Hubungan Peran Pendamping Dengan Keberdayaan Perempuan Dalam Program Corporate Social Responsibility (Csr) Pt Itp

HUBUNGAN PERAN PENDAMPING DENGAN
KEBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PROGRAM
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PT ITP

NINDYA DEWINTA

SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Hubungan Peran
Pendamping dengan Keberdayaan Perempuan dalam Program Corporate Social
Responsibility (CSR) PT ITP adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam daftar pustaka di bagaian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis ini kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor,

Februari 2015

Nindya Dewinta
NIM I34110137

ABSTRAK

NINDYA DEWINTA. Hubungan Peran Pendamping dengan Keberdayaan
Perempuan dalam Program Corporate Social Responsibility (CSR) PT ITP.
Dibimbing oleh TITIK SUMARTI
Program Pengelolaan Sampah Rumah Tangga di Desa Gunungsari
merupakan salah satu program CSR PT ITP. Program yang telah mendapat
pendampingan selama 5 tahun ini memiliki 30 peserta dan seluruh pesertanya
adalah perempuan. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis keberdayaan

perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP,
menganalisis hubungan peran pendamping dengan keberdayaan perempuan dalam
program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP, dan menganalisis
hubungan karakteristik perempuan dengan keberdayaan perempuan dalam
program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP. Metode penelitian yang
digunakan ialah penelitian kuantitatif menggunakan instrumen kuesioner dan
didukung data kualitatif yang diperoleh melalui wawancara mendalam. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa keberdayaan perempuan peserta program
pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP telah mencapai tahap partisipasi.
Kemudian, pendampingan dalam program ini dapat meningkatkan kesejahteraan
dan partisipasi perempuan. Sementara itu, ciri perempuan yang memiliki
keberdayaan tinggi adalah perempuan yang berusia kurang dari 41 tahun, tingkat
pendidikan tinggi, tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan tinggi,
dan tingkat perilaku keinovatifan tinggi.
Kata kunci: pendampingan, CSR, pemberdayaan perempuan

ABSTRACT

NINDYA DEWINTA. The Relation of Facilitator Role with Woman’s
Empowerment in Corporate Social Responsibility (CSR) Program PT ITP.

Supervised by TITIK SUMARTI
Domestic Wasted management program in Desa Gunungsari is one of PT
ITP’s CSR Program. The program which has facilitated during 5 years has 30
participants and all of them are women. Purposes of this study are analyzing the
women’s empowerment in domestic waste management program of CSR PT ITP,
analyzing the relationship between facilitator role with women’s empowerment in
domestic waste management program of CSR PT ITP, and analyzing the
relationship between women characteristic with women’s empowerment. The
method in this research is quantitative research use questioner and supported by
qualitative data use depth interview. The result show women’s empowerment has
reached participation stage. Than the facilitator role in this program can increase
welfare and participation woman. In addition, woman characteristic that
classified in high woman’s empowerment is woman with less than 41 years old,
high education level, high participation in organization, and high innovation of
behavior.
Keywords: facilitating, CSR, empowerment of women

HUBUNGAN PERAN PENDAMPING DENGAN
KEBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PROGRAM
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PT ITP


NINDYA DEWINTA

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi

: Hubungan Peran Pendamping dengan Keberdayaan

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan atas ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi berjudul Hubungan Peran Pendamping dengan Keberdayaan Perempuan
dalam Program Corporate Social Responsibility (CSR) PT ITP. Penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan Oktober 2014 ini mengangkat tema pengembangan
masyarakat di Desa Gunungsari, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr Titik Sumarti MC
MS sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan
selama proses penulisan. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada orang
tua tercinta Ibu Dedeh Dahlia dan Bapak Rahmat serta adik tercinta Vania
Virgiani yang selalu memberikan penguatan, doa, dan motivasi kepada penulis.
Selain itu, terimakasih kepada PT Indocement khususnya departemen CSR, Ibu
Virgowati dan warga RW 04 Desa Gunungsari. Tidak lupa penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada teman-teman SKPM 48, khususnya Siska
Ermalia, Adella Adiningtyas, Putri Eksanika, Tiara Aprillia, Citra Dhyani, Tiffany
Diahnisa, Resturezky Rachmanya, Sifna Audia Q, Elsa Yuliana, Mega Silviana,
Fikra Sufi H, Sheilla N, dan Sita Putri. Kemudian Miranti Rahmatika, Yudhistira
Chandra Bayu, teman-teman akselerasi SKPM 48, Sanggar Juara, dan tim
Majalah Komunitas FEMA.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Februari 2015

Nindya Dewinta

viii

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
2 PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Kerangka Penelitian
Hipotesis

Definisi Operasional
3 PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu
Teknik Pengambilan Responden dan Informan
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
4
PROFIL DESA GUNUNGSARI
Kondisi Geografis
Kondisi Ekonomi
5
PROFIL PT INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA TBK
PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk
CSR PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk Citeureup
Profil Program Pengelolaan Sampah Rumah Tangga CSR PT ITP
Profil Pendampingan Program Pengelolaan Sampah CSR PT ITP
6 KEBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PROGRAM PENGELOLAAN
SAMPAH RUMAH TANGGA CSR PT ITP
Tingkat Kesejahteraan Perempuan

Tingkat Akses Perempuan
Tingkat Kesadaran Kritis Perempuan
Tingkat Partisipasi Perempuan
Tingkat Kontrol Perempuan
Ikhtisar
7 PERAN PENDAMPING DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINGKAT
KEBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PROGRAM PENGELOLAAN
SAMPAH RUMAH TANGGA CSR PT ITP
Peran pendamping

viii
x
xii
xiii
1
2
3
3
4
11

12
12
15
15
15
16
16
17
18
19
20
23
26

32
34
35
36
37
38


39

ix

Analisis Hubungan Tingkat Pendampingan dengan Keberdayaan Perempuan
dalam Program Pengelolaan Sampah Rumah Tangga CSR PT ITP
Ikhtisar
8
KARAKTERISTIK PEREMPUAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN
KEBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PROGRAM PENGELOLAAN
SAMPAH RUMAH TANGGA CSR PT ITP
Karakteristik Perempuan
Analisis Hubungan Karakteristik Perempuan dengan Tingkat Keberdayaan
Perempuan dalam Program Pengelolaan Sampah Rumah Tangga CSR PT ITP
Ikhtisar
9
PENUTUP
Simpulan
Saran

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

46
51

52
55
73
74
74
75
77
91

x

DAFTAR TABEL

1 Luas wilayah dan persentase alokasi penggunaan lahan di Desa Gunungsari,
Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor tahun 2010
2 Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan jenis mata pencaharian di
Desa Gunungsari, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor tahun 2010
3 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesejahteraan dan tingkat
pendampingan
4 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat akses dan tingkat
pendampingan
5 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesadaran kritis dan
tingkat pendampingan
6 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat partisipasi dan tingkat
pendampingan
7 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kontrol dan tingkat
pendampingan
8 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesejahteraan dan usia
9 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesejahteraan dan tingkat
pendidikan
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesejahteraan dan tingkat
10 keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan
11 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesejahteraan dan tingkat
perilaku keinovatifan
12 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat akses dan usia
13 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat akses dan tingkat
pendidikan
14 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat akses dan tingkat
keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan
15 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat akses pada pelatihan dan
pendampingan dan tingkat perilaku keinovatifan
16 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesadaran kritis
perempuan dan usia
17 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesadaran kritis
perempuan dan tingkat pendidikan
18 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesadaran kritis
perempuan dan tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan
19 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kesadaran kritis
perempuan dan tingkat perilaku keinovatifan
20 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat partisipasi perempuan dan
umur
21 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat partisipasi perempuan dan
tingkat pendidikan

17
18
47
48
49
49
51
56
57
57
59
59
60
61
62
63
64
64
66
66
67

xi

22 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat partisipasi perempuan dan
tingkat organisasi kemasyarakatan
23 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat partisipasi perempuan dan
tingkat perilaku keinovatifan
24 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kontrol dan usia
25 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kontrol dan tingkat
pendidikan
26 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kontrol dan tingkat
keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan
27 Jumlah dan persentase responden menurut tingkat kontrol dan tingkat
perilaku keinovatifan

68
69
70
71
71
72

xii

DAFTAR GAMBAR

1 Piramida keberdayaan perempuan
2 Kerangka analisis peran pendamping dalam program CSR dan keberdayaan
perempuan
3 Struktur organisasi CSR PT ITP Citeureup
4 Struktur kepengurusan UPPKS Pelita Hati
5 Persentase tingkat kesejahteraan perempuan peserta
6 Persentase tingkat akses perempuan peserta
7 Persentase tingkat kesadaran kritis perempuan peserta
8 Persentase tingkat partisipasi perempuan peserta
9 Persentase tingkat kontrol perempuan peserta
10 Persentase peran pendamping sebagai fasilitator
11 Persentase peran pendamping sebagai broker
12 Persentase peran pendamping sebagai mediator
13 Persentase peran pendamping sebagai pembela
14 Persentase peran pendamping sebagai pelindung
15 Persentase tingkat pendampingan
16 Persentase usia perempuan peserta
17 Persentase tingkat pendidikan peserta
18 Persentase tingkat keterlibatan perempuan peserta
19 Persentase tingkat perilaku keinovatifan perempuan peserta

9
11
23
26
32
34
35
36
37
40
42
43
44
45
46
52
53
54
55

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

1
2
3
4
5
6
7

Denah lokasi penelitian
Jadwal kegiatan penelitian
Daftar nama responden penelitian
Kuesioner penelitian
Pedoman wawancara informan
Hasil uji statistik rank spearman
Dokumentasi penelitian

78
78
79
80
86
88
90

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Sampai saat ini meskipun seluruh masyarakat dianggap sama di mata hukum,
tetapi masih ada masyarakat yang dianggap “nomor 2”. Kelompok dari masyarakat
ini sering disebut masyarakat rentan (vulnerable groups). Kelompok tersebut terdiri
atas pengungsi, pekerja migran, perempuan, anak, dan masyarakat adat (Muktiono
2009). Perempuan sebagai salah satu bagian dari kelompok rentan sering kali
mengalami diskriminasi akibat hegemoni budaya patriarki yang mengakar kuat di
masyarakat.
Kesenjangan antara laki-laki dan perempuan masih banyak terjadi dalam
berbagai bidang kehidupan. Menurut data ILO (International Labour Organization)
tahun 2013 jumlah laki-laki yang bekerja di Indonesia masih jauh lebih banyak
dibandingkan perempuan, masing-masing sebesar 62 persen dan 38 persen.
Rendahnya partisipasi perempuan ini juga dipengaruhi rasio lapangan pekerjaan lakilaki memang lebih tinggi sebesar 80 persen dibandingkan perempuan yang hanya 50
persen di bulan Februari 2013.
Upaya memberdayakan perempuan sudah dilakukan sejak tahun 1995 dalam
konvensi wanita sedunia yang diselenggarakan di Beijing, Cina. Konvensi ini
menghasilkan Beijing Platform for Action (BPFA) yang bertujuan mempercepat
kemajuan kaum perempuan. Terdapat 12 bidang sasaran strategis yang menjadi
perhatian, diantaranya: 1) perempuan dan kemiskinan, 2) pendidikan dan pelatihan
bagi perempuan, 3) perempuan dan kesehatan, 4) kekerasan terhadap perempuan, 5)
perempuan dan konflik bersenjata, 6) perempuan dan ekonomi, 7) perempuan dalam
kedudukan pemegang kekuasaan dan pengambilan keputusan, 8) mekanisme
institusional untuk kemajuan perempuan, 9) hak asasi perempuan, 10) perempuan dan
media massa, 11) perempuan dan lingkungan, dan 12) anak-anak perempuan.
Keterlibatan swasta untuk melakukan pemberdayaan yang dikhususkan untuk
perempuan masih sangat sedikit. Padahal menurut Endres (2011), kegiatan
pemberdayaan perempuan tidak hanya bermanfaat bagi perempuan itu sendiri, tapi
juga bagi perusahaan. Manfaat tersebut adalah peningkatan keuntungan.
Peran swasta dalam pemberdayaan dapat dilakukukan melalui Corporate
Social Responsibility (CSR). CSR didefinisikan Wibisono (2007) sebagai tanggung
jawab sosial perusahaan untuk meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan
dampak positif dari aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pelaksanaan CSR di
Indonesia telah dikuatkan dengan adanya UU No. 40 Tahun 2007 tentang kewajiban
perusahaan untuk melaksanakan program CSR. Program CSR yang paling banyak
dilakukan adalah pemberdayaan. Pemberdayaan ini dapat dilakukan melalui
pendampingan yang menurut Suharto (2005) ditujukkan untuk membantu masyarakat
agar mampu membantu dirinya sendiri.

2

PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (PT ITP) merupakan salah satu
perusahaan semen di Indonesia yang telah menjalankan program CSR. Program CSR
PT ITP menurut Indocement (2012) telah mengacu pada 8 tujuan Millenium
Development Goals (MDG’s). Program tersebut terbagi ke dalam 5 pilar, yaitu:
bidang pendidikan, bidang kesehatan, bidang ekonomi (pembinaan UMKM), bidang
sosial dan budaya, dan bidang keamanan lingkungan. Selain itu terdapat Sustainable
Development Program (SDP), salah satunya adalah program pengelolaan sampah
rumah tangga.
Program pengelolaan sampah rumah tangga tersebut memiliki 4 tujuan,
diantaranya meningkatkan kesadaran lingkungan masyarakat, mengoptimumkan
pengelolaan sampah menjadi produk yang bermanfaat, memberi penghasilan
tambahan bagi masyarakat, dan membantu pemerintah mewujudkan lingkungan
bersih dan sehat. Program tersebut dilaksanakan di RW 04 Desa Gunungsari, sebagai
lokasi percontohan bagi tempat-tempat lain. Desa Gunungsari dipilih karena terdapat
persoalan kesehatan, seperti penyakit demam berdarah yang disebabkan pengelolaan
sampah yang belum baik (Prasodjo 2012). Selain itu, di desa ini masih terdapat 795
keluarga miskin seperti catatan laporan kaur kesra desa yang dikutip oleh Prasodjo
(2012). Oleh karena itu, program pengelolaan sampah rumah tangga ini diharapkan
dapat memberi penghasilan tambahan kepada para pesertanya.
Peserta program yang telah mendapat pendampingan selama 5 tahun ini
adalah 30 orang dan seluruhnya merupakan perempuan. Para perempuan ini bertugas
mengontrol setiap rumah di RT tempat tinggal mereka agar selalu melakukan
pemilahan sampah. Selanjutnya, sampah seperti buku dan gelas air mineral disimpan
di bank sampah untuk dijual kepada pengepul. Sementara itu, plastik yang masih
dapat digunakan didaur ulang menjadi kerajinan tangan. Hasil kerajinan tangan
tersebut kemudian dibantu pemasarannya melalui kelompok Usaha Peningkatan
Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS). Oleh karena itu, menarik untuk melihat
hubungan peran pendamping dalam program pengelolaan sampah rumah
tangga CSR PT ITP dan keberdayaan perempuan di Desa Gunungsari.

Masalah Penelitian
Masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana keberdayaan perempuan dalam program pengelolaan sampah
rumah tangga CSR PT ITP di Desa Gunungsari?
2. Bagaimana hubungan peran pendamping dengan keberdayaan perempuan
dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP di Desa
Gunungsari?
3. Bagaimana hubungan karakteristik perempuan dengan keberdayaan
perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP di
Desa Gunungsari?

3

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1. Menganalisis keberdayaan perempuan dalam program pengelolaan sampah
rumah tangga CSR PT ITP di Desa Gunungsari.
2. Menganalisis hubungan peran pendamping dengan keberdayaan perempuan
dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP di Desa
Gunungsari.
3. Menganalisis hubungan karakteristik perempuan dengan keberdayaan
perempuan dalam program pengelolaan sampah rumah tangga CSR PT ITP di
Desa Gunungsari.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut:
1. Bagi akademisi
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi untuk
penelitian-penelitian selanjutnya mengenai peran pendamping dalam CSR dan
keberdayaan perempuaan. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat memperbaiki
kelemahan-kelemahan dari penelitian ini. Selain itu, penelitian ini diharapkan
dapat menambah wawasan dalam bidang Pengembangan Masyarakat.
2. Bagi instansi terkait
Penelitian ini dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam membuat
perencanaan program CSR terutama yang terkait dengan peran pendamping
dan keberdayaan perempuan.

PENDEKATAN TEORETIS

Tinjauan Pustaka
Corporate Social Responsibility (CSR)
Corporate Social Responsibility menurut Rakhmat (2013) adalah suatu bentuk
tanggung jawab sosial perusahaan kepada seluruh stakeholdernya dengan
mengintegrasikan 3 pilar yang disebut triple bottom line (profit, people, planet). Pada
pengelolaannya praktik CSR sangat dipengaruhi oleh konsep GCG (Good Corporate
Governance). Faktor pendorong internal dari perusahaan berupa GCG didefinisikan
sebagai bentuk tata kelola perusahaan yang baik yang memiliki agenda jauh di masa
datang dan isu CSR merupakan salah satu praktik dari konsep GCG.
Penerapan GCG menurut Rakhmat (2013) meliputi 5 prinsip, yaitu:
transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, fairness, dan independensi. Prinsip
transparansi berarti perusahaan harus menyediakan informasi yang mudah diakses
terkait seluruh aktivitasnya kepada stakeholder. Prinsip yang kedua akuntabilitas
yaitu perusahaan harus mampu mempertanggungjawabkan kinerjanya secara wajar
dan transparan. Kemudian responsibilitas yaitu bentuk tanggung jawab perusahaan
atas dampak aktivitasnya terhadap lingkungan dan masyarakat setempat. Prinsip
keempat fairness yaitu perusahaan harus memperhatikan kepentingan stakeholder
yang berasaskan kewajaran dan kesetaraan. Terakhir adalah independensi yaitu
pengelolaan perusahaan harus bebas dari intervensi dari pihak manapun.
Selain faktor internal, pelaksanaan CSR juga dipengaruhi oleh faktor yang
berasal dari luar pengelola kegiatan CSR. Faktor pendorong ini muncul dari
pemerintah yang memiliki peran menurut Mulkhan dan Pratama (2011) melalui
mandating, facilitating, partnering, dan endorsing. Mandating adalah peran
pemerintah dalam mengeluarkan UU tentang perusahaan, melalui peran ini
pemerintah dapat menjalankan fungsi pengawasan dengan melakukan evaluasi
terhadap kinerja CSR perusahaan. Peran facilitating yaitu, pemerintah memberikan
panduan untuk pelaksanaan program tanggung jawab perusahaan. Ketiga yaitu
partnering, pemerintah ikut terlibat dalam proses kerjasama multy stakeholder
dengan menjadi fasilitator dialog antar stakeholder. Terakhir adalah peran endorsing,
pemerintah dapat memotivasi perusahaan dengan memberikan reward terhadap
pelaksanaan program CSR.
Peran Pendamping
Peran dari seorang pendamping menurut Soesilowati et al. (2011) sangat
mempengaruhi efektivitas dari pelaksanaan CSR. Keterlibatan pendamping sebagai
aktor yang melembaga dalam suatu jaringan menyebabkan proses pemberdayaan
berjalan efektif. Hasilnya adalah peningkatan pendapatan subyek serta memberi
multiplier effect bagi masyarakat dan pemerintah daerahnya.

5

Proses pemberdayaan memerlukan pendamping yang berperan memfasilitasi
pengambilan keputusan dan meningkatkan inisiatif masyarakat agar lebih mandiri
dalam pengembangan dan peningkatan taraf hidupnya. Selain itu, berusaha
menciptakan rakyat dan institusinya sebagai kekuatan dasar dalam pembangunan
ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
Pendampingan menurut Putra et al. (2012) menggunakan metode PAR
(Participatory Action Reserch), karena masyarakat harus berpartisipasi aktif dalam
menyalurkan ide tidak hanya sebagai penerima ide. Kegiatan pendampingan
dilakukan melalui pemetaan potensi desa, sosialisasi kegiatan pemberdayaan,
pelatihan, pemetaan dan pendampingan pemasaran produk, dan konsultasi. Hasil
yang diharapkan dari pendampingan ini yaitu keberlanjutan program, perubahan
relasi sosial, partisipasi aktif, adanya inovasi baru, peningkatan ekonomi dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan terbangunnya organisasi masyarakat
sehingga terjadi kelompok swadaya.
Pendampingan sosial menurut Suharto (2005) merupakan salah satu strategi
yang menentukan keberhasilan program pemberdayaan. Prinsipnya adalah membantu
orang lain agar mampu membantu dirinya sendiri, seperti prinsip pekerja sosial.
Pekerja sosial diwujudkan perannya sebagai pendamping bukan pemecah masalah
secara langsung, mereka hadir dan terlibat membantu memecahkan persoalan atau
yang disebut Payne (1986) yang dikutip oleh Suharto (2005) “making the best of
client’s resources”. Pendampingan sosial diartikan sebagai interaksi dinamis antara
kelompok miskin dan pendamping untuk mengatasi masalah secara bersama-sama
dan mengahadapi berbagai tantangan. Tantangan tersebut antara lain: merancang
program perbaikan sosial dan ekonomi, memecahkan masalah sosial, membuka akses
bagi kebutuhan, dan lainnya.
Tugas dari pendampingan sosial menurut Suharto (2005) terdiri atas fasilitasi
atau pemungkinan (enabling), penguatan (empowering), perlindungan (protecting),
dan pendukungan (supporting). Selain itu, pendamping memiliki 5 peran menurut
Jorgensen dan Hernandez (1994) dikutip Suharto (2005), yaitu fasilitator, broker,
mediator, pembela, dan pelindung.
Peran pendamping pertama adalah fasilitator. Definisi fasilitator menurut
Parsons, Jorgenzen, dan Hernandez (1994: 188) dikutip Suharto (2005) yaitu “the
traditional role of enabler in social work implies education, facilitation, and
promotion of interaction and action.” Definisi tersebut didasari visi pekerjaan sosial
yang menyatakan perubahan terjadi pada dasarnya karena adanya usaha masyarakat
sendiri.
Peranan pekerjaan sosial sebagai fasilitator adalah memfasilitasi atau
memungkinkan masyarakat untuk melakukan perubahan. Tugas fasilitator
diantaranya mendefinisikan siapa yang akan dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan,
mendefinisikan tujuan keterlibatan, mendorong komunikasi dan relasi, serta
menghargai pengalaman dan perbedaan-perbedaan, memfasilitasi menemunakan
kesamaan dan perbedaan, memfasilitasi pendidikan dengan membangun pengetahuan
dan keterampilan, memberikan contoh dan memfasilitasi pemecahan masalah
bersama dengan mendorong kegiatan kolektif.

6

Selain itu, tugas fasilitator yaitu mengidentifikasi masalah-masalah yang akan
dipecahkan, memfasilitasi penetapan tujuan, merancang solusi-solusi alternatif.
Kemudian tugas lainnya, antara lain mendorong pelaksanaan tugas, memelihara relasi
sistem, dan memecahkan konflik.
Kedua, peran pendamping sebagai broker. Broker dalam pengertian umum
berperan untuk memaksimalkan keuntungan transaksi bagi klien. Namun dalam
konteks pekerjaan sosial memaksimalkan keuntungan dalam pelayanan sosial
(Suharto 2005). Pada intinya peranan sebagai broker adalah menghubungkan
masyarakat dengan barang dan pelayanan serta mengontrol kualitas barang dan
pelayanan tersebut. Peranannya secara spesifik yaitu mampu mengidentifikasi dan
melokalisir sumber-sumber kemasyarakatan yang tepat, mampu menghubungkan
masyarakat dengan sumber secara konsisten, dan mampu mengevaluasi efektivitas
sumber dalam kaitannya dengan kebutuhan masyarakat. Terdapat 3 kata kunci dalam
peran ini, yaitu menghubungkan (linking), barang dan pelayanan (goods and service),
dan pengontrolan kualitas (quality control).
Selanjutnya, peran pendamping ketiga adalah mediator. Mediator sangat
penting terutama pada saat ada perbedaan mencolok antara masyarakat dengan pihak
lain yang mengarah kepada konflik. Pendamping menurut Lee dan Swenson dikutip
Suharto (2005) digambarkan sebagai jembatan antara masyarakat dengan sistem
lingkungan yang menghambatnya. Kegiatan mediator antara lain kontrak perilaku,
negosiasi, pendamai pihak ketiga, dan berbagai resolusi konflik. Pada proses mediasi,
tujuan akhir diarahkan kepada win-win solution. Teknik dan keterampilan yang dapat
digunakan oleh mediator menurut Compton dan Galaway (1989: 511) dikutip Suharto
(2005), yaitu mencari persamaan nilai dari pihak yang berkonflik, membantu setiap
pihak mengakui legitimasi kepentingan pihak lain, membantu pihak yang bertikai
mengidentifikasi kepentingan bersama, hindari situasi yang mengarah pada kondisi
menang dan kalah, berupaya melokalisir konflik ke dalam isu, waktu, dan tempat
yang spesifik, membagi konflik kedalam beberapa isu, membantu pihak yang bertikai
mengakui manfaat melanjutkan hubungan daripada terus berkonflik, memfasilitasi
komunikasi dengan cara mendukung mereka agar mau berbicara satu sama lain, dan
gunakan prosedur persuasi.
Keempat, peran pendamping sebagai pembela. Peran ini seringkali harus
berhadapan dengan sistem politik dalam menjamin kebutuhan yang diperlukan
masyarakat (Suharto 2005). Ketika pelayanan dan sumber kebutuhan sulit dijangkau
masyarakat, pekerja sosial harus memainkan peran sebagai advokat (pembela). Peran
pembela dapat dibagi 2 menurut Parson, Jorgensen dan Hernandez dikutip Suharto
(2005), yaitu advokasi kasus dan advokasi kausal.
Advokasi kasus yaitu ketika pendamping melakukan pembelaan atas nama
individu, sedangkan advokasi kausal objeknya adalah sekelompok orang. Peran
pembela menurut Rothblatt (1978) dikutip Suharto (2005) memiliki beberapa model,
diantaranya perwakilan luas dengan mewakili semua pelaku yang memiliki
kepentingan dalam pembuatan keputusan, keadilan dengan memperjuangkan sebuah
sistem kesetaraan, pendukungan dengan mendukung partisipasi secara luas, dan
kepekaan dengan mendorong para pembuat keputusan untuk mempertimbangkan dan
peka terhadap minat dan posisi orang lain.

7

Peran pendamping yang terakhir adalah pelindung. Pendamping didukung
kekuatan hukum untuk melakukan perlindungan terhadap orang-orang lemah atau
rentan. Sebagai pelindung menurut Suharto (2005), pendamping bekerja berdasarkan
kepentingan korban, calon korban, atau yang berisiko. Kemampuan seorang
pelindung menyangkut kekuasaan, pengaruh, otoritas, dan pengawasan sosial. Tugastugas pelindung, antara lain menentukan siapa klien yang paling utama, menjamin
semua tindakan sesuai dengan proses perlindungan, dan berkomunikasi dengan
semua pihak yang terpengaruh oleh tindakan sesuai dengan tanggung jawab etis,
legal, dan rasional praktik pendamping.
Pemberdayaan
Pemberdayaan sebagai alternatif paradigma pembangunan menurut Waskita
(2005) melihat pembangunan sebagai sesuatu yang integral, multidimensional, dan
dialektis yang berbeda antara negara yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu,
setiap masyarakat harus menemukan sendiri strategi pembangunannya. Konsep
penyadaran yang menjadi inti pemberdayaan dapat dilihat dari unsur-unsur, sebagai
berikut: pembangunan yang berorientasi kebutuhan, pembangunan yang bersifat
endogenous, pembangunan yang mengandalkan kemampuan sendiri, pembangunan
secara ekologis baik, dan bersandar pada transformasi lokal.
Pembangunan yang berorientasi kebutuhan adalah pembangunan yang
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat baik yang bersifat materi maupun nonmateri. Kedua pembangunan yang bersifat endogenous adalah pembangunan yang
berdasar dari nilai-nilai dan pandangan masyarakat. Ketiga pembangunan
mengandalkan kemampuan sendiri yaitu masyarakat yang mengandalkan kekuatan
dan sumberdayanya sendiri. Keempat pembangunan harus baik secara ekologis
artinya pemanfaatan sumberdaya harus penuh kesadaran dan rasional akan potensi
ekosistem lokal dan memikirkan generasi mendatang. Terakhir pembangunan perlu
bersandar pada transformasi sosial guna mewujudkan swakelola dan partisipasi dalam
pembuatan keputusan oleh semua stakeholder (Waskita 2005).
Tujuan dari pemberdayaan menurut Soesilowati (2011) adalah meningkatkan
kemampuan berusaha, baik dari aspek motivasi, teknologi, manajemen, permodalan,
dan pemasaran serta memiliki posisi tawar di masyarakat. Selain itu, terdapat 3 buah
strategi pemberdayaan yang merujuk Friedmann dikutip Soesilowati (2011) yaitu
strategi fasilitasi, reedukasi, dan kekuasaan.
Menurut Soesilowati (2011) harapan dari proses pemberdayaan pada akhirnya
adalah keberlanjutan. Hal tersebut dapat dicapai melalui beberapa proses, pertama
konvergensi dimana antar anggota melakukan reposisi melalui penggalangan
sumberdaya, sehingga sektor kerakyatan dapat terlepas dari posisi marjinal dan terjadi
pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya sinergi antar pelaku pembangunan dan sibernetik,
suatu sistem yang dapat mengatur dirinya sendiri, sehingga memungkinakan
kelompok masyarakat berswadaya.

8

Selain pendekatan yang berbasis masyarakat, menurut Soesilowati (2011)
pemberdayaan juga dapat melalui pendekatan institusional. Asumsinya program
pemberdayaan akan lebih efektif jika pelaksanaannya melibatkan institusi yang
dimiliki oleh masyarakat sendiri. Hal ini karena institusi dianggap memiliki daya
kohesivitas yang tinggi dan menjadi tumpuan masyarakat.
Satu pendekatan lagi dalam pemberdayaan yaitu PRA (Participatory Rural
Appraisal) (Soesilowati 2011). Suatu pendekatan yang dapat mempelajari kondisi
masyarakat, melalui analisis, perencanaan, dan tindakan. Pendekatan ini
memungkinkan masyarakat untuk dapat meningkatkan pengetahuan tentang realitas
kehidupan mereka, membuat rencana, dan sekaligus tindakan untuk mengatasi
masalah yang mereka rasakan. Pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dapat
tercapai melalui dialog. Prosesnya harus secara kontinyu agar tercapai penyadaran,
saling pengertian, dan persamaan persepsi.
Program pemberdayaan menurut Sartika (2011) akan berhasil bila
kebijakannya memenuhi 4 komponen yaitu konsep, prosedur, proses, hasil, dan
manfaat. Pertama program pemberdayaan harus memiliki visi, misi, dan tujuan yang
jelas. Kedua harus ada prosedur pelaksanaan yang terdiri atas peraturan, manajemen,
dan pedoman untuk menjalankan program. Ketiga adanya mekanisme prosedur akan
memudahkan pelaksanaan kegiatan. Kemudian pengukuran keberhasilan dapat dilihat
dengan membandingkan antara tujuan dengan hasil serta kesesuaian harapan.
Terakhir program pemberdayaan harus memiliki manfaat baik langsung maupun tidak
langsung.
Beberapa kendala dalam pelaksanaan program pemberdayaan juga seringkali
ditemui di lapangan. Kendala tersebut menurut Sartika (2011) diantaranya struktur
organisasi pelaksana yang kurang jelas, masyarakat seringkali belum menyadari
pentingnya berorganisasi, ketidakjelasan pedoman pelaksanaan dan struktur
organisasi menyebabkan ketidaksinambungan program, keterbatasan dana, dan belum
terintegrasinya pihak-pihak yang melakukan pemberdayaan.
Keberdayaan Perempuan
Perempuan menurut Muktiono (2009) merupakan salah satu kelompok
masyarakat rentan (vulnerable groups). Salah satu pendekatan dalam pembangunan
yang telah melihat semua kerja perempuan baik kerja produktif, reproduktif, privat
maupun publik adalah pemberdayaan perempuan atau dikenal juga dengan
pendekatan GAD (Gender and Development). Pendekatan ini mengarah pada
pendekatan struktural yang menekankan konstruksi sosial gender. Pelaksanaannya
menurut Handayani dan Sugiarti (2005) memerlukan dukungan sosio-budaya
masyarakat dalam politik nasional untuk menempatkan perempuan sejajar dengan
laki-laki.
Terbitnya Inpres No. 9 tahun 2000 tentang PUG (Pengarusutamaan Gender)
dan berbagai aturan lain yang mendorong pemberdayaan perempuan merupakan salah
satu bagian dari upaya struktural (Hubeis 2010). Stereotipe peran serta sifat laki-laki
dan perempuan yang sejak dulu disosilisasikan dan menjadi pembelajaran sosial, pada
akhirnya menjadi pendorong untuk melakukan pemberdayaan perempuan.

9

Perempuan selalu diasumsikan sebagai manusia lemah dan emosional,
sedangkan laki-laki sebagai sosok yang gagah perakasa dan pelindung (Hubeis 2010).
Akibatnya perempuan sejak kecil tersosialisasi untuk tersubordinasi dari laki-laki.
Budaya inilah yang perlu diubah jangan sampai terus mensosialisasikan perempuan
sebagai pihak yang tidak berdaya. Oleh karena itu, pemberdayaan dapat dilakukan
dengan mengembangkan potensi yang dimiliki perempuan untuk memecahkan
masalah maupun pemenuhan kebutuhan.
Pemberdayaan perempuan menurut Windiani (2011) adalah upaya
memampukan, memandirikan masyarakat, dan menghilangkan diskriminasi. Upaya
ini dilakukan dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran teradap
potensi yang dimilikinya. Sara Longwe dikutip oleh Handayani dan Sugiarti (2005)
seperti ditunjukkan oleh gambar 1 melihat keberdayaan perempuan melalui 5 hal,
yaitu kesejahteraan, akses, kesadaran kritis, partisipasi, dan kontrol. Lima dimensi
tersebut merupakan hubungan yang sinergis, saling melengkapi, dan memiliki
hubungan yang hierarkis. Pada pendekatan ini tingkat kesetaraan berbanding lurus
dengan tingkat keberdayaan.

Kontrol
Partisipasi
Kesadaran Kritis
Akses
Kesejahteraan
n

Sumber: Longwe dikutip Handayani dan Sugiarti (2005)
Gambar 1
Piramida keberdayaan perempuan
Dimensi kesejahteraan dalam pendekatan Longwe dikutip Handayani dan
Sugiarti (2005) diukur dari tercukupinya kebutuhan dasar seperti makanan,
penghasilan, perumahan, dan kesehatan. Selain itu, menurut Fanariotu dan Skuras
(2002) kesejahteraan juga dapat dinilai dari segi lingkungan melalui pengetahuan,
sikap, dan praktik pelestarian lingkungan (Waskito dan Harsono 2012). Kesenjangan
gender pada tingkat ini diukur perbedaan kesejahteraan laki-laki dan perempuan,
misalnya dalam tingkat penghasilan, kematian, atau gizi.
Keberdayaan tidak dapat terjadi di tingkat kesejahteraan, melainkan harus
dikaitkan dengan peningkatan akses terhadap sumberdaya (Handayani dan Sugiarti
2005). Upaya untuk memperbaiki kesejahteraan perempuan diperlukan keterlibatan
perempuan dalam proses pemberdayaan dan pada tingkat pemerataan yang lebih
tinggi.

10

Selain itu, menurut Handayani dan Sugiarti (2005) dimensi akses melihat
perbedaan akses antara laki-laki dan perempuan. Akses berarti kesempatan.
Rendahnya akses terhadap sumberdaya mengakibatkan produktivitas yang juga
rendah. Perempuan di banyak komunitas diberikan tanggung jawab terhadap
pekerjaan domestik, sehingga tidak mempunyai cukup waktu untuk meningkatkan
kemampuan diri. Pembangunan tidak cukup hanya perataan akses, karena kurangnya
akses disebabkan dari diskriminasi gender. Oleh karena itu, untuk mengatasi
kesenjangan gender akibat diskriminasi sistemik harus diatasi melalui penyadaran
(Handayani dan Sugiarti 2005).
Selanjutnya, kesadaran kritis menurut Handayani dan Sugiarti (2005) adalah
upaya untuk “melawan” subordinasi perempuan. Kesenjangan gender di tingkat ini
disebabkan anggapan posisi sosial ekonomi perempuan lebih rendah dari laki-laki.
Keberdayaan di tingkat ini berarti melakukan penolakan pada pandangan tersebut.
Dimensi partisipasi yaitu keterlibatan perempuan secara aktif mulai dari
formulasi proyek, implementasi dan monitoring, sampai evaluasi (Handayani dan
Sugiarti 2005). Meningkatnya peran serta perempuan merupakan hasil keberdayaan.
Partisipasi dibedakan menjadi partisipasi kuantitatif (jumlah laki-laki dan perempuan
yang terlibat) dan kualitatif (peranan laki-laki dan perempuan dalam mengambil
keputusan). Terakhir adalah dimensi kontrol, artinya perempuan harus punya kuasa
untuk mengubah kondisi posisi, masa depan diri dan komunitasnya. Kesetaraan
dalam kuasa menjadi prasyarat bagi terwujudnya kesetaraan gender dan keberdayaan
dalam masyarakat yang sejahtera.
Karakteristik Perempuan
Pada program pemberdayaan selalu ada obyek atau kelompok sasaran yang
mempengaruhi keberhasilan pemberdayaan tersebut (Mardikanto 2010). Definisinya
adalah masyarakat yang utamanya masyarakat yang termarjinalkan. Mardikanto
(2010) menyebut kelompok sasaran sebagai penerima manfaat.
Karakteristik penerima manfaat menurut Mardikanto (2010) terdiri atas
karakteristik pribadi meliputi usia. Kedua, status sosial ekonomi meliputi tingkat
pendidikan dan keterlibatannya dalam organisasi kemasyarakatan. Selanjutnya,
perilaku keinovatifan terdiri atas innovator, early adaptor, early majority, late
majority, dan laggards.
Karakteristik status sosial ekonomi memandang penting pendidikan sebagai
variabel utama memperbaiki mutu hidup (Mardikanto 2010). Terakhir
pengorganisasian merupakan upaya yang selalu dilakukan dalam setiap program
pemberdayaan, guna meningkatkan partisipasi, efisiensi pelayanan, dan kekuatan
bersama untuk menaikkan posisi tawar.
Selain itu, penting bagi fasilitator mengetahui tingkat perilaku keinovatifan
penerima manfaat, karena sangat menentukan kecepatan tujuan pemberdayaan
(Mardikanto 2010). Pada hubungan ini, kelompok innovator dan early adapator
dalam proses pemberdayaan tidak bisa dijadikan panutan, karena kondisi sosial
ekonomi, dan keberanian menghadapi resikonya berada di atas rata-rata. Oleh karena
itu, kelompok early majority menjadi panutan, karena memiliki status sosial ekonomi
yang tidak banyak berbeda dengan sebagain besar masyarakat lain.

11

Kerangka Penelitian
Keberhasilan pemberdayaan perempuan dalam program pengelolaan sampah
rumah tangga CSR PT ITP dapat diidentifikasi melalui beragam metode, salah
satunya dengan teknik Longwe. Teknik analisis Longwe dikutip Handayani dan
Sugiarti (2005) melihat keberdayaan perempuan dalam 5 dimensi, yaitu tingkat
kesejahteraan, tingkat akses, tingkat kesadaran kritis, tingkat partisipasi, dan tingkat
kontrol. Kelimanya berhubungan sinergis, saling menguatkan, dan memiliki
hubungan hierarkis.
Keberdayaan perempuan berhubungan dengan beragam faktor. Gambar 2
menunjukkan terdapat 2 faktor yang berhubungan dengan keberdayaan perempuan,
yaitu pendampingan dan karakteristik perempuan. Pendampingan merupakan faktor
yang tidak dapat lepas dari proses pemberdayaan masyarakat, karena menurut
Suharto (2005) pendampingan sosial merupakan strategi yang menentukan
keberhasilan program pemberdayaan. Prinsipnya yaitu membantu orang lain agar
mampu membantu dirinya sendiri. Tingkat pendampingan tersebut dapat dilihat
melalui peran pendamping yang mencakup fasilitator, broker, mediator, pembela, dan
pelindung.
Selanjutnya, karakteristik perempuan menurut Mardikanto (2010) mencakup
karakteristik pribadi, status sosial ekonomi, dan tingkat perilaku keinovatifan.
Karakteristik pribadi dilihat dari usia, sedangkan status sosial ekonomi dilihat dari
tingkat pendidikan dan tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan.
Tingkat Pendampingan (X2):
1. Tinggi
2. Sedang
3. Rendah
Karakteristik Perempuan (X1):
1. Usia (X1.1)
2. Tingkat pendidikan (X1.2)
3. Tingkat Keterlibatan dalam
organisasi kemasyarakatan
(X1.3)
4. Tingkat Perilaku
Keinovatifan (X1.4)

Keberdayaan Perempuan (Y):
1. Tingkat kesejahteraan (Y1)
2. Tingkat akses (Y2)
3. Tingkat kesadaran kritis (Y3)
4. Tingkat partisipasi (Y4)
5. Tingkat kontrol (Y5)

Keterangan:
: Berhubungan
Gambar 2

Kerangka analisis hubungan peran pendamping dengan keberdayaan
perempuan dalam program CSR ITP

12

Hipotesis
Hipotesis penelitian ini disajikan sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan antara tingkat pendampingan dengan keberdayaan
perempuan (tingkat kesejahteraan, tingkat akses, tingkat kesadaran kritis,
tingkat partisipasi, dan tingkat kontrol).
2. Terdapat hubungan antara karakteristik perempuan (usia, tingkat
pendidikan, tingkat keterlibatan dalam organisasi kemasyarakatan, dan
tingkat perilaku keinovatifan) dengan keberdayaan perempuan (tingkat
kesejahteraan, tingkat akses, tingkat kesadaran kritis, tingkat partisipasi,
dan tingkat kontrol).
Definisi Operasional
Keberdayaan Perempuan
Keberdayaan perempuan menurut Windiani (2011) adalah keadaan dimana
perempuan telah mampu, mandiri, dan tidak terdiskriminasikan. Beberapa
variabelnya antara lain:
a. Tingkat kesejahteraan adalah terpenuhinya kebutuhan dasar melalui
pendapatan dan kesehatan lingkungan melalui kesadaran lingkungan.
Pendapatan diperoleh dari hasil kerja nafkah, kerja sosial, kerja
serabutan, arisan, dan lainnya. Penggolongan ini dilakukan dengan skala
ordinal sesuai dengan hasil di lapangan, dengan kategori rendah untuk
kurang dari rata-rata sebesar Rp927 067 dan kategori tinggi untuk di atas
rata-rata atau sama dengan pendapatan. Namun, jika dibandingkan
dengan Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Bogor menurut
Keputusan Gubernur Jawa Barat (2013) sebesar Rp2 242 240,
pendapatan para peserta masih banyak yang berada di bawah rata-rata.
Sementara itu, kesadaran lingkungan diukur dari pengetahuan, sikap, dan
praktik pelestarian lingkungan. Oleh karena itu, pengukuran tingkat
kesejahteraan dibedakan dalam 2 kategori dalam skala ordinal yaitu:
rendah jika skor pertanyaan 1-2 dan tinggi jika skor pertanyaan 3-4.
b. Tingkat akses adalah peluang untuk memperoleh manfaat atas
sumberdaya. Tingkat akses melihat frekuensi perempuan dalam
memperoleh pendampingan dan pelatihan. Variabel ini diukur melalui
skala ordinal dan dibedakan menjadi 2 yakni: rendah jika skor pertanyaan
0-2 dan tinggi jika skor pertanyaan 3-5.
c. Tingkat kesadaran kritis adalah kesadaran adanya subordinasi pada
perempuan bukanlah suatu pengaturan alamiah, tetapi hasil diskriminatif
dari tatanan sosial yang berlaku. Hal ini berarti perempuan menyadari
adanya ketidakadilan yang menganggap bahwa posisi sosial dan ekonomi
perempuan lebih rendah dari laki-laki. Selain itu, menyadari pembagian
kerja gender tradisional bukan bagian dari tatanan abadi.

13

d.

e.

Tingkat kesadaran kritis diukur melalui skala ordinal dan dibedakan
menjadi 2 kategori terdiri atas: rendah jika skor pertanyaan 0-1 dan tinggi
jika skor pertanyaan 2-3.
Tingkat partisipasi adalah keterlibatan perempuan secara aktif mulai dari
penetapan kebutuhan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Tingkat
partisipasi diukur melalui skala ordinal dan dibedakan menjadi 2 kategori
yaitu: rendah jika skor pertanyaan 1-4 dan tinggi jika skor pertanyaan 58.
Tingkat kontrol, yaitu kuasa untuk mengubah kondisi posisi, masa depan
diri dan komunitasnya. Tingkat kontrol dinilai melalui kuasa yang
dimiliki peserta atas penetapan kebutuhan, pemanfaatan bantuan, dan
mengikuti penentuan pembangunan di desa melalui program Bilikom.
Tingkat kontrol dinilai melalui skala ordinal dan dibedakan menjadi 2
kategori, terdiri atas: rendah jika skor pertanyaan 0-2 dan tinggi jika skor
pertanyaan 3-5.

Tingkat Pendampingan
Tingkat pendampingan menurut Suharto (2005) didefinisikan sebagai
interaksi antara kelompok miskin dengan pendamping untuk mengatasi masalah dan
berbagai tantangan bersama. Tingkat pendampingan dilihat dari peran pendamping
yang meliputi fasilitator, broker, mediator, pembela, dan pelindung. Kelima variabel
tersebut diukur dengan menggunakan skala ordinal yang dikategorikan berdasarkan
rataan skor, yaitu rendah jika skor pertanyaan 5-7 dan tinggi jika skor pertanyaan 810.
a. Fasilitator adalah peran memfasilitasi masyarakat agar mampu melakukan
perubahan. Peran sebagai fasilitator antara lain: mendefinisikan siapa yang
akan dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan, memfasilitasi pendidikan
dengan membangun pengetahuan dan keterampilan, mendorong kegiatan
kolektif, mengidentifikasi masalah yang akan dipecahkan, merancang
solusi-solusi alternatif. Peran sebagai fasilitator dinilai melalui skala
ordinal dan dibedakan menjadi 2 kategori yaitu: rendah jika skor
pertanyaan 0-2 dan tinggi jika skor pertanyaan 3-5.
b. Broker, yaitu peran menghubungkan masyarakat dengan barang dan
pelayanan yang dibutuhkan serta mengontrol kualitasnya. Peran
pendamping sebagai broker, terdiri atas menghubungkan masyarakat
dengan barang yang dibutuhkan, menghubungkan masyarakat dengan
pelayanan yang dibutuhkan, mengontrol barang dan pelayanan tersebut.
Peran sebagai broker dinilai melalui skala ordinal dan dibedakan menjadi
2 kategori yakni: rendah jika skor pertanyaan 0-1 dan tinggi jika skor
pertanyaan 2-3.
c. Mediator adalah peran menjembatani masyarakat. Kegiatan yang
dilakukan yaitu memfasilitasi komunikasi antara masyarakat dengan
perusahaan dan komunikasi yang persuasif. Peran mediator dinilai melalui
skala ordinal dan dibedakan menjadi 2 kategori terdiri atas: rendah jika
skor pertanyaan 1 dan tinggi jika skor pertanyaan 2.

14

d. Pembela adalah peran yang terkait dengan kegiatan politik. Peran ini
terbagi menjadi dua yaitu advokasi kasus dan advokasi kausal. Peran
pembela memiliki beberapa model yaitu membuat keputusan yang sesuai
dengan kepentingan perusahaan dan masyarakat mendukung partispasi
masyarakat,
dan
mendorong
pembuat
keputusan
untuk
mempertimbangkan minat masyarakat. Peran pembela dinilai melalui
skala ordinal dan dibedakan menjadi 2 kategori antara lain: rendah jika
skor pertanyaan 0-1 dan tinggi jika skor pertanyaan 2-3.
e. Pelindung, yaitu peran yang bekerja berdasarkan kepentingan korban,
calon korban, atau yang berisiko. Tugas-tugas pelindung antara lain
menentukan masyarakat yang paling utama dan berkomunikasi dengan
masyarakat yang terpengaruhi. Peran pelindung dinilai melalui skala
ordinal dan dibedakan menjadi 2 kategori antara lain: rendah jika skor
pertanyaan 1 dan tinggi jika skor 2.
Karakteristik Perempuan
Karakteristik perempuan adalah ciri-ciri personal yang melekat yang
membedakan dengan perempuan lain. Beberapa variabelnya, antara lain:
a. Usia adalah lamanya seseorang hidup di dunia yang diukur dalam satuan
tahun. Pengelompokan usia berdasarkan Teori Havirghurst yang dikutip
oleh Mugniesyah (2006b) seluruh usia peserta berada pada masa usia
pertengahan. Pada penelitian ini usia dinilai melalui skala ordinal dan
masa usia pertengahan dikelompokkan kembali menjadi 2 kategori, yaitu:
usia

Dokumen yang terkait

Implementasi Program Corporate Social Responsibility (studi pada PT. Arun NGL, Lhokseumawe)

2 59 95

Pelaksanaan Corporate Social Responsibility Dan Pencitraan PT. Pertamina

2 42 68

Implementasi Program Corporate Social Responsibiliti (CSR) Oleh PT. Sorikmas Mining Di Desa Banua Rakyat

1 65 217

Penerapan Corporate Social Responsibility Terhadap Pemberdayaan Masyarakat (Studi Pada PT Tirta Investama)

4 73 131

Pengaruh Program Corporate Social Responsibility (CSR) PT Arun NGL Terhadap Pengembangan Wilayah Kecamatan Muara Satu Kota Lhokseumawe

3 65 100

Pemberdayaan Masyarakat Melalui Program Corporate Social Responsibility (CSR) PT Pertamina (Persero) Unit Pengolahan II Dumai (Studi Deskriptif: Penerima Program CSR Masyarakat Kelurahan Jaya Mukti, Dumai).

13 105 123

Pengaruh Sikap Konsumen Tentang Penerapan Program Corporate Social Reponsibility (CSR) Terhadap Brand Loyalty The Body Shop Pada Pegawai PT. Indosat Cabang Medan

1 30 64

Dampak Program Corporate Social Responsibility (CSR) PT. TOBA PULP LESTARI, Tbk Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten Toba Samosir (Studi Kasus: Kecamatan Porsea)

17 118 108

Corporate Social Responsibility Yang Dilakukan PT. Pertamina Ep Field Pangkalan Susu Terhadap Masyarakat Sekitar

1 47 121

Pengaruh Implementasi Program Corporate Social Responsibility Beasiswa dan Citra Perusahaan(Studi Kasus Pengaruh Implementasi Program Corporate Social Responsibility Beasiswa Djarum Terhadap Peningkatan Citra Positif Perusahaan PT Djarum pada Mahasiswa US

4 66 121