Pertemuan Dialog Segitiga Tripartite Talks

A. Pertemuan Dialog Segitiga Tripartite Talks

Setelah Portugal membawa permasalahan Timor Timur ke PBB, dan berdasarkan Resolusi PBB 3730 diadakanlah beberapa pertemuan Tripartite Talks. Tripartite Talks adalah pembicaraan antara pihak Portugal dengan Pihak Indonesia yang diprakarsai oleh PBB. Dalam Tripartite Talks atau biasa disebut dialog segitiga ini, pihak Indonesia dan Pihak Portugal dipertemukan untuk bersama-sama mencari jalan tengah dari permasalahan yang ada di Timor Timur. Dialog segitiga ini terjadi sebanyak delapan kali, dimulai dari pertemuan pertama pada bulan Desember 1992 yang berlangsung di New York, hinggga pertemuan terakhir pada Juni 1996 di Jenewa. 1 A.1. Pertemuan Dialog Segitiga Triparite Talks di New York, USA Dialog segitiga Tripartite Talks pertama kali diselenggarakan di markas besar PBB, New York pada tanggal 17 Desember 1992. Pertemuan tersebut berlangsung cukup panjang, dan dianggap belum menghasilkan keputusan yang jelas, karena pihak Indonesia maupun pihak Portugal belum dapat menyatukan pemikiran dan mencari penyelesaian yang tepat terhadap masalah Timor Timur. 2 Pihak Indonesia yang pada saat itu diwakili oleh Menteri Luar Negeri Ali Alatas menegaskan bahwa sikap Indonesia terhadap Timor Timur tidak akan berubah, dan proses dekolonialisasi sudah berakhir sejak 30 November 1975, ketika mayoritas rakyat Timor Timur memilih untuk bergabung dengan Indonesia secara 1 Djohari, O, Diplomasi RI Dalam Upaya Penyelesaian Masalah Timor Timor Secara Tuntas, Adil, Menyeluruh, Dan Diterima Internasional : Dialog Segitiga Triparite Talks. Jakarta : Universitas Indonesia, 1999. hal.71. 2 Harian Suara Pembaruan, Edisi 10 November 1993. sukarela. Namun, pihak Portugal menginginkan agar proses dekolonialisasi dilakukan melalui referendum. Setelah melalui perdebatan yang panjang tersebut, pihak Indonesia dan Portugal pun sepakat untuk kembali melakukan dialog segitiga dalam upaya mencari penyelesaian masalah Timor Timur, yang akan diselenggarakan di Roma pada tanggal 23 April 1993. Dialog tersebut akan diawali dengan pertemuan persiapan kedua belah pihak di markas besar PBB, New York. Selain itu pihak Indonesia maupun pihak Portugal dalam pertemuan ini sepakat untuk melakukan membangun rasa saling percaya antara pihak Indonesia dan Portugal agar tercipta suasana baik dalam pemecahan masalah Timor Timur tersebut. Sesuai dengan kesepakatan yang telah diperoleh sebelumnya, maka pada tanggal 21 April 1993, kembali diadakan Tripartite Talks atau dialog segitiga antara pihak Indonesia, Portugal dan PBB sebagai penengah. Dalam pertemuan kedua ini belum sampai pada tahapan identifikasi permasalahan di Timor Timur, karena kedua belah pihak sepakat untuk tidak membahas permasalahan- permasalahan secara rinci. 3 Pertemuan kedua ini terbagi menjadi tiga tahapan. Tahap pertama adalah pertemuan Sekjen PBB dengan Menteri Luar Negeri Ali Alatas, tahap kedua adalah pertemuan Sekjen PBB dengan Menteri Luar Negeri Portugal, dan tahapan terakhir adalah pertemuan antara pihak Indonesia dengan pihak Portugal dibawah pengawasan Sekjen PBB. Karena pada dialog kedua ini masih tidak ditemukan solusi dari permasalahan di Timor Timur, maka disepakati untuk diadakan 3 Harian Suara Pembaruan, Edisi 10 Mei 1993. kembali dialog segitiga pada 17 September di markas besar PBB, NewYork. Kemudian sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya, pada tanggal 17 September kembali diadakan dialog segitiga di markas besar PBB, New York. Dialog segitiga ini dihadiri oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas, Menteri Luar Negeri Portugal Duraos Baroso, dan Sekertaris Jendral PBB yaitu Boutro-Boutros Ghali. Dari pertemuan ini disepakati bahwa pihak Indonesia maupun pihak Portugal harus menciptakan suasana yang saling menguntungkan dan tidak konfrontatif, tercapainya kemajuan bagi penyelesaian masalah yang menyeluruh. Lalu kedua Menteri Luar Negeri pun sepakat untuk meningkatkan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dalam aspek luas, mencakup hak sipil, ekonomi, sosial, dan budaya serta kebebasan yang fundamental di Timor Timur. Selain itu dialog ini juga menggaris bawahi niat dari pihak PBB untuk menjalankan misi- misi yang dianggap bermanfaat untuk mencari titik temu sekaligus jalan keluar guna pemecahan masalah di Timor Timur. Kemudian akan diadakan kembali pertemuan serupa pada tanggal 6 Mei 1994. A.2. Pertemuan Dialog Segitiga Tripartite Talks di Jenewa, Swiss Sesuai dengan kesepakatan pada pertemuan dialog segitiga sebelumnya di New York, maka Pada tanggal 6 Mei 1994 kembali diadakan dialog segitiga di Jenewa. Pada dialog kali ini disepakati bahwa para tahanan politik Timor Timur akan mendapat perlakuan manusiawi dan mengenai pembebasan tahanan-tahanan tersebut. Selain itu, kedua belah pihak menyetujui adanya penyidikan kembali oleh pihak Indonesia terhadap korban-korban pada insiden Dili 1991, kemudian kedua belah pihak yaitu Indonesia dan Portugal meminta kepada Sekjen PBB untuk mengidentifikasi permasalahan-permasalahan di Timor Timur untuk dibahas pada dialog segitiga berikutnya, yang akan diselenggarakan pada 9 Januari 1995. Kemudian pada tanggal 9 Januari 1995, kembali diadakan dialog Segitiga, di Jenewa, Swiss. Pembicaraan ini lebih memusatkan pada usulan dari Sekjen PBB untuk memberikan kemudahan dan menawarkan pengaturan-pengaturan yang harus dilakukan bagi terselenggaranya dialog antara rakyat Timor Timur, baik yang berada didalam ataupun diluar wilayah Timor Timur. Tujuan diselenggarakannya dialog tersebut adalah sebagai forum bagi kelanjutan pertukaran pandangan secara bebas dan informal yang mungkin berdampak positif bagi Timor Timur. 4 Dialog yang diselenggarakan tersebut tidak akan membahas status politik Timor Timur maupun menggantikan perundingan tingkat menteri dibawah pengawasan PBB. Lalu pada pertemuan ini pula kedua menteri sepakat untuk meningkatkan dialog kepada warga Timor Timur mengenai Hak Asasi Manusia, khususnya sebagaimana dinyatakan Sekjen PBB dan disahkan secara consensus sebagai keputusan dari UNHCR mengenai akses ke Timor Timur, pembebasan 4 Media Indonesia, dala pertemuan Tripartite Talks di Jenewa , Swiss Edisi 10 Mei 1999. dini penduduk Timor Timur yang dipenjara, serta penghitungan ulang korban yang tewas maupun hilang pada insiden Dili 1991 oleh pihak Indonesia. 5 Kemudian pada tanggal tanggal 8 Juli 1995, kembali diadakan dialog segitiga babak keenam yang diselenggarakan di Jenewa. Untuk pertama kalinya, dialog ini membahas mengenai substansi masalah, setelah pertemuan sebelumnya yang hanya membahas mengenai pembangunan rasa saling percaya antara kedua belah pihak. Pada perundingan ini diperoleh kesepakatan-kesepakatan yaitu: 6 1. Kedua Menlu membahas mengenai perkembangan di Timor Timur sejak diadakannya dialog kelima pada 9 Januari berakhir, termasuk mengenai hak-hak asasi manusia seperti yang telah disetujui pada sidang ke -51 UNHCR. 2. Kedua Menlu menyambut baik penyelenggaraan pertemuan Informal antara orang-orang Timor Timur AIETD di Borgh schlaining Schloss, Austria dari tanggal 2 hingga 5 Juni 1995, yang terlaksana atas prakarsa dari Sekjen PBB. 3. Kedua Menlu menyambut baik usulan Sekjen PBB mengenai perlunya diadakan kembali pertemuan AIETD. 4. Kedua Menlu telah memulai membahas mengenai masalah Substansif yang diidentifikasikan oleh Sekjen PBB, antara lain mengenai landasan penyelesaian permasalahan di Timor Timur. 5 www.un.org . UNHCR laporan korban hilang dan tewas pada insiden Dili 1991 . Diakses pada tanggal 5 Mei 2016 pukul 20.10 wib. 6 Djohari, O. 1999. Op.cit,. hal.78. 5. Kedua Menteri Luar negeri sepakat mengadakan dialog segitiga babak berikutnya yang akan diselenggarakan pada 16 Januari 1996 di London. Sesuai dengan keputusan yang disepakati pada pertemuan sebelumnya, pada tanggal 16 Januari 1995 diadakan kembali dialog segitiga. Kali ini pihak Indonesia menyatakan ada tiga masalah besar yang harus dibahas, yakni mengenai kerangka kerja penyelesaian masalah Timor Timur yang dapat diterima oleh semua pihak, pemeliharaan dan pengembangan identitas kultural rakyat Timor Timur, serta kandungan kandungan hubungan bilateral Indonesia dan Portugal. Tidak seperti keenam pertemuan sebelumnya, pertemuan kali ini tidak lagi membahas mengenai upaya membangun sikap saling percaya antara kedua Negara, melainkan dijadikan suatu forum untuk membahas masalah-masalah substansif yang berpengaruh terhadap persoalan Timor Timur. Selain itu, yang terpenting dari pertemuan ketujuh ini adalah kondisi-kondisi yang berbeda. Diataranya adalah keterlibatan pemerintah sosialis yang baru saja terpilih pada bulan Oktober 1995, dibawah pimpinan perdana menteri Antonio Gutteres. Disamping itu, yang membuat kondisinya berbeda adalah karena pembicaraan ini dilakukan setelah pertemuan „historis‟ antara Presiden Soeharto dengan Abilio Araujo, Presiden Fretilin, yaitu sebuah pertemuan yang menunjukkan bahwa beberapa pemimpin anti integrasi sudah mulai bersedia untuk melakukan rekonsiliasi, lalu karena pembicaraan-pembicaraan tersebut dilakukan setelah kembalinya empat “Pahlawan Viqueque” dan ini diharapkan dapat menurunkan posisi Portugal. Lalu karena Lisabon harus memperhitungkan masyarakat Eropa ME dalam perhitungannya, karena negara-negara kunci di Eropa sangat menginginkan memiliki hubungan baik dengan Indonesia dan ASEAN secara keseluruhan dan adanya peristiwa „Lompat Pagar‟ yang merugikan Indonesia. 7 Dari kelima alasan tersebut, alasan yang dianggap paling penting adalah adanya perubahan pemerintahan di Lisabon menjadi pemerintahan Sosialis. Seperti yang diungkapkan oleh Ali Alatas bahwa : 8 “Saya Kira, inilah untuk pertama kalinya dalam sejarah Portugal sejak Revolusi bunga pada tahun 1974, bahwa baik kepresidenan maupun pemerintahan berada dalam satu tangan, yakni kelompok sosialis. Dan ini bisa menjurus ke dua arah: hal itu bisa mengarah pada semakin kerasnya pendangan Portugal. Lalu yang lainnya hal itu bisa menyebabkan yang sebaliknya, karena mereka menguasai kedua spectrum politik. Semuanya tergantung pada keputusan yang mereka ambil ”. Sebelum dialog dimulai, menteri luar negeri Portugal menyatakan bahwa ia akan menekankan prisip untuk menentukan nasib sendiri bagi rakyat Timor Timur, dan mengusulkan agar lingkup mereka yang terlibat diperluas, sehingga mencakup rakyat Timor Timur sendiri. Dialog segitiga ketujuh ini tidak menemukan jalan terang dalam penyelesaian masalah Timor Timur, namun dicapai suatu kesepakatan bahwa akan diadakan kembali dialog serupa pada tanggal 29 Juni 1996 di Jenewa. Dalam pertemuan tersebut juga disepakati untuk 7 Djohari, O. 1999. Ibid, hal.79. 8 Bilveer Singh, East Timor, Indonesia and the World: Myths and Realities. Jakarta : Institute for Policy Studies, 1998 hal.441. mengadakan dialog rakyat Timor Timur di Austria pada tanggal 19 hingga 22 Maret 1996. Selanjutnya dalam dialog segitiga yang berlangsung tanggal 29 Juni 1996 di Jenewa, pembicaraan-pembicaraan lebih menuntut Portugal untuk menunjukan kesungguhan terhadap penyelesaian permasalahan di Timor Timur. Sebagaimana diungkapkan oleh menteri luar negeri Ali Alatas dalam Odjo, 1999: 84 “Saya berharap dalam pertemuan kedelapan ini Portugal akan menunjukkan bahwa mereka sungguh-sungguh dalam menemukan penyelesaian yang menyeluruh dan dapat diterima oleh semua pihak ”. Pembicaraan dalam dialog kedelapan ini, berakhir tanpa adanya kesimpulan sama sekali, dimana dari kedua belah pihak mempunyai pendapat yang berbeda dan saling bertolak belakang. Meskipun demikian, kedua menteri menyambut baik keputusan dari dialog antara tokoh-tokoh rakyat Timor Timur di Austria yang sepakat menjadwalkan kembali pertemuan mereka berikutnya yang akan diadakan di New York pada tanggal 21 Desember 1996. Melihat bahwa pertemuan dalam dialog kedelapan ini lebih banyak ditandai oleh ketidaksepakatan. Meskipun seringkali dinyatakan telah menemui beberapa titik temu yang sudah dicapai oleh kedua belah pihak, apa yang diperhatikan oleh pertemuan di Jenewa itu sebenarnya merupakan jurang yang semakin melebar antara kedua belah pihak.

B. Pertemuan AIETD All Inclusive Intra East Timorese Dialog