pengembangan produksi inokulan fungi mikoriza arbuskula berbasis bahan alami dan pemanfaatannya untuk produksi bibit jati

(1)

PENGEMBANGAN PRODUKSI INOKULAN FUNGI MIKORIZA

ARBUSKULA BERBASIS BAHAN ALAMI DAN

PEMANFAATANNYA UNTUK PRODUKSI BIBIT JATI

(Tectona grandis L.f)

ABIMANYU DIPO NUSANTARA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Pengembangan Produksi Inokulan Fungi Mikoriza Arbuskula Berbasis Bahan Alami dan Pemanfaatannya Untuk Produksi Bibit Jati (Tectona grandis L.f) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2011 Abimanyu Dipo Nusantara NRP. E061030132


(3)

ABIMANYU DIPO NUSANTARA. Developing arbuscular mycorrhiza fungi inoculants based on bio-material and its utilization for teak (Tectona grandis L.) seedling production. Supervised by CECEP KUSMANA, IRDIKA MANSUR, LATIFAH KOSIM DARUSMAN, and SOEDARMADI HARDJO-SOEWIGNYO.

Arbuscular mycorrhiza fungi (AMF) is a bioresources which is involved in various biogeochemical processes of carbon and soil nutrients. They influence plant fitness as well as terrestrial ecosystem stability. Mismanagement of land resources can make disappearance of AMF propagules from the soil. It is necessary to restore fungal propagules through inoculation of AMF in order to ensure the optimal function of terrestrial ecosystem. This dissertation composes of five experiments with main objective develop inoculant production model of AMF based on bio-material and its utilization for Tectona grandis L.f. seedlings

production. Research results show that production of AMF inoculant is determined by AMF species and source of nutrient. Vermicompost and bone mill are bio-material that have potential to substitute fertilizer for the production of

AMF Glomus etunicatum inoculant. Good G. etunicatum inoculant can be

produced in the greenhouse by considering substrate sterilization, moisture content of the substrate, and bio-material used. Effectivity of each biomaterial is influenced by its nutrient content, particle diameter size and dosage. The finer the size of biomaterial the more effective source to produce G. etunicatum inoculant. The optimal dosage of bio-materials is equal to 50 mg P kg-1 of substrate. Solomon teak seedlings produced from tissue culture can be grown using polybag or bare root system with application of G. etunicatum inoculant and vermicompost. Inoculant of G. etunicatum in combination with vermicompost increase significantly teak seedling growth and chemical and biological characteristics of growth medium in the bare root system. Application mycorrhiza inoculant is recommended for producing teak seedlings from tissue culture to ensure teak seedling survivability in the field.

Key words: mycorrhizal innoculant, G, etunicatum, bone mill, vermicompost,


(4)

ABIMANYU DIPO NUSANTARA. Pengembangan Produksi Inokulan Fungi Mikoriza Arbuskula Berbasis Bahan Alami dan Pemanfaatannya Untuk Produksi Bibit Jati (Tectona grandis L.f). Di bawah bimbingan CECEP KUSMANA,

IRDIKA MANSUR, LATIFAH KOSIM DARUSMAN, dan SOEDARMADI HARDJOSOEWIGNYO.

Fungi mikoriza arbuskula (FMA) telah hadir pada masa ketika permukaan bumi belum ditumbuhi tanaman darat. Fungi ini sangat penting artinya karena terlibat dalam berbagai daur biogeokimia unsur karbon dan hara sehingga menjamin kebugaran tanaman dan kemantapan ekosistem daratan. Fungi mikoriza arbuskula bertahan hidup dalam bentuk propagul yaitu spora, hifa ekstraradikal, tanah dan akar terkolonisasi. Bencana alam dan salah urus sumberdaya alam dapat meniadakan propagul dari permukaan tanah sehingga pengembalian propagul melalui pemanfaatan inokulan perlu dilakukan untuk menjamin ekosistem daratan tetap dapat berfungsi optimal untuk kesejahteraan seluruh mahluk hidup.

Disertasi ini disusun berdasarkan hasil lima percobaan, yang dirangkum menjadi tiga penelitian, dengan tujuan umum untuk mengembangkan model produksi inokulan fungi mikoriza arbuskula berbasis bahan alami untuk produksi bibit jati (Tectona grandis L.f.). Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB mengggunakan fungi mikoriza arbuskula

Glomus etunicatum, Acaulospora tuberculata, tanaman kudzu (Pueraria

phaseoloides Roxb) dan jati (Tectona grandis L.f) provenan Solomon, sumber

hara berupa larutan hara, SP36, tepung tulang, batuan fosfat dan vermikompos, serta zeolit dan tanah sebagai medium tumbuh. Data pengamatan diolah dengan analisis statistik model sidik ragam, korelasi dan regresi.

Penelitian pertama berjudul Seleksi Mikoriza Arbuskula dan Bahan Alami Bio-Anorganik Untuk Memproduksi Inokulan Mikoriza. Penelitian ini terdiri atas dua percobaan yang bertujuan mendapatkan jenis FMA dan pupuk anorganik tidak mudah larut sebagai alternatif pengganti pupuk buatan untuk memproduksi inokulan FMA. Respon yang diuji ialah perubahan kolonisasi dan produksi spora FMA serta bobot kering tanaman inang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis FMA dan sumber hara anorganik berinteraksi nyata mempengaruhi produksi spora FMA, kolonisasi akar dan bobot kering tanaman kudzu. Glomus etunicatum

meningkatkan biomassa tanaman kudzu, kolonisasi akar, dan produksi spora dalam medium tumbuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan A. tuberculata.

Sumber hara anorganik, baik yang mudah ataupun yang sulit larut, tidak dapat memacu pembentukan dan perkembangan simbiosis MA oleh A. tuberculata. Tepung tulang giling merupakan sumber hara fosfor (P) yang sama baiknya dengan larutan pupuk buatan yang digunakan dalam proses produksi spora G.

etunicatum. Tepung tulang giling berukuran halus (< 250 µm) menghasilkan

pengaruh yang lebih baik dibandingkan dengan yang berukuran kasar (> 250 µm). Untuk menghasilkan kolonisasi maksimum sebesar 99% dan dan jumlah spora sebanyak 2300 per 100 g inokulan diperlukan tepung tulang maksimal sebanyak 36 mg per 175 g medium tumbuh.


(5)

Terhadap Produksi Spora G. etunicatum. Penelitian ini terdiri atas dua percobaan yang bertujuan mendapatkan informasi mengenai interaksi sterilisasi, kadar air, dan sumber hara terhadap produksi inokulum G. etunicatum dan efektivitas

simbiosisnya dengan tanaman kudzu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

pembentukan struktur intraradikal G. etunicatum dan pertumbuhan kudzu lebih dipengaruhi oleh sumber P daripada oleh kadar air dan sterilisasi substrat. Tidak perlu dilakukan sterilisasi substrat untuk memproduksi inokulum G. etunicatum.

Pemberian air dalam produksi inokulum cukup sampai sebanyak 50% dari kapasitas substrat memegang air. Vermikompos dan tepung tulang sapi dapat menggantikan peran pupuk buatan sebagai sumber hara. Kolonisasi dan sporulasi

G. etunicatum dan efektivitas simbiosisnya dengan tanaman kudzu meningkat

lebih tinggi jika menggunakan vermikompos dibandingkan dengan tepung telung sapi. Jumlah spora dan vesikel G. etunicatum tidak ditentukan oleh pertumbuhan

awal tanaman kudzu. Takaran optimal vermikompos berukuran garis tengah butir

< β50 m ialah sebesar 150 – 224 mg per 175 g substrat.

Penelitian ketiga berjudul Efektivitas Metode Penyiapan Bibit, Inokulan Mikoriza dan Pupuk Terhadap Pertumbuhan dan Sifat Biologi Media Tumbuh Bibit Jati Solomon bertujuan menilai efektivitas interaksi metoda penyiapan bibit, inokulasi FMA G. etunicatum dan penambahan pupuk terhadap parameter pertumbuhan bibit jati dan parameter hayati media tumbuh bibit jati di kebun bibit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem akar telanjang menghasilkan indeks mutu bibit yang sama dengan polybag. Penggunaan mikoriza pada sistem akar telanjang bukan satu-satunya faktor yang menurunkan pertumbuhan bibit jati dibandingkan dengan pada system polybag. Sebaliknya, sistem akar telanjang

menghasilkan media tumbuh dengan kadar hara dan aktivitas biologi yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem polybag. Perbanyakan bibit jati, melalui sistem

akar telanjang dan polybag, tetap memerlukan pupuk dan vermikompos sebagai

pupuk alternatif yang sama baiknya dengan pupuk buatan.

Dari ketiga penelitian tersebut disimpulkan bahwa produksi spora FMA ditentukan oleh spesies FMA dan sumber hara yang digunakan. Spesies Glomus

lebih mudah diperbanyak dibandingkan dengan Acaulospora. Perbanyakan inokulan G. etunicatum dalam rumah kaca hendaknya memperhatikan faktor sterilisasi substrat, pengaturan kadar air, dan sumber hara fosfor yang digunakan khususnya yang menyangkut ukuran garis tengah butir, kadar hara, dan takarannya. Vermikompos dan tepung tulang sapi giling merupakan sumber hara yang berpotensi menggantikan larutan pupuk buatan untuk memproduksi spora G.

etunicatum. Efektivitas setiap sumber hara ditentukan oleh kadar hara, ukuran, dan

takarannya. Semakin halus ukuran butir semakin tinggi efektivitas sumber hara sedangkan takaran yang optimal dapat ditentukan berdasarkan pendekatan kadar P sebesar 50 mg kg-1 substrat. Efektivitas inokulan G. etunicatum berbasis

vermikompos untuk bibit jati Solomon hasil perbanyakan kultur jaringan, ditentukan oleh metode penyiapan bibit dan pupuk yang digunakan. Bibit jati Solomon asal kultur jaringan dapat diperbanyak dengan polybag atau akar telanjang


(6)

etunicatum dan vermikompos lebih efektif meningkatkan karakteristik kimia dan biologi medium tumbuh dalam sistem akar telanjang. Penggunaan inokulan mikoriza tetap dianjurkan untuk memproduksi bibit jati akar telanjang asal kultur jaringan untuk menjamin daya tahan hidupnya di lapangan.


(7)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh


(8)

MIKORIZA ARBUSKULA BERBASIS BAHAN ALAMI DAN

PEMANFAATANNYA UNTUK PRODUKSI BIBIT JATI

(Tectona grandis L.f)

ABIMANYU DIPO NUSANTARA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(9)

Penguji Luar Komisi Pembimbing: a. Dr. Ir. Supriyanto, DEA

Staf Pengajar pada Departemen Silvikultur Tropika, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor b. Dr. Sri Wilarso Budi, M.Sc

Staf Pengajar pada Departemen Silvikultur Tropika, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

2. Ujian Terbuka Tanggal 27 Juli 2011 Penguji Luar Komisi Pembimbing:

a. Prof. Dr. Ir. Iskandar Zulkarnaen Siregar, M.Sc Staf Pengajar pada Departemen Silvikultur Tropika, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

b. Dr. Ir. Happy Widiastuti, M.S


(10)

Berbasis Bahan Alami dan Pemanfaatannya Untuk Produksi Bibit Jati (Tectona grandis L.f).

Nama : Abimanyu Dipo Nusantara NRP : E061030132

Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Ketua

Dr. Ir. Irdika Mansur M.For.Sc. Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, M.Si.

Anggota Anggota

Prof. Dr. Ir. Soedarmadi Hardjosoewignyo, M.Sc Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, M.S Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. Tanggal Ujian: 27 Juli 2011 Tanggal Lulus:


(11)

(12)

Ucapan syukur dipanjatkan kepada Tuhan YME atas segala nikmat-Nya sehingga disertasi yang berjudul “Pengembangan Produksi Inokulan Fungi Mikoriza Arbuskula Berbasis Bahan Alami dan Pemanfaatannya Untuk Produksi Bibit Jati (Tectona grandis L.f)” dapat terselesaikan. Pengembangan inokulan fungi mikoriza arbuskula merupakan kegiatan yang penting artinya untuk menjamin penyediaan dan pengembalian propagul fungi mikoriza arbuskula ke ekosistem daratan sehingga manfaatnya berguna untuk kesejahteraan umat manusia. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ungkapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan setinggi-tingginya dengan tulus disampaikan kepada yang terhormat Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S., Dr. Irdika Mansur, M.For.Sc., Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, M.Si., dan Prof. Dr. Ir. Soedarmadi Hardjosoewignyo, M.Sc, selaku komisi pembimbing, atas segala bimbingan dan arahannya sehingga disertasi ini dapat terselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada

yang terhormat Dr. Ir. Rinekso, M.Sc., Dr. Deddy Duryadi, M.Sc., Dr. Ir. Supriyanto, DEA., Dr. Ir. Sri Budi Wilarso, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Imam

Wahyudi, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Iskandar Zulkarnaen Siregar, M.Sc, dan Dr. Ir. Happy Widiastuti, M.S sebagai penguji luar komisi pada ujian prelim, ujian

tertutup, dan ujian terbuka yang telah memberikan masukan mendasar terhadap keseluruhan isi disertasi ini.

Penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS untuk mengikuti program doktor di IPB dan dana penelitian Hibah Mahasiswa Program Doktor. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada SEAMEO BIOTROP yang telah memberikan dana penelitian melalui Program Hibah Penelitian.


(13)

Setiyadi, M.Sc., Dr. Ir. Hermawan Kresno Dipojono, M.S.E.E., Dr. Ir. Nanang Hariyanto, M.Sc., Dr. Kartini Kramadibrata, Drs. Alamsyah Harahap, M.Lib.Sc., Ir. Aso Kusuma, M.Eng., Sydharama Rudianto, Dr. Ir. Panca Dewi Manuhara Karti M.Si., Dr. Ir. Mochamad Chozin, M.Sc., Dr. Ir. Widodo Haryoko, M.S., Dr. Ir. Teguh Adi Prasetyo, M.S.c, atas segala perhatian dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas belajar di IPB.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan pula kepada Kepala Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB, Laboratorium Analisis Tanah dan Tanaman SEAMEO-BIOTROP, dan Laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu yang telah mengijinkan penggunaan seluruh fasilitas yang tersedia selama penulis melakukan penelitian. Kepada seluruh pengelola dan staf Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, IPB, atas segala penerimaan dan perhatian selama penulis studi di IPB. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh pengurus Forum Wacana yang selalu berupaya untuk meringankan beban mahasiswa pascasarjana dan rekan-rekan lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala perhatian dan bantuannya.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada pimpinan Universitas Bengkulu dan pimpinan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu yang telah mengijinkan penulis untuk melanjutkan studi S3 di IPB, serta pimpinan Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu atas segala perhatiannya selama penulis menyelesaikan studi S3 di IPB.

Ungkapan terima kasih dan kasih yang mendalam penulis sampaikan kepada istriku Dr. Ir. Rr. Yudhy Harini Bertham, M.P., anakku Ika Farida Wisnuwardhani S.P, dan Tri Ratna Anggraini Wisnumurthi S.H, menantuku Hilman Budiana, cucuku Hanifa Fatma Sabilla dan Damar Haikal Ibrahim atas segala kesabaran, pengorbanan, pengertian dan doanya.

Bogor, Juli 2011 Abimanyu Dipo Nusantara


(14)

Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Desember 1956 di Purworejo, sebagai anak ketiga dari enam bersaudara dari Bapak Drs. Sru Adji Surjadi (alm) dan Ibu Hajjah Soemarni. Pendidikan SD sampai SMA diselesaikan di Jember, Jawa Timur. Gelar sarjana S1 bidang Kesuburan Tanah penulis peroleh pada tahun 1981 dari Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Jember. Gelar sarjana S2 bidang Mikrobiologi Tanah penulis peroleh pada tahun 1994 dari Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pada tahun 2003 penulis diterima sebagai mahasiswa program S3 pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Publikasi ilmiah yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari disertasi ini telah di publikasikan pada jurnal ilmiah nasional dengan judul (i) “Peran substrat alami, kadar air, dan sterilisasi dalam produksi spora melalui simbiosis Pueraria

javanica dan Glomus etunicatum” pada tahun 2007 di Jurnal Akta Agrosia

(terakreditasi) Edisi Khusus No. 2 Dies Natalis ke-26 UNIB halaman 204-212 (ii) “Produksi spora Glomus etunicatum berbasis bahan alami” pada tahun 2007 di

Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia (terakreditasi) Edisi Khusus No. 3 halaman 285 – 294, (iv) “Inokulasi mikoriza dan pemberian vermikompos mempengaruhi pertumbuhan dan karakteristik medium tumbuh bibit jati Solomon (Tectona

grandis Linn F.) di persemaian akar telanjang” pada tahun 2009 di Jurnal Embrio

2(2) halaman 103-112, (vi) “Pemanfaatan vermikompos untuk produksi biomassa legum penutup tanah dan inokulum fungi mikoriza arbuskula” pada tahun 2010 di Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian 12 halaman 26-33, (vii) “Pemanfaatan bahan bio-anorganik untuk memproduksi biomassa hijauan pakan ternak dan inokulan fungi mikoriza arbuskula” pada tahun 2011 di Jurnal Media Peternakan 33(3) halaman 162-168, dan (viii) Ukuran dan dosis tepung tulang menentukan produksi inokulan mikoriza Glomus etunicatum pada tahun 2011 di Jurnal Media Peternakan (edisi Agustus 2011).


(15)

yaitu (i) “Pengaruh sterilisasi bahan, kadar air, dan sumber fosfor terhadap pertumbuhan tanaman inang P. javanica dan produksi spora CMA G. etunicatum”

pada tahun 2007 di Seminar Nasional Mikoriza II: Percepatan Sosialisasi Teknologi Mikoriza Untuk Mendukung Revitalisasi Kehutanan, Pertanian dan Perkebunan, (ii) “Assessing the effectiveness of seedling preparation method and mycorrhizal inoculants for enhancing teak seedling (Tectona grandis Linn. F) growth and soil biological activities” pada tahun 2010 di International Conference on Earth and Space Sciences, dan (iii) “Efektivitas vermikompos untuk memproduksi inokulan FMA Claroideoglomus etunicatum (Gerdemann & Becker, Schüßler & Walker) dan biomassa tanaman kudzu” dan “Teknik Produksi Inokulan FMA, Reformulasi, dan Monitoring” pada tahun 2011 di Workshop dan Seminar Nasional Mikoriza: Pupuk dan Pestisida Hayati Pendukung Pertanian Berkelanjutan Yang Ramah Lingkungan.

Penulis merupakan anggota aktif Himpunan Ilmu Tanah Indonesia dan Asosiasi Mikoriza Indonesia. Penulis menikah dengan Dr. Ir. Rr. Yudhy Harini Bertham MP, yang bekerja sebagai dosen pada Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, dan dikaruniai tiga orang anak, yaitu Ika Farida Wisnuwardhana SP, Dyah Padmawati (alm) dan Tri Ratna Angggraini Wisnumurthi SH, seorang menantu yaitu Hilman Budiana, dan dua orang cucu yaitu Hanifa Fatma Sabilla dan Damar Haikal Ibrahim.


(16)

xvii

DAFTAR TABEL ………..……… xix

DAFTAR GAMBAR ……….………... xxiii

PENDAHULUAN ………..………... 1

Latar Belakang ………..………... 1

Tujuan Penelitian ………..………... 7

Hipotesis ………..………... 7

Manfaat ………..……….. 8

Kebaruan ... 8

Strategi Penelitian ………..……….. 9

TINJAUAN PUSTAKA ………..……….. 11

Definisi Mikoriza ………..………... 11

Mikoriza Arbuskula ………..………... 12

Produksi Inokulum FMA ………..………... 16

Interaksi Bibit Jati – Bahan Organik – Fungi Mikoriza Arbuskula …. 23 SELEKSI MIKORIZA ARBUSKULA DAN BAHAN BIO-ANORGANIK UNTUK MEMPRODUKSI INOKULAN MIKORIZA 33 Abstrak ………..………... 33

Abstract ………..……….. 33

Pendahuluan ………..………... 34

Bahan dan Metode ………... 35

Hasil dan Pembahasan ………..………... 40

Simpulan ………..……... 54

UKURAN DAN TAKARAN TEPUNG TULANG SAPI MENENTUKAN PRODUKSI INOKULAN MIKORIZA Glomus etunicatum NPI-126 (Becker & Gerdemann) ………... 55

Abstrak ………..………... 55

Abstract ………..……….. 55

Pendahuluan ………..………... 56

Bahan dan Metode ………... 57

Hasil dan Pembahasan ………..………... 60


(17)

xviii

Abstrak ………..………... 75

Abstract ………..……….. 75

Pendahuluan ………..………... 75

Bahan dan Metode ………... 78

Hasil dan Pembahasan ………..………... 82

Simpulan ………..……... 98

UKURAN DAN TAKARAN VERMIKOMPOS MENENTUKAN PRO-DUKSI INOKULUM MIKORIZA Glomus etunicatum DAN SIMBIOSIS-NYA DENGAN TANAMAN KUDZU ... 99

Abstrak ………..………... 99

Abstract ………..……….. 99

Pendahuluan ………..……….…….. 100

Bahan dan Metode ………..……. 101

Hasil dan Pembahasan ………..…………..……. 104

Simpulan ………..……...……. 112

EFEKTIVITAS METODE PENYIAPAN BIBIT, INOKULAN MIKORIZA DAN PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SIFAT BIOLOGI MEDIA TUMBUH BIBIT JATI SOLOMON ………... 113

Abstrak ………..……….…….. 113

Abstract ………..……….. 113

Pendahuluan ………..……….…….. 113

Bahan dan Metode ………..……. 116

Hasil dan Pembahasan ………..…………..……. 120

Simpulan ………..……...……. 144

PEMBAHASAN UMUM ………..………...……. 145

SIMPULAN DAN SARAN ………..………. 157


(18)

xix 1 Kadar hara tepung tulang, batuan fosfat, dan hiponeks merah ... 38 2 Nilai F hitung kolonisasi mikoriza pada akar kudzuumur 6 dan 12 MST

dan jumlah spora dalam media tumbuh kudzuumur 12 MST ………… 42 3 Interaksi sumber fosfor dan jenis fungi mikoriza arbuskula terhadap

kolonisasi mikoriza pada umur 6 dan 12 MST dan jumlah spora per 100 g media tumbuh kudzuumur 12 MST ...

42 4 Nilai F hitung bobot kering akar, pucuk, total dan nisbah tajuk akar

kudzu umur 12 MST ...

44

5 Interaksi sumber fosfor dan jenis fungi mikoriza arbuskula terhadap bobot kering akar, pucuk dan total tanaman kudzu umur 12 MST (mg) ...

45 6 Rerata kolonisasi akar dan jumlah spora mikoriza arbuskula dalam

media tumbuh kudzu umur 12 MST ...

61 7 Takaran optimal tepung tulang untuk menghasilkan kolonisasi akar,

bobot kering akar terkolonisasi, jumlah spora G. etunicatum untuk

setiap ukuran garis tengah tepung tulang ... 65 8 Rerata bobot kering tanaman kudzu umur 12 MST ... 66 9 Takaran optimal (mg) tepung tulang dan bobot kering maksimal (mg)

tanaman kudzu umur 12 MST yang dihasilkan oleh setiap pada ukuran garis tenga tepung tulang ... 68 10 Karakteristik fisikokimia sumber fosfor ………... 79 11 Rekapitulasi nilai F hitung pengaruh sterilisasi, kadar air, dan sumber P

terhadap jumlah vesikel, kolonisasi akar, dan jumlah spora pada umur 6 dan 12 MST ...

82 12 Interaksi substrat, kadar air, dan sumber fosfor terhadap kolonisasi (%) G.

etunicatum dalam akar kudzu pada umur 6 dan 12 MST ...

83

13 Pengaruh sumber fosfor terhadap jumlah spora (buah) per 100 g inokulan pada umur 6 dan 12 MST dan jumlah vesikel dalam akar tanaman kudzu pada umur 12 MST ...

84

14 Interaksi substrat, kadar air, dan sumber fosfor terhadap jumlah vesikel (buah) dalam akar tanaman kudzupada umur 12 MST ...

85

15 Nilai F hitung pengaruh sterilisasi, kadar air, dan sumber P terhadap bobot kering total dan NPA tanaman kudzuumur 6 dan 12 MST ... 86 16 Interaksi sterilisasi substrat, kadar air, dan sumber P terhadap bobot kering

total tanaman kudzu (mg)pada umur 6 MST ...

86

17 Interaksi sterilisasi substrat, kadar air, dan sumber fosfor terhadap NPA tanaman kudzupada umur 6 MST ...

87


(19)

xx

19 Nilai F hitung pengaruh sterilisasi, kadar air, dan sumber P terhadap serapan hara N, P dan Ca oleh tanaman P. phaseoloides umur 12 MST

89 20 Pengaruh sumber fosfor terhadap serapan hara N, P dan Ca pada

tanaman kudzupada umur 12 MST ...

90

21 Rerata komponen pertumbuhan tanaman kudzu dan komponen inokulum

G. etunicatum pada umur 12 MST ...

104 22 Rekapitulasi nilai F hitung tinggi bibit jati umur 2 – 26 MST ... 122 23 Rekapitulasi nilai F hitung garis tengah batang bibit jati umur 2 – 26

MST ... 123 24 Rekapitulasi nilai F hitung bobot kering bibit, panjang akar primer,

kolonisasi mikoriza arbuskula, dan aktivitas enzim fosfatase asam dan alkalin di akar bibit jati umur 4 MST ...

128

25 Interaksi metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pupuk terhadap bobot kering, panjang akar primer, dan aktivitas enzim

fosfatase alkalin akar bibit jati umur 4 MST ... 129 26 Rekapitulasi nilai F hitung pengaruh metode penyiapan bibit, inokulasi

mikoriza, dan pemberian pupuk terhadap bobot kering bibit jati umur 26

MST ... 130 27 Interaksi metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pupuk

terhadap bobot kering bibit bibit jati umur 26 MST ...

130 28 Rekapitulasi nilai F hitung pengaruh metode penyiapan bibit, inokulasi

mikoriza, dan pemberian pupuk terhadap mutu bibit jati umur 26 MST

131

29 Interaksi metode penyiapan bibit dan inokulasi mikoriza terhadap bobot kering akar lateral dan diameter batang bibit jati umur 26 MST ...

131 30 Rekapitulasi nilai F hitung pengaruh metode penyiapan bibit, inokulasi

mikoriza, dan pemberian pupuk terhadap serapan hara (mg) makro dan mikro bibit jati umur 26 MST ... 132 31 Interaksi metode penyiapan bibit dan inokulasi mikoriza terhadap

serap-an unsur hara makro N, P dserap-an K bibit jati umur 26 MST ...

133 32 Interaksi metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pupuk

ter-hadap serapan unsur hara mikro Fe, Mn, dan Zn bibit jati umur 26 MST ………... 133 33 Rerata kadar N dan P dan kolonisasi mikoriza pada akar bibit jati umur

26 MST ...

134 34 Interaksi metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pupuk

ter-hadap kolonisasi mikoriza pada akar bibit jati umur 26 MST ...

135


(20)

xxi media tumbuh bibit jati umur 26 MST ... 135 36 Interaksi metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pupuk

ter-hadap total fungi, respirasi, dan aktivitas fosfatase alkalin media tumbuh

bibit jati umur 26 MST ... 136 37 Rekapitulasi nilai F hitung pengaruh metode penyiapan bibit, inokulasi

mikoriza, dan pemberian pupuk terhadap karakteristik kimia media

tumbuh bibit jati umur 26 MST ... 137 38 Interaksi metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pupuk

ter-hadap kadar N total, P tersedia, dan C organik media tumbuh bibit jati umur 26 MST ... 138


(21)

(22)

xxiii 1 Alur kegiatan penelitian ... 10 2 Tipologi spora G. etunicatum (kiri) dan A. tuberculata (kanan) ... 36

3 Tipologi hifa G. etunicatum (kiri) dan A. tuberculata (kanan) (400x) ... 37

4 Tipologi vesikel G. etunicatum (kiri) dan A. tuberculata (kanan) (400x) 37 5 Perkembangan kolonisasi dan sporulasi fungi mikoriza arbuskula

berasal dar massa spora tunggal (a) yang diinokulasikan pada permukaan akar kudzu (b). Spora berkecambah dan membentuk hifa (c) yang kemudian menembus dinding sel akar membentuk hifa intraradikal (d-e) diikuti dengan kehancuran spora (d). Pembentukan vesikel di dalam akar (f) dan sporulasi hifa ekstraradikal membentuk spora di rizosfir (g - i) ... 41 6 Hubungan antara takaran tepung tulang dengan kolonisasi G.

etunica-tum pada akar tanaman kudzu umur 6 MST ...

62 7 Hubungan antara takaran tepung tulang dengan kolonisasi G.

etunica-tum pada akar tanaman kudzu umur 12 MST ...

63 8 Hubungan antara takaran tepung tulang dengan bobot kering akar

ter-kolonisasi G. etunicatum tanaman kudzupada umur 12 MST ………... 63 9 Hubungan antara takaran tepung tulang dengan jumlah spora G.

etuni-catum pada medium tumbuh tanaman kudzu umur 12 MST ...

64 10 Hubungan antara takaran tepung tulang dengan bobot kering akar

tanaman kudzu pada umur 12 MST ... 67 11 Hubungan antara takaran tepung tulang dengan bobot kering tajuk

tanaman kudzu pada umur 12 MST ... 67 12 Hubungan antara takaran tepung tulang dengan bobot kering total

tanaman kudzu pada umur 12 MST ...

68 13 Hubungan antara kolonisasi FMA di akar kudzu umur 6 MST dengan

bobot kering tanaman kudzu umur 12 MST ...

69 14 Hubungan antara kolonisasi (%) pada akar tanaman kudzu umur 6 dan

12 MST dengan jumlah spora G. etunicatum ...

70 15 Hubungan antara takaran vermikompos dengan bobot kering akar

tanaman kudzu umur 12 MST ...

105 16 Hubungan antara takaran vermikompos dengan bobot kering tajuk

tanaman kudzu umur 12 MST ...

106 17 Hubungan antara takaran vermikompos dengan bobot kering total

tanaman kudzu umur 12 MST ...

106


(23)

xxiv

19 Hubungan antara takaran vermikompos dan bobot kering akar terkoloni-sasi FMA G. etunicatum umur 12 MST ... 108 20 Hubungan antara kolonisasi dengan jumlah spora G. etunicatum ... 108 21 Aklimatisasi bibit jati Solomon hasil perbanyakan melalui kultur jaringan 116 22 Penanaman bibit jati dalam polybag (kiri) dan akar telanjang (kanan) .... 117 23 Keragaan bibit jati Solomon umur 26 MST pada sistem akar telanjang

yang diinokulasi mikoriza (A& B), tidak diinokulasi mikoriza (D & E), dipupuk NPK (A & D) dan vermikompos (B & E) ... 121 24 Keragaan bibit jati Solomon umur 26 MST pada sistem polybag yang

diinokulasi mikoriza (A&B), tidak diinokulasi mikoriza (D & E), diberi pupuk NPK (A & D) dan vermikompos (B & E) ... 121 25 Pengaruh inokulasi mikoriza terhadap tinggi bibit jati umur 2 – 26

minggu setelah tanam ... 124 26 Pengaruh metode penyiapan bibit dan inokulasi mikoriza terhadap

tinggi bibit jati umur 2 – 26 MST (B = akar telanjang, P = polybag, + M = diinokulasi mikoriza, - M = tanpa mikoriza) ...

124 27 Pengaruh pupuk terhadap tinggi bibit jati umur 2 – 26 MST ... 125 28 Pengaruh inokulasi mikoriza dan pemberian pupuk terhadap tinggi bibit

jati umur 2 – 26 MST (M = mikoriza, TM = tanpa mikoriza) ...

126 29 Pengaruh metode penyiapan bibit dan inokulasi mikoriza terhadap

diameter batang bibit jati umur 2 – 26 MST ...

126 30 Pengaruh pemberian pupuk terhadap diameter bibit jati umur 2 – 26

MST ………. 127 31 Pengaruh inokulasi mikoriza dan pemberian pupuk terhadap diameter

batang bibit jati umur 2 – 26 MST ...

127


(24)

Latar Belakang

Mikoriza arbuskula (MA) merupakan simbiosis tertua di permukaaan bumi, (Remy et al. 1994; Bonfante & Genre 2008) merupakan simbiosis yang paling

sering ditemui di muka bumi, ditelaah, dan dimanfaatkan untuk peningkatan produktivitas sumber daya alam hayati dan nir-hayati (Smith & Read 2008; Gianinazzi et al. 2010). Fitobion yang terlibat dalam simbiosis MA ialah sekitar 80

– 90% tanaman darat baik yang memiliki akar atau tidak (Wang & Qui 2006) atau sekitar 73% bangsa tanaman berbunga (Brundrett 2009). Mikobion yang terlibat ialah fungi obligat warga filum Glomeromycota (Schü ler et al. 2001) yang

memiliki empat bangsa (ordo) (Glomerales, Diversisporales, Paraglomerales, dan Archaeosporales), 11 suku (famili), 18 marga dan sekitar 300 jenis yang berhasil dikenali (Schüßler & Walker 2010).

Fungi MA hidup bersama dengan komunitas jasad hidup lainnya yang ada di rizosfer. Agar mampu hidup di rizosfer, sebuah habitat yang kompetitif dan dinamis, FMA harus mampu memproduksi banyak propagul dalam bentuk hifa ekstraradikal dan spora. Propagul FMA dapat punah karena kegagalan manusia menjaga keswalanjutan (sustainability) ekosistem (Barrios 2007; Douds &

Johnson 2007, Gilbert 2009; Gianinazzi et al. 2010; Mendes-Filho et al. 2010).

Menjadi tanggung jawab umat manusia untuk menjaga dan melestarikan propagul FMA di alam agar manfaat positifnya dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang. Upaya yang dapat dilakukan diantaranya ialah stimulasi aktivitas FMA pribumi (indigenous) efektif mengggunakan praktek budidaya yang tepat misalnya

budidaya organik, penggunaan bahan kimia pertanian sebijak mungkin, inokulasi FMA, penanaman bibit bermikoriza (Douds & Johnson 2007; Gosling et al. 2007),

atau dengan penggunaan stimulan tertentu (Setiadi 2011 - komunikasi pribadi). Inokulasi (Latin inoculare = memasukkan ke dalam benih) untuk memulihkan

atau menambah propagul FMA memerlukan sejumlah inokulan (bahan yang diinokulasikan) dalam jumlah yang cukup. Informasi tentang beraneka jenis inokulan mikoriza tersedia melimpah di dunia maya (internet) namun sangat sedikit artikel ilmiah, baik pada jurnal dan prosiding nasional dan internasional, mengenai produksi inokulan FMA. Produsen inokulan FMA di Indonesia sangat terbatas dan


(25)

jika ada ternyata kemampuannya juga sangat terbatas. Hal tersebut menunjukkan produksi inokulan merupakan teknologi yang disembunyikan oleh produsen inokulan FMA dan para peneliti kurang berminat menekuni teknologi produksi inokulan. Oleh sebab itu, menjadi penting artinya untuk menguasai teknologi produksi inokulan FMA agar tidak tercipta ketergantungan terhadap produk dari luar negeri.

Inokulan FMA dapat diproduksi dengan metode konvensional atau metode modern yang memerlukan teknologi dan ketrampilan tinggi. Sekalipun telah ditemukan berbagai metode modern untuk memproduksi inokulan FMA (Douds 2002;Bhowmik & Singh, 2004; Selvaraj & Kim 2004; Lee & George 2005; Voets

et al. 2005) namun metode konvensional yang lebih murah dan sederhana

prosedurnya masih tetap menjadi andalan sebagian besar produsen inokulan FMA di dunia (Gianinazzi & Vosátka 2004; Feldmann et al. 2009; IJdo et al. 2011; Siddiqui & Kataoka 2011). Metode konvensional dapat dilaksanakan dengan teknik kultur pot terbuka menggunakan jenis FMA tunggal atau campuran, jenis tanaman inang, substrat, dan wadah tertentu yang diletakkan di rumah kaca atau lapangan. Teknik kultur terbuka merupakan teknologi produksi inokulan FMA yang lebih membumi dan dapat dikerjakan oleh masyarakat luas dibandingkan dengan teknik lainnya dan dapat dipadukan dengan kegiatan lain misalnya dalam produksi bibit.

Penggunaan inokulan FMA telah terbukti dapat menghasilkan tanaman yang lebih tahan terhadap cekaman hayati dan nir-hayati sehingga mengurangi investasi yang diperlukan untuk penyediaan pupuk dan pestisida (Herrera et al. 1993; Douds

& Johnson 2007; Vosatka & Albrechtova 2009; Koltai & Kapulnik 2010).

Penggunaan inokulan FMA dapat menghasilkan tanaman yang lebih produktif dan membentuk ekosistem yang mantap (van der Heijden et al. 1998; Siddiqui et al.

2008; Cameron 2010), khususnya untuk memulihkan lahan terdegradasi (Herrera et al. 1993). Pemanfaatan inokulan FMA dengan demikian penting artinya bagi bangsa Indonesia. Inokulan FMA dapat diproduksi oleh petani di lahan sekitar rumah menggunakan kultur pot terbuka atau langsung pada areal budidaya sehingga


(26)

menjamin ketersediaan pupuk dan pestisida kapanpun dibutuhkan oleh petani. Kemampuan memproduksi inokulan FMA dengan demikian menjamin kemandirian dan kedaulatan petani untuk melaksanakan budidaya tanaman tepat waktu tidak ditentukan oleh ketersediaan pupuk dan pestisida yang seringkali langka atau harganya melonjak tajam pada musim tanam. Inokulan FMA juga cukup diberikan sekali saja yaitu pada saat tanam namun menghasilkan pengaruh dalam jangka panjang. Hal ini dapat menekan investasi untuk pengadaan pupuk dan pestisida sehingga petani mampu menghasilkan produk pertanian yang aman, bermutu tinggi, namun dengan biaya yang lebih rendah. Produk pertanian yang bebas bahan kimia juga memperoleh harga premium. Kondisi demikian dapat menjamin produk pertanian Indonesia menjadi lebih kompetitif dibandingkan produk pertanian dari luar negeri.

Sekalipun telah banyak informasi mengenai kebaikan FMA namun hal tersebut ternyata belum berhasil mendorong perluasan dan percepatan pemanfaatan FMA sebagai agen hayati. Penyebab utamanya ialah respon terhadap inokulasi FMA seringkali bersifat lambat dan tidak menentu. Beberapa faktor dapat menjadi penyebab hal tersebut, diantaranya ialah sifat FMA yang obligat sehingga mempersulit produksi massal inokulan (Feldmann et al. 2009; IJdo et al. 2011), terdapat spesifitas fungsional antara jenis FMA dengan jenis tanaman inang (Klironomos et al. 2000; Klironomos 2003; Leake et al. 2004) dan karakteristik lingkungan atau optimasi simbiosis (Öpik et al. 2008; Helgason & Fitter 2009;

Hodge et al. 2010; Smith et al. 2010). Kondisi lingkungan harus dapar diarahkan

untuk menghasilkan simbiosis yang optimal misalnya dengan pengaturan intensitas cahaya, kadar air, kadar dan bentuk sumber hara, keberadaan jasad renik dan sebagainya (Gianinazzi & Vosátka 2004; Feldmann et al. 2009; IJdo et al. 2011;

Siddiqui & Kataoka 2011). Hal tersebut melahirkan pemikiran untuk mencari jenis FMA yang cepat menghasilkan respon positif pada tanaman dan sumber hara atau bahan aditif yang dapat mempercepat respon tanaman terhadap inokulan sekaligus menjaga efektivitas simbiosis FMA dalam jangka panjang. Sejauh ini masih sangat sedikit penelitian yang mengarah kepada pendayagunaan bahan alami anorganik


(27)

dan organik. Bahan yang diinginkan ialah yang mudah diperoleh dengan harga murah dan efektif sebagai sumber hara dalam produksi massal inokulum FMA sekaligus memacu respon tanaman terhadap inokulan FMA.

Inokulasi FMA pada tanaman pertanian, hortikultura, dan kehutanan memerlukan inokulan bermutu tinggi dalam jumlah yang cukup. Mutu inokulan merupakan gambaran baik buruknya sebuah inokulan yang dapat didekati dari sisi fungi, tanaman, dan tanaman. Potensi propagul, atau jumlah spora dan hifa, infektif merupakan indikator mutu inokulan ditinjau dari sisi fungi (Feldmann & Idczak 1992; Feldmann et al. 2009; IJdo et al. 2011). Perubahan morfologi, fisiologi, dan biokimia yang ditunjukkan dalam bentuk kemampuan tanaman merespon cekaman hayati dan nir-hayati telah dilaporkan merupakan indikator respon tanaman pertanian terhadap inokulasi FMA (Khalil et al. 1994; Bressan & Vasconcellos

2002; Andrade et al. 2010; Smith et al. 2010). Indikator-indikator tanah seperti

biomassa tanah dan kadar karbon total juga telah sering dikaitkan dengan aktivitas FMA pada tanaman pertanian (Rillig et al. 2001; Bago et al. 2003; Barrios 2007; Douds & Johnson 2007; Hamel 2007). Namun demikian, hasil penelitian juga menunjukkan keeratan hubungan antar indikator fungi-tanaman-tanah pada tanaman pertanian tidak selalu berlaku untuk pohon buah-buahan maupun tanaman hutan (Bâ et al. 2000). Sejauh ini belum pernah ditentukan kriteria dan indikator

inokulan terbaik, khususnya untuk peningkatan pertumbuhan tanaman kehutanan ditinjau dari gatra (aspect) fungi, tanaman dan tanah. Oleh karena itu perlu

dilakukan penelitian mengenai indikator mutu inokulan pada tanaman kehutanan ditinjau dari sisi fungi, tanaman, dan medium tumbuh.

Jati (Tectona grandis Linn. F.) merupakan pohon penghasil kayu bermutu dan bernilai ekonomi tinggi yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Budidaya jati untuk menghasilkan kayu bermutu tinggi perlu didukung dengan penyediaan bibit jati bermutu tinggi yang jumlahnya mencukupi pada saat diperlukan. Mutu bibit merupakan hasil perpaduan antara karakter genetik, morfologi dan fisiologi dan karena itu berpengaruh besar terhadap keberhasilan bibit bertahan hidup dan tumbuh baik di lapangan. Bibit dikatakan bermutu tinggi jika mampu memenuhi


(28)

persyaratan dan tujuan pengelolaan bahan tanaman (Ritchie 1984) yang ditunjukkan oleh pertumbuhan yang baik dan kokoh pada kondisi lapangan yang kurang mendukung dan memiliki laju pertumbuhan yang tinggi pasca penanaman (Duryea 1985; Johnson & Cline 1991; Mason 2004). Bibit jati mampu tumbuh kokoh dan sehat jika mendapatkan faktor tumbuh (air, hara, cahaya matahari) yang cukup dan perlindungan terhadap serangan hama dan penyakit.

Bibit jati umumnya diperbanyak dipersemaian secara generatif maupun vegetatif menggunakan polybag sebagai wadah dan medium tumbuh berupa tanah

yang dicampur dengan substrat anorganik, misalnya pasir, atau organik misalnya sekam padi, kompos, atau serbuk gergaji. Polybag merupakan bahan yang sulit terdegradasi sehingga berpotensi mencemari lingkungan. Bibit dalam polybag

diangkut dari persemaian bersama medium tumbuh dan wadahnya sehingga memerlukan volume ruang yang besar ketika diangkut ke lapangan. Pemindahan medium tanah juga berpotensi merusak lingkungan karena tanah harus terus diambil dari tempat lain. Keharusan membeli tanah dan wadah serta kebutuhan ruangan yang lebih besar selama pengangkutan dapat meningkatkan biaya produksi sehingga meningkatkan harga jual bibit. Informasi demikian menunjukkan perlu dilakukan upaya untuk mendapatkan teknik perbanyakan bibit jati yang murah biayanya namun tidak berpotensi merusak lingkungan.

Persemaian bibit akar telanjang merupakan persemaian yang ditujukan untuk memproduksi bibit dengan cara penanaman langsung dalam tanah dan pertumbuhan bibit dikendalikan dengan pemangkasan akar. Perbanyakan bibit jati dengan sistem akar telanjang dengan demikian merupakan alternatif yang lebih baik karena tidak ada kewajiban membeli atau mengangkut tanah dan wadah serta memerlukan ruangan yang lebih kecil selama pengangkutannya. Sekalipun lebih murah biaya produksinya namun hasil penelitian menunjukkan pemangkasan akar dapat menurunkan tinggi dan diamater batang bibit jati (Purnawan 2005). Tanah yang secara terus menerus digunakan sebagai persemaian juga dapat menurun kesuburannya dan menjadi tidak sehat karena akar yang terpangkas yang tertinggal dalam tanah dapat menjadi habitat patogen. Pemberian pupuk buatan bukan


(29)

merupakan alternatif pemecahan karena harganya cenderung naik sehingga berpengaruh terhadap harga jual bibit.

Penggunaan inokulan FMA dan pupuk organik yang dapat diproduksi sendiri merupakan alternatif yang lebih baik dibandingkan pupuk buatan untuk mengatasi hambatan pertumbuhan pada bibit jati akar telanjang. Rizosfer jati telah dilaporkan merupakan habitat beberapa marga FMA yang dominan yaitu Glomus, Gigaspora, Acaulospora dan Scutellospora (Maryadi 2001; Husna et al. 2006). Hasil penelitian

menunjukkan penggunaan FMA dapat meningkatkan pertumbuhan bibit jati (Rohayati 1999; Irianto et al. 2003; Turjaman et al. 2003) atau tidak menghasilkan

pengaruh yang nyata (Purnawan 2005) bergantung kepada provenan bibit jati, jenis FMA, lokasi pertumbuhan, dan teknik produksi bibit yang digunakan. Informasi demikian menunjukkan perlu dilakukan seleksi terhadap FMA yang akan diinokulasikan pada bibit jati di persemaian. Inokulasi FMA terseleksi bukan saja dapat menghemat biaya produksi bibit namun juga menjadikan bibit jati tumbuh lebih kokoh pada saat dipindah ke lapangan (Rajan et al. 2000). Reformulasi

inokulan FMA, misalnya dengan menambahkan pupuk organik atau buatan, dilaporkan menghasilkan pengaruh yang berbeda-beda bergantung kepada jenis FMA, jenis dan takaran pupuk yang ditambahkan, dan provenan jati (Suwandi et al. 2006; Ramadani 2008; Arif et al. 2009). Provenan jati yang digunakan pada beberapa penelitian tersebut umumnya berasal dari Pulau Jawa atau Muna di Sulawesi Tenggara. Sejauh ini belum pernah dilaporkan interaksi antara bibit jati provenan Solomon yang diperbanyak menggunakan sistem akar telanjang dengan FMA yang diinokulasikan dalam bentuk inokulan yang telah direformulasi menggunakan bahan alami tertentu.


(30)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendapatkan jenis FMA yang merespon positif bahan alami yang digunakan pada proses produksi inokulan FMA.

2. Mendapatkan prosedur pemanfaatan berbagai bahan alami dalam proses produksi inokulum FMA dengan menguji faktor sterilisasi, pengaturan pemberian air, dan sumber hara.

3. Mendapatkan bahan alami yang efektif untuk memproduksi inokulan FMA dan menghasilkan kerapatan spora yang tinggi menggunakan tanaman inang kudzu (Pueraria phaseoloides Roxb).

4. Menguji efektivitas sumber hara ditinjau dari sisi karakteristik kimia (kelarutan dan kadar hara), karakteristik fisik (ukuran garis tengah butir), dan takaran untuk memproduksi inokulan FMA.

5. Mendapatkan inokulan FMA yang efektif untuk meningkatkan pertumbuhan dan menyuburkan medium tumbuh bibit jati pada skala persemaian.

Hipotesis

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini ialah sebagai berikut :

1. Satu jenis FMA akan dapat memberikan respon positif terhadap bahan alami yang digunakan dalam produksi inokulan FMA.

2. Sterilisasi substrat, pengaturan kadar air substrat, dan pemilihan sumber hara perlu dilakukan untuk memaksimalkan produksi spora FMA.

3. Satu sumber hara yang efektif dapat diperoleh untuk memproduksi inokulan FMA dan menghasilkan kerapatan spora > 1000 buah per 100 g substrat. 4. Efektivitas bahan alami yang digunakan dalam produksi inokulum FMA

ditentukan oleh karakteristik kimia (kelarutan dan kadar hara), fisik (ukuran bahan), dan takaran bahan.

5. Terdapat satu formulasi inokulan yang efektif meningkatkan pertumbuhan bibit jati sekaligus menyuburkan medium tumbuh bibit jati pada skala persemaian.


(31)

Manfaat Penelitian

Luaran dari penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi peneliti dan pengguna FMA khususnya produsen bibit jati atau tanaman lain yang bernilai ekonomi tinggi. Rincian manfaat penelitian ini ialah sebagai berikut:

1. Memberikan pemahaman holistik mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap dan indikator keberhasilan prosedur produksi inokulan FMA.

2. Menghasilkan prosedur produksi inokulan FMA yang lebih sederhana berdasarkan sterilisasi substrat, pengaturan volume air penyiraman, dan karakteristik sumber hara.

3. Memberikan pemahaman produksi bibit jati berbasis sumber daya hayati dan nir-hayati yang tidak merusak lingkungan.

4. Membuka peluang usaha baru berupa produksi pupuk hayati berbasis bahan alami yang murah harganya, efektif meningkatkan pertumbuhan tanaman, dan ramah lingkungan sehingga melepaskan ketergantungan petani terhadap pupuk buatan dan produk dari luar negeri.

Kebaruan

1. Penggunaan bahan alami (bio-material) anorganik dan organik untuk

mempercepat kolonisasi dan sporulasi FMA.

2. Penggunaan sumber hara organik dan inokulan FMA untuk mempercepat pertumbuhan bibit jati Solomon.

3. Penilaian kesuburan kimia dan biologi medium tumbuh bibit jati di persemaian.

4. Penggunaan metode pewarnaan akar menggunakan bahan yang aman bagi pengguna, murah harganya, dan prosedurnya lebih singkat.

5. Penggunaan piranti lunak lembar kerja (worksheet) untuk menghitung potensi propagul infektif berbasiskan most probable number.


(32)

Strategi Penelitian

Disertasi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang terdiri atas tiga topik penelitian yang saling berkaitan satu dengan lainnya (Gambar 1). Topik penelitian pertama berjudul “Seleksi fungi mikoriza arbuskula dan bahan bio-anorganik untuk memproduksi inokulan mikoriza” yang bertujuan menyeleksi jenis FMA dan macam pupuk anorganik tidak mudah larut sebagai alternatif pengganti pupuk buatan untuk memproduksi inokulan FMA dan meningkatkan biomassa tanaman kudzu. Jenis FMA dan sumber P yang diperoleh pada penelitian pertama tersebut kemudian diuji kembali efektivitasnya terhadap tanaman inang yang dipasok bahan alami anorganik dan organik pada kadar air tertentu dan perlakuan sterilisasi pada penelitian kedua yang berjudul “Interaksi sterilisasi, kadar air dan sumber hara fosfor dalam produksi spora Glomus etunicatum”. Penelitian kedua

ini pada dasarnya bertujuan umum mendapatkan prosedur produksi inokulum

Glomus etunicatum dengan melihat pengaruh sterilisasi, kadar air, ukuran dan

takaran sumber P dan menilai efektivitas simbiosisnya dengan tanaman kudzu P.

phaesoloides. Selanjutnya inokulan yang diperoleh berdasarkan prosedur pada

penelitian kedua tersebut diuji efektivitasnya pada penelitian yang berjudul “Efektivitas metode penyiapan bibit, inokulan mikoriza dan pupuk terhadap pertumbuhan dan sifat biologi media tumbuh bibit jati Solomon” yang bertujuan menguji efektivitas inokulan berbasis bahan alami untuk meningkatkan pertumbuhan dan menyuburkan medium tumbuh bibit jati Solomon pada skala persemaian. Hasil akhir dari ketiga rangkaian penelitian di atas ialah diperolehnya informasi mengenai (1) prosedur produksi inokulan FMA berbasis bahan alami (2) inokulan FMA hasil reformulasi yang mampu mempercepat respon bibit jati Solomon dan menghasilkan bibit jati yang bermutu tinggi pada skala persemaian, serta mampu menyuburkan medium tumbuh yang digunakan.


(33)

Gambar 1. Alur kegiatan penelitian

Penelitian III

Efektivitas metode penyiapan bibit, inokulan mikoriza dan pupuk terhadap pertumbuhan dan kesuburan medium tumbuh bibit jati

Solomon

inokulan FMA dan inokulan hasil reformulasi yang mampu (i) mempercepat respon bibit jati terhadap inokulan tersebut, (ii)

menghasilkan bibit jati yang bermutu tinggi pada skala persemaian, dan (iii) menyuburkan medium tumbuh bibit jati

Penelitian II

Interaksi sterilisasi, kadar air, dan sumber P dalam produksi inokulum Glomus etunicatum

Interaksi sterilisasi, kadar air, dan sumber P dalam produksi inokulum Glomus etunicatum Penentuan ukuran dan takaran vermikompos untuk

produksi inokulum G. etunicatum

Penelitian I

Seleksi mikoriza arbuskula dan bahan alami bio-anorganik untuk memproduksi inokulan mikoriza

Seleksi mikoriza arbuskula dan bahan alami bio-anorganik untuk memproduksi inokulan

mikoriza

Penentuan ukuran dan takaran tepung tulang untuk produksi inokulum G. etunicatum


(34)

Definisi Mikoriza

Sesuai dengan akar katanya yaitu myces dan rhiza, Frank (1885) untuk pertamakalinya mengajukan definisi yang bersifat kebendaan yaitu mikoriza sebagai fungi-akar. Frank pada saat itu meyakini mikoriza diperlukan untuk urusan keharaan bagi kedua mitra simbiosis. Istilah simbiosis (symbiotismus) dalam definisi mikoriza mengacu kepada konsep yang dikemukakan pertamakalinya oleh Frank pada tahun 1877 dan kemudian dikembangkan oleh de Bary pada tahun 1887 sebagai hubungan antara dua jasad hidup terlepas hasilnya apakah negatif (parasitime, sering disinonimkan dengan patogenisme) atau positif (mutualisme) (Smith & Read 2008). Oleh karena itu kemaujudan mikoriza kemudian ditelaah berdasarkan aspek fungsional dalam penyerapan berbagai substansi dari dalam tanah (Harley & Smith 1983) sehingga meningkatkan kebugaran salah satu atau kedua mitra yang bersimbiosis (Read 1999) karena terbentuknya antar-muka spesifik untuk keperluan pertukaran bahan dan energi (Pfeffer et al. 2001).

Brundrett (2004) mendefinisikan asosiasi mikoriza sebagai simbiosis yang tidak selalu bersifat mutualis namun dapat setimbang ataupun eksploitatif, yang ditunjukkan dengan esensialitasnya untuk salah satu atau kedua mitra yang bersimbiosis, dapat terbentuk pada akar dan atau organ lain yang bersentuhan dengan substrat, fungsinya bekerja serentak dengan perkembangan tanaman-fungi. Hubungan kemitraan dalam asosiasi mikoriza merentang lebar dari yang negatif (parasit) (Bever 2002), netral (Aquino & Cassiolato 2002) atau positif (Hart & Reader 2002) bergantung pada berbagai faktor yang terlibat dalam asosiasi mikoriza (Johnson et al. 1997). Smith dan Read (2008) menegaskan adanya ciri khas dari simbiosis mikoriza, yaitu (i) terbentuk antara fungi, tanaman tingkat tinggi dan tingkat rendah, serta bakteri, (ii) memiliki struktur spesifik yang tidak dijumpai pada simbiosis jasad hidup-tanaman lainnya, misalnya arbuskula, vesikel, hifa, dan sebagainya, dan (iii) perkembangan, keberadaan, dan fungsinya ditentukan oleh kerjasama antar jasad yang bersimbiosis dan kondisi lingkungan.

Dari berbagai definisi yang tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa asosiasi mikoriza terbentuk pada akar dan organ lain yang bersentuhan dengan medium


(35)

tumbuh, dibentuk oleh fungi dengan tanaman dan jasad renik rizosfir, fungsinya ditentukan oleh interaksi jasad hidup yang bersimbiosis dan faktor lingkungan, sifatnya mulai dari mutualis sampai parasit, tugas utamanya ialah mempertukarkan energi dan bahan, dan berkembang serentak dengan perkembangan mitra simbiosisnya.

Mikoriza Arbuskula

Mikoriza merupakan asosiasi bersisi ganda yang terdiri atas beraneka kategori morfologi, fungsi dan evolusi (Brundrett 2002, 2004) dan dikelompokkan menjadi tiga yaitu (i) mikoriza arbuskula, (ii) ektomikoriza, dan (iii) mikoriza orchid, ericoid, dan mikoheterotrof (Brundrett 2004; Smith & Read 2008). Diantara ketiga mikoriza tersebut, asosiasi mikoriza arbuskula (MA) yang paling sering dijumpai keberadaan dan interaksinya di alam, ditelaah, dan dimanfaatkan untuk peningkatan produktivitas tanaman dan pembenahan lingkungan.

Asosiasi MA dibentuk oleh fungi obligat dengan sekitar 80 – 90% tanaman darat (Wang & Qui 2006) atau sekitar 73% bangsa tanaman berbunga (Brundrett 2009), baik yang memiliki akar maupun tidak (Read et al. 2000; Pressel et al. 2010). Asosiasi MA ditengarai telah ada semenjak 600 juta tahun lalu, atau mungkin lebih tua lagi sekitar 1 milyar tahun, yaitu dengan ditemukannya struktur mikroskopis serupa arbuskula dalam akar fosil tanaman purba Rhynia

gwynne-vaughanii) dan gametofit (Aglaophyton major) tingkat rendah tidak berakar dan

tidak berdaun (Taylor et al. 2009) dari jaman Ordovician (Pirozynski & Malloch

1975; Pirozynski & Dalpe 1989; Simon et al 1993; Remy et al. 1994) sampai

Carboniferous (Strullu-Derrien & Strullu 2007; Strullu-Derrien et al. 2009). Hasil

penelitian palaeobotani tersebut juga didukung oleh hasil analisis molekuler (Redecker et al. 2000; Heckman et al. 2001).

Struktur fungi MA (FMA) yang mengolonisasi tanaman vaskuler modern hampir semuanya terdapat dalam akar, namun lokasinya pada fosil tanaman purba ternyata berbeda-beda (Strullu-Derrien & Strullu 2007; Bonfante & Genre 2008; Strullu-Derrien et al. 2009). Baru-baru ini telah ditemukan fosil fungi serupa MA


(36)

merupakan hasil modifikasi daun (Krings et al. 2011). Kolonisasi FMA tersebut

tetap teramati pada tanaman Lycopsidae modern (Winther & Friedman 2008; Sudová et al. 2011). Berdasarkan keyakinan hubungan kemitraan FMA dengan

tanaman modern (Parniske 2008; Smith & Read 2008) maka dapat diduga bahwa hubungan kemitraan demikian berlaku pada tanaman Lycopsidae pada jaman Carboniferous tersebut (Wagner & Taylor 1981). Hasil penelitian Taber & Trappe (1982) menunjukkan FMA ditemukan mengolonisasi daun tanaman jahe modern, namun tidak membentuk arbuskula dan belum terbukti adanya kemitraan yang saling menguntungkan. Temuan demikian memperkuat konsep yang dikemukakan sebelumnya (Brundrett 2004; Smith & Read 2008) bahwa bukan jenis organ tanaman yang menentukan asosiasi MA namun fungsi lingkungan yang dihasilkan oleh organ tanaman yang bersangkutan.

Mengacu pada perannya dalam pertukaran hara maka FMA diyakini merupakan fasilitator serapan hara tanaman purba ketika untuk pertamakalinya mengolonisasi daratan (Simon et al. 1993; Remy et al. 1994; Taylor et al. 1995). Pada jaman itu tanaman darat berasal dari tanaman air yang mendarat di muka bumi yang masih gersang. Tanaman itu tidak memiliki akar dan oleh karena itu memerlukan bantuan fungi mikoriza untuk mendapatkan hara dan air. Tanaman bermikoriza kemudian berevolusi membentuk struktur, organisasi internal, cara reproduksi, dan tumbuh pada habitat yang spesifik, sebagian diantaranya tetap bersimbiosis dengan MA dan sebagian lainnya tidak (Helgason & Fitter 2009). Sebaliknya, struktur FMA tidak mengalami perubahan struktur dan fungisnya. Jadi, berdasarkan sejarah evolusinya dapat disimpulkan tanaman memerlukan FMA agar mampu tumbuh baik dan produktif pada suatu lingkungan tumbuh tertentu.

Fungi MA merupakan simbion yang paling luas penyebarannya. Asosiasi MA ditemukan pada jenis tanaman briofita yang tidak berakar sampai yang berakar (Read et al. 2000; Smith & Read 2008; Brundrett 2009; Pressel et al. 2010); pada

jenis tanah pasiran di pesisir (Delvian 2003) dan gambut (Ervayenri 1998; Sasli 2008) tropik sampai di pegunungan Himalaya (Chaurasia et al. 2005), pada


(37)

kawasan dekat kutub (Frenot et al. 2005). Namun demikian, baru sekitar 300 jenis

FMA yang berhasil diiidentifikasi karakternya, padahal menurut Morton et al.

(1994) jumlah jenis FMA dapat mencapai 2700.

Beragamnya hasil akhir simbiosis MA, negatif sampai positif, disebabkan ada spesifitas fungsional antara FMA dan tanaman inang (Bressan 2002a,b; Hart & Reader 2002, 2005; Klironomos 2003; Leake et al. 2004; Feddermann et al. 2010)

dan karakteristik lingkungan simbiosis (Gamage et al. 2004; Hamel 2007; Helgason & Fitter 2009). Interaksi demikian pada akhirnya berpengaruh pada struktur komunitas tanaman di alam (Klironomos et al. 2000; van der Heijden &

Sanders 2002) dan karakter lingkungan simbiosis (Gianinazzi et al. 2010). Keragaman jenis dan pengaruh demikian perlu dijadikan bahan pertimbangan sebelum jasa baik simbiosis dimanfaatkan untuk peningkatan produktivitas tanaman dan lingkungan.

Simbiosis MA diawali dari pergerakan hifa ekstraradikal (HE), berasal dari perkecambahan spora dalam tanah dan atau dari akar terkolonisasi, karena tanaman mengeksudasikan senyawa flavonoid (Akiyama et al. 2005; Besserer et al. 2006). Hifa kemudian menyentuh permukaan akar, membentuk appresoria, dan menembus dinding sel akar untuk membentuk hifa intraradikal (Smith & Read 2008). Hifa intraradikal (HI) tumbuh menjalar di antara sel atau menembus sel epidermis dan akhirnya mengolonisasi ruang intra- dan interseluler kortek akar. Selanjutnya HI berdiferensiasi membentuk antarmuka spesifik berupa arbuskula, vesikel, sel auksilari, ataupun spora intraradikal. Arbuskula, struktur bercabang-cabang seperti pohon, diyakini merupakan organ pelaksana pertukaran energi (karbohidrat) dari tanaman dan bahan (hara, air, atau faktor tumbuh lainnya) dari FMA. Vesikel merupakan organ penyimpan cadangan makanan dan berfungsi sebagai propagul. Keberadaan arbuskula dan vesikel dapat digunakan sebagai pembeda morfotipe karena sebagian FMA membentuk arbuskula dan vesikel dan sebagian lainnya hanya membentuk arbuskula. Keberadaan antarmuka spesifik tersebut juga menjadi pembeda antara asosiasi MA dengan asosiasi lainnya (Brundrett 2004).


(38)

Jaringan HE di dalam tanah segera terbentuk setelah terjadinya kolonisasi akar. Hifa ekstraradikal berfungsi ganda yaitu untuk angkutan hara dan air, produksi spora, agregasi tanah, dan perlindungan tanaman inang dari serangan patogen. Peran HE dalam angkutan hara, khususnya P anorganik, penting artinya karena HE mampu menjangkau sampai di luar mintakat pengurasan (depletion zone) yang

tidak dapat dijangkau oleh atau tidak tersedia untuk akar tanaman (Zhu et al. 2001).

Hifa ekstraradikal, karena garis tengahnya yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan garis tengah akar, mampu menembus pori mikro untuk mendapatkan air yang tidak dapat dijangkau oleh akar sehingga tanaman bermikoriza menjadi lebih adaptif menghadapi cekaman kekeringan. Sumbangan MA terhadap serapan P anorganik dan air dipengaruhi oleh jenis FMA, tanaman, dan lingkungan yang mengindikasikan kesesuaian fungsional di antara FMA dan tanaman tidak selalu berkaitan dengan kolonisasinya (Pearson & Jakobsen 1993; Burleigh et al. 2002).

Berdasarkan analisis genetika molekuler diketahui hanya ada satu fungi obligat yang membentuk asosiasi MA, yaitu Glomeromikota, yang berbeda asal usul dan karakternya dengan fungi lainnya (Askomikota dan Basidiomikota) (Schüßler et al. 2001). Glomeromikota memiliki empat bangsa (ordo) (Glomerales, Diversisporales, Paraglomerales, dan Archaeosporales), 11 suku (famili) dan 18 marga (genus) (Schüßler & Walker 2010). Pengetahuan tentang tatanama Glomeromycota terus mengalami penyempurnaan sejak tahun 2001, sebagai contoh bangsa Glomerales tadinya hanya beranggotakan suku Glomeraceae kemudian berubah menjadi dua suku yaitu Glomeraceae dan Claroideoglome-raceae (Schüßler & Walker 2010). Berdasarkan tatanama tersebut G. etunicatum

berubah menjadi Claroideoglomus etunicatum. Informasi selengkapnya mengenai

tatanama Glomeromycota tersedia pada www.amf-phylogeny.com.

Fungi G. etunicatum syn. C. etunicatum dikenal sebagai salah satu FMA

yang cepat berkembang membentuk jaringan bawah tanah yang menghubungkan rizosfer satu tanaman dengan tanaman lain sehingga terjadi translokasi bahan dan energi di antara tanaman yang bertetangga (Ingleby et al. 2007). Pengaruh positif


(39)

makro (Govindarajulu et al. 2005; Li et al. 2006) dan mikro (Purakayastha et al.

2001; Nogueira & Cardoso 2002; Andrade et al. 2010), dan yang bersifat nir-hara

misalnya produksi metabolit sekunder (Yao et al. 2003; Fester & Hause 2007).

Fungi MA telah dilaporkan terlibat dalam proses rizodeposisi yang memperkaya tanah dengan substrat karbon sehingga meningkatkan aktivitas hayati tanah (Rillig

et al. 2001) dan agregasi tanah (Rillig et al. 2002; Rillig & Mummey 2006).

Sekalipun belum dilaporkan secara spesifik, seperti halnya FMA lainnya, patut diduga G. etunicatum terlibat dalam proses demikian.

Pengaruh positif simbiosis G. etunicatum menjadikan tanaman lebih tahan

terhadap cekaman hayati, misalnya serangan patogen (Yao et al. 2003; Hao et al. 2005; Watanarojanaporn et al. 2011) dan hama (Wooley & Paine 2007); dan cekaman nirhayati, misalnya lebih tahan terhadap toksisitas logam berat (Wu et al. 2010) dan senyawa hidrokarbon (Gao et al. 2010), kekeringan (Wu et al. 2007), kegaraman (Ghorbanli et al. 2004), dan kepadatan tanah (Miransari et al. 2007). Simbiosis G. etunicatum juga berdampak terhadap morfologi akar tanaman (Bressan & Vasconcellos 2002) sehingga mempercepat pertumbuhan awal bibit tanaman berkayu yang ditumbuhkan pada tanah pasca penambangan (Flores-Aylas et al. 2003; Santos et al. 2008) atau memfasilitasi tanaman legum

bersimbiosis dengan rizobia (Shrihari et al. 2000; Siviero et al. 2008). Produksi Inokulum FMA

Fungi MA hidup bersama dengan komunitas jasad hidup lainnya yang ada di rizosfer. Agar mampu hidup di rizosfer, sebuah habitat yang kompetitif dan dinamis, FMA harus mampu memproduksi banyak propagul atau inokulum dalam bentuk HE dan spora dalam akar terkolonisasi dan tanah. Propagul FMA dapat punah jika manusia gagal menjaga keswalanjutan (sustainability) ekosistem

(Barrios 2007; Douds & Johnson 2007, Gianinazzi et al. 2010). Oleh sebab itu

penting artinya menjaga kelestarian propagul FMA di lingkungan yang belum terdegradasi dan mengembalikan propagul FMA ke lingkungan terdegradasi. Jumlah propagul dalam tanah yang terlalu sedikit dapat ditingkatkan melalui


(40)

stimulasi aktivitas FMA pribumi (indigenous) efektif mengggunakan praktek

budidaya yang tepat, inokulasi FMA, atau penanaman langsung bibit bermikoriza (Douds & Johnson 2007). Inokulasi mikoriza pada tanaman yang ditumbuhkan pada tanah terdegradasi terbukti berhasil memulihkan kesuburan tanah dan komunitas jasad hidup pada suatu ekosistem (Herrera et al. 1993; Jeffries et al.

2003; Gianinazzi et al. 2010). Untuk itu, penting artinya menguasai pengetahuan

tentang produksi propagul atau inokulum dan tehnik inokulasi FMA serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap produksi propagul.

Inokulan FMA telah dipasarkan dengan berbagai nama, bentuk, dan formulasi untuk digunakan dalam upaya peningkatan produktivitas tanaman dan perbaikan ekosistem. Inokulan FMA dapat diproduksi menggunakan berbagai teknik yang masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan dalam hal rancangan, komersialisasi, dan ranah aplikasinya. Pada dasarnya terdapat tiga tehnik produksi inokulum yang umum digunakan yaitu teknik berbasis substrat, nir-substrat, dan in vitro (IJdo et al. 2011; Siddiqui & Kataoka 2011). Teknik berbasis substrat merupakan teknik produksi klasik yang telah digunakan di banyak negara dan merupakan tehnik yang murah namun efektif untuk mem-produksi inokulum secara massal.

Teknik nir-substrat (hidroponik dan aeroponik) (Jarstfer & Sylvia 1999; Singh & Tilak 2001) dan teknik in-vitro (Karandashov et al. 1999; Pawloswska et al. 1999; Fortin et al. 2002) dikembangkan dengan tujuan untuk memproduksi

inokulan FMA yang bersih atau bebas kontaminan. Produksi inokulum in-vitro

dapat dilaksanakan pada cawan Petri berisi media tertentu misalnya gel diperkaya glukosa (Douds 2002). Penambahan bahan lain, misalnya eksudat akar, dilaporkan dapat meningkatkan produksi spora dalam kultur cawan Petri (Selvaraj & Kim 2004). Pemberian unsur hara bentuk film hara dilaporkan berhasil memproduksi 130 mg hifa fungi G. mosseae per cawan kultur berisi 3 tanaman slada (Lactuca

sativa var capitata), selain itu juga diperoleh inokulum campuran spora, akar

terkolonisasi dan hifa fungi (Lee & George 2005). Selain itu, ditemukan pula sistem kultur autotrof untuk mengembangkan FMA secara in vitro menggunakan bibit


(41)

kentang hasil propagasi mikro (Voets et al. 2005). Produksi inokulum dapat dipacu

dengan penambahan bakteri rizosfer perangsang pertumbuhan (Azospirillum sp.,

Azotobacter chroococcum, Pseudomonas fluorescens, P. Striata) atau khamir

(Saccharomyces cerevisiae) (Bhowmik & Singh 2004). Teknik in vitro belum

umum digunakan di Indonesia mengingat komponen teknologinya memerlukan biaya yang tinggi dan operator yang terampil. Oleh sebab itu perlu dicari alternatif teknologi yang berbiaya murah namun mampu memproduksi spora dan inokulum FMA dalam jumlah yang banyak.

Teknik berbasis substrat, khususnya substrat tanah, merupakan teknik klasik yang telah lama digunakan untuk memproduksi inokulum berbagai jenis FMA mengingat biayanya yang murah dan kemudahan pelaksanaannya. Substrat yang digunakan pada umumnya berupa (1) tanah (Sylvia & Schenck 1983; Douds & Schenck 1990a,b; Sieverding 1991) atau lempung (clay) (Plenchette et al. 1982; Feldmann & Idczak 1992), (2) bahan mineral misalnya pasir (Millner & Kitt 1992; Lee & George 2005; Neumann & George 2005), inolite dan zeolit (Setiadi 2002) dan vermiculite (Douds et al. 2006), perlite (Lee & George 2005), (3) bahan organik misalnya kompos (Douds et al. 2005, 2006) atau gambut (Ma et al.

2007), atau campuran tanah dengan salah satu atau kedua bahan tersebut. Tehnik berbasis tanah kemudian diadaptasi untuk meningkatkan jumlah propagul di lapangan atau lahan pertanian (on-farm) (Douds et al.2005, 2010).

Prosedur produksi inokulum FMA pada dasarnya terdiri atas empat tahap yaitu (1) isolasi strain FMA untuk menghasilkan kultur murni atau kultur tunggal, (2) pemilihan tanaman inang, (3) inokulasi propagul, dan (4) optimasi kondisi pembentukan simbiosis MA. Isolasi FMA dilakukan dengan mengambil contoh akar dan tanah terkolonisasi dari lapangan yang diikuti dengan peningkatan potensi propagul melalui kultur penangkaran (traping culture) (Feldmann &

Idczak 1992; Setiadi 2002). Propagul dari lapangan diperbanyak dengan menumbuhkan tanaman inang pada medium tumbuh yang telah dicampur dengan akar terkolonisasi FMA atau tanah dari lapangan (Brundrett et al. 1996). Medium


(42)

1983, Millner & Kitt 1992). Spora hasil kultur penangkaran kemudian dikelompokkan berdasarkan karakter morfologi dan masing-masing diperbanyak dengan kultur tunggal. Inokulasi FMA dapat dilakukan dengan menempelkan spora tunggal ke permukaan akar muda atau meletakkan propagul di permukaan medium tumbuh pada bagian perakaran bibit.

Tanaman yang dapat digunakan untuk memproduksi inokulum FMA ialah

Allium cepa, Chloris guyana, Cenchrus ciliaris, Panicum maximum, Paspalum

notatum, Pueraria phaseoloides, Sorghum halepense, Trifolium subterraneum,

atau Zea mays (Chellappan et al. 2001; Setiadi 2002). Tanaman tersebut sering

digunakan karena memiliki beberapa kelebihan, misalnya berumur pendek, memiliki system perakaran yang luas, dapat dikolonisasi sampai batas yang tinggi oleh berbagai jenis FMA, dan toleran terhadap kadar fosfor (P) rendah (IJdo et al. 2011). Kelebihan lainnya ialah resisten terhadap patogen, akar yang terkolonisasi umumnya berubah menjadi kuning dari putih (khususnya pada bawang perai dan jagung), dan toleran terhadap lonjakan suhu (Millner & Kitt 1992). Perbanyakan dilakukan rumah kaca, ruang berpendingin, pot yang diletakkan di lapangan atau yang lebih besar lagi pada bedengan persemaian (Gaur & Adholeya 2002, Douds

et al. 2005, 2006). Optimasi kondisi pertumbuhan diperlukan mengingat

pembentukan dan perkembangan FMA serta simbosisnya dengan tanaman inang ditentukan oleh tiga faktor utama yaitu jenis FMA, jenis tanaman, dan lingkungan simbiosis (Smith & Read 2008).

Berbagai faktor diketahui berpengaruh terhadap produksi propagul FMA atau simbiosis MA. Intensitas cahaya, karena berpengaruh terhadap fotosintesis tanaman dan translokasi karbon ke akar, berpengaruh tidak langsung terhadap kolonisasi dan produksi spora FMA (Nagahashi et al. 2000;Gamage et al. 2004).

Karakteristik substrat, misalnya pH, kapasitas tukar kation, suhu (Smith & Read 2008), kadar air (Karasawa et al. 1999; Lovato & Gianinazzi 1996), jasad renik

(Bhowmik & Singh 2004; Hameeda et al. 2007), jenis dan kadar hara (Douds &

Schenck 1990a,b; Millner & Kitt 1992; Douds 1994; Douds et al. 2006) juga


(43)

keberadaan senyawa kimia tertentu, misalnya pupuk (Onguene & Habte 1995), pestisida (Sukarno et al. 2000), dan hasil metabolisme tanaman inang yang

dieksudasikan ke rizosfer misalnya khitin (Gryndler et al. 2003) atau strigolakton,

5-deoxy-strigol (Akiyama et al. 2005). Keberadaan bahan-bahan amandemen

anorganik (zeolit, liat, perlit dan sebagainya) dan organik juga ikut menentukan laju produksi spora dan kolonisasi FMA ke akar tanaman (Saito 1990; Nishio & Okano 1991; Ezawa et al. 2002).

Unsur hara, khususnya P, berpengaruh langsung dan berpengaruh tidak langsung terhadap FMA melalui respon tanaman terhadap ketersediaan hara, misalnya dengan mengubah pertumbuhan akar atau fotosintesis. Kadar, bentuk, dan kelarutan sumber hara P merupakan faktor penting bagi pembentukan dan perkembangan MA yang paling sering dibahas. Kadar hara P dilaporkan berkorelasi negatif (Amijee et al. 1989; Koide & Li 1990), tidak berkorelasi (Tawaraya et al. 1996), atau berkorelasi positif (Carrenho et al. 2001) terhadap mikorizasi bergantung pada jenis FMA, jenis tanaman, bentuk dan kelarutan sumber P-nya (Cardoso 1996; Tawaraya et al. 1996; Nikolaou et al. 2002; Bhadalung et al. 2005). Pembentukan simbiosis mikoriza mencapai maksimum jika kadar P dalam tanah tidak > 50 mg kg-1 (50 ppm) (Ishii 2004) dan kadar hara

P sebesar β0 M optimal untuk produksi inokulum Glomus etunicatum pada

sistem berbasis pasir menggunakan tanaman inang jagung (Millner & Kitt 1992). Perkembangan hifa marga Glomus berkorelasi negatif dengan kadar P namun

sporulasi hifa tidak berkorelasi dengan kadar P (Tawaraya et al. 1996). Produksi

propagul Glomus intraradices pada rizosfer jagung meningkat tajam pada kondisi

tanpa pasokan P dan sebaliknya jika dipasok unsur P (Gaur & Adholeya 2000). Sporulasi G. etunicatum, dilaporkan berkorelasi positif dengan kadar hara P

(Carrenho et al. 2001). Spora G. etunicatum dilaporkan tetap melimpah sekalipun

tanah mineral asam Lampung Timur diberi pupuk P takaran tinggi (200 kg ha

-1 SP36) (Yusnaini

et al. 2004).

Bentuk P yang digunakan, anorganik maupun organik, juga berdampak terhadap produksi inokulum FMA. Pemupukan P dengan takaran dan kelarutan


(1)

Siviero MA, Motta AM, Lima DDS, Birolli RR, Huh SY, Santinoni IA, Murate LS, de Castro, Miyauchi MYH, Zangaro W, Nogueira MA, Andrade G. 2008. Interaction among N–fixing bacteria and AM fungi in Amazonian legume tree (Schizolobium amazonicum) in field conditions. Appl Soil Ecol 39:144–152.

Smith FA, Grace EJ, Smith SE. 2009. More than a carbon economy: nutrient trade and ecological sustainability in facultative arbuscular mycorrhizal symbioses. New Phytol 182:347–358.

Smith SE, Facelli E, Pope S, Smith A. 2010. Plant performance in stressful environments: interpreting new and established knowledge of the roles of arbuscular mycorrhizas. Plant Soil 326:3–20.

Smith SE, Read DJ. 2008. Mycorrhizal Symbiosis. 3rd ed. San Diego: Academic Press.

Song YC, Li XL, Feng G, Zhang FS, Christie P. 2000. Rapid assessment of acid phosphatase activity in the mycorrhizosphere and in arbuscular mycorrhizal fungal hyphae. Chin Sci Bul. 45:1187–1190.

South DB. 2000. Planting morphologically improved pine seedlings to increase survival and growth. Forestry Wildlife Series 1:1-14.

Struble JE, Skipper HD. 1988. Vesicular–arbuscular mycorrhizal fungal spore production as influenced by plant species. Plant Soil 109:1194–1196.

Strullu-Derrien C, Rioult JP, Strullu DG. 2009. Mycorrhizas in Upper Carboni-ferous Radiculites-type cordaitalean rootlets. New Phytol 182:561–564. Strullu-Derrien C, Strullu DG. 2007. Mycorrhization of fossil and living plants.

Comptes Rendus Palevol 6:483–494.

Sudová R, Rydlová J, Čtvrtlíková M, Havránek P, Adamec L 2011. The incidence of arbuscular mycorrhiza in two submerged Isoëtes species. Aquatic Botany 94:183–187.

Suhartati, Nursyamsi. 2006. Pengaruh dosis pupuk dan asal bibit terhadap per-tumbuhan jati. J Penelitian Hutan Tanaman 3:193-200.

Sukarno N, Smith SE, Scott ES. 2000. The effect of fungicides on vesicular– arbuscular mycorrhizal symbiosis. Di dalam: Supriyanto (ed). Report on Training Course on Biotechnology of Mycorrhizae. Bogor: SEAMEO– BIOTROP. Hlm. 68–83.

Susmiyati 2005. Upaya Meningkatkan Pertumbuhan Semai Kawista (Limonia acidissima Lindl.) Dengan Penambahan Cendawan Mikoriza Arbuskula Dan Bahan Additif. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Suwandi, Surtinah, Rubby K. 2006. Perlakuan mikoriza dan NPK pada pertumbuhan stump jati (Tectona grandis L.f). Info Hutan 3:139–145.


(2)

Sylvia DM, Neal LH. 1990. Nitrogen affects the phosphorus response of VA mycorrhiza. New Phytol 115:303–310.

Sylvia DM, Schenck NC. 1983. Application of superphosphate to mycorrhizal plants stimulates sporulation of phosphorustolerant vesicular–arbuscular mycorrhizal fungi. New Phytol 95:655–661.

Tabatabai, MA, Bremner JM, 1969. Use of p–nitrophenol phosphate in assay of soil phosphatase activity. Soil Biol Biochem 1:301–307.

Taber RA, Trappe JM. 1982. Vesicular-arbuscular mycorrhiza in rhizomes, scale-like leaves, roots, and xylem of ginger. Mycologia 74:156–161.

Tarafdar JC, Marschner H. 1994. Phosphatase activity in the rhizosphere and hyphosphere of VA mycorrhizal wheat supplied with inorganic and organic phosphorus. Soil Biol Biochem 26:387–395.

Tarafdar JC, Yadav RS, Meena SC. 2001. Comparative efficiency of acid phosphatase originated from plant and fungal source. J Pl Nutr Soil Sci 164:279–282.

Tarafdar JC. 1995. Visual demonstration of in vivo acid phosphatase activity of VA mycorrhizal fungi. Current Sci. 69:541–543.

Tawaraya K, Watanabe S, Yoshida E, Wagatsuma T. 1996. Effect of onion root exudates on the hyphal growth of Gigaspora margarita. Mycorrhiza 6:57– 59.

Taylor J, Harrier L. 2000. A comparison of nine species of arbuscular mycorrhizal fungi on the development and nutrition of micro propagated Rubus idaeus L. cv. Glen Prosen (Red Raspberry). Plant Soil 225:53–61.

Taylor TN, Remy W, Hass H, Kerp H. 1995. Fossil arbuscular mycorrhizae from the Early Devonian. Am J Bot 82:92–99.

Taylor TN, Taylor EL, Krings M. 2009. Paleobotany. The Biology and Evolution of Fossil Plants. Edisi ke 2. New York: Elsevier.

Tinus RW. 1996. Root growth potential as an indicator of drought stress history. Tree Physiol 16:795-799.

Troeh ZI, Loynachan TE. 2009. Diversity of arbuscular mycorrhizal fungal species in soils of cultivated soybean fields. Agron J 101:1453–1462.

Tsakaldimi MN, Ganatsas PP. 2006. Effect of chemical root pruning on stem growth, root morphology and field performance of the Mediterranean pine Pinus halepensis Mill. Sci Hort 109:183–189.


(3)

Turjaman M, Irianto RSB, Sitepu IR, Widyati E, Santoso E, Mas’ud AF. 2003. Aplikasi bioteknologi cendawan mikoriza arbuskula Glomus manihotis dan Glomus aggregatum sebagai pemacu pertumbuhan semai jati (Tectona grandis L.f) asal Jatirogo di persemaian. Prosiding Workshop Nasional Jati, 29 Mei 2003. Yogyakarta: Puslitbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Hlm. 47-61.

Utama MZ, Yahya S. 2003. Peranan mikoriza VA, Rhizobium dan asam humat pada pertumbuhan dan kadar hara beberapa spesies legum penutup tanah. Bull Agron 31:94–99

Uusitalo R, Ylivainio K, Turtola E, Kangas A. 2007. Accumulation and translocation of sparsely soluble manure phosphorus in different types of soils after long–term excessive inputs. Agric Food Sci 16:317–331.

van den Driessche R. 1984. Soil fertility in forest nurseries. Di dalam: Duryea ML, Landis TD (editor). Forest Nursery Manual: Production of Bareroot Seedlings. The Hague: Martinus Nijhoff Publishers. Hlm: 63–74.

van den Driessche R. 1994. Relationship between spacing in the nursery in relation to growth yield, and performance of the stock. Forest Chronicle 60:345-355.

van der Heijden MGA, Sanders IR. 2002. Mycorrhizal ecology: synthesis and perspectives. Hlm. 441–456 Di dalam: van der Heijden MGA, Sanders IR (editor). Mycorrhizal Ecology. Berlin: Springer–Verlag.

van der Heijden MGA, Klironomos JN, Ursic M, Moutoglis P, Streitwolf–Engel R, Boller T, Wiemken A, Sanders IR. 1998. Mycorrhizal fungal diversity determines plant biodiversity, ecosystem variability and productivity. Nature 396:69–72.

Vance ED, Brookes PC, Jenkinson DS. 1987. An extraction method for measuring soil microbial biomass–C. Soil Biol Biochem 19:703–707.

Verhaegen D, Fofana IJ, Logossa ZA, Ofori D. 2010. What is the genetic origin of teak (Tectona grandis L.) introduced in Africa and in Indonesia?. Tree Genetics & Genomes 6:717–733.

Verma RK, Kumar P, Ansari SA. 2001. Comparative physiomorphological performance of half-sib seedlings of ten teak clones under suboptimal and optimal arbuscular mycorrhizal colonisation. J Trop Forest Sci 13: 423-433. Vierheilig H, Coughlan AP, Wyss U, Piché Y. 1998. Ink and vinegar, a simple staining technique for arbuscular–mycorrhizal fungi. Appl Environm Microbiol 64:5004–5007

Voets L, de Boulois HD, Renard L, Strullu DG, Declerck S. 2005. Development of an autotrophic culture system for the in vitro mycorrhization of potato plantlets. FEMS Microbiol. Letters 248:111–118.


(4)

Vosátka M, Albrechtová J. 2009. Benefits of Arbuscular Mycorrhizal Fungi to Sustainable Crop Production. Di dalam : Khan MS, Zaidi A, Mussarat J. (editor). Microbial Strategies for Crop Improvement. Berlin: Springer

Verlag. Hlm 205-224.

Wagner CA, Taylor TN. 1981. Evidence for endomycorrhizae in Pennsylvanian age plant fossils. Science 212:562–563.

Wang B, Qui YL. 2006. Phylogenetic distribution and evolution of mycorrhizas in land plants. Mycorrhiza 16:299–363.

Warren GP, Robinson JS, Someus E. 2009. Dissolution of phosphorus from animal bone char in 12 soils. Nutr Cycl Agroecosyst 84:167–178.

Warren SL, Blazich FA. 1991. Influence of container design on the root circling, top growth and post transplant root growth of selected landscape species. J Environ Hortic 9:141-144.

Watanarojanaporn N, Boonkerd N, Wongkaew S, Prommanop P, Teaumroong N. 2011. Selection of arbuscular mycorrhizal fungi for citrus growth promotion and Phytophthora suppression. Scie Hort 128:423–433.

White KJ. 1991. Teak – some aspects of research and development. FAO Regional Office for Asia and Pacific (RAPA), Publication 1991/17, 53 pp. Widiastuti H, Suharyanto. 2007. Growth response of Calopogonium caeruleum

and Centrosema pubescens ground cover crops toward inoculation of Bradyrhizobium, Aeromonas punctata, and Acaulospora tuberculata. Buletin Plasma Nutfah 13:43-48.

Widiastuti H. 2004. Biologi Interaksi Cendawan Mikoriza Arbuskula Kelapa Sawit Pada Tanah Asam Sebagai Dasar Pengembangan Teknologi Aplikasi Dini. [Desertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB.

Winther JL, Friedman WE. 2008. Arbuscular mycorrhizal associations in Lycopodiaceae. New Phytol 177:790–801.

Wolf DC, Dao TH, Scott HD, Lavy TL. 1989. Influence of sterilization methods on selected soil microbiological, physical, and chemical properties. J Environ Qual 18:39–44.

Woodall GS, Ward BH. 2002. Soil water relations, crop production and root pruning of a belt of trees. Agric Water Manage 53:153–169.

Wooley SC, Paine TD. 2007. Can intra–specific genetic variation in arbuscular mycorrhizal fungi (Glomus etunicatum) affect a mesophyll–feeding herbivore (Tupiocoris notatus Distant)? Ecol Entomol 32:428–434.

Wu FY, Bi YL, Leung HM, Ye ZH, Lin XG, Wong MH. 2010. Accumulation of As, Pb, Zn, Cd and Cu and arbuscular mycorrhizal status in populations of Cynodon dactylon grown on metal–contaminated soils. Appl Soil Ecol 44:213–218.


(5)

Wu QS, Zou YN, Xia RX, Wang MY. 2007. Five Glomus species affect water relations of citrus tangerine during drought stress. Botanical Studies 48:147–154

Yao MK, Desilets H, Charles MT, Boulanger R, Tweddell RJ. 2003. Effect of mycorrhization on the accumulation of rishitin and solavetivone in potato plantlets challenged with Rhizoctonia solani. Mycorrhiza 13:333–336. Ylivainio k, Uusitalo R, Turtola E. 2008. Meat bone meal and fox manure as P

sources for ryegrass (Lolium multiflorum) grown on a limed soil. Nutr Cycl Agroecosyst 81:267–278.

Youngberg CT. 1984. Soil and tissue analysis: tools for maintaining soil fertility. Di dalam: Duryea ML, Landis TD. (editor). Forest Nursery Manual: Production of Bareroot Seedlings. The Hague: Martinus Nijhoff/Dr W. Junk Publishers. Hlm. 75-80.

Yusnaini S, Arif MAS, Lumbanraja J, Nugroho SG, Nonaka M. 2004. Pengaruh jangka panjang pemberian pupuk organik dan inorganik serta kombinasinya terhadap perbaikan kualitas tanah masam Taman Bogo. J Tanah Trop 18:155–162.

Yusnaini S, Arif MAS, Nonaka M. 2001. Effects of indigenous arbuscular mycorrhizae fungi (AMF) from primary forest, secondary forest, and coffee plantation on root colonization, P uptake, and growth of tropical food crops. J Tanah Trop 13:43–50.

Zheng YL, Sun WB, Zhou Y, Coombs D. 2009. Variation in seed and seedling traits among natural populations of Trigonobalanus doichangensis (A. Camus) Forman (Fagaceae), a rare and endangered plant in southwest China. New For 37:285–294.

Zhu Y–G, Cavagnaro TR, Smith SE, Dickson S. 2001. Backseat driving? Accessing phosphate beyond the rhizosphere–depletion zone. Trends Plant Sci 6:194–195.


(6)

Fungi MA jenis G. etunicatum memberikan respon positif yang lebih tinggi dibandingkan A. tuberculata terhadap bahan alam tepung tulang giling yang digunakan untuk memproduksi inokulan FMA. Tidak perlu dilakukan sterilisasi medium tumbuh dan bahan alami yang digunakan untuk memproduksi inokulan G. etunicatum. Pemeliharaan pertumbuhan tanaman inang selama proses produksi inokulan dapat dilakukan dengan menambahkan air sampai batas 50% kapasitas memegang air substrat yang digunakan yaitu zeolit lolos mata saringan 5 mm.

Vermikompos merupakan bahan alami yang efektif untuk menghasilkan inokulan G. etunicatum dengan kerapatan spora > 1000 buah per 100 g substrat. Efektivitas vermikompos untuk memproduksi inokulan tersebut ditentukan oleh kadar hara, takaran, dan ukuran garis tengah butir. Semakin halus ukuran bahan semakin sedikit takaran vermikompos yang dibutuhkan untuk memproduksi inokulan. Penggunaan vermikompos berukuran garis tengah butir < 250 µm sebanyak 150 mg dapat menghasilkan kolonisasi G. etunicatum (99%), bobot kering akar terkolonisasi (268 mg) dan biomassa tanaman kudzu yang maksimal (1298 mg). Penggunaan vermikompos berukuran garis tengah butir < 250 µm dengan sebanyak 50 – 150 mg dapat menghasilkan spora G. etunicatum sebanyak 1528 – 2449 buah per 100 g inokulan.

Formulasi inokulan G. etunicatum bercampur vermikompos efektif meningkatkan pertumbuhan dan kualitas bibit jati yang diperbanyak dengan sistem akar telanjang dan polybag. Formulasi tersebut juga dapat meningkatkan karakteristik kimia dan biologi medium tanam bibit jati yang ditumbuhkan dalam sistem akar telanjang. Penggunaan vermikompos lebih efektif mempercepat pertumbuhan dan bibit jati dibandingkan pupuk NPK.

Produksi inokulan FMA masih memerlukan dukungan berbagai penelitian lain. Di masa mendatang disarankan untuk melakukan penelitian mengenai periodisasi sporulasi FMA, bahan alami yang mampu mempercepat kolonisasi dan sporulasi A. tuberculata, jenis-jenis FMA lain yang kompatibel dengan jati Solomon.