Pertanggungjawaban Korporasi di bidang Lingkungan Hidup Berdasarkan

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU KORPORASI DI BIDANG

LINGKUNGAN HIDUP

A. Pertanggungjawaban Korporasi di bidang Lingkungan Hidup Berdasarkan

Pertanggungjawaban Tanpa Kesalahan Strict Liability dan Pertanggungjawaban Pengganti Vicarious Liability Pertanggungjawaban tanpa kesalahan sering diartikan secara singkat liability without fault atau dikatakan sebagai “the nature of strict liability offences is that they are crimes which do not require any mens rea with regard to at least one element of their actus reus”. 72 Pada dasarnya pertanggungjawaban mutlak tanpa kesalahan merupakan suatu bentuk kejahatan yang di dalamnya tidak mensyaratkan adanya unsur kesalahan dalam pemidanaan, 73 tetapi hanya disyaratkan adanya suatu perbuatan. 74 Penerapan asas strict liability ini di dalam Undang-Undang Nomor 32 72 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Pres, 1990, hlm. 31-32 73 Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Bahan Penyediaan Bahan-Bahan Kuliah FH UNDIP, 1987, hlm. 85, bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang telah bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Pemidanaan masih diperlukan syarat-syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum tersebut haruslah mempunyai kesalahan atau bersalah berlaku asas tiada pidana tanpa kesalahan “Green Straf Zonder Schuld” atau nulla poena sine culpa. 74 Mahmul Mulyadi, Op.cit, hlm. 59 bahwa prinsip tanggungjawab mutlak strict liability menurut hukum pidana Inggris hanya diberlakukan terhadap perkara pelanggaran ketertiban umum dan kesejahteraan umum yaitu: 1. pelanggaran terhadap tata tertib pengadilan. 2. pencemaran nama baik. 3. mengganggu ketertiban masyarakat, namun demikian kebanyakan strict liability terdapat pada delik-delik yang diatur undang-undang statutory offences;regulatory offences, mala prohibita yang pada umumnya merupakan delik-delik kesejahteraan umum public Universitas Sumatera Utara Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dapat dilihat pada rumusan Pasal 88 yang menyatakan bahwa: “Setiap orang yang tindakannya usahanya, danatau kegiatannya mengunakan B3 menghasilkan danatau mengelola limbah B3 danatau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsure kesalahan. Menurut Alvi Syahrin 75 bahwa bagi tindak pidana yang mengharuskan adanya unsur perbuatan actus reus dan unsur kesalahan mens rea, kedua unsur tersebut actus reus dan unsur kesalahan mens rea tidak harus terdapat pada satu orang saja. Artinya, orang yang melakukan actus reus tidak perlu harus memiliki sendiri mens rea yang menjadi dasar bagi tujuan dilakukan actus reus tersebut, asalkan dalam hal orang itu melakukan actus reus yang dimaksud adalah menjalankan perintah atau suruhan orang lain yang memiliki sikap kalbu yang menghendaki dilakukannya actus reus yang dilakukan oleh pelaku yang tidak memiliki mens rea tidak memiliki sikap kalbu yang salah dan mens rea yang dimiliki oleh orang yang memerintahkan atau menyuruh actus reus itu dilakukan, maka secara gabungan agregasi terpenuhi unsur-unsur actus reus dan mens rea yang diperlukan bagi pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Pembebanan pertanggungjawaban pidana pada korporasi atas tindak pidana yang welfare offences. Termasuk regulatory offences, misalnya penjualan makanan dan minuman, obat-obatan yang membahayakan dan penggunaan gambar dagang yang menyesatkan. Asas strict liability dalam konteks pertanggungjawaban korporasi merupakan solusi atas penempatan korporasi sebagai subjek hukum pidana. Menurut ajaran strict liability, pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan schuld dari pelaku. 75 Alvi Syahrin, Op,cit, hlm. 37 Universitas Sumatera Utara dilakukan oleh seseorang yaitu apabila dipenuhi unsur-unsur atau syarat-syarat sebagai berikut: 76 2. Tindak pidana tersebut baik dalam bentuk commission maupun ommision dilakukan atau diperintahkan oleh personil korporasi yang di dalam struktur organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi, yaitu personil yang memiliki posisi sebagai penentu kebijakan korporasi atau memiliki kewenangan sah untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang mengikat korporasi tanpa harus mendapat persetujuan dari atasannya. Pertanggungjawaban pidana korporasi hanya dapat diberlakukan dalam hal tindak pidana: a. Dilakukan oleh pengurus, yaitu mereka yang menurut anggaran dasar secara formal menjalankan pengurusan korporasi, danatau b. Dilakukan oleh mereka yang sekalipun menurut anggaran dasar korporasi bukan pengurus, tetapi secara resmi memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan yang mengikat korporasi secara hukum berdasarkan: Pertama, pengangkatan oleh pengurus untuk memangku suatu jabatan dengan pemberian kewenangan untuk mengambil keputusan sendiri dalam batas lingkup tugas dan kewajiban yang melekat pada jabatannya itu untuk melakukan perbuatan yang secara hukum mengikat korporasi; atau Kedua, pemberian kuasa oleh pengurus atau oleh mereka sebagaimana tersebut di atas untuk dapat melakukan perbuatan yang secara hukum mengikat korporasi. 3. Tindak pidana yang dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi. Kegiatan tersebut berupa kegiatan intra vires yaitu kegiatan yang sesuai dengan maksud dan tujuan yang ditentukan dalam anggaran dasarnya. 4. Tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi. Artinya apabila tindak pidana itu tidak berkaitan dengan tugas pelaku atau tugas pemberi perintah di dalam korporasi tersebut, sehingga karena itu personil tidak berwenang melakukan perbuatan yang mengikat korporasi, maka korporasi tidak dapat diharuskan untuk memikul pertanggungjawaban pidana. 5. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi. Manfaat dapat berupa keuntungan finansial atau non finansial atau dapat menghindarkanmengurangi kerugian finansial maupun nonfinasial bagi korporasi. 6. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana. 76 Ibid, hlm. 36 Universitas Sumatera Utara Berdasarkan Pasal 116 ayat 1 dan ayat 2 UUPPLH, jika suatu tindak pidana lingkungan dilakukan dilakukan oleh atau atas nama badan usaha maka yang bertanggungjawab secara pidana: Pertama : bisa badan usaha yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 116 ayat 1, atau Kedua : orang-orang mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana lingkungan tersebut, danatau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan tindak pidana lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 116 ayat 1 dan 2 UUPPLH, atau Ketiga : kedua-duanya sebagaimana disebut dalam pertama dan kedua. Kapan dimintakannya pertanggungjawaban pidana kepada badan usaha itu sendiri, atau kepada pengurus badan usaha atau kepada pengurus beserta badan usaha, ini menjadi permasalahan dalam praktek, 77 karena dalam kasus lingkungan hidup, ada kesulitan untuk membuktikan hubungan kausal antara kesalahan di dalam struktur usaha dan prilaku perbuatan yang secara konkrit telah dilakukan. Untuk menghindari kesulitan pembuktian di atas, memang bisa dilakukan dengan meletakkan soal dapat tidaknya dimintakan pertanggungjawaban pidana terhadap badan hukum yaitu dengan cara meng-klasifikasikan pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban badan hukum untuk melakukan pengawasan serta tidak dipenuhinya dengan baik fungsi kemasyarakatan yang dimiliki oleh badan hukum. 78 77 Smith dan Hogan dalam bukunya Criminal Law 1992. Butterworths London, Dublin and Edinburgh, hal. 98-122 menyatakan bahwa korporasi dapat dimintakan pertanggungan jawaban pidana hanya terbatas kepada dewan direksi, komisaris atau pihak berwenang lainnya yang mewakili perusahaan 78 Ibid, bahwa pelanggaran terhadap kewajiban korporasi dapat diterapkan doktrin pertangungjawaban pidana yang ketat menurut undang-undang atau yang disebut dengan . strict liability , apalagi kalau korporasi tersebut menjalankan usahanya tanpa izin, atau korporasi pemegang izin yang melanggar syarat-syarat kondisisituasi yang ditentukan dalam izin itu. Universitas Sumatera Utara Menurut A.L.J. Van Strien, bagaimanapun beratnya akibatdampak dari kriminalitas lingkungan, kita tetap harus memperhatikan aspek-aspek pembatasan penyelenggaraan kekuasaan dari asas legalitas maupun asas kesalahan. Cara bagaimana kedua asas itu dikonkritasikan, tergantung pada tindak pidana yang dilakukan. 79 Menetapkan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana, dapat dengan berpatokan pada kriteria pelaksanaan tugas danatau pencapaian tujuan-tujuan badan hukum tersebut. Badan hukum diperlakukan sebagai pelaku jika terbukti tindak bersangkutan dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas danatau pencapaian tujuan badan hukum, juga termasuk dalam hal orang karyawan perusahaan yang secara faktual melakukan tindak bersangkutan yang melakukannya atas inisiatif sendiri serta bertentangan dengan instruksi yang diberikan. Namun dalam hal yang terakhir ini tidak menutup kemungkinan badan hukum mengajukan keberatan atas alasan tiadanya kesalahan dalam dirinya. Selanjutnya, menetapkan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana, dapat dilihat dari kewenangan yang ada pada badan hukum tersebut. Badan hukum secara faktual mempunyai wewenang mengatur menguasai danatau memerintah pihak yang dalam kenyataan melakukan tindak terlarang. Badan hukum yang dalam kenyataannya kurang tidak melakukan danatau mengupayakan kebijakan atau tindak pengamanan dalam rangka mencegah dilakukannya 79 Lihat A.L.J. Van Strien, Guideline for the Criminal Enforcement of Environmental Law, 1994, National Support Bureau of the Dutch Prosecution Service, Netherlands. Dikatakan bahwa: One of the characteristics is that the committing environmental crime is not one of the objectives of the company as a whole, but that it is part of the management objectives of the company. The improvement of company results, saving on the required environmental expenses, obtaining a higher turn- over by illegal acts, are the main drive behind Universitas Sumatera Utara tindak terlarang dapat diartikan bahwa badan hukum itu menerima terjadinya tindakan terlarang tersebut, sehingga badan hukum dinyatakan bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Memperhatikan ketentuan Pasal 67 UUPPLH dan Pasal 68 UUPPLH yang menetapkan: kewajiban setiap orang memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup dan menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup danatau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dan ketentuan Pasal 116 UUPPLH, menjadikan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi di bidang lingkungan hidup dikenakan kepada badan hukum dan para pengurusnya direktur, para manajer yang bertanggungjawab dalam pengelolaan lingkungan hidup perusahaan, bahkan dapat dimintakan kepada para pemegang saham 80 maupun para 80 Dalam Pasal 3 Ayat 2 UUPT disebutkan bahwa tanggungjawab pemegang saham menjadi tidak terbatas apabila: 1. Persyaratan perseroan sebagai bukan hukum belum atau tidak terpenuhi. 2. Pemegang saham yang berangkutan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan Pribadi. 3. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan. 4. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan. Universitas Sumatera Utara komisaris 81 secara bersama-sama, dalam hal kegiatan danatau usaha korporasi tersebut menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup. Selanjutnya dalam kerangka pertanggungjawaban korporasi di bidang lingkungan hidup sebagai pedoman dapat dikemukakan beberapa pemikiran sebagai berikut: 82 1. Perbuatan dari perorangan dapat dibebankan pada badan hukum, apabila perbuatan-perbuatan tersebut tercermin dalam lalu lintas sosial sebagai perbuatan-perbuatan badan hukum; 2. Apabila sifat dan tujuan dari pengaturan telah menunjukkan indikasi untuk pembuat pidana, untuk pembuktian akhir pembuat pidana, di samping apakah perbuatan tersebut sesuai dengan tujuan status dari badan hukum dan atau sesuai dengan kebijaksanaan perusahan bedrijfpolitiek, maka yang terpenting adalah apabila tindakan tersebut sesuai dengan ruang lingkup pekerjaan feitelijkewerkzaamheden dari badan hukum ; 3. Badan hukum dapat diperlakukan sebagai pelaku tindak pidana bilamana perbuatan yang terlarang yang untuk pertanggungjawabannnya dibebankan atas badan hukum dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas danatau pencapaian tujuan-tujuan badan hukum tersebut; 4. Badan hukum baru dapat diberlakukan sebagai pelaku tindak pidana apabila badan tersebut “berwenang untuk melakukannya, terlepas dari terjadi atau tidak terjadinya tindakan, dan di mana tindakan dilakukan atau terjadi dalam operasi usaha pada umumnya” dan “diterima atau biasanya diterima secara demikian” oleh badan hukum Ijzerdraad- Arrest HR 1954, syarat kekuasaan machtsvereiste mencakup : wewenang mengatur menguasai danatau memerintah pihak yang dalam kenyataan melakukan tindakan terlarang tersebut ; mampu melaksanakan wewenangnya dan pada dasarnya mampu mengambil keputusan-keputusan tentang hal yang bersangkutan ; dan mampu mengupayakan kebijakan atau tindakan pengamanan dalam rangka mencegah dilakukannya tindakan terlarang; selanjutnya syarat penerimaan akseptasi aanvaardingsvereiste, hal ini terjadi apabila ada kaitan erat antara proses pengambilan atau pembentukan keputusan di dalam badan hukum dengan tindakan terlarang tersebut. Juga apabila ada kemampuan untuk mengawasi 81 Pertanggungjawaban pidana terhadap para pemegang saham maupun komisaris merupakan penerapan dari teori penyingkapan tirai perusahaan piercing the corporate veil. Penerapan teori piercing the corporate veil perlu kearifan, kehati-hatian dan pemikiran dalam suatu cakrawala hukum dengan visi yang perspektif dan responsif pada keadilan. Penerapan teori pierching the corporate veil perlu memperhatikan teori tentang keterpisahan badan hukum. Lebih lanjut baca: Robert W. Hamilton, 2001, Cases and Materials on Corporations Including Partnerships and Limited Liability Companies, American Casebook Series, West Group, hal. 298 - 355. Munir Fuady, Op cit, hal. 1- 30. 82 Muladi, Penerapan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bahan Kuliah Kejahatan Korporasi, hlm. 17. Universitas Sumatera Utara secara cukup . Hal ini menggambarkan bahwa hukum Belanda telah bergerak cepat meninggalkan teori-teori tradisional tentang pertanggungjawaban pidana korporasi seperti “vicarious liability” dan “identification theory”. Kasus-kasus yang actual mendasarkan pertanggungjawaban korporasi pada prinsipnya pada 2 dua faktor yaitu : a power of the corporation to determine which act can be performed by its employees; dan b the acceptance of these acts in the normal course of business; Mahkamah Agung Belanda memutuskan bahwa perbuatan karyawan hanya akan dipertimbangkan sebagai perbuatan pimpinan korporasi apabila a perbuatannya dalam kerangka kewenangannya untuk menentukan pegawai tersebut untuk berbuat; dan b perbuatan karyawan masuk dalam kategori perbuatan yang ‘accepted’ oleh perusahan dalam kerangka operasionalisasi bisnis yang normal ; 5. Kesengajaan badan hukum terjadi apabila kesengajaan itu pada kenyataannya tercakup dalam politik perusahan, atau berada dalam kegiatan yang nyata dari perusahan tertentu. Dalam kejadian-kejadian lain penyelesaian harus dilakukan dengan konstruksi pertanggungjawaban toerekeningsconstructie; kesengajaan dari perorangan natuurlijke persoon yang berbuat atas nama korporasi sehingga dianggap juga dapat menimbulkan kesengajaan badan hukum tersebut; 6. Kesengajaan suatu organ dari badan hukum dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam hal-hal tertentu, kesengajaan dari seorang bawahan, bahkan dari orang ketiga, dapat mengakibatkan kesengajaan badan hukum ; 7. Pertanggungjawaban juga bergantung dari organisasi internal dalam korporasi dan cara bagaimana tanggungjawab dibagi; demikian pula apabila berkaitan dengan masalah kealpaan; 8. Pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota direksi dapat dianggap sebagai kesengajaan badan hukum; bahkan sampai pada kesengajaan kemungkinan. Menurut Loebby Loqman 83 masalah pertama dalam pembahasan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi adalah apa yang dimaksud dengan korporasi itu ?. Dalam diskusi yang dilakukan oleh para sarjana berkembang 2 dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah suatu kumpulan dagang yang berbadan hukum. Jadi dibatasi bahwa korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah korporasi yang sudah berbadan hukum. Alasannya adalah bahwa dengan sudah berbadan hukum, telah jelas susunan pengurus serta sejauhmana hak dan kewajiban dalam korporasi tersebut. Pendapat lain adalah yang 83 Loebby Loqman, Kapita Selekta Tindak Pidana Di Bidang Perekonomian, Jakarta: Datacom, 2002, hlm 32. Universitas Sumatera Utara bersifat luas; dimana dikatakan bahwa korporasi tidak perlu harus berbadan hukum. Setiap kumpulan manusia, baik dalam hubungan suatu dagang ataupun usaha lainnya, dapat dipertanggungjawabakan secara pidana. Dalam kaitannya dengan hal ini lanjutnya bahwa ternyata terdapat kelemahan dalam bidang perundang-undangan di Indonesia, yakni sejauh ini Indonesia belum mempunyai Undang-Undang korporasi, seperti halnya ‘corporate law’ di Amerika Serikat atau undang-undang tentang perseroan di Belanda. Meskipun sudah ada undang-undang tentang perseroan di Indonesia ternyata masih harus diperbaharui untuk disesuaikan dengan perkembangan sistem perekonomian dunia. Dengan adanya ketentuan tentang korporasi dalam suatu perundang-undangan akan lebih mudah untuk menunjukkan sejauhmana pertanggungjawaban dalam korporasi tersebut. 84 Melihat kenyataan dewasa ini di mana korporasi semakin memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat khususnya dalam bidang ekonomi, sehingga doktrin universitas delinquere non potest badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana sudah mengalami perubahan dengan diterimanya konsep pelaku fungsional menurut Rolling 85 pembuat delik memasukkan korporasi ke dalam “functioneel daderschap ”. Berdasarkan hal ini bahwa korporasi sebagai subjek tindak pidana, maka hal ini menimbulkan permasalahan yang menyangkut pertanggungjawabannya dalam hukum pidana. Sebab berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana, selama ini di Indonesia menganut asas kesalahan . Artinya bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang tersebut telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan bersifat melawan hukum, tapi pada pelaku harus ada unsur kesalahan, atau 84 Ibid 85 Rolling, Dalam Muladi, Dwidja Priyatno, Op cit, hlm 8. Universitas Sumatera Utara yang dikenal dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan Geen straf zonder schuld; keine strafe ohne schuld. Asas ini tidak tercantum dalam KUHP Indonesia atau dalam peraturan lain, namun berlakunya asas tersebut sekarang tidak diragukan lagi , sebab akan bertentangan dengan rasa keadilan apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah. Adapun kesalahan dapat berupa kesengajaan atau kealpaan. 86 Dengan diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana, maka timbul permasalahan yang menyangkut pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum pidana, yaitu apakah badan hukum korporasi dapat mempunyai kesalahan, baik berupa kesengajaan atau kealpaan. Karena sangat sukar untuk menentukan ada atau tidak adanya kesalahan pada korporasi, ternyata dalam perkembangannya khususnya yang menyangkut pertanggungjawaban pidana korporasi dikenal adanya “pandangan baru” atau katakanlah pandangan yang berlainan, bahwa khususnya untuk pertanggungjawaban dari badan hukum korporasi, asas kesalahan tidak berlaku mutlak, sehingga pertanggungjawaban pidana yang mengacu pada doktrin “strict liability” dan “vicarious liability” yang pada prinsipnya merupakan penyimpangan dari asas kesalahan, hendaknya dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penerapan tanggung jawab korporasi dalam hukum pidana. 87 Menurut Barda Nawawi Arief Strict liability adalah : Si pembuat sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undangundang tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. 88 Pertanggungjawaban ini 86 Ibid 87 Ibid 88 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994, hlm. 28. Universitas Sumatera Utara sering diartikan dengan pertanggungjawaban tanpa kesalahan liability without fault. Vicarious liability sering diartikan “pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain”, 89 secara singkat sering diartikan “pertanggungjawaban pengganti”. Persamaan dan perbedaan antara “strict liability” dan “vicarious liability” adalah sebagai berikut : persamaannya adalah baik “strict liability” maupun ”vicarious liability” tidak mensyaratkan adanya “mens rea” atau unsur kesalahan pada orang yang dituntut pidana. Perbedaannya terletak pada “strict liability crimes” pertanggungjawaban bersifat langsung dikenakan pada pelakunya, sedangkan “vicarious liability” pertanggungjawaban pidana bersifat tidak langsung. Pertanggungjawaban pidana selain berdasarkan kedua doktrin di atas, di Inggris dikenal pula asas identifikasi, dimana korporasi dipertanggungjawabkan sama dengan orang pribadi. Pada asas ini “mens rea” tidak dikesampingkan seperti halnya pada “strict liability” dan “vicarious liability”. 90 Berdasarkan statute law, vicarious liability dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut: 91 1. Seseorang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, apabila terdapat adanya pendelegasian the delegation principle; 2. Seorang majikan atau pemberi kerja dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pekerjanya apabila menurut hukum perbuatan dipandang sebagai perbuatan majikan. 89 Ibid, hlm. 33. 90 Ibid 91 Clarkson and Keating dalam Mahmul Mulyadi, Op.cit, hlm. 61 Universitas Sumatera Utara Penerapan suatu prinsip tanggung jawab pelaku praktik tindak pidana di bidang lingkungan hidup tergantung kepada keadaan tertentu. Setidak-tidaknya ada 3 tiga prinsip atau teori mengenai tanggung jawab yang kenal adalah : 1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas adanya unsur kesalahan fault laibility, liability based on fault principle. 2. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas praduga rebut table preruption of liability principle. 3. Prinsip tanggung jawab mutlak no fault liability, absolute atau strict liability principle. 92 Fokus pembahasan di sini adalah menunjukkan perbedaan-perbedaan pokok dari ketiga macam prinsip tanggung jawab tersebut, yaitu sebagai berikut :

1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan atas adanya unsur kesalahan fault

liability, liability based on fault principle Hukum acara pidana 93 yang menjadi kerangka proses perkara pidana pada dasarnya dapat dilaksanakan meskipun baru ada persangkaan adanya orang yang melanggar atau memenuhi aturan hukum pidana. Ini berarti hukum acara pidana 92 H. Endang Saefullah, Beberapa Masalah Pokok tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Udara, Bandung: LPPM Universitas Islam Bandung, 1995, hlm. 1-9 93 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983, hlm. 19, bahwa hukum acara pidana mempunyai tiga tugas pokok yakni : Pertama, mencari dan mendapatkan kebenaran materil. Kedua, memberikan suatu putusan hakim. Ketiga, melaksanakan putusan hakim. Universitas Sumatera Utara