Analisis tingkat konsumsi dan satus gizi ibu pada keluarga kelaparan dan tingkat tidak kelaparan

(1)

Oleh:

SILVIRAWATI SURYA

A54103054

PROGRAM STUDI

GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(2)

Nutritional Status at Hunger Family and Not Hunger Family. (Pembimbing: IKEU TANZIHA and LILIK KUSTIYAH)

Objective: The goal was to identify hunger family characteristic and not the hunger, analyzing mothers’ consumption level at hunger family and the not hunger family, analyzing mothers’ nutritional status at hunger family and the not hunger family, analyzing family socioeconomic characteristic with consume energy level, and also analyze relation between mother consumption with nutritional status at hunger family and not hunger family.

Design: Cross Sectional Study in Sukamaju, Cibungbulang, Bogor and Sukaresmi, Tanah Sareal, Bogor. Data were collected between April until November 2006. Samples were selected by proportional method. Data type were collected is secondary data and primary data. Primary data is characteristic , hunger perception, mother consume which got by recall 2 x 24 hours method. Characteristic were collected by through interview using questioner. hunger Perception data collected by interview in each family member, except child, interview delegated to her mother.

Result: Result of research show that 55 respondents (17.10%) experiencing hunger and 267 respondents (82.90%) do not hunger. Prevalence family hunger is 23.33%. Biggest proportion of education at hunger family (78.57%) and also the not hunger family (50.00%) at elementary school. Mostly the mother education from hunger family (78,6%) and also the family not hunger (63.0%) at elementary school. Mothers’ nutritional knowledge at three category that is lower (35.00%), average (50.00%) and high (15.00%). Result correlation Spearman test show relation which significant between hunger with nutritional knowledge. Mostly KK at hunger family (64.29%) and not hunger family (26.17%) working as labors. Average Total Expenditure, expenditure nonfood at hunger family higher than food expenditure not hunger family. Result of correlation show that positive relation (r = 0.33; p=0.01) between hunger family and not hunger family. Result of t-test also shows the difference expenditure of hunger family and not hunger family. Family of hunger 85.7% under poorness line, while family of not hunger only 17.4% what is under poorness line. Consume mother which the hunger not more immeasurable than mother which the starvation correlation test show the relation between consumption energy, protein, calcium, ferrum and selenium with hunger and not hunger family. t-test result show level of sufficiency all vitamin of nutrition have an effect on reality to occurrence of hunger at p = 0.05. Average Respondent own value of IMT 25.09 ± 4.17. Mean assess IMT of hunger is 25.74 ± 3.77 and at individual of not hunger is 24.90 ± 4.30. Mostly mother from family of hunger be at criterion of overweight (64.29%) and normal (35.71%). Partly not hunger family (50.00%) is at status of normal. Result of correlation test shows that no relation between educations and consumption level. But, there are Significant relation between mother education (p < 0.05; r = 0.30) , expenditure ( p < 0.05; r = 0.27), food expenditure (p < 0.05; r = 0.35), expenditure of capita ( p < 0.05; r = 0.36) and expenditure of food capita (p < 0.05; r = 45) by consumption level. Result of correlation test shows the negative relation (p < 0.05;r = - 0.39) between consumption level with nutritional status.


(3)

Ibu pada Keluarga Kelaparan dan Tidak Kelaparan. (Dibawah Bimbingan IKEU TANZIHA dan LILIK KUSTIYAH)

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik keluarga kelaparan dan tidak kelaparan, menganalisis tingkat konsumsi ibu pada keluarga kelaparan dan tidak kelaparan, menganalisis status gizi ibu pada keluarga kelaparan dan tidak kelaparan, menganalisis karakteristik sosioekonomi keluarga dengan tingkat konsumsi energi, serta menganalisis hubungan tingkat konsumsi ibu dengan status gizi pada keluarga kelaparan dan tidak kelaparan.

Disain penelitian ini adalah Cross Sectional Study dan dilakukan di Desa

Sukamaju, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor dan Kelurahan Sukaresmi, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor pada bulan April sampai

November 2006. Pemilihan contoh secara purposive berdasarkan

desa/kelurahan miskin di Kabupaten dan Kota Bogor. Contoh terdiri dari keluarga miskin dan tidak miskin secara proporsional masing-masing sebanyak 30. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data karakteristik contoh (berat badan dan tinggi badan ibu, umur ibu dan kepala keluarga (KK), lama pendidikan formal ibu dan kepala keluarga, jumlah anggota keluarga, pengetahuan gizi ibu, pekerjaan kepala keluarga dan ibu, dan pengeluaran keluarga), persepsi kelaparan, konsumsi pangan ibu yang

didapat dengan melakukan recall 2 x 24 jam pada ibu. Data karakteristik contoh

dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner. Data persepsi kelaparan dikumpulkan melalui wawancara pada setiap anggota keluarga, kecuali anak balita, wawancara diwakilkan pada ibunya.

Berdasarkan ukuran kelaparan kualitatif, hasil penelitian menunjukan 55 orang responden (17.10%) mengalami kelaparan dan 267 orang (82.90%) tidak kelaparan. Namun bila dihitung prevalensi dalam unit keluarga, maka prevalensi kelaparan keluarga adalah 23.33 persen. Persentase terbesar keluarga responden termasuk keluarga sedang baik keluarga kelaparan (50.00%) maupun tidak kelaparan (45.65%). Sebaran umum KK baik pada keluarga kelaparan maupun keluarga tidak kelaparan berusia antara umur 40 – 60 tahun. Usia ibu pada keluarga kelaparan dan keluarga tidak kelaparan sebagian besar contoh (64.3% dan 54.3%) termasuk pada kisaran usia 18-39 tahun.

Proporsi terbesar pendidikan KK baik pada keluarga kelaparan (78.57%) maupun keluarga tidak kelaparan (50.00%) berada pada tingkat SD. Sebagian besar pendidikan ibu baik dari keluarga kelaparan (78,6%) maupun keluarga tidak kelaparan (63.0%) berada pada tingkat SD, serta tidak ada ibu yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Pengetahuan gizi ibu tersebar merata di tiga kategori yaitu rendah (35.00%), sedang (50.00%) dan tinggi (15.00%). Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kelaparan dengan jumlah pertanyaan yang dijawab benar.

Sebagian besar KK pada keluarga kelaparan (64.29%) bekerja sebagai buruh, kemudian bekerja sebagai jasa angkutan (14.29%), dan hanya sebagian kecil (7.14%) yang tidak memiliki pekerjaan. Pada keluarga tidak kelaparan pekerjaan KK lebih tersebar, namun proporsi terbesar tetap berkerja sebagai buruh (26.17%), kemudian jasa angkutan (19.57%), wiraswasta (15.22%), karyawan (15.22%), PNS (13.04%), pedagang (6.52%), petani (2.17%) dan tidak bekerja (2.17%). Baik keluarga kelaparan (7.14%) maupun tidak kelaparan (2.17%) terdapat KK yang tidak bekerja.


(4)

(r = 0.33; p=0.01) antara kelompok keluarga kelaparan dan tidak kelaparan dengan pengeluaran perbulan. Hasil uji t juga menunjukkan adanya perbedaan pengeluaran keluarga kelaparan dan tidak kelaparan. Rata-rata pengeluaran perkapita perbulan keluarga kelaparan lebih rendah dibandingkan dengan keluarga kelaparan. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan terdapat hubungan yang nyata positif antara pengeluaran perkapita perbulan (r = 0.35; p < 0.05) dan pengeluaran pangan perkapita perbulan (r = 0.34; p < 0.05) dengan kejadian kelaparan. Pada keluarga kelaparan 85.7% berada di bawah garis kemiskinan, sedangkan pada keluarga tidak kelaparan hanya 17.4% yang berada di bawah garis kemiskinan.

Konsumsi ibu yang tidak kelaparan lebih beragam daripada ibu yang kelaparan. Uji korelasi menunjukkan adanya hubungan yang sangat nyata antara konsumsi energi, protein, kalsium, zat besi dan selenium dengan kejadian kelaparan dan tidak kelaparan pada p < 0.05. Hasil uji t menunjukkan tingkat kecukupan semua zat gizi berpengaruh nyata terhadap kejadian kelaparan pada

p = 0.05. Rata-rata responden memiliki nilai IMT 25.09 ± 4.17. Rata-rata nilai IMT

pada individu kelaparan adalah 25.74 ± 3.77dan pada individu tidak kelaparan

adalah 24.90 ± 4.30. Sebagian besar ibu dari keluarga kelaparan berada pada

kriteria status gizi lebih (64.29%) dan selebihnya berstatus gizi normal (35.71%). Sebagian Ibu dari keluarga tidak kelaparan (50.00%) berada pada status gizi normal.

Hasil uji korelasi menunjukan tidak ada hubungan antara pendidikan kepala keluarga dengan TKE. Namun, terdapat hubungan signifikan antara pendidikan ibu (p < 0.05; r = 0.30), pengeluaran perbulan (p < 0.05; r = 0.27), pengeluaran pangan (p < 0.05; r = 0.35), pengeluaran perkapita perbulan (p < 0.05; r = 0.36) dan pengeluaran pangan perkapita perbulan (p < 0.05; r = 45) dengan TKE. Hal ini menunjukan bahwa semakin tinggi pengeluaran maka TKE akan semakin tinggi. Sebagian besar responden memiliki TKE lebih besar sama dengan tujuh puluh persen. Jumlah contoh yang memiliki status gizi buruk hanya 4 orang dan memiliki lebih besar sama dengan tujuh puluh persen. Sebagian besar contoh (67.86%) yang berstatus gizi normal memiliki TKE lebih besar sama dengan tujuh puluh persen. Sebagian besar contoh (60.71%) yang berstatus gizi lebih memiliki TKE lebih kecil dari tujuh puluh persen. Hasil uji korelasi Spearman menunjukan adanya hubungan yang nyata negatif (p < 0.05;r = -0.39) antara tingkat TKE dengan status gizi.


(5)

SILVIRAWATI SURYA. A54103054.

Analyze of Mothers’ Consumption Level and Nutritional

Status at Hunger Family and Not Hunger Family


(6)

ANALISIS TINGKAT KONSUMSI DAN STATUS GIZI IBU

PADA KELUARGA KELAPARAN DAN TIDAK KELAPARAN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Manusia

Oleh:

SILVIRAWATI SURYA

A54103054

PROGRAM STUDI

GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(7)

JUDUL : ANALISIS TINGKAT KONSUMSI DAN STATUS GIZI IBU PADA KELUARGA KELAPARAN DAN TIDAK KELAPARAN

Nama Mahasiswa : SILVIRAWATI SURYA

Nomor Pokok : A54103054

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS Dr. Ir. Lilik Kustiyah, MSi

NIP. 131 628 329 NIP. 131 669 945

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019


(8)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkat dan rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Penelitian yang berjudul “Analisis Tingkat Konsumsi dan Status Gizi Ibu pada Keluarga Kelaparan dan Tidak Kelaparan” ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS dan Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si selaku dosen pembimbing atas masukan, motivasi, saran dan bimbingannya.

2. Dr. Ir. Budi Setiawan, MS selaku dosen penguji atas masukan demi sempurnanya karya tulis ini.

3. Dr. Ir. Siti Madanijah, MS selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan saran yang diberikan selama ini.

4. Warga Desa Sukamaju, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor dan Kelurahan Sukaresmi, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor.

5. Ayah, ibu serta seluruh keluarga atas doa, dukungan, motivasi, nasehat dan kasih sayang yang dicurahkan. Aa dan keluarga untuk doa dan dukungannya.

6. Komunitas A3 366, JIMS BAR, Radar 6, Inna dan Ika, Indy dan Desty, teman sepenelitian (Putri, Dian dan Jowie), serta rekan-rekan mahasiswa Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga atas semua yang telah kalian berikan selama ini.

7. Semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan dan dorongan moril kepada penulis.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Bogor, Mei 2007


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cirebon pada tanggal 10 Juni 1985 dari pasangan Drs. H. Ucup Yusuf Aliudin, M.Pd dan Ibu Dra. Hj. Titin Surtini. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara.

Tahun 2003 penulis menyelesaikan studi di SMU Insan Cendekia dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru di Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian. Selama di IPB, penulis menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi Pertanian (HIMAGITA) pada tahun ajaran 2004/2005 serta Bina Desa pada tahun ajaran 2004/2005 dan 2005/2006. Selain itu, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Metode Penilaian Gizi pada tahun ajaran 2005/2006. Pada tahun 2006 penulis memenangkan Lomba Karya Tulis Ilmiah Bidang Pendidikan tingkat IPB sebagai juara III dan pada tahun yang sama terpilih sebagai juara III Mahasiswa Berprestasi Program Studi GMSK.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... DAFTAR LAMPIRAN ... PENDAHULUAN Latar Belakang... Tujuan Penelitian... Manfaat... TINJAUAN PUSTAKA Kelaparan... Konsep Kelaparan... Pengukuran Kelaparan ... Konsumsi ... Definisi dan Pengukuran Konsumsi... Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi... Status Gizi... Definisi dan Pengukuran Status Gizi... Kecukupan Gizi yang Dianjurkan... Menaksir AKG pada Kecukupan Energi dan Protein... KERANGKA PEMIKIRAN ... METODE PENELITIAN

Desain, Tempat dan Waktu ... Penentuan Sasaran Penelitian... Jenis dan Cara Pengumpulan Data... Pengolahan dan Analisis Data... Definisi Operasional... HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi ... Kelaparan ... Kelaparan Kualitatif ... Karakteristik Keluarga Lapar dan Tidak Lapar ... Konsumsi Gizi ... Status Gizi ... Hubungan Sosioekonomi Keluarga dengan Tingkat Konsumsi Energi (TKE) ... Hubungan Konsumsi dengan Status Gizi ... KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... Saran ... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ... vii ix 1 3 3 4 4 7 8 8 11 14 14 15 16 18 20 20 21 21 23 25 26 26 27 40 42 43 43 46 46 47 50


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Pengaruh kelaparan terhadap sistem tubuh ...

2

Rata-rata konsumsi pangan tingkat rumah tangga tahun 2004-2005 ..

3 Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (AKG 2004) ... 4 Sebaran individu menurut kelaparan kualitatif ... 5 Sebaran keluarga menurut kelaparan kualitatif ... 6 Jenis dan cara pengumpulan data ...

7

Kategori ambang batas IMT untuk Indonesia ...

8 Sebaran keluarga menurut jumlah anggota keluarga ... 9 Sebaran keluarga menurut kelompok umur KK.... ... 10 Sebaran keluarga menurut kelompok umur ibu ... 11 Sebaran keluarga menurut tingkat pendidikan KK dan ibu... 12 Jumlah responden yang menjawab pertanyaan dengan benar dan salah ... 13 Sebaran keluarga menurut pengetahuan gizi ibu ... 14 Jenis pekerjaan KK pada keluarga kelaparan dan tidak kelaparan ... 15 Jenis pekerjaan ibu pada keluarga kelaparan dan tidak kelaparan...

16 Rata-rata dan standar deviasi pengeluaran keluarga

(Rp/Bln)... 17 Rata-rata dan standar deviasi pengeluaran perkapita keluarga (Rp/Kap/Bln) ... 18 Sebaran keluarga menurut garis kemiskinan ... 19 Rata-rata Pengeluaran keluarga perbulan (Rp/Bln) untuk beberapa

jenis pangan... 20 Rata-rata konsumsi pangan (g/hari) ibu pada keluarga kelaparan dan

tidak kelaparan ... 21 Rata-rata dan simpangan baku Tingkat Konsumsi Gizi (%) pada

individu kelaparan dan tidak kelaparan ... 22 Sebaran individu pada berbagai kriteria status gizi ... 23 Rata-rata tingkat konsumsi zat gizi (%) pada berbagai kategori status

gizi ... 24 Sebaran contoh menurut tingkat kecukupan energi dan status gizi ....

6 9 15 20 20 21 22 28 29 30 32 33 34 35 35 36 37 38 39 40 41 42 44 45


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Hasil uji korelasi ...51 2 Kuesioner Penelitian ...53


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kemiskinan dan kelaparan merupakan masalah yang mendasari berbagai masalah yang dihadapi negara berkembang. Beberapa usaha dilakukan oleh organisasi di tingkat dunia maupun nasional. Lembaga-lembaga panganpun didirikan sebagai upaya untuk mengatasi masalah kemiskinan dan kelaparan diantaranya FAO. Salah satu usaha FAO untuk mengatasi kelaparan adalah

memprakarsai dan menyelenggarakan WFS: fyl (World Food Summit: Five Years

Later) yang dihadiri oleh 183 delegasi negara, yang menghasilkan Deklarasi

Roma tentang Ketahanan Pangan Dunia (Rome Declaration on World Food

Security)(Suryana 2002).

Kesepakatan utama para kepala negara dan pemerintah dalam WFS tahun 1996 itu berupa komitmen bersama masyarakat dunia untuk mewujudkan ketahanan pangan bagi setiap orang, dan menghapuskan penduduk yang kelaparan di seluruh negara. Sasaran kuantitatifnya adalah mengurangi jumlah penduduk rawan pangan yang menjadi setengahnya paling lambat tahun 2015. Karena jumlah penduduk rawan pangan di dunia tahun 1996 diperkirakan sekitar 800 juta jiwa, maka sasaran pengurangan sebesar 400 juta jiwa selama 20 tahun, atau rata-rata 20 juta jiwa per tahun (Suryana 2002).

Pada 1996, jumlah penduduk miskin turun menjadi 22,5 juta jiwa atau sedikit di atas 11 persen. Di pengujung 1997, kita mengalami krisis yang sungguh parah yang mengakibatkan jumlah penduduk miskin membengkak kembali, sehingga pada 1998 menjadi hampir 50 juta jiwa atau 24 persen dari jumlah penduduk. Tetapi, dalam tahun-tahun terakhir, sejalan dengan pemulihan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi pun sudah mulai meningkat, maka pada 2002 jumlah penduduk miskin turun menjadi 38 juta jiwa atau sedikit di atas 18 persen dari jumlah penduduk. Menurut catatan BPS, pada 2003 jumlah penduduk miskin absolut secara nasional 37 juta jiwa atau sekitar 17,5 persen dari total penduduk Indonesia. Dilihat dari komposisi penduduk miskin, maka pada saat ini diperkirakan jumlah penduduk miskin di daerah pedesaan sekitar dua kali jumlahnya dibandingkan dengan orang-orang miskin yang hidup di perkotaan. Penyumbang terbesar penduduk miskin tetap berada di Jawa, karena padatnya penduduk, kesuburan tanah yang menurun, terbatasnya harga jual hasil panen, terutama gabah, serta alternatif sumber penghasilan yang lain sudah semakin sulit ditemukan (Muhammad 2004).


(14)

Menurut FAO (2005) di Indonesia terdapat enam persen penderita kelaparan, hal ini berarti diantara 20 orang Indonesia terdapat satu orang yang kelaparan. Indonesia akan mampu mencapai target menurunkan setengah jumlah penderita kelaparan sampai dengan tahun 2015 apabila dapat menurunkan jumlah penderita kelaparan minimal 20 000 orang setiap tahunnya. Upaya memerangi kelaparan dan mengurangi kemiskinan telah dilakukan di Indonesia sejak awal kemerdekaan secara terus menerus. Setelah tahun 1996 pemerintah bersama masyarakat melakukan upaya antara lain melalui program peningkatan produksi pangan, program Jaring Pengaman Sosial di bidang pertanian, pendidikan, sosial dan kesehatan. Namun demikian pada tahun 1999 masih tercatat 49.9 juta jiwa yang masih menderita kelaparan dan 47.9 juta jiwa yang miskin (Kompas 16 April 2002).

Kelaparan merupakan akibat dari banyak faktor yang harus ditangani dengan kerjasama antar pihak-pihak yang berkepentingan. Kelaparan dapat berdampak buruk terhadap status gizi seseorang. Selain itu, kelaparan juga dapat berakibat buruk pada kelangsungan hidup manusia karena pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling utama bagi manusia yang dibutuhkan bagi kelanjutan hidup manusia. Manusia membutuhkan pangan dengan alasan makanan adalah sumber zat gizi yang dibutuhkan manusia untuk mencapai derajat kesehatan. Kebutuhan makanan setiap tingkatan usia berbeda disesuaikan dengan tingkat aktivitas dan tahapan perkembangan manusia. Terpenuhi atau tidaknya kebutuhan tersebut baik pada masa lalu maupun masa sekarang dicerminkan oleh keadaan status gizi yang dapat diukur dengan beberapa cara. Oleh karena itu, faktor utama yang mempengaruhi status gizi seseorang adalah konsumsi pangannya.

Kebutuhan gizi minimum sehari merupakan jumlah zat gizi minimal yang harus ada dalam pangan yang diperlukan seseorang dalam sehari untuk hidup sehat. Kekurangan atau kelebihan konsumsi zat gizi dari kebutuhan secara terus menerus dapat membahayakan kesehatan. Kekurangan energi dan protein pada jangka pendek akan menyebabkan kelaparan dan selanjutnya akan menyebabkan penurunan berat badan dan produktivitas. Pada keadaan

kekurangan energi dan protein yang berat dapat terjadi marasmus atau

kwashiorkor. Berbeda dengan kebutuhan gizi, kecukupan gizi memiliki arti jumlah zat gizi yang diperlukan agar hampir semua (97.5%) populasi hidup sehat (Hardinsyah & Martianto 1989).


(15)

Ibu adalah manajer dan pengatur pangan dan keluarga. Ibu akan berusaha menjamin kebutuhan pangan setiap anggota keluarganya. Oleh karena itu, ibu seharusnya selalu dalam keadaan status gizi yang baik agar dapat berperan optimal untuk keluarga. Akan tetapi pada kenyataannya, apabila terjadi kekurangan pangan di suatu keluarga maka ibu adalah anggota keluarga yang pertama kali mengalah agar kebutuhan anggota keluarga lainnya dapat tercukupi, sehingga apabila ibu memiliki status gizi yang buruk dapat diartikan bahwa kekurangan pangan di keluarga tersebut cukup parah. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan pada ibu rumah tangga untuk bisa menjawab pertanyaan penelitian, antara lain:

1. Bagaimana konsumsi ibu pada keluarga kelaparan dan tidak kelaparan 2. Bagaimana status gizi ibu pada keluarga kelaparan dan tidak kelaparan

Tujuan Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat konsumsi dan status gizi ibu pada keluarga kelaparan dan tidak kelaparan.

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik keluarga kelaparan dan tidak kelaparan. 2. Menganalisis tingkat konsumsi ibu pada keluarga kelaparan dan tidak

kelaparan.

3. Menganalisis status gizi ibu pada keluarga kelaparan dan tidak kelaparan 4. Menganalisis hubungan sosioekonomi keluarga dengan tingkat konsumsi

energi.

5. Menganalisis hubungan tingkat konsumsi ibu dengan status gizi pada keluarga kelaparan dan tidak kelaparan.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang konsumsi dan status gizi ibu pada keluarga kelaparan dan tidak kelaparan. Informasi ini nantinya diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak-pihak terkait untuk mengatasi kelaparan yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Bagi mahasiswa penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan serta pengetahuan tentang kelaparan.


(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Kelaparan Konsep Kelaparan

Kelaparan merupakan kondisi dimana seseorang tidak memperoleh konsumsi makanan yang cukup. Kelaparan dan status gizi merupakan dua hal yang disebabkan oleh konsumsi pangan yang tidak cukup pada waktu tertentu. Kelaparan akan berakibat pada penurunan kualitas sumberdaya manusia sehingga pemerintah melakukan beberapa upaya untuk mencegah dan mengatasinya (Soekirman 2000). Kelaparan dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi hasil dari kurangnya konsumsi pangan kronik, yang disebabkan oleh ketidak mampuan mendapatkan pangan yang cukup (Lenhart 1989). Konsep kelaparan berdasarkan FAO (2003) yaitu ketidak mampuan memenuhi kebutuhan energi (secara rata-rata sepanjang tahun) untuk hidup sehat, produktif dan mempertahankan berat badan sehat. Kelaparan juga dapat didefinisikan

sebagai kurang pangan (food deprivation) dan kurang gizi (undernourishment)

(Mason 2003), atau perasaan tak tenang atau gelisah yang disebabkan oleh kurangnya akses terhadap pangan (Kennedy 2003).

Konferensi Tingkat Tinggi Pangan Dunia 1996 menegaskan bahwa hak setiap orang untuk memiliki akses terhadap pangan yang aman, bermutu dan bergizi. Hasil KTT tersebut konsisten dengan deklarasi hak asasi manusia pada tahun 1948 bahwa bebas dari kelaparan merupakan hak asasi bagi setiap orang. Dengan demikian diperlukan komitmen yang kuat dari berbagai pihak untuk melakukan berbagai upaya dalam rangka menurunkan separuh dari jumlah penderita kelaparan dunia dan Indonesia khususnya pada tahun 2015.

Penelitian yang dilakukan oleh Casey menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara kejadian kerawanan pangan ditingkat keluarga dengan kondisi emosional ibu. Oleh karena itu keadaan ibu sangat

mempengaruhi keadaan gizi anggota keluarganya (Casey, et al 2004). Kelaparan

selalu berkaitan langsung dengan kekurangan pangan yang parah yang berdampak pada status gizi penderitanya, namun sebenarnya secara ilmiah ada

dua jenis kelaparan, yaitu kelaparan kentara dan kelaparan tidak kentara (hidden

hunger). Kelaparan kentara didefinisikan sebagai ketidakmampuan seseorang memenuhi kebutuhan pangan untuk hidup sehat, cerdas dan produktif karena masalah daya beli dan atau ketersediaan pangan, sedangkan kelaparan tidak kentara lebih diasosiasikan pada kekurangan konsumsi zat gizi mikro. Secara


(17)

antropometri pengukuran kelaparan kentara bisa dilihat, namun kelaparan tidak kentara sulit untuk dilihat dengan ukuran antropometri, tetapi dapat disimpulkan melalui penilaian status gizi secara biokimia atau pemeriksaan klinis (Martianto 2002).

Definisi kelaparan yang diusulkan untuk dipakai di Indonesia yaitu “kelaparan merupakan kondisi seseorang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam jangka waktu tertentu karenan ketersediaan pangan dan ekonomi” dalam hal ini orang berpuasa, diet, menderita penyakit tidak termasuk dalam batasan ini. Definisi yang hampir sama juga dihasilkan dari kesepakatan Pertemuan 27 November 2002 (BBKP DEPTAN) yaitu kelaparan merupakan ketidakmampuan seseorang memenuhi kebutuhan pangan minimal untuk hidup sehat, cerdas dan produktif selama dua bulan berturut-turut karena masalah daya beli dan/atau ketersediaan pangan serta nilai-nilai masyarakat (Tanziha 2005).

Menurut Mason (2003) ciri-ciri adanya kelaparan dapat dilihat dari:

1. Dampak terhadap kesehatan: kekurangan gizi secara fisik diindikasikan oleh

wasting (rendahnya BB/TB), underweight (rendahnya IMT) atau stunting (rendahnya TB/U), pada defisiensi micronutrient terjadi immunocompetence yang rendah, anemia, dampak terhadap perkembangan dan kemampuan kognitif.

2. Penderitaan: penyakit dan kesulitan karena kelaparan, merasa kesulitan atau sakit karena kekurangan pangan, sebagian besar orang akan lebih memperhatikan kebutuhan pangan untuk anak-anaknya.

3. Perilaku: kemiskinan, orientasi utama untuk mencari makan dan perilaku

untuk mendapatkan bantuan demi kelangsungan hidup.

4. Ekonomi: mengurangi produktivitas, disebabkan karena rendahnya

kesediaan energi untuk kerja dan rendahnya kekuatan fisik karena kekurangan gizi.

Kelaparan dapat menyebabkan seorang dewasa kehilangan separuh dari berat badannya dan anak-anak lebih dari separuh berat badannya. Kehilangan berat paling banyak terjadi di hati dan usus, lalu di jantung dan ginjal, dan paling sedikit di sistem saraf. Tanda yang paling jelas dari berkurangnya berat badan adalah berkurangnya lemak di bagian tubuh yang dalam keadaan normal menyimpan lemak, berkurangnya ukuran otot dan menonjolnya tulang-tulang. Kulit menjadi tipis, kering, tidak elastis, pucat dan dingin. Rambut menjadi kering,


(18)

jarang/tipis dan mudah rontok. Sebagian besar sistem tubuh akan terkena akibatnya dan kelaparan total akan berakibat fatal dalam 8-12 minggu (Anonim 2006).

Tabel 1 Pengaruh kelaparan terhadap sistem tubuh

Sistem Efek

Sistem Pencernaan • Menurunkan produksi asam lambung

• Diare yg sering & bisa berakibat fatal Sistem

Kardiovaskuler (Jantung & Pembuluh Darah)

• Mengurangi ukuran jantung & jumlah darah yg dipompa,

memperlambat denyut jantung & menurunkan tekanan darah

• Pada akhirnya menyebabkan kegagalan jantung

Sistem Pernafasan • Memperlambat pernafasan, mengurangi kapasitas

paru-paru

• Pada akhirnya menyebabkan kegagalan pernafasan

Sistem Reproduksi • Mengurangi ukuran indung telur (pada wanita) & buah

zakar (pada laki-laki)

• Kehilangan gairah seksual (libido)

• Terhentinya siklus menstruasi

Sistem Saraf • Apati & mudah tersinggung, meskipun intelektual tidak

terganggu Sistem Muskuler

(Otot) •

Kesanggupan yang rendah untuk melakukan latihan atau kerja, karena berkurangnya ukuran & kekuatan otot Sistem

Hematologis (Darah)

• Anemia

Sistem Metabolik • Suhu tubuh yg rendah (hipotermia), sering

menyebabkan kematian

• Pengumpulan cairan di kulit, terutama disebabkan oleh

hilangnya lemak dibawah kulit

Sistem Kekebalan • Terganggunya kemampuan untuk melawan infeksi &

penyembuhan luka Sumber : Anonim (2006)

Prevalensi overweight dan obesitas di United States meningkat pada

keluarga dengan status sosial ekonomi yang rendah, yang kebanyakan mengalami ketidaktahanan pangan. Pemilihan makanan atau adaptasi fisiologi sebagai respon terhadap kekurangan pangan dapat meningkatkan lemak tubuh. Wanita yang mengalami kekurangan pangan pada tingkat menengah atau berat

menjadi lebih mudah overweight daripada wanita dengan kecukupan pangan.

Hubungan kekurangan pangan dengan kelaparan diukur dengan menggunakan 4 bagian dari FSS yang menunjukkan adanya hubungan dengan peningkatan


(19)

resiko terjadinya obesitas pada wanita di Latino, Asia dan amerika tapi tidak pada

wanita kulit putih (Kaiser et al. 2001).

Pengukuran Kelaparan

Kuantitatif. Secara operasional kelaparan merupakan ketidakmampuan seseorang memenuhi tujuh puluh persen kebutuhan energi yang disertai penurunan berat badan karena masalah daya beli dan/atau ketersediaan pangan. Dalam hal ini kelaparan yang dimaksud adalah kelaparan kronis, dimana seorang individu dikatakan lapar apabila dalam dua bulan berturut-turut konsumsi energinya kurang dari tujuh puluh persen kebutuhan (Tanziha 2005).

Dua bulan dipakai sebagai ukuran waktu kelaparan, karena diasumsikan apabila seorang dewasa tingkat konsumsi energinya kurang dari tujuh puluh persen dalam jangka waktu dua bulan, maka individu tersebut akan mengalami penurunan berat badan sebesar tiga sampai dengan lima kg, yang dapat dirasakan langsung oleh individu tersebut. Sehingga apabila individu ditanyakan apakah terjadi penurunan berat badan karena kurang makan, maka responden dapat menjawab dengan benar, walaupun hanya dengan ukuran pesepsi berdasar terasa baju atau celana yang semakin longgar (Hardinsyah 2002).

Ada 4 jenis kondisi yang hampir sama untuk menilai ketidaktahanan pangan atau kelaparan baik pada tingkat rumah tangga maupun individu yaitu; 1)

Ketersediaan pangan (Dietary Energy Supply), 2) Konsumsi Energi, 3) Status

Gizi Secara antropometri dan 4) Persen pengeluaran untuk makanan (% food

Expenditure) (FAO 2002).

Kualitatif. FAO (2003) dalam menghitung besaran kelaparan dan membuat peta kelaparan dunia, digunakan indikator proses yaitu konsumsi energi dan indikator dampak yaitu status gizi. Bila dibandingkan dengan konsumsi, indikator status gizi relatif lebih mudah pemantauannya, hanya sudah agak terlambat bagi penanggulangan kelaparan atau bukan merupakan isyarat dini. Carlson, Andrews and Bickel (1999) mengembangkan indikator kualitatif yang dapat memprediksi kelaparan. Apabila dalam suatu rumah tangga orang tua memikirkan bagaimana makan selanjutnya dan bagaimana makanan itu bisa diperoleh, sudah merupakan indikator adanya kelaparan di rumah tangga itu.

Hasil penelitian USDA pada tahun 1991 (www. Ers.usda,gov) mengembangkan indikator kualitatif kelaparan bersamaan dengan indikator kualitatif ketahanan pangan, menunjukkan bahwa ada tiga indikator yang berhubungan dengan ketidaktahahan pangan dan 2 indikator yang menunjukkan


(20)

kelaparan. Indikator yang menunjukkan ketidaktahanan pangan yaitu : 1) mereka merasakan kecemasan habisnya persediaan makanan, sebelum mereka mempunyai uang untuk membelinya lagi, 2) makanan habis sebelum mereka mendapat uang untuk membelinya lagi, dan 3) mereka tidak bisa makan dengan gizi seimbang. Indikator yang menunjukkan kelaparan yaitu : 1) orang dewasa memberikan makanan bagiannya untuk anak-anak karena sedikitnya persediaan makanan (kelaparan rumah tangga dalam kategori sedang); 2) ada anak di rumah tangga tersebut tidak kebagian makan karena sedikitnya persediaan makanan yang ada (kelaparan rumah tangga tingkat berat).

Konsumsi Definisi dan Pengukuran Konsumsi

Konsumsi pangan merupakan informasi mengenai jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Batasan ini menujukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Pangan sebagai sumber berbagai zat gizi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi setiap hari. Namun kebutuhan pangan harus dipenuhi dalam jumlah yang cukup karena kekurangan atau kelebihan pangan akan berdampak terhadap kesehatan

(Hardinsyah et al 2002).

Konsumsi pangan seseorang atau sekelompok orang dipengaruhi oleh

berbegai faktor. Menurut Harper et al (1986) terdapat 4 faktor utama yang

mempengaruhi konsumsi seseorang atau sekelompok orang, yaitu: produksi pangan untuk keperluan rumah tangga, pengeluaran uang untuk pangan rumah tangga, pengetahuan gizi dan tersedianya pangan.

Salah satu indikator kesejahteraan masyarakat adalah tingkat konsumsi. Semakin tinggi konsumsi masyarakat maka dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan penduduknya telah meningkat (Anonim 2004). Pada tahun 2005, kualitas konsumsi penduduk sudah semakin baik, yang ditunjukkan oleh keragaman konsumsi pangan penduduk mendekati skor mutu konsumsi sesuai Pola Pangan Harapan (PPH) yang Beragam, Bergizi, dan Berimbang (3B) sebesar 79,1.


(21)

Tabel 2 Rata-rata konsumsi pangan tingkat rumah tangga tahun 2004-2005

N

o Kelompok Pangan

Th. 2004 Th. 2005 Gram Energi% AKG Skor

PPH Gram Energi% AKG Skor PPH

1 Padi-padian 338.1 1296 64.8 25.0 342.4 1305 65.3 25.0

2 Umbi-umbian 83.7 103 5.2 2.5 79.0 98 4.9 2.5

3 Pangan hewani 72.8 108 5.4 10.8 77.8 113 5.7 11.3

4 Minyak dan lemak 20.6 182.0 9.1 4.6 21.6 192 9.6 4.8

5 Buah/biji berminyak 10.1 55.0 2.8 1.0 10.9 59 3.0 1.0

6 Kacang-kacangan 20.6 57 2.9 5.7 23.6 64 3.2 6.4

7 Gula 28.1 97 4.9 2.4 26.8 98 4.9 2.4

8 Sayur dan buah 201.7 88 4.4 22.0 226.7 97 4.9 24.2

9 Lain-lain 36.9 32 1.6 0.0 39.2 34 1.7 0.0

Total 2018 100.9 2060 103.0

Skor PPH 74.0 77.6

Sumber : Anonim (2002)

Penilaian konsumsi dapat dilakukan pada tingkat individu, keluarga maupun masyarakat. Beberapa metode yang dapat digunakan pada survei konsumsi pangan di tingkat rumah tangga antara lain : metode inventaris (inventory method), metode pendaftaran (food list-recall method), metode

frekuensi pangan (food frequency method), food account method dan food record

method. Terdapat dua kelompok metode yang dapat digunakan untuk mengukur konsumsi pangan individu, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Survei konsumsi pada tingkat individu dapat menggunakan metode-metode berikut ini: penimbangan (weighed foodmethod), metode mengingat-ingat (recall method), riwayat makan (dietary history), frekuensi pangan (food frequency questionnaire), estimated food record dan metode kombinasi. Setiap metode memiliki kelemahan dan kelebihan, sehingga dalam memilih metode yang akan digunakan diperhatikan tujuan dilakukannya penilaian (Gibson 2005).

Metode Mengingat-ingat (Recall Method). Pada metode ini dicatat mengenai jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi pada waktu yang lalu

(biasanya recall 24 jam) secara detail termasuk metode memasak dan merk

makanan yang dikonsumsi. Pengukuran konsumsi pangan diawali dengan menanyakan jumlah pangan dalam ukuran rumah tangga, setelah itu baru dikonversikan ke dalam satuan berat. Metode ini dapat dilakukan pada anak yang berusia diatas delapan tahun, orang dewasa kecuali untuk orang yang

bermasalah dengan ingatan. Anak yang berusia 4-8 tahun dapat di recall dapat di


(22)

Metode recall ini murah, dan tidak memakan waktu banyak. Kekurangan metode adalah data yang dihasilkan kurang akurat karena mengandalkan keterbatasan daya ingat sesorang dan tergantung dari keahlian tenaga pencatatan dalam mengkonversikan URT kedalam satuan berat serta adanya variasi URT antar daerah, dan ada variasi interpretasi besarnya ukuran (besar, sedang, kecil, dll) antar responden (Gibson 2005).

Metode recall umumnya digunakan untuk survei konsumsi tingkat

individu. Dalam metode ini, responden diminta untuk mengingat semua makanan yang telah dimakan, biasanya makanan sehari atau 24 jam yang lalu. Responden diminta untuk mengingat jenis masakan yang dimakan beserta jenis pangan penyusunnya. Jumlah makanan yang dicatat biasanya dalam bentuk masak (kecuali untuk makanan-makanan tertentu yang biasa dikonsumsi dalam bentuk segar dan mentah) dalam ukuran rumah tangga (URT) misalnya gelas, mangkuk, sendok makan dsb. Untuk membantu mengperkirakan jumlah makanan yang dimakan, deskripsikan dan identifikasi secara tepat setiap jenis pangan dengan

menggunakan ukuran porsi, food models, atau foto pangan. Penggaris dapat

digunakan untuk mengestimasi ukuran pangan. Kuesioner yang terstruktur

digunakan sebagai pemandu pengisian data. Metode recall dapat diulang pada

waktu lain untuk mengetahui rata-rata intik pangan individu pada waktu yang lama (Gibson 2005).

Frekuensi Pangan (Food Frequency). Penggunanan metode frekuensi pangan bertujuan untuk memperoleh data konsumsi pangan secara kualitatif dan informasi deskriptif tentang pola konsumsi. Metode ini umumnya tidak digunakan untuk memperoleh data kuantitatif pangan ataupun intik konsumsi zat gizi. Metode frekuensi pangan dapat juga digunakan untuk menilai konsumsi pangan secara semikuantitatif dengan memasukkan ukuran porsi makanan. Hal ini tergantung dari tujuan studi, apakah hanya ingin menggali frekuensi penggunaan pangan saja atau juga sekaligus dengan konsumsi zat gizinya. Dengan metode ini, kita dapat menilai frekuensi penggunaan pangan atau kelompok pangan tertentu (misalnya : sumber lemak, sumber protein, sumber vitamin A, dsb) selama kurun waktu yang spesifik (misalnya : per hari, minggu, bulan, tahun) dan sekaligus mengperkirakan konsumsi zat gizinya. Kuesioner mempunyai dua komponen utama yaitu daftar pangan dan frekuensi penggunaan pangan (Gibson 2005).


(23)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi

Banyak hal yang mempengaruhi konsumsi pangan individu. Faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan penduduk suatu daerah adalah faktor ekonomi, harga, sosio budaya dan religi. Di tingkat rumah tangga, kesehatan sangat berperan terhadap konsumsi pangan anggotanya. Keadaan fisiologis seseorang juga sangat mempengaruhi jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya. Ibu hamil, ibu menyusui, serta bayi dan anak-anak memerlukan makanan dengan jumlah dan jenis yang lebih banyak, karena mereka membutuhkan zat gizi yang cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan.

Pendapatan. Menurut Hardinsyah, Setiawan dan Baliwati (1987) salah satu faktor yang dapat mempengaruhi jumlah atau jenis pangan yang dikonsumsi keluarga adalah status ekonomi. Salah satu ukuran status ekonomi adalah tingkat pendapatan total yang diterima oleh keluarga, yang dapat dicerminkan dari pengeluaran total keluarga. Suhardjo (1989) menyatakan bahwa meningkatnya pendapatan seseorang akan mempengaruhi pola konsumsi pangan seseorang, akan tetapi alokasi pendapatan yang lebih besar untuk pangan tidak menjamin keberagaman terjadinya perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Kadang-kadang perubahan utama yang terjadi di dalam kebiasaan makan adalah pangan yang dimakan lebih mahal.

Menurut Soekirman (2000) penurunan pendapatan berhubungan langsung dengan penurunan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dan pada jangka waktu yang lama akan menyebabkan gizi kurang. Hal ini dapat dijelaskan dengan hukum Engel yang menyatakan bahwa: “Pada saat terjadinya peningkatan pendapatan, konsumen akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan porsi yang semakin kecil. Sebaliknya bila pendapatan menurun, porsi yang dibelanjakan untuk pangan semakin meningkat”.

Peningkatan pendapatan akan meningkatkan perhatian terhadap kandungan gizi makanan yang akan dikonsumsi sehingga kualitas konsumsi pangan meningkat. Pada tingkat pendapatan yang rendah, konsumsi diutamakan pada pangan sumber energi terutama padi-padian (Soekirman 2000). Menurut

Hardinsyah et al (2002) terdapat kecenderungan dengan peningkatan

pendapatan seseorang maka jenis pangan yang dikonsumsi akan semakin beragam. Namun kadang-kadang peningkatan pendapatan tidak meningkatkan keragaman jenis pangan tetapi pangan yang dibeli harganya lebih mahal. Di Indonesia terdapat kecenderungan proporsi pengeluaran untuk pangan daging,


(24)

telur, susu, buah, minyak dan lemak pada penduduk lapisan atas lebih tinggi jika dibanding dengan penduduk lapisan bawah.

Kerawanan pangan biasa terjadi pada keluarga miskin. Pada tahun 1999, 10.9% dari seluruh keluarga dilaporkan rawan pangan. Persentase keluarga rawan pangan yang mendapat kupon makanan dan bantuan gizi lebih tinggi dibanding dengan keluarga yang tahan pangan, hal ini mengindikasikan kerawanan gizi pada keluarga. Keluarga yang hidup dibawah garis kemiskinan biasanya tidak memiliki simpanan untuk bersandar, hanya memiliki sedikit atau tidak sama sekali kebebasan uang untuk dibelanjakan ketika pendapatan menurun karena terjadi sesuatu, seperti kenaikan harga atau pengeluaran untuk

bahan bakar atau yang lebih buruk lagi kehilangan pendapatan (Casey et al

2004).

Harga. Harga adalah nilai ekonomi yang diberikan terhadap suatu barang, baik pangan maupun nonpangan. Pangan yang bersifat elastis, sangat responsif terhadap harga, peningkatan harga pangan tersebut akan menyebabkan penurunan konsumsinya. Contoh dari pangan yang elastis adalah pangan yang dianggap mewah seperti susu dan daging. Peningkatan harga akan menurunkan daya beli sehingga konsumsi pangan menjadi menurun. pada kondisi lain dimana daya beli menurun akan tetapi diikuti dengan perubahan pangan yang bersifat substitusi, maka komposisi bahan pangan yang dibeli akan tetap dipertahankan. Perubahan harga nonpangan juga dapat mempengaruhi konsumsi pangan. Penurunan harga barang nonpangan ada kecenderungan terjadinya penurunan konsumsi pangan. Sebaliknya apabila harga nonpangan

meningkat maka konsumsi bahan pangan juga meningkat (Hardinsyah et al

2002).

Tingkat ketahanan rumah tangga akan terjamin atau terancam tergantung pada harga pangan. Pada berbagai tingkat pendapatan, konsumsi pangan akan lebih tinggi pada harga yang rendah dan akan lebih rendah pada harga yang tinggi. Hal ini didasarkan pada hukum Bennet yang menyatakan bahwa peningkatan pendapatan akan mengakibatkan individu cenderung meningkatkan kualitas konsumsinya dengan harga yang lebih mahal (Soekirman 2000).

Perubahan harga yang nyata terjadi di Indonesia saat krisis ekonomi tahun 1997. Krisis ekonomi telah menyebabkan ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga menjadi minim. Pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari untuk seluruh anggota keluarga sulit dijangkau, terutama pada keluarga yang hidupnya


(25)

pas-pasan. Dalam keadaan seperti ini diperkirakan terjadi perubahan pola makan, dimana pada sebelum krisis ekonomi lebih diutamakan makanan yang beragam dan lebih mahal agar dapat memenuhi kebutuhan gizi untuk menjamin tumbuh kembang dan kesehatan, tetapi pada saat krisis karena keterbatasan penghasilan lebih ditujukan untuk mengisi perut agar dapat bertahan hidup. Pada saat krisis ekonomi (1999), terjadi penurunan frekuensi konsumsi keluarga terhadap daging dibandingkan dengan sebelum krisis (1993/l994). Sebaliknya terjadi kenaikkan frekuensi konsumsi ikan basah, ikan kering/asin, dan telor (Husaini 2002).

Pengetahuan Gizi. Harper, Deaton dan Driskel (1986) menyatakan bahwa kemiskinan dan kekurangan persediaan pangan yang bergizi merupakan faktor penting dalam masalah kurang gizi, penyebab lain yang penting dari gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk menerapkan informasi tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari. Tingkat pengetahuan gizi ibu berhubungan dengan tingkat pendidikan formal ibu. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal ibu maka wawasan berfikirnya akan semakin luas sehingga informasi gizi yang didapat juga akan semakin banyak (Suhardjo 1989).

Orang yang mempunyai pendidikan dan pengetahuan yang tinggi cenderung untuk memilih bahan pangan lebih baik dari mereka yang berpendidikan rendah (Enoch 1980, diacu dalam Rejeki 2000). Keterbatasan informasi dan tingkat pengetahuan gizi seseorang dapat menyebabkan tujuan akhir dalam membeli dan mengkonsumsi pangan berubah menjadi asal kenyang (Hardinsyah 1985, diacu dalam Rejeki 2000).

Pengetahuan gizi mempengaruhi seseorang dalam memilih makanan yang akan dikonsumsi. Pengetahuan gizi juga dianggap sebagai sesuatu yang harus dimiliki seseorang untuk menunjang kesehatannya. Harper, Deaton dan Driskel (1986) menyatakan alasan pentingnya pengetahuan gizi adalah:

1. Status gizi merupakan sesuatu yang penting bagi kesehatan dan kesejahteraan,

2. Status gizi baik mencerminkan makanan yang dikonsumsi mencukupi kebutuhan gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan yang optimal, pemeliharaan tubuh dan energi,

3. Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang diperlukan dalam pemilihan makanan yang bergizi.


(26)

Status Gizi Definisi dan Pengukuran Status Gizi

Status gizi adalah keadaan seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama. Status gizi merupakan suatu bagian penting dari status kesehatan seseorang (Harper, Deaton & Diskel 1986). Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu: antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. Secara umum antropometri adalah pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropomentri digunakan untuk mengetahui ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi (Supriasa, Bakri & Fajar 2001). Status gizi seseorang dapat ditentukan melalui beberapa cara, yaitu:

1. Mengukur tinggi badan dan berat badan, lalu membandingkannya dengan tabel standar,

2. Menghitung Indeks Massa Tubuh (BMI, Body Mass Index), yaitu berat badan

(dalam kilogram) dibagi dengan tinggi badan (dalam meter). 3. Mengukur ketebalan lipatan kulit.

Lipatan kulit di lengan atas sebelah belakang (lipatan trisep) ditarik menjauhi

lengan, sehingga lapisan lemak dibawah kulitnya dapat diukur, biasanya

dengan menggunakan jangka lengkung (kaliper). Lemak dibawah kulit

banyaknya adalah lima puluh persen dari lemak tubuh. Lipatan lemak normal adalah sekitar 1,25 cm pada laki-laki dan sekitar 2,5 cm pada wanita.

4. Status gizi juga bisa diperoleh dengan mengukur lingkar lengan atas untuk

memperkirakan jumlah otot rangka dalam tubuh (Lean Body Mass, massa

tubuh yang tidak berlemak) (Anonim 2006).

Indeks antropometri yang sering digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Indeks BB/U adalah pengukuran total berta badan termasuk air, lemak, tulang dan otot. Diantara indeks antropometri yang disebut diatas, indeks BB/U adalah indeks yang paling sering digunakan dan dianjurkan juga menggunakan indeks TB/U dan BB/TB untuk membedakan jenis kekurangan gizi yang terjadi apakan sifatnya kronis atau akut. Keadaan gizi akut adalah keadaan kurang gizi yang terjadi pada masa sekarang sedangkan keadaan gizi kronis berhubungan dengan masa lalu (Supriasa, Bakri & Fajar 2001).


(27)

Tahun 1978, WHO lebih menganjurkan menggunakan indeks BB/TB karena biasanya faktor umur sulit untuk didapatkan karena masalah pencatatan kelahiran sering terjadi. Indeks BB/TB hanya dapat menggambarkan keadaan status gizi masa sekarang dan tidak dapat menggambarkan riwayat keadaan gizi seseorang (Supriasa, Bakri & Fajar 2001). Status gizi ibu diukur dengan menggunakan Lingkar Lengan Atas (LILA) dan Indeks Massa Tubuh (IMT). Batasan nilai LILA adalah dibawah nilai 23.5 mengindikasikan resiko Kurang Energi Kronis (KEK), dan nilai IMT kurang dari 18.5 digunakan untuk mengindikasikan resiko KEK (Atmarita 2005).

Kecukupan Gizi yang Dianjurkan

Kecukupan gizi dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktivitas, berat dan tinggi badan, genetika, serta keadaan hamil dan menyusukan. kecukupan gizi

yang dianjurkan agak berbeda dengan kebutuhan gizi (requirement). Yang

terakhir ini lebih menggambarkan banyaknya zat gizi minimal yang diperlukan oleh masing-masing individu, jadi ada yang tinggi dan ada pula yang rendah, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain faktor genetika (Karyadi & Muhilal 1985).

Dalam penghitungan kecukupan gizi yang dianjurkan, pada umumnya sudah diperhitungkan faktor variasi kebutuhan individual, sehingga angka kecukupan gizi yang dianjurkan setingkat dengan kebutuhan rata-rata ditambah dua kali simpangan baku (standar deviasi). Dengan demikian kecukupan yang dianjurkan sudah mencakup lebih dari 97.5% populasi (Karyadi & Muhilal 1985). Tabel 3 Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (AKG 2004)

Umur BB (kg) TB (cm) Energi (kkal) Protein (g)

Wanita :

16-18 th 50 155 2200 55

19-29 th 52 156 1900 50

30-49 th 55 156 1800 50

50-64 th 55 156 1750 50

65 th+ 55 156 1600 45

Hamil

Trimerster 1 +180 +17

Trimerster 2 +300 +17

Trimerster 3 +300 +17

Menyusui :

0-6 bln + 500 +17

7-12 bln + 550 +17


(28)

Adanya interaksi antara berbagai zat gizi memberi gambaran perlunya

diupayakan suatu keseimbangan (balance) zat-zat gizi yang dikonsumsi.

Semakin bervariasi atau beraneka ragam menu kita, maka semakin tercapai keseimbangan dalam interaksi antara zat gizi, yang akan terpenuhi dengan pedoman “empat sehat lima sempurna” (Karyadi & Muhilal 1985).

Menurut Karyadi dan Muhilal (1985) kegunaan Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan antara lain :

(1) Untuk menilai kecukupan gizi yang telah dicapai melalui konsumsi makanan bagi penduduk atau golongan masyarakat tertentu yang didapatkan dari hasil survey gizi/makanan. Untuk penilaian ini perlu diperhatikan bahwa untuk perhitungan kecukupan dipakai patokan berat badan tertentu. Bila hasil survey menunjukkan bahwa rata-rata berat badan menyimpang dari patokan, maka perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian angka kecukupannya. Demikian pula bila skor asam amino dan nilai kecernaan hidangan berbeda dengan skor dan nilai yang dipakai dalam menyusun kecukupan ini, perlu dilakukan penyesuaian.

(2) Untuk perencanaan pemberian makanan tambahan balita maupun perencanaan makanan institusi.

(3) Untuk perencanaan penyediaan pangan tingkat regional maupun nasional.

Menaksir AKG pada Kecukupan Energi dan Protein

Pangan bagi makhluk hidup umumnya dan manusia khususnya merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi untuk dapat mempertahankan hidup serta melaksanakan kewajiban-kewajiban hidup. Tetapi berbeda dengan kebutuhan hidup yang lain, kebutuhan pangan hanya diperlukan secukupnya. Baik kurang maupun lebih dari kecukupan yang diperlukan, terutama bila dialami dalam jangka waktu yang lama, akan berdampak buruk pada kesehatan (Khumaidi 1989).

AKG atau RDA (recommended Dietary Allowance). AKG adalah suatu

taraf intik yang dianggap dapat memenuhi kecukupan gizi semua orang yang sehat menurut berbagai kelompoknya. Karena AKG dimaksudkan hanya untuk golongan orang yang sehat maka penyimpangan-penyimpangan khusus akan kebutuhan gizi sebagai akibat dari kelainan metabolisme (termasuk malnutrisi), perawatan khusus dan sebagainya tidak diperhitungkan dalam AKG. Nilai AKG untuk semua zat gizi kecuali energi ditetapkan selalu berarti tidak cukup, tetapi makin jauh di bawah nilai tersebut risiko untuk memperoleh suapan yang tidak


(29)

cukup meningkat. Khusus untuk energi, nilai kecukupannya ditaksir setara

dengan nilai pakainya (expenditure) sebab asupan energi yang kurang atau lebih

dari nilai kebutuhan akan memberikan dampak pada terganggunya kesehatan (Khumaidi 1989).


(30)

KERANGKA PEMIKIRAN

Menurut Hardinsyah et al (2003) terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi konsumsi pangan individu baik di tingkat keluarga maupun daerah yaitu keadaan sosial ekonomi dan sosial budaya, lingkungan, pertumbuhan, keadaan fisiologis, daya tahan tubuh, infeksi dan infestasi cacing dalam tubuh, fasilitas kesehatan serta pendidikan. Konsumsi pangan merupakan hal yang sangat berhubungan dengan status gizi seseorang. Jika konsumsi pangan memenuhi semua kebutuhan zat gizi seseorang maka diharapkan seseorang akan memiliki status gizi yang baik sehingga diharapkan terhindar dari masalah kesehatan. Sebaliknya jika konsumsi pangan seseorang tidak memenuhi kebutuhan zat gizi maka orang tersebut akan memiliki status gizi yang kurang dan lebih beresiko umtuk mendapatkan masalah kesehatan. Selain konsumsi, status gizi juga dipengaruhi oleh infeksi yang dialami individu (Almatsier 2002). Adanya infeksi dapat mengganggu metabolisme makanan dan penyerapan zat-zat gizi dalam tubuh. Seseorang yang kebutuhannya tercukupi tetapi mengalami infeksi mungkin memiliki status gizi yang buruk.

Pola makan dan sosio budaya merupakan dua hal yang berhubungan dan mempengaruhi status gizi. Pola makan seseorang biasanya dibangun oleh sosio budaya yang dianut oleh masyarakat dimana seseorang tinggal. Sosio budaya menganut adanya makanan yang memiliki peran dalam keagamaan dan sosial. Selain itu, terdapat pula pola pantangan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah fasilitas kesehatan dan pendidikan. Adanya fasilitas kesehatan yang mudah dijangkau akan memudahkan masyarakat mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan. Pendidikan berhubungan dengan berapa berapa banyak informasi yang didapat dan pemilihan makanan.

Konsumsi pangan seseorang dipengaruhi oleh dua hal yaitu karakteristik individu dan karakteristik sosial ekonomi individu. Karakteristik individu yang mempengaruhi konsumsi pangan seseorang adalah usia dan pengetahuan gizi. Karakteristik sosial ekonomi yang diduga dapat mempengaruhi konsumsi pangan seseorang adalah pendidikan kepala keluarga dan ibu, pekerjaan kepala keluarga dan ibu, besar keluarga, serta pendapatan. Konsumsi pangan juga dipengaruhi oleh ketersediaan pangan. Jika suatu bahan pangan tidak tersedia di suatu daerah maka masyarakat tersebut besar kemungkinan tidak mengkonsumsi bahan pangan tersebut. Namun, pada penelitian ini variabel ketersediaan pangan keluarga tidak diamati.


(31)

Konsumsi pangan akan mempengaruhi tingkat konsumsi. Tingkat konsumsi merupakan rasio atau perbandingan konsumsi aktual dengan angka kebutuhan. Tingkat konsumsi secara langsung mempengaruhi status gizi seseorang. Selain itu, infeksi juga mempengaruhi status gizi.. Namun, dalam penelitian ini infeksi merupakan variabel yang tidak diamati. Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

= Variabel yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti

Gambar 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi ibu Karakteristik sosial ekonomi

- Besar keluarga

- Usia

- Pendidikan

- Pengetahuan gizi

- Pekerjaan

- Pengeluaran

Tingkat Konsumsi Zat Gizi

Konsumsi Makanan

Status Gizi

Ketersediaan pangan keluarga

Infeksi

Sanitasi Daya Beli

Status Fisiologis

Keluarga Kelaparan dan tidak kelaparan


(32)

METODE PENELITIAN

Disain, Waktu Dan Tempat

Disain penelitian adalah cross sectional, yaitu pengamatan terhadap

variabel pengaruh dan terpengaruh dilakukan sekaligus pada satu waktu. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai November 2006. Penelitian dilakukan di daerah pedesaan Kabupaten Bogor dan perkotaan Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Daerah penelitian adalah Desa Sukamaju, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor dan Kelurahan Sukaresmi, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan Kabupaten dan Kota Bogor berdasarkan tingkat kemiskinan tinggi (>20) yang mencerminkan rata-rata kabupaten /kota di indonesia (WFP 2005).

Penentuan Sasaran Penelitian

Kelaparan diukur dengan menggunakan ukuran kualitatif, yaitu seorang individu dikatakan tidak lapar (tahan pangan) apabila menyatakan bahwa dalam dua bulan terakhir tidak ada penurunan frekuensi ataupun porsi makan. Individu dikatakan lapar apabila dalam dua bulan terakhir terjadi penurunan frekuensi ataupun porsi makan, serta mengalami tidak makan saat lapar atau pernah seharian tidak makan.

Berdasarkan ukuran tersebut, maka terdapat 55 orang (17.10%) mengalami kelaparan dan sisanya 267 orang (82.9%) tidak mengalami kelaparan. Untuk lebih jelasnya sebaran contoh menurut kelaparan kualitatif dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Sebaran individu menurut kelaparan kualitatif

No Kelaparan Kualitatif Jumlah

n %

1 Kelaparan 55 17.10

2 Tidak Kelaparan 267 82.90

Jumlah 322 100.00

Namun bila dihitung prevalensi dalam unit keluarga, maka prevalensi kelaparan keluarga adalah 23.33 persen (Tabel 5). Penentuan keluarga kelaparan adalah dengan melihat ada tidaknya anggota keluarga yang mengalami kelaparan.

Tabel 5 Sebaran keluarga menurut kelaparan kualitatif

No Kelaparan Kualitatif Jumlah

n %

1 Kelaparan 14 23.33

2 Tidak Kelaparan 46 76.67


(33)

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan mencakup data primer dan sekunder. Data primer yang dikumpulkan mencakup data sosio ekonomi, demografi keluarga, persepsi kelaparan individu dan konsumsi pangan ibu.

Data sosioekonomi keluarga meliputi: umur ibu dan kepala keluarga, lama pendidikan formal ibu dan kepala keluarga, jumlah anggota keluarga dan komposisinya, pengetahuan gizi ibu, pekerjaan kepala keluarga dan ibu serta pengeluaran keluarga. Data tersebut dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur dan terbuka dengan alat bantu kuesioner.

Data persepsi kelaparan dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan yang merupakan modifikasi dari hasil lokakarya pengukuran instrumen kelaparan (Tanziha 2006). Wawancara dilakukan pada setiap anggota keluarga, kecuali anak balita, wawancara diwakilkan pada ibunya. Daftar pertanyaan secara lengkap disajikan pada Lampiran 2.

Data konsumsi pangan ibu didapat dengan melakukan recall 2 x 24 jam

pada ibu, dimana ibu diminta untuk menyebutkan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi selama dua hari sebelum wawancara dilakukan. Jenis dan cara pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Jenis dan cara pengumpulan data

No Jenis Cara pengambilan data

1 Konsumsi pangan ibu

(kecukupan energi)

metode recall 2X24jam

2. Data sosioekonomi keluarga wawancara dengan menggunakan

kuesioner

3. Persepsi kelaparan individu wawancara dengan menggunakan

kuesioner

4. Data sekunder pengambilan data dari instansi terkait

Sementara itu, data sekunder yang dikumpulkan adalah keragaan lokasi penelitian, seperti data demografi, pertanian dan sosial ekonomi. Data ini diperoleh dari kantor desa, kecamatan, kabupaten/kota, serta dinas lainnya yang terkait dengan penelitian ini.

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang terkumpul, ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif, yaitu data karaketristik contoh dan keluarga. Data yang dikumpulkan diolah dan dianalisis


(34)

13.0 for Windows. Proses pengolahan data meliputi editing, coding, entry, dan analisis.

Pengolahan data dilakukan dengan membuat kategori pada peubah karakteristik keluarga, pengetahuan gizi ibu, pendapatan, tingkat konsumsi serta status gizi. Status gizi dinyatakan dalam nilai IMT kecuali untuk ibu hamil digunakan ukuran Lingkar Lengan Atas (LILA). Penggunaan IMT mempertimbangkan responden yang merupakan ibu-ibu dan berumur diatas 18 tahun. Tabel 7 menunjukkan kategori untuk status gizi ibu menurut pengukuran IMT.

Tabel 7 Kategori ambang batas IMT

Kategori IMT

Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat <17.0

Kekurangan berat badan tingkat ringan 17.0-18.5

Normal 18.5-25.0

Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan 25.0-27.0

Kelebihan berat badan tingkat berat >27.0

Sumber :Depkes (1994), diacu dalam Supriasa, Bakri dan Fajar (2001)

Analisis statistik yang digunakan meliputi deskriptif, korelasi Spearman, dan uji beda (uji t dan Mann Whitney). Hubungan antara karakteristik keluarga, tingkat konsumsi dengan status gizi dikaji dengan menggunakan uji korelasi

Spearman. Uji t dan Mann Whitney digunakan untuk mengetahui apakah

terdapat perbedaan karakteristik keluarga pada keluarga kelaparan dengan keluarga tidak kelaparan.

Penilaian tingkat konsumsi gizi dilakukan dengan cara membandingkan antara konsumsi gizi aktual (nyata) dengan kecukupan gizi yang dinyatakan dalam persen. Penilaian tersebut dapat digunakan untuk individu maupun keluarga. Secara umum tingkat konsumsi dapat dirumuskan sebagai berikut :

TKGi (%) = (Ki/AKGi) x 100%

Keterangan :

TKGi = Tingkat Konsumsi zat gizi i

Ki = Konsumsi zat gizi i

AKGi = Angka Kecukupan Gizi i yang dianjurkan

Tingkat pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan keluarga dibagi menjadi dua kategori yaitu terpenuhi dan tidak terpenuhi. Keluarga dikategorikan tidak terpenuhi jika rata-rata TKE keluarga kurang dari tujuh puluh persen. Maka dikategorikan terpenuhi apabila tingkat konsumsi rata-rata keluarga lebih besar sama dengan tujuh puluh persen.


(35)

Definisi Operasional

Kelaparan merupakan ketidakmampuan seseorang memenuhi tujuh puluh persen kebutuhan energi karena masalah daya beli dan atau ketersediaan pangan. Kelaparan diukur dengan menggunakan ukuran kualitatif dengan tujuh pertanyaan hasil penelitian Uji Coba Instrumen Kelaparan yang akan digunakan sebagai alat pemantau kelaparan di Indonesia. Seorang dikatakan lapar apabila dia menjawab selama dua bulan terakhir terjadi penurunan frekuensi atau porsi makan serta mengalami tidak makan seharian karena tidak ada makanan karena tidak ada sumberdaya yang dapat digunakan untuk membeli makanan.

Keluarga adalah sebuah kelompok yang terdiri atas dua orang atau lebih yang terikat oleh perkawinan, darah dan adopsi yang tinggal dalam satu rumah dan makan dari satu dapur.

keluarga kelaparan adalah keluarga yang salah satu atau seluruh keluarganya mengalami kelaparan

Persepsi kelaparan adalah penilaian contoh terhadap konsumsinya dan perasaan lapar yang dialaminya dalam dua bulan terakhir berdasarkan pengalaman dan wawasan yang dimilikinya yang diukur dengan keusioner kelaparan.

Jumlah anggota keluarga adalah banyaknya orang di dalam suatu keluarga yang berbagi pendapatan, tempat dan konsumsi, serta makan dari satu dapur.

Pendidikan adalah jumlah tahun contoh mengikuti pendidikan formal yang dihitung dengan satuan waktu tanpa menghitung waktu tinggal kelas.

Pengetahuan gizi adalah pemahaman terhadap beberapa hal yang berkaitan dengan gizi dan kesehatan meliputi guna makanan bagi tubuh, sumber zat gizi dan kegunaan masing-masing bahan makanan bagi tubuh.

Pengeluaran keluarga adalah biaya rata-rata yang dikeluarkan oleh suatu keluarga untuk membeli dan mencukupi kebutuhan keluarga.

Pengeluaran pangan keluarga adalah biaya rata-rata yang dikeluarkan oleh suatu keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan.


(36)

Konsumsi pangan individu adalah jumlah pangan yang dimakan oleh individu atau anggota keluarga yang dikumpulkan dengan menggunakan metode

recall selama 2 X 24 jam.

Tingkat Konsumsi Energi/TKE yaitu perbandingan antara jumlah energi yang dikonsumsi individu dengan kecukupan energi yang dibutuhkan oleh individu tersebut perhari.

TKE (%) = Konsumsi energi X 100% Kecukupan energi

Status gizi adalah keadaan gizi seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama yang terlihat pada keadaan fisiologisnya pada saat ini seperti berat badan dan tinggi badan yang dinyatakan dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) dan Lingkar Lengan Atas (LILA).


(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi

Penelitian dilakukan di dua tempat yaitu di Kelurahan Sukaresmi, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor dan Desa Sukamaju, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Kelurahan Sukaresmi, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor mempunyai luas wilayah 98.08 Ha dengan jarak antara Kelurahan Sukaresmi dengan Kantor Kecamatan sekitar dua km.

Secara geografis, Kelurahan Sukaresmi bagian sebelah timur berbatasan dengan Sungai Ciliung Kedung Halang-Kecamatan Bogor Utara, di sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Sukadamai-Kecamatan Tanah Sareal, sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Cilebut Barat/Timur-Kecamatan Suka Raja. Dan Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Kedung Badak-Kecamatan Tanah Sareal. Ketinggian dari permukaan laut antara 250 m, dengan suhu udara

rata-rata 350C-380C dengan curah hujan rata-rata 4 000 mm pertahun.

Penduduk Kelurahan Sukaresmi berjumlah 9 753 jiwa yang terdiri dari 5 081 jiwa laki-laki dan 4 672 jiwa perempuan dengan jumlah keluarga sebanyak

2 381 dan kepadatan penduduk 9.63 jiwa/km2. Fasilitas pendidikan yang terdapat

di Kelurahan Sukaresmi diantaranya: 3 TK, 1 SDN, 2 MI, 1 SLTP Swasta, 1 SMUN, dengan jumlah murid sebanyak 1 752 jiwa serta guru berjumlah 93 jiwa, atau rasio guru murid sebanyak 1: 19. (BPS 2005).

Pelayanan kesehatan yang terdapat di Kelurahan Sukaresmi di tangani oleh lima orang bidan praktek dan sembilan Posyandu. Tempat pelayanan kesehatan (Rumah Sakit) terdekat terletak di Kelurahan Kedung Badak dan Puskesmas terdekat terletak di Kelurahan Kedung Badak, Kecamatan Tanah Sareal dan Kelurahan Cilebut Barat, Kecamatan Suka Raja. Berdasarkan tahap kesejahteraan keluarga, ada sekitar 588 keluarga prasejahtera, 679 keluarga sejahtera I, 425 keluarga sejahtera II, 363 keluarga sejahtera III, 152 keluarga sejahtera III+ (BPS 2005).

Desa Sukamaju, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor

mempunyai luas wilayah 200 Ha, dengan jarak antara Desa Sukamaju dengan Kantor Kecamatan sekitar dua km. Secara geografis, Desa Sukamaju bagian sebelah timur berbatasan dengan Desa Cibatok I-Kecamatan Cibungbulang, di sebelah barat dan utara berbatasan dengan Desa Cemplang-Kecamatan Cibungbulang, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Situ Hilir-Kecamatan


(38)

Cibungbulang. Ketinggian dari permukaan laut antara 350 m, dengan suhu udara

rata-rata 290C dengan curah hujan rata-rata 2 000 mm pertahun.

Penduduk Desa Sukamaju berjumlah 7 428 jiwa yang terdiri dari 3 797 jiwa laki-laki dan 3 631 jiwa perempuan dengan jumlah keluarga sebanyak 1 620. Fasilitas pendidikan yang ada diantaranya: 1 TK, 4 TPA, 1 MI Negeri, 1 MI Swasta, 1 SLTP Swasta, 1 MTs Swasta, 7 pondok pesantren, dengan jumlah murid sebanyak 2 267 jiwa serta guru berjumlah 95 jiwa, atau rasio guru murid sebanyak 1: 24. (BPS 2005).

Pelayanan kesehatan yang terdapat di Desa Sukamaju di tangani oleh 1 orang dokter praktek, 2 orang bidan praktek dan 10 Posyandu, dan 2 orang dukun bayi terlatih. Tempat pelayanan kesehatan (Rumah Sakit) dan Puskesmas terdekat terletak di Kecamatan Cibungbulang. Berdasarkan tahap kesejahteraan keluarga, ada sekitar 227 keluarga prasejahtera, 803 keluarga sejahtera I, 618 keluarga sejahtera II, 90 keluarga sejahtera III (BPS 2005).

Kelaparan Kelaparan Kualitatif

Pengukuran kualitatif kelaparan hakekatnya mengukur persepsi kelaparan dari individu yang mengalami kelaparan. Ukuran kelaparan kualitatif dibuat untuk menyederhanakan proses pengukuran kelaparan, sehingga pelaksanaan pemantauan kelaparan dapat dilaksanakan dengan lebih mudah, cepat, dan murah.

Di Indonesia ukuran kualitatif yang dikembangkan lebih ditekankan pada perubahan frekuensi makan, porsi makan dan penurunan berat badan, dan hindari pertanyaan kelaparan secara langsung sebab menurut pakar kata kelaparan diasumsikan sensitif pada masyarakat Indonesia. Dengan demikian pengukuran kelaparan kualitatif dikembangkan melalui tujuh item pertanyaan yang menunjukan adanya kelaparan individu pada suatu keluarga. Pertanyaan tersebut menilai persepsi responden (setiap individu di keluarga) terhadap kelaparan yang dialami individu tersebut dalam dua bulan terakhir.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penentuan kelaparan atau tidaknya seseorang yaitu: pertama, alasan penurunan frekuensi dan porsi yang dianggap sebagai penyebab terjadinya kelaparan adalah betul-betul karena keterbatasan ekonomi seperti alasan penurunan daya beli, pangan sulit diperoleh dan jumlah anggota bertambah, sedangkan alasan sibuk, sakit, diet tidak dimasukan sebagai penyebab kelaparan; kedua, alasan terjadi penurunan berat


(39)

badan yang dianggap sebagai dampak dari kelaparan adalah karena alasan ekonomi seperti makanan yang dikonsumsi berkurang, sedangkan alasan sakit, sibuk dan diet tidak dimasukan sebagai penyebab kelaparan.

Berdasarkan hasil rumusan lokakarya ukuran kelaparan (2001), seorang individu dikatakan tidak kelaparan apabila individu tersebut dalam dua bulan terakhir tidak mengalami penurunan frekuensi atau porsi makan serta berat badan karena alasan ekonomi, atau individu tersebut dalam dua bulan terakhir mengalami penurunan frekuensi dan atau porsi makan tetapi tidak diiringi penurunan berat badan karena alasan ekonomi. Sebaliknya seorang individu dikatakan kelaparan apabila individu tersebut dalam dua bulan terakhir mengalami penurunan frekuensi dan atau porsi makan disertai penurunan berat badan karena alasan ekonomi. Sebagai tambahan batasan kelaparan dari hasil uji coba instrument kelaparan (2004) adalah bahwa individu dapat dikategorikan kelaparan meskipun dalam dua bulan terakhir tidak mengalami penurunan frekuensi dan atau porsi makan, dan juga tidak terjadi penurunan berat badan, namun status gizinya termasuk gizi buruk karena alasan ekonomi.

Bila dibandingkan dengan hasil penelitian Tanziha (2005) di empat kabupaten di Propinsi Jawa Barat yang menunjukan persentase penderita kelaparan (9.80%), maka sasaran penelitian ini jauh lebih besar (17.10%). Perbedaan ini diperkirakan karena daerah penelitian merupakan daerah termiskin di Kota Bogor maupun Kabupaten Bogor, sedangkan pada penelitian Tanziha (2005) penelitian dilakukan di daerah yang representatif Kota dan Kabupaten Bogor.

Persentase keluarga yang mengalami kelaparan lebih banyak dibandingkan dengan persentase individu yang mengalami kelaparan. Hal ini diduga disebabkan oleh besar keluarga yang berbeda-beda dari masing-masing keluarga contoh dan persentase keluarga kelaparan yang jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan keluarga yang tidak kelaparan.

Karakteristik Keluarga Kelaparan dan Tidak Kelaparan

Karakteristik keluarga kelaparan dan tidak kelaparan dikelompokkan menjadi karakteristik sosioekonomi. Karakteristik sosioekonomi meliputi : jumlah anggota keluarga, umur kepala keluarga dan ibu, pendidikan kepala keluarga dan ibu, pengetahuan gizi ibu, jenis pekerjaan kepala keluarga dan pengeluaran keluarga.


(40)

Jumlah Anggota Keluarga. Jumlah anggota keluarga responden berkisar antara 1 hingga 11 orang, dengan rataan 5.38 ± 1.92 orang. Jumlah anggota keluarga kelaparan berkisar antara 3 hingga 9 orang dengan rataan 5.39 ± 1.79 orang dan pada keluarga yang tidak kelaparan jumlah anggota keluarga berkisar antara 1 hingga 11 orang dengan rataan 5.38 ± 1.99 orang. Hal ini menunjukan tidak berbedanya rata-rata jumlah anggota keluarga baik pada keluarga kelaparan maupun yang tidak kelaparan yang dapat berarti tidak ada pengaruh jumlah anggota keluarga dengan kejadian kelaparan.

Jumlah anggota keluarga dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu keluarga kecil jika jumlah anggota keluarga = 4 orang, keluarga sedang jika anggota keluarganya berkisar antara 5-6 orang, dan keluarga besar jika anggota keluarganya = 7 orang. Berdasarkan kategori tersebut, persentase terbesar keluarga responden termasuk keluarga sedang baik keluarga kelaparan (50.00%) maupun tidak kelaparan (45.65%). Berikutnya keluarga kelaparan dan tidak kelaparan yang termasuk keluarga kecil (28.57% dan 32.61%), serta persentase terkecil keluarga kelaparan (21.43%) dan keluarga tidak kelaparan (21.74%) termasuk keluarga besar (Tabel 8). Ini menunjukan persentase terbesar ada pada jumlah keluarga sedang pada keluarga kelaparan maupun tidak kelaparan.

Tabel 8 Sebaran keluarga menurut jumlah anggota keluarga

Jumlah Anggota Keluarga

Kelaparan Tidak kelaparan Jumlah

n % n % n %

= 4 orang 4 28.57 15 32.61 19 31.67

5-6 orang 7 50.00 21 45.65 28 46.67

= 7 orang 3 21.43 10 21.74 13 21.67

Jumlah 14 100.00 46 100.00 60 100.01

Hasil uji t menunjukan bahwa jumlah anggota keluarga pada keluarga kelaparan dengan keluarga tidak kelaparan tidak berbeda nyata. Berdasarkan uji korelasi Spearman tidak terdapat hubungan yang nyata antara kejadian kelaparan dengan jumlah anggota keluarga (p > 0.05), dengan koefisien korelasi r = -0,02 yang menunjukan bahwa hubungan antara kejadian kelaparan dengan jumlah anggota keluarga dapat diabaikan. Hasil penelitian ini belum dapat mendukung penelitian Kigutha (1994), diacu dalam Den Hartog, Van Staveren dan Broower (1995) yang menunjukan bahwa peningkatan jumlah anggota keluarga berhubungan negatif dengan konsumsi pangan hewani dan makanan pokok yang berakibat pada penurunan konsumsi energi dan protein. Perbedaan ini diduga karena tidak berbedanya rata-rata jumlah anggota pada penelitian ini


(41)

sehingga hubungan antara jumlah anggota keluarga dengan kelaparan tidak terlihat.

Umur Kepala Keluarga (KK) dan Ibu. Umur KK dari seluruh keluarga contoh berkisar antara 21 hingga 70 tahun dengan rataan 44.27 ± 11.03 tahun. Umur KK pada keluarga kelaparan berkisar antara 21 tahun hingga 64 tahun dengan rataan 41.64 ± 9.86 tahun. Pada keluraga tidak kelaparan umur KK berkisar antara 21 tahun hingga 70 tahun dengan rataan 45.07 ± 11.34 tahun. Berdasarkan uji korelasi Spearman tidak ada hubungan antara umur KK dengan kejadian kelaparan anggota keluarganya dengan nilai koefisien korelasi r = 0.13. Nilai koefisien korelasi tersebut menunjukan hubungan antara kejadian kelaparan dan umur kepala keluarga dapat diabaikan. Hasil uji t juga menunjukan tidak ada perbedaan yang nyata antara usia kepala keluarga pada keluarga kelaparan dengan usia kepala keluarga pada keluarga tidak kelaparan.

Bila umur KK dikelompokkan berdasarkan pengelompokan umur, yaitu usia dewasa awal (18-39 tahun), usia setengah baya (40-60 tahun) dan usia lanjut (>60 tahun), maka pada seluruh contoh sebagian besar (56.67%) termasuk kelompok usia setengah baya. Berdasarkan Tabel 9 terlihat bahwa sebaran umum KK pada keluarga kelaparan dan tidak kelaparan proporsi terbesar (64.29% dan 54.35%) terdapat pada golongan umur 40-60 tahun. Sedangkan proporsi terkecil terdapat pada usia >60 tahun baik pada keluarga kelaparan (1.74%) maupun pada keluarga tidak kelaparan (10.87%).

Tabel 9 Sebaran keluarga menurut kelompok umur KK

Kelompok Umur Kelaparan Tidak kelaparan Jumlah

n % n % n %

18-39 tahun 4 28.57 16 34.78 20 33.33

40-60 tahun 9 64.29 25 54.35 34 56.67

> 60 tahun 1 1.74 5 10.87 6 10.00

Jumlah 14 100.00 46 100.00 60 100.00

Umur ibu dari seluruh keluarga contoh berkisar antara 20 tahun hingga 60 tahun dengan rataan 38.00 ± 9.76 tahun. Umur ibu pada keluarga kelaparan berkisar antara 21 tahun hingga 60 tahun dengan rataan 36.22 ± 8.33 tahun. Pada keluarga tidak kelaparan umur ibu berkisar antara 20 hingga 60 tahun dengan rataan 38.78 ± 10.31 tahun. Hasil uji korelasi Spearman (r = 0,39) menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara umur ibu dengan kejadian kelaparan anggota keluarganya. Hasil uji t juga menunjukan hal yang sama, tidak ada perbedaan yang nyata antara usia ibu pada keluarga kelaparan dengan tidak kelaparan. Bila umur ibu dikelompokkan berdasarkan pengelompokan umur,


(42)

yaitu usia dewasa awal (18-39 tahun), usia setengah baya (40-60 tahun) dan usia lanjut (> 60 tahun), maka pada keluarga kelaparan dan keluarga tidak kelaparan sebagian besar contoh (64.3% dan 54.3%) termasuk pada kisaran usia 18-39 tahun. Sebaran keluarga contoh menurut kelompok usia ibu disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Sebaran keluarga menurut kelompok umur ibu

Kelompok Umur Kelaparan Tidak kelaparan Jumlah

n % n % n %

18-39 tahun 9 64.29 25 54.35 34 56.67

40-60 tahun 5 35.71 21 45.65 26 43.33

> 60 tahun 0 0.00 0 0.00 0 0.00

Jumlah 14 100.00 46 100.00 60 100.00

Tabel 10 mencerminkan bahwa sebagian besar ibu termasuk golongan

usia 18-39 tahun (56.67%), serta tidak ada ibu yang masuk golongan lansia dengan usia diatas enam puluh tahun. Proporsi terbesar usia ibu pada keluarga kelaparan (64.29%) dan tidak kelaparan (54.35%) adalah pada kisaran 18-39 tahun. Semakin tua usia ibu memungkinkan terjadinya penurunan produktivitas, akan tetapi tidak menjadi dasar besarnya kejadian kelaparan. Kejadian kelaparan lebih besar terjadi pada keluarga dengan kelompok usia ibu 18-39 tahun dibanding pada kelompok usia ibu 40-60 tahun. Hal ini diperkirakan disebabkan pada usia 40-60 tahun sebagian besar dari mereka memiliki anak yang sudah bekerja sehingga keuangan mereka cukup terjamin, selain itu pada usia 40-60 tahun sebagian keluarga memiliki keadaan keuangan yang sudah cukup mapan.

Pendidikan Kepala Keluarga (KK) dan Ibu. Pendidikan diukur dengan jumlah tahun sekolah tanpa menghitung tinggal kelas. Pendidikan kepala keluarga dari seluruh contoh berkisar antara nol hingga tujuh belas tahun, dengan rataan 7.37 ± 3.73 tahun. Pendidikan KK pada keluarga kelaparan berkisar antara nol hingga dua belas tahun, dengan rataan 5.71 ± 3.22 tahun. Sedangkan keluarga tidak kelaparan pendidikan KK berkisar antara nol tahun hingga tujuh belas tahun, dengan rataan 7.87 ± 3.57 tahun. Rata-rata tahun pendidikan pada keluarga kelaparan lebih rendah dari pada keluarga tidak kelaparan, ini menunjukan bahwa kepala keluarga tidak kelaparan rata-rata menempuh pendidikan formal relatif lebih lama dibanding kepala keluarga kelaparan. Selain itu, pada keluarga kelaparan tidak ada kepala keluarga yang menempuh pendidikan diatas dua belas tahun atau hanya sampai jenjang SMA.


(43)

Berdasarkan analisis korelasi Spearman terdapat hubungan positif (r = 0.23) antara lama pendidikan formal yang ditempuh kepala keluarga dengan kejadian kelaparan dan hasil uji t menunjukan bahwa terdapat perbedaan pendidikan KK pada keluarga kelaparan dengan keluarga tidak kelaparan (p < 0.05). Ini berarti semakin tinggi tingkat pendidikan KK maka kemungkinan terjadi kelaparan semakin kecil begitu pula sebaliknya semakin rendah tingkat pendidikan KK maka kemungkinan terjadinya kelaparan semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena dengan semakin tingginya pendidikan KK, maka kepala keluarga akan memiliki pekerjaan yang layak dan pendapatan yang dapat mencukupi kebutuhan sehingga kejadian kelaparan cenderung banyak terjadi pada keluarga dengan kepala keluarga berpendidikan rendah. Hal ini sejalan dengan pernyataan bahwa orang yang mempunyai pendidikan dan pengetahuan yang tinggi cenderung untuk memilih bahan pangan lebih baik dari mereka yang berpendidikan rendah (Enoch 1980, diacu dalam Rejeki 2000)

Pendidikan ibu pada seluruh contoh berkisar antara nol hingga dua belas tahun, dengan rataan 6.05 ± 3.32 tahun. Pendidikan ibu pada keluarga kelaparan berkisar antara nol hingga dua belas tahun, dengan rataan 4.56 ± 3.71 tahun. Sedangkan pada keluarga tidak kelaparan pendidikan ibu berkisar antara 0-12 tahun, dengan rataan 6.69 ± 2.95 tahun. Rata-rata pendidikan ibu pada keluarga kelaparan lebih rendah dari rata-rata pendidikan ibu seluruh contoh. Rata-rata ibu dari keluarga kelaparan hanya menempuh pendidikan sampai kelas empat SD sedang pada keluarga tidak kelaparan sampai tamat SD dan beberapa sampai jenjang SMP. Seluruh contoh juga hanya menempuh pendidikan selama dua belas tahun atau sampai jenjang SMA.

Hasil analisis korelasi Spearman terdapat hubungan yang tidak signifikan (p > 0.05; r = 0.22) antara pendidikan ibu dengan kejadian kelaparan dan tidak kelaparan di suatu keluarga, hasil uji t tidak menunjukan adanya perbedaan pendidikan ibu pada keluarga kelaparan dan tidak kelaparan. Hal ini menunjukan bahwa dalam keluarga tingkat pendidikan ibu tidak berhubungan dengan kelaparan, hal ini mungkin dikarenakan pengetahuan gizi yang dibutuhkan oleh ibu sebagai penyedia makanan bisa didapat dari berbagai media. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa tingkat pengetahuan gizi ibu berhubungan dengan tingkat pendidikan formal ibu. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal ibu maka wawasan berfikirnya akan semakin luas sehingga informasi gizi yang didapat juga akan semakin banyak (Suhardjo 1989).


(1)

III. PENGETAHUAN GIZI

(Harus ditanyakan pada ibu rumahtangga)

1. Empat sehat lima sempurna terdiri dari :

(1) Nasi, sayur, tempe (2) Nasi, sayur, tempe, buah

(3) Nasi, sayur, tempe,buah dan susu (4) Tidak tahu

2. Makanan berguna bagi tubuh sebagai : (1) Sumber tenaga saja

(2) Untuk mengenyangkan perut saja

(3) Sumber tenaga, sumber pembangun dan sumber pengatur (4) Tidak tahu

3. Contoh makanan sumber karbohidrat (tenaga) : (1) Mie

(2) Daging (3) Telur (4) Tidak tahu

4. Contoh makanan sumber protein adalah (1) Mie

(2) Daging (3) Buah (4) Tidak tahu

5. Sayur dan buah-buahan merupakan sumber (1) Protein

(2) Tenaga (3) Vitamin (4) Tidak tahu

6. Buah yang paling banyak mengandung vitamin C: (1) Semangka

(2) Jeruk (3) Mangga (4) Tidak tahu

7. Sayuran yang banyak mengandung vitamin A : (1) Wortel

(2) Toge (3) Kangkung (4) Tidak tahu

8. Sebagai sumber protein, daging dapat diganti dengan : (1) Tahu/tempe

(2) Nasi (3) Mie (4) Tidak tahu

9. Agar anak tidak kurang gizi, maka sebaiknya di beri makan : (1) Apa yang diinginkan anak

(2) Nasi, sayur, tempe (3) 4 sehat 5 sempurna (4) Tidak tahu

10. Akibat utama kekurangan makansumber protein pada anak adalah : (1) Badan lemah

(2) Pertumbuhan badan terganggu (3) Sering sakit


(2)

IV. A. PERSEPSI KELAPARAN

(Ditanyakan pada setiap anggota rumahtangga)

KARAKTERISTIK INDIVIDU

Nama Anggota Rumahtangga dan No Urut

1. Dalam setahun terakhir, berapa kali sehari biasanya saudara makan?... kali

2. Dalam dua bulan terakhir berapa kali sehari biasanya saudara makan? ... kali

3. Bila berkurangmenurun (Isian R.2 < R.1), mengapa?

1. Sakit/ Nafsu makan berkurang 2. Diet 3. Tidak sempat/sibuk 4. Puasa 5. Ketersediaan makanan dirumah berkurang 6. Jatah berkurang 7. Lainnya 4. Dalam dua bulan terakhir, apakah jumlah/porsi

makan semakin berkurang dibanding biasanya? 1. Ya 2. Tidak ( Bila R.4 =2, Langsung ke R.6 5.Bila “ya” mengapa?

1. Sakit/ Nafsu makan berkurang 2. Diet 3. Tidak sempat/sibuk 4. Puasa 5. Ketersediaan makanan dirumah berkurang 6. Jatah berkurang 7. Lainnya

6. Dalam dua bulan terakhir, apakah berat badan saudara semakin berkurang(kurus/pakaian/celana semakin longgar)?

1. Ya 2. Tidak 7. Bila “ya” (R.6=1), mengapa?

1. Sakit/ Nafsu makan berkurang 2. Diet 3. Tidak sempat/sibuk 4. Puasa 5. Ketersediaan makanan dirumah berkurang 6. Jatah berkurang 7. Lainnya

VIII.B. PERSEPSI ENUMERATOR TERHADAP UKURAN TUBUH RESPONDEN/CONTOH 8. Menurut anda ukuran tubuh responden yang diamati

tergolong

1. Gemuk 2. Normal (biasa) 3. Kurus/ kurang gizi 9. Jika tergolong kurus, tanyakan sejak berapa lama

mempunyai ukuran tubuh sedemikian? ... bulan 10. Jika tergolong kurus, tanyakan kepada responden

kemungkinan penyebab utamanya 1. Sakit kronis

2. Kurang makan/tidakmampu beli makanan 3. Lainnya (...)


(3)

V. KETERANGAN PENGELUARAN KELUARGA

Jenis pengeluaran Dalam satu hari Dalam satu minggu Dalam satu bulan Dalam satu tahun

(1) (2) (3) (4) (5)

1. PANGAN Berat (gr) Rp Berat (gr) Rp Berat (gr) Rp Berat (gr) Rp 1. Padi-padian

Beras Mie

2. Umbi-umbian Singkong Ubi jalar

3. Pangan hewani Daging sapi Daging ayam Telur Ikan segar Ikan asin Susu

4. Kacang-kacangan Kacang tanah Kacang hijau Tempe Tahu

5. Sayuran

6. Buah-buahan

7. Kudapan

8. MP-ASI


(4)

VI. KETERANGAN PENGELUARAN KELUARGA(Lanjutan)

Jenis pengeluaran Dalam satu hari Dalam satu minggu Dalam satu bulan Dalam satu tahun

(1) (2) (3) (4) (5)

1. NON PANGAN Berat (gr) Rp Berat (gr) Rp Berat (gr) Rp Berat (gr) Rp 1. Kesehatan

Obat/Jamu Sabun Odol

Sampo Lainnya

2. Pendidikan SPP

Peralatan sekolah Uang saku dan transport Lainnya

3. Dapur BBM

Peralatan dapur Lainnya

4. Perumahan Sewa/cicilan Perbaikan rumah Lainnya

5. Pakaian Sarung Baju Lainnya 6. Pesta/selamatan 7. lain-lain

Sumbangan Tabungan


(5)

VII. KONSUMSI PANGAN INDIVIDU

A. RECALL KONSUMSI PANGAN 2 X 24 JAM Ibu Rumahtangga

Hari I :...

Tanggal :...

Nama :...(Ibu RT)

Waktu

makan

Nama

makanan

Bahan

Jumlah yang dimakan

Cara mendapatkannya

Ukuran

RT

Yang di makan

(gr)

Kode pangan

Dibeli* Diberi Diolah

sendiri

Pagi

Selingan

Siang

Selingan

Malam


(6)

Hari II :...

Tanggal :...

Nama :...(Ibu RT)

Waktu

makan

Nama

makanan

Bahan

Jumlah yang dimakan

Cara mendapatkannya

Ukuran

RT

Yang di makan

(gr)

Kode pangan

Dibeli* Diberi Diolah

sendiri

Pagi

Selingan

Siang

Selingan

Malam