commit to user
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang dijamin dalam Undang-undang Dasar 1945. Hak
menyampaikan pendapat di muka umum tersebut dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, yaitu: Unjuk rasa atau Demonstrasi, Pawai, Rapat Umum dan
atau Mimbarbebas. Demonstrasi pada bulan Juni 2007 yang dilaksanakan di depan Markas Polisi Wilayah Surakarta yang beralamat di Jalan Slamet Riyadi
No. 376 Surakarta merupakan salah contoh peristiwa bentuk penyampaian pendapat di muka umum. Aksi demonstrasi yang dilaksanakan oleh para
demonstran tersebut mempunyai rencana untuk mengadakan audiensi dengan pihak Polwil Surakarta berkaitan hilangnya beberapa orang di wilayah Surakarta.
Sesampainya di depan Markas Polisi Wilayah Surakarta demonstran tidak diperbolehkan mengadakan audiensi kepada Kapolwil Surakarta dikarenakan
rombongan demonstran belum meminta ijin sehingga para demonstran melakukan orasi didepan Markas Polisi Wilayah Surakarta namun didalam orasinya tersebut
mengganggu ketertiban umum dan menghina Institusi Kepolisian Republik Indonesia dan Intelejen.
Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menjelaskan bahwa
“kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara bebas dan
bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Untuk menjamin kebebasan menyampaikan pendapat dilaksanakan
dengan bertanggungjawab, maka dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum diatur mengenai
hak dan kewajiban yang harus dipenuhi bagi setiap masyarakat yang ingin menyampaikan pendapatnya dan bagi pemerintah diharapkan dapat memberikan
perlindungan hukum kepada setiap masyarakat, agar terjaminnya hak
commit to user 2
menyampaikan pendapatnya. Pasal 6 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menjelaskan
bahwa “warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban
dan bertanggung jawab untuk : a.
Menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain; b.
Menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum; c.
Menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. Menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; dan
e. Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.”
Kebiasaan menyatakan pendapat di Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, seyogyanya tidak menimbulkan konflik karena Pancasila
telah mencakup Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab sehingga kebebasan pernyataan pendapat tersebut harusnya tetap dalam
ruang lingkup Pancasila yaitu dengan mengutarakan pendapat melalui cara-cara yang tidak bertentangan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa maupun kemanusiaan
yang adil dan beradab. Tidak dapat disangkal bahwa tindak pidana penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang berada di Indonesia dalam suatu unjuk
rasa atau demonstrasi kenyataannya sering terjadi. Dalam Pasal 207 KUHP telah dijelaskan mengenai tindak pidana penghinaan terhadap kekuasaan umum yang
ada di Indonesia. “Barang siapa menyiarkan, mempertunjukan atau , menempelkan di muka
umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama
satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Hal ini berarti, bahwa segala sesuatu bentuk penghinaan terhadap kekuasaan umum yang ada di Indonesia haruslah ditindak menurut Kitab Undang-Undang
Pidana yang berlaku, tanpa terkecuali penghinaan yang dilakukan oleh demonstran kepada Institusi Kepolisian Republik Indonesia dan Intelejen.
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang kemerdekaan menyampaikan
commit to user 3
pendapat di muka umum juga telah mengatur mengenai hal ini. Dalam Pasal 16 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 menjelaskan bahwa
“pelaku atau peserta pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan perbuatan
melanggar hukum, dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.” Belum semua menyadari bahwa kebebasan pernyataan pendapat tidak
berarti dapat bertentangan dengan hukum atau dapat tanpa mengabaikan hak-hak asasi manusia atau badan umum. Kebebasan pernyataan pendapat dengan cara
yang bertentangan dengan hukum atau Pancasila adalah perbuatan tercela yang perlu dipertimbangkan untuk penjatuhan hukum maksimal Leden Marpaung,
1996 : 104
Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dalam tata susunan
kekuasaan badan-badan penegak hukum dan keadilan, sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia, Institusi Kejaksaan dipimpin oleh seorang Jaksa Agung yang mengendalikan tugas wewenang Kejaksaan. Dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, Jaksa Agung dibantu oleh seorang wakil Jaksa Agung dan beberapa orang Jaksa Agung Muda. Kejaksaan dalam hal menjalankan tugas dan
wewenangnya didukung oleh peraturan perundang-undangan. Peraturan-peraturan tersebut yang terpenting adalah Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disingkat KUHAP, dan PP Nomor 58
Tahun 2010 tentang pelaksanaan KUHAP. Disebutkan dalam penjelasan resmi KUHAP, pembangunan hukum nasional di bidang hukum acara pidana adalah
agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya dan agar dapat dicapai serta ditingkatkan pembinaan setiap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan
fungsi dan wewenang masing-masing. KUHAP sebagai hukum formil yang menegakkan hukum materiil memuat norma-norma proses penegakan hukum
materiil, termasuk wewenang Jaksa sebagai Penuntut Umum untuk melakukan penuntutan pada perkara pidana. Salah satu perkara pidana tersebut adalah
penghinaan terhadap Institusi Kepolisian Republik Indonesia dan Intelejen yang
commit to user 4
dilakukan melalui kebebasan untuk menyampaikan pendapat didepan umum dalam bentuk unjuk rasa atau demonstrasi.
Tindak lanjut terhadap tindak pidana penghinaan terhadap Institusi Kepolisian Republik Indonesia dan Intelejen, Jaksa Penuntut Umum memerlukan
suatu strategi untuk membuktikan didepan persidangan, hal ini bertujuan agar hakim menjatuhkan putusan sesuai dengan tuntutan Jaksa. Strategi Jaksa Penuntut
Umum tersebut dituangkan dalam bentuk konstruksi hukum pembuktian yang diterapkan penuntut umum dalam tindak pidana penghinaan terhadap Institusi
Kepolisian Republik Indonesia dan Intelejen, yaitu meliputi bentuk surat dakwaan, alat bukti yang diajukan dalam persidangan dan pasal yang digunakan
dalam dakwaan Terhadap konstruksi hukum pembuktian yang diterapkan penuntut umum
dalam tindak pidana penghinaan terhadap kekuasaan umum yang ada di Negara Indonesia tersebut, salah satu contoh kasusnya adalah penghinaan terhadap
Institusi Kepolisian Republik Indonesia dan Intelejen, maka penulis ingin mengkaji dan menganalisis lebih mendalam dengan mengadakan penelitian
hukum dengan judul “TINJAUAN TENTANG KONSTRUKSI HUKUM PEMBUKTIAN YANG DITERAPKAN PENUNTUT UMUM DALAM
TINDAK PIDANA PENGHINAAN TERHADAP INSTITUSI KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA DAN INTELEJEN STUDI KASUS NOMOR
REG.PERK.PDM-43SRKTAEp.2082008 ”.
B. Rumusan Masalah