Dalam novel KEI, kehidupan masyarakat Kei yang digambarkan pengarangnya begitu kental dengan adat istiadatnya yang ada. Masyarakat Kei selalu memiliki pandangan tersendiri
tentang hidup dan kehidupan tersebut. Walaupun masyarakat Kei diikat oleh berbagai perbedaan yang ada seperti Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan, namun mereka tetap dapat hidup
berdampingan dengan rukun. Hal ini tidak terlepas dari ajaran-ajaran tentang kebijakan hidup yang diwariskan oleh para leluhurnya kepada mereka. Dalam menjalani kehidupannya, ajaran-
ajaran para leluhur tersebut menjadi acuan bagi masyarakat Kei. Masyarakat Kei selalu mengingat dan menghargai sejarah budayanya. Salah satunya seperti yang diterdapat dalam
kutipan novel KEI di bawah ini. Orang Kei punya falsafah hidup; kita adalah telur-telur yang berasal dari
seekor ikan dan seekor burung yang sama. Orang Kei punya pandangan yang kuat tentang rasa persaudaraan mereka. Rasa persaudaraan itu telah
terikat adat dan hukum adat sejak zaman sejarah, dan adat selalu di atas segala-galanya daripada agama yang datang belakangan, KEI: 118.
Saat kerusuhan sedang terjadi di pulau Kei, sebagian dari masyarakat Kei selalu mengingatkan akan petuah-petuah leluhur mereka. Petuah yang mengajarkan tentang
persaudaraan dan kasih terhadap sesama. Petuah-petuah ini jugalah nantinya yang menjadi bagian terpenting dalam membentuk karakter dan pandangan hidup yang baik bagi masyarakat
Kei di dalam bersosialisasi terhadap sesamanya, sehingga masyarakat Kei dapat hidup rukun dalam keberagamannya. Ada beberapa adat budaya yang menjadi pedoman hidup bagi warga
Kei. Adat budaya ini menjadi akar dari kerukunan yang tercipta dalam kehidupan masyarakat Kei.
4.2.6.1 Adat Ken Sa Faak
Kata Ken sa faak, diambil dari bahasa Kei yang berarti kita semua salah. Ken sa faak merupakan adat Kei yang melambangkan ikatan persaudaraan antar masyarakat Kei. Dalam
Universitas Sumatera Utara
praktiknya, adat ini dapat mendamaikan orang-orang Kei yang sedang bertikai. Contohnya seperti konflik yang sedang terjadi di Kei. Konflik di Kepulauan Kei meletus di Tual pada akhir
Maret 1999. Kerusuhan tersebut berlangsung dengan cepat dan sudah banyak memakan korban jiwa. Akan tetapi, berkat adat ken sa faak dan kearifan lokal lainnya hukum adat, perang
saudara di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara, dapat diselesaikan dengan cara musyawarah. Rakyat Kei mampu berdamai tanpa bantuan pemerintah, aparat keamanan, atau lembaga-
lembaga hak asasi manusia Internasional. Dalam musyawarah yang dilakukan, pihak-pihak yang bertikai dikumpulkan. Setelah dilakukan pendekatan adat tersebut, pihak-pihak yang bertikai
secara sadar mengakui kebenaran dan kesalahannya masing-masing. Dalam novel KEI, pengarang menggambarkan bagaimana masyarakat Kei melakukan
upacara adat ken sa faak. Upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Kei bertujuan untuk membersihkan atau menyucikan segala bentuk pelanggaran yang terjadi. Dalam upacara tersebut
akan dilakukan semacam pengikraran perdamaian terhadap sesama masnyarakatnya yang bertikai. Hal tersebut digambarkan dalam kutipan berikut.
Perdamaian ditempuh dengan konsep ken sa faak. Mula-mula usaha yang ditempuh keduanya adalah fnevh nuh- pembersihan kampung secara adat
dari pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan kedua kampung yang bertikai. Setelah itu barulah dilakukan sumpah perdamaian abadi, KEI:
130.
Hukum adat ken sa faak menjadi salah satu hukum adat yang di tempuh untuk dapat meredam kerusuhan yang semakin menjadi-jadi. Saat kerusuhan sedang terjadi, masyarakat Kei
sangat berharap banyak dengan hukum adat mereka untuk dapat meredakan kerusuhan tersebut. Di perjalanan perahu motor mereka berpapasan pula dengan perahu motor
milik tim relawan kemanusiaan yang menuju ke Pulau Langgur. Meredam isu yang terus berembus sehingga rusuh ini makin menjalar bagai wabah
kolera.
Universitas Sumatera Utara
“Saya dengar orang-orang TKR dan perangkat adat, akan menghentikan kerusuhan ini dengan kekuatan ken sa faak,” kata Mery memecahkan
kebekuan dan ketegangan yang berlangsung, KEI: 128-129.
4.2.6.2 Adat Vehe Belan