1
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Keagenan
Jensen dan Meckling 1976 menjelaskan di dalam teori keagenan terdapat hubungan yang diibaratkan sebagai sebuah kontrak yang mana satu atau lebih
prinsipal menyewa orang lain dalam hal ini disebut agen, untuk melakukan beberapa jasa demi kepentingan mereka dengan mendelegasikan beberapa
wewenang pembuatan keputusan kepada agen untuk membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal. Permasalahan hubungan keagenan mengakibatkan dua
permasalahan yaitu. 1
Terjadinya informasi asimetris information asymmetry, dimana agen secara umum memiliki lebih banyak informasi mengenai posisi keuangan yang
sebenarnya dari prinsipal. Menurut Ahmad et al. 2012 menyatakan bahwa asimetri informasi berkaitan dengan efektivitas arus informasi dan interaksi
antara prinsipal dan agen dalam melakukan tugas tertentu. 2
Terjadinya konflik kepentingan conflict of interest akibat ketidaksamaan tujuan, dimana agen tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan pemilik.
Kaitan teori keagenan dalam penelitian ini terlihat pada hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan juga hubungan antara masyarakat
principal dengan pemerintah daerah agen. Tamtomo 2010 menyatakan pemerintah pusat melakukan pelimpahan wewenang kepada pemerintah daerah
2 untuk mengatur secara mandiri segala urusan pemerintahan di daerahnya,
sehingga sebagai konsekuensi dari pelimpahan wewenang tersebut, pemerintah pusat menurunkan dana perimbangan, berupa dana bagi hasil, dana alokasi umum
dan khusus yang tujuannya adalah membantu pemerintah daerah baik dalam mendanai kebutuhan pemerintahan sehari-hari maupun memberi pelayanan publik
yang lebih baik kepada masyarakat. 2.1.2 Teori Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi berarti pemberdayaan satu atau lebih lapisan subnasional pemerintah sebagai agen, yang kemudian diminta untuk berperan aktif dalam
pengambilan keputusan atau hanya melaksanakan tugas administrasi dari pusat Rodden, 2006:27. Selanjutnya Bodman et al. 2009 menyatakan secara teoritis
desentralisasi fiskal adalah devolusi tanggung jawab fiskal dan kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang dapat meningkatkan atau
mengurangi pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi suatu daerah diperoleh dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal melalui otonomi
daerah. Fungsi utama dari desentralisasi fiskal adalah untuk meningkatkan efisiensi sektor publik dan menyebabkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang
Faridi, 2011. Maggi dan Ladurner 2009 menyatakan bahwa New Perspective Theory of Fiscal Federalism lebih menekankan untuk melihat ke dalam setiap
keputusan politik yang diambil oleh pemerintah, bagaimana pemerintah eksekutif dan legislatif berperilaku, berperan dan berpikir beserta lembaga-lembaga
mereka.
3 Menurut Mardiasmo dalam Putra, 2015 desentralisasi fiskal menuntut
tiap-tiap daerah mempunyai kemandirian keuangan yang tinggi dengan mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih
adanya bantuan dari pemerintah pusat. Desentralisasi fiskal memberikan struktur insentif yang lebih besar bagi pemerintah untuk menjadi lebih efisien dalam
mengalokasikan sumber daya fiskal, namun itu tidak selalu mengarah pada pertumbuhan yang kuat karena meningkatnya kesenjangan antar daerah terutama
ditingkat kapasitas pembangunan dan sumber daya Tirtosuharto, 2010. Desentralisasi fiskal dapat dibedakan sesuai dengan independensi tingkat
pengambilan keputusan. Pertama, dekonsentrasi berarti penyebaran tanggung jawab dalam pemerintah pusat untuk kantor cabang regional atau unit administrasi
lokal. Kedua, delegasi mengacu pada situasi dimana pemerintah daerah bertindak sebagai agen untuk pemerintah pusat, melaksanakan fungsi-fungsi tertentu atas
nama pusat. Ketiga, devolusi mengacu pada situasi dimana tidak hanya pelaksanaan tetapi juga kewenangan untuk memutuskan apa yang dilakukan
adalah di tangan pemerintah daerah Bird dan Vaillancourt, 1998:3. Tujuan umum dari program desentralisasi fiskal Indonesia adalah untuk
meningkatkan efisiensi operasional antara pusat dan daerah, meningkatkan struktur fiskal pemerintah secara menyeluruh, untuk meningkatkan transparansi
dan akuntabilitas, memperluas partisipasi konstituen dalam pengambilan keputusan di tingkat daerah, mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah
daerah dan menjamin pelayanan publik untuk warga di seluruh negeri,
4 memperbaiki kesejahteraan sosial masyarakat Indonesia dan mendukung stabilitas
ekonomi makro Alm et al. 2004:137.
2.1.3 Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan
dalam masyarakat bertambah Sukirno, 2010:9. Hasan 2012 mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan parameter dari suatu kegiatan pembangunan,
hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi dapat mengukur tingkat perkembangan aktivitas pada sektor-sektor ekonomi dalam suatu perekonomian. Pertumbuhan
perekonomian suatu daerah dapat dilihat dari peningkatan produk domestik
regional bruto PDRB suatu daerah.
PDRB merupakan jumlah nilai output bersih perekonmian yang ditimbulkan dari seluruh kegiatan ekonomi di daerah tertentu, biasanya dihitung
dalam satu tahun. PDRB biasanya digunakan untuk mengukur total nilai barang dan jasa yang dihasilkan pada suatu daerah atau lokal. Untuk mengetahui tingkat
pertumbuhan ekonomi suatu daerah dihitung dengan PDRB harga konstan. Menurut Rahardja dan Manurung 2008:131 penghitungan pertumbuhan
ekonomi bertujuan untuk melihat apakah kondisi perekonomian suatu daerah
makin membaik. 2.1.4 Kinerja Keuangan
Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah gambaran tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan
belanja daerah dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui
5 suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran
Julitawati, 2012. Bentuk keuangan tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari unsur Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah berupa
perhitungan APBD. Terkait dengan pentingnya kinerja, maka yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah pengukuran kinerja. Pengukuran kinerja berfungsi
untuk menilai sukses atau tidaknya suatu organisasi, program, atau kegiatan. Pengukuran kinerja diperlukan untuk menilai tingkat besarnya penyimpangan
antara kinerja aktual dengan kinerja yang diharapkan. Kinerja keuangan adalah suatu ukuran kinerja yang menggunakan
indikator keuangan Sularso dan Restianto, 2011. Analisis kinerja keuangan pada dasarnya dilakukan untuk menilai kinerja di masa lalu dengan melakukan
berbagai analisis sehingga diperoleh posisi keuangan yang mewakili realitas entitas dan potensi-potensi kinerja yang akan berlanjut. Karena menggunakan
indikator keuangan, maka alat analisis yang tepat untuk mengukur kinerja keuangan adalah analisis keuangan. Penggunaan analisis rasio sebagai alat analisis
keuangan secara luas telah diterapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat komersial namun pada lembaga publik, khususnya pemerintah daerah masih
sangat terbatas. Hal tersebut dikarenakan adanya keterbatasan penyajian laporan keuangan pada pemerintah daerah yang sifat dan cakupannya berbeda dengan
penyajian laporan keuangan oleh perusahaan yang bersifat komersil. Penilaian keberhasilan APBD sebagai penilaian pertanggungjawaban pengelolaan keuangan
daerah lebih ditekankan pada pencapaian target, sehingga kurang memperhatikan
6 bagaimana perubahan yang terjadi pada komposisi atau pun struktur APBD
Halim, 2007. Daya serap anggaran dalam konteks belanja barang dan jasa berpengaruh
signifikan pada angka pertumbuhan ekonomi. Hal ini menuntut daerah untuk mengelola tingkat pengeluarannya agar mencapai target pembangunan. Namun
kenyataan di lapangan anggaran tidak sampai terserap 100 dengan asumsi tetap dapat memenuhi setidaknya sekitar 80 hingga 90.
Kemandirian fiskal daerah merupakan salah satu aspek yang sangat penting dari otonomi daerah secara keseluruhan. Menurut Mardiasmo dalam
Putra, 2015 disebutkan bahwa manfaat adanya kemandirian fiskal adalah: 1 mendorong peningkatan partisipasi prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam
pembangunan serta akan mendorong pemerataan hasil –hasil pembangunan
keadilan di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya serta potensi yang tersedia di daerah, 2 memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui
pergeseran pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintah yang lebih rendah yang memiliki informasi yang lebih lengkap. Kemandirian fiskal daerah
menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan PAD seperti pajak daerah, retribusi dan lain-lain. Karena itu otonomi daerah dan
pembangunan daerah bisa diwujudkan hanya apabila disertai kemandirian fiskal yang efektif. Ini berarti bahwa pemerintah daerah secara finansial harus bersifat
independen terhadap pemerintah pusat dengan jalan sebanyak mungkin menggali sumber-sumber PAD seperti pajak, retribusi dan sebagainya.
7
2.1.5 Dana Bagi Hasil
Dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang dialokasikan kepada daerah
berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi UU No.33 Tahun 2004, tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. DBH yang berasal dari pemerintah terdiri dari dua jenis, yaitu DBH pajak dan DBH bukan pajak
sumber daya alam. Pernyataan ini juga didukung oleh penelitian Gugus 2013 dan Santosa 2013. DBH merupakan sumber pendapatan daerah yang cukup
potensial dan merupakan salah satu modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah yang bukan
berasal dari PAD selain DAU dan DAK. Secara teoritis pertumbuhan ekonomi suatu daerah membutuhkan jumlah dana yang besar, untuk itu segenap
penerimaan daerah baik PAD, DBH maupun pendapatan lain yang sah diprioritaskan untuk mendanai belanja daerah untuk keperluan sektor publik, yang
nantinya akan menunjang roda perekonomian dan memaksimalkan angka PDRB tiap tahun. Berlandaskan hal tersebut dapat dinyatakan bahwa DBH berperan aktif
dalam memaksimalkan pertumbuhan ekonomi daerah.
2.1.6 Belanja Langsung
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan
belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja langsung terdiri dari tiga bagian, yaitu.
8 1
Belanja Pegawai Belanja pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun
barang yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang diberikan kepada pejabat negara, Pegawai Negeri Sipil PNS, dan pegawai
yang dipekerjakan oleh pemerintah yang belum berstatus PNS sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan dimana pekerjaan tersebut
berkaitan dengan pembentukan modal. 2
Belanja Barang dan Jasa Belanja barang dan jasa adalah pengeluaran untuk menampung pembelian
barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun tidak dipasarkan, dan pengadaan barang yang
dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat dan belanja perjalanan.
3 Belanja Modal
Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aktiva tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi.Untuk
mengetahui apakah suatu belanja dapat dimasukkan sebagai belanja modal atau tidak, maka perlu diketahui definisi aset tetap atau aset lainnya dan
kriteria kapitalisasi aset tetap.
2.2 Hasil Penelitian Sebelumnya