Natural Cross-pollination in Chili Peppers (Capsicum annuum L.) and Its Breeding Methods Determination.

PENYERBUKAN SILANG ALAMI BEBERAPA
GENOTIPE CABAI (Capsicum annuum L.) DAN PENENTUAN
METODE PEMULIAANNYA

ARYA WIDURA RITONGA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Studi Penyerbukan
Silang Alami Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum annuum L.) dan Penentuan
Metode Pemuliaannya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.
Bogor, 6 Mei 2013

Arya Widura Ritonga
NIM A253100041

RINGKASAN
ARYA WIDURA RITONGA. Studi Penyerbukan Silang Alami Beberapa
Genotipe Cabai (Capsicum annuum L.) dan Penentuan Metode Pemuliaannya.
Dibawah bimbingan MUHAMAD SYUKUR, RAHMI YUNIANTI dan SOBIR.
Cabai dikenal sebagai tanaman menyerbuk sendiri. Tanaman menyerbuk
sendiri memiliki ciri-ciri persentase penyerbukan silang alaminya dibawah 4 - 5%,
umumnya diarahkan menjadi varietas galur murni, memiliki nilai heterosis dan
inbreeding depression yang rendah. Akan tetapi, varietas cabai di Indonesia saat
ini didominasi oleh varietas hibrida bukan varietas galur murni. Hal ini terjadi
karena diduga terdapat genotipe-genotipe cabai yang berperilaku menyerupai
tanaman menyerbuk silang, seperti memiliki persentase penyerbukan silang alami
dan nilai heterosis yang tinggi. Informasi sistem penyerbukan silang yang belum
konsiten tersebut menyebabkan studi penyerbukan silang alami pada tanaman
cabai menjadi penting untuk dilakukan, sehingga dapat digunakan dalam

penentuan metode dan arah pemuliaan tanaman cabai. Penelitian ini bertujuan
untuk (1) memperoleh marka evaluasi penyerbukan silang alami yang efektif dan
efisien pada tanaman cabai, (2) membandingkan tingkat penyerbukan silang alami
beberapa genotipe cabai, (3) membandingkan nilai heterosis, inbreeding
depression, dan respon seleksi dua populasi cabai.
Penelitian ini terdiri atas 3 percobaan, yaitu studi pola pewarisan sifat
karakter kualitatif dan kuantitatif pada hipokotil dan kotiledon cabai, studi
penyerbukan silang alami pada beberapa genotipe cabai dan pendugaan parameter
genetik pada dua populasi cabai. Hasil percobaan pertama menunjukkan bahwa
karakter warna hipokotil dan warna warna kotiledon merupakan karakter yang
efektif dan efisien untuk mengevaluasi kejadian penyerbukan silang alami pada
tanaman cabai. Hal ini karena kedua karakter tersebut sama-sama dikendalikan
oleh 1 gen dan tidak dipengaruhi lingkungan serta dapat diamati dalam waktu
singkat dan tidak membutuhkan biaya yang mahal.
Hasil percobaan kedua menunjukkan bahwa genotipe cabai IPB C2
memiliki tingkat penyerbukan silang alami yang lebih tinggi dibandingkan
genotipe cabai IPB C120 dan IPB C5. Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh
tingkat crossability dan tipe posisi stigma yang dimiliki oleh genotipe-genotipe
tersebut. Semakin tinggi tingkat crossability suatu genotype cabai yang disertai
dengan posisi stigma yang lebih tinggi dari pada anther maka semakin tinggi pula

tingkat penyerbukan silang alaminya.
Hasil percoban ketiga memperlihatkan bahwa populasi cabai IPB C2 x IPB
C5 memiliki nilai heterosis dan inbreeding depression yang lebih tinggi
dibandingkan genotipe cabai IPB C120 x IPB C5. Perbedaan ini sangat
dipengaruhi oleh tetua-tetua yang digunakan. Populasi cabai yang dibentuk dari
tetua dengan tingkat penyerbukan silang alami yang tinggi menghasilkan nilai
heterosis dan inbreeding depression yang lebih tinggi dibandingkan populasi
cabai yang dibentuk dari tetua dengan tingkat penyerbukan silang alami rendah.
Kata kunci: cabai, penyerbukan silang, genotipe, heterosis, inbreeding depression

SUMMARY
ARYA WIDURA RITONGA. Natural Cross-pollination in Chili Peppers
(Capsicum annuum L.) and Its Breeding Methods Determination. Supervised by
MUHAMAD SYUKUR, RAHMI YUNIANTI and SOBIR.
Chili was known as self-pollinated crops. Some characteristics of selfpollinated crops are having a natural cross-pollination percentage below 4-5%,
generally directed to be pure line varieties, and have a low heterosis and
inbreeding depression. However, the chili pepper varieties in Indonesia currently
are dominated by hybrid varieties and not pure line varieties. That is happens
because there were chili pepper genotypes that behaves like a cross-pollinated, as
have the high heterosis and the high percentages of natural cross-pollination.

Natural cross-pollination information was not consistent led to studies of natural
cross-pollination in chili pepper is important to do, so it can be used to
determining the methods and the direction in chili pepper program. The aims of
this study were to obtain the markers of natural cross-pollination in chili pepper,
to compared the level of natural cross-pollination in some genotypes of chili
pepper and to compared the heterosis, inbreeding depression, and response
selection two population of chili pepper.
This study was consisted of three experiments. First, estimation of several
genetic parameters on qualitative and quantitative characters on hypocotyl and
cotyledon of chili peppers (Capsicum annuum L.). Second, study of natural crosspollination in some genotypes of chili pepper. Third, estimation of several genetic
parameters in two population of chili peppers that have different level of natural
cross-pollination. The results of the first experiment showed that the color of
hypocotyl and cotyledon characters were effective and efficient markers to
evaluate the incidence of natural cross-pollination in chili pepper. These were
because both of characters controlled by single gene and not influenced by
environment. In addition, its can be observed in short time and does not require
an expensive cost.
The result of the second experiment showed that the IPB C2 genotype has
higher natural cross-pollination level than the IPB C5 and IPB C120 genotypes.
This was highly influenced by level of crossability and stigma position each of

genotypes. The higher level of crossability with stigma position higher than anther
causes the higher level of natural cross-pollination in chili pepper.
The third experiment result showed that the IPB C2 x IPB C5 population
has a higher heterosis and inbreeding depression than IPB C120 x IPB C5
population. This was highly influenced by the parents were used at the formation
of the population. The population was formed by the parents with the high level of
natural cross pollination has a higher heterosis and inbreeding depression than
the population was formed by the parents with low level of natural crosspollination.

Keyword: chili pepper, cross-pollination, genotype, heterosis, inbreeding
depression

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENYERBUKAN SILANG ALAMI BEBERAPA
GENOTIPE CABAI (Capsicum annuum L.) DAN PENENTUAN
METODE PEMULIAANNYA

ARYA WIDURA RITONGA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji pada Ujian


:Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS.

Judul Tesis : Penyerbukan Silang Alami Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum
annuum L.) dan Penentuan Metode Pemuliannya.
: Arya Widura Ritonga
Nama
: A253100041
NIM

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Sobir, MSi.
Anggota

Ketua

Diketahui oleh


Ketua Program Studi
Pemuliaan dan
Bioteknologi Tanaman

Dekan Sekolah Pascasmjana

Dr. Ir. Trikoesoemarrtfigtyas, MSc.

Tanggal Ujian:
27 Mei 2013

Tanggal Lulus:

2 2 JUL 2013

Judul Tesis : Penyerbukan Silang Alami Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum
annuum L.) dan Penentuan Metode Pemuliannya.
Nama
: Arya Widura Ritonga
NIM

: A253100041

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Muhamad Syukur, SP., MSi
Ketua

Prof. Dr. Ir. Sobir, MSi.
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Pemuliaan dan
Bioteknologi Tanaman

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc.


Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr.

Tanggal Ujian:
27 Mei 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karuni-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tesis yang
berjudul Penyerbukan Silang Alami Beberapa Genotipe Cabai (Capsicum annuum
L.) dan Penentuan Metode Pemuliaannya ini merupakan tugas akhir penulis untuk
memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi
Tanaman, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada:
1. Allah SWT atas kemudahan, kekuatan, karunia, dan rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini
2. Dr. Muhamad Syukur, SP. MSi, Dr. Rahmi Yunianti, SP. MSi, dan Prof. Dr. Ir.
Sobir, MS. selaku dosen pembimbing atas segala arahan, saran, masukan,

kesabaran, dan motivasi yang telah diberikan selama ini,
3. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahtjo dan Dr. Ir. Eny Widajati, MS selaku dosen
penguji yang telah memberikan arahan dan masukan sehingga tesis ini
menjadi lebih baik
4. Kedua orang tua (Bapak Kalpen Ritonga dan Ibu Sri Nuryanti) yang selalu
berdoa dan memberikan dukungan tiada henti
5. Yusnita Sari yang selalu setia membantu dan menjadi pendengar keluh kesah
penulis
6. Abdul Hakim, Mas Undang, Muhamad Alfarabi, Helfi Saputra, Tiara
Yudilastari, Mba Vitria Rahardi, Mba Sri Wahyuni, Mba Siti Marwiyah, dan
Mang Darwa atas segala bantuannya selama ini.
7. Rekan-rekan Program Studi Pemuliaan Tanaman, Sekolah Pascasarjana tahun
2010 atas dukungan dan kerjasamanya selama ini.
8. DIKTI atas beasiswa pendidikan yang telah diberikan melalui program IMHERE B2c
9. Semua pihak yang telah membantu atas terselesaikannya penelitian ini
Mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan dalam penulisan karya
ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan, khususnya bidang pemuliaan tanaman dan pertanian pada umumnya.

Bogor, 6 Mei 2013

Arya Widura Ritonga
.

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Ruang Lingkup
TINJAUAN PUSTAKA
PEWARISAN SIFAT KARAKTER KUALITATIF DAN
KUANTITATIF PADA HIPOKOTIL DAN KOTILEDON CABAI
(Capsicum annuum L.)
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
STUDI PENYERBUKAN SILANG ALAMI DAN BUATAN
BEBERAPA GENOTIPE CABAI (Capsicum annuum L.) DAN
PENENTUAN METODE PEMULIAANNYA
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
PENDUGAAN PARAMETER GENETIK DUA POPULASI CABAI
(Capsicum annuum L.)PADA BEBERAPA GENERASI
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
PEMBAHASAN UMUM
SIMPULAN UMUM
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

xi
xii
xiii
xiii

1
1
2
4

11
12
15
23

24
25
30
37

39
40
42
53
57
59
59
58
64
65

DAFTAR TABEL
1. Nisbah fenotipe karakter kualitatif yang terkait adaptasi terhadap
cekaman yang dikendalikan oleh gen mayor pada populasi F2
2. Nilai X2hitung warna hipokotil dan warna kotiledon pada populasi
BCP1, BCP2 dan F2
3. Uji pengaruh tetua betina populasi F1 dan F1R pada beberapa karakter
cabai
4. Jumlah gen pengendali dan aksi gen pada beberapa karakter cabai
5. Uji kecocokan model genetik beberapa karakter cabai
6. Pendugaan komponen genetik beberapa karakter cabai
7. Komponen ragam dan heritabilitas beberapa karakter cabai
8. Warna mahkota, warna anther, warna putik, warna stigma, dan tipe
posisi stigma beberapa genotipe cabai
9. Rekapitulasi hasil analisis uji-z karakter umur berbunga, panjang
tangkai hari, panjang anther, panjang putik, tinggi tanaman dan posisi
stigma beberapa genotipe cabai
10. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh genotipe, posisi cabang, dan
interaksi genotipe x posisi cabang terhadap beberapa karakter cabai
11. Pengaruh genotipe terhadap jumlah biji, panjang, diameter, dan bobot
buah cabai hasil persilangan buatan
12. Pengaruh posisi cabang terhadap jumlah biji, panjang, diameter, dan
bobot buah hasil persilangan
13. Nilai heterosis, heterobeltiosis, dan inbreeding depression dua
populasi cabai
14. Ragam genetik beberapa karakter tanaman cabai pada dua populasi
cabai
15. Ragam genetik beberapa karakter tanaman cabai populasi cabai IPB
C2 x IPB C5 pada berbagai generasi
16. Heritabilitas arti luas beberapa karakter tanaman cabai populasi cabai
IPB C120 x IPB C5 pada berbagai generasi
17. Heritabilitas arti luas beberapa karakter tanaman cabai populasi cabai
IPB C2 x IPB C5 pada berbagai generasi

9
16
18
20
20
21
27
32

34
35
37
37
43
49
50
51
52

DAFTAR GAMBAR
1. Diagram alir penelitian penyerbukan silang alami beberapa genotipe
cabai (Capsicum annuum L.) dan penentuan metode pemuliaannya
2. Warna hipokotil dan kotiledon genotipe cabai IPB C20, F1 IPB C20 x
IPB C2, dan IPB C2
3. Nilai tengah dan simpangan baku populasi P1, P2, F1, F2, BCP1 dan
BCP 2
4. Sebaran populasi F2 (IPB C2 x IPB C20)
5. Sebaran populasi F2 (IPB C2 x IPB C20)
6. Layout percobaan penyerbukan silang alami beberapa genotipe cabai
(Capsicum annuum L.)
7. Pola penyerbukan silang alami beberapa populasi cabai pada berbagai
minggu panen
8. Pola penyerbukan silang alami beberapa genotipe cabai di lapang
setelah 6 minggu
9. Persentase tanaman yang mengalami penyerbukan silang alami
10. Tipe – tipe posisi stigma beberapa genotipe cabai
11. Persentase keberhasilan persilangan buatan pada beberapa genotipe
cabai
12. Pengaruh interaksi genotipe dan posisi cabang terhadap persentase
keberhasilan persilangan buatan beberapa genotipe cabai
13. Bobot per tanaman dua populasi cabai pada enam generasi
14. Jumlah buah per tanaman dua populasi cabai pada enam generasi
15. Nilai tengah beberapa karakter buah dua populasi cabai pada enam
generasi
16. Nilai tengah beberapa karakter vegetatif dua populasi cabai enam
generasi

3
15
17
18
19
26
30
31
32
33
35
36
44
45
46
48

DAFTAR LAMPIRAN
1. Tabel nilai tengah beberapa karakter populasi cabai IPB C120 x IPB
C5 pada enam generasi
2. Tabel nilai tengah beberapa karakter populasi cabai IPB C2 x IPB C5
pada enam generasi

64
64


 

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu spesies tanaman yang
memiliki nilai ekonomi penting di dunia (Bosland 1996). Tanaman ini juga
merupakan salah satu tanaman sayuran penting di Indonesia. Hal ini dapat dilihat
dari luas pertanaman cabai di Indonesia yang mencapai 237 ribu ha pada tahun
2009 (Kementerian Pertanian RI 2011) yang merupakan luasan terbesar pada
komoditi sayuran. Namun, sering kali jumlah produksi cabai tidak mampu
mencukupi kebutuhan permintaan pasar, sehingga menyebabkan tingginya harga
cabai di pasaran. Dilaporkan bahwa harga cabai merah dan keriting mencapai
lebih Rp 50.000 per kg pada bulan Desember 2010 (Kementerian Pertanian RI
2010). Salah satu penyebab rendahnya produksi cabai adalah penggunaan benih
unggul cabai yang masih rendah sehingga menyebabkan pertanaman cabai lebih
mudah teserang hama penyakit dan produktivitasnya tidak optimal.
Cabai dikenal sebagai tanaman menyerbuk sendiri. Tanaman menyerbuk
sendiri adalah tanaman - tanaman yang persentase penyerbukan silang alaminya
dibawah 4 - 5% (Sleper dan Phoelman 2006). Tanaman menyerbuk sendiri
umumnya diarahkan untuk menjadi varietas galur murni. Hal ini karena nilai
heterosis yang rendah dan tidak adanya inbreeding depression pada tanaman
menyerbuk sendiri. Namun varietas – varietas cabai yang dihasilkan di Indonesia,
saat ini didominasi oleh varietas hibrida bukan varietas galur murni. Sebanyak
lebih dari 80% varietas cabai yang sudah dilepas di Indonesia merupakan varietas
cabai hibrida (Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi 2011). Hal ini terjadi
karena diduga terdapat genotipe-genotipe cabai yang perilakunya menyerupai
tanaman menyerbuk silang, seperti memiliki persentase penyerbukan silang alami
dan nilai heterosis yang tinggi. Campodonico (1983), Corella et al. (1986), dan
Csillery (1986) melaporkan bahwa penyerbukan silang alami pada cabai dapat
mencapai lebih dari 50%, sedangkan Sujiprihati et al. (2007) dan Mantri (2007)
melaporkan bahwa nilai heterosis pada persilangan cabai dapat mencapai lebih
dari 60%. Studi penyerbukan silang alami pada tanaman cabai penting untuk
dilakukan. Informasi ini berguna dalam penentuan metode dan arah pemuliaan
tanaman cabai.

Tujuan
 

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Memperoleh marka yang efektif dan efisien untuk mengevaluasi penyerbukan
silang alami pada tanaman cabai.
2. Membandingkan tingkat penyerbukan silang alami beberapa genotipe cabai.
3. Membandingkan nilai heterosis, inbreeding depression, dan respon seleksi dua
populasi cabai.


 

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini terdiri atas 3 percobaan. Percobaan pertama, studi pola
pewarisan sifat karakter kualitatif dan kuantitatif pada hipokotil dan kotiledon
cabai yang bertujuan untuk mendapatkan karakter pada hipokotil atau kotiledon
yang dapat dijadikan marka dalam mengevaluasi kejadian penyerbukan silang
alami tanaman cabai. Kemudian dilanjutkan dengan percobaan kedua, studi
penyerbukan silang alami pada beberapa genotipe cabai yang bertujuan untuk
memperoleh informasi tentang pengaruh genotipe terhadap kejadian penyerbukan
silang alami pada tanaman cabai, sehingga diketahui genotipe-genotipe cabai yang
memiliki persentase penyerbukan silang alami rendah dan tinggi. Setelah itu,
dibentuk dua populasi cabai yang terdiri dari populasi cabai dengan penyerbukan
silang alami rendah dan tinggi untuk digunakan pada percobaan ketiga yang
berjudul pendugaan parameter genetik pada dua populasi cabai selama enam
generasi. Percobaan ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang heterosis,
inbreeding depression, ragam genetik dan heritabilitas dua populasi cabai yang
berbeda. Informasi-informasi tersebut kemudian digunakan dalam penentuan
metode dan arah pemuliaan dua populasi cabai yang berbeda.

 

3

Gambar 1 Diagram aliir penelitian penyerbukaan silang alaami beberap
G
pa genotipe
c
cabai
(Capsiicum annuuum L.) dan penentuan metode pem
muliaannya


 

TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Morfologi Cabai
Cabai termasuk dalam tanaman kingdom Plantae, divisi Magnoliophyta,
kelas Magnoliopsida, Ordo Solanales, famili Solanaceae, genus Capsicum, dan
spesies Capsicum annuum L. Terdapat setidaknya dua puluh lima spesies liar dan
lima spesies Capsicum yang telah dibudidayakan secara luas, yaitu Capsicum
annuum (cabai besar), Capsicum frutescens (cabai kecil), Capsicum chinense,
Capsicum baccatum, dan Capsicum pubescens (Bosland dan Votava 1999).
Perbedaan diantara spesies cabai dapat diketahui pada ketidakmampuan terjadinya
persilangan diantaranya dan perbedaan morfologi (warna, bentuk bunga dan biji)
pada tanaman – tanaman yang mampu bersilang dengan keberhasilan yang rendah
(Andrew 1995). Capsicum merupakan tanaman diploid yang sebagian besar
memiliki jumlah kromosom 2n = 2x = 24, namun pada beberapa spesies liar
memiliki jumlah kromosom 2n = 2x = 26 (Bosland dan Votava 1999).
Cabai pada umumnya merupakan tanaman semusim di wilayah temperate,
namun dapat menjadi tanaman tahunan pada wilayah tropis dan dalam rumah kaca
(OECD 2006). Cabai merupakan tanaman terna atau setengah perdu dengan tinggi
tanaman 0.5 – 1.5 m. Tanaman cabai memiliki batang yang tegak dan berkayu
pada bagian pangkalnya, sedangkan pada bagian atas terdapat banyak
percabangan (Rubatzky dan Yamaguchi 1999).
Tanaman cabai memiliki perakaran yang kuat. Akar tanaman cabai
merupakan akar tunggang yang tumbuh lurus ke bawah secara vertikal. Akar
cabang akan tumbuh dari samping akar tunggang, kemudian akar rambut akan
tumbuh pada sekitar akar cabang tersebut. Akar tanaman cabai bisa tumbuh
mencapai kedalaman satu meter (Rubatzky dan Yamaguchi 1999).
Daun tanaman cabai merupakan daun tunggal dengan bentuk yang
bervariasi, mulai dari lancip sampai dengan bulat telur dengan ujung daun yang
lancip dan tepinya yang rata. Warna daun cabai bervariasi, dari mulai hijau, hijau
tua, sampai hijau keunguan. Daun tumbuh pada tunas samping secara berurutan,
sedangkan pada cabang utama secara spiral (Kusandriani 1996).
Tanaman cabai mulai berbunga pada bagian aksilar buku percabangan
utama yang kemudian terbentuk bunga pada setiap buku berikutnya (OECD
2006). Pembungan pada tanaman cabai pada umur 1 sampai 2 bulan setelah tanam
(Rubatzky dan Yamaguchi 1999). Hanya satu bunga yang dihasilkan pada setiap
buku, namun beberapa spesies Capsicum memiliki bunga yang tumbuh
bergerombol (lebih dari satu) dalam satu buku. Jumlah bunga dalam satu buku
yang berbeda pada Capsicum dapat digunakan sebagai salah satu pembeda antar
spesies Capsicum (OECD 2006). Bunga cabai merupakan bunga hermaprodit dan
bunga lengkap yang berbentuk lonceng. Diameter bunga cabai berkisar antara 9 –
15 mm dengan 5 – 6 helai mahkota dan 5 – 8 benang sari yang berwarna putih
atau ungu. Putik tanaman cabai berada di tengah – tengah dan tertutup oleh
benang sari dengan panjang 3.5 – 6.6 mm. Namun, dijumpai juga putik lebih
panjang dari pada benang sari. Bunga cabai memiliki 3 orientasi arah tumbuh
yang berbeda, yaitu ke bawah, intermediate, dan tegak ke atas (Bosland dan
Votava 1999).


 

Bentuk dan warna buah cabai bervariasi. Falusi dan Morakinyo (1994)
menjelaskan bahwa terdapat berbagai variasi bentuk buah pada Capsicum annuum
L. Bentuk buah cabai, mulai dari pendek, panjang, bulat, oval, sampai keriting.
Warna buah cabai sangat bervariasi, yaitu: hijau, kuning, atau bahkan ungu ketika
muda dan kemudian berubah menjadi merah, jingga, atau campuran bersamaan
dengan meningkatnya umur buah (Rubatzky dan Yamaguchi 1999). Buah cabai
merupakan buah tunggal yang tumbuh pada buku, namun juga terdapat buah yang
lebih dari satu (fasiculate) tumbuh dalam satu buku (Kusandriani 1996). Arah
tumbuh buah cabai juga bervariasi antar kultivar, ada yang ke bawah,
menyamping, dan ke atas.

Pemuliaan Tanaman Cabai di Indonesia
Pemuliaan tanaman adalah suatu ilmu dan seni dalam merakit suatu
tanaman untuk kepentingan manusia (Sleper dan Poehlman 2006). Program
pemuliaan tanaman bertujuan untuk menghasilkan varietas unggul dengan sifat
dan karakter tanaman yang lebih baik. Suatu program pemuliaan tanaman terdiri
dari berbagai kegiatan yang saling berhubungan satu sama lainnya. Kegiatan –
kegiatan tersebut terdiri dari pembentukan populasi genetik (hibridisasi, mutasi,
variasi somaklonal, transformasi gen), seleksi (seleksi massa, seleksi pedigree,
dan seleksi berulang), dan pengujian (uji daya hasil, uji BUSS, dan multilokasi).
Namun demikian, metode pemuliaan suatu tanaman berbeda antara satu tanaman
dengan tanaman lainnya. Sleper dan Poehlman (2006) membagi metode
pemuliaan tanaman menjadi metode pemuliaan tanaman menyerbuk sendiri,
pemuliaan tanaman menyerbuk silang, pemuliaan tanaman yang diperbanyak
secara vegetatif, dan pemuliaan varietas hibrida.
Cabai dikenal sebagai tanaman menyerbuk sendiri di Indonesia. Hal ini
karena tanaman cabai memiliki persentase penyerbukan sendiri yang tinggi.
Tanaman menyerbuk sendiri umumnya adalah tanaman yang memiliki tingkat
penyerbukan silang alami yang rendah, yaitu 4 – 5% (Sleper dan Poehlman 2006).
Tingginya persentase penyerbukan sendiri pada tanaman cabai dapat terjadi
karena cabai memiliki bunga hermaprodit yang self-compatible. Struktur bunga
yang hermaprodit dan self – compatible sangat berperan dalam tingginya tingkat
penyerbukan sendiri pada suatu tanaman (Damgaard et al. 1992). Oleh karena itu,
metode pemuliaan tanaman cabai umumnya mengikuti metode pemuliaan
tanaman pada tanaman menyerbuk sendiri, seperti pada tanaman padi dan kedelai.
Pemuliaan tanaman cabai diawali dengan pembentukan populasi genetik
yang dilanjutkan dengan seleksi dan persilangan diantara tetua – tetua terpilih.
Setelah itu, dilakukan seleksi selama beberapa generasi yang kemudian
dilanjutkan dengan uji daya hasil, uji multilokasi, dan pelepasan varietas.
Pemuliaan tanaman cabai, pada awalnya diarahkan untuk merakit varietas cabai
berdaya hasil tinggi. Namun, pada saat ini pemuliaan tanaman cabai diarahkan
untuk merakit varietas cabai yang selain berdaya hasil tinggi juga memiliki
penampilan yang baik dan tahan terhadap serangan hama dan penyakit.
Pemuliaan tanaman menyerbuk sendiri umumnya lebih sering diarahkan
untuk merakit varietas galur murni. Hal ini karena peningkatan hasil akibat
heterosis pada tanaman menyerbuk sendiri dinilai tidak signifikan dibandingkan


 

pada tanaman menyerbuk silang (Wehner 1997). Peningkatan hasil akibat
heterosis pada tanaman padi hanya mencapai 23% (Lestari dan Nugraha, 2006),
20% (Sukirman 2005), dan 26% (Satoto et al. 2007). Sedangkan peningkatan hasil
akibat heterosis pada tanaman jagung dapat mencapai lebih 100% (Suwarno 2000;
Setiyono dan Subandi 1996) dan pada tanaman bunga matahari dapat mencapai
300% (Ahmad et al. 2005). Namun, varietas – varietas cabai yang dihasilkan di
Indonesia saat ini didominasi oleh varietas hibrida bukan varietas galur murni.
Sebanyak 80% varietas cabai yang dilepas di Indonesia merupakan cabai hibrida.
Salah satu penyebabnya diduga karena varietas – varietas tersebut dapat memiliki
nilai heterosis yang tinggi. Nilai heterosis pada hasil persilangan dialel tanaman
cabai dapat mencapai 63% dan nilai heterobeltiosisnya dapat mencapai 44 %
(Sujiprihati et al. 2007), bahkan Mantri (2006) menyatakan bahwa nilai heterosis
pada cabai dapat mencapai lebih dari 100%. Nilai heterosis yang tinggi pada cabai
diduga karena tanaman cabai ternyata memiliki kemampuan untuk melakukan
penyerbukan silang secara alami yang cukup tinggi.

Penyerbukan Silang pada Tanaman Cabai
Penyerbukan silang adalah peristiwa jatuhnya polen dari anther ke kepala
putik tanaman yang berbeda. Penyerbukan silang dapat terjadi pada grup tanaman
monoecious (jagung, kelapa sawit, melon, dan lain - lain) dan dioecious (salak,
kurma, melinjo, vanili dan lain - lain). Penyerbukan silang juga dapat terjadi pada
grup tanaman hermaprodit. Penyerbukan silang pada grup tanaman hermaprodit
dapat terjadi karena adanya modifikasi bunga hermaprodit (kasmogami, dikogami,
dan herkogami), self-incompability, dan male sterility.
Tingginya persentase penyerbukan sendiri alami pada tanaman cabai dapat
terjadi karena tanaman cabai memiliki bunga hermaprodit yang self-compatible.
Struktur bunga yang hermaprodit dan self – compatible sangat berperan dalam
tingginya tingkat penyerbukan sendiri pada suatu tanaman (Damgaard et al.
1992). Tanaman menyerbuk sendiri umumnya adalah tanaman yang memiliki
tingkat penyerbukan silang alami yang rendah, yaitu 4 – 5% (Sleper and
Poehlman, 2006). Namun, beberapa penelitian melaporkan bahwa terdapat tingkat
penyerbukan silang alami yang tinggi pada tanaman cabai. Tingkat penyerbukan
silang alami pada tanaman cabai di Italia dan Spanyol dapat mencapai lebih dari
50% (Campodonico 1983; Corella et al. 1986; Csillery 1986).
Penyerbukan silang buatan pada cabai umumnya masih mudah dilakukan
jika masih dalam satu spesies. Namun, jika penyerbukan silang dilakukan antar
spesies cabai, maka umumnya persilangan akan mengalami hambatan. Hambatan
yang sering terjadi diantaranya adalah sulit tejadi fertilisasi dan jika fertilisasi
berhasil, maka tanaman tersebut akan steril. Emboden (1964) melaporkan bahwa
persilangan buatan antara C. frutescens x C. baccatum dan C. Chinense x C.
baccatum tidak dapat menghasilkan biji.
Penyerbukan silang alami dapat terjadi karena faktor abiotik (angin dan
air) dan faktor biotik (serangga, kalelawar, burung, dan lain – lain). Penyerbukan
silang alami karena faktor biotik umumnya akan memberikan imbalan untuk
vektor penyerbuknya. Imbalan – imbalan tersebut dapat berupa madu, polen,
tempat tinggal, tempat kawin dan tempat bertelur. Madu dan polen merupakan


 

salah satu imbalan yang penting dari bunga bagi polinator (Robertson et al. 1999).
Vektor penyerbukan silang alami yang utama pada tanaman cabai diduga adalah
lebah. Raw (2000) melaporkan bahwa perilaku makan lebah berpotensi dalam
mempengaruhi tingkat penyerbukan silang alami pada tanaman cabai. Cruz et al.
(2005) juga melaporkan bahwa lebah (Melipona subnitida) potensial dalam
penyerbukan silang pada tanaman cabai di dalam green house. Penyerbukan silang
alami pada tanaman cabai memiliki jangkauan radius yang luas. Kim et al. (2009)
melaporkan bahwa penyerbukan silang alami pada tanaman cabai dapat mencapai
jarak 18 m.

Antosianin
Antosianin merupakan salah satu pigmen yang berwarna merah muda
sampai ungu. Antosianin merupakan bagian dari flavonoid yang berwarna ungu.
Antosianin terletak di dalam vakuola sel (Lightbourn et al. 2008). Antosianin
memiliki peranan yang sangat penting bagi tanaman. Antosianin berperan dalam
melindungi tanaman dari radiasi sinar UV, sebagai zat anti-mikrobial, dan sebagai
antioksidan (Harborne dan Williams 2000). Intensitas dan stabilitas pigmen
antosianin dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu struktur dan konsentrasi
pigmen, PH, temperatur, intensitas cahaya, dan keberadaan pigmen lainnya (Laleh
et al. 2006). Peningkatan radiasi UV-B menyebabkan peningkatan intensitas
antosianin pada daun tanaman cabai (Mahdavian et al. 2008). Antosianin pada
tanaman kolesom dipengaruhi oleh pemupukan (Mualim et al. 2009)
Akumulasi antosianin pada tanaman cabai dapat dilihat pada bagian
hipokotil, kotiledon, batang, bunga, dan buah yang belum matang (Wang dan
Bosland 2006). Genotipe – genotipe cabai yang mengekspresikan antosianin
memperlihatkan bahwa antosianin pada bagian buah cabai bersifat sementara
yaitu hanya saat buah muda saja, sedangkan antosianin pada daun, batang, bunga,
dan organ lainnya lebih stabil. Warna ungu akibat akumulasi antosianin pada
batang, daun, bunga, dan buah muda cabai dikendalikan oleh gen dominan tidak
lengkap anthocyanin (A) dan diperkuat oleh gen Modifier of A (MoA)
(Lightbourn 2008). Warna ungu pada tanaman merupakan salah satu marka
morfologi yang efektif dan efisien. Motten dan Antonovics (1992) telah
menggunakan warna ungu pada bunga dan hipokotil untuk menentukan tingkat
penyerbukan silang alami pada tanaman Datura stramoium. Warna ungu pada
hipokotil dan kotiledon juga merupakan salah satu karakter yang di uji dalam uji
BUSS tanaman cabai (UPOV 2006).

Komponen Ragam dan Heritabilitas
Nilai heritabilitas merupakan salah satu parameter genetik yang penting
dalam kegiatan pemuliaan tanaman. Heritabilitas adalah rasio antara ragam
genotipe dengan ragam fenotipenya. Nilai heritabiltas menggambarkan besar
ragam fenotipe yang masih dapat terus diwariskan pada turunan berikutnya. Oleh
karena itu, nilai heritabilitas seringkali dijadikan sebagai salah satu acuan kegiatan
seleksi pada suatu program pemuliaan tanaman.


 

Berdasarkan komponen ragam genotipenya, nilai heritabilitas dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu heritabilitas arti luas (broad-sense heritability) dan
heritabilitas arti sempit (narrow-sense heritability). Heritabilitas arti luas (h2bs)
merupakan perbandingan antara ragam genotipe total (Vg) yang merupakan
gabungan dari ragam aditif (Va), ragam dominan (Vd), dan ragam epistasis (Vi)
dengan ragam fenotipenya (Vp) (Sleper dan Poehlman 2006). Sedangkan
heritabilitas arti sempit adalah perbandingan hanya antara ragam aditif (Va)
dengan ragam fenotipenya (Vp). Berdasarkan hal tersebut, maka haritabilitas arti
sempit lebih sering diperhatikan dibandingkan heritabilitas arti luas. Hal ini
dikarenakan hanya ragam aditif saja yang dapat diwariskan. Keberadaan ragam
dominan dan ragam epistasis pada perhitungan heritabilitas arti luas dapat
mengakibatkan bias ketika akan melakukan kegiatan pemuliaan tanaman.
Terdapat berbagai metode untuk menduga nilai heritabilitas. Nilai
heritabilitas dapat diduga dengan perhitungan ragam turunan, regresi parent
offspring, dan komponen ragam hasil analisis ragam. Metode yang digunakan
disesuaikan dengan tujuan dan ketersediaan populasi yang dimiliki.
Poespodarsono (1988) menyatakan bahwa nilai heritabilitas dinyatakan dalam
bilangan desimal atau persentase, yang berkisar antara 0 – 1. Kriteria nilai
heritabilitas arti luas, menurut Whirter (1979) dalam Mursito (2003) dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu heritabilitas rendah (h2bs < 20%), heritabilitas sedang (20% <
h2bs < 50%), dan heritabilitas tinggi (50% < h2bs). Nilai heritabilitas suatu sifat
akan bervariasi antar populasi. Karakter – karakter yang mudah dipengaruhi
lingkungan umumnya memiliki nilai heritabilitas yang rendah, sedangkan karakter
– karakter yang sulit dipengaruhi oleh lingkungan umumnya memiliki nilai
heritabilitas yang tinggi (Sleper dan Poehlman 2006). Sujiprihati et al. (2003)
menyatakan bahwa nilai heritabilitas sangat tergantung dari metode dan populasi
yang digunakan.
Nilai heritabilitas yang rendah menunjukkan bahwa keragaman yang
terjadi lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan dibandingkan faktor genetiknya,
sedangkan nilai heritabilitas yang tinggi menunjukkan bahwa keragaman yang
timbul lebih dipengaruhi oleh faktor genetik dibandingkan lingkungan (Sleper dan
Poehlman 2006). Terhadap karakter – karakter yang memiliki nilai heritabilitas
tinggi sudah dapat dilakukan kegiatan seleksi pada generasi awal, sedangkan
terhadap karakter – karakter dengan nilai heritabilitas rendah sebaiknya dilakukan
seleksi pada generasi lanjut agar gen-gen aditifnya sudah terfiksasi (Sleper dan
Poehlman 2006).

Karakter Kualitatif dan Karakter Kuantitatif
Karakter kualitatif adalah karakter – karakter yang dapat dibedakan
dengan jelas berdasarkan kelas atau jenisnya. Contoh karakter kualitatif adalah
warna bunga, warna putik, warna buah, bentuk buah, dan lain – lain. Karakter
kualitatif umumnya dikendalikan oleh sedikit gen yang berupa gen mayor.
Karakter kualitatif pada cabai, seperti posisi bunga, warna buah muda, warna
batang muda, dan tekstur permukaan dikendalikan oleh satu gen (Arif 2010).
Kendali gen – gen tersebut sangat kuat dan sedikit dipengaruhi oleh lingkungan.
Mangoendidjojo (2003) menyatakan bahwa pengambilan data pada karakter


 

kualitatif dapat langsung dilakukan secara visual baik dengan kontrol yang sudah
distandarisasi maupun dengan skoring. Karakter kualitatif lebih cenderung
mengikuti rasio mendel.
Tanaman pada generasi F2 akan mengalami segregasi sesuai dengan
hukum mendel. Adanya aksi dan interaksi gen yang berbeda akan menghasilkan
pola segregasi yang berbeda pula. Tipe aksi gen yang mengikuti sebaran mendel
umumnya dibedakan menjadi dua, yaitu interaksi antar alel dalam lokus yang
sama (intralokus) dan interaksi alel pada lokus yang berbeda (interlokus).
Karakter kualitatif yang dikendalikan oleh dua alel dalam satu lokus akan
menghasilkan segregasi 3 : 1 jika terdapat dominansi, namun jika tidak terdapat
dominansi maka akan menghasilkan pola segregasi 1 : 2 : 1 pada F2. Pola
segregasi akan lebih berbeda jika karakter kualitatif tersebut dikendalikan oleh
interaksi interlokus. Tabel 1, memperlihatkan contoh nisbah fenotipe karakter
kualitatif yang terkait adaptasi terhadap cekaman yang dikendalikan oleh gen
mayor pada populasi F2 (Crowder 1993).
Tabel 1 Nisbah fenotipe karakter kualitatif yang terkait adaptasi terhadap cekaman
yang dikendalikan oleh gen mayor pada populasi F2 (Crowder 1993)
Nisbah fenotipe
Jumlah gen dan tipe aksi gen berdasarkan nisbah
T
AT
AP
P
Satu (1) pasang gen:
A
Dominan penuh
3
1
B
Resesif
1
3
C
Tidak ada dominansi
1
2
1
Dua (2) pasang gen:
A
Tidak ada epistasis
9
3
3
1
B
Epistasis resesif
9
3
4
C
Epistasis dominan
12
3
1
D
Epistasi dominan - resesif
13
3
E
Resesif ganda
9
7
F
Isoepistasis
15
1
G
Semi epistasis
9
6
1
H
Interaksi kompleks
10
3
3
Keterangan: T = toleran AT = agak toleran AP = agak peka P = peka
Karakter kuantitatif berbeda dengan karakter kualitatif. Karakter
kuantitatif dapat dibedakan berdasarkan nilai ukurannya. Contoh karakter
kuantitatif adalah tinggi tanaman, panjang daun, panjang buah, hasil panen, dan
lain – lain. Karakter kuantitatif umumnya dikendalikan oleh banyak gen dan
merupakan gen minor. Hal ini mengakibatkan karakter kuantitatif mudah
dipengaruhi oleh lingkungan. Sebaran karakter kuantitatif tidak mengikuti sebaran
mendel, namun lebih cenderung mengikuti sebaran normal dan kontinyu. Arif
(2010) menyatakan bahwa karakter tinggi dikotomus, umur panen, bobot buah,
diameter buah, panjang buah, dan tebal daging buah cabai pada populasi F2
menyebar secara normal dan kontinyu. Pengambilan data terhadap karakter
kuantitatif memerlukan pengukuran. Mangoendijojo (2003) menyatakan bahwa
pengambilan data terhadap karakter kuantitatif dilakukan dengan melakukan
pengukuran.

10 
 

Seleksi dan Respon Seleksi
Seleksi merupakan salah satu kegiatan penting dalam suatu program
pemuliaan tanaman. Kegiatan seleksi bertujuan untuk meningkatkan frekuensi gen
– gen yang diinginkan (Falconer dan Mackay 1996). Metode yang digunakan
dalam kegiatan seleksi sebaiknya disesuaikan dengan tujuan dan jenis tanaman
yang digunakan. Metode seleksi tanaman menyerbuk sendiri berbeda dengan
metode seleksi pada tanaman menyerbuk silang. Pada tanaman menyerbuk sendiri
dikenal seleksi untuk populasi heterozigot homozigot (seleksi massa) dan untuk
populasi bersegregasi (seleksi pedigree, seleksi bulk, single seed descent, dan
seleksi silang balik). Sedangkan pada tanaman menyerbuk silang, metode seleksi
yang digunakan berupa seleksi massa, seleksi ear to raw, dan seleksi berulang
(seleksi berulang fenotipe, seleksi berulang daya gabung umum, seleksi berulang
untuk daya gabung khusus, dan seleksi berulang resiprokal) (Sleper dan Poehlman
2006).
Efektivitas kegiatan seleksi dapat dilihat dari nilai respon seleksinya.
Respon seleksi adalah perubahan nilai rata – rata fenotipe dari generasi berikutnya
sebagai akibat adanya kegiatan seleksi terhadap suatu populasi (Hamdan 2005).
Nilai respon seleksi sangat tergantung pada nilai heritabilitas populasi tanaman
contoh dan besar intensitas seleksi yang digunakan. Semakin tinggi nilai
heritabilitas dan intensitas seleksi yang digunakan, menyebabkan nilai respon
seleksi akan semakin tinggi. Nilai respon seleksi pada generasi awal umumnya
lebih tinggi dibandingkan dengan nilai respon seleksi pada generasi lanjut. Hal ini
terkait dengan tingkat keragaman genetik dan nilai heritabilitas yang masih tinggi
pada generasi awal. Intensitas seleksi adalah jumlah indidu yang akan diseleksi
dari suatu populasi. Pada populasi dengan tingkat keragaman yang tinggi
sebaiknya digunakan intensitas seleksi yang tinggi pula. Namun, penggunan
intensitas seleksi yang terlalu tinggi akan dapat menyebabkan penyempitan
keragaman genetik pada turunannya yang nantinya dapat menyebabkan random
genetic drift (Falconer dan Mackay 1996).
Respon seleksi, selain dapat digunakan untuk mengetahui ukuran
keberhasilan suatu kegiatan seleksi juga dapat digunakan untuk menduga nilai
kemajuan seleksi harapan. Kemajuan seleksi harapan merupakaan nilai dugaan
rata – rata kemajuan seleksi yang dapat dicapai oleh keturunan dari rata – rata
populasi tetua. Respon seleksi, umumnya memperlihatkan perubahan antar
generasi yang linear, dan diikuti dengan penurunan respon seleksi sampai batas
seleksi tercapai. Akibat adanya kegiatan seleksi yang dilakukan secar terus –
menerus, akan mengakibatkan populasi kehilangan keragaman fenotipenya, yang
menyebabkan respon seleksi semakin mengecil dan akhirnya berhenti. Pada
keadaan ini, grafik akan memperlihatkan garis yang mendatar dan pada kondisi
seperti ini maka dicapailah batas seleksi. Keragaman sifat produksi pada puyuh
cenderung menurun selama dilakukan seleksi 21 generasi dan nilai heritabilitas
yang kecil dihasilkan pada generasi akhir (Hamdan 2005).

11 
 

PEWARISAN SIFAT KARAKTER KUALITATIF DAN
KUANTITATIF PADA HIPOKOTIL DAN KOTILEDON
CABAI (Capsicum annuum L.)
Abstrak
Penggunaan marka yang efektif dan efisien sangat menentukan
keberhasilan studi penyerbukan silang alami pada tanaman cabai. Marka yang
efektif dan efisien dapat diperoleh jika didukung oleh pengetahuan yang lengkap
tentang pewarisan sifat berbagai karakter. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mempelajari pola pewarisan sifat beberapa karakter kualitatif dan kuantitatif pada
hipokotil dan kotiledon cabai sehingga dapat diperoleh marka yang efektif dan
efisien untuk mengevaluasi kejadian penyerbukan silang alami tanaman cabai.
Penelitian ini menggunakan 6 populasi cabai, yaitu P1 (IPB C20), P2 (IPB C2),
F1, F1R, BCP1, BCP2, dan F2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa warna
hipokotil dan kotiledon dikendalikan oleh 1 gen, dimana gen pengendali warna
ungu dominan terhadap gen pengendali warna hijau pada hipokotil dan gen
pengendali warna hijau dominan terhadap gen pengendali warna ungu pada
kotiledon. Model genetik aditif-dominan dengan interaksi aditif-aditif dan aditifdominan sesuai untuk karakter panjang hipokotil. Model genetik aditif-dominan
dengan interaksi aditif-dominan dan dominan-dominan sesuai untuk karakter
diameter hipokotil. Model genetik aditif-dominan dengan interaksi aditif-aditif
dan dominan-dominan sesuai untuk karakter panjang dan lebar kotiledon.
Heritabilitas dalam arti luas pada karakter yang diamati berada pada kisaran
tinggi, sedangkan heritabilitas arti sempit berada pada kisaran sedang-tinggi.
Kata kunci: warna ungu, model genetik, heritabilitas

PENDAHULUAN
Cabai dikenal sebagai tanaman menyerbuk sendiri. Tanaman menyerbuk
sendiri adalah tanaman yang memiliki tingkat penyerbukan silang alami kurang
dari 5%. Tanaman menyerbuk sendiri umumnya memiliki nilai heterosis yang
rendah dan lebih sering diarahkan untuk menjadi varietas galur murni. Akan tetapi
beberapa penelitian melaporkan bahwa tanaman cabai memiliki persentase
penyerbukan silang alami yang lebih tinggi dari 50% (Campodonico 1983) dan
memiliki nilai heterosis yang tinggi (Mantri 2006; Sujiprihati et al. 2007;
Daryanto et al. 2010; Sitaresmi et al. 2010). Selain itu, lebih dari 80% varietas
cabai yang ada di Indonesia adalah varietas hibrida bukan varietas galur murni
(Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi 2011).
Informasi tentang sistem penyerbukan silang alami yang belum konsisten
menyebabkan adanya kesulitan dalam penentuan metode arah pemuliaan yang
akan digunakan pada tanaman cabai. Oleh karena itu perlu dilakukan studi
penyerbukan silang alami pada tanaman cabai. Keberhasilan studi penyerbukan
silang alami sangat ditentukan oleh penggunaan marka dalam mengevaluasi
kejadian penyerbukan silang alami yang terjadi. Campodonico (1983)

12 
 

menggunakan warna buah, sedangkan Kim et al. (2009) menggunakan marka
molekuler untuk mengevaluasi kejadian penyerbukan silang alami tanaman cabai.
Penggunaan warna buah muda dan marka molekuler sebagai marka dalam
evaluasi kejadian penyerbukan silang alami dinilai masih kurang efektif dan
efisien karena membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang cukup mahal. Oleh
karenanya perlu dilakukan pencarian marka lain yang lebih efektif dan efesien.
Karakter – karakter pada hipokotil dan kotiledon sangat potensial untuk
dijadikan sebagai marka morfologi yang efektif dan efisien. Pemilihan suatu
karakter untuk dijadikan sebagai marka morfologi memerlukan informasi tentang
pola pewarisan sifat dari karakter tersebut. Informasi tentang pola pewarisan sifat
karakter kualitatif dan kuantitatif pada hipokotil dan kotiledon cabai masih belum
banyak diketahui. Oleh karena itu, penelitian tentang pola pewarisan sifat karakter
kualitatif dan kuantitatif pada hipokotil dan kotiledon cabai menjadi penting untuk
dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) untuk mempelajari pola
pewarisan sifat beberapa karakter kualitatif dan kuantitatif pada hipokotil dan
kotiledon cabai, serta (2) menentukan karakter yang efektif dan efisien untuk
dijadikan marka evaluasi kejadian penyerbukan silang alami.

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Percobaan ini dilakukan pada bulan Mei – Oktober 2012. Pembentukan
enam populasi cabai dilakukan di Citeureup, Bogor. Kegiatan perkecambahan dan
pengamatan dilakukan di Labdik. Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi
dan Hortikultura, FAPERTA, IPB.

Bahan Tanam
Bahan tanaman yang digunakan pada percobaan ini merupakan cabai
koleksi Laboratorium Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan
Hortikultura, FAPERTA – IPB. Bahan tanam yang digunakan terdiri atas tetua
cabai ungu (IPB C20) dan tetua cabai hijau (IPB C2); turunan pertama (F1) dan
turunan pertama resiprokal (F1R) masing-masing 24 bibit; backcross ke tetua
betina (BCP1) sebanyak 62 bibit dan backcross ke tetua jantan sebanyak 91 bibit;
dan populasi turunan kedua (F2) sebanyak 305 bibit.

Pelaksanaan Percobaan
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada percobaan ini terdiri atas
pembentukan 6 populasi, perkecambahan, dan pengamatan. Pembentukan
populasi dilakukan dengan melakukan persilangan (crossing) dan penyerbukan
sendiri. Populasi F1, F1R, BCP1, dan BCP2 diperoleh dengan melakukan
persilangan, yang pelaksanaanya mengacu pada Syukur et al. (2012). Populasi P1,

13

 

P2, dan F2 diperoleh dengan
P
d
melaakukan selfiing, yang pelaksanaannnya dengan
c
cara
menyunngkup tanam
man tetua ddan turunan pertama (F1). Setelah buah hasil
p
persilangan
dan selfingg matang, bbuah dipaneen dan diekkstraksi untu
uk diambil
b
benihnya.
p
media tisu
t basah yaang diletakaan di dalam
Perkecambahan dilakukan pada
k
kotak
plastikk transparann berukuran 20 cm x 10
0 cm. Setiapp kotak ditannami benih
c
cabai
sebanyyak 20-24 benih
b
tiap kootak. Sebeluum benih dissemai, tisu pada
p
kotak
p
plastik
dibaasahi sampaii jenuh terleebih dahulu
u kemudian kotak dituttup dengan
m
menggunaka
an staples. Kotak
K
plastiik kemudian
n diletakan ditempat
d
yaang terkena
c
cahaya
mataahari. Tisu dibasahi
d
kem
mbali setiap 2 hari sekalii. Kotak plasstik dibuka
p
pada
saat peengamatan.

P
Pengamatan
n
Terd
dapat beberaapa karakter kualitatif dan
d kuantitaatif yang diaamati pada
ppercobaan in
ni. Karakter--karakter terssebut adalahh:
1. Warna hipokotil,
h
diaamati pada saaat daun kottiledon sudahh membuka sempurna
2 Warna kotiledon,
2.
k
diaamati pada saat
s daun kottiledon sudaah membuka sempurna
3 Panjang hipokotil (m
3.
mm), diamatti dari bagiaan atas akar sampai bag
gian bawah
kotiledonn
4 Diameteer hipokotil (mm), diam
4.
mati pada bagian
b
hipookotil terbessar setelah
kotiledonn mmbuka sempurna.
s
5 Panjang hipokotil (m
5.
mm), diamatti dari bagiann pangkal kootiledon sam
mpai bagian
otiledon setelah kotiledonn membuka sempurna.
ujung ko
6 Lebar kotiledon
6.
k
(m
mm), diamatti pada baggian kotiledoon terlebar pada saat
kotiledonn telah mem
mbuka sempuurna

A
Analisis Dataa
d
teerhadap kaarakter kuallitatif dan kuantitatif.
Anallisis data dilakukan
Karakter kuualitatif dianaalisis berdassarkan analissis genetika mendel. Annalisis data
K
k
karakter
kuaantitatif menngacu pada L
Limbongan et
e al. (2008)) dan Arif ett al. (2012)
y
yaitu,
uji normalitas,
n
p
pendugaan
pengaruh teetua, jumlahh gen-gen pengendali
k
karakter,
beesaran nilai derajat dom
minansi, kom
mponen raggam, kelayakkan model
g
genetik
dan nilai heritabbilitas. Berikuut adalah an
nalisis data kkualitatif dan
n kuantitatif
y
yang
dilakuk
kan pada perrcobaan ini:
1. Pendugaaan nisbah feenotipe
Penddugaan nisbbah fenotipee dilakukann dengan m
menggunakann uji Chikuadrat. Perhitungann uji Chi-kuaadrat (X2) mengacu
m
padaa Singh and Chaudhary
(1979):
Keteranggan: X2 = X2 hitung
Oi2 = Nilai
N
hasil pengamatan
2
Ei = Nilai
N
yang ddiharapkan

14 
 

2. Pendugaan pengaruh tetua betina
Pengaruh tetua betina dilakukan pada karakter kuantitatif dengan cara
membandingkan F1 dan F1R dengan uji-t. Rumus uji-t mengacu pada
Strickberger (1976):

= Nilai tengah populasi F1
Keterangan: YF1
= Nilai tengah populasi F1R
YF1R
SYF1-YF1R = Simpangan baku selisih populasi F1-F1R
3. Uji normalitas pada populasi F2
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui sebaran frekuensi populasi F2,
sehingga dapat diketahui aksi gen dari masing-masing karakter yang diamati.
Uji normalitas menggunakan metode kolmogorov-smirnov.
4. Pendugaan jumlah gen-gen pengendali karakter
Perhitungan pendugaan jumlah gen-gen pengendali karakter mengacu pada
Lande (1981):

5. Pendugaan nilai derajat dominansi
Nilai derajat dominansi diduga dengan menghitung potensi rasio (hp).
Perhitungan hp mengacu pada Peth and Frey (1966):

Keterrangan:
hp = Potensi rasio
MP = Nilai rata-rata dua tetua
XF1 = Nilai rata-rata F1
HP = Nilai rata-rata tetua tertinggi
6. Pendugaan kelayakan model genetik
Pendugaan kelayan model genetik dilakukan dengan melakukan uji skala
gabungan. Uji skala gabungan mengacu pada Mather dan Jink (1982).
7. Pendugaan komponen ragam
Komponen ragam yang dihitung terdiri atas ragam fenotipe (VF2), ragam
fenotipe backcros (VBCP), ragam lingkungan (VE), ragam genotipe (VG), dan
ragam aditif (VA).
8. Pendugaan nilai heritabilitas
Pendugaan heritabilitas yang dihitung terdiri atas heritabilitas arti luas dan
heritabilitas arti sempit. Perhitungan heritabilitas arti luas mengacu pada
Allard (1960), sedangkan heritabilitas arti sempit mengacu pada Warner
(1952):

Keterangan:
h2bs
= Heritabilitas arti luas
= Heritabilitas arti sempit
h2ns
VBCP1 = Ragam populasi silang balik ke P1
VBCP2 = Ragam populasi silang balik ke P2

VF1
VF2
VP1
VP2

= Ragam populasi F1
= Ragam populasi F2
= Ragam Populasi P1
= Ragam populasi P2

15

 

H
HASIL
DA
AN PEMBAHASAN
N
Warna Hip
pokotil dan Kotiledon
Terd
dapat dua macam
m
warnaa hipokotil dan
d kotiledoon pada pennelitian i