Tinjauan Yuridis Perbuatan Melawan Hukum yang Mengakibatkan Kerugian Berupa Penipuan Penawaran Jasa Pengurusan Menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Antara Gremeny Siahaan dengan Tiromanta Sinambela (Studi Putusan Nomor 41/Pdt.G/2013/PN.Mdn)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Asnawi, M. Natsir, Hermeneutika Putusan Hakim, UII Press Yogyakarta, Yogyakarta, 2014.

Azman, Nur Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Bandung: Penabur Ilmu, 2001) Badrulzaman , Mariam Darus,dkk., Kompilasi Hukum Perikatan. PT.Citra Aditya

Bakti, Bandung, 2001.

Badrulzaman, Mariam Darus, Hukum Perikatan Dalam KUH Perdata Buku

Ketiga, Penerbit: Citra Aditya, bandung, 2015. ______

, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasan, cet.2, PT.Alumni, Bandung, 2006.

Djojodirjo, M.A. Moegni, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1982.

Fajar , Mukti ND. dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,2010.

Fuady, Munir, Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2005.

_____

, Konsep Hukum Perdata, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015.

Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,

Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta,

2010.

Ibrahim, Jhonny Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif Bayumedia Publissing, Malang, 2011.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, edisi ke tujuh, Liberty yogyakarta, 2002.

Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990. Mulyadi, Lilik, Tuntutan Provisionil Dan Uang Paksa (Dwangsom) Dalam

Hukum Acara Perdata, PT Alumni, Bandung,2012. _____

, Tuntutan Uang Paksa (Dwangsom) Dalam Teori dan Praktik, PT Penerbit Djambatan, Jakarta, 2001.


(2)

Projodikoro, Wirjono, Perbuatan Melawan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000.

Simorangkir, J.C.T., dkk, Kamus Hukum, Penerbit: Aksara Baru. Jakarta, 1980. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan Singkat (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2004

Subekti & Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1971. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT.Intermasa, Jakarta , 1977.

Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori Dan Analisis Kasus, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007.

Tumpa, Harifin. A, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) Dan

Implementasinya di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,

2010.

Widjaja, Gunawan & Kartini Muljadi, Seri Hukum Perikatan Perikatan Yang

Lahir Dari Undang-Undang, Penerbit: PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2003.

Yahman, Karakteristik Wanprestasi Dan Tindak Pidana Penipuan, Prenadamedia Group, Jakarta,2007.

PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

INTERNET


(3)

BAB III

TINJAUAN TENTANG GANTI KERUGIAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UANG PAKSA (DWANGSOM)

A. Kerugian

Akibat dari adanya perbuatan melawan hukum adalah timbulnya kerugian bagi korban. Kerugian tersebut harus diganti oleh orang-orang yang dibebankan oleh hukum untuk mengganti kerugian tersebut. Mengenai kerugian ini, dalam beberapa bahasa dikenal dengan istilah berikut :

1. Bahasa Inggris : damages 2. Bahasa Belanda : nadeel 3. Bahasa Jerman : schaden 4. Bahasa Perancis : dommage

5. Bahasa Spanyol : dano

Sebenarnya hukum yang mengatur mengenai ganti rugi perdata ini sudah dikenal dalam sejarah hukum. Dalam Lex Aquilia salah satu undang-undang yang berlaku di zaman Romawi, konsep ganti rugi ini justru dapat terbaca dalam chapter pertamanya, yang mengatur sebagai berikut :

Jika seseorang secara melawan hukum membunuh seorang budak belian atau gadis hamba sahaya milik orang lain atau binatang ternak berkaki 4 (empat) milik orang lain, maka pembunuhnya harus membayar kepada pemiliknya sebesar nilai tertinggi yang didapati oleh properti tersebut tahun lalu. Ganti rugi tersebut menjadi berlipat 2 (dua) jika pihak tergugat menolak tanggung jawabnya.39


(4)

a. Kerugian pada umumnya

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud Kerugian adalah kondisi di mana sesorang tidak mendapatkan keuntungan dari apa yang telah mereka keluarkan (modal).

Kerugian dalam hukum dapat dipisahkan menjadi dua (2) klasifikasi, yakni kerugian materil dan kerugian immateril:40

Kerugian materil: Yaitu kerugian yang nyata-nyata ada yang diderita oleh pemohon.

Kerugian immateril: Yaitu kerugian atas manfaat yang kemungkinan akan diterima oleh pemohon di kemudian hari atau kerugian dari kehilangan keuntungan yang mungkin diterima oleh pemohon di kemudian hari.

Pengertian kerugian menurut R. Setiawan, adalah kerugian nyata yang terjadi karena wanprestasi. Adapun besarnya kerugian ditentukan dengan membandingkan keadaan kekayaan setelah wanprestasi dengan keadaan jika sekiranya tidak terjadi wanprestasi. Pengertian kerugian dikemukakan oleh Yahya Harahap, ganti rugi ialah “kerugian nyata” atau “fietelijke

nadeel” yang ditimbulkan perbuatan wanprestasi. Kerugian nyata ini

ditentukan oleh suatu perbandingan keadaan yang tidak dilakukan oleh pihak debitur. Lebih lanjut dibahas oleh Yahya Harahap, kalau begitu dapat kita ambil suatu rumusan, besarnya jumlah ganti rugi kira-kira sebesar jumlah yang “wajar” sesuai dengan besarnya nilai prestasi yang menjadi obyek perjanjian dibanding dengan keadaan yang menyebabkan timbulnya

40


(5)

35

wanprestasi. Atau ada juga yang berpendapat besarnya ganti rugi ialah “sebesar kerugian nyata” yang diderita kreditur yang menyebabkan timbulnya kekurangan nilai keutungan yang akan diperolehnya.

Bila kita tinjau secara mendalam, kerugian adalah suatu pengertian yang relatif, yang bertumpu pada suatu perbandingan antara dua keadaan. Pengertian kerugian dibentuk oleh perbandingan antara situasi sesungguhnya (bagaiaman dalam kenyataannya keadaan harta kekayaan sebagai akibat pelanggaran norma) dengan situasi hipotesis (situasi itu akan menjadi bagaimana andaikata pelanggaran norma tersebut tidak terjadi).

Sehingga dapat ditarik suatu rumusan mengenai kerugian adalah situasi berkurangnya harta kekayaan salah satu pihak yang ditimbulkan dari suatu perikatan (baik melalui perjanjian maupun melalui undang-undang) dikarenakan pelanggaran norma oleh pihak lain.41

b. Kerugian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum perdata, yang merupakan kiblatnya hukum perdata di Indonesia, termasuk kiblat bagi hukum yang berkenaan dengan perbuatan melawan hukum, mengatur kerugian dan ganti rugi dalam hubungannya dengan perbuatan melawan hukum dengan 2 (dua) pendekatan sebagai berikut:

1) Ganti rugi umum 2) Ganti rugi khusus

Yang dimaksud dengan ganti rugi umum dalam hal ini adalah ganti rugi yang berlaku untuk semua kasus, baik untuk kasus-kasus wanprestasi

41


(6)

kontrak, maupun kasus-kasus yang berkenaan dengan perikatan lainnya, termasuk karena perbuatan melawan hukum.

Ketentuan tentang ganti rugi yang umum ini oleh KUH Perdata diatur dalam Bagian Keempat dari Buku Ketiga, mulai dari Pasal 1243 sampai dengan Pasal 1252.

Dalam rumusan Pasal 1243 KUHPerdata dikatakan bahwa :

“Pergantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila debitor, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuatnya dalam tggang waktu yang telah dilampaukannya.”

Dalam hal ini ganti rugi tersebut, KUH Perdata secara konsisten untuk ganti rugi digunakan istilah 42

biaya, rugi, dan bunga

Pengertian dari biaya adalah setiap cost atau uang, atau apapun yang dapat dinilai dengan uang yang telah dikeluarkan secara nyata oleh pihak yang dirugikan, sebagai akibat dari wanprestasi dari kontrak atau sebagai akibat dari tidak dilaksanakannya perikatan lainnya, termasuk perikatan karena adanya perbuatan melawan hukum. Misalnya, biaya perjalanan, konsumsi, biaya akta notaris, dan lain-lain.

Kemudian, yang dimaksud dengan “rugi” atau “kerugian” (dalam arti sempit) adalah keadaan berkurang (merosotnya) nilai kekayaan kreditur sebagai akibat dari adanya wanprestasi dari kontrak atau sebagai akibat dari tidak dilaksanakannya perikatan lainnya, termasuk perikatan karena adanya pebuatan melawan hukum.


(7)

37

yang seharusnya diperoleh, tetapi tidak jadi diperoleh oleh pihak kreditur karena adanya wanprestasi dari kontrak atau sebagai akibat dari tidak dilaksanakannya perikatan lainnya, termasuk perikatan karena adanya perbuatan melawan hukum. Dengan begitu, pengertian bunga dalam istilah sehari-hari, yang hanya berarti “bunga uang” (interest), yang hanya ditentukan dengan presentase dari hutang pokoknya.

Selain dari ganti rugi umum yang diatur mulai dari Pasal 1243 KUH Perdata, KUH Perdata juga mengatur ganti rugi khusus, yakni ganti rugi khusus terhadap kerugian yang timbul dari perikatan-perikatan tertentu.

Hubungan dengan ganti rugi yang terbit dari suatu perbuatan melawan hukum, selain dari ganti rugi dalam bentuk yang umum, KUH Perdata juga menyebutkan pemberian ganti rugi terhadap hal-hal sebagai berikut :43

(a)Ganti rugi untuk semua perbuatan melawan hukum (Pasal 1365)

(b)Ganti rugi untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain (Pasal 1366 dan Pasal 1367)

(c)Ganti rugi untuk pemilik binatang (Pasal 1368)

(d)Ganti rugi untuk pemilik gedung yang ambruk (Pasal 1369)

(e)Ganti rugi untuk keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang dibunuh (Pasal 1370)

(f)Ganti rugi karena orang telah luka atau cacat anggota badan (Pasal 1371)

(g)Ganti rugi karena tindakan penghinaan (Pasal 1372 sampai dengan Pasal 1380)


(8)

Untuk ketiga model ganti rugi yang disebut terakhir tersebut, Pasal 1370, Pasal 1371, Pasal 1372, Pasal 1373, dan Pasal 1374 bahkan memperinci cara menghitung ganti rugi dan model-model ganti rugi yang dapat dituntut oleh pihak korban. 44

Pada asasnya bentuk dari ganti rugi yang lazim dipergunakan ialah uang, oleh karena menurut ahli-ahli hukum perdata maupun yurisprudensi, uang merupakan alat yang praktis, yang paling sedikit menimbulkan selisih dalam menyelesaikan sesuatu sengketa. Selain uang, masih ada bentuk-bentuk lain yang diperlukan sebagai bentuk-bentuk ganti rugi, yaitu: pemulihan ke keadaan semula (in natura) dan larangan untuk mengulangi. Keduanya ini kalau tidak ditepati dapat diperkuat dengan uang paksa. Jadi, uang paksa bukanlah merupakan bentuk atau wujud ganti rugi.45

1.1 Kerugian secara ekonomis, misalnya pengeluaran biaya pengobatan dan rumah sakit.

Dilihat dari jenis konsekuensi dari perbuatan melawan hukum, khususnya perbuatan melawan hukum terhadap tubuh orang, maka ganti rugi dapat diberikan jika terdapat salah satu dari unsur-unsur sebagai berikut

1.2 Luka atau cacat terhadap tubuh korban. 1.3 Adanya rasa sakit secara fisik.

1.4 Sakit secara mental, seperti stres, sangat sedih, rasa bermusuhan yang berlebihan, cemas, dan berbagai gangguan mental/jiwa, lainnya. Dalam hal KUH Perdata tidak dengan tegas bahkan tidak mengatur

44 Ibid, hal.138 45

Mariam Darus Badrulzaman,dkk., Kompilasi Hukum Perikatan. PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal.23


(9)

39

secara rinci tentang ganti rugi terntentu, atau tentang salah satu aspek dari ganti rugi, maka hakim mempunyai kebebasan untuk menerapkan ganti rugi tersebut sesuai dengan asas kepatutan, sejauh hal tersebut memang dimintakan oleh pihak penggugat. Justifikasi terhadap kebebasan hakim ini adalah karena penafsiran kata rugi, biaya dan bunga tersebut sangat luas dan dapat mencakup hampir segala hal yang bersangkutan dengan ganti rugi.

Menurut KUH Perdata, ketentuan tentang ganti rugi karena akibat dari perbuatan melawan hukum tidak jauh berbeda dengan ganti rugi karena wanprestasi terhadap kontrak. Persyaratan-persyaratan terhadap ganti rugi menurut KUH Perdata, khususnya ganti rugi karena perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut :46

a. Komponen kerugian

Komponen dari suatu ganti rugi terdiri dari : 1) Biaya,

2) Rugi, dan 3) Bunga.

b. Starting point dari ganti rugi

Starting point atau saat mulainya dihitung adanya ganti rugi adalah

sebagai berikut :

(1) Pada saat dinyatakan wanprestasi, debitur tetap melalaikan kewajibannya, ataupun

(2)Jika prestasinya adalah sesuatu yang harus diberikan, sejak saat dilampauinya tenggang waktu dimana sebenarnya debitur sudah


(10)

dapat membuat atau memberikan prestasi tersebut.

c. Bukan karena alasan force majeure

Ganti rugi baru dapat diberikan kepada pihak korban jika kejadian yang menimbulkan kerugian tersebut tidak tergolong ke dalam tindakan

force majeure.

d. Saat terjadinya kerugian

Suatu ganti rugi hanya dapat diberikan terhadap kerugian sebagai berikut :

(1)Kerugian yang benar-benar dideritanya.

(2)Terhadap kerugian karena kehilangan keuntungan atau pendapatan yang sedianya dapat dinikmati oleh korban.

e. Kerugian dapat diduga

Kerugian yang wajib diganti oleh pelaku perbuatan melawan hukum adalah kerugian yang dapat diduga terjadinya. Maksudnya adalah bahwa kerugian yang timbul tersebut haruslah diharapkan akan terjadi, atau patut diduga akan terjadi, dugaan mana sudah ada pada saat dilakukannya perbuatan melawan hukum tersebut.

Menentukan besarnya jumlah ganti rugi, undang-undang memberikan beberapa pedoman, yaitu besarnya jumlah gani rugi itu ditentukan sendiri oleh undang-undang, misalnya Pasal 1250 KUHPerdata antara lain mengatakan bahwa:

“Dalam tiap-tiap perikatan yang semata-mata berhubungan dengan pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekadar disebabkan karena terlambatnya pelaksanaan oleh undang-undang, dengan tidak mengurangi peraturan-peraturan undang-undang khusus.”


(11)

41

Undang-undang yang ditunjuk Pasal 1250 KUHPerdata ini adalah undang-undang yang dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1948 Nomor 22 yang menetapkan besarnya jumlah bunga 6% (enam persen) setahun. Oleh karena kelalaiannya, maka bunga itu dinamakan “bunga moratoir” (bunga karena kelalaian).

1. Pihak-pihak sendiri menentukan besarnya jumlah ganti rugi.

2. Jika tidak ada ketentuan dalam undang-undang dan para pihak sendiri juga tidak menentukan apa-apa, maka besarnya ganti rugi ini harus ditentukan berdasarkan kerugian yang benar-benar telah terjadi, atau dapat diduga sedemikian rupa sehingga keadaan kekayaan (vermogen) dari si berpiutang harus sama seperti seandainya si berutang memenuhi kewajibannya.

Kerugian yang jumlahnya melampaui batas, yang dapat diduga tidak boleh dilimpahkan kepada debitur.47

B. Uang Paksa (Dwangsom)

Sebagaimana diketahui bersama bahwa lembaga uang paksa dari aspek istilah merupakan terminologi kata “dwangsom” dalam rumpun Belanda atau kata “astreinte” pada rumpun hukum Perancis. Kemudian ditinjau dari optik teori dan praktik eksistensi uang paksa (dwangsom) ini lazim dijumpai pada hampir setiap gugatan. Konkretnya, dalam perkara perdata kerap dituntut adanya uang paksa oleh penggugat kepada pihak tergugat.48

Pada hakekatnya secara substansial di Indonesia dasar hukum penerapan

47 Mariam Darus Badrulzaman,dkk., Op.Cit., hal.24

48 Lilik Mulyadi,S.H.,M.H., Tuntutan Uang Paksa (Dwangsom) Dalam Teori dan


(12)

uang paksa (dwangsom) menurut teori dan praktik di peradilan diatur di dalam Pasal 606a dan Pasal 606b Rv (Stb. 1847-52 jo Stb. 1849-63 jo Stb.1938-360 jis 361,276), Ketentuan pasal 606a dan Pasal 606 Rv tersebut hanya mengatur secara singkat tentang uang paksa (dwangsom) yang sebagai berikut :49

Berikut ini untuk memperoleh deskripsi memadai tentang pengaturan lembaga uang paksa (dwangsom) dalam ketentuan Rv Belanda, yakni:

Pasal 606a RV

“sepanjang suatu keputusan hakim mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain daripada membayar sejumlah uang maka dapat ditentukan bahwa sepanjang atau setiap kali terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut, olehnya harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam keputusan hakim, dan uang tersebut dinamakan uang paksa”

Pasal 606b Rv:

“bila keputusan tersebut tidak dipenuhi, maka pihak lawan dari terhukum berwenang untuk melaksanakan keputusan terhadap sejumlah uang paksa yang telah ditentukan tanpa terlebih dahulu memperoleh alas hak baru menurut hukum.”

Sedangkan apabila diperbandingkan ketentuan terhadap penerapan uang paksa (dwangsom) dalam ketentuan hukum Belanda maka dirasakan lebih luas dan lengkap ruang lingkup peraturannya. Pada ketentuan hukum Belanda ketentuan tentang uang paksa (dwangsom) ini diatur dalam Pasal 611 a-i Rv Belanda.

50

1. Atas tuntutan salah satu pihak, hakim dapat menghukum pihak lainnya untuk membayar sejumlah uang yang disebut uang paksa dalam hal tidak dipenuhi hukuman pokok tanpa mengurangi hak atas ganti rugi, apabila terhadap alasan untuk itu. Sesungguhnya uang paksa tidak dapat dijatuhkan dalam hal penghukuman untuk pembayaran sejumlah uang

Pasal 611a Rv Belanda :


(13)

43

2. Uang paksa dapat juga dituntut untuk pertama kalinya dalam verzet atau pada tingkat banding

3. uang paksa tidak berkekuatan, sebelum putusan yang memuat

dwangsom itu, diberitahukan kepada si terhukum.

4. Hakim dapat menentukan bahwa terhukum baru akan melaksanakan

dwangsom setelah lewat waktu yang ditentukan.

Pasal 611 b Rv Belanda redaksionalnya menyebutkan bahwa

Hakim dapat menentukan dwangsom dengan suatu jumlah sekaligus atau suatu jumlah untuk setiap jangka waktu atau untuk setiap pelanggaran. Dalam hal yang disebut kedua keadaan terakhir, hakim dapat juga menetapkan suatu jumlah tertentu, dwangsom yang lebih dan jumlah itu tidak berkekuatan.

Selanjutnya pasal 611 c Rv Belanda berbunyi, bahwa:

Uang paksa sekali telah ditetapkan menjadi hak sepenuhnya dari pihak yaang memperoleh hak atas keputusan itu. Pihak ini dapat melaksanakan uang paksa berdasarkan atas alas hak yang telah ditetapkan itu.

Selanjutnya ketentuan Pasal 611 d Rv Belanda dengan tegas menyebutkan bahwa :51

a. Atas permintaan dari terhukum, hakim yang telah menjatuhkan uang paksa, dapat menghapus uang paksa itu, menunda uang paksa itu selama jangka waktu yang ditetapkannya atau mengurangi jumlah atau jangka waktu uang paksa itu baik seluruhnya maupun sebagian, dalam hal tertentu tidak mungkin melaksanakan hukuman pokok.

b. Di dalam hal uang paksa telah berkekuatan, hakim tidak boleh menghapus atau mengurangi uang paksa itu, sebelum ternyata ketidakmungkinan itu.

Pasal 611f Rv Belanda redaksional selengkapnya berbunyi sebagai berikut: 1) Setelah meninggalnya si terhukum, maka uang paksa yang telah

ditetapkan dengan suatu jumlah tertentu untuk setiap jangka waktu, tidak berkekuatan hukum lagi, tetapi apabila uang paksa itu telah berkekuatan sebelum terhukum meninggal, tetap terutang. Uang paksa baru berkekuatan bagi ahli waris terhukum setelah hakim menetapkannya kembali, jadi mempunyai kepastian. Hakim dalam hal dapat merubah jumlah dan syarat-syarat uang paksa itu.

2) Uang paksa lainnya dapat dihapus atau dikurangi oleh hakim yang telah menetapkan uang paksa itu, atas tuntutan ahli waris si terhukum,


(14)

baik mengenai jumlah maupun waktunya, sejak terhukum meninggal dunia.

Kemudian Pasal 611 g Rv Belanda menyebutkan bahwa :

(a)Uang paksa kadaluarsa setelah lewat 6 bulan sejak hari keputusan uang paksa itu ditetapkan.

(b)Kadaluarsa juga tertunda karena pailit, dan ketentuan-ketentuan undang-undang lain menghalangi pelaksanaan uang paksa.

(c)Kadaluarsa juga tertunda sepanjang yang memperoleh hak atas hukuman itu secara patut tidak dapat dikenali.

Sedangkan ketentuan Pasal 611 h dan Pasal 611 i Rv Belanda menyebutkan bahwa:52

Jadi, oleh karena dasar pengaturan uang paksa (dwangsom) di Indonesia merupakan absorptie/serapan dari Rv Belanda dan secara historis yuridis

Ketentuan-ketentuan pada kewenangan pengadilan dan instansi banding tidak berlaku bagi uang paksa.

Pasal 611 i Rv Belanda yaitu, yang dimaksud hakim dalam bagian ketiga ini termasuk juga para wasit.

Dari beberapa peraturan sebagaima di uraikan di atas jikalau diperbandingkan secara selintas ternyata dimensi ketentuan uang paksa (dwangsom) dalam Rv Belanda dirasakan lebih lengkap, sistematis, dan aktual ruang lingkupnya. Pada ketentutan Rv yang termaktub dan diterapkan di Indonesia hanya mencakup 2 (dua) pasal yaitu Pasal 606a dan Pasal 606b Rv yang pardant dengan kententuan Pasal 611a ayat (1) dan 606b Rv Belanda. Maka oleh karena itu terhadap pengaturan uang paksa (dwangsom) berupa perubahan uang paksa/dwangsom yang dapat berupa penghapusan penundaan atau pengurangan dwangsom (Pasal 611g Rv Belanda), kepailitan dwangsom (Pasal 611e Rv Belanda), dan lain sebagainya tidak diatur secara tegas dalam ketentuan Rv Indonesia.


(15)

45

diterapkan di Indonesia bertitik tolak pada asas konkordansi, dan dengan melihat kebutuhan mendesak praktik peradilan maka rasanya tidak ada bandingnya pada Rv Indonesia (Stb.1847-52 jo Stb.1849-63 jo Stb.1938-360 jis 362, 276) diterapkan (mutatis mutandis) sepanjang dianggap sepadan dengan materi perkara, kemudian diterapkan secara selektif dan sifatnya kasuistis.53

1. Pengertian dan sifat dari tuntutan uang paksa

Apabila dikaji secara mendalam, maka ketentuan 606a Rv Pasal 611a ayat (1) dengan tegas tidak ditemukan mengenai batasan dari tuntutan uang paksa (dwangsom).54

a. Mr. P. A. Stein mengemukakan bahwa uang paksa (dwangsom) sebagai: Oleh karena itu, maka batasan tentang uang paksa didapatkan melalui pandangan para doktrina, makna leksikon maupun visi praktisi hukum:

“sejumlah uang yang ditetapkan dalam putusan, hukuman tersebut diserahkan kepada penggugat, di dalam hal sepanjang atau sewaktu-waktu si terhukum tidak melaksanakan hukuman. Uang paksa ditetapkan di dalam suatu jumlah baik berupa sejumlah uang paksa sekaligus, maupun setiap jangka waktu atau setiap pelanggaran”

b. J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin dan J.T. prasetya menyebutkan uang paksa (dwangsom) adalah :

“uang paksa yang ditetapkan sebagai hukuman yang harus dibayar karena perjanjian yang tidak dipenuhi.”55

53 Ibid, hal.13 54

Lilik Mulyadi, Tuntutan Provisionil Dan Uang Paksa (Dwangsom) Dalam Hukum Acara Perdata, PT Alumni, Bandung,2012, hal.179

55 J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin dan Prasetya J.T., Kamus Hukum, Penerbit: Aksara


(16)

c. Subekti dan Tjitrosoedibio menyebutkan bahwa uang paksa (dwangsom) itu adalah:

“sebegitu jauh suatu putusan pengadilan memutuskan penghukuman untuk sesuatu lain daripada untuk membayar sejumlah uang, maka dapatlah ditentukan di dalamnya, bahwa si terhukum tidak/belum memenuhi keputusan tersebut, ia pun wajib membayar sejumlah uang yang ditetapkan dalam putusan itu, uang mana disebut uang paksa (Pasal 605a Rechtsvordering). Dengan demikian maka uang paksa merupakan suatu alat eksekusi secara tidak langsung.”56

Definisi sebagaimana tersebut di atas merupakan batasan secara teoretis dan praktik tentang uang paksa (dwangsom) yang mana dari batasan tersebut dapatlah ditarik beberapa sifat uang paksa adalah sebagai berikut :

Dari teori tersebut maka dapatlah disimpulkan secara singkat dan sederhana bahwa tuntutan uang paksa (dwangsom) itu adalah suatu tuntutan tambahan yang dilakukan oleh penggugat/para penggugat kepada pihak tergugat/para tergugat berupa sejumlah uang agar dalam putusan hakim ditetapkan supaya terhukum harus membayarnya selain dari pembayaran sejumlah uang jikalau hukuman pokok tersebut tidak dipenuhi oleh si terhukum.

57

1) Pertama, bersifat accesoir, dengan pengertian bahwa : tidak ada

dwangsom apabila tidak ada hukuman pokok. Dwangsom selalu harus

mengikuti hukuman pokok dengan kata lain bahwa dwangsom tidak mungkin dijatuhkan tanpa hukuman pokok. Kalau seorang penggugat


(17)

47

dalam dalil (posita) gugatannya menyatakan bahwa tergugat telah lalai menyerahkan barang yang dibelinya padahal barang tersebut telah dibayar lunas. Akan tetapi penggugat dalam petitum gugatannya tidak meminta agar tergugat dihukum untuk menyerahkan barang yang dibelinya tersebut, penggugat hanya menuntut dwangsom (uang paksa), maka hakim tidak dapat mengabulkan permintaan dwangsom tersebut walaupun dalil gugatan penggugat terbukti. Apabila hukuman pokok telah dilaksanakan oleh si terhukum maka dwangsom yang ditetapkan bersama hukuman pokok tadi tidak berkekuatan hukum lagi. Apabila penggugat yang menuntut penyerahan barang yang dibelinya dan apabila tergugat lalai menyerahkan barang tersebut maka tergugat dihukum untuk membayar uang paksa dan hakim mengabulkan hukuman tersebut, maka apabila tergugat telah menyerahkan barang yang dituntut itu kepada penggugat, maka dwangsom tidak berkekuatan hukum lagi. Dengan kata lain, bahwa dwangsom yang ditetapkan tidak berlaku lagi.

2) Kedua, yaitu hukuman tambahan. Ini berarti bahwa apabila hukuman pokok yang ditetapkan oleh hakim tidak dipenuhi oleh tergugat dengan suka rela, maka dwangsom diperlakukan (dapat dieksekusi). Apabila

dwangsom telah dilaksanakan tidak berarti bahwa hukuman pokok telah

hapus. Hukuman pokok masih tetap dapat dilaksanakan. Apabila hakim dalam putusannya memerintahkan kepada tergugat menyerahkan barang yang telah dibeli oleh penggugat disertai suatu dwangsom, maka apabila tergugat lalai menyerahkan barang tersebut, maka tergugat diwajibkan


(18)

pula untuk membayar uang paksa yang ditetapkan oleh hakim tersebut. Apabila uang paksa yang ditetapkan oleh hakim telah dilaksanakan terhukum, tetapi penyerahan barang yang diperintahkan oleh hakim tidak dilaksanakan oleh tergugat, maka penyerahan barang tersebut tetap wajib dilaksanakan oleh terhukum. Hukuman pokok tidak hapus dengan adanya pelaksanaan dwangsom.

3) Ketiga, bersifat pressie middel yakni sebagai upaya tekanan agar terhukum mau mematuhi atau melaksanakan hukuman pokok. Dengan demikian dapat juga disebutkan upaya tekanan ini diharapkan dapat menekan secara psikologis terhukum. Suatu dwangsom dimintakan penggugat dalam surat gugatannya mungkin ada baiknya hakim dapat mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh, faktual dan penuh kehati-hatian dalam menjatuhkan dwangsom. Tegasnya sepanjang hakim telah mempertimbangkan dari aspek kearifan dan kehati-hatian (discretionaire bevoegheid) tidak ada salahnya apabila dwangsom dijatuhkan kepada terhukum agar terhukum secara psikologis bersungguh-sungguh untuk dapat melaksanakan hukuman pokok.

Lembaga dwangsom adalah merupakan suatu alat eksekusi ini tidak diragukan, karena penempatannya di Kitab Undang-Undang (Rechtsreglements

Burgerlijke Rechtsvordering) dalam Buku II yang berjudul “Tentang

Pelaksanaan Putusan dan Akta-Akta Autentik,” pembuat undang-undang memandang dwangsom itu sebagai alat untuk memaksa agar putusan pengadilan dilaksanakan. Hal ini tergambar di dalam rumusan ketentuan Pasal 611a Rv Belanda. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa dwangsom


(19)

49

adalah sisi lain dari eksekusi yang seolah-olah bekerja dari samping.58

Secara khusus perlu pula diperhatikan, bahwa suatu putusan dapat juga berisi suatu keharusan untuk tidak melakukan hal-hal tertentu, yaitu berupa larangan untuk melakukan sesuatu. Hal ini bertujuan agar di kemudian hari tidak terjadi serangan yang merupakan pelanggaran dari apa yang tidak boleh dilakukan oleh terhukum. Larangan seperti ini dapat diberikan apabila ancaman itu serius. Dalam hal demikian hakim dapat menerapkan

dwangsom yang bertujuan agar larangan itu betul-betul ditaati. Dengan

sendirinya uang paksa itu baru dapat ditagih apabila larangan itu secara nyata telah dilanggar. Eksekusi ditujukan kepada mereka yang menurut putusan hakim dihukum untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dan dalam hal yang demikian dwangsom berfungsi untuk memaksa agar pokok dilaksanakan dengan sukarela.

Eksekusi riil atau verhaal eksekusi bekerja secara langsung untuk terlaksananya hukuman pokok sedangkan, dwangsom bekerja dari samping yang merupakan alat penekan –seperti halnya penyanderaan (gijzeling) – bagi terhukum agar si terhukum melakukan (te doen) atau menyerahkan suatu benda (yang bukan berupa suatu jumlah uang) tertentu.

59

Pembayaran suatu jumlah uang secara paksa (setidak-tidaknya ancaman untuk melakukan itu) digunakan sebagai alat pemaksa, maka alat pemaksa ini tidak diperlakukan di dalam hal keputusan itu berupa pembayaran sejumlah uang.

58 Harifin A.Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) Dan

Implementasinya di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hal.19 59 Ibid, hal.20


(20)

Dengan melihat maksud dan tujuan dari dwangsom tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa dalam eksekusi riil hanya mempunyai dua (2) unsur , yaitu:60

(a)Adanya suatu ancaman (de bedreiging) yang bekerja secara psikis; dan (b)Pelaksanaan secara paksa (de uitvoering geweld)

Sedangkan dwangsom mempunyai unsur yang lebih luas, yaitu: 1.1Ancaman yang berasal dari penerapan dwangsom;

1.2Berlakunya dwangsom; dan 1.3Tuntutan pelaksanaan dwangsom.

Adanya ancaman dari suatu kemungkinan penerapan dwangsom yang kemudian diterapkan dan dilaksanakan secara paksa, si berutang diharapkan melaksanakan secara sukarela apa yang ditentukan dalam hukuman pokok, sebelum dwangsom betul-betul dilaksanakan.

2. Jenis uang paksa (dwangsom) menurut teori dan praktek

Rumusan ketentuan Pasal 611 b (Rv Belanda) mengatur, bahwa hakim dapat menetukan dwangsom dengan suatu jumlah sekaligus atau suatu jumlah untuk setiap jangka waktu atau untuk setiap pelanggaran. Dalam hal yang disebut dua terakhir, hakim dapat menetapkan suatu jumlah tertentu,

dwangsom yang lebih dari jumlah itu tidak berkekuatan.61

a. Suatu jumlah sekaligus misalnya Rp. 15.000.000,- apabila tidak melakukan perbuatan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah aanmaning. Dari ketentuan ini, maka hakim dapat menentukan, bahwa:

b. Suatu jumlah untuk setiap jangka waktu, misalnya Rp. 100.000,- setiap


(21)

51

hari jika ia tidak melaksanakan prestasi yang ditetapkan.

c. Suatu jumlah uang untuk setiap pelanggaran misalnya Rp. 100.000,- untuk setiap kali terhukum tidak mau menyerahkan anak yang akan dibawa oleh bapaknya ber-weekend.

Sebagaimana tertera dalam no. 2 dan no. 3 di atas, hakim juga dapat menentukan suatu jumlah tertentu, yang merupakan batas maksimalnya, misalnya:

Terhukum dihukum dwangsom Rp. 100.000,- setiap kali tidak melakukan prestasi atau Rp.100.000,- setiap kali terhukum melakukan pelanggaran dengan ketentuan dwangsom setinggi-tingginya Rp.10.000.000,- lebih dari itu, dwangsom tidak perlu dibayar. Jadi kalau misalnya terhukum dihukum Rp.100.000,- setiap tidak melakukan prestasi dan hal itu dilakukan selama 1 tahun, maka kalau tidak ada pembatasan dari hakim si terhukum harus membayar dwangsom 365 x Rp.100.000,- = Rp.36.500.000,- tetapi di sini hakim dapat menetapkan jumlah maksimum Rp.10.000.000,-.

3. Uang paksa (dwangsom), hukuman pokok, dan ganti kerugian

Mengacu pada pengertian dwangsom yang telah dijelaskan di atas, dimana antara lain dikatakan bahwa suatu dwangsom yang ditetapkan oleh hakim di dalam putusannya adalah hukuman yang bersifat accesoir, yaitu hukuman yang mengikut pada hukuman pokok. Tidak mungkin ada suatu

dwangsom tanpa hukuman pokok, tetapi hukuman pokok mungkin ada tanpa dwangsom. Dengan kata lain, tidaklah mutlak atau tidaklah selalu suatu

hukuman pokok itu harus disertai dengan dwangsom (sanksi tambahan). Sebagai contoh: Si A menggugat si B menyerahkan sebuah keris pusaka


(22)

kepada si A. Apabila si B lalai menyerahkan keris tersebut, maka si B dihukum untuk membayar uang paksa Rp.1000.000,- setiap hari. Di dalam kasus seperti ini, hakim tidak boleh menjatuhkan putusan hanya pada penghukuman dwangsom, tanpa menghukum si B untuk menyerahkan keris tersebut.

Pasal 611 a RV Belanda, juga cukup jelas maknanya, yaitu hukuman

dwangsom baru berlaku setelah hukuman pokok tidak dilaksanakan.62

Kajian historis menunjukkan bahwa pada waktu pembahasan rancangan undang-undang di Parlemen Belanda sewaktu dwangsom akan dimasukkan ke dalam perundang-undangan Belanda tersebut, ternyata disepakati bahwa

dwangsom harus dilepaskan dari suatu ganti rugi, bunga ataupun denda.

dengan suatu pembayaran suatu dwangsom, dimana si berutang harus membayar dwangsom karena dia tidak menaati perintah yang ditentukan oleh pengadilan. Itu berarti bahwa apabila si berutang tetap melalaikan hukuman pokok yang disertai suatu ganti rugi, ia harus pula membayar

dwangsom, jadi si berutang harus membayar dua kali, baik melalui dwangsom maupun melalui ganti rugi-kepada pihak lainnya. Pembayaran

ganti rugi kepada penggugat sama sekali harus dilepaskan dari pikiran tentang kewajiban membayar ganti rugi kepada pemenang. Hal ini dapat kita simpulkan dari rumusan ketentuan Pasal 611a ayat 1 dan Pasal 611c Rv Belanda.63

62 Ibid, hal.23

Pasal 611a Rv Belanda tersebut menyatakan bahwa hakim dapat menghukum pihak lainnya (tergugat) untuk membayar sejumlah uang, yang disebut dwangsom dengan tidak mengurangi hak ganti rugi dalam hal


(23)

53

tersebut berdasar. Sedangkan menurut rumusan Pasal 611c menentukan bahwa setiap dwangsom yang berkekuatan hukum menjadi hak atas penghukuman itu.64

Bila melihat dan mencermati rumusan-rumusan ketentutan tentang

dwangsom, baik yang berlaku di Indonesia maupun yang berlaku di negeri

Belanda, maka akan diketahui bahwa hakim di dalam menerapkan

dwangsom mempunyai kewenangan diskretionair (kebijaksanaan) untuk

mengabulkan atau tidak suatu permohonan dwangsom. Pemahaman seperti tersebut, dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 606a atau 611a ayat (1) Rv, yang antara lain rumusan ketentuannya:

Oleh karena hukuman dwangsom harus dijatuhkan bersama dengan hukuman pokok, tidak mungkin ada hukuman dwangsom tanpa hukuman pokok. Kemungkinan eksekusi riil bukanlah halangan untuk menjatuhkan

dwangsom. Kalau hukuman pokok itu misalnya adalah pengosongan sebuah

rumah yang dapat dilaksanakan dengan eksekusi riil melalui juru sita dan dibantu dengan alat-alat negara, tidaklah berarti bahwa dwangsom tidak boleh dijatuhkan, justru dengan menjatuhkan dwangsom kemungkinan kesulitan di dalam eksekusi riil yang dihadapi dapat dihindari.

65

Hakim “dapat”, yang berarti kata “dapat” memberi arti bahwa hakim di dalam menjatuhkan dwangsom atau tidak, di dalam suatu perkara tergantung pada keadaan-keadaan, misalnya hakim memahami betul bahwa pihak debitur nantinya tidak akan mampu memenuhi prestasi pokok sehingga rangsangan dalam memenuhi hukuman pokok untuk itu, hakim harus

64 Ibid, hal.27 65 Ibid, hal.80


(24)

memerhatikan kemampuan terhukum, juga seperti atau badan-badan hukum publik lain, dimana hakim memahami bahwa negara, kalau terhukum dikenakan dwangsom tentunya akan mematuhi prestasi pokok secara sukarela (vrijwilling).

Meskipun demikian, terdapat satu hal yang patut dipahami dengan baik bahwa sekalipun hakim memiliki diskretionair didalam menerapkan

dwangsom, namun dwangsom tidaklah dapat diterapkan atas dasar

jabatannya (ambtshalve), sehingga suatu gugatan tanpa dimohonkan adanya

dwangsom, maka hakim tidak boleh mengenakan dwangsom.

Untuk pelaksanaan dwangsom tersebut, dalam praktiknya di dalam dunia peradilan sesuai hukum eksekusi, perhitungan dwangsom dimulai sejak masa peringatan dilampaui oleh tereksekusi, yaitu 8(delapan) hari sejak aanmaning, sedangkan kalau terjadi penundaan eksekusi, maka

dwangsom tidak terutang atau diperhitungkan, yang berarti jumlah uang

paksa selama penundaan tidak dapat dibayarkan dari kekayaan terhukum atau tereksekusi.


(25)

BAB IV

PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG MENGAKIBATKAN KERUGIAN (STUDI PUTUSAN NO.41/PDT.G/2013/PN.MDN)

A. Kasus Posisi

1. Tentang Duduk Perkara

Bahwa Penggugatnya adalah Gremeny Siahaan, laki-laki, lahir di Medan tanggal 09 Januari 1986, pekerjaan Wiiraswasta, beralamat di Medan, Perumnas Simalingkar Jl. Vanili Raya No. 78. Dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya, yakni Advokat, Pengacara & Penasihat Hukum dari Law Office Boni F.Sianipar,S.H.,M.Hum & Partners yang beralamat di Medan, Jl. Sei Merah No.27.

Selanjutnya ialah kedudukan Tergugat yaitu bernama Tiromanta Sinambela, S.Pd, perempuan, lahir di Bakara tanggal 14 September 1966, pekerjaan Ibu Rumah Tangga, beralamat di Medan, Kecamatan Medan Tuntungan, Kelurahan Mangga, Jl. Sagu-3 No.49 A, Perumnas Simalingkar.

Bahwa pada bulan Desember tahun 2009 Tergugat datang menemui Penggugat di halaman Gereja HKPB Simalingkar pada saat Penggugat pulang dari Gereja untuk menawarkan jasa mengurus Penggugat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pada saat itu Tergugat menyanyakan apakah Penggugat ada mengikuti ujian penerimaan PNS bulan September Tahun 2009 dan lulus tidaknya Pengugat dalam ujian tersebut. Yang kemudian Penggugat menjawab bahwa ia tidak lulus ujian penerimaan PNS tersebut. Lalu Tergugat mengatakan bahwa Tergugat dapat dan mampu mengurus Penggugat agar lulus pada penerimaan PNS dengan cara sisipan, menurut Tergugat walaupun sudah keluar


(26)

pengumuman, tetapi SK pengangkatan belum keluar, jadi Tergugat walaupun sudah keluar pengumuman, tetapi SK pengangkatan belum keluar, jadi Tergugat menyatakan bisa mengurus agar keluar SK pengangkatan PNS atas nama Penggugat dengan sisipan. Setelah Tergugat menawarkan jasa pengurusan PNS sebagai bujuk rayu tersebut, selanjutnya Tergugat mengatakan bahwa syarat pengurusan PNS adalah bukti bahwa Tergugat pernah ikut ujian PNS, fotocopy ijazah yang dilegalisir dan biaya pengurusan sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah), yang mana uang sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) diminta untuk diserahkan Penggugat kepada Tergugat selambat-lambatnya bulan Januari 2010.

Bahwa pada tanggal 14 Januari 2010 Penggugat datang ke rumah Tergugat bersama dengan kedua orang kerabat Penggugat yaitu Martahan Sihombing dan Lusinda br. Siahaan serta seorang teman Penggugat bernama Kasandra br. Silaen. Pada saat itu, Tergugat mengatakan bahwa ia dapat menjamin Penggugat menjadi PNS dan jika tidak masuk menjadi PNS, uang Penggugat akan dikembalikan seluruhnya selambat-lambatnya pada bulan April 2010. Karena bujuk rayu tersebut, maka Penggugat menyerahkan uang sejumlah Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah). Kemudian Tergugat membuat dan menandatangani kuitansi tanda terima uang tertanggal 14 Januari 2010.

Karena tidak ada informasi mengenai SK pengangkatan PNS atas nama Penggugat, maka pada bulan Juni 2010 Penggugat meminta pengembalian uang kepada Tergugat. Tetapi hingga bulan Maret 2011, Tergugat tetap tidak dapat mengembalikan uang tersebut kepada Tergugat. Tergugat selalu menghindar jika Penggugat ingin menemuinya.


(27)

57

Bahwa pada sekitar bulan Maret 2012, Penggugat melaporkan Tergugat ke Kepolisian Resor Kota Medan atas dugaan tindak pidana penipuan sebagaimana dimaksud dan ditentukan dalam Pasal 378 KUHPidana.

Bahwa laporan Penggugat tersebut diproses secara hukum, hingga ke tingkat pemeriksaan di sidang Pengadilan pada Pengadilan Negeri Medan. Akhirnya pada tanggal 19 Desember 2012 perkara tersebut telah diputus di Pengadilan Negeri Medan dalam Putusan Nomor : 2222/Pid.B/2012/PN.Mdn, dengan amar putusan sebagai berikut :

a. Menyatakan Terdakwa Tiromanta Sinambela, S.Pd telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penipuan.

b. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1(satu) tahun.

c. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan

d. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan e. Menetapkan barang bukti berupa :

Fotokopi 1 (satu) lembar kwitansi untuk pembayaran pinjaman tertanggal Medan, 14 Januari 2010 senilai Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) tetap terlampir dalam berkas perkara.

f. Membebani Terdakwa membayar biaya perkara sejumlah Rp.1000,- (seribu rupiah)

Kemudian, berdasarkan putusan Nomor : 2222/Pid.B/2012/PN.Mdn, Penggugat mendaftarkan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Medan, untuk menghukum membayar ganti rugi yang diakibatkan oleh Tergugat.


(28)

2. Fakta dan dasar hukum a. Pihak Penggugat

1) Bahwa berdasarkan fakta-fakta yang telah diuraikan di atas, maka terbukti secara hukum Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechmatigedaad) yang telah merugikan Penggugat.

2) Bahwa perbuatan melawan hukum (onrechmatigedaad) yang dilakukan Tergugat adalah melakukan tindak pidana penipuan terhadap Penggugat sebagaimana dimaksud dan ditentukan dalam Pasal 378 KUHPidana. Hal ini telah terbukti karena perkara tersebut telah diputus di Pengadilan Negeri Medan dalam putusan Nomor : 2222/Pid.B/2012/PN.Mdn, yang mana putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Bahwa selanjutnya Tergugat saat ini sedang menjalani hukuman yaitu pidana penjara selama 1 (satu) tahun atas kesalahannya yang terbukti melakukan tindak pidana tersebut.

3) Dengan demikian terbukti dengan putusan Nomor 2222/Pid.B/2012/PN.Mdn, bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian bagi Penggugat sejumlah Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah). Dengan demikian patut dan cukup beralasan hukum Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk menghukum Tergugat membayar ganti rugi materil kepada Penggugat sejumlah Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).


(29)

59

4) Bahwa selain kerugian materil Penggugat juga mengalami kerugian lain secara materil akibat perbuatan Tergugat berupa :

a) Biaya perongkosan dan biaya taktis dalam proses pidana : Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)

b) Kerugian Penggugat akibat tidak bekerja : Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah)

5) Bahwa oleh karena kerugian materil Penggugat tersebut juga secara nyata adalah akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat maka patut dan cukup beralasan hukum Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk menghukum Tergugat membayar ganti rugi materil kepada Penggugat berupa biatya untuk proses pidana dan kerugian karena terpaksa tidak bekerja sejumlah Rp.10.000.000,- + Rp.15.000.000,- = Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah).

6) Bahwa selain kerugian materil, Penggugat juga telah sangat dirugikan secara moril (immaterial) akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan Tergugat, kerugian immaterial mana setidak-tidaknya adalah rasa malu yang dialami Penggugat di tengah-tengah masyarakat, yang tidak ternilai besarnya, namun untuk memudahkan perhitungan Penggugat membuat penilaian dalam bentuk uang yaitu Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Dengan demikian pautut dan cukup beralasan hukum Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk menghukum Tergugat membayar ganti


(30)

rugi immaterial kepada Penggugat sejumlah Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

7) Bahwa karena Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum, sehingga terpaksa Penggugat harus mengajukan gugatan ini dengan menggunakan jasa lawyer dengan membayar honorarium sebesar Rp.80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah), maka patut dan beralasan menurut hukum, yang mulia Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi jasa lawyer sebesar Rp.80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah).

8) Bahwa untuk menjamin Tergugat tidak lalai dalam mematuhi dan menjalankan isi putusan ini secara sukarela dan sempurna, maka patut dan beralasan menurut hukum, yang mulia Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) kepada Penggugat sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) per hari jika lalai menjalankan isi putusan dalam perkara ini dilaksanakan dan dijalankan seluruhnya oleh Tergugat secara sukarela dan sempurna.

9) Bahwa Penggugat sangat meragukan sikap dan keberadaan Tergugat untuk mematuhi dan menjalankan isi putusan dalam perkara ini. Oleh karenanya, patut dan cukup beralasan menurut hukum, yang mulia Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk melakukan sita jaminan (conservatoir beslag) atas sebuah bangunan rumah permanen beserta tanah pertapakannya milik


(31)

61

Tergugat yang terletak di kota Medan, kecamatan Medan Tuntungan, Kelurahan Mangga, Jl. Sagu-3 No.49 A, Perumnas Simalingkar. 10) Bahwa oleh karena gugatan yang diajukan Penggugat adalah

berdasarkan bukti-bukti dan fakta-fakta yang cukup eksepsionil adanya, yang mana perbuatan melawan hukum yang dilakukan Tergugat yang mengakibatkan kerugian bagi Penggugat sudah terbukti dengan putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka patut dan beralasan menurut hukum, yang mulia Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini menyatakan bahwa putusan dalam perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu walaupun ada verzet, banding maupun kasasi (uit voerbaar bij

voorrad)

Berdasarkan alasan dan dalil-dalil yang telah diuraikan diatas, dengan segala kerendahan hati pihak Penggugat memohon kepada yang mulia Bapak Ketua Pengadilan Negeri Medan c.q. yang mulia Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk mengambil dan menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut :

(a)Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya

(b)Menyatakan sah dan berharga atas sita jaminan (conservatoir

beslag) yang telah dijalankan dalam perkara ini.

(c)Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechmatigedaad)


(32)

(d)Menyatakan Tergugat membayar ganti rugi materil kepada Penggugat sejumlah Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah)

(e)Menghukum Tergugat membayar ganti rugi materil kepada Penggugat berupa biaya untuk proses pidana dan kerugian karena Penggugat terpaksa tidak bekerja sejumlah Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah)

(f)Menghukum Tergugat membayar ganti rugi immaterial kepada Penggugat sejumlah Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) (g)Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi jasa lawyer

sebesar Rp.80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah)

(h)Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) kepada Penggugat sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap harinya terhitung sejak Tergugat lalai mematuhi dan menjalankan isi putusan dalam perkara ini hingga Tergugat melaksanakannya secara sukarela dan sempurna

(i)Menyatakan putusan dalam perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu walaupun ada verzet, banding, maupun kasasi (uit

voerbaar bij voorraad)

(j)Menghukum Tergugat untuk membayar segala ongkos perkara yang timbul dari perkara ini.

b. Pihak Tergugat

Bahwa Tergugat tidak pernah hadir dan pula tidak mengirimkan kuasanya yang sah untuk hadir di persidangan walaupun telah dipanggil


(33)

63

dengan patut sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut sesuai relas panggilan yang disampaikan oleh Jurusita Pengganti Lenta br Pinem, S.H oleh karena itu Majelis bukanlah merupakan halangan untuk melanjutkan pemeriksaan perkara ini tanpa kehadiran Tergugat.

B. Bentuk Ganti Kerugian Dalam Perkara Perbuatan Melawan Hukum Yang Mengakibatkan Kerugian (Studi Kasus Putusan Nomor.41/Pdt.G/2013/Pn.Mdn. Antara Gremeny Siahaan Dengan Tiromanta Sinambela,S.Pd)

Tuntutan ganti rugi dalam perkara perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian antara Gremeny Siahaan dengan Tiromanta Sinambela,S.Pd, bahwa penggugat selain menuntut ganti rugi sebesar Rp.150.000.000,-, penggugat juga memohon agar tergugat untuk membayar ganti rugi materiil berupa biaya untuk proses pidana, ganti rugi immateril, serta membayar ganti rugi jasa lawyer yang disewa penggugat.

Pada dasarnya landasan hukum dan peristiwa yang menjadi dasar permohonan, cukup memuat dan menjelaskan hubungan hukum (rechtsver

houding) antara diri pemohon dengan permasalahan hukum yang

dipersoalkan. Sehubungan dengan itu, fundamentum petendi atau posita permohonan, pada prinsipnya didasarkan pada ketentuan pasal undang-undang yang menjadi alasan permohonan, dengan menghubungkan ketentun itu dengan peristiwa yang dihadapi pemohon.66

Sehubungan dengan itu, petitum permohonan tidak boleh melanggar atau melampaui hak orang lain. Harus benar-benar murni merupakan permintaan

66

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal33


(34)

penyelesaian pemohon, dengan acuan sebagai berikut: 67

a. Isi petitum merupakan permintaan yang bersifat deklaratif

Pemohon meminta agar diktum penetapan pengadilan, memuat pernyataan dengan kata-kata: menyatakan bahwa pemohon adalah orang yang berkepentingan atas masalah yang dimohon.

b. Petitum tidak boleh melibatkan pihak lain yang tidak ikut sebagai

pemohon. Ukuran ini merupakan konsekuensi dari bentuk permohonan, yang bersifat ex-parte atau sepihak saja.

c. Tidak boleh memuat petitum yang bersifat condemnatoir (mengandung hukum). Ukuran ini, merupakan konsekuensi lebih lanjut dari sifat

ex-parte yang benar-benar melekat (inherent) dalam permohonan. Oleh

karena tidak ada pihak lawan atau tergugat, dengan sendirinya tidak ada pihak yang ditimpakan hukuman

d. Petitum permohonan harus dirinci satu per satu tentang hal-hal yang

dikehendaki pemohon untuk ditetapkan Pengadilan kepadanya e. Petitum tidak boleh bersifat compositur atau ex aequo et bono.

Petitum permohonan harus dirinci, jadi bersifat enumeratif. Oleh

karena itu, tidak dibenarkan petitum yang berbentuk mohon keadilan saja.

Tetapi hakim atau pengadilan tidak diwajibkan mengabulkan semua yang diminta dalam petitum secara utuh atau menyeluruh. Pengadilam berwenang mengurangi petitum gugatan.

Salah satu kasus pengurangan petitum ialah dalam putusan ini, dimana


(35)

65

hakim hanya mengabulkan sebagian dari petitum penggugat. Hakim hanya mengabulkan ganti rugi berupa uang sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) saja. Untuk gugatan yang lain di luar uang tersebut, tidak dikabulkan oleh hakim.

C. Tanggapan atas Putusan Hakim dalam Perkara Perbuatan Melawan Hukum yang Mengakibatkan Kerugian (Studi Putusan Nomor 41/Pdt.G/2013/PN.Mdn)

1. Pertimbangan Hukum Hakim

Menimbang, bahwa adapun maksud dan tujuan gugatan Penggugat adalah sebagai berikut;

Menimbang bahwa, setelah Majelis membaca dan meneliti surat gugatan Penggugat, ternyata dalil gugatannya adalah bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechmatigedaad) yang mengakibatkan kerugian bagi Penggugat, dimana Tenggugat telah melakukan bujuk rayu dan rangkaian kebohongan agar Penggugat menyerahkan uang sejumlah Rp.150.000.000,- dimana Tergugat menjanjikan dapat memasukkan Penggugat menjadi PNS pada ujian PNS 2010, namun setelah Penggugat menyerahkan uang sejumlah Rp.150.000.000,- kepada Tergugat, ternyata setelah keluar pengumuman PNS tersebut, nama Penggugat tidak keluar, dan setelah Penggugat menanyakan kepada Tergugat namun sampai waktu yang dijanjikan ternyata Tergugat tidak mengembalikan uang Penggugat, hingga akhirnya Penggugat melaporkan Tergugat ke pihak yang berwajib dan Tergugat telah di proses secara hukum dan telah diputus Pengadilan Negeri Medan dengan hukuman penjara dan telah berkekuatan hukum tetap. Sebagaimana putusan Nomor : 2222/Pid.B/2012/PN.Mdn dan Tergugat telah menjalani hukuman tersebut.


(36)

Menimbang bahwa terlebih dahulu akan dipertimbangkan apakah ada

Legal Standing dari Penggugat dan apakah Pengadilan Negeri Medan

berwenang mengadili perkara ini;

Menimbang bahwa, berdasarkan penelitian Majelis Hakim terhadap surat-surat dalam berkas perkara dihubungkan dengan bukti yang diajukan di persidangan dapatlah diketahui bahwa para pihak berdomisili di wilayah hukum Pengadilan Negeri Medan, oleh karenanya Majelis berkesimpulan bahwa Penggugat dapat mengajukan gugatan terhadap Tergugat dan Pengadilan Negeri Medan berwenang mengadili perkara in casu ;

Menimbang bahwa, selanjutnya akan dipetimbangkan apakah gugatan penggugat tersebut beralasan hukum dan tidak melawan hak;

Menimbang bahwa, untuk menguatkan dalil gugatannya, pihak Penggugat telah mengajukan bukti surat yang mendukungnya yakni surat tanda P-1 s/d P-3;

Menimbang bahwa, bukti surat P-1 adalah fotokopi kuitansi no.01 tertanggal 14 Januari 2010 sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dari Penggugat kepada Tergugat sedangkan bukti surat tanda P-2 adalah fotokopi surat tanda penerimaan laporan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara Kota Medan atas pengaduan Penggugat terhadap Tergugat, dan surat P-3 adalah kutipan putusan daftar pidana Pengadilan Negeri Medan No:2222/Pid.B/2012/PN.Mdn tertanggal 19 Desember 2012 atas nama Tiromanta Sinambela,Spd (Tergugat) sebagai terdakwa


(37)

67

Menimbang bahwa, berdasarkan bukti P-1 dan P-2 dan dihubungkan dengan bukti P-3, benar bahwa Tergugat telah menerima sejumlah uang dari Penggugat yaitu sebesar Rp150.000.000,- yang dituangkan dalam kuitansi yang ditandatangani Tergugat dan uang tersebut sebagai biaya untuk pengurusan Penggugat sebagai PNS, namun ternyata Tergugat tidak merealisasikan janjinya yang dapat memasukkan Penggugat sebagai PNS, hingga akhirnya Penggugat melaporkan Tergugat ke pihak berwajib, sebagaimana bukti P-2, dan akibat perbuatan Tergugat tersebut, Tergugat telah di proses secara hukum di Pengadilan Negeri Medan sebagai Terdakwa dalam perkara No.2222/Pid.B/2012/PN.Mdn, tertanggal 19 Desember 2012 dimana Tergugat telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu tindak pidana penipuan terhadap Penggugat, yang mana akibat perbuatan tersebut, Penggugat telah mengalami kerugian sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dimana putusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap (bukti P-3)

Menimbang bahwa, selanjutnya akan mempertimbangkan petitum gugatan Penggugat;

Menimbang bahwa, petitum poin ke 2 ini tidak dapat dikabulkan karena dalam perkara Majelis Hakim tidak ada meletakkan sita jaminan;

Menimbang bahwa, petitum poin ke 3 ini dapat dikabulkan karena sebagaimana dipertimbangkan di atas, telah terbukti bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan meminta sejumlah uang dari Penggugat dan memasukkan Penggugat sebagai PNS namun ternyata


(38)

bohong belaka, hal ini telah terbukti dengan adanya putusan Pengadilan Negeri Medan No: 2222/Pid.B/2012/PN.Mdn tertanggal 19 Desember 2012 yang Tergugat telah dijatuhi hukuman pidana;

Menimbang bahwa, petitum poin ke 4 agar menghukum Tergugat membayar ganti rugi materil kepada Penggugat sejumlah Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah)

Menimbang bahwa, petitum poin 3 telah dikabulkan, maka patut

petitum ke 4 juga dikabulkan, karena Penggugat telah mengalami kerugian

sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) sebagaimana putusan No.2222/Pid.B/2012/PN.Mdn atas nama Tergugat dan fotokopi kuitansi terlampir Tergugat telah menerima uang sejumlah Rp.150.000.000,- dari Penggugat;

Menimbang bahwa, petitum poin ke 5 dan ke 6, Majelis Hakim tidak dapat mengabulkan karena petitum tersebut tidak didukung bukti yang materil tentang kerugian Penggugat;

Menimbang bahwa, petitum poin ke 7, untuk membayar ganti rugi jasa

lawyer sebesar Rp.80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) Majelis tidak

dapat mengabulkannya karena penggunaan jasa lawyer adalah suatu kebijakan Penggugat sendiri sehingga tidak patut dibebankan kepada Tergugat dengan demikian petitum poin ke 7 patut ditolak.

Menimbang bahwa, petitum poin ke 8 agar Tergugat membayar uang paksa (dwangsom) kepada Penggugat sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap harinya terhitung sejak Tergugat lalai mematuhi dan


(39)

69

menjalankan isi putusan dalam perkara ini, Majelis dapat mengabulkannya karena pokok perkara telah dikabulkan;

Menimbang bahwa, petitum poin ke 9 karena tidak memenuhi ketentuan undang-undang maka patut untuk ditolak;

Menimbang bahwa, petitum ke 10, karena Tergugat dalam pihak yang kalah, maka petitum ke 10 dapat dikabulkan.

2. Putusan Hakim Pengadilan yaitu :

a. Menyatakan bahwa Tergugat yang telah dipanggil secara patut tetapi tidak hadir di persidangan.

b. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian tanpa hadirnya Tergugat. c. Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum

(Onrechmatigedaad).

d. Menghukum Tergugat membayar ganti rugi materil kepada Penggugat sejumlah Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).

e. Menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) kepada Penggugat sebesar Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap harinya terhitung sejak Tergugat lalai mematuhi dan menjalankan isi putusan dalam perkara ini.

f. Menghukum Tergugat membayar ongkos perkara yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp.521.000,- (Lima ratus dua puluh satu ribu rupiah_.


(40)

3. Analisis Putusan

a. Putusan Hakim dalam Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian tanpa hadirnya Tergugat.

Pada dasarnya, proses pemeriksaan dan putusan verstek (default

judgement) diatur dalam Pasal 125 ayat (1) HIR, Pasal 78 Rv, mengatur

verstek terhadap Tergugat, yang memberi hak dan kewenangan bagi hakim :

1) Untuk memeriksa dan menjatuhkan putusan di luar hadirnya Tergugat;

2) Pemeriksaan dan putusan yang demikian disebut verstek (diluar hadirnya Tergugat)

3) Syarat atas kebolehan verstek, apabila pada sidang pertama Tergugat:

(a)Tidak hadir tanpa alasan yang sah (unreasonable default),

(b)Padahal Tergugat telah dipanggil secara sah (oleh juru sita) dan patut (antara panggilan dengan hari sidang paling sedikit 3 hari)68 (c)Padahal Tergugat telah dipanggil secara sah (oleh juru sita) dan

patut (antara panggilan dengan hari sidang paling sedikit 3 hari) Dalam kasus seperti ini, Pasal 125 ayat (1) HIR memberi hak dan kewenangan yang bersifat fakultatif kepada hakim untuk menjatuhkan putusan verstek (default judgement).

Berdasarkan pasal tersebut, hakim diberi wewenang untuk menjatuhkan putusan di luar hadir atau tanpa hadirnya Tergugat,


(41)

71

dengan syarat :69

1.1. Apabila Tergugat tidak datang menghadiri sidang pemeriksaan yang ditentukan tanpa alasan yang sah (default without reason),

1.2. Dalam hal seperti ini, hakim menjatuhkan putusan verstek yang berisi diktum:

a.1. Mengabulkan gugatan seluruhnya atau sebagian, atau

a.2. Menyatakan gugatan tidak dapat diterima apabila gugatan tidak mempunyai dasar hukum

Memperhatikan penjelasan di atas, pengertian teknis verstek ialah pemberian wewenang kepada hakim untuk memeriksa dan memutus perkara meskipun penggugat atau tergugat tidak hadir di persidangan pada tanggal yang ditentukan. Dengan demikian, putusan di ambil dan dijatuhkan tanpa bantahan atau sanggahan dari pihak yang tidak hadir.

Kasus perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian, antara pihak Penggugat, Gremeny Siahaan dengan pihak Tergugat yakni Tiromanta Sinambela,S.Pd, bahwa, pihak Tergugat tidak pernah hadir di persidangan dan pula tidak mengirimkan kuasanya yang sah untuk hadir di persidangan, walaupun telah dipanggil dengan patut sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut sesuai relas panggilan yang disampaikan oleh Jurusita Pengganti, Lenta br Pinem,S.H.

Dalam hal Tergugat tidak datang menghadiri panggilan sidang tanpa alasan yang sah (default without reason), ditegaskan dalam Pasal 125 ayat


(42)

(1) HIR : 70

1. Tergugat tidak datang pada hari perkara itu diperiksa, atau

2. Tidak menyuruh orang lain sebagai kuasa yang bertindak mewakilinya,

3. Padahal tergugat telah dipanggil dengan patut, tetapi tidak menghiraukan dan menaati panggilan tanpa alasan yang sah,

4. Dalam kasus seperti ini, hakim dapat dan berwenang menjatuhkan putusan verstek, yaitu putusan di luar hadir tergugat.

Apabila Tergugat, yakni Tiromanta Sinambela,S.Pd, atau wakilnya tidak hadir memenuhi panggilan pemeriksaan di sidang pengadilan yang ditentukan, padahal telah dipanggil dengan patut, kepada Tergugat dapat dikenakan hukuman berupa penjatuhan putusan verstek.

b. Putusan Hakim menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechmatigedaad).

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa suatu perbuatan dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum bila perbuatan tersebut memenuhi lima unsur , yakni harus ada perbuatan, perbuatan tersebut harus melawan hukum, ada kerugian bagi korban, adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian, adanya kesalahan (schuld). Dalam hal ini, penulis akan menganalisis dari aspek perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan oleh Tergugat, berdasarkan bukti-bukti dan posita gugatan yang diajukan oleh Penggugat, serta pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara ini. Walaupun


(43)

73

putusan ini dilakukan dengan cara verstek, tetapi, masih dimungkinkan untuk Tergugat mengajukan verzet (putusan perlawanan).

1. Harus ada perbuatan

Pada dasarnya, suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan dari si pelakunya. Di dalam putusan Nomor 41/Pdt.G/2013/PN.Mdn antara Gremeny Siahaan dengan Tiromanta Sinambela, S.Pd, perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat tersebut ialah melakukan bujuk rayu dan rangkaian-rangkaian kebohongan agar Penggugat menyerahkan uang sejumlah Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).

2. Perbuatan tersebut melawan hukum

Bahwa sebagaimana berlaku dalam yurisprudensi sejak Hoge Raad 1919 Arrest 31 Januari 1919, mengenai perbuatan melawan hukum yang telah diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata dan masih berlaku hingga saat ini, maka perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan yang tidak saja melanggar undang-undang negara, tetapi juga termasuk pada kesusilaan, kepatutan, dan perbuatan yang melanggar hak orang lain.

Perbuatan yang dilakukan oleh Penggugat telah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 378 KUHPidana71

71 Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara

melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan

pidana penjara paling lama empat tahun.

. Hal ini diperkuat dengan putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor : 2222/Pid.B/2012/PN.Mdn, yang mana putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van


(44)

penjara selama 1 (satu) tahun atas kesalahan tersebut dan terbukti melakukan tindak pidana. Maka patut dan beralasan hukum Majelis hakim menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechmatigedaad)

3. Ada kerugian bagi korban

Akibat dari adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tergugat tersebut, telah menimbulkan kerugian material dan immaterial bagi penggugat. Dengan dijatuhkannya hukuman pidana dalam putusan no: 2222/Pid.B/2012/PN.Mdn, telah menunjukkan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Walaupun Tergugat telah menjalani hukuman pidana penjara 1 (satu) tahun, tetapi sama sekali tidak menghapuskan kewajiban Tergugat membayar ganti rugi kepada Penggugat.

Ganti Rugi untuk korban tindak pidana pada dasarnya dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu;72

a) melalui penggabungan perkara ganti kerugian, b) melalui gugatan perbuatan melawan hukum, dan c) melalui permohonan restitusi.

Dalam hal ini, yang akan dibahas hanya tentang poin b. Mekanisme lain yang tersedia adalah menggunakan gugatan perdata biasa dengan model gugatan perbuatan melawan hukum. Dalam gugatan ini, Penggugat, dalam hal ini korban tindak pidana, tentu harus menunggu adanya putusan Pengadilan yang telah memutus perkara pidana yang


(45)

75

dilakukan oleh Pelaku (Tergugat).

Sebagaimana di dalam Pasal 1365 KUHPerdata73

4. Adanya hubungan sebab akibat

, dikarenakan Tergugat sudah terbukti telah melakukan perbuatan melawan hukum terhadap Penggugat, berupa perbuatan melawan hukum yaitu tindak pidana penipuan yang telah mengakibatkan kerugian bagi Penggugat dan sudah terbukti dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) maka sangat patut dan beralasan hukum untuk Tergugat membayar sejumlah ganti rugi kepada Pergugat.

Ajaran kausalitas dalam bidang hukum perdata adalah untuk mencermati adanya hubungan kausal sebab akibat antara perbuatan melawan hukum dan kerugian yang ditimbulkan, sehingga si pelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Teori yang berkaitan adalah ajaran Von Buri yang dikenal dengan nama teori conditio sine

qua non yang berarti syarat mutlak. Suatu kejadian yang merupakan

akibat biasanya ditimbulkan oleh beberapa peristiwa atau keadaan atau faktor yang satu sama lainnya merupakan suatu rangkaian yang berhubungan. Karena itu teori ini disebut pula “teori-syarat” atau “teori

conditio sine qua non”. Artinya, tanpa adanya syarat itu, akibat tersebut

tidak akan timbul.74

73 Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,

mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena salahnya untuk menggantikan kerugian tersebut.

Hubungan kausal yakni akibat tindak penipuan yang dilakukan oleh

74


(46)

Tergugat, dengan bujuk rayu dapat memasukkan Penggugat menjadi PNS pada ujian masuk PNS tahun 2010, dengan syarat Penggugat harus menyerahkan sejumlah uang kepada Tergugat, yakni sebesar Rp.150.000.000,- , telah mengakibatkan kerugian bagi Penggugat. Karena pada faktanya, Penggugat tidak dinyatakan lulus pada ujian masuk PNS tahun 2010 dan uang yang telah diserahkan oleh Penggugat kepada Tergugat tidak pernah dikembalikan oleh Tergugat. Dalam hal ini Tergugat telah melakukan tindakan perbuatan melawan hukum. Serta telah dihukum pidana penjara selama 1 (satu) tahun atas pertanggungjawaban perbuatan yang telah dilakukan oleh Tergugat tersebut. Hal tersebut menyebabkan kerugian bagi pihak Penggugat. 5. Adanya kesalahan

Kesalahan yang terjadi disini ialah bahwa Tergugat melakukan penipuan berupa bujuk rayu dan mengucapkan kata-kata bohong dengan bujuk rayu bahwa Tergugat mampu mengurus Penggugat menjadi PNS, yang mana hal tersebut tidak mengandung kebenaran sama sekali. Hal tersebut dilakukan oleh Tergugat dengan tujuan agar Penggugat menyerahkan sejumlah uang sebesar Rp.150.000.000,- kepada Tergugat.

Akibatnya, Tergugat dilaporkan ke Kepolisian Resor Kota Medan pada bulan Maret 2012 atas dugaan tindak pidana penipuan sebagaimana dimaksud dan ditentukan dalam Pasal 378 KUHPidana.

Akhirnya pada tanggal 19 Desember 2012 , perkara tersebut diputus di Pengadilan Negeri Medan dalam Putusan Nomor : 2222/Pid.B/2012/PN.Mdn


(47)

77

serta dijatuhi hukuman pidana 1 (satu) tahun penjara. Atas dasar putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van

gewijsde), maka Penggugat mengajukan gugatan secara perdata untuk

meminta ganti rugi kepada Tergugat.

Seluruh syarat dalam perbuatan melawan hukum telah dipenuhi oleh Tergugat. Maka dapat dinyatakan bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu Majelis Hakim memutuskan agar Tergugat membayar ganti rugi sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) kepada Penggugat.

Hakim juga menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) kepada Penggugat setiap harinya sejak Tergugat lalai mematuhi dan menjalankan isi putusan dalam perkara. Hal ini dikabulkan oleh Majelis Hakim karena pokok perkara telah dikabulkan oleh Majelis Hakim.

Hakim juga menghukum Tergugat untuk membayar ongkos perkara yang timbul.

Biaya putusan verstek kepada yang dijatuhi verstek. Mengenai hal ini, diatur dalam Pasal 181 ayat (3) HIR. Apabila putusan dijatuhkan melalui proses verstek, kepada yang dijatuhi putusan itu, sekaligus dibebani membayar biaya perkara.75

Prinsipnya, biaya yang timbul dalam proses putusan verstek, dibebankan secara mutlak kepada pihak tergugat (yang dijatuhi putusan

verstek). Pembebanan biaya ini melekat sebagai hukuman atas


(48)

keingkarannya menghadiri panggilan sidang. Oleh karena itu, sekiranya tergugat melakukan verzet atau perlawanan, dan kemudian perlawanan dikabulkan serta putusan verstek dibatalkan, namun biaya yang timbul dalam proses verstek tersebut tetap dibebankan kepada Tergugat. Pengadilan sebagai lembaga yudikatif dalam struktur ketatanegaraan Indonesia memiliki fungsi dan peran strategis dalam memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara anggota masyarakat maupun antara masyarakat dengan lembaga, baik lembaga pemerintah maupun non pemerintah. Subekti mengemukakan bahwa pemeriksaan suatu sengketa di muka pengadilan diakhiri dengan suatu putusan atau vonis. Putusan atau vonis pengadilan ini akan menentukan atau menetapkan hubungan riil di antara pihak-pihak yang berperkara.76

Fungsi pengadilan, selanjutnya disebut peradilan, diselenggarakan di atas koridor independensi peradilan yang merdeka dari segala bentuk intervensi pihak manapun. Hal ini diamanatkan secara tegas dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.77

76 M. Natsir Asnawi, Hermeneutika Putusan Hakim, UII Press Yogyakarta, Yogyakarta,

2014, hal.3

77 “Segala Campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan

kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Segala intervensi dilarang dari siapapun dan dalam bentuk apapun, kecuali ditentukan lain dalam konstitusi. Independensi peradilan merupakan faktor mendasar dan paling utama bagi pengadilan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan di masyarakat. Tanpa independensi, tidak mungkin fungsi peradilan berjalan sebagaimana mestinya.


(49)

79

Muara dari proses peradilan yang independen seperti yang disebutkan di atas adalah lahirnya putusan. Putusan merupakan produk peradilan yang pertama dan utama karena merupakan jawaban akhir dari persengketaan yang diajukan oleh para pihak serta hasil dari proses peradilan yang dijalankan.78

Putusan sebagai produk pengadilan sejatinya lahir dari proses yang penuh kecermatan dan kehati-hatian. Hakim dalam memutus suatu perkara senantiasa dituntut untuk mendayagunakan segenap potensi yang dimilikinya untuk meng-konstatir (menemukan fakta-fakta hukum), meng-kualifisir (menemukan dan mengklasifikasikan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok perkara), serta meng-konstituir (menetapkan hukum dari perkara tersebut).79

Majelis Hakim juga menghukum pihak Tergugat untuk menbayar uang paksa (dwangsom) setiap harinya terhitung sejak Tergugat lalai mematuhi dan menjalankan isi putusan dalam perkara tersebut, serta menghukum Tergugat untuk membayar ongkos perkara yang timbul dalam perkara tersebut.

Dalam putusan No.41/Pdt.G/2013/PN.Mdn, antara Gremeny Siahaan melawan Tiromanta Sinambela, S.Pd., yang diputus secara verstek di Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 2 Mei 2013, Majelis Hakim mengabulkan sebagian tuntutan dari pihak Penggugat, Gremeny Siahaan.

Majelis Hakim mengabulkan tuntutan pihak Pengggugat yang menyatakan bahwa Tergugat dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum, serta dihukum untuk membayar ganti rugi kepada pihak Penggugat sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah).

78 M. Natsir Asnawi, Op.Cit., hal. 4 79 Ibid, hal.5


(50)

Untuk gugatan lain dan selebihnya yang diajukan oleh pihak Penggugat, Majelis Hakim menolak tuntutan tersebut.

Dikarenakan putusan yang dijatuhkan oleh hakim terhadap perkara yang diperiksa dan diadili merupakan hasil dari proses analitis terhadap fakta-fakta hukum yang dihubungkan dengan aturan-aturan hukum serta dilengkapi dengan argumentasi hukum. Putusan Majelis Hakim merupakan muara dari tiga tahapan kerja hakim dalam memutus perkara, yaitu mengkonstatir, mengkualifisir, dan mengkonstituir. Ketiga tahapan tersebut pada asasnya ditempuh guna mewujudkan tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Jadi, untuk gugatan Penggugat yang tidak dipenuhi hakim, pasti telah melewati tiga tahapan kerja hakim dalam memutus perkara ini.

Kemudian pihak Tergugat, yang tidak hadir pada hari persidangan dan pula tidak mengirimkan kuasanya yang sah untuk hadir di persidangan walaupun telah dipanggil dengan patut sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut, mengajukan perlawanan (verzet) ke Kepaniteraan Pengadilan Negeri Medan pada tanggal 12 Juni 2013 dibawah Register Perdata No. 41/Pdt.Plw/2013/PN.Mdn.

Kewenangan menerima dan memeriksa perlawanan, jatuh menjadi yurisdiksi PN semula yang menjatuhkan putusan verstek.

Di dalam gugatan pihak Pelawan, yakni Tiromanta Sinambela, S.Pd, terhadap Terlawan, yakni Gremeny Siahaan, bahwa Pelawan dalam petitum gugatannya memohon kepada Ketua Pengadilan Tinggi Medan, untuk memberikan putusan yakni :

a. Menyatakan Pelawan adalah Pelawan yang baik. b. Mengabulkan perlawanan Pelawan untuk seluruhnya


(51)

81

c. Menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum Putusan Pengadilan Negeri Klas I-A Medan No.41/Pdt.G/2013/PN.Mdn tertanggal 08 Mei 2013

d. Menghukum Terlawan membayar seluruh biaya dalam perkara ini.

Bahwa dalam pertimbangan Majelis Hakim, menurut Memori Banding yang diajukan Pelawan/Pembanding tertanggal 29 Desember 2013 dan Kontra Memori Banding tertanggal 29 Januari 2014 oleh Terlawan/Terbanding ternyata tidak memuat hal-hal yang baru yang dapat melemahkan putusan a quo, melainkan hanya pengulangan atas hal-hal yang telah dikemukakan dalam jawab-menjawab atau pada kesimpulan masing-masing pihak, yang satu dan lainnya sudah dipertimbangkan oleh Majelis Hakim Tingkat Pertama, oleh karenanya Pengadilan Tinggi akan mengambil alih alasan dan pertimbangan hukum Majelis Hakim Tingkat Pertama.

Bahwa dalam Putusan Pengadilan Tinggi Medan No.90/PDT/2014/PT-Mdn, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Medan memutuskan :

1) Menerima permohonan banding dari Pelawan/Pembanding tersebut.

2) Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Medan tanggal 20 November 2013, No.41/Pdt.Plw/2013/PN.Mdn, yang dimohonkan banding terebut. 3) Menghukum Pelawan/Pembanding untuk membayar biaya perkara dalam

kedua tingkat pera.dilan, yang dalam tingkat banding ditetapkan sebesar Rp.150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah.

Dapat dibandingkan bahwa baik putusan Pengadilan Negeri Medan dengan Putusan Pengadilan Tinggi Medan tidak memiliki perbedaan. Pada Pengadilan


(52)

Tinggi Medan, Majelis Hakim menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Medan tersebut.


(53)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan.

1. Kasus posisi dalam perkara Putusan Nomor 41/Pdt.G/2013/PN.Mdn), dimana Penggugat, yakni Gremeny Siahaan ditawarkan oleh Tergugat, yakni Tiromanta Sinambela,S.Pd, berupa penawaran jasa pengurusan PNS, pada tahun 2010. Dimana Tergugat menawarkan jasa pengurusan PNS sebagai bujuk rayu, dengan syarat bahwa Penggugat harus menyerahkan biaya pengurusan PNS sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) kepada Tergugat. Ternyata, Penggugat tidak lulus dalam ujian PNS, tetapi uang tidak dikembalikan oleh Tergugat, maka Maret 2012 Penggugat melaporkan Tergugat dan pada tanggal 19 Desember 2012 perkara tersebut telah diputus di Pengadilan Negeri Medan dalam Putusan Nomor 2222/Pid.B.2012/PN.Mdn. Kemudian, berdasarkan Putusan Nomor 2222/Pid.B.2012/PN.Mdn, Penggugat mendaftarkan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Medan untuk menghukum membayar ganti rugi yang diakibatkan oleh Tergugat.

2. Dalam perbuatan melawan hukum, bentuk ganti kerugian yang lazim dipergunakan berupa uang, oleh karena menurut ahli-ahli hukum Perdata maupun Yurisprudensi, uang merupakan alat yang praktis, yang paling sedikit menimbulkan selisih dalam menyelesaikan sesuatu sengketa. Pada Putusan Nomor 41/Pdt.G/2013/PN.Mdn ini, Majelis Hakim menghukum Tergugat untuk mengganti rugi uang sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) kepada Tergugat


(54)

3. Pertimbangan Hukum oleh Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 41/Pdt.G/2013/PN.Mdn yaitu menggunakan Pasal 1365 dan Pasal 1366 KUH Perdata tentang ganti rugi dalam perbuatan melawan hukum. Tergugat dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim dan dihukum untuk membayar ganti rugi sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) karena Tergugat telah menimbulkan kerugian kepada pihak Penggugat. Disamping itu, Majelis Hakim juga menjatuhkan hukuman uang paksa (dwangsom) serta membayar ongkos perkara yang timbul dalam persidangan tersebut. Dalam hal perlawanan (verzet) yang dilakukan oleh Tergugat, Pengadilan Tinggi Medan dalam Putusan Nomor 90/PDT/2014/PT-MDN, kembali menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Medan tanggal 20 November 2013, No.41/Pdt.Plw/2013/PN-Mdn, yang dimohonkan banding tersebut, serta kembali menghukum Pelawan/Pembanding untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding ditetapkan sebesar Rp.150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah).

B. Saran

1. Bahwa untuk ganti rugi korban tindak pidana, salah satu cara yang dapat dilakukan dengan melakukan gugatan perdata, dengan syarat sudah ada putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap.

2. Untuk ganti rugi yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim terhadap Tergugat, sudah benar. Majelis Hakim sudah menerapkan hukum yang sesuai dengan


(55)

85

fakta-fakta hukum yang ada, serta mengabulkan gugatan Penggugat hanya sebagian.

3. Putusan Majelis Hakim terhadap hukuman yang dijatuhkan kepada Tergugat sudah benar. Majelis Hakim menjatuhkan hukuman denda Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah), pembayaran uang paksa (dwangsom), serta membayar ongkos perkara yang timbul dalam persidangan tersebut.


(1)

2

TINJAUAN YURIDIS PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG MENGAKIBATKAN KERUGIAN BERUPA PENIPUAN PENAWARAN JASA PENGURUSAN MENJADI PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) ANTARA GREMENY

SIAHAAN DENGAN TIROMANTA SINAMBELA (STUDI PUTUSAN NOMOR 41/PDT.G/2013/PN.MDN)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh

YULIA RESA SIMORANGKIR NIM: 120200578

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Prof. Dr. H. HASIM PURBA, S.H., M.Hum NIP. 196603031985081001

.

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. H. HASIM PURBA, S.H., M.Hum.

NIP. 196603031985081001 NIP.195902051986012001 Rabiatul Syahriah, S.H.,M.Hum

Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Medan

2016


(2)

ABSTRAK Yulia Resa Simorangkir*

Hasim Purba** Rabiatul Syahriah***

Kata Kunci : Perbuatan Melawan Hukum, Ganti Rugi.

Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata dengan Nomor Register Perkara 41/Pdt.G/2013/PN.Mdn pada tanggal 08 Mei 2013 telah menjatuhkan putusan atas permohonan perbuatan melawan hukum yang diajukan oleh Gremeny Siahaan terhadap Tiromanta Sinambela yang dianggap telah melakukan perbuatan melanggar hukum. Bahwa, akibat dari perbuatan melawan hukum tersebut telah menimbulkan kerugian dalam bentuk materil yang dialami oleh penggugat. Adapun judul dari skripsi ini ialah Tinjauan Yuridis Perbuatan Melawan Hukum Yang Mengakibatkan Kerugian Berupa Penipuan Penawaran Jasa Pengurusan Menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Antara Gremeny Siahaan dengan Tiromanta Sinambela (Studi Putusan Nomor 41/Pdt.G/2013/PN.Mdn). Adapun permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah kasus posisi dan duduk perkara dalam perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian (studi kasus putusan Nomor 41/Pdt.G/2013/ PN.Mdn antara Gremeny Siahaan dengan Tiromanta Sinambela,S.Pd), bagaimanakah bentuk ganti kerugian dalam perkara perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian, Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam perkara perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian (studi kasus putusan Nomor 41/Pdt.G/2013/ PN.Mdn. antara Gremeny Siahaan dengan Tiromanta Sinambela)

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif atau disebut juga dengan metode kepustakaan, yang mana penelitian ini hanya dengan mengolah dan menggunakan data-data sekunder yang berkaitan dengan Tinjauan Yuridis Perbuatan Melawan Hukum yang Mengakibatkan Kerugian.

Pertimbangan Hukum oleh Hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 41/Pdt.G/2013/PN.Mdn yaitu menggunakan Pasal 1365 dan Pasal 1366 KUH Perdata tentang ganti rugi dalam perbuatan melawan hukum. Tergugat dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim dan dihukum untuk membayar ganti rugi sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) karena Tergugat telah menimbulkan kerugian kepada pihak Penggugat. Disamping itu, Majelis Hakim juga menjatuhkan hukuman uang paksa (dwangsom) serta membayar ongkos perkara yang timbul dalam persidangan tersebut. Dalam hal perlawanan (verzet) yang dilakukan oleh Tergugat, Pengadilan Tinggi Medan dalam Putusan Nomor 90/PDT/2014/PT-MDN, kembali menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Medan tanggal 20 November 2013, No.41/Pdt.Plw/2013/PN-Mdn.

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang sampai saat ini masih melimpahkan kasih dan karunia-Nya yang tak terhingga kepada Penulis, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Adapun penulisan skripsi ini berjudul “Tinjauan Yuridis Perbuatan Melawan Hukum Yang Mengakibatkan Kerugian Berupa Penipuan Penawaran Jasa Pengurusan Menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Antara Gremeny Siahaan Dengan Tiromanta Sinambela (Studi Putusan Nomor 41/Pdt.G/2013/PN.Mdn)” yang bertujuan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan, serta masukkan dari bapak dan ibu dosen, oleh karena itu sudah sepatutnya penulis mengucapkan terima kasih yakni kepada:

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. H. OK. Saidin,S.H.,M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan,S.H.,M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Jelly Leviza,S.H.,M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Prof. Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai dosen Pembimbing I saya dalam pengerjaan skripsi ini dan banyak memberikan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Ibu Rabiatul Syahriah, S.H., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara serta Dosen Pembimbing II saya dalam pengerjaan Skripsi ini dan banyak memberikan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Ibu Sinta Uli, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis selama masa perkuliahan.


(4)

8. Dosen-dosen Pengajar dan Pegawai pada Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Bapak dan Ibu Dosen serta Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Sahabat seperjuangan di kampus tercinta: Puteri Intan, Lisa Ahyuni, Miftahul Aini, Dwi Putri, Nanda Yolandari, Sonya Evalin, Mentari, Bunga Rahayu. 11. Teman-teman hebohkale Margaretha Sitohang, Rachel Agatha, Marissa

Meinita, Ruth Depari, Julian Marbun, Jessica Lydia, Monica Ria, Sonya Silalahi, Putri Berlian, Chelsya Simanjuntak, Gloria Tobing.

12. Seluruh teman-teman stambuk 2012, penulis mengucapkan terima kasih atas segala bantuan selama perkuliahan dan juga di penulisan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada ayahanda dan ibunda tercinta, Ir. S. Simorangkir dan H br Simatupang, yang telah banyak memberikan dukungan, semangat, tenaga, nasehat, dan bimbingan selama ini, serta atas kegigihannya dalam mencari rezeki untuk membiayai kuliah, sampai akhirnya Penulis dapat menyelesaikan masa studi dengan baik. Ucapan terima kasih juga Penulis ucapkan kepada abang dan kakak Penulis, yaitu Firman Hermawan Simorangkir, S.H., M.H., Enda Noviyanti Simorangkir, S.E., M.Si., dan Yolanda Evans Simorangkir, S.H.

Demikianlah penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua yang telah membantu dan mendukung sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan lancar dan kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberikan yang terbaik kepada kita semua.

Medan, Juni 2016


(5)

DAFTAR ISI

Abstrak ... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi... iv

Bab I Pendahuluan ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan... 6

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 7

E. Metode Penelitian... 8

F. Keaslian Penulisan ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 11

Bab II Perbuatan Melawan Hukum ... 13

A. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum ... 13

B. Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum ... 17

C. Doktrin Kewajiban (Duty Rules) dalam Perbuatan Melawan Hukum ... 24

D. Tanggung Jawab Karena Perbuatan Melawan Hukum ... 30

Bab III Tinjauan Tentang Kerugian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Uang Paksa (Dwangsom) ... 33

A. Kerugian ... 33

1. Pengertian Kerugian Pada Umumnya ... 34

2. Kerugian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata .... 35

B. Uang Paksa (Dwangsom) ... 41

1. Pengertian dan Sifat dari Tuntutan Uang Paksa (Dwangsom) ... 45

2. Jenis Uang Paksa (Dwangsom) Menurut Teori dan Praktek... 50

3. Uang Paksa (Dwangsom), Hukuman Pokok, dan Ganti Rugi ... 51


(6)

Bab IV Perbuatan Melawan Hukum Yang Mengakibatkan Kerugian (Studi

Putusan Nomor 41/Pdt.G/2013/PN.Mdn) ... 55

A. Kasus Posisi ... 55

1. Tentang Duduk Perkara... 55

2. Fakta dan Dasar Hukum ... 58

B. Bentuk Ganti Kerugian Dalam Perkara Perbuatan Melawan Hukum Yang Mengakibatkan Kerugian (Studi Kasus Putusan Nomor.41/Pdt.G/2013/Pn.Mdn.) ... 64

C. Tanggapan atas Putusan Hakim dalam Perkara Perbuatan Melawan Hukum yang Mengakibatkan Kerugian (Studi Putusan Nomor 41/Pdt.G/2013/PN.Mdn) ... 65

1. Pertimbangan Hukum Hakim ... 65

2. Putusan Hakim Pengadilan ... 69

3. Analisis Putusan ... 70

Bab V Kesimpulan dan Saran ... 83

A. Kesimpulan ... 83

B. Saran ... 84


Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Perbuatan Melawan Hukum Dalam Pengalihan Saham Perseroan Melalui Perjanjian Jual Beli Saham (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2678 K/Pdt/2011)

8 151 149

Penjualan Agunan Secara Lelang Tanpa Persetujuan Pemberi Hak Tanggungan Diikuti Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (Studi Putusan Nomor 348/ PDT.G/ 2009/PN.TNG)

1 72 143

Tinjauan Yuridis Perbuatan Melawan Hukum Dalam Transaksi Jual Beli Melalui Internet(E-COMMERCE) Berdasarkan Kuhperdata

7 83 108

Tinjauan Atas Prosedur Penggajian Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pada Dinas Kesehatan Kota Bandung

15 126 52

Tinjauan Hukum Terhadaop Perbuatan Melawan Hukum atas Pembobolan Akses Internet Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

0 4 1

Analisis Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 116/PDT/G/2009/PNTK Tentang Penyelesaian Perkara Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum Melalui Mediasi Sebagai Upaya Perdamaian

0 3 2

Analisis Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 116/PDT/G/2009/PNTK Tentang Penyelesaian Perkara Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum Melalui Mediasi Sebagai Upaya Perdamaian

0 3 2

Analisis Putusan Pengadilan Tentang Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi (Studi Kasus Putusan Nomor 35/Pdt.G/2012/PN.YK dan Putusan Nomor 42/Pdt.G/2012/PN.YK)

1 9 63

BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM A. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum - Perbuatan Melawan Hukum Akibat Merusak Segel Meteran Milik PT. PLN (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.694 K/Pdt/2008)

0 0 20

Tinjauan Yuridis Terhadap Proses Tuntutan Ganti Kerugian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2730/Pid.B/2001/PN.Mdn)

0 2 130