (X8), panjang leher (X9), panjang sternum (X10) dan
lebar sternum (X11). Seluruh pengukuran peubah tersebut dilakukan dengan
menggunakan jangka sorong digital.
X8

X9
X6

X7

X10/ X11
X2

X1
X3/ X4

X5
Sumber : Nesheim et al. (1972)

Gambar 4. Peubah Morfometrik Permukaan Linear Tubuh Ayam
Pengukuran morfometrik permukaan linear tubuh ayam dilakukan dalam satuan
millimeter (mm). Panjang femur diukur sepanjang tulang paha bagian ujung distal
yang beratrikulasi dengan tibia, fibula dan patella. Panjang tibia diukur dari patella
sampai

ujung

tibia.

Panjang

tarsometatarsus

diukur

sepanjang

tulang

tarsometatarsus. Lingkar tarsometatarsus diukur melingkari tulang tarsometatarsus
pada bagian tengahnya. Panjang jari ketiga diukur dari pangkal jari ketiga yang
terdiri atas empat phalanges sampai ujung jari. Panjang sayap diukur dengan
merentangkan bagian sayap terlebih dahulu dan dimulai dari pangkal humerus
sampai ujung phalanges. Panjang maxilla diukur dari pangkal sampai ujung paruh
bagian atas. Tinggi jengger diukur melingkar dari pangkal jengger di atas kepala

sampai ujung jengger yang paling tinggi pada kondisi tegak lurus 90 o. Panjang tulang
leher diukur dari ujung tulang leher bagian pangkal sampai ujung leher. Panjang
sternum diukur dari sepanjang tulang dada bagian depan mulai dari pangkal atas
hingga ujung dada. Lebar sternum diukur sepanjang tulang dada.
Rancangan dan Analisis Data
Statistik Deskriptif
Data dianalisis deskriptif meliputi rataan, simpangan baku dan koefisien
keragaman.

Rataan,

simpangan

baku

dan

koefisien

keragaman

dihitung

menggunakan rumus yang disarankan Stansfield (1983). Rumus rataan sebagai
berikut:
X=
Keterangan:

∑Ni=1 Xi X1 + X2 + X3 + ⋯ + X4
=
n
n

X

: rata-rata

Xi

: ukuran ke-i dari peubah ke x

n

: jumlah sampel yang diambil dari populasi ayam
Rumus perhitungan simpangan baku sebagai berikut:
S=

Keterangan:

∑ni=1 (Xi− X)2
n−1

s

: simpangan baku

X

: rata-rata

Xi

: ukuran ke-i dari peubah x

n

: jumlah sampel yang diambil dari populasi ayam

Rumus perhitungan koefisien keragaman sebagai berikut:
s
KK = x 100 %
X
Keterangan:
KK

: koefisien keragaman

s

: simpangan baku

X

: rata-rata

Statistik T2-Hotelling
Setelah data dianalisis secara deskriptif, kemudian diolah menggunakan
statistik T2-Hotelling (Gaspersz, 1992) sebagai berikut:
n1 n2
T2 =
X − X2 SG−1 X1 − X 2
n1+ n2 1
lebih lanjut besaran:

F=

n1 n2
T2
n1 + n2 − 2 p

akan berdistribusi dengan derajat bebas:
V1 = p

V2 = n1 + n2 – p – 1

Keterangan:
T2

= Hasil uji statistik T2-Hotelling

F

= Nilai hitung untuk T2-Hotelling

n1

= Ukuran contoh dari kelompok ayam pertama

n2

= Ukuran contoh dari kelompok ayam kedua

P

= Jumlah peubah yang digunakan

SG−1

= Invers dari matriks kovarian (SG)

X1

= Vektor nilai rataan peubah acak dari kelompok ayam pertama

X2

= Vektor nilai rataan peubah acak dari kelompok ayam kedua
Hipotesis dalam pengujian tersebut adalah sebagai berikut:
H0 : U1 = U2

: vektor nilai rataan dari kelompok ayam pertama sama
dengan kelompok ayam kedua

H1 : U1 ≠ U2

: kedua vektor nilai rataan berbeda dari keseluruhan
kelompok ayam pertama dan kedua

Uji diskriminan Fisher dilakukan setelah uji statistik T 2-Hotelling. Uji tersebut
dilakukan untuk memperoleh persamaan diskriminan Fisher yang mencakup peubahpeubah pembeda diantara dua kelompok rumpun ayam yang diamati.
Analisis Fungsi Diskriminan Fisher
Gaspersz (1992) merumuskan fungsi diskriminan linier Fisher sebagai berikut:
Y = a X = X1 − X2 SG−1 X = a1 x1 + a2 x2 + a3 x3 + … . + an xn

Keterangan:
a

= vektor koefisien pembobot fungsi diskriminan

X

= vektor peubah acak yang diidentifikasi dalam model fungsi diskriminan

X1

= vektor nilai rata-rata peubah acak dari kelompok ayam pertama

X2

= vektor nilai rataan peubah acak dari kelompok ayam kedua

SG−1 = invers dari matriks kovarian (SG)
an

= vektor koefisien pembobot fungsi diskriminan ke-n

xn = vektor peubah acak yang diidentifikasi dalam model fungsi diskriminan ke-n
Pengujian selang kepercayaan serempak digunakan untuk menerangkan
kontribusi peubah-peubah yang telah diukur sebagai peubah pembeda dalam fungsi
diskriminan yang dibentuk. Bila selang kepercayaan mengandung nilai nol, maka
kedua rataan kelompok ayam untuk peubah tersebut dianggap tidak berbeda pada
taraf 95%, sehingga dapat dikeluarkan dari fungsi diskriminan.
Pengujian selang kepercayaan menurut Gaspersz (1992) adalah sebagai berikut:
c X1 X 2

± c SG c

Keterangan:

n1 + n2 2
T(p,n 1 +n 2 −2)
n1 n2

c

= vektor nilai yang mengikuti perbandingan peubah Xi

c

= invers dari vektor nilai yang mengikuti perbandingan peubah Xi

SG = matriks peragam gabungan
X1 = vektor nilai rataan peubah acak dari kelompok ayam pertama
X2 = vektor nilai rataan peubah acak dari kelompok ayam kedua
T2 = nilai T2-Hotelling dari tabel Hotelling dengan taraf nyata α
n1 = ukuran contoh pada kelompok ayam pertama
n2 = ukuran contoh pada kelompok ayam kedua
Keeratan hubungan antara peubah pembeda dan fungsi diskriminan yang
dibentuk pada setiap dua kelompok ayam yang diamati dilakukan berdasarkan
analisis korelasi menurut Gaspersz (1992) sebagai berikut:
R Y,Xi = di / Sii D2

Keterangan:
R,Y,Xi = korelasi antara fungsi diskriminan dengan peubah Xi dalam model
di

= selisih antara rataan peubah Xi diantara kedua kelompok ayam

Sii

= ragam dari peubah Xi diperoleh dengan matriks S G

D2

= nilai jarak ketidakserupaan D2-Mahalanobis
Hasil perhitungan korelasi yang paling lemah adalah hasil perhitungan yang

mengandung nilai nol sehingga diputuskan peubah paling lemah dikeluarkan dari
model fungsi diskriminan. Model fungsi diskriminan menjadi berubah karena
ditemukan peubah yang hilang.
Untuk keperluan penggolongan, maka perlu ditentukan nilai:
1
1 2
−1

1 − 2 ′ ��
1 − 2 =
2
2
Kriteria untuk penggolongan dapat menggunakan konsep sebagai berikut:
�=

1. Jika

0

2. Jika

0

− � > 0, maka digolongkan ke dalam kelompok ayam pertama

− � ≤ 0, maka digolongkan ke dalam kelompok ayam kedua

Analisis Wald-Anderson

Menurut Gaspersz (1992), penggolongan berdasarkan kriteria statistik WaldAnderson sebagai berikut:

Keterangan:

W = X SG−1 X1 − X2 − 1/2 X1 + X2 SG−1 X1 − X2

W

= nilai uji statistik Wald-Anderson

X

= vektor peubah acak individu

SG−1 = invers matriks gabungan

X1 = vektor nilai rataan peubah acak dari kelompok ayam pertama
X2 = vektor nilai rataan peubah acak dari kelompok ayam kedua
Kriteria penggolongan berdasarkan statistik Wald-Anderson (Gaspersz, 1992)

adalah:
1.
2.

Pengalokasian � ke dalam kelompok 1 jika W > 0

Pengalokasian � ke dalam kelompok 2 jika W ≤ 0

Analisis D2-Mahalanobis
Jarak ketidakserupaan morfometrik antara dua kelompok rumpun ayam
dihitung berdasarkan Gaspersz (1992), sebagai berikut:

Keterangan:

D2 Mahalanobis = X1 − X2 SG−1 X1 − X2

X1 = vektor nilai rataan peubah acak dari kelompok ayam pertama
X2 = vektor nilai rataan peubah acak dari kelompok ayam kedua
SG-1 = invers matriks gabungan

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Peternakan Ayam Ketawa Permata Hijau, Kecamatan Kebayoran Lama
Peternakan Ayam Ketawa Permata Hijau berlokasi di Komplek Perumahan
Permata Hijau II, Kecamatan Kebayoran Lama yang merupakan bagian dari kota
Jakarta Selatan dan terletak antara 106’22’42 BT sampai dengan 106’58’18 BT dan
pada 5’19’12 LS (Dinas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, 2011). Topografi wilayah
Jakarta Selatan pada umumnya berupa daerah perbukitan rendah pada tingkat
kemiringan 0,25%. Rata-rata ketinggian tanah mencapai 5-50 m dpl. Wilayah ini
beriklim panas pada suhu rata-rata per tahun 27 °C dengan tingkat kelembaban
berkisar antara 80%-90%. Arah angin dipengaruhi angin Muson Barat terutama pada
bulan Mei-Oktober. Puncak musim penghujan pada bulan Januari dan Februari
dengan rata-rata curah hujan 350 mm. Puncak musim kemarau terjadi pada bulan
Agustus dengan rata-rata curah hujan 60 mm (Dinas Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta, 2011).
Manajemen perkandangan dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu indukan,
anakan dan pejantan. Kandang pejantan dibuat secara khusus dan hanya diisi seekor
ayam dewasa. Konstruksi kandang dibuat dari bahan-bahan yang aman dan sesuai
dengan tata bangunan perkandangan. Proses pemeliharaan dilakukan semi-intensif
dengan pemberian pakan dua kali sehari yaitu pada siang dan sore hari. Pakan yang
diberikan meliputi bulir jagung yang dicampur dedak. Tujuan pemeliharaan ayam
Ketawa di peternakan ini dikhususkan sebagai ternak hias, sehingga peternak
memberikan perlakuan khusus untuk menghasilkan ayam Ketawa yang berkualitas
dan diharapkan dapat menjuarai kompetisi berkokok. Beberapa contoh perlakuan
khusus yang dilakukan meliputi pemberian vitamin, suplemen, jamu khusus untuk
suara kokok dan latihan berkokok setiap hari.
Kanopi buatan dan alami ditemukan pada peternakan tersebut untuk
mengontrol perubahan cuaca yang fluktuatif. Lokasi peternakan dibangun di sekitar
tempat pembibitan pohon salak, namun juga ditemukan pohon besar lain seperti
pohon mangga dan rambutan. Gambar 5 menyajikan denah lokasi peternakan ayam
Ketawa Permata Hijau Jakarta.

Jalan Cidodol

Lokasi Peternakan
Ayam Ketawa Permata Hijau II

Jalan Cidodol

Sumber: Google Map (2012)

Gambar 5. Denah Lokasi Peternakan Ayam Ketawa Permata Hijau II
Peternakan Ayam Ketawa Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman
Kecamatan Godean merupakan bagian dari Kabupaten Sleman di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak diantara 110° 33 00 sampai dengan
110° 13 00 BT dan 7° 34 51 LS sampai dengan 7° 47 30 LS. Wilayah ini
memiliki suhu rataan per tahun 26 oC dan kelembaban 74%-87%. Kecamatan
Godean terletak sekitar 10 km sebelah barat daya ibukota Kabupaten Sleman. Luas
wilayah sebesar 2.684 ha. Bentangan wilayah di Kecamatan Godean berupa tanah
datar dan sedikit berbukit (Dinas Pemerintah Kabupaten Sleman, 2011).
Peternakan ayam Ketawa Godean berlokasi di Desa Pasar Godean, Kabupaten
Sleman. Ayam Ketawa dipelihara dengan tujuan untuk memperoleh ayam hias
berkualitas serta bernilai ekonomis tinggi. Lokasi peternakan ini berada di
lingkungan pedesaan yang cukup jauh dari Yogyakarta, sehingga memiliki cuaca
yang masih relatif stabil, sedikit polusi dan nyaman untuk peternakan unggas.
Perkandangan dibagi menjadi tiga, yaitu kandang indukan, anakan dan pejantan.
Bangunan kandang dibuat dari bahan-bahan tradisional (bambu). Pemeliharaan
dilakukan secara semi-intensif, terutama pada kandang anakan. Ayam diumbar mulai
pagi hingga sore hari. Pakan yang diberikan berupa konsentrat dengan campuran
dedak. Perlakuan khusus seperti pemberian jamu pada ayam pejantan, dilakukan
karena jantan digunakan dalam kontes ayam hias. Jamu dibuat dari bahan bubuk
kencur, jahe, kuning telur bebek dan madu. Peternak melatih ayam jantan untuk

berkokok sesuai dengan tipe kokok masing-masing ayam secara individual yang
kegiatan ini dimulai dari pukul 8.00-10.00 WIB. Gambar 6 menyajikan denah lokasi
peternakan ayam Ketawa Godean di Kabupaten Sleman.

Lokasi Peternakan
Ayam Ketawa Godean
Sumber: Google Map (2012)

Gambar 6. Denah Lokasi Peternakan Ayam Ketawa Godean
Peternakan Ayam Ketawa Mughni Al-Maliki, Kecamatan Cileungsi
Kecamatan Cileungsi terletak di Kabupaten Bogor yang merupakan kawasan
industri di wilayah Jabodetabek, karena memiliki fasilitas cukup lengkap dan mudah
dijangkau dari Jakarta (Dinas Pemerintah Kabupaten Bogor, 2011). Peternakan ayam
Ketawa Mughni Al-Maliki terletak di lingkungan pesantren Mughni Al-Maliki
Kelurahan Cileungsi Bogor. Kepemilikan ayam Ketawa masih sebatas hobi atau
ayam hias kesayangan, sehingga jumlah ayam Ketawa yang dipelihara belum banyak
dan belum pernah mengikuti kontes.
Peternakan ini terletak di tengah-tengah area persawahan yang tidak jauh dari
pemukiman. Kondisi peternakan lembab dan agak panas, karena terletak pada
dataran rendah yang tidak banyak dijumpai pepohonan yang merupakan kanopi
alami. Sistem pemeliharaan yang digunakan pada peternakan ini adalah semiintensif, ayam diumbar pada siang hari di sekitar pekarangan peternakan. Konstruksi
kandang bertingkat yang terbuat dari bahan bambu. Ayam diberi pakan berupa
konsentrat dan vitamin. Peternakan ini memiliki mesin tetas buatan sendiri untuk
perbanyakan jumlah ayam Ketawa. Gambar 7 merupakan denah lokasi peternakan
ayam Ketawa Cileungsi, Kabupaten Bogor.

Lokasi Peternakan
Ayam Ketawa Cileungsi
Sumber: Google Map (2012)

Gambar 7. Denah Lokasi Peternakan Ayam Ketawa Cileungsi
Peternakan Ayam Pelung Salabenda, Ayam Pelung Bestari Dramaga dan Ayam
Kampung Bantarjati
Kotamadya Bogor secara geografis terletak pada 6.190-6.470 LS dan 106.10 –
107.1030 BT. Rata-rata suhu tahunan sebesar 26 °C, sedangkan rata-rata suhu
terendah adalah 21,8 °C pada bulan Desember dan Januari. Kelembaban udara
berkisar antara 70% dengan curah hujan tahunan sebesar 2.500-5.000 mm. Bogor
terletak pada 300 m dpl. Kemiringan lahan berkisar antara 0%-15% dan sebagian
kecil wilayah berada pada kemiringan antara 15%-30%.
Kelurahan Salabenda terletak di wilayah Kabupaten Bogor dan berbatasan
dengan Jakarta dan Tangerang, yang secara umum memiliki kondisi topografi sama
dengan kota Bogor. Peternakan ayam Pelung Salabenda berlokasi dekat dengan jalan
Raya Bogor-Parung. Jumlah ayam Pelung yang dipelihara mencapai ratusan dan
banyak yang menjadi juara pada kontes Pelung. Peternak memelihara ayam Pelung
ini untuk menghasilkan bibit unggul sehingga peternak tidak sembarangan
melakukan program pemuliaan. Bangunan kandang terdiri atas kandang indukan,
anakan dan pejantan. Sistem pemeliharaan dilakukan secara semi intensif, ayam
diumbar pada siang hari. Pakan yang diberikan berupa konsentrat, vitamin dan
suplemen khusus untuk menjaga kesehatan ternak.
Peternakan ayam Pelung Bestari Dramaga berlokasi di pinggir jalan Raya
Dramaga, Kabupaten Bogor. Ayam Pelung yang dijual langsung kepada konsumen
belum memiliki sertifikat kejuaraan ayam Pelung, tetapi berpotensi untuk siap dilatih

demi kepentingan kontes. Manajemen pemeliharaan pada peternakan semi-intensif,
ayam diumbar pada siang hari dan pemberian pakan dilakukan pada pagi dan sore
hari. Pakan yang diberikan berupa dedak yang dicampur dengan konsentrat.
Perkandangan dibagi atas tiga bagian, yaitu kandang anakan, indukan dan pejantan;
yang terletak dalam satu naungan. Perlakuan khusus tidak diberikan pada ayam
Pelung, sehingga ayam yang dijual hanya berdasarkan performa fisik yaitu ayam
Pelung, bukan sebagai ayam Pelung penyanyi.
Peternakan ayam Kampung Bantarjati terletak di kelurahan Sempur, Bogor
kota. Kepemilikan ayam Kampung berkisar antara 5-10 ekor pada setiap keluarga.
Ayam Kampung dipelihara secara semi-ekstensif, dengan pemberian pakan
tradisional yaitu berupa dedak dan sisa makanan rumah tangga. Peternak melakukan
usaha ini sebagai pekerjaan tambahan, yang bertujuan untuk melengkapi pekerjaan
utama sebagai pekerja pabrik. Pagi hari saat peternak bekerja di pabrik, ayam berada
dalam kandang dan hanya dikeluarkan ketika peternak tiba di rumah yaitu sore hari.
Peternak sering menitipkan ayam pada peternak lain untuk diumbar di siang hari.
Bangunan kandang terbuat dari bahan-bahan alami dan tradisional; yang terdiri dari
kandang indukan dan pejantan. Kandang anakan tidak tersedia khusus, namun akan
dibuat ketika telur-telur induk telah menetas. Gambar 8 menunjukkan lokasi
peternakan ayam Pelung Salabenda, Bestari Dramaga dan ayam Kampung Bantarjati,
Kabupaten Bogor.

Salabenda

Bantarjati

Sumber: Google Map (2012)

Gambar 8. Lokasi Peternakan Ayam Pelung Salabenda, Ayam Pelung
Dramaga dan Ayam Kampung Bantarjati

Analisis Statistik Deskriptif
Kelompok Ayam Ketawa
Hasil analisis statistik deskriptif pengukuran panjang femur (X1), panjang
tibia (X2), panjang tarsometatarsus (X3), lingkar tarsometatarsus (X4), panjang jari
ketiga (X5), panjang sayap (X6), panjang maxilla (X7), tinggi jengger (X8), panjang
leher (X9), panjang sternum (X10) dan leher sternum (X11) ayam Ketawa kelompok
Yogyakarta, Jakarta dan Bogor; disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Tabel 2. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman Ukuran Permukaan
Linear Tubuh Ayam Ketawa Jantan Kelompok Yogyakarta, Jakarta dan
Bogor
Peubah

Yogyakarta
n = 14

Bogor
n = 15

Jakarta
n = 15

--------------------------- (mm) -------------------------Panjang Femur (X1)

108,45 ± 6,85
(6,31%)

105,22 ± 6,25
(5,94%)

94,73 ± 10,93
(11,54%)

Panjang Tibia (X2)

141,47 ± 12,60
(8,91%)

128,58 ± 16,21
(12,60%)

107,75 ± 9,44
(8,76%)

Panjang
Tarsometatarsus (X3)

112,66 ± 28,06
(24,91%)

104,74 ± 7,30
(6,97%)

81,75 ± 7,29
(8,92)

Lingkar
Tarsometatarsus (X4)

11,30 ± 0,98
(8,69%)

13,38 ± 1,42
(10,63%)

12,11 ± 0,91
(7,52%)

Panjang Jari Ketiga (X5)

61,44 ± 6,13
(9,97%)

62,94 ± 5,38
(8,55%)

56,37 ± 5,66
(10,05%)

166,04 ± 12,14
(7,31%)

165,37 ± 27,22
(16,46%)

148,24 ± 9,40
(6,34%)

Panjang Maxilla (X7)

34,28 ± 3,13
(9,14%)

29,93 ± 3,55
(11,86%)

24,54 ± 3,71
(15,13%)

Tinggi Jengger (X8)

49,92 ± 14,37
(28,78%)

32,28 ± 15,45
(47,85%)

21,04 ± 4,51
(21,44%)

Panjang Leher (X9)

136,23 ± 15,67
(11,50%)

134,28 ± 13,04
(9,71%)

96,45 ± 13,45
(13,95%)

Panjang Sternum (X10)

104,55 ± 7,12
(6,81%)

123,47 ± 10,99
(8,90%)

94,90 ± 7,62
(8,03%)

Lebar Sternum (X11)

80,24 ± 7,06
(8,80%)

74,92 ± 9,39
(12,54%)

74,66 ± 6,25
(8,37%)

Panjang Sayap (X6)

Keterangan: n= jumlah contoh; persen dalam tanda kurung menunjukkan koefisien keragaman

Hasil statistik deskriptif pada Tabel 2 dan Tabel 3 tersebut belum dapat
memberikan perbedaan diantara ayam Ketawa jantan dan betina pada setiap lokasi
pengamatan. Hal tersebut juga belum dapat menjelaskan perbedaan ayam Ketawa
jantan antara lokasi pengamatan; juga pada ayam betina.
Tabel 3. Rataan, Simpangan Baku dan Koefisien Keragaman Ukuran Permukaan
Linear Tubuh Ayam Ketawa Betina Kelompok Yogyakarta, Jakarta dan
Bogor
Peubah

Yogyakarta
Bogor
Jakarta
n = 15
n = 15
n = 15
--------------------------- (mm) --------------------------

Panjang Femur (X1)

94,94 ± 7,83
(8,25%)

100,36 ± 11,79
(11,75%)

71,82 ± 5,48
(7,63%)

Panjang Tibia (X2)

114,05 ± 9,44
(8,27%)

114,34 ± 12,46
(10,90%)

96,20 ± 12,73
(13,24%)

Panjang
Tarsometatarsus (X3)

83,39 ± 6,35
(7,62%)

77,42 ± 15,02
(19,41%)

70,15 ± 8,43
(12,01%)

Lingkar
Tarsometatarsus (X4)

11,30 ± 1,64
(14,51%)

11,28 ± 1,67
(14,77%)

9,81 ± 1,27
(12,95%)

Panjang Jari Ketiga (X5)

47,44 ± 3,30
(6,95%)

52,93 ± 5,72
(10,80%)

45,75 ± 4,77
(10,42%)

144,64 ± 18,59
(12,85%)

145,42 ± 19,15
(13,17%)

143,83 ± 20,67
(14,37%)

Panjang Maxilla (X7)

29,45 ± 4,02
(13,66%)

30,14 ± 3,63
(12,03%)

21,31 ± 3,15
(14,80%)

Tinggi Jengger (X8)

18,68 ± 7,31
(39,15%)

33,98 ± 22,45
(66,06%)

19,76 ± 5,05
(25,56%)

Panjang Leher (X9)

108,08 ± 19,89
(18,41%)

130,67 ± 13,35
(10,21%)

98,91 ± 18,32
(18,53%)

Panjang Sternum (X10)

91,39 ± 7,11
(7,78%)

99,59 ± 11,59
(11,64%)

94,42 ± 7,67
(8,13%)

Lebar Sternum (X11)

72,55 ± 8,17
(11,26%)

71,76 ± 7,95
(11,07%)

72,66 ± 6,23
(8,58%)

Panjang Sayap (X6)

Keterangan: n= jumlah contoh; persen dalam tanda kurung menunjukkan koefisien keragaman

Uji statistik T2-Hotelling memberikan hasil bahwa perbedaan antara jantan dan
betina di setiap lokasi pengamatan ditemukan (P