Analisis Kelayakan Bisnis Penggemukan Sapi Potong pada PT Catur Mitra Taruma Desa Cariu Kecamatan Cariu Kabupaten Bogor

(1)

ANALISIS KELAYAKAN BISNIS PENGGEMUKAN SAPI

POTONG PADA PT CATUR MITRA TARUMA DESA CARIU

KECAMATAN CARIU KABUPATEN BOGOR

CHAIRUN NISA

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Kelayakan Bisnis Penggemukan Sapi Potong pada PT Catur Mitra Taruma Desa Cariu Kecamatan Cariu Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2013 Chairun Nisa NIM H34090001


(4)

ABSTRAK

CHAIRUN NISA. Analisis Kelayakan Bisnis Penggemukan Sapi Potong pada PT Catur Mitra Taruma Desa Cariu Kecamatan Cariu Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh RATNA WINANDI.

Terdapat kesenjangan antara jumlah konsumsi daging sapi dengan jumlah produksi daging sapi nasional. Kesenjangan tersebut membuka peluang untuk bisnis penggemukan sapi potong. PT Catur Mitra Taruma melihat peluang tersebut dan membuka bisnis penggemukan sapi potong pada bulan Maret 2010. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kelayakan bisnis penggemukan sapi potong pada PT Catur Mitra Taruma. Lokasi penelitian dilakukan di kantor pusat PT Catur Mitra Taruma di Jakarta Selatan dan di lokasi kandang penggemukan di Desa Cariu Kabupaten Bogor. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk menilai kelayakan bisnis berdasarkan aspek non finansial berupa aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan hukum, dan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Analisis kuantitatif berdasarkan kriteria penilaian investasi dan analisis sensitivitas mengunakan switching value digunakan untuk menilai kelayakan bisnis aspek finansial. Hasil analisis yang diperoleh, bisnis penggemukan sapi potong pada PT Catur Mitra Taruma layak untuk dijalankan baik berdasarkan aspek nonfinansial maupun aspek finansial. Berdasarkan analisis sensitivitas menggunakan switching value, komponen volume penjualan sapi siap potong lebih peka terhadap perubahan dibandingkan komponen biaya pakan konsentrat.

Kata kunci: kelayakan, penggemukan, sapi potong.

ABSTRACT

CHAIRUN NISA. Feasibility Analysis of Fattening Beef Cattle in PT Catur Mitra Taruma Desa Cariu Kecamatan Cariu Kabupaten Bogor. Supervised by RATNA WINANDI.

There is a gap between national beef consumption and production. This gap could be a chance to open fattening beef cattle. PT Catur Mitra Taruma took that chance and opened fattening beef cattle on March 2010. The purpose of this research is to analyze the feasibility of fattening beef cattle in PT Catur Mitra Taruma. The research was conducted at the main office of PT Catur Mitra Taruma at South Jakarta and its feedlot stall is at Desa Cariu, Kabupaten Bogor. Data analysis method which is used on this research is qualitative analysis method to analyze feasibility based on non-financial aspect such as market aspect, technical aspect, management and law aspect, and also social, economic, and environmental aspect and quantitative analysis based on investment criteria and sensitivity analysis using switching value to analyze feasibility based on financial aspect. The result of this feasibility analysis shows that fattening beef cattle in PT Catur Mitra Taruma is feasible to run. Based on the sensitivity analysis using a switching value, the component ready for slaughter cattle sales volume is more sensitive to change than the component cost of concentrate feed.


(5)

ANALISIS KELAYAKAN BISNIS PENGGEMUKAN SAPI

POTONG PADA PT CATUR MITRA TARUMA DESA CARIU

KECAMATAN CARIU KABUPATEN BOGOR

CHAIRUN NISA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013


(6)

(7)

Judul Skripsi : Analisis Kelayakan Bisnis Penggemukan Sapi Potong pada PT Catur Mitra Taruma Desa Cariu Kecamatan Cariu Kabupaten Bogor

Nama : Chairun Nisa NIM : H34090001

Disetujui oleh

Dr Ir Ratna Winandi, MS Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Nunung Kusnadi, MS Ketua Departemen


(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Ratna Winandi, MS selaku dosen pembimbing, Tintin Sarianti, SP, MM selaku dosen penguji utama, dan Dr Amzul Rifin, SP, MA selaku dosen penguji Departemen Agribisnis. Terima kasih juga disampaikan kepada Yanti N Muflik, SP, MAgribuss selaku wali akademik selama penulis menjalani masa perkuliahan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ir Ifyandri St. Rojolelo selaku Direktur Utama PT Catur Mitra Taruma, Ibu Maria Diana selaku Manajer Akuntansi PT Catur Mitra Taruma, dan Suhail Basymeleh selaku Supervisor Pemeliharaan Hewan PT Catur Mitra Taruma serta seluruh pihak dari PT Catur Mitra Taruma lainnya yang telah membantu selama pengumpulan data dan penelitian.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada orangtua tercinta Hasan Basymeleh dan Nur Sahil Sahak, kakak tercinta Suhail dan Fatma serta seluruh keluarga atas segala doa, kasih sayang, dan dukungannya kepada penulis selama ini. Terima kasih juga kepada seluruh sahabat dan teman-teman, khususnya teman-teman Agribisnis 46 atas segala doa, bantuan, dan dukungannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2013 Chairun Nisa


(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 7

Manfaat Penelitian 7

TINJAUAN PUSTAKA 8

KERANGKA PEMIKIRAN 13

Kerangka Pemikiran Teoritis 13

Kerangka Pemikiran Operasional 18

METODE PENELITIAN 19

Lokasi dan Waktu Penelitian 19

Jenis dan Sumber Data 20

Metode Pengumpulan Data 20

Metode Pengolahan dan Analisis Data 20

Asumsi Dasar 24

GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 25

Sejarah Perusahaan 25

Lokasi Perusahaan 25

Visi dan Misi Perusahaan 26

Aktivitas Bisnis Perusahaan 26

ANALISIS KELAYAKAN BISNIS ASPEK NON FINANSIAL 27

Aspek Pasar 27

Aspek Teknis 32

Aspek Manajemen dan Hukum 46

Aspek Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan 52

ANALISIS KELAYAKAN BISNIS ASPEK FINANSIAL 53

Arus Kas (Cashflow) 53

Analisis Laba Rugi 73

Analisis Kelayakan Finansial TARUMA 74

Analisis Sensitivitas dan SwitchingValue 75

SIMPULAN DAN SARAN 77

Simpulan 77

Saran 78

DAFTAR PUSTAKA 78


(10)

DAFTAR TABEL

1 Pertumbuhan ketersediaan komoditas pangan nabati dan pangan hewani

tahun 2007-2011 1

2 Konsumsi daging sapi per kapita di beberapa negara 2 3 Populasi sapi potong di Indonesia tahun 2011 3 4 Volume impor sapi Indonesia tahun 2009-2011 4 5 Jumlah penduduk Jabodetabek tahun 1990-2010 28 6 Harga produk yang dihasilkan TARUMA Februari 2013 31 7 Proyeksi panen sapi siap potong jenis lokal tahun 2013-2030 54 8 Proyeksi panen sapi siap potong jenis BX tahun 2013-2030 55 9 Proyeksi penjualan sapi siap potong jenis lokal tahun 2013-2030 56 10 Proyeksi penjualan sapi siap potong jenis BX tahun 2013-2030 57 11 Proyeksi pembelian sapi bakalan jenis lokal oleh TARUMA 60 12 Proyeksi pembelian sapi bakalan jenis BX oleh TARUMA 61 13 Proyeksi biaya pembelian sapi bakalan jenis lokal TARUMA 62 14 Proyeksi biaya pembelian sapi bakalan jenis BX TARUMA 63 15 Rincian biaya pakan untuk sapi yang digemukkan TARUMA 65 16 Rincian biaya pakan konsentrat untuk dijual oleh TARUMA 66 17 Rincian biaya eartag yang dikeluarkan TARUMA 68 18 Pembayaran pinjaman dan bunga TARUMA kepada Victoria Bank 72 19 Hasil analisis laporan laba rugi TARUMA 74 20 Hasil analisis kelayakan finansial TARUMA 74 21 Hasil analisis switching value pada TARUMA 76

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran operasional analisis kelayakan bisnis penggemukan sapi potong pada PT Catur Mitra Taruma 19

2 Hubungan antara NPV dan IRR 23

3 Kandang koloni (kiri) dan kandang individu (kanan) 33 4 Loading dan unloading facilities pada TARUMA 34 5 Cattle yard (kiri) dan cattle scale dan cattle crush (kanan) 35

6 Jembatan timbang pada TARUMA 35

7 Gudang dan pabrik pakan TARUMA 36

8 Kantor administrasi (kiri) dan wisma pegawai (kanan) 36 9 Saluran dan kolam Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) 37

10 Lapangan penjemuran kotoran sapi 38

11 Proses pemberian pakan dan minum 41

12 Proses pembuatan pakan konsentrat hingga pendistribusian ke kandang 42 13 Pembersihan dan pengumpulan kotoran sapi 44

14 Layout produksi pada TARUMA 45

15 Struktur organisasi TARUMA 48

16 Hubungan NPV dan IRR hasil analisis kelayakan finansial pada


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Jumlah nilai sisa bisnis penggemukan sapi potong TARUMA 82 2 Biaya investasi pada bisnis penggemukan sapi potong TARUMA 84 3 Rincian re-investasi yang dilakukan TARUMA 86 4 Proyeksi siklus pembelian sapi bakalan lokal pada TARUMA 92 5 Proyeksi siklus pembelian sapi bakalan impor pada TARUMA 93

6 Rincian biaya penyusutan TARUMA 94

7 Laporan laba rugi TARUMA 96


(12)

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Subsektor peternakan merupakan salah satu bagian dari sektor pertanian yang menyumbang pertumbuhan perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari persentase subsektor peternakan dalam PDB (Produk Domestik Bruto) Nasional Sektor Pertanian. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik yang disampaikan dalam Laporan Kinerja Kementerian Pertanian (2011), PDB sektor pertanian (di luar perikanan dan kehutanan) pada tahun 2011 (sampai dengan Triwulan III) tumbuh sebesar 3.07 persen, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pada tahun 2010 yaitu 2.86 persen. Pertumbuhan tersebut berasal dari subsektor perkebunan sebesar 6.06 persen, subsektor peternakan dan hasilnya sebesar 4.23 persen, dan subsektor tanaman bahan makanan sebesar 1.93 persen. Persentase pertumbuhan subsektor peternakan dan hasilnya pada tahun 2009, 2010, dan 2011 (sampai dengan Triwulan III) terus mengalami peningkatan, secara berturut-turut 3.45 persen, 4.06 persen, dan 4.23 persen.

Kontribusi subsektor peternakan terhadap pertumbuhan sektor pertanian menunjukkan bahwa subsektor peternakan merupakan salah satu subsektor penting yang harus mampu dikembangkan untuk menunjang perekonomian nasional. Pertumbuhan subsektor peternakan berimplikasi pada pertumbuhan ketersediaan pangan hewani guna mewujudkan ketahanan pangan nasional. Berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan – Badan Ketahanan Pangan (2012), pertumbuhan ketersediaan pangan hewani seperti daging sapi dan susu lebih besar dibandingkan pertumbuhan pangan nabati seperti beras, jagung, dan sayur, sebagaimana disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Pertumbuhan ketersediaan komoditas pangan nabati dan pangan hewani tahun 2007-2011a

Komodi tas

Produksi per tahunb Pertumbuhan per tahunc 2007 2008 2009 2010 2011d 2007

-2011

2010 -2011 Pangan nabati

Beras 32 371 34 166 36 207 37 371 36 962 3.41 -1.09 Jagung 11 721 14 413 15 597 16 223 15 632 7.89 -3.64 Sayur 9 077 9 634 10 203 10 278 10 266 3.17 -0.12 Pangan hewani

Daging Sapi

242 279 291 311 332 8.30 6.75

Daging Ayam

714 744 774 848 885 5.54 4.36

Telur 1 260 1 221 1 201 1 253 1 299 0.82 3.67

Susu 479 545 697 767 780 13.35 1.69

a

Sumber: Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan – BKP (2012); bProduksi per tahun (000 ton); cPertumbuhan per tahun (persen); dAngka sementara


(14)

Pertumbuhan ketersediaan pangan hewani yang selalu bernilai positif dibandingkan dengan pertumbuhan ketersediaan pangan nabati menunjukkan bahwa subsektor peternakan juga dapat berperan dalam mewujudkan ketahanan pangan terutama penyediaan bahan pangan asal ternak untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat Indonesia (Bahri dan Martindah 2007). Protein hewani memiliki manfaat yang cukup besar dalam membangun ketahanan pangan maupun menciptakan SDM yang sehat dan cerdas (Said 2011)

Daging yang berasal dari sapi potong merupakan salah satu sumber penghasil protein hewani selain daging ayam, telur, dan susu. Daging sapi memiliki kadar protein hewani yang paling tinggi dibandingkan sumber penghasil protein hewani lainnya. Kadar ptotein hewani yang terkandung dalam daging sapi adalah 19.8 persen, sedangkan kadar protein hewani dalam daging ayam, telur, dan susu berturut-turut sebesar 18.2 persen, 12.8 persen, dan 3.2 persen (Santoso 2011). Protein hewani asal daging sapi ini sangat penting karena mengandung semua asam amino esensial termasuk yang mengandung mineral S yang tidak dimiliki oleh protein nabati dan sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan mudah dicerna. Selain itu, daging sapi juga merupakan sumber utama mineral Ca, P, Zinc, Fe serta vitamin B2, B6, dan B12 yang penting bagi tubuh manusia (Talib dan Noor 2008). Selain mengandung gizi yang tinggi, daging sapi juga memiliki nilai ekonomis yang tinggi (Lembaga Penelitian Universitas Lambung Mangkurat 2011)

Angka konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia masih cukup rendah jika dibandingkan dengan negara lainnya. Perbandingan konsumsi daging sapi per kapita beberapa negara disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Konsumsi daging sapi per kapita di beberapa negaraa

Negara Konsumsi/Kapita/Tahun (kg)

Singapura 7

Malaysia 7

Vietnam 7

Filipina 4

Indonesia 2

a

Sumber: USDA dan Foodreview (2012)*disampaikan oleh Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec pada Seminar Nasional “Swasembada Daging 2014, Akankah Terealisasi?”, 29 September 2012, Gedung Graha Widya Wisuda IPB

Berdasarkan Tabel 2, konsumsi daging sapi per kapita masyarakat Indonesia adalah sebesar 2 kg/kapita/tahun. Jika dibandingkan dengan negara Singapura dengan konsumsi daging sapi sebesar 7 kg/kapita/tahun, dengan jumlah penduduknya hanya 5.31 juta jiwa (Primus 2012) atau hanya sebesar 2.21 persen dari total penduduk Indonesia, jumlah konsumsi daging sapi Indonesia masih jauh tertinggal. Selain itu, jumlah konsumsi daging sapi Indonesia juga masih di bawah jumlah rata-rata konsumsi daging sapi per kapita per tahun dunia berdasarkan data FAO 2002 sebesar 9.8 kg/kapita/tahun1. Jumlah penduduk Indonesia kurang lebih

1


(15)

240 juta jiwa berarti konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia sebesar 480 juta kg atau setara dengan 480 ribu ton per tahun.

Upaya pemenuhan konsumsi daging sapi Indonesia erat kaitannya dengan populasi ternak sapi dan kemampuan produksinya. Populasi sapi potong di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 secara nasional populasi ternak besar mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan tahun 2009. Populasi sapi potong sebesar 13.58 juta ekor (peningkatan sebesar 6.44 persen), sapi perah 0.49 juta ekor (peningkatan sebesar 2.89 persen), dan kerbau 2 juta ekor (peningkatan sebesar 3.45 persen). Data terakhir dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan menyebutkan bahwa pada tahun 2011 berdasarkan hasil sensus peternakan populasi sapi potong Indonesia mencapai 14.79 juta ekor, dengan rincian seperti yang dituliskan pada Tabel 3.

Tabel 3 Populasi sapi potong di Indonesia tahun 2011a

Jenis Jantanb Persentasec Betinab Persentasec Anak sapi 1.446 juta 30.68 1.415 juta 14.03 Sapi muda 1.815 juta 38.52 2.005 juta 19.88 Sapi dewasa 1.451 juta 30.8 6.658 juta 66.09 Total 4.712 juta 100.00 10.078 juta 100.00

a

Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012);bJantan, Betina (ekor);

c

Persentase (persen)

Berdasarkan data populasi sapi potong di Indonesia pada tahun 2011, terlihat bahwa jumlah sapi betina lebih besar dari jumlah sapi jantan. Dari jumlah populasi tersebut, sapi yang dapat dipotong adalah sapi dewasa yang idealnya telah mencapai bobot badan 345.82 kg/ekor. Dari bobot tersebut akan dihasilkan 50.845 persen karkas. Sebesar 79 persen dari karkas yang dihasilkan dari 1 ekor sapi berupa daging. Karkas merupakan bagian dari sapi yang bisa dikonsumsi. Sapi yang disarankan dipotong adalah sapi jantan atau sapi betina afkir (yang sudah tidak dapat berproduksi lagi) karena jika sapi betina produktif dipotong maka keberlanjutan populasi akan terancam dengan semakin sedikitnya indukan.

Produksi daging merupakan karkas hasil pemotongan ternak ditambah dengan edible offal (bagian yang dapat dimakan) selama waktu tertentu dan wilayah tertentu (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2011). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2011 produksi daging sapi di Indonesia pada tahun 2011 adalah sebesar 465 823 ton, meningkat sebesar 6.7 persen dibanding produksi tahun sebelumnya sebesar 436 452 ton. Namun, peningkatan tersebut belum dapat menghasilkan produksi sapi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan total konsumsi daging sapi di Indonesia sebesar 480 000 ton. Perbedaan antara jumlah konsumsi dan produksi yang terjadi menyebabkan Indonesia harus mengimpor kebutuhan daging sapi, baik itu melalui impor sapi bakalan (untuk digemukkan) ataupun mengimpor daging sapi beku dan jeroannya.


(16)

Tabel 4 Volume impor sapi Indonesia tahun 2009-2011a

Jenis komoditi Tahun

b

2009 2010 2011c

Sapi bibit 27 920 1 132 835 0 Sapi bakalan 229 154 562 208 583 779 73 981 909 Daging sapi 67 390 133 40 834 529 40 834 529 Jeroan sapi 42 114 689 21 636 789 21 636 789

a

Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011); bTahun (kg);cAngka Sementara

Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah impor sapi ke Indonesia mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Penurunan cukup tinggi terjadi pada tahun 2010 dan tahun 2011 terhadap impor sapi bakalan, yaitu sebesar 64.53 persen. Penurunan impor ini dimungkinkan dipengaruhi oleh salah satu program pemerintah yaitu Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2014. Swasembada daging sapi yang dimaksud oleh pemerintah adalah 90 persen kebutuhan daging sapi nasional dipenuhi oleh produksi dalam negeri, sedangkan 10 persen nya dipenuhi dari impor. Program ini merupakan tindak lanjut dari program swasembada daging yang pernah dicanangkan pada tahun 2005 dan tahun 2010 (Dirjen Peternakan 2011). Orientasi program swasembada daging sapi ini tidak semata-mata diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan konsumen dengan pengendalian impor sapi dan daging, akan tetapi lebih diarahkan untuk peningkatan produksi, kesejahteraan peternak, dan meningkatkan daya saing produksi sehingga akan berdampak pada pengurangan jumlah impor sapi.

Berdasarkan Cuplikan Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014, Program Swasembada Daging Sapi 2014 mencakup lima kegiatan pokok, yaitu (1) penyediaan bakalan/daging sapi lokal, (2) peningkatan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi lokal, (3) pencegahan pemotongan sapi betina produktif, (4) penyediaan bibit sapi lokal, dan (5) pengaturan stok daging sapi dalam negeri (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2011). Kegiatan-kegiatan tersebut melibatkan berbagai pihak tidak hanya pemerintah, tetapi pelaku bisnis peternakan sapi mulai dari yang berskala kecil, menengah, hingga berskala besar seperti industri penggemukan sapi.

Perumusan Masalah

Dalam menghadapi era globalisasi, Indonesia mengembangkan visi pembangunan pertanian Indonesia dalam upaya pembangunan nasional dengan sebuah “Visi Pembangunan Nasional” untuk periode waktu tahun 2005-2025 berdasarkan UU No. 17 Tahun 2007 adalah “Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur”. Terdapat tiga hal pokok yang berusaha diwujudkan dalam rangka pembangunan pertanian nasional tersebut, yaitu pencapaian ketahanan pangan, pengembangan agribisnis, dan peningkatan kesejahteraan petani. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga, yang tentunya bagi peternakan adalah tersedianya produk peternakan yang cukup, baik jumlah, mutu, aman, merata, dan terjangkau (Talib dan Noor 2008).


(17)

Permasalahan yang dihadapi dalam penyediaan daging sapi secara nasional adalah produksi daging nasional yang belum mencukupi kebutuhan konsumsi daging sapi nasional. Dengan besaran konsumsi daging sapi yang masih rendah yaitu 2 kg/kapita/tahun, produksi daging sapi nasional belum dapat mencukupinya, ditambah lagi dengan adanya potensi peningkatan konsumsi daging sapi per kapita masyarakat Indonesia seiring dengan peningkatan populasi penduduk, perkembangan taraf ekonomi, peningkatan kesadaran masyarakat akan kebutuhan gizi, dan perbaikan tingkat pendidikan. Upaya pemenuhan kebutuhan daging sapi nasional tersebut membawa kepada peluang yang baik bagi berkembangnya bisnis penggemukan sapi di Indonesia. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki daratan yang cukup luas dan kekayaan alam yang melimpah sehingga dapat dimanfaatkan dalam bisnis penggemukan sapi.

Bisnis penggemukan sapi dapat dilakukan secara perseorangan maupun secara perusahaan dalam skala besar. Bisnis penggemukan sapi mendatangkan keuntungan dari pertambahan bobot badan, lama waktu penggemukan, dan harga daging sapi. Selain itu, keuntungan juga dapat bertambah dari penjualan kotoran sapi yang dimanfaatkan sebagai pupuk kandang (Siregar 2003). Daging sapi sebagai suatu komoditas strategis memiliki harga yang cukup tinggi dan cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Peningkatan harga tersebut dapat meningkatkan keuntungan yang akan diperoleh dari bisnis penggemukan sapi.

Industri penggemukan sapi berkembang pesat di sekitar kawasan pasar utama yaitu kawasan Jabodetabek (Talib dan Noor 2008). Beberapa perusahaan penggemukan sapi yang terdapat di kawasan Jabodetabek diantaranya PT. Lembu Jantan Perkasa (Jakarta), PT. Kariyana Gita Utama (Jakarta), PT. Prisma Mahesa Unggul (Bogor), PT. ELDERS Indonesia (Jakarta), dan PT Catur Mitra Taruma (Jakarta) (Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat 2012). Dari beberapa perusahaan penggemukan sapi tersebut, PT Catur Mitra Taruma (TARUMA) merupakan perusahaan penggemukan sapi yang umur operasionalnya masih sangat muda, yaitu tiga tahun.

TARUMA didirikan pada bulan Maret tahun 2010. Aktivitas penggemukan sapi bakalan pada TARUMA menggunakan sapi bakalan impor seperti Brahman Cross dari golongan Bull (sapi jantan non produktif), Heifer (sapi betina non produktif), dan Steer (sapi jantan yang dikebiri). Sapi impor digunakan karena memiliki dasar genetik yang unggul, kuat fisik, dan kebal terhadap penyakit. Selain menggunakan sapi impor, TARUMA juga menggunakan sapi lokal jenis unggul seperti Limousin yang diperoleh dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pemilihan sapi impor dan sapi lokal yang digunakan untuk bakalan didasarkan pada beberapa persyaratan, yaitu: (1) Memiliki dasar genetik yang unggul, fisik yang kuat, dan kebal terhadap kutu dan penyakit; (2) Pemerintah negara/daerah asal sapi menerapkan standar kesehatan sapi secara ketat seperti dengan adanya sistem imunisasi dan sertifikasi; (3) Jarak antara negara/daerah asal sapi relatif tidak jauh sehingga dapat menekan biaya pengangkutan dan mengurangi penyusutan berat sapi serta mengurangi angka kematian sapi; dan (4) Iklim di negara/daerah asal sapi mirip dengan iklim di lokasi penggemukan sehingga sapi-sapi tidak perlu menyesuaikan dengan iklim baru. Aktivitas penggemukan sapi-sapi dilakukan dalam kurun waktu 4 bulan (CompanyProfile Taruma 2012).

Pada tahap awal berdirinya, TARUMA menyewa kandang dan mengadakan pembelian 2 000 ekor sapi impor yang digemukkan. Selanjutnya melalui


(18)

dukungan perbankan, TARUMA melaksanakan pembebasan lahan seluas 25 ha di Desa Cariu, Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat kemudian melakukan pembangunan fasilitas penggemukan sapi secara bertahap dengan kapasitas 20 000 ekor. Tahap pertama dibangun kandang berkapasitas 3 200 ekor lengkap dengan fasilitas pendukung seperti kandang semi tertutup, area luas untuk sapi, gudang bahan baku pakan, kantor administrasi, rumah ibadah, wisma pegawai, dan fasilitas pendukung lainnya (CompanyProfile Taruma 2012).

Pembangunan fasilitas yang dibutuhkan dalam bisnis penggemukan sapi merupakan bentuk kegiatan investasi. Kegiatan investasi yang dilakukan oleh TARUMA sebagai perusahaan penggemukan sapi yang baru berdiri untuk dapat mewujudkan perusahaan penggemukan sapi dengan infrastruktur serta fasilitas yang lengkap cukup besar, seperti untuk bangunan kandang, gudang bahan pakan, kantor, dan fasilitas lainnya. Kegiatan investasi yang besar berhubungan dengan pengeluaran biaya untuk investasi yang besar pula. Total biaya investasi yang dikeluarkan TARUMA dalam tiga tahun awal berdirinya bisnis mencapai sekitar Rp30 milyar. Selain kegiatan investasi, kegiatan operasional dalam bisnis penggemukan sapi seperti pemberian pakan, pembelian sapi bakalan, obat dan vitamin merupakan hal yang pokok dalam suatu bisnis penggemukan sapi. Biaya-biaya tersebut dalam bisnis penggemukan sapi digolongkan sebagai Biaya-biaya variabel yang akan berubah mengikuti perubahan kapasitas produksi yang dilaksanakan. Dalam kurun waktu tiga tahun pendirian TARUMA, keseluruhan biaya operasional variabel yang telah dikeluarkan TARUMA mencapai Rp87.5 milyar, dengan rata-rata biaya per tahunnya sebesar Rp29 milyar. Biaya tersebut masih sangat dimungkinkan untuk mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya kegiatan produksi yang dijalankan TARUMA. Dana yang digunakan untuk menutupi biaya operasional selain berasal dari TARUMA juga berasal dari pinjaman yang dilakukan kepada pihak bank. Kemampulabaan bisnis penggemukan sapi potong pada TARUMA menjadi bahan pertimbangan bagi pihak bank untuk memberikan pinjaman atau tidak. Untuk itu, analisis kelayakan bisnis perlu dilakukan pada TARUMA selain faktor-faktor lainnya seperti umur bisnis yang masih sangat muda dan besaran biaya investasi serta biaya operasional variabel yang cukup besar.

Analisis kelayakan bisnis pada TARUMA akan dilihat dari dua aspek yaitu aspek nonfinansial berupa aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan hukum, dan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan, dan aspek finansial. Analisis kelayakan aspek nonfinansial penting untuk dilakukan agar bisnis yang dijalankan TARUMA dapat dinyatakan layak tidak hanya dari sisi finansial tetapi juga dari sisi nonfinansial. Analisis kelayakan aspek nonfinansial akan melihat bagaimana kondisi bisnis penggemukan sapi potong TARUMA mampu memenuhi kriteria dari masing-masing aspek kelayakan nonfinansial, mulai dari potensi pasar yang dapat diraih, kegiatan produksi yang dilakukan, kegiatan manajerial dalam masa pembangunan bisnis hingga bisnis dijalankan, serta dampak atau manfaat dari bisnis penggemukan sapi potong TARUMA dilihat dari sisi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Penilaian investasi yang terdapat dalam analisis kelayakan bisnis perlu dilakukan agar kegiatan investasi yang telah dilakukan TARUMA dalam jumlah besar terhindar dari keterlanjuran investasi yang tidak menguntungkan. Selain berkaitan dengan penilaian investasi, analisis bisnis juga dilakukan untuk melihat keuntungan yang diperoleh perusahaan sepanjang umur bisnisnya.


(19)

Bisnis penggemukan sapi potong yang dijalankan TARUMA memiliki ketidapkastian yang memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan yang akan mempengaruhi kelayakan bisnis, seperti penurunan volume penjualan sapi siap potong dan peningkatan biaya pakan konsentrat. Analisis sensitivitas berdasarkan switching value dilakukan untuk mengetahui sensitivitas (kepekaan) dari komponen yang kemungkinan mengalami perubahan selama bisnis dilakukan.

Berdasarkan hal tersebut, maka masalah penelitian yang terkait dengan analisis kelayakan bisnis penggemukan sapi potong pada TARUMA adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kelayakan bisnis penggemukan sapi potong pada TARUMA dilihat dari aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan hukum, serta aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan?

2. Bagaimana kelayakan bisnis penggemukan sapi potong pada TARUMA dilihat dari aspek finansial?

3. Bagaimana tingkat sensitivitas bisnis penggemukan sapi potong pada TARUMA berdasarkan switching value jika terjadi penurunan volume penjualan sapi siap potong atau peningkatan biaya pakan konsentrat?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis kelayakan bisnis penggemukan sapi potong pada TARUMA dilihat dari aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan hukum, serta aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.

2. Menganalisis kelayakan bisnis penggemukan sapi pada TARUMA dilihat dari aspek finansial.

3. Mengetahui tingkat sensitivitas bisnis penggemukan sapi potong pada TARUMA berdasarkan switching value pada komponen penurunan volume penjualan sapi siap potong atau peningkatan biaya pakan konsentrat.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan yaitu:

1. Bagi TARUMA, menjadi masukan terhadap manajemen dan informasi mengenai kelayakan bisnis serta sensitivitas dari bisnis yang dilakukan jika terjadi perubahan pada biaya produksi atau perubahan pemasukan

2. Bagi Perbankan, memberikan informasi yang berguna dalam menentukan pemberian pinjaman modal kerja bagi bisnis penggemukan sapi potong di TARUMA


(20)

3. Bagi pemerintah, menjadi informasi sekaligus masukan dalam penentuan kebijakan yang berkaitan dengan bisnis penggemukan sapi potong

4. Bagi mahasiswa dan pihak lainnya yang membutuhkan informasi mengenai bisnis penggemukan sapi potong, menjadi literatur yang menambah wawasan serta menjadi bahan untuk penelitian selanjutnya

TINJAUAN PUSTAKA

Bisnis penggemukan Sapi Potong

Ada dua tipe penggemukan sapi yaitu penggemukan sapi komersial dan penggemukan oleh peternak rakyat. Perbedaan di antara keduanya terletak pada status kepemilikan dan ukuran dari penggemukannya. Bisnis penggemukan yang dilakukan oleh peternak biasanya dimiliki oleh individual atau keluarga dan berskala kecil dengan kapasitas sapi maksimal 1 000 ekor. Sedangkan penggemukan komersial yang dilakukan oleh perusahaan dengan skala besar umumnya dimiliki oleh individu, partnership, atau korporasi, dengan kapasitas sapi lebih dari 1 000 ekor (Field 2007). Di Indonesia, lebih dari 90 persen kegiatan penggemukan sapi dilakukan oleh peternak rakyat (Muladno 2008). Bisnis penggemukan sapi dikembangkan oleh feedlotters (perusahaan penggemukan sapi dalam skala besar) ataupun oleh peternak rakyat dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas sapi potong di dalam negeri, baik itu berasal dari sapi potong lokal maupun sapi potong impor (Bank Indonesia 2000). Penggemukan sapi potong umumnya dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan nilai tambah secara ekonomis dan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan daging yang sehat dan berkualitas baik (Rahardjo 2009).

Jenis Sapi Potong

Dalam bisnis penggemukan sapi potong, pemilihan jenis sapi bakalan yang akan digemukkan merupakan hal yang penting karena akan mempengaruhi produktivitas daging yang dihasilkan. Secara umum, sapi dapat dibedakan menjadi beberapa bangsa, yaitu sapi bangsa tropis, sapi bangsa subtropis (Eropa), dan sapi bangsa brahman (Yulianto dan Saparinto 2010).

Sapi Bangsa Tropis

Sapi bangsa tropis merupakan sapi yang berada di wilayah tropis. Sapi bangsa tropis memiliki beberapa ciri-ciri yaitu memiliki punuk di puggung dekat kepala, kepala relatif panjang dengan dahi yang relatif sempit, garis punggung di bagian tengah agak cekung, ujung telinga berbentuk meruncing, dan kulit kendur sehingga permukaan kulit lebih luas (Yulianto dan Saparinto 2010). Indonesia sebagai negara tropis memiliki beberapa sapi lokal yang dapat dikembangkan dalam bisnis penggemukan sapi potong. Sapi lokal merupakan jenis-jenis sapi yang telah lama terdapat di Indonesia dan telah berkembang secara turun-temurun (Siregar 2003). Beberapa jenis sapi tropis yang dapat digunakan sebagai sapi


(21)

bakalan dalam bisnis penggemukan sapi. Sapi bakalan merupakan sapi yang siap untuk digemukkan. Di antara sapi tropis yang dapat digunakan sebagai sapi bakalan adalah:

1. Sapi Bali

Sapi bali merupakan keturunan dari banteng (Bos sondaicus) yang telah mengalami proses penjinakan (domestikasi) berabad-abad lamanya. Bentuk tubuh sapi bali menyerupai banteng tetapi dengan ukuran yang lebih kecil akibat proses domestikasi dengan warna bulu untuk sapi betina adalah merah bata sedangkan untuk sapi jantan berwarna kehitam-hitaman. Tinggi badan sapi bali dewasa mencapai 130 cm, dengan bobot rata-rata sapi jantan 450 kg dan sapi betina 300-400 kg (Sudarmono dan Sugeng 2009). Menurut Yulianto dan Sapironto (2010) pertambahan bobot tubuh sapi bali sebesar 0.35 kg/hari.

2. Sapi Madura

Sapi madura merupakan sapi hasil persilangan antara Bos sondaicus dan Bos indicus. Baik sapi jantan maupun sapi betina memiliki warna bulu merah bata dengan tinggi badan kira-kira 118 cm dan bobot badan 350 kg (Sudarmono dan Sugeng 2009).

3. Sapi Ongole

Sapi ongole merupakan sapi keturunan sapi liar Bos indicus yang dijinakkan di India dan mulai masuk ke Indonesia pada permulaan abad 20-an (Siregar 2003). Di Indonesia, sapi ongole dapat dibedak20-an menjadi dua, yaitu sapi sumba ongole (SO) dan peranakan ongole (PO). Sapi sumba ongole memiliki tubuh yang lebih besar dibandingkan sapi lokal lainnya, dengan warna bulu yang bervariasi dari putih hingga putih kelabu. Tinggi sapi sumba ongole jantan dewasa mencapai 150 cm dengan bobot badan 250-300 kg sedangkan sapi sumba ongole betina memiliki tinggi badan 135 cm dengan bobot badan 150-200 kg. Pertambahan bobot badan pada sapi sumba ongole sebesar 0.81 kg/hari (Yulianto dan Saparinto 2010). Sapi peranakan ongole merupakan hasil perkawinan sapi sumba ongole dengan sapi lokal lainnya. Postur tubuh dan bobot bandan dari sapi peranakan ongole lebih kecil dibandingkan dengan sapi sumba ongole. Sapi sumba ongole terdapat di wilayah Sumba, Sulawesi Utara, Sumatera, dan Kalimantan, sedangkan untuk sapi peranakan ongole banyak terdapat di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah (Siregar 2003).

Sapi Bangsa Subtropis (Eropa)

Sapi subtropis merupakan sapi asli daratan Eropa, termasuk Inggris, Perancis, dan Switzerland. Sapi subtropis memiliki ciri-ciri yaitu tidak memiliki punuk dan garis punggung lurus, kepala lebih pendek dengan dahi lebar, kulit tebal berbulu kasar dan memiliki timbunan lemak yang cukup tebal, dan kaki agak pendek (Yulianto dan Saparinto 2010). Beberapa jenis sapi subtropis yang dapat digunakan sebagai sapi bakalan dalam bisnis penggemukan sapi adalah:

1. Sapi Aberdeen Angus

Sapi aberdeen angus merupakan sapi keturunan Bos taurus dari Skotlandia, masuk ke Indonesia pada tahun 1973. Sapi aberdeen angus memiliki tubuh padat, rata, panjang tidak bertanduk, dan berkaki pendek. Warna bulu sapi aberdeen angus hitam agak panjang, keriting, dan halus.


(22)

Pertambahan bobot tubuh sapi aberdeen angus sebesar 0.95 kg/hari (Yulianto dan Saparinto 2010). Pertumbuhan sapi jenis ini cukup baik dengan bobot betina dewasa mampu mencapai 700 kg dan jantan dewasa 900 kg serta memiliki kualitas daging yang baik (Sudarmono dan Sugeng 2009).

2. Sapi Hereford

Sapi hereford merupakan sapi keturunan Bos taurus dari Inggris. Sapi hereford memiliki tubuh tegap, rendah, punggung lebar dan rata, daging padar, dan warna kulit merah. Sebagian jenis dari sapi ini bertanduk dan sebagian lainnya tidak bertanduk. Keunggulan sapi hereford adalah memiliki daging dengan mutu baik, daya adaptasi lingkungan yang baik, kuat menghadapi perubahan musim dan kebutuhan untuk pakannya sederhana, dengan pertambahan bobot tubuh sapi hereford sebesar 1.04 kg/hari (Yulianto dan Saparinto 2010). Bobot sapi betina hereford dewasa mencapai 650 kg dan sapi jantan hereford dewasa mencapai 850 kg (Sudarmono dan Sugeng 2009).

3. Sapi Limousin

Sapi limousin merupakan sapi keturunan Bos taurus dari Perancis. Sapi limousin memiliki tubuh yang kekar dan berotot dengan dada besar dan berdaging tebal. Warna kulit sapi limousin adalah merah emas atau cokelat mulus dengan tanduk pada sapi jantan tumbuh keluar dan agak melengkung. Pertumbuhan pada sapi limousin cukup baik dan cepat, tetapi tidak tahan terhadap penyakit sehingga umumnya hanya diternakkan oleh peternak yang berpengalaman (Yulianto dan Saparinto 2010).

4. Sapi Simmental

Sapi simmental merupakan sapi keturunan Bos taurus dari Switzerland. Sapi simmental memiliki ukuran tubuh besar, pertumbuhan otot yang baik, dan timbunan lemak di bawah kulit yang rendah. Warna kulit sapi simmental adalah krem cokelat atau sedikit merah dan memiliki tanduk yang kecil. Bobot sapi simmental betina dewasa mencapi 800 kg sedangkan bobot sapi jantan simmental dewasa mencapai 1 150 kg (Sudarmono dan Sugeng 2009).

5. Sapi Shorthorn

Sapi shorthorn merupakan sapi keturunan Bos taurus dari Inggris. Sapi shorthorn memiliki bentuk punggung lurus, kepala pendek dan lebar serta memiliki tanduk pendek. Warna kulit dari sapi shorthorn bervariasi yaitu merah kelabu dan putih. Bobot sapi shorthorn betina dewasa mencapai 750 kg sedangkan bobot sapi jantan shorthorn dewasa mencapai 1 000 kg (Sudarmono dan Sugeng 2009). Pertambahan bobot tubuh sapi shorthorn sebesar 1.04 kg/hari (Yulianto dan Saparinto 2010).

Sapi Bangsa Brahman

Sapi bangsa brahman merupakan sapi yang banyak berkembangbiak di wilayah Amerika Serikat. Sapi bangsa brahman merupakan sapi persilangan antara sapi keturunan Bos taurus dan Bos sondaicus (Sudarmono dan Sugeng 2009). Ciri-ciri dari sapi bangsa brahman adalah umumnya memiliki punuk dan tanduk kecil, kepala besar, kulit tebal dan bergelambir serta lebih tahan terhadap


(23)

lingkungan tropis (Yulianto dan Saparinto 2010). Beberapa jenis sapi bangsa brahman adalah:

1. Sapi Brahman

Sapi brahman merupakan sapi pengembangan dari keturunana Bos indicus yang berkembang pesat di Amerika Serikat. Sapi brahman memiliki ukuran tubuh besar dengan punuk yang besar pula, bergelambir, dan berkulit longgar serta bertanduk besar, dengan warna kulit keputihan. Sapi brahman banyak digunakan dalam perkawinan silang dengan tujuan memperoleh sapi yang cocok di daerah tropis. Bobot sapi brahman betina dewasa mencapai 550 kg sedangkan bobot sapi jantan brahman dewasa mencapai 800 kg. Pertambahan bobot tubuh sapi brahman sebesar 0.91 kg/hari (Yulianto dan Saparinto 2010).

2. Sapi Santa Gertrudis

Sapi santa gertrudis merupakan hasil persilangan antara sapi brahman dengan sapi shorthorn, berasal dari Texas. Ukuran tubuh sapi santa gertrudis besar dan padat dengan kepala lebar, dahi berlekuk serta memiliki daging tebal dan warna kulit merah kecokelatan. Sapi jantan santa gertrudis dewasa memiliki ukuran punuk yang kecil dan memiliki gelambir di bawah leher dan perut. Sapi santa gertrudis memiliki pertumbuhan yang cukup cepat tetapi tingkat fertilitasnya tidak tinggi. Selain itu, sapi santa gertrudis juga memiliki ketahanan tubuh yang tinggi terhadap perubahan lingkungan dan toleransi terhadap pakan yang sederhana. Bobot sapi santa gertrudis betina dewasa mencapai 725 kg sedangkan bobot sapi jantan santa gertrudis dewasa mencapai 900 kg. Pertambahan bobot tubuh sapi santa gertrudis sebesar 1.13 kg/hari (Yulianto dan Saparinto 2010).

Penelitian Terdahulu

Sapi potong merupakan salah satu komoditas peternakan yang menarik untuk diteliti. Terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan terkait dengan sapi potong, di antaranya penelitian mengenai studi kelayakan bisnis baik untuk usaha penggemukan sapi potong maupun pengembangan sapi potong. Rivai (2009) melakukan penelitian mengenai kelayakan usaha penggemukan sapi potong pada PT Zagrotech Dafa Internasional (ZDI) Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor, sedangkan Sumantri dan Fariyanti (2011) melakukan penelitian mengenai kelayakan pengembangan usaha integrasi padi dengan sapi potong pada kondisi risiko di Kelompok Tani Dewi Sri Kabupaten Karawang Jawa Barat. Kedua penelitian tersebut melakukan analisis kelayakan non-finansial dan finansial. Kelayakan nonfinansial dianalisis secara kualitatif dilihat dari beberapa aspek, yaitu aspek pasar, teknis, manajemen dan hukum, sosial-ekonomi-budaya, dan lingkungan. Kelayakan finansial dianalisis secara kuantitaif berdasarkan data yang diperoleh dengan menggunakan kriteria penilaian investasi yaitu NPV, IRR, Net B/C, dan Payback Period. Hasil yang diperoleh dari analisis kelayakan yang dilakukan baik oleh Rivai (2009) dan Sumantri dan Fariyanti (2011) adalah usaha penggemukan sapi pada PT ZDI dan pengembangan usaha integrasi padi dengan sapi potong di Kelompok Tani Dewi Sri dinyatakan layak baik secara nonfinansial maupun finansial yang dibuktikan dengan nilai NPV lebih besar dari nol, IRR


(24)

lebih besar dari tingkat discount rate yang digunakan, nilai Net B/C lebih dari satu dan payback period sebelum umur bisnis berakhir.

Penelitian lainnya yang masih berkaitan dengan sapi potong dilakukan oleh Sodiq dan Budiono (2012), dengan judul penelitian produktivitas sapi potong pada kelompok tani ternak di pedesaan. Penelitian tersebut dilakukan dengan metode survei di lima kabupaten di Jawa Tengah, yaitu Cilacap, Banyumas, Purbalingga, Kebumen, dan Banjarnegara. Variabel utama yang diamati dalam penelitian tersebut adalah produktivitas sapi potong pada bangsa sapi peranakan ongole, peranakan sumba ongole, peranakan simmental, dan persilangan charolois yang dipelihara secara kelompok. Hasil yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan, pemeliharaan sapi potong pada kelompok tani ternak di pedesaan ditujukan untuk menghasilkan pedet dan bakalan serta usaha penggemukan. Produktivitas sapi pedet masih sangat rendah yaitu 6 persen pada kebuntingan kedua dan tingkat kematian mencapai 25 persen.

Penelitian berkaitan dengan potensi sapi potong bakalan dilakukan oleh Sumadi et al (2004) pada empat kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu Gunung Kidul, Kulon Progo, Bantul, dan Sleman. Penelitian tersebut menggunakan metode survei dengan total responden sebanyak 323 peternak sapi. Hasil yang diperoleh adalah Daerah Istimewa Yogyakarta mampu menghasilkan sapi muda (umur 2 tahun) jantan 9.81 persen dari populasi yang dapat digunakan sebagai bakalan, sapi muda (umur 2 tahun) betina 5.30 persen dari populasi yang dapat digunakna sebagai bibit, sapi dewasa (4.18 tahun) jantan 3.68 persen dari populasi untuk dipotong, dan sapi betina tua (afkir) 6.46 persen dari populasi untuk dipotong. Total potensi sapi potong di Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 25.25 persen dengan potensi berdasarkan kabupaten masing-masing Gunung Kidul 22.08 persen, Kulon Progo 25.96 persen, Bantul 33.45 persen, dan Sleman 19.47 persen. Perbedaan potensi tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan ketersediaan pakan, tatalaksana pemeliharaan, iklim, dan sosial ekonomi masyarakatnya.

Penelitian lainnya dilakukan oleh Rahardjo (2009) mengenai strategi pengembangan industri sapi potong menuju ketahanan pangan nasional studi kasus pada PT. Lembu Jantan Perkasa (LJP). PT. LJP melakukan integrasi usaha di bidang peternakan meliputi usaha pembibitan, usaha penggemukan, dan usaha produksi pakan ternak. Usaha pembibitan dilakukan oleh tenaga ahli dengan proses pembibitannya meliputi: seleksi sapi bibit bakalan yang memiliki alat reproduksi yang baik; pemeliharaan sapi bibit dengan pakan ternak yang sesuai; penyerentakan birahi secara berkala; inseminasi buatan pada sapi yang telah siap kawin; pemerikasaan kebuntingan pada sapi yang telah diinseminasi; pemeliharaan sapi bunting sampai melahirkan; pemeliharaan anak sapi secara intensif; program penyapihan secara tepat; dan program inseminasi buatan kembali setelah 3 bulan melahirkan. Usaha penggemukan dimulai dengan impor sapi bakalan dari Australia, selanjutnya digemukkan selama 90-100 hari dengan pemberian pakan bernutrisi tinggi sehingga diperoleh kenaikan berat badan sapi sebesar 1.2-1.4 kg/hari. Usaha produksi pakan ternak didukung oleh 3 pabrik pakan yang dimiliki oleh PT LJP dengan bahan baku berasal dari sisa produksi pengolahan hasil pertanian/pengolahan yang masih mengandung nutrisi yang baik.


(25)

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Pengertian Investasi

William F.S dalam Kasmir dan Jakfar (2010) menyebutkan bahwa investasi adalah menanamkan sejumlah dana dalam suatu usaha saat sekarang kemudian mengharapkan pengembalian dengan disertai tingkat keuntungan yang diharapkan di masa yang akan datang. Pengorbanan sekarang mengandung kepastian bahwa dana yang digunakan untuk investasi sudah pasti dikeluarkan, sedangkan hasil di masa yang akan datang bersifat tidak pasti, tergantung pada kondisi di masa yang akan datang. Gray et al (1992) dalam Nurmalina et al (2010) mendefinisikan investasi sebagai kegiatan yang dapat direncanakan dan dilaksanakan dengan menggunakan berbagai sumber seperti barang modal, bahan mentah, bahan setengah jadi, tenaga kerja serta waktu, untuk mendapatkan manfaat (benefit).

Investasi dapat dilakukan dalam banyak bidang usaha. Dalam praktiknya investasi dibagi menjadi 2 macam, yaitu investasi nyata dan investasi finansial (Kasmir dan Jakfar 2010). Investasi nyata merupakan investasi yang dibuat dalam harta tetap seperti tanah, bangunan, peralatan, dan mesin-mesin. Sedangkan investasi finansial merupakan investasi dalam bentuk kontrak kerja, pembelian saham, obligasi, atau surat berharga lainnya.

Studi Kelayakan Bisnis

Menurut Gittinger (1986) dalam Nurmalina et al (2010), bisnis merupakan kegiatan yang mengeluarkan biaya-biaya dengan harapan akan memperoleh manfaat. Kasmir dan Jakfar (2010) mendefinisikan bisnis sebagai kegiatan atau usaha yang dilakukan untuk memperoleh keuntungan sesuai dengan target yang diinginkan dalam berbagai bidang, baik jumlah maupun waktunya. Suatu kegiatan investasi dapat memberikan manfaat yang berbeda dari berbagai alternatif kegiatan bisnis yang ada. Untuk itu, studi kelayakan bisnis diperlukan agar dapat menunjukkan apakah kegiatan investasi dalam bentuk bisnis yang direncanakan atau sudah dilakukan layak untuk dilaksanakan atau dipertahankan. Studi kelayakan bisnis merupakan analisis suatu kegiatan investasi memberikan manfaat jika dilaksanakan dan dijadikan sebagai dasar penilaian kegiatan investasi atau bisnis layak untuk dijalankan (Nurmalina et al 2010). Menurut Kasmir dan Jakfar (2010), studi kelayakan bisnis merupakan kegiatan yang mempelajari secara mendalam tentang suatu usaha atau bisnis yang dijalankan untuk menentukan layak tidaknya bisnis tersebut dijalankan. Menurut Subagyo (2007), studi kelayakan bisnis merupakan penelitian terhadap suatu bisnis tentang layak tidaknya bisnis tersebut untuk dijalankan. Studi kelayakan bisnis dapat dijadikan tolak ukur keberhasilan suatu bisnis sehingga dapat memberikan gambaran prospek bisnis dan kemungkinan tingkat manfaat (benefit) yang dapat diterima dari suatu bisnis yang dapat digunakan oleh pihak investor atau lembaga keuangan dalam pengambilan keputusan investasi, penanaman modal, atau peminjaman dana (Nurmalina et al 2010).

Studi kelayakan bisnis dilaksanakan dengan beberapa tujuan, yaitu: (1) menghindari risiko kerugian; (2) memudahkan perencanaan; (3) memudahkan


(26)

pelaksanaan pekerjaan; (4) Memudahkan pengawasan dan pengendalian usaha. Beberapa tujuan tersebut merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan. Selain perusahaan, banyak pihak yang berkepentingan terhadap studi kelayakan bisnis, seperti investor, lembaga keuangan, masyarakat, dan pemerintah. Investor merupakan pihak yang menanamkan modal dalam suatu bisnis, sehingga kelayakan bisnis dibutuhkan untuk memberikan gambaran apakah modal yang ditanamkan oleh investor akan memberikan keuntungan atau tidak. Bagi lembaga keuangan, studi kelayakan bisnis diperlukan dalam pertimbangan pemberian pinjaman dana untuk suatu kegiatan bisnis terkait dengan segi keamanan dana serta pengembalian dana. Bagi masyarakat luas, studi kelayakan bisnis diperlukan terkait dengan terbukanya lapangan pekerjaan serta tersedianya fasilitas umum seperti jalan, listrik, sarana ibadah, dan sebagainya. Bagi pemerintah, studi kelayakan bisnis diperlukan untuk meyakinkan apakah bisnis yang dijalankan akan memberikan manfaat nyata bagi perekonomian negara secara umum (Kasmir dan Jakfar 2010).

Aspek Kelayakan Bisnis

Penentuan kelayakan suatu bisnis dapat dilihat dari berbagai aspek. Keseluruhan aspek yang ada harus dinilai sehingga dapat memberikan kesimpulan layak tidaknya suatu bisnis yang dijalankan. Aspek-aspek yang dinilai dalam studi kelayakan bisnis meliputi aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan hukum, aspek sosial, ekonomi dan lingkungan serta aspek finansial (Kasmir dan Jakfar 2010).

1. Aspek Pasar

Aspek pasar merujuk pada besarnya potensi pasar yang ada terhadap produk yang ditawarkan oleh perusahaan, besarnya market share perusahaan terhadap industri di mana perusahaan berada, struktur pasar dan peluang pasar yang ada, prospek pasar di masa yang akan datang serta strategi pemasaran yang harus dilakukan. Aspek pasar menjadi penting untuk diperhatikan karena jika pasar yang ingin dituju oleh perusahaan tidak jelas maka akan menimbulkan risiko kegagalan bisnis yang besar (Kasmir dan Jakfar 2010). Dalam aspek pasar juga dipelajari tentang aspek pemasaran produk yang dihasilkan oleh suatu bisnis. Pemasaran diharapkan berjalan dengan baik apabila produk yang dihasilkan oleh perusahaan mampu diterima di masyarakat dan menghasilkan penjualan yang mendatangkan keuntungan. Untuk itu, dalam aspek pasar akan dikaji mengenai permintaan dan penawaran, market share dari perusahaan, dan kegiatan pemasaran meliputi strategi pemasaran yang dilakukan oleh perusahaan (bauran pemasaran). Bauran pemasaran yang dilakukan meliputi 4P yaitu product (produk), price (harga), place (tempat), dan promotion (promosi) (Nurmalina et al 2010).

2. Aspek Teknis

Aspek teknis berkaitan dengan pembangunan bisnis yang dijalankan dan kegiatan operasional dari bisnis yang dijalankan. Pembangunan bisnis merujuk kepada ketepatan lokasi bisnis dan tata letak (layout) tempat produksi, sedangkan kegiatan operasional berkaitan dengan pemilihan teknologi yang digunakan untuk produksi, luas atau kapasitas produksi yang dijalankan agar mencapai skala ekonomis, alat atau mesin yang digunakan


(27)

dalam proses produksi serta alur dari kegiatan produksi yang dijalankan (Umar 2007).

3. Aspek Manajemen dan Hukum

Aspek manajemen berkaitan dengan manajemen dalam pembangunan bisnis dan manajemen dalam implementasi bisnis (masa operasional bisnis) (Umar 2007). Manajemen pembangunan bisnis merupakan sistem untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi pembangunan bisnis secara efisien. Manajemen implementasi bisnis terkait dengan manajemen sumberdaya manusia yang berpengaruh dalam jalannya suatu bisnis seperti struktur organisasi dari bisnis yang dijalankan, deskripsi masing-masing jabatan dari struktur organisasi yang ada serta terkait dengan tenaga kerja yang digunakan (Kasmir dan Jakfar 2010).

Aspek hukum berkaitan dengan dokumen-dokumen yang perlu diteliti keabsahan, kesempurnaan, dan keasliannya. Dokumen-dokumen tersebut meliputi badan hukum perusahaan, izin-izin yang dimiliki, sertifikat tanah atau dokumen lainnya yang mendukung kegiatan bisnis yang dilakukan (Kasmir dan Jakfar 2010). Aspek hukum yang terpenuhi dengan baik dapat mempermudah dan memperlancar kegiatan bisnis pada saat akan mengadakan kegiatan kerjasama dengan pihak lain (Nurmalina et al 2010). 4. Aspek Sosial, Ekonomi dan Lingkungan

Aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan dalam studi kelayakan bisnis berkaitan dengan dampak yang akan ditimbulkan dari aktivitas bisnis yang dilaksanakan, baik dilihat dari sisi sosial, ekonomi, maupun lingkungan bagi masyarakat luas dan bagi pemerintah. Bagi masyarakat, dampak sosial dari adanya suatu bisnis akan dinilai dari manfaat yang dapat diterima masyarakat dengan tersedianya sarana dan prasarana yang dibutuhkan seperti listrik, pembangunan jalan, jembatan, dan sarana lainnya, sedangkan dampak ekonomi akan dinilai dari apakah bisnis yang dijalankan memberikan peluang peningkatan pendapatan, khususnya bagi masyarakat di sekitar lokasi bisnis, serta peningkatan aktivitas ekonomi yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Bagi pemerintah, dampak sosial dari adanya suatu bisnis dapat dilihat dari kontribusi bisnis tersebut dalam pembukaan lapangan kerja atau pengurangan pengangguran, sedangkan dampak ekonomi dari adanya suatu bisnis dapat dilihat dari peranan bisnis tersebut dalam memberikan peluang peningkatan pendapatan asli daerah maupun peningkatan perekonomian secara nasional (Kasmir dan Jakfar 2010).

Aspek lingkungan berkaitan dengan dampak yang terjadi pada lingkungan terhadap suatu aktivitas bisnis. Aspek lingkungan erat kaitannya dengan penanganan limbah dari kegiatan produksi yang dijalankan oleh suatu perusahaan. Penanganan limbah yang tepat tidak akan menimbulkan kerusakan pada lingkungan dan cenderung akan menimbulkan manfaat tambahan bagi perusahaan itu sendiri. Sebaliknya, penanganan limbah yang kurang tepat atau bahkan tidak ada akan menimbulkan pencemaran hingga kerusakan lingkungan. Menurut Hufschmidt et al (1987) dalam Nurmalina et al (2010), suatu bisnis yang tidak bersahabat dengan lingkungan tidak akan bertahan lama.


(28)

5. Aspek Finansial

Aspek finansial dalam studi kelayakan bisnis merupakan aspek yang digunakan untuk menilai kondisi finansial (keuangan) perusahaan secara keseluruhan. Aspek finansial sangat berkaitan dengan keuntungan perusahaan sehingga sangat penting untuk diteliti kelayakannya. Selain berkaitan dengan keuntungan perusahaan, aspek finansial juga sangat berkaitan dengan modal bagi perusahaan, baik kebutuhan modal maupun cara penyediaannya. Penilaian terhadap aspek keuangan meliputi sumber dana yang diperoleh, kebutuhan biaya investasi, estimasi pendapatan dan biaya investasi yang dibutuhkan selama umur bisnis, proyeksi aliran kas (cashflow) dan laporan laba/rugi, dan kriteria penilaian investasi (Kasmir dan Jakfar 2010).

Kebutuhan modal dapat dibedakan menjadi dua, yaitu modal investasi dan modal kerja. Modal investasi merupakan modal yang digunakan untuk pembelian aktiva tetap seperti tanah, bangunan, mesin dan peralatan, kendaraan, dan aktiva tetap tidak berwujud seperti perijinan, lisensi, paten, biaya studi pendahuluan, dan biaya latihan atau produk percobaan. Modal kerja merupakan modal yang digunakan untuk aktivitas operasional seperti pembelian bahan baku, pembayaran gaji karyawan, biaya pemeliharaan, dan kegiatan operasional lainnya. Baik modal investasi maupun modal kerja dapat bersumber dari dana pribadi (modal sendiri) ataupun dari dana pinjaman (modal pinjaman). Umumnya, untuk modal investasi yang bersumber dari dana pinjaman, periode pengembaliannya di atas satu tahun sehingga merupakan pinjaman jangka panjang. Sedangkan untuk modal kerja yang berasal dari dana pinjaman umumnya periode pengembaliannya lebih singkat (Kasmir dan Jakfar 2010).

Investasi merupakan penanaman modal dalam suatu kegiatan dengan jangka waktu relatif panjang dalam berbagai bidang usaha. Sebelum melakukan kegiatan investasi terlebih dahulu perlu dibuat biaya kebutuhan investasi. Secara umum, biaya kebutuhan investasi meliputi biaya pra-investasi, biaya aktiva tetap, dan biaya operasional. Biaya pra-investasi terdiri dari biaya pengurusan perijinan dan biaya studi pendahuluan. Biaya aktiva tetap terdiri dari biaya pembelian aktiva tetap berwujud (tanah, bangunan, mesin, peralatan, kendaraan, dan aktiva berwujud lainnya) dan biaya aktiva tetap tidak berwujud (lisensi, paten, good wiil, dan merek dagang). Biaya operasional terdiri dari biaya bahan baku produksi, upah dan gaji karyawan, biaya listrik, telepon, dan air, pajak, premi asuransi, dan biaya lainnya (Kasmir dan Jakfar 2010).

Cashflow (arus kas) merupakan aliran kas yang ada pada suatu perusahaan dalam suatu periode tertentu. Arus kas adalah jumlah uang yang masuk dan keluar dalam suatu perusahaan mulai dari investasi dilakukan hingga berakhirnya investasi tersebut (Kasmir dan Jakfar 2010). Unsur-unsur yang terdapat di dalam arus kas antara lain arus penerimaan (inflow), arus pengeluaran (outflow), dan manfaat bersih (net benefit). Arus penerimaan terdiri dari nilai produksi total, pinjaman, hadiah atau hibah, nilai sewa, dan nilai sisa. Arus pengeluaran merupakan biya-biaya yang harus dikeluarkan dalam suatu bisnis yang dapat mengurangi kas, meliputi pengeluaran untuk biaya investasi, biaya operasional, pembayaran bunga


(29)

dan pinjaman dan pembayaran pajak. Manfaat bersih merupakan hasil pengurangan antara arus penerimaan dengan arus pengeluaran. Berbeda dengan arus kas, laporan laba/rugi menggambarkan tentang total penerimaan dari penjualan produk yang dihasilkan dalam suatu bisnis dan pengeluaran serta kondisi keuntungan yang diperoleh perusahaan pada masing-masing tahun produksi. Laporan laba/rugi juga menggambarkan kinerja perusahaan dalam upaya mencapai tujuannya selama periode tertentu. Unsur-unsur yang terdapat pada laporan laba/rugi meliputi penjualan produk barang atau jasa, beban produksi (biaya operasional), beban administrasi dan pemasaran (biaya untuk kegiatan pemasaran dan biaya administrasi), dan beban keuangan seperti bunga dari modal pinjaman. Komponen biaya investasi tidak dimasukkan dalam laporan laba/rugi, biaya terkait dengan investasi yang dimasukkan hanya biaya penyusutan barang-barang investasi yang ada (Nurmalina et al 2010).

Kriteria penilaian investasi merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk menilai apakah suatu kegiatan investasi dalam suatu bisnis layak atau tidak untuk dilaksanakan, ditinjau dari aspek finansialnya. Kriteria penilaian investasi mempertimbangkan time value of money atau pengaruh waktu terhadap nilai uang yaitu sejumlah uang pada masa sekarang nilai uangnya lebih besar dibandingkan dengan sejumlah uang yang sama pada masa yang akan datang, sehingga dalam penghitungannya digunakan discount factor agar dapat dibandingkan antara sejumlah uang pada masa sekarang dengan sejumlah uang yang sama pada masa yang akan datang (Nurmalina et al 2010). Beberapa kriteria penilaian investasi yang dapat digunakan adalah Net Present Value (NPV), Net Benefit Ratio (Net B/C), Internal Rate of Return (IRR), dan Payback Period (Kasmir dan Jakfar 2010).

Analisis Sensitivitas dan SwitchingValue

Menurut Gittinger (1986) dalam Nurmalina et al (2010), switching value merupakan suatu variasi pada analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas merupakan salah satu perlakuan terhadap ketidakpastian yang digunakan untuk mengetahui dampak yang terjadi terhadap hasil analisis kelayakan suatu kegiatan investasi akibat adanya perubahan-perubahan tertentu dalam komponen penting dalam suatu kegiatan bisnis seperti perubahan kuantitas penjualan, harga, dan biaya operasional. Sedangkan switching value merupakan perubahan maksimum dari komponen-komponen penting dalam bisnis yang masih dapat ditoleransi agar bisnis tetap layak. Perhitungannya mengacu kepada nilai NPV yang diperoleh sama dengan nol, persentase IRR sama dengan persentase discountrate, dan nilai Net B/C sama dengan satu. Perbedaan antara analisis sensitivitas dengan analisis switching value adalah pada analisis sensitivitas besarnya persentase perubahan telah diketahui berdasarkan data historis yang ada pada perusahaan, sedangkan pada analisis switching value justru besarnya persentase perubahan yang dicari sehingga dapat diketahui batasan perubahan yang masih dapat ditoleransi agar bisnis tetap dinyatakan layak.


(30)

Kerangka Pemikiran Operasional

Kebutuhan akan daging sapi di Indonesia saat ini masih belum dipenuhi dengan jumlah produksi yang ada. Kebutuhan tersebut berpotensi mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan populasi penduduk, peningkatan kesadaran akan kebutuhan gizi, peningkatan taraf ekonomi serta perbaikan tingkat pendidikan. Potensi peningkatan konsumsi tersebut apabila tidak diikuti oleh peningkatan produksi daging sapi akan menimbulkan kesenjangan. Kesenjangan tersebut menjadi peluang bagi bisnis penyediaan daging sapi, yaitu bisnis penggemukan sapi potong. Peluang bisnis penyediaan daging sapi untuk kebutuhan nasional tersebut menjadi salah satu hal yang melatarbelakangi berdirinya PT Catur Mitra Taruma (TARUMA) sebagai perusahaan penggemukan sapi potong pada tahun 2010.

TARUMA melakukan sejumlah kegiatan investasi dan kegiatan operasional yang cukup besar untuk dapat mewujudkan perusahaan penggemukan sapi dengan fasilitas yang lengkap serta kapasitas produksi yang besar. TARUMA juga melakukan peminjaman dana kepada pihak perbankan untuk membantu memenuhi modal kerja TARUMA. Hal tersebut membawa kepada pentingnya dilakukan analisis kelayakan bisnis pada TARUMA sehingga dapat diketahui apakah bisnis penggemukan sapi potong yang dijalankan TARUMA akan memberikan manfaat (benefit) sehingga layak untuk terus dijalankan atau tidak, seperti dijelaskan pada Gambar 1.


(31)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Analisis kelayakan bisnis penggemukan sapi potong dilakukan di PT Catur Mitra Taruma (TARUMA) yang berkantor pusat di Grha Induk KUD Lantai 3, Warung Buncit Raya No. 18-20, Jakarta 12510, dan kandang penggemukan sapi yang terletak di Jl. Raya Jonggol Cariu km 81, Desa Cariu, Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja Gambar 1 Kerangka pemikiran operasional analisis kelayakan bisnis

penggemukan sapi potong pada PT Catur Mitra Taruma Bagaimana kelayakan bisnis penggemukan sapi potong

pada PT Carur Mitra Taruma?

Aspek Finansial Aspek Non-Finansial

- Aspek Pasar - Aspek Teknis

- Aspek Manajemen dan Hukum

- Aspek Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan

Kriteria Penilaian Investasi - NPV

- Net B/C - IRR

- Payback Period

Hasil Kelayakan Bisnis

1. Kesenjangan antara konsumsi dan produksi sapi potong nasional

2. Peluang pemenuhan konsumsi daging sapi melalui bisnis penggemukan sapi potong, salah satunya dilakukan oleh PT Catur Mitra Taruma

3. PT Catur Mitra Taruma mengeluarkan biaya investasi dan biaya operasional variabel yang besar serta melakukan peminjaman modal kerja kepada pihak perbankan

Analisis Kelayakan Bisnis

Analisis Sensitivitas dan Switching Value

Layak (Lanjutkan)

Tidak Layak (Upaya Perbaikan)


(32)

(purposive), dengan pertimbangan TARUMA merupakan perusahaan penggemukan sapi potong di kawasan Jabodetabek sebagai kawasan utama industri penggemukan sapi potong dengan umur operasional yang masih sangat muda, yaitu 3 tahun. Kegiatan investasi dan operasional yang dilakukan oleh TARUMA juga cukup besar. Waktu pelaksanaan penelitian mulai dari pengumpulan data hingga penulisan selesai adalah Januari 2013-Juni 2013.

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari TARUMA melalui wawancara kepada direktur utama, pihak manajer, dan karyawan lapang. Wawancara dilakukan dengan mengajukan sejumah pertanyaan kepada pihak-pihak tersebut. Data sekunder pada penelitian ini diperoleh dari dokumen yang dimiliki oleh TARUMA yaitu company profile TARUMA dan laporan keuangan TARUMA, studi kepustakaan, dan penelusuran literatur Badan Pusat Statistik (BPS), Kementrian Pertanian, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Badan Ketahanan Pangan serta penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini.

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara wawancara kepada direktur utama, pihak manajer dan karyawan lapang yang ada di TARUMA melalui panduan interview guide yang telah disiapkan. Selain wawancara, juga dilakukan kegiatan pengamatan di lokasi kandang untuk melengkapi informasi yang diperoleh dari narasumber. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui kegiatan literature review terhadap beberapa buku, jurnal, dan sumber lainnya serta browsing di beberapa website pemerintahan, seperti Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Badan Pusat Statistik, dan Badan Ketahanan Pangan.

Metode Pengolahan dan Analisis Data

Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis kualitatif dan kuantitatif sesuai dengan sifat data. Data yang bersifat kualitatif dianalisis untuk mengkaji aspek kelayakan non-finansial yaitu aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan hukum, aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Data yang bersifat kuantitatif diolah untuk mengkaji aspek kelayakan finansial berdasarkan kriteria penilaian investasi yaitu NPV, Net B/C, IRR, dan PP serta dilakukan analisis sensitivitas melalui switching value untuk mengetahui komponen dalam bisnis penggemukan sapi potong yang lebih peka terhadapt perubahana serta mengetahui persentase perubahan produksi dan biaya variabel terhadap kelayakan finansial yang masih dapat ditoleransi dalam bisnis sehingga masih dinyatakan layak dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 dan kalkulator.


(33)

Analisis Aspek Pasar

Tujuan analisis aspek pasar yang akan dilakukan pada bisnis penggemukan sapi potong pada TARUMA adalah untuk menilai apakah bisnis penggemukan sapi potong yang dijalankan TARUMA dapat menghasilkan produk yang diterima oleh pasar dan menguntungkan. Selain itu, potensi pasar dan pangsa pasar serta bauran pemasaran yang dilakukan TARUMA juga akan dinilai, apakah pangsa pasar dan potensi pasar dari TARUMA sudah jelas serta apakah bauran pemasaran telah dilaksanakan dengan baik atau tidak. Bisnis penggemukan sapi potong pada TARUMA dinyatakan layak berdasarkan aspek pasar jika bisnis tersebut telah memenuhi beberapa kriteria yang diperlukan dalam aspek pasar seperti potensi dan pangsa pasar yang jelas, bauran pemasaran yang baik serta produk yang dihasilkan dapat diterima oleh pasar dan menguntungkan (Kasmir dan Jakfar (2010); Suliyanto (2010)).

Analisis Aspek Teknis

Tujuan analisis aspek teknis yang akan dilakukan pada bisnis penggemukan sapi potong pada TARUMA adalah untuk menilai apakah secara teknis bisnis penggemukan sapi potong yang dijalankan TARUMA dapat dijalankan dengan baik atau tidak. Kriteria yang diperhatikan dalam penilaian aspek teknis adalah kegiatan penentuan lokasi bisnis, tata letak atau layout produksi, proses produksi serta penggunaan infrastruktur dan fasilitas yang ada. Bisnis penggemukan sapi potong pada TARUMA dinyatakan layak berdasarkan aspek teknis jika bisnis tersebut telah memenuhi kriteria yang ada pada aspek teknis serta mampu menjawab tujuan dari analisis aspek teknis yang dilakukan (Kasmir dan Jakfar (2010); Suliyanto (2010)).

Analisis Aspek Manajemen dan Hukum

Tujuan analisis aspek manajemen yang akan dilakukan pada bisnis penggemukan sapi potong pada TARUMA adalah untuk menilai apakah bisnis yang dijalankan dapat dibangun sesuai dengan rencana dan apakah tersedia sumber daya manusia yang sesuai dengan kegiatan bisnis yang dijalankan. Kriteria yang harus ada dalam penilaian aspek manajemen adalah kegiatan manajerial pada masa pembangunan bisnis dan kegiatan manajerial pada masa operasional bisnis. Bisnis penggemukan sapi potong pada TARUMA dinyatakan layak berdasarkan aspek manajemen jika bisnis tersebut telah memenuhi kriteria yang ada pada aspek manajemen serta mampu menjawab tujuan dari dilakukannya analisis aspek manajemen (Kasmir dan Jakfar (2010); Suliyanto (2010)).

Tujuan analisis aspek hukum yang akan dilakukan pada bisnis penggemukan sapi potong pada TARUMA adalah untuk menilai apakah bisnis yang dijalankan TARUMA telah memenuhi ketentuan hukum dan berbagai perizinan yang diperlukan dalam rangka pendirian dan operasional perusahaan. Kriteria yang akan dilihat dalam analisis kelayakan aspek hukum adalah kelengkapan dokumen serta perizinan yang dilakukan TARUMA. Bisnis penggemukan sapi potong pada TARUMA dinyatakan layak berdasarkan aspek hukum jika bisnis tersebut telah memenuhi kriteria yang ada pada aspek hukum serta mamapu menjawab tujuan dari dilakukannya analisis aspek hukum (Kasmir dan Jakfar (2010); Suliyanto (2010)).


(34)

Analisis Aspek Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan

Tujuan analisis aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan yang akan dilakukan pada bisnis penggemukan sapi potong pada TARUMA adalah untuk menilai apakah bisnis yang dijalankan dapat memberikan manfaat baik dilihat dari sisi sosial, ekonomi, maupun lingkungan. Bisnis penggemukan sapi potong pada TARUMA dinyatakan layak berdasarkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan jika bisnis tersebut mampu memberikan manfaat secara sosial, ekonomi, dan lingkungan baik bagi masyarakat sekitar lokasi bisnis maupun pemerintah. (Kasmir dan Jakfar 2010).

Net Present Value

Net present value (NPV) merupakan nilai selisih antara total present value manfaat dengan total present value biaya atau penjumlahan dari present value manfaat bersih selama umur bisnis (Nurmalina et al 2010). NPV menunjukkan manfaat bersih yang diterima oleh perusahaan selama umur bisnis pada discount rate tertentu. Satuan dari NPV adalah Rupiah. Suatu bisnis dikatakan layak jika nilai NPV-nya lebih besar dari nol, sedangkan bisnis yang nilai NPV-nya kurang dari nol maka dikatakan bisnis tersebut tidak layak. Secara matematis, NPV dirumuskan sebagai berikut:

Dimana:

Bt = Manfaat pada tahun t Ct = Biaya pada tahun t t = Tahun kegiatan bisnis i = Tingkat discount rate (%)

Net Benefit-Cost Ratio

Net benefit-cost ratio (Net B/C) merupakan salah satu kriteria penilaian investasi untuk menggambarkan manfaat bersih yang menguntungkan terhadap setiap satu satuan kerugian dari bisnis tersebut (Nurmalina et al 2010). Suatu bisnis dikatakan layak jika nilai Net B/C -nya lebih dari satu, sedangkan jika nilai Net B/C -nya kurang dari satu maka bisnis tersebut dikatakan tidak layak. Secara matematis, Net B/C dirumuskan sebagai berikut:

Dimana:

Bt = Manfaat pada tahun t Ct = Biaya pada tahun t t = Tahun kegiatan bisnis i = Tingkat discount rate

Internal Rate of Return

Internal Rate of Return (IRR) merupakan kriteria penilaian investasi untuk melihat besarnya pengembalian bisnis terhadap investasi yang dilakukan


(1)

Biaya Obat dan

Vitamin 18 828 000 159 793 390 343 327 512 350 632 353 350 632 353 350 632 353 350 632 353 350 632 353 350 632 353 350 632 353 Biaya Eartag 7 308 000 39 375 000 84 600 000 84 600 000 84 600 000 84 600 000 84 600 000 84 600 000 84 600 000 84 600 000

Total Biaya

Variabel 25 252 642 148 8 236 675 625 54 058 311 257 113 321 357 358 115 787 255 707 115 787 255 707 115 787 255 707 115 787 255 707 115 787 255 707 115 787 255 707 115 787 255 707 2.2 Biaya

Tetap

Biaya Sewa

Kandang 150 000 000 Biaya Sewa

Kantor Pusat 226 768 007 226 768 007 226 768 007 226 768 007 226 768 007 226 768 007 226 768 007 226 768 007 226 768 007 226 768 007 226 768 007 Biaya Gaji 1 419 934 976 1 464 664 273 2 847 034 318 2 847 034 318 2 847 034 318 2 847 034 318 2 847 034 318 2 847 034 318 2 847 034 318 2 847 034 318 2 847 034 318 Biaya Listrik

dan Air 30 892 225 61 011 873 126 585 266 126 585 266 126 585 266 126 585 266 126 585 266 126 585 266 126 585 266 126 585 266 126 585 266 Biaya

Telekomunikasi 17 625 498 24 013 215 24 013 215 24 013 215 24 013 215 24 013 215 24 013 215 24 013 215 24 013 215 24 013 215 Biaya

Pemasaran 3 226 471 53 656 967 101 916 545 101 916 545 101 916 545 101 916 545 101 916 545 101 916 545 101 916 545 101 916 545 101 916 545 Biaya

Ekspedisi Pos dan Materai

634 000 4 311 000 4 311 000 4 311 000 4 311 000 4 311 000 4 311 000 4 311 000 4 311 000 4 311 000

Biaya Perjalanan Dinas

30 100 613 85 501 282 85 501 282 85 501 282 85 501 282 85 501 282 85 501 282 85 501 282 85 501 282 85 501 282

Biaya ATK dan Rumah Tangga Kantor

47 117 497 43 615 066 53 388 433 53 388 433 53 388 433 53 388 433 53 388 433 53 388 433 53 388 433 53 388 433 53 388 433

Biaya STNK, KIR, dan Pajak Kendaraan

2 083 600 1 825 000 1 825 000 1 825 000 1 825 000 1 825 000 1 825 000 1 825 000 1 825 000 1 825 000

Biaya Retribusi

dan Sumbangan 20 518 845 12 625 500 38 087 500 38 087 500 38 087 500 38 087 500 38 087 500 38 087 500 38 087 500 38 087 500 38 087 500 Biaya Perijinan 95 600 000 96 616 272 96 616 272 96 616 272 96 616 272 96 616 272 96 616 272 96 616 272 96 616 272 96 616 272 Biaya

Konsultasi 220 000 000 352 000 000 352 000 000 352 000 000 352 000 000 352 000 000 352 000 000 352 000 000 352 000 000 352 000 000 Biaya

Pemeliharaan 24 315 537 34 362 310 75 475 930 75 475 930 75 475 930 75 475 930 75 475 930 75 475 930 75 475 930 75 475 930 75 475 930 Biaya PBB 5 251 376 5 251 376 5 251 376 5 251 376 5 251 376 5 251 376 5 251 376 5 251 376 5 251 376

Total Biaya

Tetap 1 922 773 558 2 262 747 707 4 038 774 144 4 038 774 144 4 038 774 144 4 038 774 144 4 038 774 144 4 038 774 144 4 038 774 144 4 038 774 144 4 038 774 144


(2)

100

Total Biaya

Operasional 27 175 415 706 10 499 423 332 58 097 085 401 117 360 131 502 119 826 029 851 119 826 029 851 119 826 029 851 119 826 029 851 119 826 029 851 119 826 029 851 119 826 029 851

3. Biaya Pembayaran Pinjaman dan Bunga

16 660 735 495 17 677 735 495 17 677 735 495 17 677 735 495 17 677 735 495 17 677 735 495 17 677 735 495 17 677 735 495

4. Biaya Pajak - 963 202 551 - - 3 643 909 976 3 643 909 976 3 643 909 976 3 643 909 976 3 643 909 976 3 643 909 976 3 643 909 976

Total Outflow 34 964 135 423 29 346 200 390 63 072 717 923 134 023 716 996 141 249 867 933 141 291 743 751 141 171 098 321 141 147 675 321 141 891 275 933 142 476 205 756 142 852 072 421 Net Benefit (12 343 132 330) (4 771 384 522) (4 316 849 323) (16 325 292 113) 11 599 272 319 11 557 396 501 11 678 041 931 11 701 464 931 10 957 864 319 10 372 934 496 9 997 067 831 DF 13% 0.8849558 0.7831467 0.6930502 0.6133187 0.5427599 0.4803185 0.4250606 0.3761599 0.3328848 0.2945883 0.2606977 PV Manfaat

Bersih (10 923 125 956) (3 736 693 963) (2 991 793 124) (10 012 607 388) 6 295 620 301 5 551 231 668 4 963 876 021 4 401 621 430 3 647 706 838 3 055 745 638 2 606 212 122 PV Biaya 30 941 712 764 22 982 379 505 43 712 557 392 82 199 255 587 76 664 769 279 67 865 042 297 60 006 277 931 53 094 090 031 47 233 453 747 41 971 830 101 37 241 200 036 PV Manfaat 20 018 586 808 19 245 685 542 40 720 764 268 72 186 648 199 82 960 389 581 73 416 273 965 64 970 153 951 57 495 711 461 50 881 160 585 45 027 575 739 39 847 412 159 NPV 20 696 240 936

IRR 22%

PV Positif 48 360 461 366 PV Negatif (27 664 220 430.54)

Net B/C 1.75

Net Benefit Rata-Rata per Tahun

8 370 591 923

Payback Period 7.3 tahun

Lanjutan laporan

cashflow

TARUMA

Uraian Komponen

Tahun ke-b

12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

Inflow 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030

Penjualan sapi

potong 137 805 325 052 137 805 325 052 137 805 325 052 137 805 325 052 137 805 325 052 137 805 325 052 137 805 325 052 137 805 325 052 137 805 325 052 137 834 684 578 Penjualan

lainnya 43 815 200 43 815 200 43 815 200 43 815 200 43 815 200 43 815 200 43 815 200 43 815 200 43 815 200 43 815 200


(3)

Penerimaan

Pinjaman 15 000 000 000 15 000 000 000 15 000 000 000 15 000 000 000 15 000 000 000 15 000 000 000 15 000 000 000 15 000 000 000 15 000 000 000

Nilai Sisa 8 847 342 650

Total Inflow 152 849 140 252 152 849 140 252 152 849 140 252 152 849 140 252 152 849 140 252 152 849 140 252 152 849 140 252 152 849 140 252 152 849 140 252 146 725 842 428 Outflow

1. Biaya Investasi

Sarana dan

Prasarana 323 845 000

Bangunan Mesin dan

Peralatan - 2 850 000 - - 2 850 000 40 575 000 1 181 612 005 1 042 817 000 - - Perlengkapan

Kantor - 81 392 612 144 068 430 20 573 000 - 81 392 612 144 068 430 20 573 000 - 81 392 612 Kendaraan - 20 800 000 - - - 297 788 000 - 643 857 100 - 20 800 000

Total Biaya

Investasi - 105 042 612 144 068 430 20 573 000 2 850 000 743 600 612 1 325 680 435 1 707 247 100 - 102 192 612 2. Biaya

Operasional 2.1 Biaya Variabel

Biaya

Pembelian Sapi 89 092 851 542 89 092 851 542 89 092 851 542 89 092 851 542 89 092 851 542 89 092 851 542 89 092 851 542 89 092 851 542 89 092 851 542 59 395 234 361 Biaya

Pengangkutan Sapi

31 274 319 31 274 319 31 274 319 31 274 319 31 274 319 31 274 319 31 274 319 31 274 319 31 274 319 20 849 546

Biaya Pakan 26 226 097 493 26 226 097 493 26 226 097 493 26 226 097 493 26 226 097 493 26 226 097 493 26 226 097 493 26 226 097 493 26 226 097 493 17 490 097 493 Biaya Obat dan

Vitamin 350 632 353 350 632 353 350 632 353 350 632 353 350 632 353 350 632 353 350 632 353 350 632 353 350 632 353 233 754 902 Biaya Eartag 86 400 000 86 400 000 86 400 000 86 400 000 86 400 000 86 400 000 86 400 000 86 400 000 86 400 000 57 600 000

Total Biaya

Variabel 115 787 255 707 115 787 255 707 115 787 255 707 115 787 255 707 115 787 255 707 115 787 255 707 115 787 255 707 115 787 255 707 115 787 255 707 77 197 536 303 2.2 Biaya

Tetap

Biaya Sewa Kandang Biaya Sewa

Kantor Pusat 226 768 007 226 768 007 226 768 007 226 768 007 226 768 007 226 768 007 226 768 007 226 768 007 226 768 007 226 768 007


(4)

102

Biaya Gaji 2 847 034 318 2 847 034 318 2 847 034 318 2 847 034 318 2 847 034 318 2 847 034 318 2 847 034 318 2 847 034 318 2 847 034 318 2 847 034 318 Biaya Listrik

dan Air 126 585 266 126 585 266 126 585 266 126 585 266 126 585 266 126 585 266 126 585 266 126 585 266 126 585 266 126 585 266 Biaya

Telekomunikasi 24 013 215 24 013 215 24 013 215 24 013 215 24 013 215 24 013 215 24 013 215 24 013 215 24 013 215 24 013 215 Biaya

Pemasaran 101 916 545 101 916 545 101 916 545 101 916 545 101 916 545 101 916 545 101 916 545 101 916 545 101 916 545 101 916 545 Biaya

Ekspedisi Pos dan Materai

4 311 000 4 311 000 4 311 000 4 311 000 4 311 000 4 311 000 4 311 000 4 311 000 4 311 000 4 311 000

Biaya Perjalanan Dinas

85 501 282 85 501 282 85 501 282 85 501 282 85 501 282 85 501 282 85 501 282 85 501 282 85 501 282 85 501 282

Biaya ATK dan Rumah Tangga Kantor

53 388 433 53 388 433 53 388 433 53 388 433 53 388 433 53 388 433 53 388 433 53 388 433 53 388 433 53 388 433

Biaya STNK KIR dan Pajak Kendaraan

1 825 000 1 825 000 1 825 000 1 825 000 1 825 000 1 825 000 1 825 000 1 825 000 1 825 000 1 825 000

Biaya Retribusi

dan Sumbangan 38 087 500 38 087 500 38 087 500 38 087 500 38 087 500 38 087 500 38 087 500 38 087 500 38 087 500 38 087 500 Biaya Perijinan 96 616 272 96 616 272 96 616 272 96 616 272 96 616 272 96 616 272 96 616 272 96 616 272 96 616 272 96 616 272 Biaya

Konsultasi 352 000 000 352 000 000 352 000 000 352 000 000 352 000 000 352 000 000 352 000 000 352 000 000 352 000 000 352 000 000 Biaya

Pemeliharaan 75 475 930 75 475 930 75 475 930 75 475 930 75 475 930 75 475 930 75 475 930 75 475 930 75 475 930 75 475 930 Biaya PBB 5 251 376 5 251 376 5 251 376 5 251 376 5 251 376 5 251 376 5 251 376 5 251 376 5 251 376 5 251 376

Total Biaya

Tetap 4 038 774 144 4 038 774 144 4 038 774 144 4 038 774 144 4 038 774 144 4 038 774 144 4 038 774 144 4 038 774 144 4 038 774 144 4 038 774 144 Total Biaya

Operasional 119 826 029 851 119 826 029 851 119 826 029 851 119 826 029 851 119 826 029 851 119 826 029 851 119 826 029 851 119 826 029 851 119 826 029 851 81 236 310 446

3. Biaya Pembayaran Pinjaman dan Bunga

17 677 735 495 17 677 735 495 17 677 735 495 17 677 735 495 17 677 735 495 17 677 735 495 17 677 735 495 17 677 735 495 17 677 735 495 17 677 735 495

4. Biaya Pajak 3 643 909 976 3 643 909 976 3 643 909 976 3 643 909 976 3 643 909 976 3 643 909 976 3 643 909 976 3 643 909 976 3 643 909 976 13 298 679 708

Total Outflow 141 147 675 321 141 252 717 933 141 291 743 751 141 168 248 321 141 150 525 321 141 891 275 933 142 473 355 756 142 854 922 421 141 147 675 321 112 314 918 261 Net Benefit 11 701 464 931 11 596 422 319 11 557 396 501 11 680 891 931 11 698 614 931 10 957 864 319 10 375 784 496 9 994 217 831 11 701 464 931 34 410 924 167


(5)

DF 13% 0.2307059 0.2041645 0.1806766 0.1598908 0.1414962 0.1252179 0.1108123 0.0980640 0.0867823 0.0767985 PV Manfaat

Bersih 2 699 596 855 2 367 577 793 2 088 150 537 1 867 666 606 1 655 310 044 1 372 120 900 1 149 764 672 980 072 909 1 015 479 980 2 642 707 051 PV Biaya 32 563 599 745 28 838 790 880 25 528 104 926 22 571 497 520 19 972 268 829 17 767 329 430 15 787 801 992 14 008 924 138 12 249 119 177 8 625 616 241 PV Manfaat 35 263 196 601 31 206 368 673 27 616 255 463 24 439 164 126 21 627 578 873 19 139 450 330 16 937 566 664 14 988 997 048 13 264 599 157 11 268 323 292 NPV 20 696 240 936

IRR 22%

PV Positif 48 360 461 366 PV Negatif (27 664 220 430.54)

Net B/C 1.75

Net Benefit Rata-Rata per Tahun

8 370 591 923

Payback Period 7.3 tahun

a

Sumber: Laporan keuangan PT Catur Mitra Taruma tahun 2010, 2011, 2012 (diolah);

b

Tahun ke (Rp)


(6)

104

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekalongan pada tanggal 9 Agustus 1991 dari

pasangan Hasan Basymeleh dan Nur Sahil Sahak. Penulis adalah anak ketiga dari

3 bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Al-Irsyad Al-Islamiyyah

Kota Pekalongan pada tahun 2003 dan pendidikan menengah pertama di SMP

Al-Irsyad Al-Islamiyyah Kota Pekalongan pada tahun 2006. Pada tahun 2009 penulis

lulus dari SMA Negeri 3 Kota Pekalongan dan pada tahun yang sama penulis

lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi

Masuk IPB dan diterima di Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan

Manajemen.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam beberapa organisasi

kampus dan berbagai kepanitiaan. Pada tahun 2009-2010, penulis menjabat

sebagai dewan gedung asrama putri A4 TPB-IPB dan anggota UKM basket IPB

Pada tahun 2010-2011, penulis menjabat sebagai anggota badan pengawas

Himpunan Profesi Mahasiswa Peminat Agribisnis (HIPMA) Fakultas Ekonomi

dan Manajemen IPB dan reporter Orange Magazine. Dilanjutkan pada tahun

2011-2012, penulis menjabat sebagai sekretaris Departemen Sosial dan

Lingkungan HIPMA Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Selain itu penulis

juga pernah meraih gelar juara pada Olympiade Mahasiswa IPB cabang Basket

Putri pada tahun 2012.