menyelesaikan sengketa lingkungan karena aparat penegak hukum hakim dalam memahami dan menerapkan hukum baru sebatas menggunakan logika peraturan dan
prosedur yang bersifat legal formal. Dalam masalah lingkungan hidup, pembalasan sebagaimana dikenal dalam
hukum pidana hanya memberikan sedikit penawar kepada masyarakat yang mengalami kerusakan lingkungan, yaitu dengan dipidananya pelaku pencemaran atau
perusak lingkungan. Sekalipun ada pemidanaan, kerusakan lingkungan sudah terjadi dan tidak akan pulih, atau apabila amar putusan pengadilan mengharuskan pelaku
untuk memperbaiki kerusakan, maka prosesnya akan memakan waktu yang lama. Penyelesaian masalah lingkungan dapat dilakukan dengan pola kerja sama dengan
cara membentuk semacam “komunitas penanggulangan kerusakan”, yang di dalamnya terhimpun unsur pemerintah dan pengusaha untuk mencoba mencari jalan
keluarnya.
B. Kesulitan Pembuktian Perbuatan Pidana Akibat Kelalaian culpa dan
Kesalahan schuld
Persoalan yang muncul dalam praktek penanganan tindak pidana di bidang lingkungan hidup adalah menyangkut pertanggungjawaban pidana korporasi terutama
menyangkut tentang pembuktian perbuatan pidana akibat kelalaian culpa yang dilakukan oleh pekerjanya dan menimbulkan perbuatan pidana. Pertanggungjawaban
ini tidak dapat dipisahkan dari perkembangan doktrin tentang vicarious liability yang
Universitas Sumatera Utara
menekankan bahwa satu korporasi dapat dikatakan telah menyerahkan kekuasaan untuk bertindak di dalam bidangnya masing-masing kepada seluruh stafnya.
Berdasarkan doktrin ini korporasi harus dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan jahat yang dilakukan oleh pekerjanya.
Korporasi yang akan mengambil alih tanggung jawab untuk kejahatan yang dilakukan oleh pekerja-pekerjanya dapat melepaskan diri dari pertanggungjawaban
apabila telah melaksanakan suatu prinsip a due diligence defence yakni apabila manajemen yang terlibat dalam kejahatan telah mengambil semua langkah-langkah
yang diperlukan untuk mencegah dilakukannya kejahatan tersebut. Tujuan utama dari pendekatan ini adalah untuk mengubah semua kejahatan yang mengandung niat
mens rea yang dilakukan oleh korporasi menjadi kejahatan hybrid, yaitu kejahatan yang dilakukan dengan penggunaan strict liability untuk diminta pertanggungjawaban
secara pidana dan ditambah dengan pembelaan a due diligence.
141
Kejahatan korporasi akan dianggap memiliki signifikasi yang berbeda dibanding dengan kejahatan lainnya dalam pengenaan sanksi pidana sebagai syarat
yang normal dari suatu kejahatan menyangkut tentang pembuktian sehingga dapat merusak fungsi celaan dari hukum pidana.
142
Hal inilah yang dianut pada penerapan
141
http:www.google.co.id, Pertanggungjawaban Korporasi Yang Melakukan Perbuatan Pidana, diakses tanggal 14 Januari 2011
142
Mahmul Mulyadi, Op.cit, hlm. 111, bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah menempatkan juga sanksi
tindakan terhadap korporasi masih terdapat kekaburan dan kerancuan mengenai penetapan sanksi sanksi pidana tambahan dan sanksi tindakan dalam sistem pemidanannya. Hal ini dapat dilihat bahwa
sanksi tambahan yang meliputi perampasan keuntungan yang diperoleh, penutupan seluruh atau sebagian perusahaan, penempatan korporasi dibawah pengampuan, juga termasuk dalam sanksi
tindakan.
Universitas Sumatera Utara
doktrin vicarious liability
143
Kesulitan untuk menerapkan doktirn vicarious liability inilah yang menimbulkan kelemahan dalam proses penegakan hukum pidana
terhadap korporasi dan minimnya putusan pengadilan yang memberikan sanksi pidana bagi pelaku kejahatan yakni korporasi berdasarkan penerapan doktirn
vicarious liability. Pengadilan cenderung menerapkan adanya unsur kesalahan dan niat pelaku yang disertai perbuatan melawan hukum inilah yang menjadi kerangka
untuk mempersangkakan Pertanggungjawaban yang dilakukan korporasi sebagai badan hukum di
bidang lingkungan yang menimbulkan pencemaran dan kerusakan mengharuskan direksi sebagai trustee korporasi di bidang industri dalam menjalankan perseroan
bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip perseroan. Dalam menjalankan perseroan ini tentunya akan melahirkan suatu konsepsi dimintakannya pertanggungjawaban
pidana kepada badan hukum itu sendiri sebagai perseroan, atau kepada pengurus badan hukum atau kepada pengurus beserta badan hukum, ini menjadi
permasalahan dalam praktek
144
. Selanjutnya dalam rangka meminta pertanggungjawaban pelaku berupa
korporasi maka asas tindak pidana tanpa kesalahan asas kesalahan yang berlaku dalam hukum pidana selama ini menghambat penegakan hukum terhadap pelaku
kejahatan yakni korporasi yang melakukan tindak pidana, penyebabnya adalah
143
Ibid
144
Smith dan Hogan, Criminal Law, London, Dublin and Edinburgh: Butterworths, 1992 menyatakan bahwa korporasi dapat dimintakan pertanggungan jawaban pidana hanya terbatas kepada
dewan direksi, komisaris atau pihak berwenang lainnya yang mewakili perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
perangkat hukum perundang-undangan khususnya hukum pidana materil masih mengalami kelemahan karena adanya prinsip pertanggungjawaban karena adanya
kesalahan shuld dan melawan hukum wederechtelijk sebagai syarat untuk pengenaan pidana,
145
berbeda dengan tindak pidana korporasi yang dikategorikan sebagai kejahatan ekonomi economic crime dan kejahatan kerah putih white collar
crime,
146
sehingga untuk pertanggungjawaban suatu perbuatan pidana sebagai tindak pidana di dalam faham KUH Pidana diperlukan beberapa syarat sebagaimana
dirumuskan oleh Pasal 1 ayat 1 KUH Pidana,
147
yakni: 1.
Melakukan perbuatan pidana; 2.
Mampu bertanggungjawab; 3.
Dengan kesengajaan atau kealpaan; dan
145
Bandingkan, Sudarto, Hukum Pidana I, Op.cit, hlm. 85, bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau
bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang- undnag dan tidak dibenarkan an objective breach of a penal provision, namun hal tersebut belum
memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemindanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemindanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan
perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah subjektive guilt. Dengan perkataan lain orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatanya baru dapat dipertanggungjawabkan
kepada orang tersebut.
146
Muladi, Konsep Indonesia Tentang Tindak Pidana di Bidang Perekonomian, Bandung: Penataran Tindak Pidana di Bidang Ekonomi, Fakultas Hukum UNPAR, 1994, hlm. 7 bahwa apabila
kita menggunakan pendekatan teknis maka kejahatan ekonomi lebih menampakkan dirinya sebagai kejahatan di lingkungan bisnis yakni bilamana pengetahuan khusus tentang bisnis diperlukan untuk
menilai kasus yang terjadi. Dalam hal ini batasan yang dapat dikemukakan adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh orang dan atau badan hukum tanpa menggunakan kekerasan bersifat melawan
hukum yang hakekatnya mengandung unsur penipuan, memberikan gambaran salah, penggelapan, manipulasi, melanggar kepercayaan, akal-akalan atau pengelakan peraturan.
147
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Indonesia, Op.cit, hlm. 30 bahwa dasar ada tindak pidana adalah asas legalitas sedangkan
dasar dapat dipidananya perbuatan adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan
seseorang dikatakan mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Seseorang mempunyai kesalahan bilamana pada waktu melakukan tindak
pidana.
Universitas Sumatera Utara
4. Tidak adanya alasan pemaaf atau pembenar.
Prinsip hukum acara pidana yang didasarkan kepada beberapa sistem pembuktian yang dianut.
148
Pada sistem peradilan pidana Indonesia mengandung pembuktian negatif lebih dominan untuk penanganan suatu peristiwa pidana.
149
Konsekuensi yang timbuh adalah penekanan pada alat bukti yang cukup untuk dimulainya proses sistem peradilan pidana penekanan pada pembebanan
pembuktian. Sistem peradilan pidana Indonesia masih berpatokan pada suatu asas ”Geen
straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea”. Misalnya kerangka hukum yang dijadikan dasar oleh penyidik Polri atas adanya laporan terkait
148
Tb. Irman, Hukum Pembuktian Pencucian Uang, Bandung: MQS Publishing Ayyccs Group, 2006, hlm. 135-137, bahwa Masalah pembuktian dalam rangka penegakan hukum pidana pada
penanganan tindak pidana pencucian uang tidak terlepas dari prinsip-prinsip pembuktian yang terdapat di dalam hukum acara pidana. Adapun prinsip yakni:
1. Negatief Wettelijk Bewijsleer atau sistem pembuktian negatif, dalam sistem pembuktian
ini alat-alat pembuktian yang diatur salam undang-undang saja belum cukup, masih dibutuhkan keyakinan hakim sehingga harus ada cukup alat-alat bukti yang diakui
undang-undang dan keyakinan hakim.
2. Positief Wettelijk Bewijsleer yakni tidak dibutuhkan alat-alat bukti lain dalam hal ini
keyakinan hakim, cara pembuktian banyak didasarkan pada alat-alat bukti yang diakui sah oleh undang-undang.
3. Conviction In Time Bloot Gemoedelijkke Overtuiging yakni sistem pembuktian yang
semata-mata pada keyakinan hakim dan tidak terikat dengan alat-alat bukti yang ada. Sehingga pembuktian ini sangat subjektif, seseorang bisa dinyatakan bersalah tanpa bukti
apa-apa yang mendukungnya, sebaliknya pembuktian sistem ini bisa membebaskan seseorang dari perbuatan yang dilakukannya.
4. Conviction In Raissonee Beredeneerde Overtuiging yakni sistem yang menerapkan
bahwa pembuktian didasarkan pada keyakinan hakim dan alasan-alasannya yang menyebabkan keyakinan-keyakinan tersebut dalam pembuktian tidak terikat pada alat-
alat pembuktian yang sah diakui undang-undang saja melainkan dapat mempergunakan alat-alat pembuktian yang lain yang ada di luar undang-undang sebagai alasan yang
menguatkan hakim.
149
Ketentuan ini dapat dilihat pada rumusan Pasal 183 KUHAP yang berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apanbila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Universitas Sumatera Utara
kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup dalam rangka penyelidikan suatu perkara pidana lingkungan hidup yakni berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku
secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu, oleh karena adanya syarat-syarat
dalam undang-undang mengakibatkan Polri sulit untuk membuktikan suatu badan hukum dapat dikenakan suatu perbuatan melawan hukum. Di samping itu, di satu sisi
disebabkan oleh belum terbiasanya penyidik dalam menerapkan asas-asas hukum yang terdapat di dalam undang-undang khususnya dalam meminta
pertanggungjawaban korporasi, di sisi yang lain tergambar bahwa pemahaman penyidik dalam meminta pertanggungjawaban korporasi yang melakukan perbuatan
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup terkait penerapan asas strict liability dan vicorius liability masih sangat lemah.
Penyidik dalam hal ini diartikan sebagai penyidik yang mempunyai kewenangan berdasarkan undang-undang yakni PPNS dan penyidik Polri. Dalam
pelaksanaan tugas PPNS wajib berkoordinasi dengan penyidik Polri. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
khususnya Pasal 94 mensyaratkan bahwa:
1 Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup.
Universitas Sumatera Utara
2 Penyidik pejabat pegawai negeri sipil berwenang: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain;
f. melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup;
g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
h. menghentikan penyidikan; i. memasuki tempat tertentu, memotret, danatau membuat rekaman audio
visual; j. melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan, danatau
tempat lain yang diduga merupakan tempat dilakukannya tindak pidana; danatau
k. menangkap dan menahan pelaku tindak pidana. 3 Dalam melakukan penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat
2 huruf k, penyidik pejabat pegawai negeri sipil berkoordinasi dengan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
4 Dalam hal penyidik pejabat pegawai negeri sipil melakukan penyidikan, penyidik pejabat pegawai negeri sipil memberitahukan kepada penyidik pejabat polisi
Negara Republik Indonesia dan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia memberikan bantuan guna kelancaran penyidikan.
5 Penyidik pejabat pegawai negeri sipil memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum dengan tembusan kepada penyidik pejabat polisi Negara
Republik Indonesia.
6 Hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil disampaikan kepada penuntut umum
. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah
mengklasifikasi kewenangan yang diberikan kepada PPNS, untuk itu Penyidik Pegawai Negeri Sipil PPNS lingkungan hidup dalam melakukan proses penyidikan
sepenuhnya menggunakan hukum acara pidana atau hukum formil, sebagaimana tersebut dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP dan berada dalam koordinasi
Penyidik Polri, sebagai Koordinator dan Pengawas Korwas PPNS. Kendala saat ini menyangkut kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana lingkungan hidup
khususnya PPNS adalah kurangnya pemahaman yang mendasar menyangkut kewenangan yang diberikan oleh KUHAP dengan menegaskan bahwa penyidik yang
diberikan kewenangan penuh dalam melakukan proses penyidikan tindak pidana termasuk tindak pidana perikanan adalah Polri penyidik dan penyidik pembantu.
Lemahnya pemahaman ini mengakibatkan PPNS kurang intensif untuk mengkoordinasikan setiap tindak pidana lingkungan hidup sehingga proses
penegakan hukum sampai dengan tahap peradilan jarang untuk ditemui. Lemahnya pemahaman PPNS terhadap proses penegakan hukum menyebabkan pelaku tindak
Universitas Sumatera Utara
pidana lingkungan hidup belum optimal yang pada akhirnya menimbulkan ego sektoral kelembagaan.
Pembatasan wewenang disebutkan dalam Pasal 7 ayat 2 KUHAP, yang antara lain ditegaskan bahwa penyidik pegawai negeri sipil mempunyai wewenang
sesuai dengan undang-undang yang menjadi landasan hukumnya masing-masing dan di dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik
Polri.
150
Hukum Acara Pidana merupakan hukum yang memuat peraturan-peraturan untuk melaksanakan hukum pidana, karena hukum acara pidana mempunyai fungsi
sebagai alat untuk menyelesaikan segala kepentingan yang berhubungan dengan perbuatan melawan hukum yang diatur dalam hukum pidana. Kegiatan pertama yang
dilakukan dalam proses penyelesaian perkara pidana adalah penyidikan. Tindakan penyidikan dimaksudkan untuk mencari serta mengumpulkan bukti supaya tindak
pidana yang ditemukan dapat menjadi terang dan jelas, serta agar dapat menemukan dan menentukan siapa pelakunya. Menurut Andi Hamzah
bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah ketentuan tentang alat-alat penyidik,
ketentuan tentang diketahuinya terjadinya delik, pemeriksaan di tempat kejadian, pemanggilan tersangka atau terdakwa, penahanan sementara, penggeledahan,
pemeriksaan atau interogasi, berita Acara penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat, penyitaan, penyampingan perkara, pelimpahan perkara
150
M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, 1988, hal 110.
Universitas Sumatera Utara
kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan.
151
Dari keterangan yang telah diuraikan Andi Hamzah tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa tugas penyidik adalah dalam rangka persiapan ke arah
pemeriksaan di muka sidang pengadilan. Para penyidik mempersiapkan alat-alat bukti yang sah, sehingga dapat dipergunakan untuk membuat suatu perkara menjadi
jelasterang dan juga mengungkap siapa pelaku kejahatan atau pelaku tindak pidana. Dalam setiap penyidikan perkara pidana dilakukan oleh penyidik, dalam hal ini
adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selain itu ada juga Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang pada dasarnya mempunyai wewenang untuk menyidik yang
bersumber pada ketentuan undang-undang pidana khusus yang ditetapkan dalam salah satu pasalnya. Kegiatan penyidikan merupakan kegiatan dalam rangka membuat
suatu perkara menjadi terangjelas dan dalam usaha untuk menemukan pelaku tindak kejahatan. Kegiatan penyidikan yang pertama kali dilakukan oleh penyidik dalam
mengungkap suatu kejahatan adalah menemukan barang bukti maupun bekas-bekas kejahatan yang tertinggal pada tempat kejadian pekara TKP atau bagian-bagian
terjadinya kejahatan. Barang bukti pertama yang dicari oleh penyidik adalah menemukan sidik jari pelaku kejahatan, hal ini termasuk dalam lingkup hukum acara
pidana.
151
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi. Jakarta: Sinar Grafika., 2002, hal. 118-119.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya dalam kendala pembuktian untuk meminta pertanggungjawaban pelaku usaha oleh penyidik tidaklah mungkin dapat dipikirkan adanya kesengajaan
atau kealpaan apabila orang itu tidak mampu bertanggungjawab yakni korporasi sebagai pelaku. Begitu pula tidak dapat dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila
orang tidak mampu bertanggungjawab dan tidak pula ada kesengajaan atau kealpaan.
152
Persepsi ini timbul di dalam penyidik karena kerangka hukum Indonesia menganut suatu perinsip praduga tak bersalah, kesalahan adalah pertanggungjawaban
dalam hukum schuld is de veranttwoordelijkheid rechtens dan adanya bukti permulaan yang cukup dalam pengenaan sanksi hukum pidana.
Penerapan pertanggungjawaban pidana Korporasi pada awalnya menghadapi sejumlah masalah hukum, khususnya menyangkut asas tiada pidana tanpa kesalahan
genstrap zonder schuld. Seperti diketahui, tindak pidana tidak berdiri sendiri. Tindak pidana tersebut baru bermakna apabila terdapat pertanggungjawaban pidana.
Ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya dapat dipidana. Untuk dapat dipidananya seseorang, ia harus dapat dimintai
pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan vewijtbaarheid yang objektif terhadap perbuatan yang telah dinyatakan sebagai
tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana
karena perbuatannya. Untuk itu sistem pemidanaan yang dianut dalam konsepsi
152
Ruslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1983, hlm. 75
Universitas Sumatera Utara
penegakan hukum yang mengabaikan pemidanaan bagi pelaku korporasi menyebabkan berbagai kasus penanganan terhadap tindak pidana korporasi tidak
sampai pada proses peradilan pidana. Hal inilah yang menjadi suatu kelemahan perangkat hukum.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN