Strategi Nafkah Rumahtangga Buruh Perkebunan Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung

-`
STRATEGI
NAFKAH RUMAHTANGGA BURUH
PERKEBUNAN DESA PATENGAN, KECAMATAN
RANCABALI, KABUPATEN BANDUNG

DIAN HERMAWATI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Strategi Nafkah
Rumahtangga Buruh Perkebunan Desa Patengan, Kecamatan Rancabali,
Kabupaten Bandung adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi

mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014
Dian Hermawati
NIM I34080074

ABSTRAK
DIAN HERMAWATI. Strategi Nafkah Rumahtangga Buruh Perkebunan Desa
Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh
SATYAWAN SUNITO.
Perkebunan memiliki kaitan erat dengan sejarah, politik, dan keadaan
sosial ekonomi dari masa kolonial hingga saat ini. Konstruksi sosial yang
terbangun atas pengaruh sejarah dan pola penguasaan lahan yang didominasi oleh
Pemerintah menjadi polemik bagi rumahtangga buruh perkebunan untuk keluar
dari kemiskinan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis akses
masyarakat terhadap tanah di desa perkebunan, menganalisis bentuk strategi
nafkah yang diterapkan oleh rumahtangga buruh perkebunan terhadap sumber

pendapatan yang diperoleh dari perkebunan, sektor pertanian dan sektor nonpertanian. Selain itu, juga bertujuan untuk menganalisis struktur nafkah
rumahtangga buruh di desa perkebunan serta menganalisis kaitan struktur nafkah
rumahtangga buruh perkebunan dengan kemiskinan. Metode penelitian ini adalah
penelitian survey yang menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh
pendekatan kualitatif yang menggunakan kuesioner serta panduan wawancara
mendalam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa akses terhadap tanah di desa
perkebunan, strategi nafkah, struktur nafkah dan kemiskinan.
Kata kunci: strategi nafkah, perkebunan, kemiskinan

ABSTRACT
DIAN HERMAWATI. Livelihood Strategies of Plantation Worker Case Patengan
Village, District Bandung Under the guidance of SATYAWAN SUNITO.
Plantation closely related to the history, politics, and socio-economic
situation from the colonial period until now. Social construction that was built
under history influence and domination of land tenure pattern by the Government
had become a polemic for plantation labor households to overcome poverty. The
purpose of this study was to analyze the public access to the plantation land, to
analyze the livelihood strategy form applied by the plantation workes household
against plantation, agriculture and non-agriculture sector based income.
Meanwhile, it also aimed to analyze the livelihood structure of workers in

plantation land as well as the relationship of livelihood structure of the plenatation
workers with poverty. This research method was a survey performed with
quantitative approach and supported with qualitative approach using questionnaire
and in-depth interview. This results determine access to the plantation land,
livelihood strategy,the livelihood structure and its relation to poverty.
Key words: livelihood strategy, plantation, poverty

STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA BURUH
PERKEBUNAN DESA PATENGAN, KECAMATAN
RANCABALI, KABUPATEN BANDUNG

DIAN HERMAWATI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2014

Judul Skripsi : Strategi Nafkah Rumahtangga Buruh Perkebunan Desa Patengan,
Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung
Nama
: Dian Hermawati
NIM
: I34080074

Disetujui oleh

Dr. Satyawan Sunito
NIP. 19520326 199103 1 001
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc
NIP. 19670903 199212 2 001

Ketua Departemen

Tanggal Lulus: _____________________

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
karunia-Nya yang luar biasa sehingga berhasil menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Strategi Nafkah Rumahtangga Buruh Perkebunan Desa Patengan,
Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung” dengan baik. Penulisan skripsi ini
dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan kelulusan di Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.
Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi
ini, diantaranya Dr. Satyawan Sunito selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan waktu dan bimbingan serta kesabaran selama proses penulisan. Dr.Ir
Arya H Dharmawan. M.Sc selaku dosen penguji utama, Dr.Ir Sarwititi S Agung,
MS selaku dosen penguji departemen dan Martua Sihaloho, SP, M.Si selaku

dosen uji petik yang telah memberikan masukan atas skripsi ini. Triomacan
SKPM (Mba Icha, Mba Dini, Mba Maria) yang sabar membantu dan
menyemangati. Orangtua dan keluarga yang telah menjadi motivasi terbesar
penulis. Keluarga Besar KPM 45, BPA TPB IPB, Centrum 45. Nur Sri Ubaya
Asri atas kesabaran, bantuan, dan dukungannya. Rodiah Rumata, Sri Anom
Amongjati, Miftachul Jannah, Nisrina Kharisma saudara selamanya. Yeni Agustin,
Achmad Fachruddin, Abdul Haris, Siti Farida atas bantuan dan semangat yang tak
pernah berhenti mengalir. Dompet Dhuafa atas beasiswa aktivisnya yang
mendidik saya untuk teguh terhadap nilai-nilai. Semua pihak yang tidak dapat
disebutkan satu persatu yang telah membantu doa, semangat dan bantuan kepada
penulis. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Bogor, Juni 2014
Dian Hermawati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Struktur Agraria
Pola Pemilikan dan Penguasaan Lahan
Konsep Perkebunan
Karakteristik Masyarakat Perkebunan
Konsep Nafkah (Livelihood)
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Definisi Konseptual
Definisi Operasional
PENDEKATAN LAPANG
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penentuan Responden dan Informan Penelitian
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
SEJARAH DAN SISTEM PERKEBUNAN

Sejarah Perkebunan Indonesia
Periode Kolonial Belanda (1870-1942)
Periode 1942-1965
Periode 1966
Sejarah Perkebunan PTPN VIII dan Desa Patengan
Jenis dan Orientasi Tanaman Perkebunan
Sistem Perkebunan PTPN VIII Kebun Rancabali
Ikhtisar
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kondisi Geografis
Kondisi Demografis
Ikhtisar
STRUKTUR AGRARIA DAN AKSES TANAH DI DESA PERKEBUNAN
Struktur Agraria di Desa Perkebunan
Pola Pemilikan Lahan
Pola Penguasaan Lahan
Pola Hubungan Sosial Agraria
Akses Rumahtangga Buruh terhadapTanah di Desa Perkebunan
Ikhtisar
KARAKTERISTIK RUMAHTANGGA BURUH PERKEBUNAN

Tingkat Usia

xii
xiii
xiii
1
1
2
3
3
5
5
5
6
9
10
12
13
15
15

15
17
17
17
18
18
21
21
21
22
23
24
25
26
27
29
29
30
32
33

33
33
34
36
36
37
39
39

xiii
Tingkat Pendidikan
Jumlah Tanggungan
Lama Bekerja di Perkebunan
Status Karyawan di Perkebunan
Ikhtisar
STRUKTUR NAFKAH RUMAHTANGGA BURUH PERKEBUNAN
Sumber Pendapatan Rumahtangga
Pendapatan dari Sektor Perkebunan
Pendapatan dari Sektor Pertanian
Pendapatan dari Sektor Non-Pertanian
Total Pendapatan Rumahtangga
Tingkat Kemiskinan Rumahtangga Buruh Perkebunan
Ikhtisar
PENERAPAN RAGAM STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA
Strategi Nafkah Rumahtangga Buruh Perkebunan
Strategi Rekayasa Sumber Nafkah Pertanian
Strategi Pola Nafkah Ganda
Strategi Migrasi
Strategi Survival
Ikhtisar
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

39
40
41
41
42
43
43
43
44
46
48
52
55
57
57
57
58
58
59
60
61
61
62
63
82

xii
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

13
14
15

16

17
18

19

20

Perkembangan sistem perkebunan
Metode pengumpulan data dan informasi
Jumlah dan persentase distribusi luas lahan menurut penggunaannya
di Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung
Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan kelompok umur di
Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung
Jumlah penduduk dan persentase tingkat pendidikan penduduk Desa
Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung
Jumlah penduduk dan persentase berdasarkan sektor pekerjaan di
Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung
Jumlah dan persentase KK di RW 02 Sindangreret Tahun 2013 Desa
Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung
Persentase Kepemilikan Lahan di Desa Patengan, Kecamatan
Rancabali, Kabupaten Bandung Tahun 2013
Jumlah luas lahan yang dapat diakses oleh responden menurut
pekerjaannya di perkebunan Tahun 2013
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat usia di Desa
Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung
Jumlah dan persentase responden menurut tingkat pendidikan di
Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung
Jumlah dan persentase responden menurut jumlah tanggungan di
perkebunan Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten
Bandung
Jumlah dan persentase responden menurut lama bekerja di
perkebunan di Desa Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten
Bandung
Jumlah dan persentase status karyawan perkebunan di Desa
Patengan, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung
Jumlah dan persentase tingkat pendapatan total rumahtangga buruh
perkebunan dalam setahun di Desa Patengan, Kecamatan Rancabali,
Kabupaten Bandung
Sumbangan sumber pendapatan perkebunan, pertanian, dan non
pertanian terhdap struktur nafkah rata-rata rumahtangga buruh pada
setiap lapisan pendapatan Tahun 2013
Persentase pendapatan responden dari berbagai sumber pendapatan
per tahun menurut lapisan pendapatan Tahun 2013
Persentase kontribusi sumbangan sumber pendapatan dari
perkebunan, pertanian, dan non pertanian terhadap struktur nafkah
rumahtangga buruh pada setiap alpisan pendapatan Tahun 2013
Rata-rata pendapatan per kapita rumahtangga buruh perkebunan
menurut lapisan pendapatan berdasarkan sumber pendapatan Tahun
2013
Rata-rata pendapatan per kapita rumahtangga buruh perkebunan
menurut lapisan pendapatan per hari berdasarkan sumber pendapatan
Tahun 2013

10
19
29
30
31
31
32
34
35
39
40

40
41
42

48

48
49

51

52

53

xiii

DAFTAR GAMBAR
1

Hubungan segitiga antara subjek agraria yang berpusat pada objek
agraria

6

2

Logical framework: Aspek-aspek yang menjadi sasaran penelitian

14

3

Kronologi sejarah perkebunan, PT Perkebunan Nusantara VIII,
Kebun Rancabali, Bandung, Jawa Barat

25

Struktur karyawan perkebunan yang dapat diakses oleh penduduk
Desa Patengan

26

Persentase sumber pendapatan dalam setiap golongan pendapatan
responden Tahun 2013

51

Rata-rata pendapatan per kapita rumahtangga buruh menurut lapisan
pendapatan Tahun 2013

52

Rata-rata pendapatan per kapita rumahtangga buruh menurut lapisan
pendapatan per hari Tahun 2013

54

4
5
6
7

DAFTAR LAMPIRAN
1

Kerangka Sampling Penelitian

67

2

Kuesioner penelitian

72

3

Panduan pertanyaan wawancara mendalam

78

4

Pengolahan data struktur nafkah

79

5

Peta Desa Patengan

81

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkebunan merupakan sektor penting dalam meningkatkan devisa negara.
Perkembangan kehidupan sektor perkebunan yang berlangsung dari sekitar 1956
hingga sekitar 1980-an yang banyak sedikitnya tidak lepas dari pengaruh
perubahan dan perkembangan kehidupan politik dan sistem perekonomian yang
berlaku selama itu di Indonesia. Perubahan kebijaksanaan politik dan ekonomi,
pada dasarnya melatarbelakangi perubahan kehidupan perkebunan di Indonesia,
terutama sejak tahun 1950-an (Kartodirdjo dan Suryo 1994).
Pemerintah mengambil alih perusahaan-perusahaan swasta Belanda yang
ada di Indonesia, sebagai sisa dari masa penjajahan. Proses pengambilalihan
perusahaan Belanda ini berlangsung sejak bulan Desember 1957, dan dikenal
sebagai proses “nasionalisasi” perusahaan asing. Proses pengambilalihan ini telah
melibatkan pengalihan kepemilikan 90 persen produksi perkebunan, 60 persen
produksi perdagangan luar negeri, 246 pabrik dan perusahaan pertambangan,
ditambah dengan bank, pelayaran, dan berbagai industri jasa, dari perusahaan
swasta Belanda menjadi milik Indonesia (Kartodirdjo dan Suryo 1994).
Semenjak pengambilalihan itu negara memiliki kuasa untuk mengatur
segala aspek perkebunan tersebut. Tanah atau lahan yang merupakan aspek
terpenting dalam hal ini menjadi sumber permasalahan utama. Tauchid (2009)
mengatakan soal Agraria (soal tanah) adalah soal hidup dan penghidupan manusia,
karena tanah adalah asal dan sumber makanan bagi manusia. Masalah tanah juga
tidak semata-mata merupakan masalah hubungan antara manusia dan tanah, lebih
dari itu, secara normatif merupakan hubungan manusia dengan manusia
(Suhendar 1998).
Marwan (2007) menyimpulkan corak masyarakat perkebunan sangat kental
dengan kolonialisme yang meninggalkan suatu sistem otoritarian hingga
menyebabkan terciptanya sistem perkebunan yang mengatur segala aspek
kehidupan baik ekonomi, sosial, budaya bahkan politik. Hal ini berimbas pada
sistem perkebunan yang terus berlanjut hingga saat ini, hanya saja
penyelenggaranya saat ini adalah Pemerintah yang cenderung berorientasi pada
pemilik modal. Dalam hal ini masyarakat perkebunan tidak bisa berkutik karena
mereka berada terikat teritori perkebunan.
Pola hubungan yang tercipta pada masyarakat perkebunan adalah hubungan
antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemilik modal. Hal ini berkaitan
langsung tentang lahan dan tenaga kerja (buruh). Hampir seluruhnya lahan
perkebunan yang tersedia dikuasai oleh pihak utama dalam hal ini adalah Negara,
bahkan rumah-rumah yang didiami penduduk setempat adalah milik Negara.
Akibatnya, masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan itu menjadi sangat
tergantung pada perkebunan. Fenomena ini tidak banyak berubah sepanjang
sejarah perkebunan yang berkembang di Indonesia.
Berangkat dari fenomena itu, masyarakat perkebunan menempuh beragam
taktik atau siasat dalam mempertahankan hidupnya di tengah bayang-bayang
perkebunan. Menurut Sajogyo dan para muridnya, perkembangan sistem
penghidupan dan nafkah pedesaan memang tidak bisa dilepaskan dari keseluruhan

2

proses destabilisasi sistem sosial-ekonomi yang senantiasa melanda pedesaan.
Proses-proses adaptasi ekonomi dan ekologis yang dibentuk oleh petani (arasindividual), rumahtangga (aras kelompok), serta komunitas lokal (aras sistem
sosial) sebagai upaya menyelaraskan eksistensi mereka terhadap arus perubahan
sosial, menghasilkan sejumlah gambaran dinamik sistem penghidupan dan nafkah
pedesaan (Dharmawan 2007).
Berdasarkan data pengelolaan potensi perkebunan Kabupaten Bandung
tahun 2010, perkebunan di Kabupaten Bandung terbagi menjadi tiga macam yaitu
meliputi Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan
Perkebunan Milik Pemerintah (PTP). Luas lahan baku yang ditempati dan
diusahakan adalah Perkebunan Rakyat (PR) seluas 13.665,94 hektar yang terdiri
dari perkebunan Teh (1.692 hektar) Cengkeh (743 hektar), Kina (25 hektar), Kopi
(8.941,40 hektar), Tembakau (1.216 hektar) dan tanaman perkebunan lainnya.
Perkebunan Besar Swasta (PBS) seluas 5.891,39 hektar meliputi perkebunan Teh
(5.883,39 hektar) dan Kina (8 hektar). Perkebunan Milik Pemerintah (PTP) seluas
13.178,41 hektar yang terdiri dari perkebunan Teh (12.066,74 hektar) dan Kina
(1.111,67 hektar).
Sebagian besar potensi perkebunan dan kehutanan yang cukup besar yang
dikelola Negara berwujud PT Perkebunan Nusantara, Perhutani dan Badan
Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA). Salah satu Desa di Kabupaten Bandung
yang sesuai dengan karakteristik di atas adalah Desa Patengan, Kecamatan
Rancabali, yang terletak di Kabupaten Bandung Selatan. Lebih dari separuh
penduduk di Kabupaten Bandung Selatan bermatapencaharian sebagai buruh
pemetik teh maupun menjadi petani lahan sempit di hutan.
Keadaan stuktur agraria yang seperti itu menyebabkan buruh perkebunan
hidup dalam kungkungan sistem perkebunan. Mereka “terjebak” dalam
kemiskinan hingga tidak bisa leluasa untuk dapat memanfaatkan sumberdaya
yang ada di perkebunan dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya. Berbagai
bentuk strategi nafkah dan penerapan yang berbeda-beda inilah yang membuat
studi mengenai strategi nafkah menarik untuk dilakukan.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis menganalisis strategi nafkah
rumahtangga buruh perkebunan. Oleh karena itu, beberapa pertanyaan spesifik
yang dapat diangkat dalam topik penelitian, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana akses masyarakat terhadap tanah di Desa Patengan,
Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung?
2. Bagaimana strategi nafkah rumahtangga buruh di Desa Patengan,
Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung?
3. Bagaimana struktur nafkah rumahtangga buruh di Desa Patengan dari
sumber pendapatan di sektor perkebunan, sektor pertanian, dan sektor
non-pertanian?
4. Bagaimana kaitan struktur nafkah rumahtangga buruh perkebunan dengan
kemiskinan?

3

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahanpermasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, antara lain:
1. Menganalisis akses masyarakat terhadap tanah di Desa Patengan,
Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung
2. Menganalisis bentuk strategi nafah rumahtangga buruh di Desa Patengan,
Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung
3. Menganalisis struktur nafkah rumahtangga buruh di Desa Patengan dari
sumber pendapatan di sektor perkebunan, sektor pertanian dan sektor
non-pertanian serta perbandingan ketiganya.
4. Menganalisis kaitan struktur nafkah rumahtangga buruh perkebunan
dengan kemiskinan.
Kegunaan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian ini, maka diharapkan penelitian ini dapat
memberikan manfaat sebagai berikut.
1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi
dan kajian untuk penelitian selanjutnya serta menambah khasanah
penelitian mengenai strategi nafkah, pertanian, maupun perkebunan.
2. Bagi Pemerintah Daerah dan PTPN VIII, penelitian ini diharapkan dapat
menjadi bahan referensi pengembangan kawasan desa perkebunan dalam
melaksanakan pembangunan dan sarana evaluasi untuk menentukan
kebijakan dalam sistem perkebunan agar terus meningkatkan
kesejahteraan rumahtangga buruh desa perkebunan..
3. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat membantu masyarakat untuk
mampu melihat dan menambah pengetahuan tentang kondisi desa
perkebunan serta mengurai permasalahan yang terjadi di desa perkebunan.

4

5

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Struktur Agraria
Tjondronegoro dan Wiradi (2001) dalam Sitorus (2002) jika merujuk pada
asal-usul dari arti kata agraria, yaitu “ager” (Latin) yang berarti “lapangan”,
“pedusunan” atau “wilayah”, sudah jelas bahwa sumber agraria tidak semata-mata
merujuk pada “tanah”. Batasan sumber agraria menurut UUPA 1960 (UU
No.5/1960) justru sesuai dengan pengertian dasar agraria yaitu “seluruh bumi, air
dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya...”
(Pasal 1 ayat 2).1 “Dalam pengertian bumi selain permukaan bumi, termasuk pula
tubuh bumi bawahnya serta yang berada di bawah laut” (Pasal 1 ayat 4). “dalam
pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia”
(Pasal 1 ayat 5). “Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang di atas bumi
dan air tersebut...” (Pasal 1 ayat 6).
Wardini (2010) memaparkan struktur agraria adalah pola hubungan secara
teknis dengan objek agraria (lahan) dan pola hubungan sosial (antar subjek
agraria). Struktur agraria di sini dimaknai sebagai pola hubungan dalam pemilikan,
penguasaan, dan pemanfaatan lahan. Struktur agraria pada dasarnya menunjuk
pada hubungan antar berbagai status sosial penguasaan sumber-sumber agraria.
Tidak saja pola penguasaan, namun pola pemilikan dan pemanfaatan sumbersumber daya agraria menjadi penting. Hubungan tersebut dapat berupa hubungan
“pemilik dengan pemilik”, “pemilik dengan pembagi hasil”, “pemilik dengan
penyewa”, dan lainnya. Berangkat dari tesis J. Habermas (Sitorus 1984) dalam
Wardini (2010) tentang dua dimensi tindakan manusia yaitu kerja (tindakan teknis
terhadap objek) dan interaksi atau komunikasi (tindakan sosial terhadap subjek).
Tjondronegoro dan Wiradi (2001) dalam Sitorus (2002) menyatakan bahwa
subjek agraria dapat dibedakan menjadi tiga yaitu komunitas (sebagai kesatuan
dari unit-unit rumahtangga), pemerintah (sebagai representasi negara), dan swasta
(private sector). Ketiga kategori sosial tersebut adalah pemanfaat sumber-sumber
agraria, yang memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria melalui institusi
penguasaan/pemilikan (tenure institution).
Secara deduktif kemudian dirumuskan dua proporsi dasar analisis agraria
sebagai berikut: pertama, ketiga subjek agraria memiliki hubungan teknis dengan
objek agraria dalam bentuk kerja pemanfaatan berdasarkan hak penguasaan (land
tenure); kedua, ketiga subjek agraria satu sama lain berhubungan atau berinteraksi
secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan objek agraria tertentu
(Wardini 2010).
Hubungan teknis menunjuk pada cara kerja subjek agraria mengelola
sumber agraria untuk pemenuhan kepentingan-kepentingan sosial-ekonominya.
Sedangkan, hubungan antara subjek-subjek agraria dasarnya adalah hak
penguasaan objek atau sumber agraria yang dimiliki masing-masing subjek.
1

Bunyi selangkapnya Pasal 1 ayat 2 UUPA 1960: “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan
kekayaan nasional.”

6

Perbedaan antara subjek agararia kemudian akan menghasilkan suatu tatanan
sosial yang dikenal dengan struktur (sosial) agraria (Wardini 2010).
Pada tipe-tipe struktur agraria, dominasi penguasaan sumber agraria pada
satu pihak subjek menimbulkan hubungan-hubungan sosial atau struktur agraria
yang berbeda antara satu dan lain masyarakat. Keseluruhan hubungan-hubungan
agraria, baik hubungan teknis (dimensi kerja) maupun hubungan sosial (dimensi
interaksi) dapat digambarkan sebagai suatu hubungan segitiga antara subjek
agraria yang berpusat pada objek agraria (Gambar 1).
Komunitas

SSA

Pemerintah

Swasta

Keterangan:
Hubungan Sosial Agraria
Hubungan Teknis Agraria (kerja)
Sumber: (Sitorus 2002)

Gambar 1 Hubungan segitiga antara subjek agraria yang berpusat pada objek
agraria
Pola Pemilikan dan Penguasaan Lahan
Tanah atau sumber daya agraria lainnya dalam suatu masyarakat agraris
tidak hanya menjadi salah satu faktor produksi, tetapi juga memiliki arti penting
lainnya baik menyangkut aspek sosial maupun politik (Suhendar 1998). Tauchid
(2009) mengatakan soal agraria (soal tanah) adalah soal hidup dan penghidupan
manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan bagi manusia. Suhendar
(1998) menambahkan bahwa masalah tanah tidak semata-mata merupakan
masalah hubungan antara manusia dan tanah, lebih dari itu, secara
normatifmerupakan hubungan manusia dengan manusia.
Wiradi (2009) menyebutkan selama 10 tahun terakhir telah terjadi proses
pemusatan penguasaan tanah atau ketimpangan struktur pemilikan tanah serta
perubahan kelembagaan. Wiradi (2009) menambahkan bahwa struktur pemilikan
sangat timpang, para tunakisma mempunyai kesempatan untuk menguasai tanah
melalui sewa menyewa dan bagi hasil. Menurut penelitian Fajar (2009) praktek
moda produksi yang teridentifikasi “amphibian” melahirkan transformasi struktur
agraria dari penguasaan kolektif ke perorangan, munculnya diferensiasi sosial
masyarakat agraris dalam bentuk “stratifikasi” dengan pemilikan lahan yang
semakin timpang serta munculnya diferensiasi kesejahteraan petani ternyata
terjadi di semua kasus. Hal ini diperkuat oleh penelitian Maharani (2011) yang

7

mengatakan bahwa struktur penguasaan dan manajemen sumberdaya agraria
didominasi oleh Pemerintah yang berwujud PTPN dan TNGHS. Akibatnya
masyarakat banyak beralih ke sektor non pertanian. Penelitian Wardini (2010)
juga semakin membuktikan bahwa status penguasaan lahan yang terdapat di
kampung Pongkor dibuktikan berupa pemilikan SPPT.
Peranan penguasaan tanah pada masa kolonial umumnya tidak dilihat dalam
konteks desa melainkan lebih menekankan pada kebijakan pemerintah dilihat dari
konsep yang lebih abstrak seperti “kesejahteraan pribumi”. Pada masa itu konsep
pemilikan menurut konsep Barat (property, eigendom 2 ) memang tidak dikenal,
bahkan juga bagi penguasa. Tanah-tanah tersebut bukannya dimiliki oleh pejabatpejabat atau penguasa, melainkan bahwa para penguasa itu dalam artian politik
mempunyai hak jurisdiksi atas tanah-tanah dalam wilayahnya yang dengan
kekuasaan dan pengaruhnya dapat mereka pertahankan, dan secara teoritis juga
mempunyai hak untuk menguasai, menggunakan, atau menjual hasil-hasil
buminya sesuai adat yang berlaku, kemudian ada juga tanah-tanah yang
diperuntukkan bagi kepentingan keagamaan. Barulah sisanya diperkirakan
merupakan wilayah pedesaan yang belum begitu jelas bagaimana organisasi
didalamnya (Wiradi 2009).
Menteri Jajahan Engelbetus de Waal mengajukan RUU yang akhirnya
diterima oleh Parlemen pada tahun 1870. Isinya terdiri dari 5 ayat. Kelima ayat ini
kemudian ditambahkan kepada 3 ayat dari pasal 62 tersebut dimuka sehingga
menjadi 8 ayat, di mana satu di antaranya menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal
akan memberikan hak erfpacht selama 75 tahun (jadi bukan 99 tahun seperti RUU
Van de Putte yang telah ditolak). Pasal 62 RR dengan delapan ayat ini kemudian
menjadi, atau dijadikan, pasal 51 dari Indische Staatsregeling (IS). Inilah yang
disebut Agrarische Wet 1870, yang diundangkan dalam Lembaran Negara
(Staatsblad) No.55, 1870. Ketentuan-ketentuan di dalamnya, pelaksanaannya
diatur dalam berbagai peraturan dan keputusan. Salah satu keputusan penting
ialah apa yang dikenal dengan Agrarisch Besluit inilah yang termuat suatu
pernyataan penting yang telah cukup dikenal yaitu Domein Verklaring, yang
menyatakan bahwa, “...semua tanah yang tidak terbukti bahwa atas tanah itu
adalah hak milik mutlak (eigendom), adalah domein negara.” (domein negara
artinya, milik mutlaknya negara) (Wiradi 2009).
Tonggak sangat penting dalam sejarah agraria Indonesia dimulai pada tahun
1870, karena pada tahun itu berduyun-duyun modal swasta Eropa. Para pemodal
swasta Eropa tersebut justru mencengkram Indonesia dengan memunculkan
perkebunan-perkebunan swasta besar di Sumatera dan juga di Jawa, dengan segala
akibatnya. Tujuan Undang-undang Agraria 1870 untuk memberikan kesempatan
luas bagi modal swasta asing memang berhasil gemilang. Tetapi tujuan lainnya,
yaitu melindungi dan meperkuat hak atas tanah bagi bangsa Indonesia asli
ternyata jauh dari harapan. Apalagi ditambah dengan sikap para raja atau sultan
baik di Jawa maupun Luar Jawa yang tergiur untuk memberikan konsesi kepada
para pengusaha swasta asing (Wiradi 2009).
UUPA yang berisi ketentuan-ketentuan pokok seharusnya dijabarkan lebih
lanjut dalam peraturan-peraturan perundangan turunan. Namun karena yang
paling mendesak adalah masalah pertanian rakyat, maka baru inilah yang sempat
2

Hak mutlak atas tanah

8

tergarap yaitu dengan keluarnya UU No.56 Prp.1960 tentang penetapan Luas
Tanah Pertanian (Inilah yang secara populer dikenal sebagai UU Landreform).
Sektor-sektor lain belum sempat teragarap. Pemerintah baru ini mempunyai
kebijakan yang sama sekali lain. Akibatnya, untuk jangka waktu yang cukup lama
UUPA masuk peti es. Ketika saat dikeluarkan lagi dari lemari es, sengaja atau
tidak, UUPA diterapkan secara menyimpang. Sementara UUPA masuk lemari es,
sedangkan kebutuhan di sektor lain mendesak, maka lahirlah pada masa awal
Orde Baru, berbagai Undang-undang Pokok lain. Inilah yang kemudian membuat
tumpang tindih dan rancunya masalah pertanahan selama tiga dekade terakhir ini
(Wiradi 2009).
Fajar (2009) mengatakan secara historis, bentuk pemilikan lahan berubah
bersamaan dengan perkembangan budaya umat manusia dalam usaha pertanian
guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Sanderson (2003) dalam Fajar (2009)
menggambarkan bahwa perkembangan pemilikan lahan pada masyarakat prakapitalis (mulai masyarakat berburu dan meramu sampai masyarakat agraris)
cenderung semakin memperkuat tumbuhnya pemilikan perorangan. Pemilikan
tanah secara perorangan muncul ketika manusia telah mengenal kehidupan
menetap, bertani dan beternak. Oleh sebab itu, dengan semakin berkembangnya
pertanian menetap serta masuknya ekonomi uang (moneterisasi), pemilikan lahan
beralih dari pemilikan komunal dalam bentuk tanah adat atau ulayat menjadi
pemilikan perorangan.
Minulyo (2008) mengatakan bahwa pemerintah sendiri tentunya berusaha
menerapkan UUPA No.5 Tahun 1960. Paham kedaulatan rakyat dikaitkan dengan
rumusan konstitusi yang menyatakan bahwa agraria dikuasai oleh negara dan
digunakan untuk kemakmuran rakyat, Maka diasumsikan bahwa berdasarkan
paham kedaulatan rakyat, pemegang kedaulatan (rakyat) menghendaki dan
sepakat agar agraria dikuasai oleh negara yang dengan kata lain, pemegang
kedaulatan telah memberikan tugas kepada negara untuk menguasai agraria, guna
mencapai kemakmuran rakyat. Mengingat untuk mencapai kemakmuran
(kesejahteraan) rakyat tidak mungkin dilakukan sendiri oleh rakyat, maka rakyat
memberikan tugas kepada Negara untuk menguasai agraria.
Adanya penugasan untuk menguasai agraria dari pemegang kedaulatan
(rakyat) kepada negara bertujuan agar konstitusi agraria tersebut dapat digunakan
untuk memakmurkan rakyat. Setiap kegiatan penguasaan agraria, negara harus
bertindak
untuk
dan
atas
nama
kepentingan
rakyat,
serta
mempertanggungjawabkan tindakannya kepada rakyat. Penguasaan negara atas
agraria tetap masih dalam konteks kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan negara.
Dalam mengatur ditribusi tanah Minulyo (2008) juga menambahkan bahwa
penguasaan negara atas agraria terdapat berbagai kewenangan negara atas agraria.
Dengan perkataan lain, penguasaan negara atas agraria berisi kewenangankewenangan negara untuk:
1. Mengatur dan menyelenggarakan perencanaan, peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan agraria;
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan agraria;
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai agraria.

9

Konsep Perkebunan
Pengertian perkebunan dalam Undang-undang No.8 Tahun 2004 tentang
perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada
tanah dan atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah,
dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu
pegetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat (Kusumastuti 2011).
Sejarah perkembangan perkebunan di Negara berkembang, termasuk
Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari sejarah perkembangan kolonialisme,
kapitalisme, dan modernisasi. Di Negara-negara berkembang, pada umumnya
perkebunan hadir sebagai perpanjangan dari perkembangan kapitaslime agraris
Barat yang diperkenalkan melalui sistem perekonomian kolonial. Sistem
perkebunan yang dibawa oleh pemerintah kolonial atau yang didirikan oleh
korporasi kapitalis asing itu pada dasarnya adalah sistem perkebunan Eropa
(European plantation), yang berbeda dengan sistem kebun (garden system) yang
telah lama berlaku di negara-negara berkembang pada masa pra-kolonial
(Kartodirdjo dan Suryo 1994).
Menurut Beckford (1972), perkebunan sebagai bentuk ekonomi kolonial.
Beckford (1972) memaparkan 3 bentuk kolonialisme dari perkebunan, yaitu: (1)
koloni settlement (koloni pemukiman), (2) conquest, kepentingan Negara
metropolis adalah pengadaan sistim administrasi dan militer secukupnya untuk
mengawal, (3) eksploitasi, kepentingan Negara metropolitan adalah membangun
sistim produksi untuk kepentingan perdagangan.
Seperti halnya di Negara berkembang lainnya, sistem perkebunan di
Indonesia juga diperkenalkan lewat kolonialisme Barat, dalam hal ini
kolonialisme Belanda. Sistem kebun di Indonesia juga merupakan sistem usaha
pertanian yang lebih dahulu dikenal sebelum masuknya sistem perkebunan. Sejak
masa tradisional sampai masa penjajahan VOC (Vereenigde Oost Indische
Compagnie), yaitu pada abad ke-17-18, sistem usaha kebun menjadi sumber
produksi komoditi perdagangan yang penting (Kartodirdjo dan Suryo 1994).

10

Tabel 1 Perkembangan sistem perkebunan
Masa Kolonial
Masa Kemerdekaan dan
Pra-Kemerdekaan
(1942-1965)
UU Agraria 1870
Runtuhnya kolonialisme
memberi fasilitas tanah
Belanda & sesudahnya
bagi perkebunan.
(antara 1942-1965) tidak
Konsep
membawa terbangunnya
Domeinverklaring yang suatu mode produksi postmenyatakan bahwa
kolonial, melainkan suatu
Negara yang menguasai formasi sosio
tanah-tanah yang tidak
ekonomi ”indeterminate”.
secara langsung
Pengembalian asset
dimanfaatkan oleh
perkebunan asing oleh
masyarakat. Oleh karena Negara, belum berarti
itu kepemilikan tanah
bahwa suatu strategi
terkonsentrasi di tangan ekonomi baru sedang
pihak asing. Indonesia
dikembangkan:
diposisikan sebagai
1. Asset perkebunan
produsen komoditas
tersebut merupakan
pertanian dunia yang
sistem yang sedang
paling murah. Hakikat
runtuh dan tidak bisa
sistem perkebunan
menghasilkan
kolonial adalah:
keuntungan.
1. Kepemilikan asing
2. Pengambilalihan
2. Teritori dengan
dikuasai oleh birokrat
kekuasaan Negara di
militer untuk
dalamnya
kepentingan
3. Tanah murah
memperkuat posisi
4. Buruh murah=
sendiri, ketimbang
setengah perbudakan
bagian dari suatu
strategi ekonomi
nasional baru.

Orde Lama dan Orde
Baru
Kebijakan Demokrasi
Terpimpin dan
kekuatan-kekuatan kiri
menghalangi (untuk
sementara) berdirinya
neo-kolonialisme dan
post kolonial formasi,
namun tidak membawa
serta pembentukkan
suatu formasi baru.
Hanya memperpanjang
keruntuhan.
Orde baru  neo
kolonialisme
berorientasi profit
sebesar-besarnya
Orde Lama 
Demokrasi Terpimpin
sistem kolonial runtuh
dan tidak ada
kemampuan untuk
meng-generate
keuntungan sama sekali

Sumber: Gordon (1982)

Karakteristik Masyarakat Perkebunan
Pemukiman perkebunan merupakan suatu kompleks yang terdiri atas unsurunsur sosial-ekonomis yang berbeda-beda akan tetapi tidak terpisahkan dalam
kaitan kerja atau hubungan sistem produksi. Inheren dalam situasi itu ialah adanya
kontradiksi, konflik serta ketegangan terus-menerus serta acapkali dengan
intensitas tinggi terutama karena perbedaan dan pertentangan kepentingan. Di
samping itu tidak ada ikatan solidaritas antar unsur-unsur tersebut yang mampu
melerai ketegangan itu (Kartodirdjo dan Suryo 1994).

11

Umumnya, semasa periode awal perusahaan perkebunan, yaitu sewaktu
pimpinan ada di tangan seorang planter yang merangkap fungsi sebagai perintis,
pengelola dan kepala komunitas perkebunan lingkungan masyarakat yang terbatas
masih dikuasai oleh hubungan patrimonial sehingga masih ada suasana keakraban
dan kekeluargaan. Para pekerja di samping bekerja di perkebunan masih dapat
melanjutkan pekerjaannya semula. Pekerjaan di perkebunan menambah
penghasilannya. Selanjutnya perkebunan juga membuka peluang kerja bagi
wanita dan anak- gudang. Dengan demikian terdapat semacam simbiosa antara
perkebunan dan rakyat pedesaan sekitarnya (Kartodirdjo dan Suryo 1994).
Perkebunan berfungsi sebagai sumber produksi yang memberikan
penghasilan berjuta-juta kepada pemerintah kolonial, namun dari dana yang
diperoleh itu amat sedikit kalau ada yang dipakai untuk meningkatkan
pembangunan di daerah sekitarnya. Dengan demikian kontras antara perkebunan
dan daerah sekitarnya tetap tajam. Hal ini berkelanjutan oleh karena golongan
Eropa mulai terarah ke kota untuk mencari hiburan atau rekreasi. Kota-kota
Bandung, Malang, Medan berkembang pesat oleh karena menjadi pusat
pemukiman dan pelayanan bagi kaum perkebunan (Kartodirdjo dan Suryo 1994).
Marwan (2007) memaparkan bahwa sampai saat ini masyarakat perkebunan
masih eksis, seiring dengan masih berperannya produksi perkebunan untuk
kebutuhan pasar dunia. Meskipun zaman telah berubah akan tetapi sistem
masyarakat perkebunan tidak mengalami banyak perubahan. Masyarakat
perkebunan mempunyai stratifikasi sosial yang kaku, stratifikasi sosial ini
didasarkan atas kedudukan seseorang dalam hirarki organisasi perkebunan. Ada 4
jenis golongan di masyarakat perkebunan, yaitu; 1) Administratur perkebunan, 2)
pegawai staf, 3) pegawai non-staf, dan 4) buruh perkebunan. Keempat golongan
masyarakat perkebunan ini mendapatkan perlakuan berbeda dalam hal “reward
system”. 3
Administratur merupakan pemimpin tunggal dalam masyarakat ini.
Hubungan administratur dengan anggota masyarakat bersifat paternalistik dan
sekaligus otoriter, karena fungsi seorang administratur yang terutama adalah
menjamin terciptanya kesetiaan total dari anggota masyarakat perkebunan
terhadap keberhasilan usaha perkebunan. Corak lain yang cukup menonjol di
masyarakat perkebunan adalah hubungan antara pemerintah –baik pusat maupun
daerah–dengan pemilik modal perkebunan. Dalam konteks perekonomian negara,
perkebunan merupakan komoditi yang strategis dan sumber utama devisa negara.
Oleh karenanya pemerintah selalu memberikan fasilitas tertentu kepada pemilik
modal perkebunan. Fasilitas tersebut antara lain yang terpenting adalah fasilitas
untuk memperoleh tanah dan buruh yang murah serta perlindungan politis berupa
jaminan dari kemungkinan rongrongan pihak buruh. Sehingga wajar saja
kemudian pemerintah membuat kebijakan perburuhan yang lebih menguntungkan
pengusaha ketimbang buruh (Marwan 2007).
Peran penting dalam corak produksi perkebunan adalah adanya seorang
pemimpin kelompok atau regu yang disebut mandor. Mandor dalam hal ini tidak
hanya berfungsi sebagai pimpinan unit, tetapi juga sekaligus sebagai perantara ke
pihak atas. Kedudukan mandor ini amat strategis, karena mandor dapat berfungsi
ganda sebagai mata-mata atasan untuk memonitor perilaku para buruh perkebunan.
“Sejarah Gerakan Buruh Perkebunan Labuhan Batu” Sebuah Laporan Penelitian, Institut Kajian
untuk Gerakan Sosial, Medan, hal. 16.

3

12

Sistem masyarakat perkebunan yang semacam ini masih berkembang hingga
sekarang. Meskipun arus reformasi sudah berkembang di negeri ini, akan tetapi
tidak banyak perubahan sistem masyararakat yang terjadi di masyarakat
perkebunan. Sistem masyarakat perkebunan yang berkembang hingga sekarang
ini tentu memiliki model komunikasi politik dengan sistem masyarakat nonperkebunan atau masyarakat lainnya (Marwan 2007).
Konsep Nafkah (Livelihood)
Dharmawan (2007) mengemukakan bahwa dalam sosiologi nafkah,
pengertian strategi nafkah lebih mengarah pada pengertian livelihood strategy
(strategi penghidupan) daripada means of living strategy (strategi bertahan
hidup). Strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu
ataupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan
tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial dan sistem nilai
budaya yang berlaku.
Strategi penghidupan (livelihood strategies) pedesaan adalah: “strategi
penghidupan dan nafkah yang dibangun dan selalu menunjuk pada peran sektor
pertanian. Basis nafkah rumahtangga petani adalah segala aktivitas ekonomi
pertanian dan ekonomi non-pertanian yang terkait dengannya. Karakteristik
sistem nafkah penghidupan dan nafkah yang dicirikan oleh bekerjanya dua sektor
ekonomi, juga sangat ditentukan oleh sistem sosial budaya setempat. Terdapat tiga
elemen sosial terpenting yang sangat menentukan bentuk strategi nafkah yang
dibangun oleh petani kecil dan rumahtangganya yaitu: (1) infrastruktur sosial
(setting kelembagaan dan tatanan norma sosial yang berlaku) (2) struktur sosial
(setting lapisan sosial, struktur agraria, struktur demografi, pola hubungan
pemanfataan ekosistem lokal, pengetahuan lokal) (3) supra struktur sosial (setting
ideologi, etika moral ekonomi, dan sistem nilai yang berlaku) (Dharmawan 2007).
Ellis (1999) memaparkan aset dalam strategi nafkah meliputi: modal
manusia (pendidikan, keterampilan dan kesehatan anggota rumahtangga), modal
fisik (misalnya peralatan pertanian), modal sosial (jaringan sosial dan asosiasi
yang orang milik), modal keuangan dan pengganti (tabungan, kredit, ternak, dll),
dan modal alam (sumber daya alam).
Scoones (1998) dalam Turasih (2011), terdapat tiga klasifikasi strategi
nafkah (livelihood strategy) yang mungkin dilakukan oleh rumahtangga petani,
pertama rekayasa sumber nafkah pertanian, yang dilakukan dengan
memanfaatkan sektor pertanian secara efektif dan efisien baik melalui
penambahan input eksternal seperti teknologi dan tenaga kerja (intensifikasi),
maupun dengan memperluas lahan garapan (ekstensifikasi). Kedua, pola nafkah
ganda (diversifikasi), yang dilakukan dengan menerapkan keanekaragaman pola
nafkah dengan cara mencari pekerjaan lain selain pertanian untuk menambah
pendapatan, atau dengan mengerahkan tenaga kerja keluarga (ayah, ibu, dan anak)
untuk ikut bekerja selain pertanian dan memperoleh pendapatan. Ketiga, rekayasa
spasial (migrasi), merupakan usaha yang dilakukan dengan melakukan mobilitas
ke daerah lain di luar desanya, baik secara permanen maupun sirkuler untuk
memperoleh pendapatan.
Penelitian White (1973) yang dikutip Sajogyo (1990) dalam Widiyanto
(2010) menyatakan bahwa dalam kondisi lahan yang semakin sempit,
rumahtangga petani bertahan hidup dengan melakukan kegiatan nafkah di luar

13

pertanian. Beberapa tesis White adalah (1) terjadi (sebagian) proses “orang
terdorong ke luar (pertanian), imbalan di luar pertanian lebih rendah, orang
menjalaninya karena terpaksa; dan (2) (sebagian lain) proses “orang tertarik ke
dalam (nafkah bukan pertanian)”, di mana imbalan di luar pertanian lebih baik.
Ada kecenderungan rumahtangga di lapisan bawah (miskin) yang terkena proses
“terdorong keluar” sebagai suatu strategi bertahan hidup. Sajogyo (1998) dalam
Widiyanto (2010) menyebutnya sebagai pola nafkah ganda.
Rumusan White (1990) dan Sajogyo (1991) dalam Aristiyani (2003)
menunjukkan bahwa arti dari dan alasan stategi nafkah ganda antara lapisan
berbeda satu dan yang lain yaitu:
1. Lapisan atas: pola nafkah ganda merupakan strategi akumulasi
(accumulation strategy), di mana surplus pertanian mampu membesarkan
usaha luar pertanian dan sebaliknya;
2. Lapisan tengah: pola nafkah ganda merupakan strategi bertahan atau
konsolidasi (consolidation strategy), di mana sektor luar pertanian
dipertimbangkan sebagai potensi perkembangan ekonomi, dan;
3. Lapisan bawah: pola nafkah ganda merupakan strategi “utamakan
keselamatan” (survival strategy), di mana sektor luar pertanian merupakan
sumber nafkah penting untuk menutup kekurangan dari sektor pertanian.
Aristiyani (2003) juga menambahkan bahwa untuk optimalisasi tenaga kerja
dalam rumahtangga adalah dengan mengerahkan tenaga kerja laki-laki,
perempuan, dewasa atau anak-anak untuk melakukan kegiatan nafkah yang dapat
menambah penghasilan rumahtangga.

Kerangka Pemikiran
Kondisi struktur agraria di desa perkebunan milik negara yang erat dengan
kolonialisme menyebabkan masyarakat hidup dalam isolasi sistem perkebunan
yang segalanya diatur oleh pemerintah. Hal ini tentu mempengaruhi berbagai
aspek kehidupan bermasyarakat baik aspek ekonomi, sosial, maupun politik.
Masyarakat hidup di bawah bayang-bayang perkebunan yang melestarikan sistem
peninggalan penjajahan. Hampir seluruh sumber-sumber agraria yang ada di
kawasan perkebunan itu dikuasai dan diatur oleh Negara. Akibatnya, masyarakat
mengalami keterbatasan dalam akses terhadap lahan di desa perkebunan.
Keterbatasan akses masyarakat terhadap lahan ini berimbas pada variasi
penerapan strategi nafkah yang ditempuh oleh rumahtangga buruh perkebunan.
Strategi nafkah di desa perkebunan terdiri dari strategi rekayasa sumber nafkah
pertanian, diversifikasi nafkah, migrasi dan survival.
Terdapat tiga sumber nafkah di Desa Patengan yaitu sumber nafkah sektor
perkebunan, sektor pertanian, dan sektor non pertanian. Ketiga sumber nafkah
tersebut memberikan sumbangsih pada tingkat pendapatan rumahtangga buruh
perkebunan di Desa Patengan. Tingkat pendapatan yang diperoleh rumahtangga
buruh perkebunan menentukan kontribusi terhadap kemiskinan yang terjadi di
desa perkebunan melalui tingkat pendapatan per kapita per hari.

14







Karakteristik rumahtangga
buruh perkebunan:
Tingkat usia KK
Tingkat Pendidikan KK
Jumlah tanggungan
Lama bekerja di perkebunan
Status karyawan di
perkebunan

Akses terhadap
lahan

Sumber nafkah di Desa Perkebunan
Perkebunan

Pertanian

Non-Pertanian

Tingkat pendapatan

Kemiskinan






Strategi Nafkah
Rekayasa sumber nafkah
Pertanian
Diversifikasi nafkah
Migrasi
Survival

dianalisis secara dekriptif
Gambar 2 Logical Framework: Aspek-aspek yang menjadi sasaran penelitian
Kerangka pemikiran di atas dibuat berdasarkan penjelasan pada bagian latar
belakang dan perumusan masalah. Kerangka pemikiran ini merupakan landasan
atau dasar dari penelitian yang akan dilakukan. Melalui kerangka pemikiran ini
dimunculkan variabel-variabel penelitian yang akan mengarahkan fokus penelitian
dan analisis.

15

Hipotesis Penelitian
Berdasarkan dari kerangka pemikiran yang telah dibuat, maka hipotesis
yang dapat ditarik yaitu:
1. Sektor perkebunan sebagai sektor ekonomi modern tidak mampu
mengangkat buruh perkebunan dari kemiskinan.
Definisi Konseptual
Definisi konseptual untuk beberapa konsep yang digunakan adalah sebagai
berikut:
1. Rumahtangga buruh yang dimaksud dalam penelitian ini merujuk pada
pengertian dari Badan Pusat Statistik (1994) dalam sensus pertanian 1993
tentang rumahtangga petani yang sekurang-kurangnya satu anggota
rumahtangganya yang melakukan kegiatan bertani (dalam hal ini menjadi
buruh tani pada perkebunan). Rumahtangga buruh perkebunan adalah
rumahtangga yang sekurang-kurangnya satu anggota keluarganya bekerja
pada perkebunan.
2. Strategi nafkah dalam penelitian ini mengikuti pengertian dari Dharmawan
(2006) yaitu taktik dan aksi yang dibangun oleh individu maupun
kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap
memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem
nilai budaya yang berlaku.
Definisi Operasional
Definisi operasional untuk masing-masing variabel yang digunakan adalah
sebagai berikut:
1. Tingkat usia/umur adalah lama hidup responden yang bisa dihitung
berdasarkan tahun. Kategorisasi variabel ini berdasarkan rentang usia kerja
di perkebunan, yaitu:
a. Kategori usia rendah antara 18-30 tahun
b. Kategori usia sedang antara 31-43 tahun
c. Kategori usia tinggi umur >43 tahun
2. Tingkat pendidikan adalah pendidikan terakhir yang dialami oleh
responden dalam penelitian. Data diukur secara ordinal yang dibedakan
dalam tiga kategori, yaitu:
a. Kategori rendah tidak tamat SD, SD, dan sederajat
b. Kategori sedang menempuh pendidikan SLTP sederajat
c. Kategori tinggi menempuh SMA hingga perguruan tinggi
3. Jumlah tanggungan adalah jumlah jiwa yang ditanggung oleh suatu kepala
keluarga dalam rumahtangga pertanian (perkebunan) yang belum termasuk
angkatan kerja atau anggota keluarga yang belum dapat dilibatkan ke
dalam usaha pencarian nafkah. Jumlah tanggungan dikategorisasikan
berdasarkan rata-rata tanggungan masing-masing responden.
a. Kategori rendah 0-2 orang
b. Kategori sedang 3-4 orang
c. Kategori tinggi >4 orang

16

4. Lama bekerja di perkebunan adalah waktu bekerja di perkebunan yang
dialami oleh responden dalam penelitian. Data diukur secara ordinal yang
dibedakan dalam kategori, yaitu:
a. Kategori 1-10 tahun
b. Kategori 11-20 tahun
c. Kategori 21-30 tahun
d. Kategori 31-40 tahun
e. Kategori >40 tahun
5. Status karyawan di perkebunan adalah kategori pekerja yang ditetapkan
oleh perkebunan sesuai dengan aturan yang ditetapkan pemerintah dalam
mengelola Badan Usaha Milik Negara dalam hal ini berbentuk PT
Perkebunan Nusantara VIII. Kategori variabel ini dibedakan menjadi:
a. Kategori karyawan lepas
b. Kategori karyawan tetap
c. Kategori pensiun
6. Tingkat pendapatan sektor perkebunan adalah jumlah total uang yang
diterima dari PTPN VIII per bulan setelah dikurangi potongan-potongan
hutang atau pungutan oleh perkebunan kepada rumahhtangga baik dari
hasil memetik, merawat, mandor, atau pekerja pabrik. Pendapatan tersebut
kemudian diakumulasi dalam kurun waktu setahun terakhir.
7. Tingkat pendapatan sektor pertanian jumlah total uang yang diterima
rumahtangga dari hasil pertanian yang berupa padi, palawija, buah-buahan,
peternakan, perikanan, kayu-kayuan dalam kurun waktu setahun terakhir.
8. Tingkat pendapatan sektor non-pertanian adalah jumlah total uang yang
diterima rumahtangga dari hasil non-pertanian seperti dalam bidang jasa,
perdagangan, pegawai dan kiriman uang dari anggota rumahtangga yang
menjadi buruh migran di luar kota dalam kurun waktu setahun terakhir.
9. Tingkat pendapatan total per tahun adalah jumlah total uang yang diterima
rumahtangga buruh baik dari hasil perkebunan, pertanian, maupun nonpertanian dalam kurun waktu setahun terakhir. Kategori variabel ini
dibedakan berdasarkan sebaran pendapatan total responden per tahun,
yaitu:
a. Kategori rendah < Rp7 527 893, 2
b. Kategori sedang Rp7 527 893,2 < x < Rp19 431 307
c. Kategori tinggi > Rp19 431 307
10. Rata-rata pendapatan per kapita rumahtangga buruh per hari pada setiap
kategori menurut lapisan pendapatan berdasarkan sumber pendapatan yang
diperoleh di ukur menggunakan standar kemiskinan World Bank yang
mengasumsikan bahwa pendapatan yang diperoleh indvidu di bawah $2
per hari

17

PENDEKATAN LAPANG
Metode penelitian ini menggunakan penelitian survei. Penelitian survei
merupakan penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi responden dan
menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data pokok (Singarimbun dan
Efendi 1989). Pendekatan penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif yang
didukung pendekat