Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Di Kota Binjai

(1)

KEBIJAKAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP MENURUT

UNDANG - UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1997 DI KOTA BINJAI

T E S I S

OLEH :

ELYUZAR SIREGAR

NIM : 057005050

HUKUM EKONOMI

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(2)

NASKAH PUBLIKASI

Judul Tesis : KEBIJAKAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1997 DI KOTA BINJAI. Nama Mahasiswa : ELYUZAR SIREGAR

Nomor Pokok : 057005050

Program Studi : HUKUM EKONOMI

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH MH K e t u a

Prof. H. Syamsul Arifin, SH.MH Prof. Muhammad Abduh, SH A n g g o t a A n g g o t a


(3)

INTISARI

KEBIJAKAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP MENURUT UNDANG - UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1997 DI KOTA BINJAI

Oleh :

Elyuzar Siregar* Bismar Nasution**

Syamsul Arifin** Muhammad Abduh**

Kebijakan lingkungan hidup merupakan perwujudan dari pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan (sustainability) dan berkeadilan seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam lingkungan yang lebih baik dan sehat, artinya dalam penyediaan, penggunaan, peningkatan kemampuan sumberdaya alam dan peningkatan taraf ekonomi, perlu menyadari pentingnya pelestarian fungsi lingkungan hidup, kesamaan derajat antar generasi, kesadaran terhadap hak dan kewajiban masyarakat, pencegahan terhadap pembangunan yang merusak (destruktif) yang tidak bertanggungjawab terhadap lingkungan, serta berkewajiban untuk turut serta dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan pada setiap lapisan masyarakat. Pengelolaan lingkungan hidup di daerah diwujudkan melalui kebijakan pemerintah daerah dalam pengelolaan lingkungan hidup yang bertujuan untuk menciptakan pembangunan daerah berkelanjutan berwawasan lingkungan hidup harus didukung atas kerjasama yang erat serta memiliki komitmen yang kuat antar lembaga/instansi yang berkaitan dengan sosial, kultur maupun kependudukan, sehingga apa-apa saja kendala yang dihadapi dapat diatasi hal inilah yang menjadi landasan dan tolak ukur keberhasilan pembangunan di kota Binjai.

Permasalahan yang timbul dalam pengelolaan hidup di kota Binjai dalam penelitian ini adalah Bagaimana penerapan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam perspektif otonomi daerah dan Bagaimana pelaksanaan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di Kota Binjai.

Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif, yang bersifat deskriptif analitis, sumber data yang dipergunakan untuk mendukung penelitian ini adalah data sekunder, yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Analisis data dilakukan secara kualitatif yang ditafsirkan secara logis dan sistematis, kerangka berpikir deduktif dan induktif akan membantu penelitian ini khususnya dalam taraf konsistensi, serta konseptual dengan prosedur

*

Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara. **

Dosen Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara. **

Dosen Sekolah Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara. **


(4)

dan tata cara sebagaimana yang telah ditetapkan oleh asas-asas hukum yang berlaku umum dalam perundang-undangan.

Hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini adalah bahwa Otonomi daerah telah memberikan kewenangan penuh kepada setiap pemerintah daerah secara proporsional untuk mengembangkan potensi yang ada dalam proses pembangunan yang terencana dengan baik, realistik dan strategik dan bernuansa lingkungan yang dalam jangka panjang dapat menjamin pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Oleh karena itu peran pemerintah daerah kota Binjai dalam perumusan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup sangat diperlukan untuk mengurangi terjadinya dan pemanfaatan sumberdaya alam dengan tetap memperhatikan memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan, penghormatan hak-hak asasi manusia, demokrasi, kesetaraan gender dan pemerintah yang baik. Pelaksanaan kebijakan pengelola lingkungan hidup di kota binjai merupakan bagian dari pembangunan nasional yang sejalan dalam rangka implementasi otonomi daerah, berbagai kebijakan dan program yang telah dilakukan bertujuan dalam rangka peningkatan pembangunan daerah yang berwawasan lingkungan dengan tetap beracuan kepada Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi sumberdaya alam dan lingkungan serta memberikan kesempatan kepada masyarakat adat dan lokal untuk dapat berperan aktif sehingga pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan di kota Binjai dapat tetap terjamin.

Saran dalam penelitian ini adalah agar pemerintah kota Binjai mengembangkan potensi sumberdaya alam yang ada untuk menunjang pembangunan berkelanjutan yang meliputi aspek pelestarian, kesejahteraan sosial dengan melakukan, memperluas area hutan kota; meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat dalam pengurusan izin; melakukan sosialisasi yang rutin kepada masyarakat dan pelaku usaha dan/atau kegiatan terhadap pentingnya pengelolaan lingkungan hidup dan diharapkan kepada pemerintah daerah kota Binjai setiap mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan proses pembangunan daerahnya tetap memperhatikan aspek pengelolaan lingkungan hidup dan melibatkan peran serta masyarakat untuk aktif dalam pengelolaan lingkungan hidup, sehingga secara dini dapat diantisipasi munculnya permasalahan dan resiko lingkungan yang negatif.


(5)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN

DAFTAR ISI ... i

ABSTRACT ... ii

INTISARI ... iii

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Keaslian Penelitian ... 6

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 6

G. Metode Penelitian ... 9

H. Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 12

I. Kesimpulan ... 24


(6)

BAB II : PENGATURAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP…. 23

A. Peraturan Perundang-undangan Pengelolaan Lingkungan Hidup 22 B. Peraturan Daerah Kota Binjai Dalam Pengelolaan Lingkungan

Hidup ... 31

C. Kebijakan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut UUPLH ... 44

D. Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut UUPLH ... 46

BAB III : PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH ... 69

A. Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam Perspektif Otonomi Daerah ... 69

B. Wewenang Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Berdasarkan UUPLH ... 84

BAB IV : PELAKSANAAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI KOTA BINJAI ... 88

A. Gambaran Umum Kota Binjai ... 88

B. Pelaksanaan Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Di Kota Binjai ... 94

C. Hambatan dan Kendala ... 136

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 143

A. Kesimpulan ... 143


(7)

(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia dan lingkungan pada hakekatnya ibarat satu bangunan yang

seharusnya saling menguatkan karena manusia amat bergantung pada lingkungan, sedang lingkungan juga bergantung pada aktivitas manusia. Namun dilihat dari sisi manusia maka lingkungan adalah sesuatu yang pasif, sedang manusialah yang aktif, sehingga kualitas lingkungan amat bergantung pada kualitas manusia.

Sasaran kebijakan lingkungan hidup adalah merupakan perwujudan dari pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan (sustainability) dan berkeadilan seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam lingkungan yang lebih baik dan sehat.1

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan standar yang tidak hanya ditujukan bagi perlindungan lingkungan, melainkan juga bagi kebijaksanaan pembangunan. Artinya, dalam penyediaan, penggunaan, peningkatan kemampuan sumberdaya alam dan peningkatan taraf ekonomi, perlu menyadari pentingnya pelestarian fungsi lingkungan hidup, kesamaan derajat antar generasi, kesadaran terhadap hak dan kewajiban masyarakat, pencegahan terhadap pembangunan yang merusak (destruktif) yang tidak bertanggungjawab terhadap

1

Sunoto, 1997, Analisis Kebijakan dalam Pembangunan Berkelanjutan, Bahan Pelatihan Analisis Kebijakan Bagi Pengelola Lingkungan, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta : hal. 10.


(9)

lingkungan, serta berkewajiban untuk turut serta dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan pada setiap lapisan masyarakat.2

Untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan diwujudkan dengan sebuah kebijakan yang merupakan suatu keputusan dalam upaya memecahkan suatu permasalahan yang melibatkan banyak pihak dan sumberdaya yang tidak sedikit. Sehingga diperlukan suatu pertimbangan yang serius dalam menentukan serta menetapkan suatu kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup tergolong pada kebijakan bagi kepentingan umum. Dengan demikian kepentingan seluruh lapisan masyarakat akan ditentukan oleh kebijakan tersebut.3

Pembangunan berkelanjutan pertama kali di perkenalkan pada Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (selanjutnya disebut PBB) tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development) atau yang dikenal dengan Konferensi Tingkat Tinggi (Earth Summit) yang diselenggarakan pada bulan Juni 1992 di Rio De Jeneiro, merupakan tonggak sejarah yang menyatukan para Kepala Negara dan Pejabat Pemerintah dari seluruh dunia bersama dengan utusan Badan-Badan PBB, organisasi Internasional dan utusan lainnya dari berbagai organisasi non pemerintah (Ornop). Konferensi yang dihadiri oleh 179 negara tersebut secara jelas menyatakan bahwa pembangunan nasional atau

2

Alvi Syahrin, Pembangunan Berkelanjutan (Perkembangannya, Prinsip-Prinsip dan Status

Hukumnya) (Medan : Fakultas Hukum USU, 1999), hal. 27. Perhatikan juga, Koesnadi

Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Edisi ke-7 1999, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, hal. 18-19.

3


(10)

negara tidak bisa lagi memisahkan antara pengelolaan lingkungan dengan pembangunan sosial ekonomi sebagai bidang-bidang yang terpisah, mengandung prinsip-prinsip dasar yang harus dilandasi setiap keputusan dan kebijakan pemerintah dimasa depan, dengan mempertimbangkan implikasi lingkungan terhadap pembangunan, sosial ekonomi.

Adapun modal pembangunan integrasi dimensi lingkungan keseluruh sektor pembangunan terkait merupakan suatu prasyarat. Agenda 21 yang merupakan program kerja besar untuk abad ini sampai dengan abad 21 dan cerminan konsensus yang dicapai oleh 179 negara tersebut, merupakan dokumen cetak biru dalam mewujudkan hubungan kemitraan global yang bertujuan terciptanya keserasian antara dua kebutuhan penting, yaitu lingkungan yang bermutu tinggi dan perkembangan serta pertumbuhan ekonomi yang sehat bagi seluruh penduduk dunia.

Dengan adanya konferensi tersebut, pemerintah Indonesia dengan cepat telah menyusun suatu rencana guna memenuhi persyaratan umum dari prinsip-prinsip pembagian lingkungan serta tujuan umum dari KTT bumi dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Dalam hal ini Pemerintah mempunyai kewenangan untuk menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Untuk menindaklanjuti hasil dari konferensi tersebut Pemerintah diberi kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Oleh karena itu diterbitkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang


(11)

Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UULH) yang di ubah dengan dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UUPLH).

Kemudian UUPLH ini dalam pelaksanaannya didukung dengan keluarnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 kemudian diubah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini memberi kewenangan seluas-luasnya kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumberdaya alam dan lingkungan hidup sebaik mungkin untuk kepentingan masyarakat dalam rangka pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) juncto Pasal 17 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pengelolaan sumber daya alam ini dilakukan pemerintah daerah dalam hubungannya dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah lainnya.

Dengan berlakunya Otonomi Daerah, telah memberikan kewenangan yang nyata dan bertanggungjawab pada Pemerintahan Kota Binjai untuk menggali dan melaksanakan pembangunan daerah sesuai dengan potensi yang terdapat di daerah tersebut. Terutama untuk dapat mengantisipasi masalah-masalah lingkungan yang terjadi akibat kecepatan dinamika perubahan pembangunan.

Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan tersebut pemerintah kota Binjai diperlukan membuat sebuah kebijakan dan sebuah perencanaan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sehingga dapat memberikan jaminan, perlindungan, kepastian, dan arah bagi pengelolaan lingkungan hidup. Instrumen yang dibutuhkan untuk itu adalah undang-undang yang mengatur tentang pengelolaan


(12)

lingkungan hidup, yaitu UUPLH.4 Undang-undang ini berfungsi mengatur, juga berfungsi sebagai pemberi kepastian, pengamanan, pelindung dan penyeimbang, yang sifatnya dapat tidak sekedar adaftif, fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif. Potensi undang-undang ini terletak pada dua dimensi utama dari fungsi hukum yaitu fungsi preventif dan fungsi represif. 5 Dimensi fungsi UUPLH merupakan instrumen yang tidak hanya potensial untuk mengatur dan menjaga harmonisasi kehidupan masyarakat, melainkan juga potensial untuk merekayasa masyarakat dalam hal ini hukum sebagai sarana perubahan sosial atau sarana pembangunan.

UUPLH merupakan sarana bagi pembangunan berwawasan lingkungan, dengan mengoperasionalkan dan memberdayakan hukum sebagai langkah yang harus diambil untuk memacu kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat dan aparat penegak hukum serta mengefektifkan pelaksanaan hukum (law enforcement).

UUPLH telah mempresentasikan hak-hak masyarakat secara sosial, ekonomi, hukum dan politik untuk berpartisipasi dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dengan demikian persoalan-persoalan pengelolaan lingkungan hidup harus memiliki prinsip-prinsip dasar bagi berkembangnya demokratisasi, transparansi dan independensi sebagai pelaksanaan good governance (tata pemerintahan yang efektif).

Penelitian ini di fokuskan di kota Binjai, karena Penulis ingin melihat peran pemerintah daerah dalam menerapkan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup

4

Lili Rasjidi dan I.B. Wiyasa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung : Remaja Rosdakarya, hal. 118.

5


(13)

di Kota Binjai, hal ini dilakukan karena kota Binjai merupakan salah satu kota yang berusaha untuk menuju kota mandiri, maju, sejahtera dan berwawasan lingkungan.6

Kota Binjai selain strategis, merupakan kota permukiman yang setiap tahun jumlah penduduknya meningkat, dan akan berakibat pula terhadap jumlah bangunan-bangunan yang diperuntukkan dan disesuaikan dengan sektor yang terdapat di daerah juga akan bertambah sehingga akan menimbulkan banyak masalah yang timbul dalam proses pembangunan di Kota Binjai yang berkaian dengan lingkungan hidup, baik berupa perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup. Hal ini disebabkan karena adanya berupa dikotomi pemikiran pembangunan dengan lingkungan yang menimbulkan tidak berjalan dengan baiknya clean government yang mengakibatkan program pembangunan berkelanjutan tidak berjalan sesuai dengan prinsip-perinsip pengelolaan lingkungan hidup.

UUPLH sebagai payung hukum dalam pengelolaan lingkungan hidup merupakan sarana yang diterapkan untuk mengatasi masalah dan dampak yang ditimbulkan dengan adanya kegiatan pembangunan tersebut. Oleh karena itu diperlukan adanya kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah dalam pengaturan pengelolaan lingkungan hidup yang diharapkan terwujudnya pembangunan yang berkesinambungan dan berwawasan lingkungan hidup di kota Binjai.

6

Pemerintah Kota Binjai, Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Binjai Tahun 2006. hal 1.


(14)

Kondisi yang terjadi adalah banyaknya terjadi perubahan terhadap eksploitasi sumberdaya alam yang tidak sesuai dengan peruntukkannya, pengembangan investasi, penerapan teknologi modern, perubahan kelembagaan seperti pelaksanaan otonomi daerah, kesemuanya dapat dilakukan dengan adanya kebijakan yang konsisten dari pemerintah daerah yang sesuai dengan kebutuhan pada saat ini dan dimasa mendatang.

Peranan pembangunan dalam perumusan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup harus dioptimalkan dalam rangka meningkatkan penegakan supremasi hukum untuk mewujudkan pelestarian fungsi lingkukungan hidup yang menyebabkan hak-hak masyarakat untuk menggunakan dan menikmatinya menjadi terlindungi dan terbuka dan dapat mengurangi terjadinya konflik baik yang bersifat vertikal maupun horizontal.

Kebijakan pemerintah daerah dalam pengelolaan lingkungan hidup bertujuan untuk menciptakan pembangunan daerah berkelanjutan berwawasan lingkungan hidup harus didukung atas kerjasama yang erat serta memiliki komitmen yang kuat antar lembaga/instansi yang berkaitan dengan sosial, kultur maupun kependudukan, sehingga apa-apa saja kendala yang dihadapi memiliki landasan yang dapat dijadikan tolak ukur keberhasilan pembangunan di kota Binjai.

Oleh karena itu berdasarkan uraian latar belakang di atas Penulis memilih judul tentang “Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut


(15)

B. Permasalahan

Sesuai dengan latar belakang di atas, maka beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut tentang :

1. Bagaimana penerapan Undang-undang Nomor 23 Tahun1997 tentng Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam perspektif otonomi daerah.

2. Bagaimana pelaksanaan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di Kota Binjai.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah tentang

1. Untuk mengetahui penerapan Undang-undang Nomor 23 Tahun1997 tentng Pengelolaan Lingkungan Hidup Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam perspektif otonomi daerah.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di Kota Binjai, beserta kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaannya.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat yaitu baik secara teoritis maupun secara praktis, yakni tentang :

1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut dan mempunyai arti penting bagi penemuan konsep-konsep mengenai kebijakan dalam pengelolaan


(16)

lingkungan hidup di Kota Binjai. Dan diharapkan dapat memberi manfaat bagi bidang ilmu hukum. .

2. Secara praktis

a. Sebagai pedoman dan masukan bagi pemerintah dan aparat penegak hukum dalam upaya pembaharuan dan pengembangan hukum nasional kearah pengaturan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup.

b. Sebagai informasi bagi masyarakat dan pelaku usaha untuk mengetahui pengaturan mengenai kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup.

c. Sebagai bahan kajian bagi akademisi untuk menambah wawasan ilmu hukum, khususnya mengenai pengaturan yuridis dalam pengelolaan lingkungan hidup.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara dikatahui bahwa penelitian mengenai

“Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut Undang-undang 23 Tahun 1997 di Kota Binjai,” belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan

perumusan masalah yang sama sebelumnya, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang pengelolaan lingkungan namun jelas berbeda oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa penelitian ini adalah asli, dan penelitian ilmiah ini dilakukan sesuai dengan asas-asas keilmuan, yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka sehingga dapat


(17)

dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan terbuka terhadap masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah dalam penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Kerangka teori dalam Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut Undang-undang 23 Tahun 1997 di Kota Binjai, berkaitan erat dengan kekuasaan pemerintah khususnya pemerintah daerah dalam menjalankan tugasnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka implementasi otonomi daerah.

Otonomi Derah telah memberikan kewenangan yang nyata dan bertanggung jawab pada pemerintahan kota Binjai untuk menggali dan melaksanakan pembangunan daerah sesuai dengan potensi yang terdapat di daerah tersebut, terutama untuk dapat mengantisipasi masalah-masalah lingkungan yang terjadi akibat kecepatan dinamika perubahan pembangunan.

Secara teoritis pelaksanaan otonomi daerah berkaitan dengan adanya kekuasaan. Kekuasaan tersebut dapat dapat dibagi dengan 2 (dua) cara yaitu :

a. Secara vertical, pembagian kekuasaan menurut tingkatnya adalah pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan Carl J Frederich memakai istilah pembagian kekuasaan. Ini dapat dengan jelas kita bandingkan antara Negara kesatuan, federasi dan konfederasi.

b. Secara horizontal, pembagian kekuasaan menurut fungsinya adalah pembagian yang menunjukkan perbedaan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat


(18)

legislatif, eksekutif yang lebih dikenal dengan trias politica atau pembagian kekuasaan (division of power).7

Menurut CF. Strong, negara kesatuan adalah bentuk negara dimana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional/pusat. Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi), tetapi pada tahap akhir kekuasaan tertinggi tetap dimiliki oleh pemerintah pusat.8 Jadi kedaulatannya, baik kedaulatan ke dalam maupun kedaulatan keluar, sepenuhnya terletak pada pemerintah pusat. Dengan demikian, yang menjadi hakekat negara kesatuan ialah bahwa kedaulatannya tidak terbagi atau dengan perkataan lain, kekuasaan pemerintah pusat tidak dibatasi, oleh karena konstitusi negara kesatuan tidak mengakui badan legislatif lain, selain badan legislatif pusat. Jadi adanya kewenangan untuk membuat peraturan bagi daerahnya sendiri tidak berarti bahwa pemerintah daerah itu berdaulat, sebab pengawasan dan kekuasaan tertinggi tetap pada pemerintah pusat.

Sejalan dengan pendapat CF. Strong, menurut I Nyoman Sumaryadi mengemukakan otonomi daerah sebagai perwujudan pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang pada hakekatnya merupakan penerapan konsep areal divison of power yang membagi kekuasaan secara vertical yaitu

7

HR. Ridwan, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta : UII Press, 2002), hal. 12-13. 8

CF. Strong dalam M. Shiddiq Tgk Armia, Perkembangan Pemikiran Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2003), hal 167.


(19)

pembagian kekuasaan negara antara pemerintah pusat disatu pihak dan pemerintah daerah di pihak lain.9

Seiring dengan perkembangan kenegaraan dan pemerintahan, ajaran negara hukum yang kini dianut oleh negara-negara di dunia khususnya setelah perang dunia kedua adalah negara kesejahteraan (welfare state). Konsep ini muncul sebagai reaksi atas kegagalan konsep legal state atau negara penjaga malam. Dalam konsep legal state terdapat prinsip staatsonthouding atau pembatasan peran negara dalam pemerintahan dalam bidang politik yang melahirkan dalil “the least government is the best government” dan terdapat prinsip “laissez faire, laissez aller” dalam bidang ekonomi yaitu melarang negara dan pemerintah mencampuri kehidupan ekonomi masyarakat (staatsbemoeienis). Akibat pembatasan ini pemerintah atau administrasi negara menjadi fassif dan oleh karenanya sering disebut negara penjaga malam. Adanya pembatasan negara yang menimbulkan reaksi dan kerusuhan sosial, dalam perkembangannya muncul gagasan yang menempatkan pemerintah sebgai pihak yang bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya yaitu teori welfare state.

Negara kesejahteraan (welfare state) menurut istilah Lemaire, disebut bestuuszorg (negara berfungsi menyelenggarakan kesejahteraan umum) atau welvaarsstaat atau verzorgingsstaat merupakan konsepsi negara hukum modern, menempatkan peranan negara pada posisi yang kuat dan besar. Tugas dan wewenang serta tanggungjawab pemerintah semakin berkembang dan bertambah luas, baik

9

I. Nyoman Sumaryadi, Efektivitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah, (Jakarta : Citra Utama, 2005) hal. 61-62.


(20)

secara kuantitatif maupun kualitatif. Tugas-tugas baru terus bertambah sementara tugas-tugas lama seamkin berkembang. Akhirnya sekarang ini konsepsi negara hukum modern menimbulkan dilemma yang penuh kontradiksi, sebab suatu negara hukum modern mengharuskan setiap tindakan pemerintah berdasarkan atas hukum dan bersamaan dengan itu kepada pemerintah daerah diserahi pula peran, tugas dan tanggungjawab yang luas dan berat.

Dalam rangka melaksanakan tugas menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat tersebut harus diatur oleh hukum. Namun karena luas dan kompleksnya permasalahan masyarakat yang dihadapi, maka ternyata tidak semua tindakan yang akan dilakukan oleh pemerintah tersebut tersedia aturannya dalam undang-undang. Karena itu timbul konsekuensi khusus dimana pemerintah memerlukan kemerdekaan bertindak atas insiatif sendiri, utamanya dalam menyelesaikan masalah-masalah genting dan penting yang timbul secara mendadak. Sedangkan peraturan untuk menyelesaikannya belum ada atau samar-samar atau dirumuskan dengan sangat sumir atau samara-samar atau dengan kata-kata yang sangat umum.

Konsep negara kesejahteraan (welfare state) berkembang di negara-negara eropah bahkan meluas hampir keseluruh negara-negara di dunia. Konsep negara ini juga dianut di Indonesia yang tercantum dalam pembukaan alinea ke empat Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya UUD 1945) yang berbunyi : “Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia……..”


(21)

Kemudian konsep negara kesejahteraan ini tercermin dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, menyatakan : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Dalam penerapannya negara Indonesia juga menganut paham negara kesejahteraan (welfare state), hal ini berarti terdapat tanggungjawab negara untuk mengembangkan kebijakan negara di berbagai bidang kesejahteraan serta meningkatkan kualitas pelayanan umum (public service) yang baik melalui penyediaan berbagai fasilitas yang diperlukan oleh masyarakat.

Dalam melaksanakan negara kesejahteraan (welfare state) ini pemerintah pusat, tidak mungkin bisa optimal untuk mengurus warganya secara sentralistik karena faktor luas wilayah, banyaknya penduduk yang berbhineka tunggal ika, maka untuk memperjuangkan kesejahteraan masyarakat di daerah dibentuklah Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota guna mempercepat mewujudkan tujuan negara untuk mensejahterakan rakyatnya. Landasan konstitusinya diatur dalam Pasal 18 UUD 1945 setelah perubahannnya. Sebagai pelaksanaannya maka diterbitkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

Konsep negara kesejahteraan (welfare state) juga tercantum dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup, dimana pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang ini diterbitkan dalam rangka mendayagunakan sumberdaya alam guna memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam UUD 1945 dan untuk mencapai


(22)

kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan.

Penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional berkaitan dengan lingkungan hidup.

Lingkungan hidup Indonesia sebagai suatu ekosistem terdiri atas berbagai subsistem, yang mempunyai aspek sosial, budaya, ekonomi, dan geografi dengan corak ragam yang berbeda yang mengakibatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang berlainan. Keadaan yang demikian memerlukan pembinaan dan pengembangan lingkungan hidup yang didasarkan pada keadaan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup akan meningkatkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan subsistem, yang berarti juga meningkatkan ketahanan subsistem itu sendiri. Dalam pada itu, pembinaan dan pengembangan subsistem yang satu akan mempengaruhi subsistem yang lain, yang pada akhirnya akan mempengaruhi ketahanan ekosistem secara keseluruhan. Oleh karena itu, pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem dengan keterpaduan sebagai ciri utamanya. Untuk itu, diperlukan suatu kebijakan nasional dalam pengelolaan


(23)

lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah.

Pembangunan merupakan bentuk dari pemanfaataan secara terus-menerus sumberdaya alam guna meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup rakyat. Sementara itu, ketersediaan sumber daya alam terbatas dan tidak merata, baik dalam jumlah maupun dalam kualitas, sedangkan permintaan akan sumber daya alam tersebut makin meningkat sebagai akibat meningkatnya kegiatan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat dan beragam.

Pembangunan yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya alam, menjadi sarana untuk mencapai keberlanjutan pembangunan dan menjadi jaminan bagi kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa depan. Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dikelola dengan prinsip melestarikan fungsi lingkungan hidup yang serasi selaras, dan seimbang untuk menunjang pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

Dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, diselenggarakan dengan asas tanggungjawab negara, asas berkelanjutan dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.10

10


(24)

Asas tanggungjawab negara merupakan implementasi dari teori hak menguasai negara, artinya bahwa pelimpahan unsur publik dari hak bangsa kepada negara untuk mengatur kekuasaan dan memimpin penggunaan seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Maka secara otomatis kewenangannya pun berunsur publik.

Pelaksanaan kewenangan ini dapat dilimpahkan kepada pemerintah daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri dengan bantuan dari partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dengan demikian pengelolaan lingkungan hidup yang dipegang oleh pemerintah pusat dapat dilaksanakan secara terpadu oleh pemerintah daerah agar tidak menimbulkan disintegrasi bangsa, yang dapat dipicu oleh adanya kebijakan-kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di daerah.

Dengan adanya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan kewenangan yang luas kepada daerah, terutama pemerintah kabupaten/kota dalam hal ini memberikan kesempatan yang sangat luas dan mengurus kepentingan masyarakat serta mengembangkan prakarsa dan aspirasi masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan masyarakat. Ketentuan ini juga termasuk dalam hal pengelolaan lingkungan hidup yang diatur dalam UUPLH yang merupakan payung hukum bagi penegakan supremasi hukum dalam bidang lingkungan hidup di Indoensia.


(25)

2. Kerangka Konsepsional

Konseptual adalah merupakan definisi dari operasional dari berbagai istilah yang dipergunakan dalam tulisan ini. Sebagaimana dikemukakan M. Solly Lubis, bahwa kerangka konsep adalah merupakan konstruksi konsep secara internal pada pembaca yang mendapat stimulasi dan dorongan konseptual dari bacaan dan tinjauan pustaka.11 Adapun definisi operasional dari berbagai istilah tersebut adalah sebagai berikut di bawah ini :

Kebijakan adalah suatu keputusan tetap yang dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan tingkah laku dari mereka yang membuat dan mereka yang memenuhi keputusan tersebut, kebijakan sebagai suatu hasil keputusan dimaksud untuk menyelesaikan suatu permasalahan.12

Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah Upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.13

Lingkungan Hidup ialah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang

11

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 80. 12

Heinz Eulau and Kennerth Prewit, dalam Ch. O. Jones, Pengantar Kebijakan Publik, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1991), hal. 57

13

Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 1 angka 2.


(26)

mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.14

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian mengenai “Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 di Kota Binjai,” dilakukan melalui pendekatan yuridis, yakni bagaimana hukum didayagunakan sebagai instrumen untuk mewujudkan dan menemukan prinsip-prinsip hukum dalam pelaksanaan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya membatasi kerangka studi kepada suatu pemerian, suatu analisis atau klassifikasi tanpa secara langsung bertujuan untuk membangun atau menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori.

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, karena materi yang dibahas mengutamakan tinjauan dari segi peraturan-peraturan yang berhubungan dalam kebijakan pengelolaan lingkungan hidup di kota Binjai.

Metode pendekatan ini dipergunakan bertitik tolak dan menganalisis terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dikaitkan dengan penerapan kebijakan pemerintah daerah mengenai pengelolaan lingkungan hidup di kota Binjai.

14


(27)

2. Sumber Data

Adapun sumber data yang dipergunakan untuk mendukung penelitian ini adalah data sekunder, dimana bahan-bahan hukum seperti yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto15 meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Sehingga penulisan ini menitikberatkan pada penelitian bahan pustaka atau yang dalam metode penelitian dikenal sebagai data sekunder, yang terdiri dari :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum yang diperoleh melalui kepustakaan (library research) yaitu sebagai teknik untuk mendapatkan informasi melalui penelusuran peraturan perundang-undangan, bacaan-bacaan lain yang ada relevansinya dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan-bahan yang ada kaitannya dengan bahan hukum primer, berupa literatur bahan bacaan berupa buku, artikel, dan kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan diambil dari terdiri dari kamus-kamus hukum, ensiklopedi, dan lain-lain.

15


(28)

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di daerah Pemerintah Kota Binjai, karena Kota Binjai dalam kenyatannya dewasa ini lagi giat-giatnya membangun dan menata kota untuk mewujudkan Binjai kota yang berwawasan lingkungan.

4. Teknik Pengumpulan Data

Seluruh data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini dikumpulkan, dan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui studi dokumen terhadap bahan pustaka yang ada. Pengumpulan data didasarkan pada buku-buku literature dan peraturan perundang-undangan yang relevan berkaitan dengan tesis ini, guna memperoleh bahan-bahan yang bersifat teoritis ilmiah dan bahan-bahan yang bersifat yuridis normatif sebagai perbandingan dan pedoman menguraikan permasalahan yang dibahas.

5. Alat Pengumpul Data

a. Studi Dokumen

Yaitu menemukan dan mengetahui asas-asas hukum, pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang berlaku, teori-teori hukum, doktrin-doktrin hukum, yurisprudensi, filsafat hukum dan hal-hal yang relevan dan menunjang terhadap kualitas dan kesempurnaan tesis ini.


(29)

b. Wawancara

Dengan melakukan wawancara dengan pihak yang berkompeten dalam hal ini adalah Kepala Bapedalda Kota Binjai yaitu pihak yang mengetahui dan terlibat langsung dalam hal pengelolaan lingkungan hidup di Kota Binjai.

6. Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif yang didukung oleh logika berpikir secara deduktif. Digunakannya metode analisis kualitatif didasarkan pada berbagai pertimbangan, sebagai berikut : Pertama, analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan yang dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan. Kedua, data yang dianalisis beraneka ragam serta memiliki sifat dasar yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Ketiga, sifat dasar data yang akan dianalisis dalam penelitian adalah bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang integral (holistic), yang menuntut tersedianya informasi yang mendalam (indepth information).16 Data yang dianalisis menggambarkan dan mengungkapkan permasalahan yang terjadi, sekaligus diharapkan akan dapat memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.

16

Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal; Studi Kesiapan

Indonesia dalam Perjanjian Investasi Multilateral, (Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas


(30)

BAB II

PENGATURAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP A. Peraturan Perundangan-undangan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Ketentuan yang mengatur tentang segi-segi pengelolaan lingkungan hidup telah ada sebelum di keluarkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, tanggal 11 Maret 1982. Namun ketentuan tersebut masih tersebar dengan sifatnya yang sektoral dan bercorak klassik. Kemudian dirubah dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) pada tanggal 19 September 1997 dimuat dalam lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, dan sejak itu Undang-undang tersebut telah mempunyai kekuatan mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia.

Keberadaan undang-undang itu merupakan langkah awal yang penting bagi pembinaan hukum lingkungan nasional. Hal ini bertepatan pula dengan saat dunia memasuki “Dasawarsa Kedua Lingkungan Hidup” (The Second Environmental Decade) pada tanggal 5 Juni 1982 yang lalu, yaitu Hari Lingkungan sedunia, sepuluh tahun sejak diselenggarakannya Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Lingkungan Hidup di Stockholm Swedia (United Nations Conference on The Human Environment).17

17

Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Edisi ke-7, 1999, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, hal. 18-19.


(31)

Bagi Indonesia peraturan hukum yang tertuang dalam Undang-undang di atas, bertegak sebagai “Umbrella Provision” bagi peraturan perundang-undangan pengelolaan lingkungan hidup yang sudah ada (lex lata) maupun pengaturan lebih lanjut (lex feranda), dan dapat dibedakan atas dua macam, yaitu peraturan produk dari zaman kolonial yang masih berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 dan peraturan hukum yang dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia. Peraturan-peraturan yang ada itu belum lengkap dan masih diperlukan peraturan terkait lainnya untuk melindungi hidup manusia dan sumber daya alam dalam kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan.

Pembinaan hukum lingkungan itu, berhubungan erat dengan fungsi hukum sebagai sarana pembangunan dan sarana pemenuhan kepentingan, terutama disebabkan pengelolaan lingkungan menyangkut penetapan nilai antara nilai-nilai yang sedang berlaku dan yang bertujuan menjadikan manusia sebagai “pembina lingkungan” dan berjiwa “akrab lingkungan”.18

Di dalam undang-undang tersebut, secara tegas menetapkan sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah tentang

a. Tercapainya keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup;

b. Terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup;

18

Syamsul Arifin, “Peraturan Perundang-undangan Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Makalah Materi Kursus Dasar-Dasar Amdal Tipe A, Tanggal 10 s/d 20 Maret 2003. (Angkatan VI).


(32)

c. Terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan; d. Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup;

e. Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana;

f. Terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indoensia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 mulai berlaku 11 Maret 1982, setelah melalui proses yang cukup panjang dimana pada tahun 1976 telah dimulai penyusunan RUU Lingkungan Hidup dengan dibentuknya Kelompok kerja Pembinaan Hukum dan Aparatur dalam pengelolaan Sumber Alam dan Lingkungan Hidup dalam bulan Maret 1979 oleh Menteri Negara Peraturan Pemerintah LH. Pada tanggal 16 s/d 18 Maret 1981 telah diadakan rapat antar Departemen, bertempat di Puncak guna membicarakan naskah RUU yang disiapkan oleh Kelompok Kerja Peraturan Pemerintah LH. Berdasarkan hasil pembicaraan dalam rapat antar Departemen ini telah diadakan perubahan-perubahan dalam naskah RUU tersebut.19

Pada tanggal 21 Maret 1981 Menteri Negara Peraturan Pemerintah LH mengirimkan konsep RUU hasil pembahasan antar Departemen untuk minta persetujuan para Menteri yang diwakili dalam rapat antar Departemen. Berdasarkan

19


(33)

saran dari para Menteri, konsep RUU hasil pembahasan antar Departemen diperbaiki dan disampaikan kepada Menteri/ Sekretaris Negara pada tanggal 3 Juli 1981.

Pada tanggal 14 Nopember 1981, Kepala Biro Hukum dan Perundang-undangan Sekretariat Kabinet mengirimkan naskah konsep RUU yang telah diperbaiki kepada beberapa Menteri untuk penyempurnaan lebih lanjut. Hasil perbaikan akhir kemudian diajukan kepada Presiden dan dengan surat Presiden tanggal 12 Januari 1982 RUU Lingkungan Hidup disampaikan kepada Pimpinan DPR.

Badan Musyawarah DPR memutuskan untuk dibentuknya Panitia Khusus (PANSUS) guna menangani RUU Lingkungan Hidup ini. Pansus ini terdiri dari 24 anggota dengan komposisi sebagai berikut tentang :

- 12 anggota Fraksi Karya Pembangunan

- 6 anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan - 4 anggota Fraksi ABRI

- 2 Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia

Telah ditunjuk pula 24 anggota pengganti dengan komposisi yang sama.

Pada tanggal 23 Januari 1982, Menteri Negara Peraturan Pemerintah LH menyampaikan Keterangan Pemerintah mengenai RUU Lingkungan Hidup, yang disusul kemudian dengan Pemandangan Umum Fraksi-Fraksi yang dilaksanakan pada tanggal 2 Februari 1982. Jawaban Pemerintah atas Pandangan Umum tersebut diberikan pada tanggal 15 Februari 1982. Rapat-rapat PANSUS diadakan pada tanggal 17 s/d 20 Februari 1982 secara terus menerus dan pada tanggal 22 Februari


(34)

1982 PANSUS dapat menyetujui hasil perumusan Tim Perumus yang dibentuk oleh PANSUS.20

Pada tanggal 25 Februari 1982 dengan aklamasi RUU Lingkungan Hidup hasil PANSUS disetujui Sidang Paripurna DPR. Pada tanggal 11 Maret 1982 telah disahkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan penandatanganan oleh Presiden Republik Indonesia dan diundangkan pada hari yang sama dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 12. Adapun hal-hal yang ditonjolkan dalam undang-undang ini mengandung dua segi, yaitu tentang :

1. Undang-undang ini hanya memberi pengaturan secara garis besar dalam pokok-pokoknya saja, sedangkan aturan yang lebih terperinci diatur dalam pelbagai peraturan pelaksana.

2. Undang-undang ini bukan mengatur tentang lingkungan hidup secara keseluruhan, akan tetapi hanya mengatur segi pengelolaan lingkungan hidup.

UULH tersebut di atas memiliki ciri-ciri, sebagai berikut tentang

1. sederhana tetapi dapat mencakup kemungkinan perkembangan di masa depan, sesuai keadaan, waktu dan tempat;

2. mengandung ketentuan-ketentuan pokok sebagai dasar bagi peraturan pelaksanaannya lebih lanjut;

20


(35)

3. mencakup semua segi di bidang lingkungan hidup, agar dapat menjadi dasar bagi pengaturan lebih lanjut masing-masing segi, yang akan dituangkan dalam bentuk peraturan tersendiri.

UULH tersebut juga menjadi landasan untuk menilai dan menyesuaikan semua peraturan yang memuat ketentuan tentang segi-segi lingkungan hidup yang berlaku, yaitu peraturan perundang-undangan misalnya mengenai pengairan, pertambangan dan energi, kehutanan, perlindungan dan pengawetan sumber daya alam, industri, permukiman, tata ruang, pertanahan dan lain-lain.

Sifat undang-undang ini secara khusus memberikan arah dan ciri-ciri bagi semua jenis tata pengaturan lingkungan hidup, yang perlu dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan tersendiri. Selanjutnya, UULH ini juga menjadi dasar dan landasan bagi perkembangan hukum lingkungan selanjutnya, termasuk di dalamnya pembaharuan dan penyesuaian peraturan-peraturan hukum lama.

2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup

Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan perubahan dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berlaku pada tanggal diundangkannya (tanggal 19 September 1997). Undang-undang baru ini dianggap lebih bersifat komprehensif, karena dipersiapkan untuk menjawab isu-isu atau perkembangan baru dalam masyarakat.


(36)

Pertimbangan penetapan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang : Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699) yang menyatakan tidak berlakunya lagi Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 adalah sebagai berikut :

a. bahwa lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspek dan matranya sesuai dengan Wawasan Nusantara;

b. bahwa dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan;

c. bahwa dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup;

d. bahwa penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkunan hidup harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan


(37)

perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup.21

Materi bidang lingkungan hidup sebagaimana yang diatur dalam UUPLH sangat luas mencakup segi-segi ruang angkasa, puncak gunung sampai perut bumi dan dasar laut, dan meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati dan sumber daya buatan. Hal ini terlihat dari Pasal 1 angka (1) UUPLH yang memuat pengertian mengenai lingkungan hidup, yakni:

“Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain”.

UUPLH sebagaimana halnya dengan UULH juga mengatur mengenai “ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup” sehingga fungsinya juga sebagai umbrella act/provision bagi penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup dan bagi penyesuaian peraturan perundang-undangan yang telah ada.

UUPLH memuat tentang asas, tujuan dan sasaran dari pengelolaan lingkungan hidup. Penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat, yang bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertqwa

21


(38)

kepada Tuhan Yang Maha Esa. Asas tanggung jawab negara mempunyai makna negara menjamin bahwa pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besar bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi maupun generasi mendatang, serta negara melakukan pencegahan terhadap kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang ada di wilayah yurisdiksinya yang menimbulkan kerugian bagi negara lain, dan melindungi negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara.22

Arah dan pendekatan pengelolaan lingkungan hidup dilandasi oleh cara pandang (visi) yang luas dan tajam jauh ke depan dengan misi yang jelas dan program-program nyata yang bermanfaat dalam rangka mewujudkan suatu kebijaksanaan program pengelolaan lingkungan hidup dengan paradigma, mengintegrasikan tuntutan penerapan hak asasi, demokrasi dan lingkungan hidup dalam suatu kelestarian fungsi lingkungan yang menunjang ketahanan lingkungan.

B. Peraturan Daerah Kota Binjai Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup

Otonomi daerah telah memberikan perubahan yang mendasar bagi perkembangan ketatanegaraan Indonesia, khususnya pada pemerintahan daerah. Otonomi daerah telah meletakkan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proposional yang diwujudkan dalam pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Otonomi yang benar dalam hal ini terutama

22


(39)

adalah mengakomodasikan aspirasi yang secara riil ada di masyarakat dalam tindakan dan atau kebijaksanaan secara nyata.

Di dalam kerangka otonomi daerah tersebut, berdasarkan perspektif hukum positif harus diarahkan pada satu kata kunci yaitu konsistensi. Konsistensi utama dan pertama-tama ditujukan terhadap asas hukum baik yang dituangkan di dalam peraturan perundang-undangan dalam perspektif Asas Umum Pemerintahan yang baik

Asas hukum yang bersifat tersurat dan memang memerlukan penafsiran lebih lanjut akan tetapi jika didasarkan pada persamaan persepsi terhadap pemaknaan konsep yang utuh, tidak akan menimbulkan permasalahan.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatakan bahwa kewenangan daerah mencakup dalam bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik, luar negeri, pertahanan kemanan, peradilan dan moneter dan fiskal serta kewenangan lain. Selanjutnya kewenangan yang diberikan kepada daerah kota dan kabupaten akan dibatasi oleh kewenangan Pemerintah pusat di bidang lainnya yang menyangkut :

a. Kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro;

b. Kebijakan dana perimbangan keuangan;

c. Kebijakan sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara;

d. Kebijakan pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang bersifat strategis;


(40)

e. Kebijakan konservasi;

f. Kebijakan standarisasi nasional;

Di samping itu kewenangan daerah kabupaten dan kota dibatasi pula oleh kewenangan daerah propinsi sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 beserta penjelasannya, yaitu kewenangan yang bersifat lintas kabupaten dan kota dan kewenangan dalam bidang pemrintahahan tertentu lainnya.

Menurut Penjelasan Pasal 9 undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang termasuk kewenangan bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota antara lain :

a. Kewenangan di bidang Pekerjaan Umum; b. Kewenangan di bidang Perkebunan; c. Kewenangan di bidang kehutanan; d. Kewenangan di bidang Perhubungan.

Sedangkan yang dimaksud dengan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya adalah :

a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan secara makro;

b. Pelatihan bidang tertentu alokasi sumber daya manusia potensial dan penelitian yang mencakup wilayah propinsi;

c. Pengelolaan pelabuhan regional; d. Pengendalian lingkungan hidup;

e. Promosi daging dan budaya pariwisata;


(41)

g. Perencanaan tata ruang propinsi.

Dengan demikian, apabila semua daerah kabupaten dan kota sudah dapat melaksanakan semua kewenangannya, maka kewenangan yang tinggal pada daerah provinsi hanyalah kewenangan bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota serta kewenangan bidang tertentu lainnya sebagaimana telah dikemukakan di atas, di samping kewenangan sebagai wilayah administrasi yag dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil Pemerintahan Pusat di daerah.

Kewenangan pemerintah untuk dalam mengembangkan aspek kependudukan dan aspek perekonomian membutuhkan suatu kewenangan yang lebih besar di dalam pengelolaannya. Kewenangan daerah sebagaimana yang ditetapkan di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Pasal 1 (c) adalah bahwa penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepada daerah otonomi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan, daerah otonomi adalah Daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota. Kewenangan ini adalah berupa peraturan-peraturan daerah yang menetapkan wewenang daerah untuk mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggungjawab terhadap kelestariannya.

Melalui kewenangan yang dimiliki daerah tersebut, yaitu pihak eksekutif dan legislatif daerah menetapkan perda-perda. Bagian ini mencoba untuk menginventarisasikan berbagai perda-perda yang mengatur tentang kewenangan pemerintah daerah khususnya kota Binjai yang ada dalam konteks pengelolaan lingkungan di Kota Binjai


(42)

Perda-perda ini dimaksudkan agar pelaksanaan pembangunan di kota Binjai dapat memperhatikan ramah lingkungan yang merupakan bagian dari esensi pelaksanaan pembangunan yang berwawasan lingkungan bagi rencana usaha yang tidak ada dampak pentingnya atau secara teknologi sudah dapat dikelola dampak pentiingnya maka diwajibkan membuat UKL dan UPL. Baik AMDAL maupun UKL dan UPL adalah syarat untuk mendapatkan izin melakukan usaha.

Adapun perda-perda yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah kota Binjai, antara lain yang yang mengatur kebijaksanan dan prosedur yang berkaitan pengelolaan lingkungan di Kota Binjai adalah :

1. Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 23 Tahun 1998 Tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan dalam Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Binjai.

Perda ini diterbitkan bertujuan untuk mengatur tentang Retribusi izin mendirikan bangunan harus disesuaikan dengan ketentuan peraturan yang ada, dan sehubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan pembangunan di kotamadya Binjai. Perda ini bertujuan dalam rangka untuk pengaturan, pembinaan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan mendirikan bangunan guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

Pada perda ini mengatur bahwa setiap orang pribadi atau badan yang mendirikan bangunan harus memperoleh izin dari Kepala Negara dan juga harus melengkapi adanya Dokumen Amdal yang disetujui Tim Komisi Tingkat II untuk usaha industri/pabrik, perumahan/real estate, pusat perbelanjaan dan usaha-usaha yang mempunyai dampak lingkungan lainnya.


(43)

Pemegang izin mendirikan bangunan memilki kewajiabn yang harus dipenuhinya agar permohonan bangunan tidak ditolak atau dibongkar. Jika permintaan izin tidak dipenuhi maka permohonan akan ditolak dan akan terjadinya pembongkaran bangunan dengan izin kepala daerah untuk memberikan kesempatan kepada pemilik bangunan/pelaksana bangunan untuk membongkar bangunannya, dan apabila tidak dilakukan pembongkaran selambat-lambatnya 15 (lima belas hari) sesudah perintah pembongkaran maka kepala daerah atau pejabat yang dihunjuk dapat membongkar seluruh atau sebagian bangunan tersebut atas biaya dan resiko pemilik/pelaksana bangunan Pasal 8 point (d).

Perda ini terdiri dari XXII Bab dan 34 Pasal yang mengatur tentang Ketentuan umum, Perizinan, Pelaksanaan Pekerjaan Mendirikan Bangunan, Objek dan Subjek Retribusi, Golongan Retribusi, Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa, Prinsip dan Sasaran dalam Penetapan Struktur dan Besarnya Tarif, Struktur dab Besarnya Tarif Retribusi, Cara Penghitungan Retribusi, Wilayah Pemungutan, Tatacara Pemungutan, Sanksi Administrasi, Tatacara Pembayaran, Tatacara Penagihan, Pengembalian Kelebihan Pembayaran, Keberatan, Pengurangan, Keringanan dan Pembebasan Retribusi, Kadaluarsa Penagihan, Penyidikan, Ketentuan Peralihan, Ketentuan Penutup.


(44)

2. Peraturan Daerah Kota Madya Tingkat II Binjai Nomor 25 Tahun 1998 Tentang Retribusi Izin Gangguan.

Perda ini diterbitkan untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Peraturan Daerah yang terkait atas pemakaian kekayaan perlu disesuaikan.

Perda ini bertujuan untuk melakukan pengaturan guna melindungi kepentingan umum dan lingkungan yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian dan gangguan terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan.

Perda ini mengatur tentang subjek hukum yang wajib memiliki izin gangguan/ tempat usaha dalam hal mendirikan atau memperluas tempat usahanya dilokasi tertentu yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian dan gangguan, tidak termasuk tempat usaha yang lokasinya telah ditunjuk oleh pemerintah pusat atau daeran. (Pasal 7 ayat (1)).

Perda ini juga mengatur sanksi administrasi dan sanksi pidana, sanksi administrasi dikenakan bagi wajib pajak yang tidak membayar retribusi tepat pada waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi adminstrasi sebesar 2 % (Pasal16), sedangkan sanksi pidana dikenakan bagi pelaku yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam peraturan daerah ini dan ancaman pidananya kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya 4 (empat) bulan kali retribusi terhalang (Pasal 24).

Perda ini juga mengatur mengenai Penyidikan yaitu Pasal 25 ayat (1) yang memberikan wewenang kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan


(45)

Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

Perda ini terdiri dari XVII Bab dan 28 Pasal yang mengatur tentang Ketentuan umum, Subjek, Objek Retribusi, Golongan Retribusi, Retribusi Izin Gangguan, Jangka Waktu Berlakunya Izin Gangguan (Ho), Ketentuan Retribusi, Tatacara Pemungutan, Wilayah Pungutan, Sanksi Administrasi, Tatacara Pembayaran, Tatacara Penagihan, Tatacara Perhitungan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Retribusi, Kadaluarsa, Tatacara Penghapusan Piutang Retribusi yang Kadaluarsa, Ketentuan Pidana, Penyidikan, Ketentuan Penutup.

3. Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 2 tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Binjai Tahun 2001, persetujuan DPRD Nomor 5/DPRD-II/5-2001 tanggal 29-3-2001, diundangkan dalam Lembaran Daerah No.2 Seri D tanggal 5-4-2000.

4. Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 5 Tahun 2001 Tentang Izin Tempat Usaha.

Perda ini diterbitkan dalam rangka usaha-usaha Pemerintah Kota Binjai dalam melaksanakan penataan dan sekaligus pembinaan terhadap para pengusaha, oleh karena itu perlu diberikan Izin Tempat Usaha kepada para pengusaha yang melaksanakan kegiatan usaha di Kota Binjai.

Pada perda ini dijelaskan subjek hukum yang wajib dikenakan retribusi yaitu orang pribadi atau badan hukum, badan hukum yaitu sekumpulan orang


(46)

dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama di dalam bentuk apapun, Firma, Koperasi, Dana Pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Organisasi Sosial Politik atau organisasi yang sejenis, Lembaga Bentuk Usaha Tetap dan bentuk badan lainnya.

Mengenai perizinan mempunyai jangka waktu 3 (tiga) tahun dan selanjutnya setiap tahun divalidasi sekaligus pembayaran retribusi dan pada Perda ini juga dilakukan pengawasan berupa pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas yang telah diberi wewenang untuk itu terhadap izin tempat usaha yang dilakukan setiap tahunnya untuk memeriksa letak, ukuran luas, jenis usaha berubah dan atau kegiatan usaha dialihkan dan atau dipindahkan kepada pihak lain tanpa izin dari Kepala Daerah.

Pada perda ini mengatur sanksi administrasi terhadap Wajib Retribusi yang tidak membayar tepat waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 % (dua persen) setiap bulan dari besarnya Retribusi yang terutang yang tidak atau kurang bayar dan ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Retribusi Daerah.

Dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam perda ini diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya 4 (empat) kali Retribusi terutang, dan dalam proses


(47)

penyidikan terhadap tindak pidana perpajakan daerah dah retribusi diberikan kewenangan kepada PPNS tertentu di lingkungan pemerintah daerah setempat.

Perda ini terdiri dari XVI Bab dan 23 Pasal yang mengatur tentang Ketentuan umum, Nama, Objek, Subjek Retribusi dan Persyaratan dalam Memperoleh Izin, Jangka Waktu Berlakunya Izin Tempat Usaha, Golongan Retribusi, Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa, Prinsip Penetapan dan Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi, Wilayah Pemungutan, Tatacara Pemungutan dan Penetapan Retribusi, Sanksi Administrasi, Tatacara Pembayaran, Tatacara Penagihan, Pengawasan, Ketentuan Pidana, Penyidikan, Ketentuan Peralihan dan Ketentuan Penutup.

5. Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2000 tentang Retribusi Izin Pengelolaan & Pengusahaan Burung Walet, persetujuan DPRD Nomor 22/DPRD-II/5-2000 tertanggal 7-9-22/DPRD-II/5-2000, diundangkan dalam Lembaran Daerah No.3 Seri B tanggal 14-9-2000.

6. Peraturan Daerah Nomor 19 tahun 2001 tentang Retribusi Upaya

Pengendalian Pencemaran Udara, persetujuan DPRD Nomor 27/DPRD-II/5-2001, tertanggal 6 Desember 2001, diundangkan dalam Lembaran Daerah Nomor 7 Seri B tanggal 14 Desember 2001.

7. Peraturan Daerah Nomor 26 tahun 2001 tentang Retribusi Pemeriksaan Limbah Cair Industri, persetujuan DPRD Nomor 27/DPRD-II/5-2001, tertanggal 7-9-2001, diundangkan dalam Lembaran Daerah No. 12 Seri B tanggal 14-12-2001.


(48)

Terdapatnya dua Peraturan Daerah mengenai Retribusi Upaya pengendalian Pencemaran Udara, dan Pemeriksaan Limbah Cair Industri merupakan ketentuan daerah yang baru jika dibandingkan dengan Peraturan Daerah sebelum adanya Otonomi Daerah. Karena dengan diterbitkannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 diubah dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom membawa implikasi perkembangan bagi pengelolaan lingkungan hidup yakni diberikannya wewenang dan tanggungjawab penuh pada Pemerintah Daerah untuk pengelolaan lingkungan hidup.

Di dalam Pasal 3 ayat (5) angka 16 Peraturan Pemerintah tersebut, telah menetapkan Kewenangan Propinsi di dalam bidang lingkungan hidup, yakni :

a. Pengendalian lingkungan hidup lintas Kabupaten/Kota.

b. Pengaturan pengelolan lingkungan dalam pemanfaatan sumberdaya laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil.

c. Pengaturan tentang pengamanan dan pelestarian sumber daya air lintas Kabupaten/Kota.

d. Penilaian analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) bagi kegiatan-kegiatan yang potensial berdampak negatif pada masyarakat luas yang lokasinya meliputi lebih dari satu Kabupaten/Kota.


(49)

f. Penetapan baku mutu lingkungan hidup berdasarkan baku mutu lingkungan hidup nasional.

8. Keputusan Walikota Binjai Nomor 503.640-223/SK/2000 Tentang

Pelaksanaan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Kota Binjai Nomor 23 Tahun 1998 Tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan.

Keputusan ini diterbitkan sebagai pelaksana dari Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 23 Tahun 1998 Tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan. Keputusan ini bertujuan untuk mengatur tentang izin mendirikan bangunan yang selanjutnya disebut retribusi yaitu pembayaran atas pemberian izin kepada orang pribadi atau badan, termasuk dalam kegiatan peninjauan, desain, dan pemantauan pelaksanaan pembangunannya agar tetap sesuai dengan rencana teknis bangunan, rencana tata ruang teknis bangunan, rencana tata ruang yang berlaku dengan tetap memperhatikan Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Luas Bangunan (KLB), Koefisien Ketinggian Bangunan (KKB) dan Pengawasan Penggunaan Bangunan yang meliputi pemeriksaan dalam rangka memenuhi syarat-syarat keselamatan bagi yang menempati bangunan tersebut.

Keputusan ini terdiri dari XXII Bab dan 34 Pasal yang mengatur tentang mengatur tentang Ketentuan umum, Perizinan, Pelaksanaan Pekerjaan Mendirikan Bangunan, Objek dan Subjek Retribusi, Golongan Retribusi, Cara Mengukur Tingkat Penggunaan Jasa, Prinsip dan Sasaran dalam Penetapan Struktur dan Besarnya Tarif, Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi, Cara Penghitungan Retribusi, Wilayah Pemungutan, Tatacara Pemungutan, Sanksi Administrasi, Tatacara Pembayaran,


(50)

Tatacara Penagihan, Pengembalian Kelebihan Pembayaran, Keberatan, Pengurangan, Keringanan dan Pembebasan Retribusi, Kadaluarsa Penagihan, Penyidikan, Ketentuan Peralihan, Ketentuan Penutup.

9. Keputusan Walikota Binjai Nomor 503.640-223/SK/2000 Tentang

Pelaksanaan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Kota Binjai Nomor 23 Tahun 1998 Tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan ini juga didukung dengan adanya Ketetapan Tarif Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dalam Kota Binjai Nomor 503.648-611 Tanggal 20 Maret 2000.

10.Keputusan Walikota Binjai Nomor 620-252/SK/2000 Tentang Penetapan Kelas Jalan, Daerah Milik Jalan (DAMIJA) dan Garis Sempadan Bangunan (GSB) untuk izin Mendirikan Bangunan dalam Kota Binjai.

Keputusan ini diterbitkan bertujuan untuk kelancaran pelaksanaan dalam menentukan Retribusi terutang terhadap suatu bangunan perlu ditetapkan Kelas Jalan Daerah Milik Jalan (DAMIJA) dan Garis Sempadan Bangunan (GSB) dalam kota Binjai.

Keputusan ini menetapkan tentang kelas jalan, Daerah Milik Jalan (DAMIJA) dan Garis Sempadan Bangunan (GSB) untuk izin mendirikan bangunan dalam kota Binjai. Keputusan ini terdiri dari 3 Pasal yang mengatur ketetapan keputusan ini.

11.Keputusan Walikota Binjai Nomor 020-251/SK/2000 Tentang Penetapan Harga Dasar Bangunan dalam Kota Binjai.


(51)

C. Kebijakan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut UUPLH

Kebijakan merupakan suatu keputusan dalam upaya memecahkan suatu permasalahan yang melibatkan banyak pihak. Sumberdaya yang diperlukan pun tidak sedikit. Sehingga diperlukan suatu pertimbangan yang serius dalam menentukan serta menetapkan suatu kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup tergolong pada kebijakan bagi kepentingan umum. Dengan demikian kepentingan seluruh lapisan masyarakat akan ditentukan oleh kebijakan tersebut.

Menurut Heinz dan Kennerth Prewitt, kebijakan adalah :

“Suatu keputusan tetap yang dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan tingkah laku dari mereka yang membuat dan mereka yang memenuhi keputusan tersebut. Kebijakan sebagai suatu hasil keputusan dimaksud untuk menyelesaikan suatu permasalan”.23

Kebijakan (Policy) adalah suatu proses yang terdiri dari serangkaian keputusan yang sifatnya berkaitan dengan hal-hal yang lebih luas dan banyak aspek, sehingga sumber kebijakan berasal dari banyak pihak dengan berbagai kepentingan dan kewenangan. Penyusunan kebijakan pada umumnya dilakukan melalui proses yang panjang dan berkaitan dengan berbagai aspek, kepentingan dan kewenangan.

23

Heinz Eulau and Kennerth Prewit, dalam CH. O. Jones, Pengantar Kebijakan Publik, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), hal. 57.


(52)

“Suatu kebijakan biasanya diterima sebagai suatu hasil keputusan bersama yang dikaitkan secara khusus dengan pembuatannya”.24

Kewenangan yang menyangkut masalah pengelolaan lingkungan hidup didasarkan pada pertimbangan bahwa di dalam negara yang sedang berkembang seperti Indonesia masalah lingkungan hidup terjadi sebagai akibat dari kegiatan pembangunan, dan yang terutama harus dihadapi adalah rendahnya mutu lingkungan. Oleh karena itu, penanggulangan masalah lingkungan hidup di Indonesia dilaksanakan dalam rangka mempercepat proses pembangunan itu sendiri. Untuk mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup serta untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan, diupayakan “Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup”.

Sebagai penjabaran dari kebijakan tersebut Pemerintah menuangkannya dalam instrumen izin yang digunakan oleh penguasa pada sejumlah besar bidang kebijaksanaan. Ini terutama berlaku bagi hukum lingkungan, hukum pengaturan ruang dan hukum perairan. Peraturan tersebut merupakan perlindungan terhadap lingkungan terhadap kegiatan manusia yang membawa dampak negatif bagi lingkungan hidup.

Perlindungan terhadap lingkungan ini semakin penting karena seringnya terjadi pencemaran dan perusakan terhadap lingkungan hidup sehingga selanjutnya dapat merusak ekosistem. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan

24

Sunoto, Analisis Kebijakan dalam Pembangunan Berkelanjutan, Bahan Pelatihan Analisis

Kebijakan Bagi Pengelola Lingkungan, (Jakarta : Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1971),


(53)

yang berhubungan dengan penerbitan izin mendirikan bangunan yang bertujuan untuk melindungi, memulihkan dan kembali menata tata hubungan secara berimbang dan serasi antara semua sub sistem dalam keseluruhan ekosistem, dan juga mengatur hak, kewajiban dan wewenang baik kepada warga negara maupun pemerintah untuk turut serta dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Di dalam berbagai sektor kebijakan pemerintah dapat berdiri secara berdampingan berbagai sistem izin dengan motif sejenis. Hal ini berhubungan dengan perkembangan, terutama pada tahun-tahun terakhir, bahwa di dalam bidang kebijaksanaan penguasa semakin banyak terjadi pengkhususan dari tujuan-tujuan kebijaksanaan itu. Dengan demikian timbul berbagai bidang bagian kebijaksanaan penguasa dengan sistem-sistem dalam rangka pengelolaaan lingkungan hidup.

D. Pengelolaan Lingkungan Hidup Menurut UUPLH

Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UUPLH), disebutkan bahwa “pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup”.

Berdasarkan bunyi Pasal 1 angka 2 UUPLH, pengelolaan lingkungan hidup merupakan :


(54)

1. Upaya terpadu untuk “melestarikan fungsi lingkungan hidup”, yaitu memelihara kelangsungan lingkungan hidup, sehingga mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain serta melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap serangan dari luar;

2. Upaya tersebut dirumuskan dalam pelbagai kegiatan yang merupakan langkah kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup.

Perumusan pengelolaan lingkungan hidup dalam hal ini diberikan penekanan pada “melestarikan fungsi lingkungan hidup” yang dalam ketentuan sebelumnya (Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang UULH) tidak dijumpai, sedangkan 7 (tujuh) aktivitas lainnya yaitu penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup hanya dilihat sebagai “langkah kebijakan”.25

Pengelolaan lingkungan hidup Indonesia didasarkan pada asas (prinsip) tertentu sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UULH yang menyatakan bahwa pengelolaan lingkungan hidup berasaskan pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia.

Dalam proses pembangunan itu terjadi dampak yang kurang baik terhadap lingkungan maka haruslah dilakukan upaya untuk meniadakan atau mengurangi

25

Abdurrahman, Pembaharuan Undang-undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup di


(55)

dampak negatif tersebut, sehingga keadaan lingkungan menjadi serasi dan seimbang lagi. Dalam hal ini yang dilestarikan bukanlah “lingkungan an sich” melainkan “kemampuan lingkungan”. Kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang inilah yang perlu dilestarikan, sehingga setiap perubahan yang diadakan selalu disertai dengan upaya mencapai keserasian dan keseimbangan lingkungan pada tingkat yang baru.26

Selanjutnya istilah “pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang” membawa kepada keserasian antara “pembangunan” dan “lingkungan”, sehinga kedua pengertian itu, yaitu pembangunan dan lingkungan tidak dipertentangkan satu dengan yang lain. Adapun “pelestarian lingkungan” yang bermakna melestarikan lingkungan itu an sich digunakan dalam rangka pelestarian alam dan kawasan suaka alam.27

Dalam UUPLH terdapat istilah “pelestarian fungsi lingkungan”, yang bermakna pelestarian fungsi lingkungan kawasan budidaya dan kawasan lindung. Pasal 1 angka 5 mengartikan pelestarian fungsi lingkungan adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Asas dan tujuan pengelolaan lingkungan disebutkan dalam Pasal 3 UUPLH bahwa pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dalam rangka

26

Koesnadi Hadjasoemantri, 2005, Op cit, hal 89-90. 27


(56)

pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dari bunyi Pasal 3 UULH, asas pengelolaan lingkungan hidup tidak lagi berasaskan pelestarian kemampuan fungsi lingkungan hidup tetapi dilaksanakan berdasarkan pada asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat.

Berdasarkan asas tanggungjawab negara, disatu sisi, negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan. Sedangkan dilain sisi, negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dalam wilayah yurisdiksinya yang menimbulkan kerugian terhadap wilayah yurisdiksi negara lain serta melindungi negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah Indonesia.

Asas berkelanjutan mengandung makna bahwa setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi. Untuk terlaksananya kewajiban dan tanggung jawab tersebut, maka kemampuan lingkungan hidup harus dilestarikan. Terlestarikannya kemampuan lingkungan hidup menjadi tumpuan terlanjutkannya pembangunan itu sendiri.

Dengan asas manfaat mengandung makna bahwa segala usaha dan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.


(57)

Demikian pula Pasal 3 UUPLH mengatur tujuan pengelolaan lingkungan hidup yaitu untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.

Dalam Pasal 1 angka 3 UUPLH merumuskan pengertian pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah merupakan upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

Menurut Rachmadi Usman, bahwa “Pembangunan yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya menjadi sarana untuk mencapai keberlanjutan pembangunan dan menjadi jaminan pula bagi kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan”.28

Oleh karena itu, lingkungan hidup harus dikelola dengan prinsip melestarikan fungsi lingkungan hidup yang serasi, selaras dan seimbang untuk menunjang pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup bagi peningkatan kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan. Pelaksanaan suatu usaha dan/atau kegiatan wajib diikuti dengan upaya pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan terhadap lingkungan hidup itu.

28

Rachmadi Usman, Pembaharuan Hukum Lingkungan Nasional, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 67.


(58)

Menurut Pasal 4 UUPLH, terdapat 6 (enam) sasaran yang hendak dicapai dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, yaitu :

1. Tercapainya keselarasan, keserasian, dan kesimbangan antara manusia dan lingkungan hidup.

Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara memberikan keyakinan kepada rakyat dan bangsa Indonesia bahwa kebahagian hidup akan dapat tercapai jika didasarkan atas keselarasan, keserasian, dan kesimbangan, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa maupun manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia sebagai pribadi, dalam rangka mencapai kemajuan lahir, dan kebahagian bathin.

2. Terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup.

Sasaran ini bermaksud menciptakan manusia dan masyarakat Indonesia yang berbudaya dan cinta pada lingkungan hidup, sehingga memiliki kemampuan untuk memelihara dan meningkatkan daya dukung serta daya tampung lingkungan hidup yang menjadi tumpuan keberlanjutan pembangunan.

3. Terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan.

Sasaran ini mengingatkan kita bahwa pemanfaatan sumber daya alam sebagai pokok-pokok kemakmuran rakyat bukan saja dinikmati oleh generasi masa kini saja, melainkan harus pula dinikmati oleh generasi masa depan, yang merupakan warisan untuk anak cucu kita, artinya pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan secara lestari dan berkelanjutan


(59)

4. Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup.

5. Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana.

Sasaran ini memiliki arti yang sangat penting dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya tidak terbarui (nonrenewable resource), sehingga aspek-aspek seperti kehematan, daya guna serta hasil guna menjadi mutlak diperhatikan disamping aspek daur ulang (recycling) yang senantiasa harus diusahakan dengan menggunakan bermacam-macam teknologi sederhana atau teknologi pedesaan (rural technology). Pengendalian pemanfaatan sumber daya secara bijaksana tidak hanya ditujukan kepada penghematan sumber daya tidak terbarui, tetapi juga kepada pencarian sumber daya alternatif lainnya guna memperoleh energi. Sumber daya lainnya itu menurut Koesnadi Hardjasoemantri, dapat berupa “biogas, biomassa, energi angin (windenergy), energi surya (solar energy), Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC), energi nuklir dan lain-lain”.29

6. Terlindunginya negara kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Sasaran yang terakhir ini sebagai wujud hak dari negara yang berdaulat seperti Indonesia untuk melindungi dirinya dari dampak pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh negara lain. Oleh karena itu, untuk

29


(1)

pelanggaran. adapun upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melalui berbagai instrumen hukum, yaitu Administrasi (Tata Usaha Negara), Pidana ataupun Perdata


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Dari uraian dalam tulisan ini, maka dapatlah diberikan kesimpulan demi menjawab permasalahan, yaitu :

1. Otonomi daerah telah memberikan kewenangan penuh kepada setiap pemerintah daerah secara proporsional untuk mengembangkan potensi yang ada dalam proses pembangunan yang terencana dengan baik, realistik dan strategik dan bernuansa lingkungan yang dalam jangka panjang dapat menjamin pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Oleh karena itu peran pemerintah daerah kota Binjai dalam perumusan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup sangat diperlukan untuk mengurangi terjadinya dan pemanfaatan sumberdaya alam dengan tetap memperhatikan memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan, penghormatan hak-hak asasi manusia, demokrasi, kesetaraan gender dan pemerintah yang baik.

2. Pelaksanaan kebijakan pengelola lingkungan hidup di kota binjai merupakan bagian dari pembangunan nasional yang sejalan dalam rangka implementasi otonomi daerah, berbagai kebijakan dan program yang telah dilakukan bertujuan dalam rangka peningkatan pembangunan daerah yang berwawasan lingkungan dengan tetap beracuan kepada Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi


(3)

masyarakat adat dan lokal untuk dapat berperan aktif sehingga pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan di kota Binjai dapat tetap terjamin.

B. Saran-Saran

1. Dalam penerapan otonomi daerah pemerintah daerah diharapkan mengembangkan potensi sumberdaya alam yang ada untuk menunjang pembangunan berkelanjutan yang meliputi aspek pelestarian, kesejahteraan sosial dengan melakukan :

a. memperluas area hutan kota;

b. meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat dalam pengurusan izin;

c. melakukan sosialisasi yang rutin kepada masyarakat dan pelaku usaha dan/atau kegiatan terhadap pentingnya pengelolaan lingkungan hidup.

2. Diharapkan kepada pemerintah daerah Kota Binjai setiap mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan proses pembangunan daerahnya tetap memperhatikan aspek pengelolaan lingkungan hidup dan melibatkan peran serta masyarakat untuk aktif dalam pengelolaan lingkungan hidup, sehingga secara dini dapat diantisipasi munculnya permasalahan dan resiko lingkungan yang negatif.


(4)

DAFTAR BACAAN A. Buku-Buku

Abdurrahman, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia. Bandung: Alumni, 1983. Absori, Penegakan Hukum Lingkungan & Antisipasi dalam Era Perdagangan Bebas.

Yogyakarta: Muhammadiyah University Press, 2000.

Alvi Syahrin, Tindak Pidana Lingkungan Hidup. Medan: Fakultas Hukum USU, 1997.

Amsyari, Fuad, Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981.

Alam Setia Zain, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan, Rineka Cipta, 1997.

Arifin, Syamsul, Upaya Penegakan Hukum Lingkungan dalam Mewujudkan

Pembangunan Berwawasan Lingkungan di Sumatera Utara. Medan: Pustaka

Bangsa Press, 2004.

Bismar Nasution, dkk., Perilaku Hukum dan Moral di Indonesia, Kumpulan Tulisan

70 Tahun Prof. Muhamamad Abduh, SH. Medan: USU Press, 2004.

Bapedaldasu bekerjasama dengan Lembaga Penelitian USU, Prosedur Penegakan

Hukum Lingkungan Hidup. Medan: t.p., 2002.

Harahap, M. Yahya, Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.

Hardjasoemantri, Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, Edisi ke-7. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999.

Kamelo, Tan, Butir-Butir Pemikiran Hukum Guru Besar Dari Masa ke Masa, Pidato

Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Hukum USU 1979-2001. Medan:

Pustaka Bangsa Press, 2003.

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional

Suatu Uraian tentang Landasan Pikiran Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum Indonesia. Jakarta: Bina Cipta, 1976.


(5)

M. Hamdan, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Bandung: Mandar Maju, 2000.

Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan, Buku I Umum, Bandung : Binacipta, 1981.

---, Bunga Rampai Hukum Lingkungan I, Jakarta : Binacipta, 1984.

Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 1998.

Nasution, Bismar, dkk., Perilaku Hukum dan Moral di Indonesia, Kumpulan Tulisan

70 Tahun Prof. Muhamamad Abduh, SH. Medan: USU Press, 2004.

Patterson, Edwin, Law in a Scientific Age. New York: Columbia University Press, 1963.

Rasjidi, Lili dan Putra, I.B. Wiyasa, Hukum Sebagai Suatu Sistem. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993.

R M. Gatot P Soemartono, Mengenal Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, 1991.

Santoso, Mas Achmad, Penegakan Hukum Lingkungan Administratif, Pidana dan

Perdata Berdasarkan Sistem Hukum Indonesia. 2000.

---, Peran Serta Masyarakat dalam Pengendalian Dampak Lingkungan, Jakarta : Indonesian Centre for Environmental Law, 1995.

Sunoto, 1997, Analisis Kebijakan dalam Pembangunan Berkelanjutan, Bahan Pelatihan Analisis Kebijakan Bagi Pengelola Lingkungan, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta.

Schaffmeister, E., Kekhawatiran Masa Kini (Pemikiran Mengenai Hukum Pidana

Lingkungan Dalam Teori dan Praktek). Diterjemahkan oleh Tritam P.

Moeliono, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1984.

---, Pembangunan Berkelanjutan (Perkembangannya, Prinsip-Prinsip dan


(6)

---, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan

Permukiman Berkelanjutan. Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003.

B. Makalah

Arifin, Syamsul, “Peraturan Perundang-undangan Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Makalah Materi Kursus Dasar-Dasar Amdal Tipe A, Tanggal 10 s/d 20 Maret 2003. (Angkatan VI).

Hamid, Hamrat, Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Tindakan Administrasi

Negara, Perdata, dan Pidana. Makalah Seminar Hukum Lingkungan

Fakultas Hukum UNS, Surakarta, tanggal 21 Pebruari 1992.

Staudinger, Jeff, RCRA Enforcement : Problem and Reform, dalam Stanford Environmental Law Society, Strategis for Environmental Enforcement. The Stanford University School of Law Environmental and Natural Resources, Stanford University, 1995.

C. Peraturan Perundang-Undangan

Undang–Undang Dasar 1945 (Hasil Amandemen)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya