F. Landasan Teori dan Landasan Konsepsional 1. Landasan Teori
Sistem hukum pidana di Indonesia memperkenalkan dua kunci utama dalam mendeskripsikan tindakan yang dianggap melanggar hukum melawan undang-
undang yaitu, tindakan yang dianggap sebagai suatu pelanggaran dan tindakan yang dianggap sebagai kejahatan. Mengulas hukum pidana, di dalamnya menyangkut
kepentingan masyarakat dan negara. Masyarakat sebagai penghuni suatu negara tentunya memiliki hak dan kewajiban yang tidak jarang hampir selalu bersentuhan
dengan anggota masyarakat lainnya dan tentunya dengan kepentingan negara. Dalam konteks ini, negara memiliki otoritas untuk mengatur dan memberikan jaminan
pemenuhan hak dan kewajiban kepada masyarakat secara luas dan tidak diskriminitif. Penegakan
hukum law enforcement untuk menjerat pelaku kejahatan
lingkungan hidup di dalam sistem pemidanaan dapat mereduksi pendapat Lawrence M Friedman dalam bukunya American Law an Introduction mengatakan bahwa
sistem hukum harus mempunyai struktur.
22
Sistem hukum terus berubah, namun bagian-bagian sistem itu terus berubah dalam kecepatan yang berbeda, dan setiap
bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya. Aspek lain seperti hukum adalah substansinya. Yang dimaksud dengan substansi adalah aturan – aturan, norma,
22
Lawrence M. Friedman terjemahan Wishnu Basuki, American Law An Introduction, Jakarta: PT. Tatanusa, 2001, hlm. 7-8
Universitas Sumatera Utara
dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Kemudian, budaya hukum yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai,
pemikiran, serta harapannya. Pendapat
Lawrence kemudian dipertegas oleh Jimly Asshiddiqie
23
yang menyatakan penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya
atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Dalam arti sempit dari segi subjeknya, penegakan hukum dapat diartikan sebagai upaya yang melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum.
Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku,
berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan
hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum yang diperkenankan untuk menggunakan daya
paksa. Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya yakni dari hukumnya itu sendiri.
24
Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna
23
Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum,http:solusi hukum.comartikel, diakses tanggal 3 Mei 2008
24
Hukum yang baik adalah hukum yang mampu menampung dan membagi keadilan pada orang-orang yang akan diaturnya. Hukum tidak hanya bersifat praktis, efisien dan efektif, melainkan
juga harus bermaksud mewujudkan suatu tatanan yang oleh masyarakat dirasakan adil. Untuk
Universitas Sumatera Utara
yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai- nilai keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.
Di dalam hukum pidana berlaku asas legalitas nullum delictum sine praevia poenali artinya “Tiada suatu perbuatan boleh dihukum kecuali atas kekuatan hukum
pidana dalam undang-undang yang ada terlebih dahulu daripada perbuatan itu”. Apakah orang yang melakukan kesalahan itu dapat dipidana atau tidak hal itu
tergantung apakah ia mempunyai kesalahan. Untuk memberikan arti tentang kesalahan yang merupakan syarat untuk menjatuhkan pidana, delik merupakan
pengertian psyikologis perhubungan antara keadaan jiwa sipembuat dengan terjadinya unsur-unsur delik karena perbuatannya, kesalahan adalah
pertanggungjawaban dalam hukum schuld is de verantwoordelijkheid rechtens. Selanjutnya menurut “vos” berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana
maka prinsip utama yang berlaku adalah harus adanya kesalahan schuld pada pelaku yang mempunyai tiga tanda, yakni:
25
menemukan perasaan masyarakat itu semua unsur yang relevan bagi perasaan masyarakat dalam tertib hukum harus diperhatikan seperti nilai-nilai, norma-norma kehidupan, pola dan struktur hidup
bermasyarakat, peranan sosial, situasi dan keadaan hubungan-hubungan sosial lembaga-lembaga dengan fungsi dan kedudukannya masing-masing. Lihat, Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar
Filsafat Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2002, hal. 53. Lihat juga, Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2004, hlm. 110-111.
25
Ibid, hlm. 34
Universitas Sumatera Utara
1. Kemampuan bertanggung jawab dari orang yang melakukan perbuatan
toerekeningsvatbaarheid van de dader. 2.
Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatannya itu dapat berupa kesengajaan atau kealpaan.
3. Tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban bagi si
pembuat atas perbuatannya itu.
Walaupun prinsipnya bertolak dari pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan liability based on fault namun dalam hal tertentu konsep juga
memberikan kemungkinan adanya pertanggungjawaban yang ketat strict liability. Rancangan Undang-Undang KUH Pidana di dalam Pasal 37 menyebutkan bahwa
“Sebagai pengecualian dari Pasal 35 undang-undang dapat menentukan bahwa untuk tindak pidana tertentu pembuat dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya
unsur-unsur tindak pidana tanpa memperhatikan lebih jauh kesalahan pembuat dalam melakukan tindak pidana tersebut”.
26
Mengenai sifat pertanggungjawaban korporasi badan hukum dalam hukum pidana terdapat beberapa cara atau sistem perumusan yang ditempuh oleh pembuat
undang-undang, yaitu: a.
Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurusnyalah yang bertanggungjawab.
27
b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab.
28
26
Ibid,hlm. 12
27
Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat pelaku dan penguruslah bertanggungjawab, kepada pengurus dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan tersebut
sebenarnya merupakan kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana. Sehingga dalam sistem ini terdapat suatu alasan yang menghapuskan pidana. Dasar
pemikirannya yaitu korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran, melainkan selalu penguruslah yang melakukan tindak pidana itu, dan karenanya penguruslah yang
diancam pidana dan dipidana.
Universitas Sumatera Utara
c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.
29
Kapan dimintakannya pertanggungjawaban pidana kepada badan hukum itu sendiri, atau kepada pengurus badan hukum atau kepada pengurus beserta badan
hukum, ini menjadi permasalahan dalam praktek
30
, karena dalam kasus lingkungan hidup ada kesulitan untuk membuktikan hubungan kausal antara kesalahan di dalam
struktur usaha dan prilakuperbuatan yang secara konkrit telah dilakukan.
31
Untuk menghindari kesulitan pembuktian di atas, memang bisa dilakukan dengan
meletakkan soal dapat tidaknya dimintakan pertanggungjawaban pidana
32
terhadap
28
Dalam hal korporasi sebagai pembuat pelaku dan pengurus yang bertanggungjawab, dipandang dilakukan oleh korporasi yaitu apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi
menurut wewenang berdasarkan anggaran dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan seseorang tertentu sebagai pengurus dari badan hukum tetsebut.
Sifat dari perbuatan yang menjadikan tindak pidana itu adalah onpersoonlijk. Orang yang memimpin korporasi bertanggungjawab pidana, terlepas dari apakah ia tahu atau tidak tentang dilakukannya
perbuatan itu.
29
Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab motivasinya adalah dengan memperhatikan perkembangan korporasi itu sendiri. Ditetapkannya pengurus saja sebagai yang
dapat dipidana ternyata tidak cukup karena badan hukum menerima keuntungan dan masyarakat sangat menderita kerugian atas tindak terlarang tersebut. Periksa juga, Hermien Hadiati Kceswadji, Hukum
Pidana Lingkungan, Bandung: Citra Aditya Bakti,1993, hlm. 77.
30
Smith dan Hogan, Criminal Law. London, Dublin and Edinburgh: Butterworths, 1992 menyatakan bahwa korporasi dapat dimintakan pertanggungan jawaban pidana hanya terbatas kepada
dewan direksi, komisaris atau pihak berwenang lainnya yang mewakili perusahaan.
31
Lihat Guideline for the Criminal Enforcement of Environmental Law, 1994, National Support Bureau of the Dutch Prosecution Service, Netherlands. Dikatakan bahwa: One of the
characteristics is that the committing environmental crime is not one of the objectives of the company as a whole, but that it is part of the management objectives of the company. The improvement of
company results, saving on the required environmental expenses, obtaining a higher turn- over by illegal acts, are the main drive behind this. The crimes first and foremost involve waste.
32
Ada beberapa teori pertanggungjawaban pidana korporasi, diantaranya: 1.
Doktrin pertanggungjawaban pidana langsung Direct Liability Doctrine atau teori Indentifikasi Identification Theory atau disebut juga teoridoktrin alter ego atau teori organ.
Perbuatankesalahan pejabat senior senior officer diidentifikasikan sebagai perbuatan kesalahan korporasi.
2. Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Pengganti Vicarious Liability. Bertolak dari doktrin respondeat superior. Didasarkan pada employment principle bahwa majikan adalah
penanggungjawab utama dari perbuatan buruhkaryawan. 3. Doktrin pertanggungjawaban Pidana yang ketat menurut undang-undang Strict Liability”.
Pertanggungjawaban kotporasi semata-mata berdasarkan undang-undang, yaitu dalam hal
Universitas Sumatera Utara
badan hukum yaitu dengan cara mengklasifikasikan pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban badan hukum untuk melakukan pengawasan serta tidak
dipenuhinya dengan baik fungsi kemasyarakatan yang dimiliki oleh badan hukum.
33
Hal ini tentunya tidak dapat dipisahkan dari duty of care maupun duty of loyality dalam meminta pertanggungjawaban korporasi, artinya bahwa
pertanggungjawaban pidana orang yang memimpin perseroan atau badan hukum dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, terlepas dari apakah ia tahu atau tidak tentang
dilakukannya perbuatan pidana tersebut. Mengingat sifat dari perbuatan yang menjadikan tindak pidana adalah onpersoonlijk.
34
Oleh karenanya terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan perseroan sebagai badan hukum juga
dapat menjadi tanggungjawab pengurus perseroan. Kepengurusan perseroan dilakukan oleh direksi. Keberadaan direksi dalam suatu perseroan merupakan suatu
keharusan atau dengan kata lain perseroan wajib memiliki direksi, karena perseroan tidak dapat berbuat apa-apa tanpa adanya bantuan dari anggota direksi sebagai
“natural person”. Oleh karena itu direksi mempunyai tugas dan tanggungjawab terhadap perseroan. Tugas dan tanggung jawab direksi serta wewenangnya ditetapkan
oleh undang-undang. Dengan demikian keberadaan direksi dalam suatu perseroan
korporasi melanggar atau tidak memenuhi kewajibankondisisituasi tertentu yang ditentukan undang-undang.
33
Pelanggaran terhadap kewajiban korporasi dapat diterapkan doktrin pertangungjawaban pidana yang ketat menurut undang-undang atau yang disebut dengan
.
strict liability , apalagi kalau korporasi tersebut menjalankan usahanya tanpa izin, atau korporasi pemegang izin yang melanggar
syarat-syarat kondisisituasi yang ditentukan dalam izin itu. Lebih lanjut, baca, Smith Hogan, Criminal Law, Butterworths, London, 1992, hlm. 98 - 122.
34
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legalisasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, cet.I Bandung: Utomo, 2004, hlm. 55
Universitas Sumatera Utara
juga diatur berdasarkan undang-undang. Pengurusan perseroan yang berada sepenuhnya di tangan direksi menimbulkan hubungan kepercayaan antara perseroan
sebagai badan hukum dengan direksi sebagai pengurus. Jadi direksi dibebas tugaskan dan kewajiban yang dilaksakan untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Adapun
yang di maksud dengan fiduciary duty adalah “Tugas yang dijalankan oleh Direktur dengan penuh tanggungjawab untuk kepentingan orang atau pihak lain perseroan.
Direksi dengan korporasi sebagai terdapat hubungan fiduciary sehingga pihak direksi hanya bertindak seperti seorang trustee atau agen semata yang mempunyai
kewajiban mengabdi sepenuhnya dan dengan sebaik-baiknya kepada perseroan serta memperhatikan beberapa prinsip-prinsip tanggungjawab direksi dalam menjalankan
perseroan yakni duty of skill care prinsip kehati-hatian dalam tindakan direksi, duty of loyalty iktikad baik dari direksi semata-mata demi tujuan perseroan dan no
secret profit rule doctrine of corporate oppurtunity tidak menggunakan kesempatan pribadi atas kesempatan milik atau peruntukan bagi perseroan serta memiliki tugas-
tugas dan kewajiban yang berdasarkan undang-undang statutory duty.
35
Undang- Undang Perseroan Terbatas yakni Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 mengenal
adanya prinsip fiduciary duty bagi direksi untuk menjalankan dan membuat kebijakan untuk kepentingan perseroan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Bismar
Nasution sebagai berikut:
36
35
Robert J. P, Lebih Jauh tentang Kepailitan, Jakarta: Cetakan I Pusat Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum, Universitas Pelita Harapan, 1998, hlm. 5
36
Bismar Nasution, Diktat Hukum Perusahaan, Medan: Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2010, hlm. 7
Universitas Sumatera Utara
“Perlu ditekankan bahwa kewajiban utama dari direksi adalah kepada perusahaan secara keseluruhan bukan kepada pemegang saham baik secara
individu maupun kelompok, sesuai dengan posisi seorang direksi sebagai trustee dalam perusahaan. Posisi ini mengharuskan seorang direksi untuk
tidak bertindak ceroboh dalam melakukan tugasnya duty of care. Selain itu dalam melakukan tugasnya tersebut seorang direksi tidak boleh mengambil
keutungan untuk dirinya sendiri atas perusahaan duty of loyality”.
Selanjutnya menyangkut penegakan peraturan yang formal menekankan pada berfungsinya dan bersinerginya masing-masing sub sistem peradilan pidana, sebagai
negara yang berdasarkan atas hukum maka bekerjanya sistem peradilan pidana criminal justice system menjadi perioritas utama dalam bidang penegakan hukum.
Oleh sebab itu diperlukan keterpaduan antara subsistem-subsistem di dalam criminal justice system guna menanggulangi meningkatnya kualitas maupun kuantitas
kejahatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Tujuan dari sistem peradilan pidana adalah:
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana. c.
Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
37
Istilah “criminal justice system” menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem.
38
Remington dan Ohlin mengemukakan:
37
Lihat, Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas
Indonesia, 1997, hlm. 84-85
Universitas Sumatera Utara
“Criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu
sistem peradilan pidana merupakan suatu interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.
Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan
hasil tertentu dengan segala keterbatasan”.
39
Istilah sistem dari bahasa yunani “systema” yang mempunyai pengertian suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian whole compounded of several
parts.
40
Secara sederhana sistem ini merupakan sekumpulan unsur-unsur yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan bersama, yang tersusun secara teratur dan saling
berhubungan dari yang rendah sampai yang tinggi. Stanford Optner menyebutkan bahwa sistem tersusun dari sekumpulan komponen yang bergerak bersama-sama
untuk mencapai tujuan keseluruhan.
41
Hagan membedakan pengertian antara “Criminal Justice Process” dan “Criminal Justice system” yang pertama adalah setiap
tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya pada penentuan pidana. Sedangkan yang kedua adalah
interkoneksi antar keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan.
42
Criminal justice system pada hakikatnya merupakan sistem yang berupaya menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan
38
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Presfektif Eksistensialisme dan Abolisianisme, Bandung: Binacipta, 1996, hlm. 14
39
Ibid, hlm. 4
40
Stanford Optner, System Analysis for Business Management, Prentice Hall, Inc., New York, 1968, hal. 3, dalam Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Jakarta: Rajawali, Cet.
I.1986, hlm. 5
41
Ibid
42
Romli Atmasasmita, op.cit, hlm. 14
Universitas Sumatera Utara
negara, masyarakat maupun individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan. Sub sistem yang harus bekerja sama di dalam criminal justice
system. Pada dasarnya, tujuan dari penegakan hukum yang ingin dicapai adalah
pemidanaan, yang untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri, untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan dan untuk
membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara yang
lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.
43
Kemudian, Soerjono Soekanto mengatakan bahwa masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang
mungkin mempengaruhinya sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi dari faktor-faktor itu sendiri, yaitu:
44
2. Faktor hukumnya, yaitu undang-undang.
3. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan
hukum. 4.
Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 5.
Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
6. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
43
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: Armico, 1984, hlm. 11
44
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 8
Universitas Sumatera Utara
2. Landasan Konsepsional