Strategi Dan Struktur Nafkah Rumahtangga Petani Sekitar Hutan Desa Seputih Kecamatan Mayang Kabupaten Jember

STRATEGI DAN STRUKTUR NAFKAH RUMAHTANGGA
PETANI SEKITAR HUTAN DESA SEPUTIH KECAMATAN
MAYANG KABUPATEN JEMBER

FATWA MUHAMMAD AZIZ

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Strategi dan Struktur
Nafkah Rumahtangga Petani Sekitar Hutan Desa Seputih Kecamatan Mayang
Kabupaten Jember adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2015
Fatwa Muhammad Aziz
NIM I34100097

ABSTRAK
FATWA MUHAMMAD AZIZ Strategi dan Struktur Nafkah Rumahtangga Petani Sekitar Hutan
Desa Seputih Kecamatan Mayang Kabupaten Jember. Di bawah bimbingan SATYAWAN
SUNITO
Sistem Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di desa penelitian telah
berlangsung selama sebelas tahun hingga kini. Semua pihak yang memiliki kepentingan terhadap
sumberdaya hutan diikutsertakan ke dalam pelaksanaan sistem tersebut, termasuk masyarakat
desa sekitar hutan. Peran dan keterlibatan mereka dalam pengelolaan tersebut menjadi salah satu
sumber pendapatan bagi rumahtangganya. Desa Seputih berada dalam wilayah Kesatuan
Pemangku Hutan (KPH Jember) yang tergabung dalam Perum Perhutani unit II Jawa Timur.
Sebagian besar wilayah Desa Seputih masuk ke dalam areal milik Perhutani. Kawasan hutan
yang sepenuhnya dikelola Perum Perhutani ini diperuntukkan sebagai hutan produksi tanaman
jati. Luas keseluruhan desa berjumlah 725 ha. Terdiri dari areal sawah 34 ha, tegalan 304 ha,
pekarangan 160 ha, dan kawasan hutan 220 ha dan sisanya kawasan pemukiman penduduk.
Kawasan hutan masuk ke wilayah pangkuan BKPH Seputih, KPH Jember. Penelitian ini

menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif.
Rumahtangga petani menerapkan tiga strategi nafkah. Pertama, rekayasa sumber nafkah
pertanian dengan melakukan ekstensifikasi pertanian dengan bentuk perluasan areal lahan
garapan ke lahan hutan PHBM. Kedua, pola nafkah ganda atau diversifikasi nafkah. Responden
memiliki pekerjaan sampingan di luar usaha tani untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga.
Ketiga, dengan melakukan migrasi ke luar desa, seperti ke kota/daerah.Tingkat pendapatan
rumahtangga petani di lahan PHBM,dalam hasil dari data yang di peroleh merata antara rendah
sedang dan tinggi. Tingkat pendapatan rumahtangga petani di lahan non-PHBM, lebih dari
separuh total responden berada pada tingkat pendapatan rendah. Tingkat pendapatan sektor nonpertanian, lebih dari separuh total responden berada pada tingkat pendapatan tinggi.
Kegiatan/usaha yang dilakukan oleh rumahtangga di luar sektor pertanian di bidang jasa dan
perdagangan memberikan kontribusi pendapatan tinggi bagi sebagian besar rumahtangga petani
Kata kunci: PHBM, Strategi Nafkah, Pendapatan, Luasan Lahan

ABSTRACT
FATWA MUHAMMAD AZIZ, Structure and Livelihood Strategy Households Around
Forest in Desa Seputih, Kecamatan Mayang. Supervised by SATYAWAN SUNITO
Implementation of “Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat” by Perhutani office in KPH
Jember, has been running about 11 years. All the stakeholders in forest resources are to be
included in the system, including rural communities around the forest. Their presence gives a
separate role for the management of forest resources. The role and involvement in the

management become one source of income of the household. The majority of households have
occupation as peasants. Agricultural activities depend on the ownership and control of land,
non-land both PHBM and PHBM area. Insufficient of income inderived from farming, making
households seek alternatives to agriculture to maintain and improve the quality of life. This study
aims to analyze a form of community involvement in PHBM systems, income strategies adopted
by household, the level of household income from agriculture and non-agriculture. This study
used two approaches, they are quantitative and qualitative. Involved 35 samples and it was taken
by using the simple technique of random sampling. The study showed that form of community
involvement in the program of PHBM systems are involved planning of food crops, planting of
food crops in forest land plots and forest protection. Livelihood strategies adopted by households
that extensification of agricultural land into land PHBM, diversification patterns of living, and
migration. Most of the households that owned land are classified as non-PHBM narrow land and
choose to work with the narrow PHBM land. Extensive non-PHBM land ownership gives a
relatively high level of income while the domination PHBM gives a relatively moderate level of
income for farm households. The level of income from non-agricultural sector contributed the
greatest for households of farmers in the past year.
Keywords: Livelihood Strategies, Land Resources, Level of Income

STRUKTUR DAN STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA
PETANI SEKITAR HUTAN DESA SEPUTIH KECAMATAN

MAYANG KABUPATEN JEMBER

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015

ii

PRAKATA
Puji syukur tiada henti penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan sejuta kemudahan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis
menyadari bahwa tanpa adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, skripsi

ini tidak akan terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis dengan kerendahan hati ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dr. Satyawan Sunito, selaku dosen pembimbing yang telah mencurahkan
waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, motivasi, saran serta kritik
yang membangun hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2.

Ibunda Ayu Nurulia dan ayahanda Abdul Azis orang tua tercinta yang
senantiasa memberikan kasih sayang, motivasi, semangat dan dukungan
secara moral, material maupun spiritual serta Farah Nurul Azizah dan
Fahma Filbarkah Aziz kaka dan adik sekaligus rekan seperjuangan meraih
cita dan mimpi.

3. Dinas Kehutanan Kabupaten Jember yang telah memberikan izin dan
arahan kepada peneliti untuk melaksanakan penelitian di lokasi.
4. Perum Perhutani KPH Jember, Bapak Eko Arif selaku Kepala Sub Seksi
PHBM dan Bapak Mahmud selaku Mandor PHBM BKPH Seputih serta
rekan-rekan petugas Perum Perhutani lainnya atas sambutan dan
penerimaan yang begitu hangat selama peneliti berada di lokasi penelitian.
5. Bapak Asril dan Ibu Sri yang telah memberikan penginapan selama

penelitian berlangsung serta pengurus LMDH Makmur Jaya Bapak
Sutamsu dan rekan-rekan pengurus lain atas bantuan dan arahannya
selama di lokasi.
6. Seluruh warga Desa Seputih, Kecamatan Mayang yang telah memberikan
kehangatan dan rasa kekeluargaan serta informasi berharga bagi peneliti.
7. Lidya Agustina Budiarti atas doa, cita, dan harapan yang senantiasa diberikan
terasa begitu indahnya kepada penulis serta semangat dan motivasi untuk
segera menyelesaikan skripsi ini.
8. Orang- orang hebat di tempat kerja dan rekan bertualang: Sonny, Egy,Rio,
Nazar, Anjas, Mas Jaw, Eko, Harun yang selalu memotivasi untuk
menyelesaikan ini semua.
9. Seluruh keluarga besar SKPM 47 yang selalu memberikan semangat dan doa
serta dukungan yang tiada berakhir.
10. Seluruh pihak yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini
Bogor, Juli 2015

Fatwa Muhammad Aziz

ii


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

v
iii
i
x
i
x
1
1
3
4
4
5
5
1
4
1
5

1
5
1
7
1
7
1
7
1
7

DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
PPENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka

Kerangka Pemikiran
Hipotesa Penelitian
Definisi Operasional
PENDEKATAN LAPANG
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Penentuan Responden dan Informan
17
Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data
GAMBARAN LOKASI PENELITIAN
Gambaran Umum Perum Perhutani KPH Jember
Profil Desa Seputih
Karakteristik Responden
PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAN DAN AKSES
MASYARAKAT
Sejarah Pengelolaan Hutan
Keterlibatan dan Peran Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan

1

8
1
9
1
9
2
0
2
2
2
5
2
5

Bersama Masyarakat
Manfaat dan Masalah Dalam Program Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat
STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA
Strategi Ekstensifikasi Pertanian
Strategi Diversifikasi Nafkah (Pola Nafkah Ganda)

Strategi Migrasi
Ikhtisar
STRUKTUR NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI
Pendapatan On-farm
Pendapatan Non-farm
Total Pendapatan
PENUTUP
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

2
8
3
2
3
5
3
6
3
9
4
7
4
8
4
9
4
9
5
4
5
5
6
1
6
1
6
2
6
3
6
7
7
3

iv

DAFTAR TABEL
1

Persentase jenis mata pencaharian penduduk desa
seputih

2

Persentase tingkat pendidikan penduduk desa seputih

3

Jumlah dan persentase responden menurut kelompok
usia di Desa Seputih, Kecamatan Mayang Kabupaten
Jember tahun 2014
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat
pendidikan di Desa Seputih Kecamatan Mayang
Kabupaten Jember tahun 2014
Jumlah dan persentase respnden menurut jumlah
tanggungan dalam rumahtangga di Desa Seputih,
Kecamatan Mayang , Kabupaten Jember tahun 2014

4

5

6

Sejarah pengelolaan hutan di kawasan Desa Seputih

21
22

23

23

24

7
8
9
10

11
12
13

14

15

16

17

18
19

20

21
22

Kecamatan Mayang Kabupaten Jember
Penjelasan tahapan program PHBM di kawasan
BKPH Seputih
Manfaat dan masalah dalam pengelolaan hutan
bersama masyarakat
Jumlah dan presentase kepemilikan lahan pertanian di
Desa Seputih Kecamatan Mayang Kabupaten Jember
Hubungan antara kepemilikan lahan pertanian
terhadap luasan lahan andil dalam PHBM di Desa
Seputih
Ragam pekerjaan non pertanian berdasarkan tingkat
kepemilikan lahan pribadi
Jumlah dan presentase responden menurut
kepemilikan hewan ternak di desa seputih tahun 2013
Karakteristik responden yang memiliki nonpertanian berdasarkan tingkat pendidikan di Desa
Seputih tahun 2013
Jumlah responden yang memiliki strateginafkah nonpertanian menurut rata- rata luas lahan garapan
phbm di Desa Seputih tahun 2013
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat
pendapatan lahan andil phbm di Desa Seputih
Kecamatan Mayang Kabupaten Jember tahun 2013

27
29
33
36

38
40
42

42

44

50

Sebaran tingkat penguasaan lahan phbm terhadap
tingkat pendapatan PHBM Desa Seputih Kecamatan
Mayang tahun 2013

51

Jumlah dan persentase responden menurut tingkat
pedapatan lahan milik pribadi di Desa Seputih
Kecamatan Mayang Kabupaten Jember tahun 2013

52

Sebaran tingkat kepemilikan lahan milik pribadi
terhadap tingkat pendapatan lahan milik pribadi

53

Total pendapatan rata-rata rumahtangga dari sektor
non-pertanian di Desa Seputih Kecamatan Mayang
Kabupaten Jember tahun 2013

54

Jumlah dan persentase responden menurut tingkat
pedapatan non-pertanian di desa seputih kecamatan
mayang kabupaten jember tahun 2013

54

Sebaran tingkat kepemilikan lahan pribadi terhadap
tingkat pendapatan non pertanian

55

Sumbangan sumber pendapatan PHBM, pertanian
(Non-PHBM), dan non-pertanian terhadap struktur

vi

nafkah rata-rata rumahtangga petani pada setiap
lapisan pendapatan Tahun 2013
23

Persentase kontribusi sumbangan sumber pendapatan
dari PHBM, non- PHBM, dan non-pertanian terhadap
struktur nafkah rumahtangga petani pada setiap
lapisan pendapatan Tahun 2013

56

57

DAFTAR GAMBAR
1
2
3

Kerangka Pemikiran
Struktur nafkah rumahtangga petani pada setiap lapisan
pendapatan Tahun 2013
Persentase sumbangan sumber pendapatan terhadap
struktur nafkah rumahtangga petani pada setiap lapisan
pendapatan Tahun 2012

15
55

58

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Peta Kecamatan Mayang dan Desa Seputih
Dokumentasi
Kerangka Sampling
Metode Pengumpulan Data
Grand tabel kepemilikan lahan pertanian,lahan
PHBM,dan pendapatan

67
68
69
70
71

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sumberdaya merupakan hak bagi seluruh masyarakat Indonesia dengan
pengawasan dari pemerintah sebagai badan hukum legitim. Kenyataannya tidak
sama dengan apa yang terdapat di Undang-Undang, banyak praktik-praktik yang
memperlihatkan kekuasaan sumberdaya alam yang terkesan memonopoli dan
adanya pengelolaan yang terkesan menguasai dari berbagai pihak, dari hal
tersebut maka sering terjadi masalah antara pihak-pihak yang ingin memanfaatkan
sumberdaya alam tersebut dan terjadi konflik dengan masyarakat dan pemerintah
sebagai subjeknya.
Undang-undang No.41 Tahun 1999 mengatakan bahwa salah satu
penyelenggraan hutan bertujuan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat yang
berkeadilan dan berkelanjutan dengan mengoptimalkan aneka fungsi produksi
untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi yang seimbang
dan lestari. Pengelolaan hutan sebagai sumberdaya alam memiliki status public
property yang bermanfaat bagi kemakmuran kemakmuaran rakyat, sehingga perlu
adanya kerjasama dengan masyarakat dalam pengelolaan hutan secara lestari.
Berdasarkan kepemilikannya, hutan dibedakan menjadi hutan negara dan hutan
milik. Hutan negara adalah kawasan hutan yang tumbuh di atas lahan yang tidak
dibebani oleh hak milik, sedangkan hutan milik atau hutan rakyat adalah hutan
yang tumbuh di atas lahan milik rakyat, baik petani secara perseorangan maupun
bersama-sama atau badan hukum.
Peraturan Pemerintah RI No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan
Kawasan Hutan Pasal 5 ayat (2), sebagai berikut : 1) Kawasan Hutan Konservasi
yang terdiri dari kawasan suaka alam (cagar alam dan Suaka Margasatwa),
Kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman
Wisata Alam), dan Taman Buru, 2) Hutan Lindung dan, 3) Hutan Produksi.
Data dari Departemen Kehutanan (2012) mengatakan bahwa luas kawasan
hutan Indonesia tahun 2012 mencapai 120.61 juta ha, kawasan tersebut
diklasifikasikan sesuai dengan fungsinya menjadi kawasan konservasi (21.17 juta
ha), kawasan hutan lindung (32.06 juta ha), kawasan hutan produksi terbatas
(22.82 juta ha), kawasan hutan produksi (33.68 juta ha), dan kawasan hutan
produksi yang dapat dikonservasi (20.88 juta ha). Tingkat kerusakan hutan di
Indonesia tahun 2012 mencapai 0.45 persen (542 745 ribu ha) dari jumlah total
luas hutan Indonesia.
Kerusakan lahan dan hutan menjadi salah satu permasalahan lingkungan
yang perlu penanganan serius dan melibatkan berbagai pihak seperti pemerintah,
masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), akademisi, dan instansiinstansi terkait di daerah. Faktor-faktor penyebab rusaknya hutan meluasnya lahan
kritis yaitu pembalakan liar, kebakaran hutan, okupasi lahan, alih fungsi lahan
sebagai akibat dari desakan ekonomi masyarakat terutama di sekitar hutan
(Dephut
2012). Untuk menangani kerusakan lahan dan hutan tersebut,
Kementerian Kehutanan telah berupaya dengan menetapkan program-program,
antara lain: program pemberantasan illegal loging, revitalisasi sektor
kehutanan, rehabilitasi, dan konservasi sumberdaya hutan serta pemberdayaan
masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan.

2
Menurut Hardjanto (2003) kementerian kehutanan menetapkan programuntuk mengatasi meluasnya lahan kritis seperti Gerakan Nasional Hutan dan
Lahan (Gerhan), Social Forestry (Pengembangan hutan hutan kemasyarakatan,
hutan desa), dan Pengembangan Aneka Usaha (Rotan, Madu, Sutera Alam).
Selain itu, menurut Purnomo (2006) satu pola rehabilitasi lahan kritis secara
vegetasi dan partisipatif adalah membangun hutan dengan pola PHBM,
karena melalui pola tersebut akan meningkatkan produktivitas lahan serta
menunjang tanah dan air.
Keberhasilan pola PHBM diperlukan keterlibatan aktor yang
berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Tadjudin (2000)
merumuskan dalam pengelolaan hutan terdapat aktor-berkepentingan yaitu
pemerintah, swasta dan, masyarakat. Pemerintah hutan sebagai karunia Tuhan
yang pemanfaatannya untuk masyarakat. Swasta mengartikan hutan sebagai bisnis
yang dan menghasilkan uang yang besar. Masyarakat mengartikan sebagai tempat
menggantungkan hidup, sistem perekonomian, dan tempat yang menghubungkan
masyarakat dengan alam, sehingga terciptanya antara lingkungan hutan dan
lingkungan manusia. Pengelolaan hutan melalui pola PHBM (Pengelolaan Hutan
Bersama Masyarakat) merupakan salah satu usaha untuk merehabilitasi di lokasi
lahan kritis dan kawasan tidak produktif. Pelaksanaan PHBM dilakukan oleh
pihak Perhutani dengan melibatkan partispasi aktif masyarakat desa di sekitar
kawasan hutan, agar masyarakat tidak merambah hutan dengan ilegal serta
mencegah kerusakan ekosistem hutan (Purnomo 2006). Pola PHBM yang
diterapkan kepada masyarakat yaitu dengan melakukan tanam tumpang sari atau
banjar harian, penetapan pola tanam, optimalisasi ruang, maupun pengembangan
usaha produktif. Jangka pendek dengan adanya pola PHBM bagi masyarakat desa
sekitar kawasan hutan adalah mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah
signifikan. Tujuan pengelolaan hutan melalui pola PHBM untuk pemeliharaan
hutan dan mendapatkan tegakan yang berkualitas dan bernilai ekonomi tinggi
pada akhir daur. Kegiatan pemeliharaan hutan meliputi penyiangan, wiwil
(pembersihan tunas air), pruning (pemangkasan cabang), penjarangan,
pencegahan terhadap hama dan penyakit, pencegahan gangguan penggembalan
dan perlindungan hutan lainnya (Purnomo 2006).
Pemanfaatan hutan dengan PHBM sebagai sumber pendapatan masyarakat
dapat dikombinasikan dari aktivitas ekonomi dibidang pertaian dan non pertanian.
Aktivitas strategi nafkah yang dimiliki masyarakat dalam bidang pertanian hutan,
penduduk membangun sistem agroforestry dengan tanaman bertajuk tinggi,
dengan kopi, coklat, buah, dsb.
Pengelolaan hutan di Desa Seputih berada dalam wilayah Kesatuan
Pemangku Hutan (KPH Jember) yang tergabung dalam Perum Perhutani unit II
Jawa Timur. Sebagian besar wilayah Desa Seputih masuk ke dalam areal milik
Perhutani. Kawasan hutan yang sepenuhnya dikelola Perum Perhutani ini
diperuntukkan sebagai hutan produksi tanaman jati. Sistem PHBM sudah sebelas
tahun berjalan sampai saat ini. Penerapan program PHBM ini dinilai baik oleh
pihak Perum Pehutani yang berusaha menjaga alam tetap lestari, tetapi masyarakat
juga dapat menikmati hasilnya. Selain itu, dengan program PHBM, masyarakat
tidak lagi merambah hutan dan menebang hutan secara besar- besaran. Akan
tetapi dalam pengelolaannya PHBM masih belum mampu memberikan
sumbangsih yang besar untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.
Program PHBM dalam kehidupan masyarakat desa Seputih baru sekedar
memberikan penambahan pendapatan akan tetapi belum sampai pada mampu
memberikan peningkatan kesejahteraan pada masyarakat. Hal ini bisa terjdi

3
karena distribusi lahan yang tidak merata dan juga kondisi lahan yang tidak subur
dalam pembagian lahan yang didapatkan oleh masyarakat.
Desa Seputih terletak di Kecamatan Mayang. Jarak tempuh dari desa ke
kota kecamatan kurang lebih 7 km. Desa Seputih memiliki 5 (lima) dusun/ dukuh
yaitu; Dusun Krajan, Dusun Tetelan, Dusun Sumber Jeding, dan Dusun Karang
Pakoh, baik yang berada di dalam hutan maupun yang berada di sekitar hutan.
Masing-masing dusun letaknya saling berjauhan. Dusun Tetelan merupakan salah
satu dusun yang memiliki penduduk yang cukup padat. Sementara pusat aktifitas
utama dari keseluruhan desa berada di dusun Krajan. Kantor desa, bidan
(pelayanan kesehatan), sekolah, Kantor perwakilan perhutani, toko, bengkel
berada disana. Perjalanan menuju desa bisa di lakukan dengan menggunakan
kendaraan roda dua ataupun roda empat. Kondisi jalan untuk bisa mencapai Desa
Seputih tergolong rusak berat. Jalan masih berupa tanah berbatu, dan sedikit sekali
yang telah diaspal. Apabila turun hujan, jalan menjadi licin dan berbahaya untuk
dilewati. Akses masyarakat untuk menjangkau wilayah luar desa pun menjadi
semakin sulit. Hal ini juga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi desa, serta
menghambat kegiatan pendidikan dan pelayanan kesehatan masyarakat.
Perumusan Masalah
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) memberikan hak akses
kepada masyarakat desa sekitar hutan untuk mengelola dan memanfaatkan lahan
hutan. Kegiatan dari tahap perencanaan hingga tahap pemanfaatan hasil
masyarakat dilibatkan secara partisipatif. Namun masyarakat hanya dilibatkan
pada aspek pembangunan hutan atau penanaman tanaman di hutan. Masyarakat
diberikan kesempatan untuk menanam tanaman pangan di antara tegakan jati dan
hasilnya sepenuhnya secara langsung menjadi miliknya. Hak pengelolaan dan
pemanfaatan dibatasi per usia tanaman jati. Ketika tanaman jati berusia 3-5 tahun
masyarakat sudah tidak diperkenankan lagi untuk memanfaatkan lahan tersebut.
Lahan yang tersedia terbatas akan tetapi banyak masyarakat yang berebut
mendapatkan akses ke lahan hutan. Sebagian besar masyarakat hanya dapat
mengelola atau memanfaatkan lahan dengan luas yang minim. Luas lahan yang
minim menentukan jumlah hasil usahatani yang diperoleh. Hal tersebut juga
berdampak pada rendahnya tingkat pendapatan dari lahan PHBM. Pendapatan dari
lahan PHBM tidak secara signifikan dapat mengangkat perekonomian masyarakat.
Kemiskinan pada masyarakat sekitar hutan tetap ada meski akses terhadap hutan
telah dibuka. Fenomena hutan kaya rakyat melarat tetap menjadi realita. Perhutani
sebagai pengelola hutan produksi milik negara memperoleh keuntungan dari hasil
hutan sedangkan masyarakat hanya menikmati sebagian kecilnya saja. Konsep
PHBM yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar
hutan belum dapat terealisasi hingga kini. Pada kondisi faktualnya program
PHBM juga masih belum bisa secara merata mendistribusikan secara merata.
Dimana, masih banyak ketimpangan yang terjadi dalam pembagian lahan hutan
untuk dikelola. Seperti masyarakat yang memiliki hubungan kerabat ataupun
sasudara dengan pihak Perhutani bisa mendapatkan lahan luasan hutan yang lebih
luas. Selain itu kesuburan tanah yang berbeda beda juga akhirnya membuat
produksi yang didapatkan dalam produksi juga sedikit. Sistem nafkah yang
ditawarkan PHBM bukan merupakan satu-satunya sumber nafkah yang dimiliki
oleh masyarakat. Mereka memiliki sumber pendapatan lain di luar sistem PHBM,
yakni dari lahan pertanian miliknya sendiri (lahan non-PHBM) dan sektor nonpertanian. Ketiga sumber pendapatan tersebut memberikan kontribusi terhadap

4

keseluruhan sistem nafkah rumahtangga.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini membahas tiga rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana strategi nafkah rumah tangga petani di Desa Seputih
Kecamatan Mayang Kabupaten Jember?
2. Seberapa besar sumbangan sumber nafkah rumah tangga petani dari lahan
pertanian, hutan dan non- pertanian dalam strategi nafkah rumah tangga
petani?
3. Bagaimana hubungan tingkat penguasaan lahan hutan melalui program
PHBM dan pertanian terhadap struktur nafkah rumahtangga petani?

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji strategi nafkah petani
desa hutan yang memanfaatkan hutan Perum Perhutani melalui program PHBM.
Adapun rincian tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi strategi nafkah rumah tangga petani di Desa Seputih
Kecamatan Mayang Kabupaten Jember.
2. Mengidentifikasi seberapa besar sumbangan sumber nafkah rumahtangga
petani dari lahan pertanian, hutan dan non- pertanian di dalam strategi
nafkah rumah tangga petani.
3. Menganalisis hubungan tingkat penguasaan lahan hutan melalui program
PHBM dan pertanian terhadap struktur nafkah rumah tangga petani.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan berguna untuk:
1. Civitas akademisi Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
literatur ataupun informasi tambahan untuk penelitian-penelitian
selanjutnya yang berkaitan dengan strategi nafkah masyarakat desa sekitar
hutan, khususnya bagi akademisi yang tertarik dengan topik
pengembangan masyarakat.
2. Bagi pemerintah daerah penelitian ini dapat dijadikan sebagai saran dalam
mengelola hasil panen dari hutan rakyat sekitar hutan.
3. Bagi masyarakat, terutama masyarakat desa sekitar hutan, penelitian ini
dapat dijadikan tambahan informasi tentang hutan rakyat yang telah lama
dikelola. Sehingga dapat memaksimalkan hasil dari hutan rakyat utnuk
memperbaiki kehidupan sosial-ekonomi rumahtangganya.

5

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Pengertian Strategi Nafkah
Nafkah, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai cara hidup,
definisi ini biasanya disejajarkan dengan konsep livelihood (mata pencaharian).
Sebenarnya konsep livelihood mencakup pemahaman yang lebih luas bukan hanya
sekedar bagaimana memperoleh pemasukan. Secara sederhana livelihood
didefinisikan sebagai cara dimana orang memenuhi kebutuhan mereka atau
peningkatan hidup (Chamber et al dalam Dharmawan, 2001).
Konsep nafkah (livelihood ) hidup seringkali digunakan dalam tulisantulisan
tentang kemiskinan dan pembangunan pedesaan. Arti di dalam kamus adalah cara
hidup (means of living ). Chamber dan Conway (1991) menunjukan definisi pola
nafkah sebagai akses yang dimiliki oleh individu atau keluarga. Akses
menunjukan aturan dan norma sosial yang menentukan perbedaan kemampuan
manusia untuk memiliki, mengendalikan dalam artian menggunakan sumberdaya
seperti lahan dan kepemilikan umum untuk kepentingan sendiri. Unsur-unsur
dalam strategi nafkah menurut Chambers dan Conway (1991) adalah kapabilitas,
aset dan aktivitas. Aset dapat berupa klaim atau akses. Kapabilitas menunjukan
kemampuan individu untuk mewujudkan potensi dirinya sebagai manusia dalam
artian menjadi dan menjalankan. Kapabilitas menunjukan set alternatif menjadi
dan melakukan yang bisa dilakukan dengan karakteristik konomi, sosial dan
personal manusia. Aktifitas merujuk pada kegiatan yang menghasilkan
pendapatan. Strategi nafkah tergantung dari seberapa besar aset yang dimiliki,
kapabilitas individu dan aktivitas yang nyata dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Livelihood berasal dari berbagai sumberdaya dan aktivitas yang bervariasi
sepanjang waktu. Fleksibilitas livelihood menentukan tipe-tipe strategi rumah
tangga yang diadopsi rumah tangga pedesaan maupun perkotaan dan bagaimana
merespon perubahan. Terkait dengan livelihood, Herbon dalam Dharmawan
(2001) mendeskripsikan tiga tingkatan untuk mengatasi ketidaktentuan ekonomi
yaitu:
1. Tahap mengantisipasi krisis, merupakan semua usaha yang dibuat dengan
memanfaatkan berbagai tindakan yang aman dan usaha perlindungan
terhadap berbagai macam resiko dengan membangun hubungan (jaringan
sosial), memproduksi apa saja yang mungkin dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan hidup, mengumpulkan kelebihan (menabung), membangun
jaringan sosial dan ekonomi yang kompleks dan menyeluruh yang
mempertukarkan hubungan dengan penyediaan jaminan materil dan
immateril, penguasaan sumberdaya dari masyarakat dan negara.

6
2. Tahap mengatasi kondisi krisis, meliputi semua tindakan seperti
memanfaatkan tabungan, eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya yang
dimiliki (sumberdaya alam atau sumberdaya sosial), mengurangi konsumsi
individu, reaksi massa (contohnya pemberontakan bersama).
3. Tahap pemulihan dari krisis, terdiri dari semua tindakan untuk
memperbaiki kehancuran dan mendapat kembali akses untuk memperoleh
sumberdaya.
Menurut Crow dalam Dharmawan (2001), terdapat aspek-aspek penting
yang harus diperhatikan dalam penerapan strategi nafkah, yaitu:
1. Harus ada pilihan yang dapat dipilih oleh seseorang sebagai tindakan
alternatif.
2. Kemampuan melatih “kekuatan”. Mengikuti suatu pilihan berarti
memberikan perhatian pada pilihan tersebut. Dengan demikian,
memberikan perhatian pada suatu pilihan akan mengurangi perhatian pada
pilihan yang lain. Dalam konteks komunitas, seseorang yang memiliki
lebih banyak kontrol (aset) akan lebih mempunyai kekuatan untuk dapat
memaksakan kehendaknya. Oleh karena itu strategi nafkah dapat
dipandang sebagai suatu kompetisi untuk mendapatkan aset-aset yang
ingin dikuasai.
3. Dengan merencanakan strategi yang mantap, ketidakpastian (posisi) yang
dihadapi seseorang dapat diminimalisir.
4. Strategi dibangun sebagai respon terhadap tekanan yang hebat yang
menerpa seseorang.
5. Harus ada sumberdaya dan pengetahuan sehingga seseorang bisa
membentuk dan mengikuti berbagai strategi yang berbeda.
6. Strategi biasanya merupakan keluaran dan konflik yang terjadi dalam rumah
tangga.
Selanjutnya, Dharmawan (2001) menyebutkan bahwa secara umum strategi
nafkah dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk, yaitu strategi nafkah normatif dan
strategi nafkah yang ilegal. Strategi nafkah normatif berbasiskan pada kegiatan sosial
ekonomi yang tergolong ke dalam kegiatan positif seperti kegiatan produksi, sistem
pertukaran, migrasi, maupun strategi sosial dengan membangun jaringan sosial.
Strategi ini disebut „peaceful ways‟ atau sah dalam melaksanakan strategi nafkah.
Sedangkan strategi nafkah ilegal di dalamnya termasuk tindakan sosial ekonomi yang
melanggar hukum dan ilegal. Seperti penipuan, perampokan, pelacuran, dan
sebagainya. Kategori ini disebut sebagai „non peaceful‟, karena cara yang ditempuh
biasanya menggunakan cara kekerasan atau kriminal.
Dharmawan (2007) mengatakan bahwa strategi nafkah adalah taktik dan
aksi yang dibangun oleh individu ataupun kelompok untuk mempertahankan
kehidupan mereka dengan tetap mempertahankan eksistensi infrastruktur sosial,
struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku. Ellis (2000) mengatakan
bahwa nafkah mengarah pada perhatian hubungan antar asset dan pilihan orang
untuk kegiatan alternative yang dapat menghasilkan tingkat pendapatan untuk
bertahan hidup, dimana sebuah nafkah terdiri dari aset, (alam, fisik, manusia,
modal keuangan, dan sosial) kegiatan dan akses (dimediasi oleh lembaga dan
hubungan sosial) yang bersama-sama menentukan hidup individu atau rumah
tangga. Strategi nafkah dilakukan melalui pola jaringan keamanan sosial berlapis
dilakukan untuk menghadapi beberapa kemungkinan buruk yang menimpa
individu dan rumah tangga yaitu dengan menyusun formasi keamanan sosial
sebagai berikut: keamanan sosial berbasis keluarga, keamanan sosial berbasis

7
pertemanan, keamanan sosial berbasis patron-klien, keamanan sosial berbasis
kelembagaan lokal, dan keamanan sosial berbasis pertetanggaan (Iqbal 2004).
Strategi nafkah muncul karena adanya persoalan kemiskinan yang
kemudian menjelma ke dalam beberapa “derivate” seperti diversifikasi sumber
nafkah, pekerjaan nafkah wanita, dan pembagian kerja dalam rumah tangga,
ataupun lapangan kerja/usaha dan kesempatan kerja di pedesaan. Alasan individu
dan rumah tangga melakukan diversifikasi sebagai strategi nafkah adalah karena
keterpaksaan (necessity) dan pilihan (choice). Istilah lain yang sering digunakan
adalah antara bertahan hidup (survival) dan pilihan (choice) atau antara bertahan
hidup (survival) dan akumulasi (accumulation) (Ellis 2000). Chambers (1992)
membagi strategi nafkah rumah tangga ke dalam tiga tahap, yaitu: desperation,
vulnerability, dan independence. Masing-masing tahap tersebut memiliki prioritas
pemenuhan kebutuhan yang berbeda pula. Tahap pertama yaitu Desperation,
tujuannya adalah bertahan hidup (survival), cara yang ditempuh adalah dengan
menjadi buruh lepas, memanfaatkan common property, migrasi musiman, dan
meminjam dari patron. Tahap kedua yaitu vulnerability, jaminan keamanan adalah
tujuan utamanya, diperoleh dengan mengembangkan aset, menggadaikan aset, dan
berhutang. Tahap ketiga yaitu Independence, kehormatan diri, misalnya: berusaha
membebaskan diri dari status klien dalam hubungan patron-klien, melunasi hutang,
menabung, dan membeli atau mengembangkan aset yang mereka miliki.
Scoones (1998) mengatakan bahwa dalam penerapan strategi nafkah,
rumahtangga petani memanfaatkan berbagai sumberdaya yang dimiliki dalam
upaya untuk dapat mempertahankan hidup. Strategi nafkah (livelihood strategy)
diklasifikasikan berdasarkan tiga kategori, yaitu: (1) rekayasa sumber nafkah
pertanian, yang dilakukan dengan memanfaatkan pertanian secara efektif dan
efisien baik melalui penambahan input eksternal seperti teknologi dan tenaga
kerja (intensifikasi), maupun dengan memperluas lahan garapan (ekstensifikasi);
(2) pola nafkah ganda (diversifikasi), yang dilakukan dengan menerapkan
keanekaragaman pola nafkah dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian
untuk meningkatkan pendapatan atau dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga
(ayah, ibu dan anak) untuk ikut bekerja, selain pertanian dan memperoleh
pendapatan; (3) rekayasa spasial (migrasi), merupakan usaha yang dilakukan
dengan melakukan mobilitas ke daerah lain di luar desanya, baik secara permanen
maupun sirkuler untuk memperoleh pendapatan tambahan.
Sumber-sumber Strategi Nafkah
Berdasarkan pengertian strategi nafkah di atas, sumber nafkah merupakan aset,
sumberdaya atau modal yang dimiliki rumahtangga yang dapat digunakan untuk
mencapai tujuan nafkah rumahtangga. Sumberdaya mengacu pada semua hal yang
dapat dimanfaatkan atau tidak oleh rumahtangga. Aset mengacu semua hal yang
dapat dimafaatkan oleh rumahtangga, sedangkan modal mengacu pada semua hal
yang dimiliki atau dapat diakses oleh rumahtangga. Merujuk pada Dharmawan (2001)
sumber nafkah rumahtangga biasanya berupa sumber nafkah yang beragam (multiple
source of livelihood ). Ini karena rumahtangga tidak tergantung pada satu kegiatan
tertentu dalam jangka waktu yang lama dan tidak ada satu sumber nafkah yang dapat
memenuhi tujuan rumahtangga. Rumahtangga dapat menjadi petani pemilik dan
menggarap lahan sendiri, penggarap dengan menggarap lahan orang lain,
penggembala, pencari kayu bakar, pencari rumput bahkan pedagang.
White (1990) mengatakan bahwa dapat dibedakan rumahtangga petani ke
dalam tiga kelompok dengan strategi nafkah yang berbeda yakni:

8
1. Rumahtangga yang atau mengusahakan tanah pertanian luas, yang
menguasai surplus produk pertanian di atas kebutuhan hidup mereka.
Surplus ini sering kali dimanfaatkan untuk membiayai pekerjaan di luar
non-pertanian, dengan imbalan penghasilan yang tinggi pula. Pada
golongan pertama, strategi nafkah yang mereka terapkan adalah strategi
akumulasi dimana hasil pertaniannya mampu diinvestasikan kembali baik
pada pertanian maupun non-pertanian.
2. Rumahtangga usaha tani sedang (usaha tani hanya mampu memenuhi
kebutuhan subsisten). Mereka biasanya bekerja pada non-pertanian dalam
upaya melindungi diri dari gagal panen atau memberikan sumber
pendapatan yang berkelanjutan mengingat usaha pertanian bersifat
musiman. Strategi mereka ini dapat disebut sebagai strategi konsolidasi.
3. Rumahtangga usaha tani gurem atau tidak bertanah. Mereka bekerja dari
usaha tani ataupun buruh tani, dimana penghasilannya tidak mampu
mencukupi kebutuhan dasar. Rumahtangga ini akan mengalokasikan
sebagian dari tenaga kerja mereka-tanpa modal, dengan imbalan yang
rendah ke dalam kegiatan luar pertanian. Rumahtangga golongan ketiga
ini menerapkan strategi bertahan hidup (survival strategy).
Dharmawan (2007) mengatakan bahwa sumber-sumber nafkah yang
diperoleh oleh rumahtangga petani adalah segala aktivitas ekonomi pertanian dan
ekonomi non-pertanian, setiap individu atau rumahtangga dapat memanfaatkan
peluang nafkah dengan “memainkan” kombinasi “modal-keras” (tanah, financial
dan fisik) dan “modal-lembut” berupa intelektualitas dan keterampilan
sumberdaya manusia yang tersedia untuk menghasilkan sejumlah strategipenghidupan (livelihoods strategies). Pilihan strategi nafkah sangat ditentukan
oleh kesediaan akan sumberdaya dan kemampuan mengakses sumber-sumber
nafkah tersebut. Dharmawan (2001) menjelaskan, sumber nafkah rumah tangga
sangat beragam (multiple source of livelihood), karena rumah tangga tidak
tergantung hanya pada satu pekerjaan dan satu sumber nafkah tidak dapat
memenuhi semua kebutuhan rumah tangga. Chambers dan Conway dalam Ellis
(2000) mengatakan bahwa terdapat lima kategori modal utama sebagai basis
nafkah yaitu sebagai berikut:
1. Modal alam mengacu pada sumberdaya alam (tanah, air, pohon) yang
menghasilkan produk yang digunakan oleh populasi manusia untuk
kelangsungan hidup mereka;
2. Modal fisik mengacu pada aset dibawa untuk mengeksistensikan proses
produksi ekonomi;
3. Modal manusia mengacu pada tingkat pendidikan dan status kesehatan
individu dan populasi;
4. Modal finansial mengacu pada stok uang tunai yang dapat diakses untuk
membeli baik barang produksi maupun konsumsi, dan akses pada kredit; dan
5. Modal sosial yang mengacu pada jaringan sosial dan asosiasi dimana orang
berpartisipasi, dan mereka dapat memperoleh dukungan yang memberikan
kontribusi untuk mata pencaharian merek.
Upaya untuk mempertahankan keberlangsungan hidup, rumah tangga
petani tidak hanya menerapkan salah satu strategi nafkah tetapi dengan
mengkombinasi dari berbagai bentuk strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga
petani yaitu sebagai berikut:
1. Strategi waktu (pola musiman), strategi ini dilakukan dengan memanfaatkan
saat-saat tertentu/peristiwa tertentu yang terjadi;

9
2. Strategi alokasi sumberdaya manusia (tenaga kerja), strategi ini dilakukan
dengan memanfaatkan seluruh tenaga kerja yang dimilikinya untuk melakukan
pekerjaan sesuai dengan kemampuan masing-masing;
3. Strategi intensifikasi pertanian, strategi ini dilakukan dengan memanfaatkan
lahan pertanian secara maksimal;
4. Strategi spasial, strategi yang dilakukan dengan berbasiskan rekayasa
sumberdaya yang dilakukan dalam rangka peningkatan pendapatan keluarga
guna mempertahankan kelangsungan hidup rumahtangga;
5. Strategi pola nafkah ganda, strategi ini dilakukan dengan cara
menganekaragamkan nafkah; dan
6. Strategi berbasiskan modal sosial, strategi ini dilakukan dengan memanfaatkan
kelembagaan kesejahteraan asli dan pola hubungan produksi.
Menurut Ellis (2000) pendapatan dibagi menjadi tiga kategori. Pertama,
pendapatan pertanian (on-farm), yakni pendapatan yang diperoleh dari pertanian
yang diperhitungkan sendiri seperti lahan milik sendiri atau lahan yang diperoleh
melalui pembelian tunai atau bagi hasil. Kedua, pendapatan off-farm, yakni
pendapatan yang berupa upah tenaga kerja pertanian termasuk upah dalam bentuk
pemberian barang seperti padi dan bentuk upah kerja yang lain. Ketiga,
pendapatan non pertanian (non-farm), yakni pendapatan yang berasal dari luar
kegiatan pertanian yang dibagi menjadi enam kategori yaitu: (1) upah tenaga kerja
pedesaan bukan dari pertanian; (2) usaha sendiri di luar kegiatan pertanian atau
pendapatan bisnis; (3) pendapatan dari hak milik (misalnya: sewa); (4) kiriman
dari buruh yang pergi ke kota; (5) transfer dari urban yang lain seperti pendapatan
pensiunan; dan (6) kiriman dari buruh yang pergi ke luar negeri.
Karakteristik Rumahtangga Petani
Pengertian Rumhtangga Petani (RTP) dalam bahasa Inggris dikenal
dengan istilah Farm Household mempunyai pengertian dan karakteristik yaitu
satu unit kelembagaan yang setiap saat mengambil keputusan produksi pertanian,
konsumsi, curahan kerja, dan reproduksi (Nakajima 1986). RTP dapat dipandang
sebagai satu kesatuan unit ekonomi, mempunyai tujuan yang ingin dipenuhi dari
sejumlah sumberdaya yang dimiliki, kemudian sebagai unit ekonomi RTP akan
memaksimumkan tujuannya dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki. Pola
perilaku RTP dalam aktivitas pertanian maupun penentuan jenis-jenis komoditas
yang diusahakan dapat bersifat subsisten, semi komersial, dan atau sampai
berorientasi ke pasar (Ellis 1988).
Nakajima (1986) mengatakan bahwa pertanian sebagai suatu industri
memiliki karakteristik yang dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok yaitu:
1. Karakteristik teknologi dan produksi pertanian;
2. Karakteristik rumahtangga petani sebagai satu kesatuan unit ekonomi
(produksi pertanian sebagian besar di bawah kontrol rumahtangga
petani); dan
3. Karakteristik dari komoditas pertanian
Nakajima (1986) memberikan definisi RTP (farm household) sebagai satu
kesatuan unit yang kompleks dari perusahaan pertanian (farm firm), rumahtangga
pekerja dan rumahtangga konsumen (the laborer’s household and consumer’s
household) dengan prinsip perilaku yang memaksimalkan utilitas. Produktivitas
pertanian sangat ditentukan oleh keberadaan RTP dan lingkungan sekitarnya.
Secara spesifik, RTP merupakan satu unit kelembgaan yang setiap saat
memutuskan produksi pertanian, konsumsi, dan reproduksi. Pola perilaku RTP

10
mempunyai karakteristik semikomersial, sebagian hasil produksi dijual ke pasar
dan sebagian dikonsumsi rumahtangga sendiri, membayar atau membeli sebagian
input seperti pupuk, obat-obatan dan sewa tenaga kerja, tetapi juga dapat menjual
atau mempergunakan input pertanian milik keluarga sendiri (Sadoulet and Janvry
1995).
Wolf (1985) dalam Lestari (2005) mendefinisikan petani sebagai pencocok
tanam pedesaan yang surplus produksinya dipindahkan ke kelompok penguasa
melalui mekanisme sistematis seperti upeti, pajak, atau pasar bebas. Menurut
Shanin seperti dikutip oleh Subali (2005), terdapat empat karakteristik utama
petani. Pertama, petani adalah pelaku ekonomi yang berpusat pada usaha milik
keluarga. Kedua, selaku petani mereka menggantungkan hidup mereka pada lahan.
Bagi petani lahan pertanian adalah segalanya yakni sebagai sumber yang
diandalkan untuk menghasilkan bahan pangan keluarga, harta benda yang bernilai
tinggi, dan ukuran terpenting bagi status sosial. Ketiga, petani memiliki budaya
yang spesifik yang menekankan pemeliharaan tradisi dan konformitas serta
solidaritas sosial mereka kental. Keempat, cenderung sebagai pihak selalu kalah
(tertindas) namun tidak mudah ditaklukkan oleh kekuatan ekonomi, budaya dan
politik eksternal yang mendominasi mereka.
Rumah tangga petani menurut Sensus Pertanian 1993 adalah rumahtangga
yang sekurang-kurangnya satu anggota rumahtangganya melakukan kegiatan
bertani atau berkebun, menanam tanaman kayu-kayuan, beternak ikan di kolam,
karamba maupun tambak, menjadi nelayan, melakukan perburuan atau
penangkapan satwa liar, mengusahakan ternak/unggas, atau berusaha dalam jasa
pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijual guna
memperoleh pendapatan/keuntungan atas resiko sendiri.
Menurut BPS (2000) secara umum rumahtangga diartikan sebagai
seseorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan
fisik atau sensus dan umumnya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Yang
dimaksud dengan satu dapur adalah bahwa pembiayaan keperluan juga
pengurusan kebutuhan sehari-hari dikelola bersama-sama. Adapun White (1978)
mengemukakan bahwa rumahtangga pedesaan Jawa merangkap fungsi-fungsi
sebagai unit produksi, unit konsumsi, unit reproduksi, dan unit interaksi sosial
ekonomi dan politik, dimana keberlangsungan beragam fungsi tersebut dilandasi
prinsip safety first. Prinsip ini mendahulukan selamat yang berimplikasi kepada
kondisi dimana keputusan rumahtangga bertujuan utama lebih kepada untuk
menghindari kemungkinan gagal daripada mencari keuntungan sebanyakbanyaknya. Prinsip ini juga berimbas kepada kebiasaan dalam perilaku
rumahtangga miskin di pedesaan dalam penerimaan mereka terhadap teknikteknik pertanian, pranata-pranata sosial dan cara merespon terhadap proyekproyek pembangunan.
Sebagai unit ekonomi yang merangkap banyak fungsi, menurut White
(1978), rumahtangga pedesaan Jawa harus mengalokasikan curahan waktu mereka
diantara berbagai jenis kegiatan, yang mencakup: (a) pekerjaan yang tidak
semuanya menghasilkan pendapatan secara langsung, khususnya pekerjaanpekerjaan pemeliharaan rumahtangga, seperti mengurus rumahtangga, mengasuh
anak, memasak, mencuci, mengambil air, mencari kayu bakar, dan memperbaiki
rumah, (b) pekerjaan yang merupakan kewajiban sebagai anggota masyarakat
seperti kerja bakti, gotong royong, dan sambutan, serta, (c) pekerjaan yang
langsung menghasilkan pendapatan.

11
Pengertian Hutan
Berdasarkan teks perundang-undangan tentang kehutanan di Indonesia
dikenal terminologi hutan dan kawasan hutan. Hutan adalah suatu kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi
pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya
tidak dapat dipisahkan (UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan). Sedangkan
yang dimaksud dengan kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk
dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai
hutan tetap (Peraturan Menteri Kehutanan No. P49/Menhut-II/2008).
Merujuk pada Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan
maka terdapat beberapa jenis hutan berdasarkan status dan fungsinya yaitu:
1. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani
hak atas tanah, dapat berupa hutan adat yang merupakan hutan negara
yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
2. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas
tanah.
3. Hutan produksi, kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
memproduksi hasil hutan.
4. Hutan lindung, kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan
memelihara kesuburan tanah.
5. Hutan konservasi, kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa serta ekosistemnya.
6. Kawasan hutan suaka alam, hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai
wilayah sistem penyangga kehidupan.
7. Kawasan hutan pelestarian alam, hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan
secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
8. Taman buru, kawasan hutan yang di tetapkan sebagai tempat wisata
berburu.
Pengelolaan Hutan melalui Program PHBM (Pengelolaan Hutan
Bersama Masyarakat)
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat adalah sistem pengelolaan
sumberdaya hutan dengan pola kolaborasi yang bersinergi antara Perum Perhutani
dan masyarakat desa hutan/Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) atau para
pihak yang berkepentingan. Kolaborasi tersebut dalam rangka mencapai
keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan yang optimal serta peningkatan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang bersifat fleksibel, partisipatif, dan
akomodatif. Konsep tersebut dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan
sumberdaya hutan dengan memadukan aspek ekonomi, ekologi, dan sosial secara
proporsional dan profesional serta bertujuan untuk meningkatkan peran dan tanggung
jawab Perum Perhutani, masyarakat, dan pihak yang berkepentingan terhadap
keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan melalui pengelolaan sumberdaya

12
hutan dengan model kemitraan. PHBM dilaksanakan di dalam dan di luar kawasan
hutan dengan mempertimbangkan skala prioritas berdasarkan perencanaan partisipatif.
PHBM yang dilaksanakan di dalam kawasan hutan tidak bertujuan untuk mengubah
status kawasan hutan, fungsi hutan, dan status tanah negara (Surat Keputusan Direksi
Perum Perhutani No. 268/KPTS/DIR/2007).
Menurut
Surat
Keputusan
Direksi
Perum
Perhutani
No.
136/KPTS/DIR/2001, tujuan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama
Masyarakat (PHBM) adalah:
1. Meningkatkan tanggung jawab perusahaan, masyarakat desa hutan dan
pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat
sumberdaya hutan.
2. Meningkatkan peran perusahaan, masyarakat desa hutan dan pihak yang
berkepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan.
3. Menyelaraskan kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan sesuai dengan
kegiatan pembangunan wilayah dan kondisi dinamika sosial masyarakat
desa hutan.
4. Meningkatkan mutu sumberdaya hutan sesuai dengan karakteristik
wilayah.
5. Meningkatkan pendapatan perusahaan, masyarakat serta pihak yang
berkepentingan secara simultan.
Penafsiran model „pengelolaan berbasis masyarakat‟ sangat ditentukan oleh
derajat atau tingkat peran serta masyarakat, hak dan pengambilan keputusan
olehnya. PHBM mempunyai cakupan luas mulai dari perencanaan, penanaman,
pemeliharaan, pengamanan hutan, pengambilan hasil, pemasaran sampai dengan
konservasi dan rehabilitasi dan sebagainya. PHBM disebut murni jika seluruh
perencanaan, penanaman, pemeliharaan, pengambilan keputusan sampai pada
peraturan pemeliharaan (lokal atau tradisional) dan bagi hasil dibuat sendiri oleh
masyarakat tanpa ada campur tangan pihak luar (Rosita dan Muslich 2005).
Menurut Ngadino (2004) dalam Rosita dan Muslich (2005), keterlibatan,
peran serta atau kebersamaan masyarakat dalam mengelola hutan bisa dinyatakan
dalam berbagai bentuk yakni: (1) memberi bantuan; (2) mobilisasi atau
menggerakan masyarakat; (3) instruksi; (4) membayar masyarakat sebagai tenaga
kerja; (5) bagi hasil; dan (6) eksploitasi masyarakat atau benar-benar sebagai mitra
yang sejajar dalam setiap pengambilan keputusan, perencanaan dan
implementasinya tetapi model ini sulit ditemui dalam kerjasama pihak-pihak lain
yang melibatkan peran serta masyarakat.
Purnomo (2006) mengatakan bahwa pengelolaan Hutan Bersama
(PHBM) adalah suatu pola atau sistem pengelolaan sumberdaya hutan dimana
hal tersebut sesuai dengan azaz kemitraan dan prinsip untuk pola
kepentingan antara pemangku kepentingan/ stakeholders. Hutan Bersama
Masyarakat ini dimaksudkan memadukan aspek ekologi dan sosial secara
proposional dan profesional. PHBM bertujuan meningkatkan peran dan tangung
jawab Perhutani, masyarakat desa hutan yang berkepentingan
terhadap
keberlanjutan fungsi dan manfaat hutan. Pola pengelolaan hutan PHBM
memiliki perbedaan yang mendasar dibandingkan dengan social forestry. PHBM
dicanangkan oleh Perhutani sebagai tonggak transformasi Perusahaan kehutanan
milik menuju yang berorientasi kepada masyarakat. Pengelolaan hutan Perum
Perhutani tidak agi berorientasi kepada produk kayu saja, melainkan kepada
komponen sumberdaya