77.6 Ekonomi: mengurangi produktivitas, disebabkan karena rendahnya

Tabel 2 Rata-rata konsumsi pangan tingkat rumah tangga tahun 2004-2005 N o Kelompok Pangan Th. 2004 Th. 2005 Gram Energi AKG Skor PPH Gram Energi AKG Skor PPH 1 Padi-padian 338.1 1296 64.8 25.0 342.4 1305 65.3 25.0 2 Umbi-umbian 83.7 103 5.2 2.5 79.0 98 4.9 2.5 3 Pangan hewani 72.8 108 5.4 10.8 77.8 113 5.7 11.3 4 Minyak dan lemak 20.6 182.0 9.1 4.6 21.6 192 9.6 4.8 5 Buahbiji berminyak 10.1 55.0 2.8 1.0 10.9 59 3.0 1.0 6 Kacang-kacangan 20.6 57 2.9 5.7 23.6 64 3.2 6.4 7 Gula 28.1 97 4.9 2.4 26.8 98 4.9 2.4 8 Sayur dan buah 201.7 88 4.4 22.0 226.7 97 4.9 24.2 9 Lain-lain 36.9 32 1.6 0.0 39.2 34 1.7 0.0 Total 2018 100.9 2060 103.0 Skor PPH

74.0 77.6

Sumber : Anonim 2002 Penilaian konsumsi dapat dilakukan pada tingkat individu, keluarga maupun masyarakat. Beberapa metode yang dapat digunakan pada survei konsumsi pangan di tingkat rumah tangga antara lain : metode inventaris inventory method, metode pendaftaran food list-recall method, metode frekuensi pangan food frequency method, food account method dan food record method. Terdapat dua kelompok metode yang dapat digunakan untuk mengukur konsumsi pangan individu, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Survei konsumsi pada tingkat individu dapat menggunakan metode-metode berikut ini: penimbangan weighed foodmethod, metode mengingat-ingat recall method, riwayat makan dietary history, frekuensi pangan food frequency questionnaire, estimated food record dan metode kombinasi. Setiap metode memiliki kelemahan dan kelebihan, sehingga dalam memilih metode yang akan digunakan diperhatikan tujuan dilakukannya penilaian Gibson 2005. Metode Mengingat-ingat Recall Method. Pada metode ini dicatat mengenai jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi pada waktu yang lalu biasanya recall 24 jam secara detail termasuk metode memasak dan merk makanan yang dikonsumsi. Pengukuran konsumsi pangan diawali dengan menanyakan jumlah pangan dalam ukuran rumah tangga, setelah itu baru dikonversikan ke dalam satuan berat. Metode ini dapat dilakukan pada anak yang berusia diatas delapan tahun, orang dewasa kecuali untuk orang yang bermasalah dengan ingatan. Anak yang berusia 4-8 tahun dapat di recall dapat di wawancara dengan bantuan pengasuh atau ibunya Gibson 2005. Metode recall ini murah, dan tidak memakan waktu banyak. Kekurangan metode adalah data yang dihasilkan kurang akurat karena mengandalkan keterbatasan daya ingat sesorang dan tergantung dari keahlian tenaga pencatatan dalam mengkonversikan URT kedalam satuan berat serta adanya variasi URT antar daerah, dan ada variasi interpretasi besarnya ukuran besar, sedang, kecil, dll antar responden Gibson 2005. Metode recall umumnya digunakan untuk survei konsumsi tingkat individu. Dalam metode ini, responden diminta untuk mengingat semua makanan yang telah dimakan, biasanya makanan sehari atau 24 jam yang lalu. Responden diminta untuk mengingat jenis masakan yang dimakan beserta jenis pangan penyusunnya. Jumlah makanan yang dicatat biasanya dalam bentuk masak kecuali untuk makanan-makanan tertentu yang biasa dikonsumsi dalam bentuk segar dan mentah dalam ukuran rumah tangga URT misalnya gelas, mangkuk, sendok makan dsb. Untuk membantu mengperkirakan jumlah makanan yang dimakan, deskripsikan dan identifikasi secara tepat setiap jenis pangan dengan menggunakan ukuran porsi, food models, atau foto pangan. Penggaris dapat digunakan untuk mengestimasi ukuran pangan. Kuesioner yang terstruktur digunakan sebagai pemandu pengisian data. Metode recall dapat diulang pada waktu lain untuk mengetahui rata-rata intik pangan individu pada waktu yang lama Gibson 2005. Frekuensi Pangan Food Frequency. Penggunanan metode frekuensi pangan bertujuan untuk memperoleh data konsumsi pangan secara kualitatif dan informasi deskriptif tentang pola konsumsi. Metode ini umumnya tidak digunakan untuk memperoleh data kuantitatif pangan ataupun intik konsumsi zat gizi. Metode frekuensi pangan dapat juga digunakan untuk menilai konsumsi pangan secara semikuantitatif dengan memasukkan ukuran porsi makanan. Hal ini tergantung dari tujuan studi, apakah hanya ingin menggali frekuensi penggunaan pangan saja atau juga sekaligus dengan konsumsi zat gizinya. Dengan metode ini, kita dapat menilai frekuensi penggunaan pangan atau kelompok pangan tertentu misalnya : sumber lemak, sumber protein, sumber vitamin A, dsb selama kurun waktu yang spesifik misalnya : per hari, minggu, bulan, tahun dan sekaligus mengperkirakan konsumsi zat gizinya. Kuesioner mempunyai dua komponen utama yaitu daftar pangan dan frekuensi penggunaan pangan Gibson 2005. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Banyak hal yang mempengaruhi konsumsi pangan individu. Faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan penduduk suatu daerah adalah faktor ekonomi, harga, sosio budaya dan religi. Di tingkat rumah tangga, kesehatan sangat berperan terhadap konsumsi pangan anggotanya. Keadaan fisiologis seseorang juga sangat mempengaruhi jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya. Ibu hamil, ibu menyusui, serta bayi dan anak-anak memerlukan makanan dengan jumlah dan jenis yang lebih banyak, karena mereka membutuhkan zat gizi yang cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan. Pendapatan. Menurut Hardinsyah, Setiawan dan Baliwati 1987 salah satu faktor yang dapat mempengaruhi jumlah atau jenis pangan yang dikonsumsi keluarga adalah status ekonomi. Salah satu ukuran status ekonomi adalah tingkat pendapatan total yang diterima oleh keluarga, yang dapat dicerminkan dari pengeluaran total keluarga. Suhardjo 1989 menyatakan bahwa meningkatnya pendapatan seseorang akan mempengaruhi pola konsumsi pangan seseorang, akan tetapi alokasi pendapatan yang lebih besar untuk pangan tidak menjamin keberagaman terjadinya perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Kadang-kadang perubahan utama yang terjadi di dalam kebiasaan makan adalah pangan yang dimakan lebih mahal. Menurut Soekirman 2000 penurunan pendapatan berhubungan langsung dengan penurunan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan pada jangka waktu yang lama akan menyebabkan gizi kurang. Hal ini dapat dijelaskan dengan hukum Engel yang menyatakan bahwa: “Pada saat terjadinya peningkatan pendapatan, konsumen akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan porsi yang semakin kecil. Sebaliknya bila pendapatan menurun, porsi yang dibelanjakan untuk pangan semakin meningkat”. Peningkatan pendapatan akan meningkatkan perhatian terhadap kandungan gizi makanan yang akan dikonsumsi sehingga kualitas konsumsi pangan meningkat. Pada tingkat pendapatan yang rendah, konsumsi diutamakan pada pangan sumber energi terutama padi-padian Soekirman 2000. Menurut Hardinsyah et al 2002 terdapat kecenderungan dengan peningkatan pendapatan seseorang maka jenis pangan yang dikonsumsi akan semakin beragam. Namun kadang-kadang peningkatan pendapatan tidak meningkatkan keragaman jenis pangan tetapi pangan yang dibeli harganya lebih mahal. Di Indonesia terdapat kecenderungan proporsi pengeluaran untuk pangan daging, telur, susu, buah, minyak dan lemak pada penduduk lapisan atas lebih tinggi jika dibanding dengan penduduk lapisan bawah. Kerawanan pangan biasa terjadi pada keluarga miskin. Pada tahun 1999, 10.9 dari seluruh keluarga dilaporkan rawan pangan. Persentase keluarga rawan pangan yang mendapat kupon makanan dan bantuan gizi lebih tinggi dibanding dengan keluarga yang tahan pangan, hal ini mengindikasikan kerawanan gizi pada keluarga. Keluarga yang hidup dibawah garis kemiskinan biasanya tidak memiliki simpanan untuk bersandar, hanya memiliki sedikit atau tidak sama sekali kebebasan uang untuk dibelanjakan ketika pendapatan menurun karena terjadi sesuatu, seperti kenaikan harga atau pengeluaran untuk bahan bakar atau yang lebih buruk lagi kehilangan pendapatan Casey et al 2004. Harga. Harga adalah nilai ekonomi yang diberikan terhadap suatu barang, baik pangan maupun nonpangan. Pangan yang bersifat elastis, sangat responsif terhadap harga, peningkatan harga pangan tersebut akan menyebabkan penurunan konsumsinya. Contoh dari pangan yang elastis adalah pangan yang dianggap mewah seperti susu dan daging. Peningkatan harga akan menurunkan daya beli sehingga konsumsi pangan menjadi menurun. pada kondisi lain dimana daya beli menurun akan tetapi diikuti dengan perubahan pangan yang bersifat substitusi, maka komposisi bahan pangan yang dibeli akan tetap dipertahankan. Perubahan harga nonpangan juga dapat mempengaruhi konsumsi pangan. Penurunan harga barang nonpangan ada kecenderungan terjadinya penurunan konsumsi pangan. Sebaliknya apabila harga nonpangan meningkat maka konsumsi bahan pangan juga meningkat Hardinsyah et al 2002. Tingkat ketahanan rumah tangga akan terjamin atau terancam tergantung pada harga pangan. Pada berbagai tingkat pendapatan, konsumsi pangan akan lebih tinggi pada harga yang rendah dan akan lebih rendah pada harga yang tinggi. Hal ini didasarkan pada hukum Bennet yang menyatakan bahwa peningkatan pendapatan akan mengakibatkan individu cenderung meningkatkan kualitas konsumsinya dengan harga yang lebih mahal Soekirman 2000. Perubahan harga yang nyata terjadi di Indonesia saat krisis ekonomi tahun 1997. Krisis ekonomi telah menyebabkan ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga menjadi minim. Pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari untuk seluruh anggota keluarga sulit dijangkau, terutama pada keluarga yang hidupnya pas-pasan. Dalam keadaan seperti ini diperkirakan terjadi perubahan pola makan, dimana pada sebelum krisis ekonomi lebih diutamakan makanan yang beragam dan lebih mahal agar dapat memenuhi kebutuhan gizi untuk menjamin tumbuh kembang dan kesehatan, tetapi pada saat krisis karena keterbatasan penghasilan lebih ditujukan untuk mengisi perut agar dapat bertahan hidup. Pada saat krisis ekonomi 1999, terjadi penurunan frekuensi konsumsi keluarga terhadap daging dibandingkan dengan sebelum krisis 1993l994. Sebaliknya terjadi kenaikkan frekuensi konsumsi ikan basah, ikan keringasin, dan telor Husaini 2002. Pengetahuan Gizi. Harper, Deaton dan Driskel 1986 menyatakan bahwa kemiskinan dan kekurangan persediaan pangan yang bergizi merupakan faktor penting dalam masalah kurang gizi, penyebab lain yang penting dari gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk menerapkan informasi tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari. Tingkat pengetahuan gizi ibu berhubungan dengan tingkat pendidikan formal ibu. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal ibu maka wawasan berfikirnya akan semakin luas sehingga informasi gizi yang didapat juga akan semakin banyak Suhardjo 1989. Orang yang mempunyai pendidikan dan pengetahuan yang tinggi cenderung untuk memilih bahan pangan lebih baik dari mereka yang berpendidikan rendah Enoch 1980, diacu dalam Rejeki 2000. Keterbatasan informasi dan tingkat pengetahuan gizi seseorang dapat menyebabkan tujuan akhir dalam membeli dan mengkonsumsi pangan berubah menjadi asal kenyang Hardinsyah 1985, diacu dalam Rejeki 2000. Pengetahuan gizi mempengaruhi seseorang dalam memilih makanan yang akan dikonsumsi. Pengetahuan gizi juga dianggap sebagai sesuatu yang harus dimiliki seseorang untuk menunjang kesehatannya. Harper, Deaton dan Driskel 1986 menyatakan alasan pentingnya pengetahuan gizi adalah: 1. Status gizi merupakan sesuatu yang penting bagi kesehatan dan kesejahteraan, 2. Status gizi baik mencerminkan makanan yang dikonsumsi mencukupi kebutuhan gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan yang optimal, pemeliharaan tubuh dan energi, 3. Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang diperlukan dalam pemilihan makanan yang bergizi. Status Gizi Definisi dan Pengukuran Status Gizi Status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama. Status gizi merupakan suatu bagian penting dari status kesehatan seseorang Harper, Deaton Diskel 1986. Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu: antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. Secara umum antropometri adalah pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropomentri digunakan untuk mengetahui ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi Supriasa, Bakri Fajar 2001. Status gizi seseorang dapat ditentukan melalui beberapa cara, yaitu: 1. Mengukur tinggi badan dan berat badan, lalu membandingkannya dengan tabel standar, 2. Menghitung Indeks Massa Tubuh BMI, Body Mass Index, yaitu berat badan dalam kilogram dibagi dengan tinggi badan dalam meter. 3. Mengukur ketebalan lipatan kulit. Lipatan kulit di lengan atas sebelah belakang lipatan trisep ditarik menjauhi lengan, sehingga lapisan lemak dibawah kulitnya dapat diukur, biasanya dengan menggunakan jangka lengkung kaliper. Lemak dibawah kulit banyaknya adalah lima puluh persen dari lemak tubuh. Lipatan lemak normal adalah sekitar 1,25 cm pada laki-laki dan sekitar 2,5 cm pada wanita. 4. Status gizi juga bisa diperoleh dengan mengukur lingkar lengan atas untuk memperkirakan jumlah otot rangka dalam tubuh Lean Body Mass, massa tubuh yang tidak berlemak Anonim 2006. Indeks antropometri yang sering digunakan adalah berat badan menurut umur BBU, tinggi badan menurut umur TBU dan berat badan menurut tinggi badan BBTB. Indeks BBU adalah pengukuran total berta badan termasuk air, lemak, tulang dan otot. Diantara indeks antropometri yang disebut diatas, indeks BBU adalah indeks yang paling sering digunakan dan dianjurkan juga menggunakan indeks TBU dan BBTB untuk membedakan jenis kekurangan gizi yang terjadi apakan sifatnya kronis atau akut. Keadaan gizi akut adalah keadaan kurang gizi yang terjadi pada masa sekarang sedangkan keadaan gizi kronis berhubungan dengan masa lalu Supriasa, Bakri Fajar 2001. Tahun 1978, WHO lebih menganjurkan menggunakan indeks BBTB karena biasanya faktor umur sulit untuk didapatkan karena masalah pencatatan kelahiran sering terjadi. Indeks BBTB hanya dapat menggambarkan keadaan status gizi masa sekarang dan tidak dapat menggambarkan riwayat keadaan gizi seseorang Supriasa, Bakri Fajar 2001. Status gizi ibu diukur dengan menggunakan Lingkar Lengan Atas LILA dan Indeks Massa Tubuh IMT. Batasan nilai LILA adalah dibawah nilai 23.5 mengindikasikan resiko Kurang Energi Kronis KEK, dan nilai IMT kurang dari 18.5 digunakan untuk mengindikasikan resiko KEK Atmarita 2005. Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Kecukupan gizi dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktivitas, berat dan tinggi badan, genetika, serta keadaan hamil dan menyusukan. kecukupan gizi yang dianjurkan agak berbeda dengan kebutuhan gizi requirement. Yang terakhir ini lebih menggambarkan banyaknya zat gizi minimal yang diperlukan oleh masing-masing individu, jadi ada yang tinggi dan ada pula yang rendah, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain faktor genetika Karyadi Muhilal 1985. Dalam penghitungan kecukupan gizi yang dianjurkan, pada umumnya sudah diperhitungkan faktor variasi kebutuhan individual, sehingga angka kecukupan gizi yang dianjurkan setingkat dengan kebutuhan rata-rata ditambah dua kali simpangan baku standar deviasi. Dengan demikian kecukupan yang dianjurkan sudah mencakup lebih dari 97.5 populasi Karyadi Muhilal 1985. Tabel 3 Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan AKG 2004 Umur BB kg TB cm Energi kkal Protein g Wanita : 16-18 th 50 155 2200 55 19-29 th 52 156 1900 50 30-49 th 55 156 1800 50 50-64 th 55 156 1750 50 65 th+ 55 156 1600 45 Hamil Trimerster 1 +180 +17 Trimerster 2 +300 +17 Trimerster 3 +300 +17 Menyusui : 0-6 bln + 500 +17 7-12 bln + 550 +17 Sumber : WKNPG 2004 Adanya interaksi antara berbagai zat gizi memberi gambaran perlunya diupayakan suatu keseimbangan balance zat-zat gizi yang dikonsumsi. Semakin bervariasi atau beraneka ragam menu kita, maka semakin tercapai keseimbangan dalam interaksi antara zat gizi, yang akan terpenuhi dengan pedoman “empat sehat lima sempurna” Karyadi Muhilal 1985. Menurut Karyadi dan Muhilal 1985 kegunaan Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan antara lain : 1 Untuk menilai kecukupan gizi yang telah dicapai melalui konsumsi makanan bagi penduduk atau golongan masyarakat tertentu yang didapatkan dari hasil survey gizimakanan. Untuk penilaian ini perlu diperhatikan bahwa untuk perhitungan kecukupan dipakai patokan berat badan tertentu. Bila hasil survey menunjukkan bahwa rata-rata berat badan menyimpang dari patokan, maka perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian angka kecukupannya. Demikian pula bila skor asam amino dan nilai kecernaan hidangan berbeda dengan skor dan nilai yang dipakai dalam menyusun kecukupan ini, perlu dilakukan penyesuaian. 2 Untuk perencanaan pemberian makanan tambahan balita maupun perencanaan makanan institusi. 3 Untuk perencanaan penyediaan pangan tingkat regional maupun nasional. Menaksir AKG pada Kecukupan Energi dan Protein Pangan bagi makhluk hidup umumnya dan manusia khususnya merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi untuk dapat mempertahankan hidup serta melaksanakan kewajiban-kewajiban hidup. Tetapi berbeda dengan kebutuhan hidup yang lain, kebutuhan pangan hanya diperlukan secukupnya. Baik kurang maupun lebih dari kecukupan yang diperlukan, terutama bila dialami dalam jangka waktu yang lama, akan berdampak buruk pada kesehatan Khumaidi 1989. AKG atau RDA recommended Dietary Allowance. AKG adalah suatu taraf intik yang dianggap dapat memenuhi kecukupan gizi semua orang yang sehat menurut berbagai kelompoknya. Karena AKG dimaksudkan hanya untuk golongan orang yang sehat maka penyimpangan-penyimpangan khusus akan kebutuhan gizi sebagai akibat dari kelainan metabolisme termasuk malnutrisi, perawatan khusus dan sebagainya tidak diperhitungkan dalam AKG. Nilai AKG untuk semua zat gizi kecuali energi ditetapkan selalu berarti tidak cukup, tetapi makin jauh di bawah nilai tersebut risiko untuk memperoleh suapan yang tidak cukup meningkat. Khusus untuk energi, nilai kecukupannya ditaksir setara dengan nilai pakainya expenditure sebab asupan energi yang kurang atau lebih dari nilai kebutuhan akan memberikan dampak pada terganggunya kesehatan Khumaidi 1989. KERANGKA PEMIKIRAN Menurut Hardinsyah et al 2003 terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan individu baik di tingkat keluarga maupun daerah yaitu keadaan sosial ekonomi dan sosial budaya, lingkungan, pertumbuhan, keadaan fisiologis, daya tahan tubuh, infeksi dan infestasi cacing dalam tubuh, fasilitas kesehatan serta pendidikan. Konsumsi pangan merupakan hal yang sangat berhubungan dengan status gizi seseorang. Jika konsumsi pangan memenuhi semua kebutuhan zat gizi seseorang maka diharapkan seseorang akan memiliki status gizi yang baik sehingga diharapkan terhindar dari masalah kesehatan. Sebaliknya jika konsumsi pangan seseorang tidak memenuhi kebutuhan zat gizi maka orang tersebut akan memiliki status gizi yang kurang dan lebih beresiko umtuk mendapatkan masalah kesehatan. Selain konsumsi, status gizi juga dipengaruhi oleh infeksi yang dialami individu Almatsier 2002. Adanya infeksi dapat mengganggu metabolisme makanan dan penyerapan zat-zat gizi dalam tubuh. Seseorang yang kebutuhannya tercukupi tetapi mengalami infeksi mungkin memiliki status gizi yang buruk. Pola makan dan sosio budaya merupakan dua hal yang berhubungan dan mempengaruhi status gizi. Pola makan seseorang biasanya dibangun oleh sosio budaya yang dianut oleh masyarakat dimana seseorang tinggal. Sosio budaya menganut adanya makanan yang memiliki peran dalam keagamaan dan sosial. Selain itu, terdapat pula pola pantangan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah fasilitas kesehatan dan pendidikan. Adanya fasilitas kesehatan yang mudah dijangkau akan memudahkan masyarakat mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan. Pendidikan berhubungan dengan berapa berapa banyak informasi yang didapat dan pemilihan makanan. Konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh dua hal yaitu karakteristik individu dan karakteristik sosial ekonomi individu. Karakteristik individu yang mempengaruhi konsumsi pangan seseorang adalah usia dan pengetahuan gizi. Karakteristik sosial ekonomi yang diduga dapat mempengaruhi konsumsi pangan seseorang adalah pendidikan kepala keluarga dan ibu, pekerjaan kepala keluarga dan ibu, besar keluarga, serta pendapatan. Konsumsi pangan juga dipengaruhi oleh ketersediaan pangan. Jika suatu bahan pangan tidak tersedia di suatu daerah maka masyarakat tersebut besar kemungkinan tidak mengkonsumsi bahan pangan tersebut. Namun, pada penelitian ini variabel ketersediaan pangan keluarga tidak diamati. Konsumsi pangan akan mempengaruhi tingkat konsumsi. Tingkat konsumsi merupakan rasio atau perbandingan konsumsi aktual dengan angka kebutuhan. Tingkat konsumsi secara langsung mempengaruhi status gizi seseorang. Selain itu, infeksi juga mempengaruhi status gizi.. Namun, dalam penelitian ini infeksi merupakan variabel yang tidak diamati. Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan pada Gambar 1. = Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti Gambar 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi ibu Karakteristik sosial ekonomi - Besar keluarga - Usia - Pendidikan - Pengetahuan gizi - Pekerjaan - Pengeluaran Tingkat Konsumsi Zat Gizi Konsumsi Makanan Status Gizi Ketersediaan pangan keluarga Infeksi Sanitasi Daya Beli Status Fisiologis Keluarga Kelaparan dan tidak kelaparan Caring METODE PENELITIAN Disain, Waktu Dan Tempat Disain penelitian adalah cross sectional, yaitu pengamatan terhadap variabel pengaruh dan terpengaruh dilakukan sekaligus pada satu waktu. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai November 2006. Penelitian dilakukan di daerah pedesaan Kabupaten Bogor dan perkotaan Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Daerah penelitian adalah Desa Sukamaju, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor dan Kelurahan Sukaresmi, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan Kabupaten dan Kota Bogor berdasarkan tingkat kemiskinan tinggi 20 yang mencerminkan rata-rata kabupaten kota di indonesia WFP 2005. Penentuan Sasaran Penelitian Kelaparan diukur dengan menggunakan ukuran kualitatif, yaitu seorang individu dikatakan tidak lapar tahan pangan apabila menyatakan bahwa dalam dua bulan terakhir tidak ada penurunan frekuensi ataupun porsi makan. Individu dikatakan lapar apabila dalam dua bulan terakhir terjadi penurunan frekuensi ataupun porsi makan, serta mengalami tidak makan saat lapar atau pernah seharian tidak makan. Berdasarkan ukuran tersebut, maka terdapat 55 orang 17.10 mengalami kelaparan dan sisanya 267 orang 82.9 tidak mengalami kelaparan. Untuk lebih jelasnya sebaran contoh menurut kelaparan kualitatif dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Sebaran individu menurut kelaparan kualitatif No Kelaparan Kualitatif Jumlah n 1 Kelaparan 55 17.10 2 Tidak Kelaparan 267 82.90 Jumlah 322 100.00 Namun bila dihitung prevalensi dalam unit keluarga, maka prevalensi kelaparan keluarga adalah 23.33 persen Tabel 5. Penentuan keluarga kelaparan adalah dengan melihat ada tidaknya anggota keluarga yang mengalami kelaparan. Tabel 5 Sebaran keluarga menurut kelaparan kualitatif No Kelaparan Kualitatif Jumlah n 1 Kelaparan 14 23.33 2 Tidak Kelaparan 46 76.67 Jumlah 60 100.00 Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan mencakup data primer dan sekunder. Data primer yang dikumpulkan mencakup data sosio ekonomi, demografi keluarga, persepsi kelaparan individu dan konsumsi pangan ibu. Data sosioekonomi keluarga meliputi: umur ibu dan kepala keluarga, lama pendidikan formal ibu dan kepala keluarga, jumlah anggota keluarga dan komposisinya, pengetahuan gizi ibu, pekerjaan kepala keluarga dan ibu serta pengeluaran keluarga. Data tersebut dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur dan terbuka dengan alat bantu kuesioner. Data persepsi kelaparan dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan yang merupakan modifikasi dari hasil lokakarya pengukuran instrumen kelaparan Tanziha 2006. Wawancara dilakukan pada setiap anggota keluarga, kecuali anak balita, wawancara diwakilkan pada ibunya. Daftar pertanyaan secara lengkap disajikan pada Lampiran 2. Data konsumsi pangan ibu didapat dengan melakukan recall 2 x 24 jam pada ibu, dimana ibu diminta untuk menyebutkan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi selama dua hari sebelum wawancara dilakukan. Jenis dan cara pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Jenis dan cara pengumpulan data No Jenis Cara pengambilan data 1 Konsumsi pangan ibu kecukupan energi metode recall 2X24jam 2. Data sosioekonomi keluarga wawancara dengan menggunakan kuesioner 3. Persepsi kelaparan individu wawancara dengan menggunakan kuesioner 4. Data sekunder pengambilan data dari instansi terkait Sementara itu, data sekunder yang dikumpulkan adalah keragaan lokasi penelitian, seperti data demografi, pertanian dan sosial ekonomi. Data ini diperoleh dari kantor desa, kecamatan, kabupatenkota, serta dinas lainnya yang terkait dengan penelitian ini. Pengolahan dan Analisis Data Data yang terkumpul, ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif, yaitu data karaketristik contoh dan keluarga. Data yang dikumpulkan diolah dan dianalisis dengan menggunakan program komputer yaitu Microsoft Excel dan SPSS versi 13.0 for Windows . Proses pengolahan data meliputi editing, coding, entry, dan analisis. Pengolahan data dilakukan dengan membuat kategori pada peubah karakteristik keluarga, pengetahuan gizi ibu, pendapatan, tingkat konsumsi serta status gizi. Status gizi dinyatakan dalam nilai IMT kecuali untuk ibu hamil digunakan ukuran Lingkar Lengan Atas LILA. Penggunaan IMT mempertimbangkan responden yang merupakan ibu-ibu dan berumur diatas 18 tahun. Tabel 7 menunjukkan kategori untuk status gizi ibu menurut pengukuran IMT. Tabel 7 Kategori ambang batas IMT Kategori IMT Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat 17.0 Kekurangan berat badan tingkat ringan 17.0-18.5 Normal 18.5-25.0 Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan 25.0-27.0 Kelebihan berat badan tingkat berat 27.0 Sumber :Depkes 1994, diacu dalam Supriasa, Bakri dan Fajar 2001 Analisis statistik yang digunakan meliputi deskriptif, korelasi Spearman, dan uji beda uji t dan Mann Whitney. Hubungan antara karakteristik keluarga, tingkat konsumsi dengan status gizi dikaji dengan menggunakan uji korelasi Spearman. Uji t dan Mann Whitney digunakan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan karakteristik keluarga pada keluarga kelaparan dengan keluarga tidak kelaparan. Penilaian tingkat konsumsi gizi dilakukan dengan cara membandingkan antara konsumsi gizi aktual nyata dengan kecukupan gizi yang dinyatakan dalam persen. Penilaian tersebut dapat digunakan untuk individu maupun keluarga. Secara umum tingkat konsumsi dapat dirumuskan sebagai berikut : TKGi = KiAKGi x 100 Keterangan : TKGi = Tingkat Konsumsi zat gizi i Ki = Konsumsi zat gizi i AKGi = Angka Kecukupan Gizi i yang dianjurkan Tingkat pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan keluarga dibagi menjadi dua kategori yaitu terpenuhi dan tidak terpenuhi. Keluarga dikategorikan tidak terpenuhi jika rata-rata TKE keluarga kurang dari tujuh puluh persen. Maka dikategorikan terpenuhi apabila tingkat konsumsi rata-rata keluarga lebih besar sama dengan tujuh puluh persen. Definisi Operasional Kelaparan merupakan ketidakmampuan seseorang memenuhi tujuh puluh persen kebutuhan energi karena masalah daya beli dan atau ketersediaan pangan. Kelaparan diukur dengan menggunakan ukuran kualitatif dengan tujuh pertanyaan hasil penelitian Uji Coba Instrumen Kelaparan yang akan digunakan sebagai alat pemantau kelaparan di Indonesia. Seorang dikatakan lapar apabila dia menjawab selama dua bulan terakhir terjadi penurunan frekuensi atau porsi makan serta mengalami tidak makan seharian karena tidak ada makanan karena tidak ada sumberdaya yang dapat digunakan untuk membeli makanan. Keluarga adalah sebuah kelompok yang terdiri atas dua orang atau lebih yang terikat oleh perkawinan, darah dan adopsi yang tinggal dalam satu rumah dan makan dari satu dapur. keluarga kelaparan adalah keluarga yang salah satu atau seluruh keluarganya mengalami kelaparan Persepsi kelaparan adalah penilaian contoh terhadap konsumsinya dan perasaan lapar yang dialaminya dalam dua bulan terakhir berdasarkan pengalaman dan wawasan yang dimilikinya yang diukur dengan keusioner kelaparan. Jumlah anggota keluarga adalah banyaknya orang di dalam suatu keluarga yang berbagi pendapatan, tempat dan konsumsi, serta makan dari satu dapur. Pendidikan adalah jumlah tahun contoh mengikuti pendidikan formal yang dihitung dengan satuan waktu tanpa menghitung waktu tinggal kelas. Pengetahuan gizi adalah pemahaman terhadap beberapa hal yang berkaitan dengan gizi dan kesehatan meliputi guna makanan bagi tubuh, sumber zat gizi dan kegunaan masing-masing bahan makanan bagi tubuh. Pengeluaran keluarga adalah biaya rata-rata yang dikeluarkan oleh suatu keluarga untuk membeli dan mencukupi kebutuhan keluarga. Pengeluaran pangan keluarga adalah biaya rata-rata yang dikeluarkan oleh suatu keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan. Konsumsi pangan individu adalah jumlah pangan yang dimakan oleh individu atau anggota keluarga yang dikumpulkan dengan menggunakan metode recall selama 2 X 24 jam. Tingkat Konsumsi EnergiTKE yaitu perbandingan antara jumlah energi yang dikonsumsi individu dengan kecukupan energi yang dibutuhkan oleh individu tersebut perhari. TKE = Konsumsi energi X 100 Kecukupan energi Status gizi adalah keadaan gizi seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama yang terlihat pada keadaan fisiologisnya pada saat ini seperti berat badan dan tinggi badan yang dinyatakan dengan Indeks Massa Tubuh IMT dan Lingkar Lengan Atas LILA. HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian dilakukan di dua tempat yaitu di Kelurahan Sukaresmi, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor dan Desa Sukamaju, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Kelurahan Sukaresmi, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor mempunyai luas wilayah 98.08 Ha dengan jarak antara Kelurahan Sukaresmi dengan Kantor Kecamatan sekitar dua km. Secara geografis, Kelurahan Sukaresmi bagian sebelah timur berbatasan dengan Sungai Ciliung Kedung Halang-Kecamatan Bogor Utara, di sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Sukadamai-Kecamatan Tanah Sareal, sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Cilebut BaratTimur-Kecamatan Suka Raja. Dan Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Kedung Badak-Kecamatan Tanah Sareal. Ketinggian dari permukaan laut antara 250 m, dengan suhu udara rata-rata 35 C-38 C dengan curah hujan rata-rata 4 000 mm pertahun. Penduduk Kelurahan Sukaresmi berjumlah 9 753 jiwa yang terdiri dari 5 081 jiwa laki-laki dan 4 672 jiwa perempuan dengan jumlah keluarga sebanyak 2 381 dan kepadatan penduduk 9.63 jiwakm 2 . Fasilitas pendidikan yang terdapat di Kelurahan Sukaresmi diantaranya: 3 TK, 1 SDN, 2 MI, 1 SLTP Swasta, 1 SMUN, dengan jumlah murid sebanyak 1 752 jiwa serta guru berjumlah 93 jiwa, atau rasio guru murid sebanyak 1: 19. BPS 2005. Pelayanan kesehatan yang terdapat di Kelurahan Sukaresmi di tangani oleh lima orang bidan praktek dan sembilan Posyandu. Tempat pelayanan kesehatan Rumah Sakit terdekat terletak di Kelurahan Kedung Badak dan Puskesmas terdekat terletak di Kelurahan Kedung Badak, Kecamatan Tanah Sareal dan Kelurahan Cilebut Barat, Kecamatan Suka Raja. Berdasarkan tahap kesejahteraan keluarga, ada sekitar 588 keluarga prasejahtera, 679 keluarga sejahtera I, 425 keluarga sejahtera II, 363 keluarga sejahtera III, 152 keluarga sejahtera III+ BPS 2005. Desa Sukamaju, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor mempunyai luas wilayah 200 Ha, dengan jarak antara Desa Sukamaju dengan Kantor Kecamatan sekitar dua km. Secara geografis, Desa Sukamaju bagian sebelah timur berbatasan dengan Desa Cibatok I-Kecamatan Cibungbulang, di sebelah barat dan utara berbatasan dengan Desa Cemplang-Kecamatan Cibungbulang, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Situ Hilir-Kecamatan Cibungbulang. Ketinggian dari permukaan laut antara 350 m, dengan suhu udara rata-rata 29 C dengan curah hujan rata-rata 2 000 mm pertahun. Penduduk Desa Sukamaju berjumlah 7 428 jiwa yang terdiri dari 3 797 jiwa laki-laki dan 3 631 jiwa perempuan dengan jumlah keluarga sebanyak 1 620. Fasilitas pendidikan yang ada diantaranya: 1 TK, 4 TPA, 1 MI Negeri, 1 MI Swasta, 1 SLTP Swasta, 1 MTs Swasta, 7 pondok pesantren, dengan jumlah murid sebanyak 2 267 jiwa serta guru berjumlah 95 jiwa, atau rasio guru murid sebanyak 1: 24. BPS 2005. Pelayanan kesehatan yang terdapat di Desa Sukamaju di tangani oleh 1 orang dokter praktek, 2 orang bidan praktek dan 10 Posyandu, dan 2 orang dukun bayi terlatih. Tempat pelayanan kesehatan Rumah Sakit dan Puskesmas terdekat terletak di Kecamatan Cibungbulang. Berdasarkan tahap kesejahteraan keluarga, ada sekitar 227 keluarga prasejahtera, 803 keluarga sejahtera I, 618 keluarga sejahtera II, 90 keluarga sejahtera III BPS 2005. Kelaparan Kelaparan Kualitatif Pengukuran kualitatif kelaparan hakekatnya mengukur persepsi kelaparan dari individu yang mengalami kelaparan. Ukuran kelaparan kualitatif dibuat untuk menyederhanakan proses pengukuran kelaparan, sehingga pelaksanaan pemantauan kelaparan dapat dilaksanakan dengan lebih mudah, cepat, dan murah. Di Indonesia ukuran kualitatif yang dikembangkan lebih ditekankan pada perubahan frekuensi makan, porsi makan dan penurunan berat badan, dan hindari pertanyaan kelaparan secara langsung sebab menurut pakar kata kelaparan diasumsikan sensitif pada masyarakat Indonesia. Dengan demikian pengukuran kelaparan kualitatif dikembangkan melalui tujuh item pertanyaan yang menunjukan adanya kelaparan individu pada suatu keluarga. Pertanyaan tersebut menilai persepsi responden setiap individu di keluarga terhadap kelaparan yang dialami individu tersebut dalam dua bulan terakhir. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penentuan kelaparan atau tidaknya seseorang yaitu: pertama, alasan penurunan frekuensi dan porsi yang dianggap sebagai penyebab terjadinya kelaparan adalah betul-betul karena keterbatasan ekonomi seperti alasan penurunan daya beli, pangan sulit diperoleh dan jumlah anggota bertambah, sedangkan alasan sibuk, sakit, diet tidak dimasukan sebagai penyebab kelaparan; kedua, alasan terjadi penurunan berat badan yang dianggap sebagai dampak dari kelaparan adalah karena alasan ekonomi seperti makanan yang dikonsumsi berkurang, sedangkan alasan sakit, sibuk dan diet tidak dimasukan sebagai penyebab kelaparan. Berdasarkan hasil rumusan lokakarya ukuran kelaparan 2001, seorang individu dikatakan tidak kelaparan apabila individu tersebut dalam dua bulan terakhir tidak mengalami penurunan frekuensi atau porsi makan serta berat badan karena alasan ekonomi, atau individu tersebut dalam dua bulan terakhir mengalami penurunan frekuensi dan atau porsi makan tetapi tidak diiringi penurunan berat badan karena alasan ekonomi. Sebaliknya seorang individu dikatakan kelaparan apabila individu tersebut dalam dua bulan terakhir mengalami penurunan frekuensi dan atau porsi makan disertai penurunan berat badan karena alasan ekonomi. Sebagai tambahan batasan kelaparan dari hasil uji coba instrument kelaparan 2004 adalah bahwa individu dapat dikategorikan kelaparan meskipun dalam dua bulan terakhir tidak mengalami penurunan frekuensi dan atau porsi makan, dan juga tidak terjadi penurunan berat badan, namun status gizinya termasuk gizi buruk karena alasan ekonomi. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian Tanziha 2005 di empat kabupaten di Propinsi Jawa Barat yang menunjukan persentase penderita kelaparan 9.80, maka sasaran penelitian ini jauh lebih besar 17.10. Perbedaan ini diperkirakan karena daerah penelitian merupakan daerah termiskin di Kota Bogor maupun Kabupaten Bogor, sedangkan pada penelitian Tanziha 2005 penelitian dilakukan di daerah yang representatif Kota dan Kabupaten Bogor. Persentase keluarga yang mengalami kelaparan lebih banyak dibandingkan dengan persentase individu yang mengalami kelaparan. Hal ini diduga disebabkan oleh besar keluarga yang berbeda-beda dari masing-masing keluarga contoh dan persentase keluarga kelaparan yang jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan keluarga yang tidak kelaparan. Karakteristik Keluarga Kelaparan dan Tidak Kelaparan Karakteristik keluarga kelaparan dan tidak kelaparan dikelompokkan menjadi karakteristik sosioekonomi. Karakteristik sosioekonomi meliputi : jumlah anggota keluarga, umur kepala keluarga dan ibu, pendidikan kepala keluarga dan ibu, pengetahuan gizi ibu, jenis pekerjaan kepala keluarga dan pengeluaran keluarga. Jumlah Anggota Keluarga. Jumlah anggota keluarga responden berkisar antara 1 hingga 11 orang, dengan rataan 5.38 ± 1.92 orang. Jumlah anggota keluarga kelaparan berkisar antara 3 hingga 9 orang dengan rataan 5.39 ± 1.79 orang dan pada keluarga yang tidak kelaparan jumlah anggota keluarga berkisar antara 1 hingga 11 orang dengan rataan 5.38 ± 1.99 orang. Hal ini menunjukan tidak berbedanya rata-rata jumlah anggota keluarga baik pada keluarga kelaparan maupun yang tidak kelaparan yang dapat berarti tidak ada pengaruh jumlah anggota keluarga dengan kejadian kelaparan. Jumlah anggota keluarga dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu keluarga kecil jika jumlah anggota keluarga = 4 orang, keluarga sedang jika anggota keluarganya berkisar antara 5-6 orang, dan keluarga besar jika anggota keluarganya = 7 orang. Berdasarkan kategori tersebut, persentase terbesar keluarga responden termasuk keluarga sedang baik keluarga kelaparan 50.00 maupun tidak kelaparan 45.65. Berikutnya keluarga kelaparan dan tidak kelaparan yang termasuk keluarga kecil 28.57 dan 32.61, serta persentase terkecil keluarga kelaparan 21.43 dan keluarga tidak kelaparan 21.74 termasuk keluarga besar Tabel 8. Ini menunjukan persentase terbesar ada pada jumlah keluarga sedang pada keluarga kelaparan maupun tidak kelaparan. Tabel 8 Sebaran keluarga menurut jumlah anggota keluarga Jumlah Anggota Keluarga Kelaparan Tidak kelaparan Jumlah n n n = 4 orang 4 28.57 15 32.61 19 31.67 5-6 orang 7 50.00 21 45.65 28 46.67 = 7 orang 3 21.43 10 21.74 13 21.67 Jumlah 14 100.00 46 100.00 60 100.01 Hasil uji t menunjukan bahwa jumlah anggota keluarga pada keluarga kelaparan dengan keluarga tidak kelaparan tidak berbeda nyata. Berdasarkan uji korelasi Spearman tidak terdapat hubungan yang nyata antara kejadian kelaparan dengan jumlah anggota keluarga p 0.05, dengan koefisien korelasi r = -0,02 yang menunjukan bahwa hubungan antara kejadian kelaparan dengan jumlah anggota keluarga dapat diabaikan. Hasil penelitian ini belum dapat mendukung penelitian Kigutha 1994, diacu dalam Den Hartog, Van Staveren dan Broower 1995 yang menunjukan bahwa peningkatan jumlah anggota keluarga berhubungan negatif dengan konsumsi pangan hewani dan makanan pokok yang berakibat pada penurunan konsumsi energi dan protein. Perbedaan ini diduga karena tidak berbedanya rata-rata jumlah anggota pada penelitian ini sehingga hubungan antara jumlah anggota keluarga dengan kelaparan tidak terlihat. Umur Kepala Keluarga KK dan Ibu. Umur KK dari seluruh keluarga contoh berkisar antara 21 hingga 70 tahun dengan rataan 44.27 ± 11.03 tahun. Umur KK pada keluarga kelaparan berkisar antara 21 tahun hingga 64 tahun dengan rataan 41.64 ± 9.86 tahun. Pada keluraga tidak kelaparan umur KK berkisar antara 21 tahun hingga 70 tahun dengan rataan 45.07 ± 11.34 tahun. Berdasarkan uji korelasi Spearman tidak ada hubungan antara umur KK dengan kejadian kelaparan anggota keluarganya dengan nilai koefisien korelasi r = 0.13. Nilai koefisien korelasi tersebut menunjukan hubungan antara kejadian kelaparan dan umur kepala keluarga dapat diabaikan. Hasil uji t juga menunjukan tidak ada perbedaan yang nyata antara usia kepala keluarga pada keluarga kelaparan dengan usia kepala keluarga pada keluarga tidak kelaparan. Bila umur KK dikelompokkan berdasarkan pengelompokan umur, yaitu usia dewasa awal 18-39 tahun, usia setengah baya 40-60 tahun dan usia lanjut 60 tahun, maka pada seluruh contoh sebagian besar 56.67 termasuk kelompok usia setengah baya. Berdasarkan Tabel 9 terlihat bahwa sebaran umum KK pada keluarga kelaparan dan tidak kelaparan proporsi terbesar 64.29 dan 54.35 terdapat pada golongan umur 40-60 tahun. Sedangkan proporsi terkecil terdapat pada usia 60 tahun baik pada keluarga kelaparan 1.74 maupun pada keluarga tidak kelaparan 10.87. Tabel 9 Sebaran keluarga menurut kelompok umur KK Kelompok Umur Kelaparan Tidak kelaparan Jumlah n n n 18-39 tahun 4 28.57 16 34.78 20 33.33 40-60 tahun 9 64.29 25 54.35 34 56.67 60 tahun 1 1.74 5 10.87 6 10.00 Jumlah 14 100.00 46 100.00 60 100.00 Umur ibu dari seluruh keluarga contoh berkisar antara 20 tahun hingga 60 tahun dengan rataan 38.00 ± 9.76 tahun. Umur ibu pada keluarga kelaparan berkisar antara 21 tahun hingga 60 tahun dengan rataan 36.22 ± 8.33 tahun. Pada keluarga tidak kelaparan umur ibu berkisar antara 20 hingga 60 tahun dengan rataan 38.78 ± 10.31 tahun. Hasil uji korelasi Spearman r = 0,39 menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara umur ibu dengan kejadian kelaparan anggota keluarganya. Hasil uji t juga menunjukan hal yang sama, tidak ada perbedaan yang nyata antara usia ibu pada keluarga kelaparan dengan tidak kelaparan. Bila umur ibu dikelompokkan berdasarkan pengelompokan umur, yaitu usia dewasa awal 18-39 tahun, usia setengah baya 40-60 tahun dan usia lanjut 60 tahun, maka pada keluarga kelaparan dan keluarga tidak kelaparan sebagian besar contoh 64.3 dan 54.3 termasuk pada kisaran usia 18-39 tahun. Sebaran keluarga contoh menurut kelompok usia ibu disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Sebaran keluarga menurut kelompok umur ibu Kelompok Umur Kelaparan Tidak kelaparan Jumlah n n n 18-39 tahun 9 64.29 25 54.35 34 56.67 40-60 tahun 5 35.71 21 45.65 26 43.33 60 tahun 0.00 0.00 0.00 Jumlah 14 100.00 46 100.00 60 100.00 Tabel 10 mencerminkan bahwa sebagian besar ibu termasuk golongan usia 18-39 tahun 56.67, serta tidak ada ibu yang masuk golongan lansia dengan usia diatas enam puluh tahun. Proporsi terbesar usia ibu pada keluarga kelaparan 64.29 dan tidak kelaparan 54.35 adalah pada kisaran 18-39 tahun. Semakin tua usia ibu memungkinkan terjadinya penurunan produktivitas, akan tetapi tidak menjadi dasar besarnya kejadian kelaparan. Kejadian kelaparan lebih besar terjadi pada keluarga dengan kelompok usia ibu 18-39 tahun dibanding pada kelompok usia ibu 40-60 tahun. Hal ini diperkirakan disebabkan pada usia 40-60 tahun sebagian besar dari mereka memiliki anak yang sudah bekerja sehingga keuangan mereka cukup terjamin, selain itu pada usia 40-60 tahun sebagian keluarga memiliki keadaan keuangan yang sudah cukup mapan. Pendidikan Kepala Keluarga KK dan Ibu. Pendidikan diukur dengan jumlah tahun sekolah tanpa menghitung tinggal kelas. Pendidikan kepala keluarga dari seluruh contoh berkisar antara nol hingga tujuh belas tahun, dengan rataan 7.37 ± 3.73 tahun. Pendidikan KK pada keluarga kelaparan berkisar antara nol hingga dua belas tahun, dengan rataan 5.71 ± 3.22 tahun. Sedangkan keluarga tidak kelaparan pendidikan KK berkisar antara nol tahun hingga tujuh belas tahun, dengan rataan 7.87 ± 3.57 tahun. Rata-rata tahun pendidikan pada keluarga kelaparan lebih rendah dari pada keluarga tidak kelaparan, ini menunjukan bahwa kepala keluarga tidak kelaparan rata-rata menempuh pendidikan formal relatif lebih lama dibanding kepala keluarga kelaparan. Selain itu, pada keluarga kelaparan tidak ada kepala keluarga yang menempuh pendidikan diatas dua belas tahun atau hanya sampai jenjang SMA. Berdasarkan analisis korelasi Spearman terdapat hubungan positif r = 0.23 antara lama pendidikan formal yang ditempuh kepala keluarga dengan kejadian kelaparan dan hasil uji t menunjukan bahwa terdapat perbedaan pendidikan KK pada keluarga kelaparan dengan keluarga tidak kelaparan p 0.05. Ini berarti semakin tinggi tingkat pendidikan KK maka kemungkinan terjadi kelaparan semakin kecil begitu pula sebaliknya semakin rendah tingkat pendidikan KK maka kemungkinan terjadinya kelaparan semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena dengan semakin tingginya pendidikan KK, maka kepala keluarga akan memiliki pekerjaan yang layak dan pendapatan yang dapat mencukupi kebutuhan sehingga kejadian kelaparan cenderung banyak terjadi pada keluarga dengan kepala keluarga berpendidikan rendah. Hal ini sejalan dengan pernyataan bahwa orang yang mempunyai pendidikan dan pengetahuan yang tinggi cenderung untuk memilih bahan pangan lebih baik dari mereka yang berpendidikan rendah Enoch 1980, diacu dalam Rejeki 2000 Pendidikan ibu pada seluruh contoh berkisar antara nol hingga dua belas tahun, dengan rataan 6.05 ± 3.32 tahun. Pendidikan ibu pada keluarga kelaparan berkisar antara nol hingga dua belas tahun, dengan rataan 4.56 ± 3.71 tahun. Sedangkan pada keluarga tidak kelaparan pendidikan ibu berkisar antara 0-12 tahun, dengan rataan 6.69 ± 2.95 tahun. Rata-rata pendidikan ibu pada keluarga kelaparan lebih rendah dari rata-rata pendidikan ibu seluruh contoh. Rata-rata ibu dari keluarga kelaparan hanya menempuh pendidikan sampai kelas empat SD sedang pada keluarga tidak kelaparan sampai tamat SD dan beberapa sampai jenjang SMP. Seluruh contoh juga hanya menempuh pendidikan selama dua belas tahun atau sampai jenjang SMA. Hasil analisis korelasi Spearman terdapat hubungan yang tidak signifikan p 0.05; r = 0.22 antara pendidikan ibu dengan kejadian kelaparan dan tidak kelaparan di suatu keluarga, hasil uji t tidak menunjukan adanya perbedaan pendidikan ibu pada keluarga kelaparan dan tidak kelaparan. Hal ini menunjukan bahwa dalam keluarga tingkat pendidikan ibu tidak berhubungan dengan kelaparan, hal ini mungkin dikarenakan pengetahuan gizi yang dibutuhkan oleh ibu sebagai penyedia makanan bisa didapat dari berbagai media. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa tingkat pengetahuan gizi ibu berhubungan dengan tingkat pendidikan formal ibu. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal ibu maka wawasan berfikirnya akan semakin luas sehingga informasi gizi yang didapat juga akan semakin banyak Suhardjo 1989. Bila pendidikan kepala keluarga dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu 1 kelompok tidak bersekolah dan SD 0-6 tahun, 2 kelompok yang pernah dan tamat SMP 7-9 tahun, 3 kelompok yang pernah dan tamat SMA 9-12 tahun, serta 4 PT 12 tahun, maka akan terlihat seperti pada Tabel 11. Tabel 11 Sebaran keluarga menurut tingkat pendidikan KK dan ibu Tingkat Pendidikan Kelaparan Tidak kelaparan Jumlah n n n Pendidikan KK SD 11 78.57 23 50.00 34 56.67 SMP 2 14.29 9 19.57 11 18.33 SMA 1 7.14 12 26.09 13 21.67 PT 0.00 2 4.35 2 3.33 Jumlah 14 100.00 46 100.01 60 100.00 Pendidikan Ibu SD 11 78.57 29 63.04 40 66.67 SMP 2 14.29 13 28.26 15 25.00 SMA 1 7.14 4 8.70 5 8.33 PT 0.00 0.00 0.00 Jumlah 14 100 46 100.00 60 100.00 Tabel 11 menunjukan bahwa proporsi terbesar pendidikan KK baik pada keluarga kelaparan 78.57 maupun keluarga tidak kelaparan 50.00 berada pada tingkat SD, hanya 4.35 persen kepala keluarga pada keluarga tidak kelaparan yang berpendidikan perguruan tinggi sedangkan pada keluarga kelaparan tidak ada. Persentase KK yang berpendidikan SD pada keluarga tidak kelaparan jauh lebih kecil dari persentase Propinsi Jawa Barat 85.60. Sedangkan persentase KK dengan pendidikan SMP dan SMA berada diatas persentase pendidikan KK Propinsi Jawa Barat BPS 2003. Apabila pendidikan ibu dikelompokkan berdasarkan pengelompokkan yang sama dengan pengelompokkan pendidikan KK, maka keadaannya tidak jauh berbeda dengan pendidikan KK. Sebagian besar pendidikan ibu baik dari keluarga kelaparan 78,6 maupun keluarga tidak kelaparan 63.0 berada pada tingkat SD serta tidak ada ibu yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Pengetahuan Gizi Ibu. Pengetahuan gizi ibu diduga memiliki hubungan dengan kejadian kelaparan karena pengetahuan gizi yang dimiliki ibu, sebagai penyedia makanan, akan mempengaruhi jenis makanan yang dikonsumsi suatu keluarga. Pengetahuan gizi ibu diukur dengan mengajukan beberapa pertanyaan tentang gizi. Ibu dari keluarga yang mengalami kelaparan mampu menjawab 0-8 pertanyaan dengan benar, dengan rataan 5.21 ± 2.12. Ibu dari keluarga yang tidak mengalami kelaparan mampu menjawab 2-10 pertanyaan dengan benar, dengan rataan 6.72 ± 1.95. Ini menunjukan bahwa ibu dari keluarga tidak kelaparan mampu menjawab lebih banyak pertanyaan dengan benar daripada ibu dari keluarga kelaparan. Sebaran responden yang menjawab benar dan salah pada setiap pertanyaan yang diajukan disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Jumlah responden yang menjawab pertanyaan dengan benar dan salah N o Pertanyaan Kelaparan Tidak Kelaparan B S B S 1 Empatsehat lima sempurna terdiri dari 11 78.57 3 21.43 39 84.78 7 15.22 2 Makanan berguna bagi tubuh sebagai 3 21.43 11 78.57 28 60.87 18 39.13 3 Contoh makanan sumber karbohidrat 2 14.29 12 85.71 13 28.26 33 71.74 4 Contoh makanan sumber protein 2 14.29 12 85.71 23 50.00 23 50.00 5 Sayur dan buah-buahan merupakan sumber 12 85.71 2 14.29 38 82.61 8 17.39 6 Buah yang paling banyak mengandung vitamin C adalah 11 78.57 3 21.43 43 93.48 3 6.52 7 Sayur yang banyak mengandung vitamin A adalah 12 85.71 2 14.29 43 93.48 3 6.52 8 Sebagai sumber protein daging dapat diganti dengan 12 85.71 2 14.29 40 86.96 6 13.04 9 Agar anak tidak kurang gizi maka sebaiknya diberi makan 4 28.57 10 71.43 29 63.04 17 36.96 10 Akibat utama kekurangan makan sumber energi pada anak adalah 4 28.57 10 71.43 15 32.61 31 67.39 Keterangan : B = Benar S = Salah Sebagian besar responden dapat menjawab pertanyaan seputar 4 sehat 5 sempurna pertanyaan no 1, buah dan sayuran pertanyaan no 5,6,7. Sebagian besar ibu dari keluarga kelaparan mampu menjawab pertanyaan seputar sayur, buah dan vitamin pertanyaan No 6-8. Sebagian besar ibu dari keluarga tidak kelaparan hampir dapat menjawab semua pertanyaan dengan benar. Pertanyaan yang tidak dapat dijawab dengan benar oleh sebagian besar ibu dari keluarga tidak kelaparan adalah pertanyaan tentang sumber karbohidrat dan akibat utama kekurangan makanan sumber energi pada anak. Ini menunjukan pengetahuan gizi ibu dari keluarga tidak kelaparan lebih baik dibandingkan dengan ibu dari keluarga kelaparan. Pengetahuan gizi dikelompokkan berdasarkan jumlah pertanyaan yang dapat dijawab dengan benar. Responden dianggap memiliki tingkat pengetahuan gizi yang rendah jika menjawab benar 0-5 pertanyaan, sedang bila dapat menjawab 6-8 pertanyaan dengan benar dan tinggi jika menjawab benar diatas 8 pertanyaan Khomsan 2000, diacu dalam Yulfida 2001. Pengetahuan gizi ibu tersebar merata di tiga kategori yaitu rendah 35.00, sedang 50.00 dan tinggi 15.00. Jika dilihat dari persentase setiap kelompok tidak ada perbedaan dimana pada keluarga kelaparan persentase terbesar pada tingkat pengetahuan gizi sedang 57.14 dan pada keluarga yang tidak kelaparan persentase terbesar pada tingkat pengetahuan sedang 47.83. Proporsi terbesar keluarga kelaparan memiliki tingkat pengetahuan gizi rendah 42.86 sedangkan pada keluarga tidak kelaparan persentasenya lebih kecil 32.61. Hanya sebagian kecil 19.56 ibu pada keluarga tidak kelaparan yang memiliki tingkat pengetahuan gizi tinggi, sedangkan pada keluarga kelaparan tidak ada yang memiliki tingkat pengetahuan gizi tinggi. Hal ini diperkirakan berhubungan dengan pendidikan formal ibu yang hanya tamat SD. Tabel 13 Sebaran keluarga menurut pengetahuan gizi ibu Pengetahuan Gizi Kelaparan Tidak kelaparan Jumlah n n n Rendah 6 42.86 15 32.61 21 35.00 Sedang 8 57.14 22 47.83 30 50.00 Tinggi 0.00 9 19.56 9 15.00 Jumlah 14 100.00 46 100.00 60 100.00 Menurut uji korelasi Spearman, tidak ada hubungan yang nyata antara kejadian kelaparan dengan tingkat pengetahuan gizi ibu. Hal ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kayanaya 2001 yang menunjukan bahwa ada perbedaan pada sikap terhadap konsumsi iodium pada kelompok kontrol dengan kelompok yang diberi perlakuan dengan pemberian pendidikan gizi. Akan tetapi hasil uji korelasi Spearman menunjukan terdapat hubungan yang nyata positif antara kelaparan dengan jumlah pertanyaan yang dijawab benar oleh ibu p = 0.03; r = 0.28. Hasil uji t menunjukan adanya perbedaan jumlah pertanyaan yang dijawab benar oleh ibu yang kelaparan dengan ibu yang tidak kelaparan. Hal ini sesuai dengan teori Harper, Deaton dan Driskel 1986 yang menyatakan bahwa kemiskinan dan kekurangan persediaan pangan yang bergizi merupakan faktor penting dalam masalah kurang gizi, penyebab lain yang penting dari gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk menerapkan informasi tersebut ke dalam kehidupan sehari- hari. Jenis Pekerjaan Kepala Keluarga KK dan Ibu. Jenis pekerjaan KK contoh cukup bervariasi, di antaranya PNS Pegawai Negeri Sipil, pedagang, karyawan, buruh, supir, petani, wiraswasta dan jasa angkutan ojeg dan tukang becak. Sebaran KK menurut pekerjaan disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Jenis pekerjaan KK pada keluarga kelaparan dan tidak kelaparan Pekerjaan Kelaparan Tidak kelaparan Jumlah n n n Tidak bekerja 1 7.14 1 2.17 2 3.33 Pegawai Negeri Sipil 6 13.04 6 10.00 Pedagang 3 6.52 3 5.00 Karyawan 1 7.14 7 15.22 8 13.33 Buruh 9 64.29 12 26.09 21 35.00 Wiraswasta 7 15.22 7 11.67 Petani 1 2.17 1 1.67 Jasa Angkutan 2 14.29 9 19.57 11 18.33 Lainnya 1 7.14 0.00 1 1.67 Jumlah 14 100.00 46 100.00 60 100.00 Dilihat dari jenis pekerjaan KK seperti yang disajikan pada Tabel 14, terlihat bahwa sebagian besar KK pada keluarga kelaparan 64.29 bekerja sebagai buruh, kemudian bekerja sebagai jasa angkutan 14.29, dan hanya sebagian kecil 7.14 yang tidak memiliki pekerjaan. Hal ini diduga berhubungan dengan pendidikan kepala keluarga yang sebagian besar hanya sampai pada jenjang SD. Pada keluarga tidak kelaparan pekerjaan KK lebih tersebar, namun proporsi terbesar tetap berkerja sebagai buruh 26.17, kemudian jasa angkutan 19.57, wiraswasta 15.22, karyawan 15.22, PNS 13.04, pedagang 6.52, petani 2.17 dan tidak bekerja 2.17. Baik keluarga kelaparan 7.14 maupun tidak kelaparan 2.17 terdapat KK yang tidak bekerja. Mereka diduga mengandalkan bantuan anak dan saudara yang sudah bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hasil uji Mann Whitney menunjukan tidak ada perbedaan yang nyata dalam hal pekerjaan utama antara kepala keluarga dari keluarga yang mengalami kelaparan dengan kepala keluarga yang tidak mengalami kelaparan. Uji korelasi spearman juga menunjukan tidak ada hubungan antara pekerjaan utama kepala keluarga dengan kejadian kelaparan r = -0.06. Tabel 15 Jenis pekerjaan ibu pada keluarga kelaparan dan tidak kelaparan Pekerjaan Kelaparan Tidak kelaparan Jumlah n n n Ibu Rumah Tangga 10 71.43 31 67.39 41 68.33 Pedagang 0.00 8 17.39 8 13.33 Buruh 3 21.43 4 8.70 7 11.67 Wiraswasta 1 7.14 3 6.52 4 6.67 Jumlah 14 100.00 46 100.00 60 100.00 Dilihat dari jenis pekerjaan ibu Tabel 15, terlihat bahwa sebagian besar ibu pada keluarga kelaparan adalah sebagai ibu rumah tangga 71.43, kemudian bekerja sebagai buruh 21.43 dan berwiraswasta 7.14. Pada keluarga tidak kelaparan, pekerjaan ibu lebih tersebar, namun proporsi terbesar tetap sebagai ibu rumah tangga 64.3, kemudian pedagang 17.39, buruh 8.70 dan wiraswasta 6.52. Ibu yang bekerja dapat menambahkan pemasukan keluarga sehingga terjadi peningkatan pendapatan keluarga. Pada keluarga kelaparan hanya 28.57 persen yang bekerja di luar rumah sedangkan pada keluarga yang tidak kelaparan 32.61 persen yang bekerja di luar rumah. Hasil uji Mann Whitney menunjukan tidak ada perbedaan yang nyata dalam hal pekerjaan utama antara ibu dari keluarga kelaparan dengan ibu dari keluarga tidak kelaparan. Uji korelasi Spearman juga menunjukan tidak ada hubungan antara pekerjaan utama ibu dengan kejadian kelaparan. Pengeluaran Keluarga. Pengeluaran keluarga perbulan dihitung berdasarkan pengeluaran untuk pangan dan nonpangan dalam satu tahun, kemudian dibagi 12. Pengeluaran total keluarga, pengeluaran pangan keluarga dan pengeluaran nonpangan keluarga disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Rata-rata dan standar deviasi pengeluaran keluarga RpBln Jenis Pengeluaran Kelaparan Tidak kelaparan Jumlah Mean SD Mean SD Mean SD Total 714 563.70 284 721.701 055 529.53 488 986.65 975 970.84 470 512.77 Pangan 385 225.30 172 997.02 561 239.31 283 658.00 520 169.38 271 292.45 Nonpangan 329 338.39 183 719.45 494 290.22 354 841.56 455 801.46 329 274.89 Pangan 53.91 14.16 53.17 14.75 53.30 14.50 Rata-rata pengeluaran total, pengeluaran pangan dan pengeluaran nonpangan keluarga pada keluarga tidak kelaparan jauh lebih tinggi daripada keluarga kelaparan. Rendahnya pengeluaran pada keluarga kelaparan diperkirakan karena sebagian besar kepala keluarga dari keluarga kelaparan bekerja sebagai buruh dengan penghasilan yang kecil dan tidak menentu. Pengeluaran dapat mencerminkan pendapatan suatu keluarga yang diduga dapat mempengaruhi kelaparan. Menurut Hardinsyah, Setiawan dan Baliwati 1987 salah satu faktor yang dapat mempengaruhi jumlah atau jenis pangan yang dikonsumsi keluarga adalah status ekonomi. Salah satu ukuran status ekonomi adalah tingkat pendapatan total yang diterima oleh keluarga, yang dapat dicerminkan dari pengeluaran total keluarga. Keluarga dengan pengeluaran yang lebih tinggi diduga akan lebih leluasa membelanjakan uangnya sehingga tidak merasa khawatir akan kekurangan makanan. Hasil uji korelasi Spearman menunjukan adanya hubungan nyata positif r = 0.332; p = 0.01 antara kelompok keluarga kelaparan dan tidak kelaparan dengan pengeluaran perbulan. Ini dapat diartikan bahwa semakin rendah pengeluaran keluarga, semakin tinggi peluang terjadinya kelaparan pada keluarga tersebut. Sebaliknya semakin tinggi pengeluaran, semakin rendah peluang terjadinya kelaparan pada keluarga tersebut. Hasil uji t juga menunjukan adanya perbedaan pengeluaran keluarga pada keluarga kelaparan dan tidak kelaparan. Pengeluaran per kapita perbulan merupakan pengeluaran keluarga dibagi jumlah anggota keluarga, ini akan lebih mencerminkan keadaan sebenarnya dibandingkan dengan pengeluaran perbulan. Tabel 17 Rata-rata dan standar deviasi pengeluaran perkapita keluarga RpKapBln Jenis Pengeluaran Kelaparan Tidak kelaparan Jumlah Mean SD Mean SD Mean SD TotalkapBln 144 559.00 84 828.41 208 846.00 92 305.55 193 846.00 93 999.49 Pangankapbln 74 453.00 33 820.36 109 445.00 45 502.32 101 280.00 45 320.35 Nonpangankapbln 70 106.00 56 840.93 99 401.00 69 908.31 92 566.00 67 790.26 Pangan 51.50 14.07 52.40 14.57 52.24 14.33 Tabel 17 menunjukan bahwa rata-rata pengeluaran lebih besar pada keluarga tidak kelaparan. Akan tetapi, rata-rata persentase pengeluaran pangan lebih besar pada keluarga kelaparan. Ini sesuai dengan teori hukum Engel yang menyatakan bahwa: “Pada saat terjadinya peningkatan pendapatan, konsumen akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan porsi yang semakin kecil. Sebaliknya bila pendapatan menurun, porsi yang dibelanjakan untuk pangan semakin meningkat”. Keluarga tidak kelaparan memiliki rata-rata pengeluaran perkapita baik untuk pangan maupun nonpangan lebih besar daripada keluarga kelaparan yang menunjukan adanya peningkatan pendapatan pada keluarga tidak kelaparan. Ini sesuai dengan teori menurut Soekirman 2000 yang menyebutkan bahwa penurunan pendapatan berhubungan langsung dengan penurunan ketahanan pangan di tingkat keluarga dan pada jangka waktu yang lama akan menyebabkan gizi kurang. Hasil uji korelasi Spearman menunjukan terdapat hubungan yang nyata positif antara pengeluaran perkapita perbulan r = 0.35; p 0.05 dan pengeluaran pangan perkapita perbulan r = 0.34; p 0.05 dengan kejadian kelaparan. Ini berarti semakin tinggi pengeluaran perkapita perbulan atau pengeluaran pangan perkapita perbulan maka semakin kecil kemungkinan terjadi kelaparan pada keluarga tersebut. Bila dibandingkan dengan pengeluaran rata-rata perkapita tingkat Propinsi Jawa Barat BPS 2005, yaitu Rp 195 900.00 maka rata-rata pengeluaran perkapita pada keluarga kelaparan jauh dibawah rata-rata pengeluaran perkapita Propinsi Jawa Barat, sedangkan pada keluarga tidak kelaparan berada diatas rata-rata pengeluaran tingkat propinsi. Apabila pengeluaran perkapita contoh digolongkan menurut kriteria kemiskinan BPS 2005, dengan pendekatan pengeluaran minimum untuk bahan makanan dan bukan makanan, yaitu garis kemiskinan untuk Propinsi Jawa Barat daerah perkotaan yaitu Rp 152 144.00 dan garis kemiskinan untuk daerah pedesaan yaitu Rp 122 475.00 maka diperoleh persentase keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan ada 33.33 persen Tabel 18. Bila dibandingkan dengan persentase penduduk miskin nasional yaitu 17.60 persen BPS 2005, maka persentase kemiskinan yang diperoleh dari penelitian ini jauh lebih tinggi. Hal ini diduga karena penelitian ini dilakukan di desa dan kota termiskin di Bogor. Sebaran keluarga menurut garis kemiskinan disajikan dalam Tabel 18. Tabel 18 Sebaran keluarga menurut garis kemiskinan Pengeluaran Kelaparan Tidak kelaparan Jumlah n n n 1.Di bawah garis kemiskinan 12 85.71 8 17.39 20 33.33 2.Di atas garis kemiskinan 2 14.29 38 82.61 40 66.67 Jumlah 14 100.00 46 100.00 60 100.00 Tabel 18 memperlihatkan bahwa tidak semua keluarga kelaparan berada dibawah garis kemiskinan, juga tidak semua keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan masuk dalam kategori keluarga kelaparan. Pada keluarga kelaparan 85.71 berada di bawah garis kemiskinan, sedangkan pada keluarga tidak kelaparan hanya 17.39 yang berada di bawah garis kemiskinan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rose 1999 bahwa sebagian besar penderita kelaparan hidup dibawah garis kemiskinan, hanya 13.10 penderita kelaparan hidup di atas garis kemiskinan. Tingkat kelaparan menurun tajam dengan meningkatnya pandapatan. Adanya keluarga tidak miskin tetapi kelaparan menunjukan bahwa kelaparan tidak hanya karena kurang sumberdaya tetapi juga ada faktor yang lain berpengaruh seperti yang diutarakan FAO 2003 bahwa faktor kurangnya pengasuhan atau kepedulian keluarga juga merupakan faktor yang dapat menyebabkan rendahnya konsumsi terutama pada anak-anak dan lansia. Selain itu, keluarga yang masuk kategori tidak miskin menurut pengeluaran tetapi mengalami kelaparan berapa pada batas garis kemiskinan. Tabel 19 Rata-rata Pengeluaran keluarga perbulan RpBln untuk beberapa jenis pangan Golongan Pangan Kelaparan Tidak Kelaparan Mean SD Mean SD Padi-padian - Beras 158 477.70 79 877.15 41.40 157 437.90 66 906.11 30.34 - Mie 30 685.12 27 316.20 7.96 36 152.54 41 538.89 6.22 Umbi-umbian - Singkong 395.83 827.99 0.10 1 085. 15 2 144. 08 0.22 - Ubi Jalar 321.43 817.71 0.08 2 143. 12 8 119. 99 0.42 Pangan Hewani - Daging Sapi 5 491. 07 2 434. 52 1.56 18 918.48 25 234.74 3.12 - Daging Ayam 9 000.00 9 993. 21 2.32 32 342.39 42 257.56 5.26 - Telur 31 055.95 49 968.18 7.05 36 509.96 36 484.77 6.31 - Ikan Segar 6 428. 57 10 341.96 1.77 20 180.25 24 310.74 3.34 - Ikan Asin 31 370.24 29 675.84 7.36 42 092.21 42 564.45 7.42 - Susu 6 599. 40 10 912.89 1.63 25 379.53 36 842.21 4.06 Hasil Olah Kacang-kacangan - Tempe 15 568.45 12 373.35 4.36 26 573.37 21 724.64 4.80 - Tahu 14 351.19 8 312. 42 4.14 24 215.22 24 072.33 4.45 Sayuran 42 069.05 21 300.66 11.7 47 045.65 25 992.95 9.17 Buah-buahan 12 824.40 16 418.36 3.08 29 850.18 35 766.22 5.23 Lain-lain 0.00 0.00 0.00 188.41 1 003. 46 0.04 Kacang Tanah 2 423. 21 3 245. 03 0.56 17 807.97 74 839.42 2.30 Kacang hijau 663.69 929.03 0.17 4 434. 78 8 761. 02 0.82 Kudapan 17 500.00 16 063.35 4.80 34 547.10 30 695.23 6.16 MP ASI 0.00 0.00 0.00 4 335. 15 23 364.59 0.31 Tabel 19 menunjukan bahwa persentase pengeluaran pangan untuk berbagai jenis pangan pada keluarga tidak kelaparan jauh lebih tinggi daripada keluarga kelaparan. Akan tetapi untuk membeli beras pada keluarga kelaparan lebih tinggi daripada keluarga tidak kelaparan. Hal ini menunjukan bahwa pada keluarga kelaparan, mereka lebih banyak mengalokasikan pengeluaran pangannya untuk membeli pangan jenis padi-padian tanpa memperhatikan jenis pangan lain. Ini dibuktikan dengan persentase pengeluaran pangan untuk beras pada keluarga kelaparan 41.40 lebih tinggi daripada keluarga tidak kelaparan 30.34. Persentase pengeluaran pangan untuk membeli beras pada keluarga kelaparan cukup tinggi sehingga untuk membeli jenis pangan lain persentasenya sangat kecil terutama untuk pangan hewani. Hal ini diduga karena rendahnya pengetahuan gizi ibu sehingga ibu tidak dapat memilih makanan yang bergizi dan berimbang. Ibu hanya berpikir bagaimana agar keluarganya kenyang tanpa memikirkan apakah gizi keluarganya tercukupi atau tidak. Keluarga tidak kelaparan mengalokasikan pengeluaran untuk pangan secara merata untuk membeli beras, lauk pauk, sayur dan buah. Sehingga diduga konsumsi pangan pada keluarga tidak kelaparan lebih berimbang daripada keluarga kelaparan. Ini mendukung teori yang dinyatakan Hardinsyah et al 2002 bahwa terdapat kecenderungan dengan peningkatan pendapatan seseorang maka jenis pangan yang dikonsumsi akan semakin beragam. Namun kadang-kadang peningkatan pendapatan tidak meningkatkan keragaman jenis pangan tetapi pangan yang dibeli harganya lebih mahal. Di Indonesia terdapat kecenderungan proporsi pengeluaran untuk pangan daging, telur, susu, buah, minyak dan lemak pada penduduk lapisan atas lebih tinggi jika dibanding dengan penduduk lapisan bawah. Konsumsi Data konsumsi pangan ibu didapat dengan metode recall 2 x 24 jam untuk mengetahui jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi ibu selama 2 hari sebelum waktu wawancara. Jumlah makanan yang dikonsumsi ibu selama dua hari dibagi dua untuk mengetahui rata-rata konsumsi pangan ibu dalam satu hari. Hasil penelitian menunjukan adanya perbedaan konsumsi ibu dari keluarga kelaparan dengan yang tidak kelaparan. Hampir diseluruh makanan yang dikonsumsi, jumlah makanan yang dikonsumsi oleh ibu keluarga tidak kelaparan dalam sehari jauh lebih banyak, hal ini juga menunjukan bahwa ibu dari keluarga yang kelaparan hanya mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang sedikit dan kurang beragam. konsumsi pangan ibu dalam satu hari secara lebih jelas disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Rata-rata konsumsi pangan ghari ibu pada keluarga kelaparan dan tidak kelaparan Golongan Pangan Kelaparan Tidak Kelaparan Mean SD Mean SD Padi-padian − Beras 378.57 146.63 531.79 233.18 − Mie 24.64 30.41 32.07 35.74 Umbi-umbian − Singkong 0.00 0.00 9.62 45.26 − Ubi Jalar 10.71 40.09 0.00 0.00 − Kentang 0.00 0.00 7.28 21.07 Pangan Hewani − Daging Sapi 4.64 13.37 14.40 38.36 − Daging Ayam 0.00 0.00 11.68 26.33 − Telur 4.29 13.28 16.79 19.80 − Hati 0.00 0.00 0.54 3.69 − Cumi 0.00 0.00 1.41 7.65 − Ikan Segar 9.46 30.13 6.74 20.01 − Susu 2.14 8.02 7.66 19.04 Tabel 20 Rata-rata konsumsi pangan ghari ibu pada keluarga kelaparan dan tidak kelaparan Lanjutan Golongan Pangan Kelaparan Tidak Kelaparan Mean SD Mean SD Hasil Olah Kacang-kacangan − Oncom 2.86 7.52 2.17 8.48 − Tempe 8.39 10.77 20.16 24.14 − Tahu 5.36 14.47 11.30 18.72 Buah-buahan − Jeruk 0.00 0.00 5.98 18.40 − Pisang 10.71 40.09 17.39 38.14 − Kelapa 0.00 0.00 1.20 4.85 − Bengkuang 0.00 0.00 1.09 7.37 − Jambu Biji 0.00 0.00 1.09 7.37 Lain-lain − Gula 7.14 8.25 8.04 14.36 − Risol 0.00 0.00 1.96 7.24 − Kerupuk 0.18 0.67 1.88 3.54 − Bakwan 5.36 11.72 12.66 17.11 − Biskuit 0.71 2.67 2.55 6.47 − Santan 0.00 0.00 1.63 6.24 − Kacang-kacangan 0.00 0.00 5.82 15.55 − Emping Melinjo 0.00 0.00 0.22 0.89 − Minyak 0.71 2.67 1.85 4.98 Tabel 20 menunjukan bahwa Ibu dari keluarga kelaparan lebih banyak mengkonsumsi nasi dan ikan segar dibanding ibu dari keluarga tidak kelaparan. Sedangkan konsumsi daging pada ibu yang tidak kelaparan jauh lebih tinggi dibanding ibu yang mengalami kelaparan. Hal ini berhubungan dengan data yang ditampilkan pada Tabel 19 dimana alokasi pengeluaran pangan pada keluarga kelaparan didominasi oleh pengeluaran untuk pangan jenis padi-padian. Tingkat konsumsi zat gizi individu perhari ditentukan dengan cara membandingkan konsumsi pangan individu dengan Angka Kecukupan Gizi AKG. Tabel 21 menunjukan adanya perbedaan yang sangat nyata antara rata- rata konsumsi zat gizi pada keluarga yang mengalami kelaparan dengan keluarga yang tidak mengalami kelaparan. Tabel 21 Rata-rata dan simpangan baku tingkat konsumsi gizi pada individu kelaparan dan tidak kelaparan Zat Gizi Kelaparan Tidak Kelaparan Total Energi 56.95 ± 28.03 90.81 ± 35.50 82.91 ± 36.65 Protein 42.62 ± 24.42 72.72 ± 30.39 65.69 ± 31.63 Vitamin A 17.63 ± 16.85 67.21 ± 122.60 55.64 ± 109.44 Vitamin C 7.09 ± 14.14 31.65 ± 42.28 25.92 ± 38.96 Kalcium 14.29 ± 13.21 28.39 ± 15.27 25.10 ± 15.89 Fe Besi 32.07 ± 23.37 56.19 ± 29.38 50.57 ± 29.74 Selenium 9.57 ± 4.17 14.63 ± 6.12 13.45 ± 6.09 Fosfor 45.05 ± 47.31 63.09 ± 29.57 58.88 ± 34.91 Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman, tingkat konsumsi semua zat gizi berhubungan nyata pada p = 0.05 dengan kejadian kelaparan. Uji korelasi menunjukan adanya hubungan yang sangat nyata antara konsumsi energi, protein, kalsium, zat besi dan selenium dengan kejadian kelaparan dan tidak kelaparan pada p 0.05. Hasil uji t menunjukan tingkat konsumsi semua zat gizi berpengaruh nyata terhadap kejadian kelaparan pada p = 0.05. Hal ini menunjukan adanya perbedaan nilai rata-rata konsumsi zat gizi baik itu makro maupun mikro pada keluarga kelaparan dan tidak kelaparan. Status Gizi Status gizi ibu ditentukan dengan menghitung IMT kecuali pada ibu hamil digunakan ukuran LILA. Rata-rata responden memiliki nilai IMT 25.09 ± 4.17 . Rata-rata nilai IMT pada individu kelaparan adalah 25.74 ± 3.77 dan pada individu tidak kelaparan adalah 24.90 ± 4.30 . Keragaan status gizi individu kelaparan dan tidak kelaparan disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Sebaran individu pada berbagai kriteria status gizi Status Gizi Kelaparan Tidak kelaparan Jumlah n n n Buruk 0.00 4 8.70 4 6.67 Normal 5 35.71 23 50.00 28 46.67 Lebih 9 64.29 19 41.30 28 46.67 Jumlah 14 100.00 46 100.00 60 100.01 Berdasarkan Tabel 22, sebagian besar ibu dari keluarga kelaparan berada pada kriteria status gizi lebih 64.29 dan selebihnya berstatus gizi normal 35.71. Sebagian Ibu dari keluarga tidak kelaparan 50.00 berada pada status gizi normal, dan selebihnya berstatus gizi lebih 41.30 dan kurang 8.70. Hal ini menunjukan bahwa kemungkinan tidak ada perbedaan antara status gizi pada ibu kelaparan dengan yang tidak kelaparan. Penurunan nilai BMR seiring bertambahnya usia menyebabkan penggunaan makanan yang diserap untuk diubah menjadi energi semakin kecil, sehingga sedikit saja konsumsi makanan oleh ibu akan menyebabkan penimbunan karena metabolisme tubuh semakin efektif. Selain itu, diduga ibu sudah memiliki status gizi lebih sebelum mengalami kelaparan sedangkan penurunan berat badan selama terjadi kelaparan belum memperlihatkan perubahan yang nyata pada status gizi ibu. Hasil uji korelasi Spearman menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara status gizi dengan kejadian kelaparan r = -0.17. Kelaparan merupakan kejadian rawan pangan yang kronis sehingga membutuhkan waktu yang lama. Kejadian kelaparan tidak langsung mempengaruhi status gizi sehingga jika kelaparan terjadi dalam waktu singkat, maka status gizi belum terpengaruh. Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Tingkat Konsumsi Energi TKE Keadaan sosioekonomi keluarga dapat mempengaruhi daya beli. Keadaan sosioekonomi keluarga antara lain dicerminkan oleh pendidikan dan pengeluaran keluarga. Pendidikan diduga berhubungan dengan TKE secara tidak langsung karena pendidikan akan berhubungan dengan pekerjaan dan pendapatan. Pendapatan akan mempengaruhi daya beli dan persediaan pangan keluarga. Pengeluaran merupakan cerminan dari pendapatan sehingga diduga menjadi salah satu hal yang berhubungan dengan TKE. Hasil uji korelasi menunjukan tidak ada hubungan antara pendidikan kepala keluarga dengan TKE. Namun, terdapat hubungan signifikan antara pendidikan ibu p 0.05; r = 0.30, pengeluaran perbulan p 0.05; r = 0.27, pengeluaran pangan p 0.05; r = 0.35, pengeluaran perkapita perbulan p 0.05; r = 0.36 dan pengeluaran pangan perkapita perbulan p 0.05; r = 45 dengan TKE. Hal ini menunjukan bahwa semakin tinggi pengeluaran maka TKE akan semakin tinggi. Hasil uji korelasi dapat dilihat pada Lampiran 1. Hubungan Konsumsi dengan Status Gizi Konsumsi erat kaitannya dengan status gizi. Konsumsi pangan yang memenuhi kebutuhan akan berdampak pada status gizi yang baik. Tidak tercukupinya kebutuhan pangan dalam waktu yang lama 2 bulan akan menyebabkan penurunan berat badan dan apabila dibiarkan akan menyebabkan kelaparan. Kelaparan merupakan kejadian akibat kerawanan pangan yang berlangsung cukup lama. Oleh karena itu, apabila suatu keluarga mengalami kerawanan pangan tetapi hanya dalam waktu yang relatif singkat maka keluarga tersebut belum dinyatakan mengalami kelaparan. Tabel 23 menyajikan rata-rata tingkat konsumsi zat gizi perhari pada beberapa kategori status gizi. Berdasarkan Tabel 23, rata-rata energi semakin rendah pada status gizi yang semakin baik. Pada ibu yang memiliki status gizi buruk, rata-rata tingkat konsumsinya diatas 100. Hal ini disebabkan oleh fluktuasi harga yang semakin tidak menentu dari hari ke hari yang juga berpengaruh pada harga bahan makanan dan pemilihan kualitas makanan yang menjadi prioritas pembelian makanan. Selain itu, metode recall 2 x 24 jam hanya menggambarkan konsumsi ibu selama 2 hari sebelum waktu wawancara sedangkan status gizi hanya akan terpengaruh oleh konsumsi pangan yang cukup lama. Kurangnya perhatian orang miskin terhadap penampilan membuat responden tidak peduli bentuk tubuh sehingga banyak timbunan lemak di tubuh. Sedangkan pada orang yang tidak kelaparan di atas garis kemiskinan sudah mulai memperhatikan penampilan sehingga mulai menjaga bentuk tubuh dengan diet dan olah raga. Komposisi tubuh yang diduga berbeda antara orang kelaparan dengan yang tidak kelaparan diduga menjadi alasan banyaknya responden yang berstatus gizi lebih. Pada individu yang kelaparan komposisi tubuh diduga kebanyakan adalah lemak sedangkan pada individu tidak kelaparan adalah otot. Tabel 23 Rata-rata tingkat konsumsi gizi pada berbagai kategori status gizi Zat Gizi Status Gizi Buruk Normal Lebih Mean SD Mean SD Mean SD Energi 148.64 18.32 89.83 38.32 70.10 27.05 Protein 78.78 9.79 66.68 32.57 63.51 32.47 Vitamin A 39.15 42.96 75.88 156.98 39.08 38.09 Vitamin C 9.99 13.01 26.39 30.75 27.10 46.90 Kalcium 22.81 8.68 24.40 15.35 25.96 17.18 Fospor 76.70 45.02 60.26 38.55 55.86 31.05 Fe 49.47 6.80 55.93 33.69 45.85 27.01 Se 19.94 4.65 14.27 7.52 12.07 4.03 Hasil uji korelasi Pearson menunjukan adanya hubungan nyata negatif antara nilai IMT dengan tingkat konsumsi energi p 0.05; r = -0.455. Ini menunjukan bahwa semakin tinggi Tingkat Konsumsi Energi TKE maka nilai IMT akan semakin kecil begitu pula sebaliknya. Status gizi tidak hanya dipengaruhi oleh konsumsi tapi juga faktor lain seperti yang dinyatakan oleh Harper, Deaton dan Diskel 1986 bahwa status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, genetik, penyerapan dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama. Penelitian yang dilakukan oleh Kaiser et al 2001 menunjukan bahwa prevalensi overweight dan obesitas di United States meningkat pada keluarga dengan status sosial ekonomi yang rendah, yang kebanyakan mengalami ketidaktahanan pangan. Pemilihan makanan atau adaptasi fisiologi pada tanggapan terhadap kekurangan pangan dapat meningkatkan lemak tubuh. Wanita yang mengalami kekurangan pangan pada tingkat menengah atau berat menjadi lebih mudah overweight daripada wanita dengan kecukupan pangan. Hubungan kekurangan pangan menunjukan adanya hubungan dengan peningkatan resiko terjadinya obesitas pada wanita di Latino, Asia dan amerika tapi tidak pada wanita kulit putih. Penilaian status gizi dengan menggunakan nilai IMT sangat dipengaruhi oleh berat badan, semakin tinggi berat badan seseorang maka semakin baik pula status gizinya. Selain itu, tingkat konsumsi gizi juga sangat dipengaruhi oleh berat badan dimana semakin tinggi berat badan seseorang maka kebutuhan akan gizi akan semakin tinggi. Oleh karena itu, semakin tinggi berat badan seseorang maka orang tersebut harus mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang lebih banyak daripada orang dengan berat badan kecil. Orang yang memiliki berat badan yang kecil maka sedikit saja mengkonsumsi makanan maka kebutuhannya akan terpenuhi dan memiliki tingkat konsumsi energi yang baik. Tabel 24 Sebaran contoh menurut tingkat kecukupan energi dan status gizi TKE Buruk Normal Lebih Total n n n n 70 0.00 9 32.14 17 60.71 26 43.33 =70 4 100.00 19 67.86 11 39.29 34 56.67 Jumlah 4 100.00 28 100.00 28 100.00 60 100.0 Tabel 24 menunjukan bahwa sebagian besar responden memiliki TKE lebih besar sama dengan tujuh puluh persen. Jumlah contoh yang memiliki status gizi buruk hanya 4 orang dan memiliki lebih besar sama dengan tujuh puluh persen. Sebagian besar contoh 67.86 yang berstatus gizi normal memiliki TKE lebih besar sama dengan tujuh puluh persen. Sebagian besar contoh 60.71 yang berstatus gizi lebih memiliki TKE lebih kecil dari tujuh puluh persen. Hasil uji korelasi Spearman menunjukan adanya hubungan yang nyata negatif p 0.05;r = -0.39 antara tingkat TKE dengan status gizi dimana semakin baik TKE maka status gizi semakin buruk begitu pula sebaliknya. Hal ini diduga karena seluruh ibu yang memiliki status gizi buruk tidak mengalami kelaparan yang memiliki rata-rata Tingkat Konsumsi lebih tinggi daripada ibu yang mengalami kelaparan. Kelemahan dari penelitian ini adalah data yang didapat tidak dapat digeneralisasi. Hal ini dikarenakan pengambilan lokasi dilakukan secara purposive. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil penelitian menunjukan hanya sebagian kecil 17.10 responden yang mengalami kelaparan dan sisanya 82.90 tidak mengalami kelaparan. Namun bila dihitung prevalensi dalam unit keluarga, maka prevalensi kelaparan keluarga adalah 23.33. Proporsi terbesar pendidikan kepala keluarga 78.57 dan 50.00 dan ibu 78.57 dan 63.04 baik pada keluarga kelaparan maupun keluarga tidak kelaparan berada pada tingkat SD. Ibu dengan kejadian kelaparan mampu menjawab 0-8 pertanyaan tentang gizi dengan benar. Ibu dari keluarga yang tidak kelaparan mampu menjawab 2-10 pertanyaan dengan benar . Pengetahuan gizi ibu tersebar merata di tiga kategori yaitu rendah 35.00, sedang 50.00 dan tinggi 15.00. Rata-rata pengeluaran keluarga kelaparan baik untuk pangan maupun nonpangan lebih rendah dibandingkan dengan pengeluaran keluarga tidak kelaparan. Namun, rata-rata persentase pengeluaran pangan pada keluarga kelaparan lebih tinggi daripada keluarga tidak kelaparan. Sebagian besar keluarga kelaparan 85.71 berada di bawah garis kemiskinan, sedangkan pada keluarga tidak kelaparan hanya sebagian kecil 17.39 yang berada di bawah garis kemiskinan. Rata-rata tingkat konsumsi ibu untuk semua zat gizi tidak kelaparan lebih tinggi daripada ibu yang kelaparan. Selain itu, konsumsi ibu yang tidak kelaparan relatif lebih beragam daripada ibu yang kelaparan. Sebagian besar ibu dari keluarga kelaparan berada pada kriteria status gizi lebih 64,29. Setengah dari ibu yang tidak kelaparan 50.00 berada pada status gizi normal. Pada keluarga kelaparan terdapat hubungan yang signifikan antara pengeluaran dengan TKE. Terdapat hubungan nyata negatif antara nilai IMT dengan tingkat konsumsi energi pada keluarga kelaparan. Saran Upaya untuk meningkatkan status gizi dan menurunkan kelaparan antara lain dapat dilakukan dengan cara meningkatkan pengetahuan gizi keluarga melalui penyuluhan gizi, khususnya kepada ibu dengan menggunakan istilah yang disesuaikan dengan kemampuan sasaran. Penyuluhan sebaiknya difokuskan pada kegunaan makanan, sumber-sumber zat gizi dan akibat kekurangan gizi. Pengukuran pengetahuan gizi sebaiknya dilakukan dengan menggunakan istilah yang disesuaikan dengan kemampuan sasaran dan tujuan penelitian. DAFTAR PUSTAKA Almatsier S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Anonim. 2002. www.deptan.go.id [11 Maret 2006] Anonim. 2006. Malnutrition. www.Medicastore.com [11 Maret 2006]. Atmarita 2005. Nutrition problems in Indonesia. Presented in: An Integrated International Seminar and Workshop on Lifestyle–Related Diseases; Yogyakarta: Gajah Mada University, 19 – 20 March. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2003. Data dan informasi kemiskinan tahun 2003 buku 1 propinsi. Jakarta: Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2005. Kota Bogor dalam angka. Bogor: Badan Pusat Statistik Kota Bogor. Carlson SJ, Andrews MS, Bickel GW. 1999. Measuring food insecurity and hunger in United States: development of a national benchmark measure and prevalence estimates. Journal of nutrition 129:510-516. Casey et al. 2004. Maternal depression, changing public assistance, food security, and child health status. Pediatrics Vol. 113 No. 2 February:pp. 298-304. www.pediatrics.aappublications.org. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2003. Di dalam: Measurement and assessment of food deprivation and undernutrition. Proceedings: Internastional Scientific Symposium; Rome, 26-28 Juni 2002. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2005. Indonesia progress reduction hunger. www.fao.org [11 Maret 2007]. Gibson RS. 2005. Principles of nutritional assesment, evaluation of anthropometric indices. New York: Oxford University Press. Hardinsyah, Setiawan, YF Baliwati. 1987. Pola konsumsi penduduk di desa dan kota di pulau jawa berdasarkan strata ekonomi. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB. Hardinsyah, D. Martianto. 1989. Menaksir kecukupan energi dan protein serta penilaian mutu gizi konsumsi pangan. Jakarta: Wirasari. Hardinsyah. 2002. Rencana Uji Coba Instrument Pemantauan Kelaparan. Di dalam: Makalah Lokakarya Perumusan Indikator Kelaparan. Jakarta: Kerjasama PSKPG LP-IPB dan Proyek Koordinasi Kelembagaan Ketahanan Pangan, BBKP Deptan. Hardinsyah et al. 2002. Analisis kebutuhan konsumsi pangan. Di dalam: Modul Ketahanan Pangan. Jakarta: Deptan. Hardinsyah et al. 2003. Uji coba instrumen kelaparan. Jakarta: Kerjasama Deptan, PSKPG, BPS, Depkes dan BKKBN. Hardinsyah, V Tambunan. 2004. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak dan Serat makanan. Prosiding: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. Jakarta: LIPI. Harper LJ, BJ Deaton, JA Driskel. 1986. Pangan, Gizi dan Pertanian. Suhardjo, penerjemah. Jakarta: UI Press. Husaini JK. 2002. Perubahan pola konsumsi pangan dan status gizi masyarakat di tiga daerah Cianjur, Lampung Selatan,Tanah Datar sebelum dan saat krisis ekonomi. Jakarta: Center for Research and Development of Nutrition and Food. Kaiser et al. 2001. Choice of instrument influences relations between food insecurity and obesity in Latino women. The American Journal of Clinical Nutrition 2004;80:1372–78. www.ajcn.org. [07 Juni 2006]. Karyadi D, Muhilal. 1985. Kecukupan gizi yang dianjurkan. Jakarta: Gramedia. Kayanaya AAGR. 2001. Pengaruh pendidikan gizi tentang garam beryodium terhadap pengetahuan, sikap dan penggunaan garam beryodium berkualitas di daerah gondok endemik di Propinsi Bali. Jakarta: Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial. gdl- liblitbang.depkes.go.id [11 Maret 2007]. Kennedy E. 2003. Qualitative measures of food insecurity and hunger. Di dalam: Measurement and Assessment of Food Deprivation and Undernutrition Proceeding: Internastional Scientific Symposium; Rome, 26-28 Juni 2002. Khumaidi M. 1989. Gizi Masyarakat. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB. Lenhart NM, Read MH. 1989. Demographic profile and nutrient intake assessment of individual using emergency food program. Journal of The American Dietetic Association, 89 9. Martianto D. 2002. Instrument pengukuran kelaparan. Di dalam: Makalah Lokakarya Perumusan Indikator Kelaparan. Jakarta: Kerjasama PSKPG LP-IPB dan Proyek Koordinasi Kelembagaan Ketahanan Pangan, BBKP Deptan. Mason JB. 2003. Measuring Hunger and Malnutrition. Di dalam: Measurement and Assessment of Food Derivation and Undernutrition. Proceeding: International Scientific Symposium; Rome, 26-28 Juni 2002. Rejeki AS. 2000. Kebiasaan Makan Sayuran pada Remaja Putri di Perkotaan SMU Suluh dan Al-Azhar [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, IPB. Rose D. 1999. Economic determinants and dietary consequencesof food insecurity individu the united states. Journal of Nutrition. 1999;129:517- 520. Soekirman. 2000. Ilmu gizi dan aplikasinya untuk keluarga dan masyarakat. Bogor: Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Suhardjo. 1989. Sosio budaya gizi. Bogor: Depdikbud Dikti Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB. Supriasa B. Bakri, I. Fajar. 2001. Penilaian status gizi. Jakarta: EGC. Suryana A. 2002. Aliansi internasional mengikis kelaparan. www.deptan.go.id [11 Maret 2007] Tanziha I. 2005. Analisis peubah konsumsi pangan dan sosial ekonomi rumahtangga untuk menentukan determinan dan indikator kelaparan. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [WFP] World Food Program. 2005. Food insecurity atlas. Jakarta: Kerjasama Worl Food Program dan Deptan, BPS, Depkes. Yulfida. 2001. Pengetahuan, sikap serta praktek konsumsi sarapan pagi dan makanan jajanan anak sekolah di SD PMT-AS dan SD non PMT-AS [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Lampiran 1. Hasil uji korelasi Correlations 1.000 .032 .324 -.097 .276 .092 .333 .433 .147 -.393 -.362 -.392 -.129 -.022 . .809 .012 .462 .033 .482 .009 .001 .262 .002 .004 .002 .325 .868 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 .032 1.000 -.208 .587 -.223 .144 .095 -.055 .174 .076 -.086 .162 -.014 .228 .809 . .111 .000 .087 .273 .469 .678 .183 .566 .515 .215 .913 .080 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 .324 -.208 1.000 -.399 .772 -.150 .143 .037 .242 -.037 -.175 .088 -.243 .126 .012 .111 . .002 .000 .251 .276 .781 .062 .780 .181 .503 .062 .336 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 -.097 .587 -.399 1.000 -.519 .303 .005 .011 -.068 .015 .060 -.029 .299 .218 .462 .000 .002 . .000 .019 .971 .935 .605 .911 .650 .824 .020 .094 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 .276 -.223 .772 -.519 1.000 -.238 .184 .097 .267 .019 -.106 .136 -.146 .113 .033 .087 .000 .000 . .067 .160 .461 .039 .885 .421 .299 .265 .391 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 .092 .144 -.150 .303 -.238 1.000 .069 .175 -.030 -.040 .063 -.112 .178 .275 .482 .273 .251 .019 .067 . .602 .182 .817 .764 .635 .392 .174 .033 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 .333 .095 .143 .005 .184 .069 1.000 .836 .774 .677 .528 .502 .267 .332 .009 .469 .276 .971 .160 .602 . .000 .000 .000 .000 .000 .039 .010 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 .433 -.055 .037 .011 .097 .175 .836 1.000 .376 .440 .606 .076 .354 .305 .001 .678 .781 .935 .461 .182 .000 . .003 .000 .000 .562 .006 .018 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 .147 .174 .242 -.068 .267 -.030 .774 .376 1.000 .628 .181 .800 .110 .225 .262 .183 .062 .605 .039 .817 .000 .003 . .000 .166 .000 .405 .084 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 -.393 .076 -.037 .015 .019 -.040 .677 .440 .628 1.000 .794 .823 .356 .346 .002 .566 .780 .911 .885 .764 .000 .000 .000 . .000 .000 .005 .007 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 -.362 -.086 -.175 .060 -.106 .063 .528 .606 .181 .794 1.000 .362 .447 .344 .004 .515 .181 .650 .421 .635 .000 .000 .166 .000 . .004 .000 .007 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 -.392 .162 .088 -.029 .136 -.112 .502 .076 .800 .823 .362 1.000 .212 .273 .002 .215 .503 .824 .299 .392 .000 .562 .000 .000 .004 . .104 .035 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 -.129 -.014 -.243 .299 -.146 .178 .267 .354 .110 .356 .447 .212 1.000 .414 .325 .913 .062 .020 .265 .174 .039 .006 .405 .005 .000 .104 . .001 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 -.022 .228 .126 .218 .113 .275 .332 .305 .225 .346 .344 .273 .414 1.000 .868 .080 .336 .094 .391 .033 .010 .018 .084 .007 .007 .035 .001 . 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 60 Correlation Coefficient Sig. 2-tailed N Correlation Coefficient Sig. 2-tailed N Correlation Coefficient Sig. 2-tailed N Correlation Coefficient Sig. 2-tailed N Correlation Coefficient Sig. 2-tailed N Correlation Coefficient Sig. 2-tailed N Correlation Coefficient Sig. 2-tailed N Correlation Coefficient Sig. 2-tailed N Correlation Coefficient Sig. 2-tailed N Correlation Coefficient Sig. 2-tailed N Correlation Coefficient Sig. 2-tailed N Correlation Coefficient Sig. 2-tailed N Correlation Coefficient Sig. 2-tailed N Correlation Coefficient Sig. 2-tailed N JUMLART LAMSEKKK UMURKK LamsekIbu UMURIBU PENGZI TOTRTBLN PNGNBL NPNGNBLN KapitaBln pngnkapbln Npngnkap TKE 2KodlprIPUAsafINAL Spearmans rho JUMLART LAMSEKKK UMURKK LamsekIbu UMURIBU PENGZI TOTRTBLN PNGNBL NPNGNBLN KapitaBln pngnkapbln Npngnkap TKE 2KodlprIP UAsafINAL Correlation is significant at the .05 level 2-tailed. . Correlation is significant at the .01 level 2-tailed. . Lampiran 2 KUESIONER PENELITIAN INDIKATOR FOOD COPING STRATEGI UNTUK PENENTUAN KELAPARAN DI BOGOR Keterangan Tempat dan Rumahtangga 01 No Urut Rumahtangga 02 KabupatenKota Bogor 03 Kecamatan 04 DesaKelurahan 05 RW 06 RT 07 Nama Kepala Keluarga Keterangan Enumerator 08 Nama Enumerator 09 Tanggal Wawancara 10 Tanda Tangan Keterangan Evaluator 11 Nama Tanggal Evaluator 12 Tanggal Evaluasi 13 Tanda Tangan Keterangan Entri Data 14 Nama Pengentri 15 Tanggal Entri data 16 Tanda tangan Keterangan Kode : Kabupaten : 1 Kota : 2 Desa : 1 Kelurahan : 2 No Urut RT : 01-70 KODE RUMAHTANGGA

1. KETERANGAN ANGGOTA RUMAHTANGGA

No Nama Anggota rumahtangga Hubu - ngan deng- an KK Jenis Kela Min Lk 1 Pr 2 Umur Untuk art berusia 0-59 bulan Status Perka winan Ukuran LILa untuk Wanita Hamil Pekerjaan Lama berseko lah tahun Tahun Bulan BB kg TB cm Utama Tambah an 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Kode Kolom 3 : Hubunngan dengan Kepala rumahtangga Kode Kolom 8 : Status Perkawinan Kepala rt 1 Menantu 4 Famili lain 7 Belum kawin 1 Cerai hidup 3 Istrisuami 2 Cucu 5 Pembantu rt 8 Kawin 2 Cerai mati 4 Anak 3 Orang tua mertua 6 Lainnya 9 Kode Kolom 10 dan 11 : Pekerjaan Petani 1 Karyawan 4 Wiraswasta 7 Pedagang 2 Buruh 5 Guru 8 PNS 3 Jasa angkutan 6 lainnya 9

II. SANITASI

NO Kondisi Ya ada Tidak ada Keterangan 1 Ventilasi rumah memadai. Apa ada jendela dan lubang angin?Apa jendela selalu dibukaditutup? 2 WC didalam rumah? 3 Septik tank jauh dari sumur? Berapa meter jaraknya 4 Ada sumber air bersih? 1. Sumur 2. Ledeng 3. Sungai 4. Kolam 5 Dimana bila cuci piring 1. Kamar mandi 2. di sungaikolam 3. Tempat cuci piring 6 Dimana bila cuci baju 1. Kamar mandi 2. di sungaikolam 7 Apakah ada tempat buang sampah? 1. Tertutup 2. Terbuka 8 Apakah keadaan lantai lembab? 9 Dibuat dari apa lantainya? 1. Semua keramik 2. Keramik + semen 3. Semua semen 4. Semen dan tanah 10 Apakah suka menguras bak mandi? 1. Seminggu sekali 2. 2 mg sekali 3. Sebulan sekali 11 Apakah sekitar rumahhalaman bersih 12 Apakah sekitar rumah kumuh? Apa yang menyebabkan kelihatan kumuh?...............

III. PENGETAHUAN GIZI

Harus ditanyakan pada ibu rumahtangga 1. Empat sehat lima sempurna terdiri dari : 1 Nasi, sayur, tempe 2 Nasi, sayur, tempe, buah 3 Nasi, sayur, tempe,buah dan susu 4 Tidak tahu 2. Makanan berguna bagi tubuh sebagai : 1 Sumber tenaga saja 2 Untuk mengenyangkan perut saja 3 Sumber tenaga, sumber pembangun dan sumber pengatur 4 Tidak tahu 3. Contoh makanan sumber karbohidrat tenaga : 1 Mie 2 Daging 3 Telur 4 Tidak tahu 4. Contoh makanan sumber protein adalah 1 Mie 2 Daging 3 Buah 4 Tidak tahu 5. Sayur dan buah-buahan merupakan sumber 1 Protein 2 Tenaga 3 Vitamin 4 Tidak tahu 6. Buah yang paling banyak mengandung vitamin C: 1 Semangka 2 Jeruk 3 Mangga 4 Tidak tahu 7. Sayuran yang banyak mengandung vitamin A : 1 Wortel 2 Toge 3 Kangkung 4 Tidak tahu 8. Sebagai sumber protein, daging dapat diganti dengan : 1 Tahutempe 2 Nasi 3 Mie 4 Tidak tahu 9. Agar anak tidak kurang gizi, maka sebaiknya di beri makan : 1 Apa yang diinginkan anak 2 Nasi, sayur, tempe 3 4 sehat 5 sempurna 4 Tidak tahu 10. Akibat utama kekurangan makansumber protein pada anak adalah : 1 Badan lemah 2 Pertumbuhan badan terganggu 3 Sering sakit 4 Tidak tahu