Analisis Usahatani Lidah Buaya Di Kabupaten Bogor

ANALISIS USAHATANI LIDAH BUAYA
DI KABUPATEN BOGOR

RIZKY LUTFI SUPRABOWO

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Usahatani
Lidah Buaya di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari
dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015
Rizky Lutfi Suprabowo
NIM H34110070

ABSTRAK
RIZKY LUTFI SUPRABOWO, Analisis Usahatani Lidah Buaya di Kabupaten
Bogor. Dibimbing oleh SITI JAHROH.
Sebagai daerah yang pernah dicanangkan menjadi daerah pengembangan
komoditas lidah buaya, perkembangan komoditas lidah buaya di Kabupaten
Bogor mengalami kemunduran sampai saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui performa keterkaitan ke depan dan ke belakang pada usahatani serta
analisis pendapatan usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor. Hasil penelitian
ini dijabarkan dengan cara deskriptif dan dengan metode kuantitatif. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa performa keterkaitan ke belakang sudah baik,
sedangkan performa keterkaitan ke depan sudah cukup baik karena saat ini sudah
ada pasar dan pabrik pengolahan. Penyiangan gulma dalam usahatani lidah buaya
ada dua metode yang digunakan petani yaitu metode herbisida dan metode
manual. Rata-rata hasil panen petani responden per hektar per tahun sebesar 81
395.90 kg. Sedangkan per metode diketahui, pada metode herbisida sebesar 79
207.01 kg/ha/tahun dan 84 898.12 kg/ha/tahun pada metode manual. Nilai R/C

atas biaya tunai petani metode herbisida dan manual sebesar 3.41 dan 3.39,
sedangkan jika dilihat nilai R/C atas biaya tunai petani responden secara
keseluruhan sebesar 3.40. Nilai R/C atas biaya total petani metode herbisida,
manual serta metode secara keseluruhan yaitu sama, sebesar 2.82.
Kata kunci : keterkaitan, metode herbisida, metode manual, nilai R/C

ABSTRACT
RIZKY LUTFI SUPRABOWO. Farm Analysis of Aloe Vera in Bogor District.
Supervised by SITI JAHROH.
Although Bogor District has been launched as a development area of aloe
vera, development of aloe vera is still declining at present. This study aims to
describe the performance of forward linkage and backward linkage aloe vera
farming and to analyze farm income of aloe vera farming in Bogor District. This
study used descriptive and quantitative methods. The results showed performance
of backward linkage was good, while the performance of forward linkage was also
good due to the existing markets and processing plants. Aloe vera farmers, in
terms of weeding, could be divided into two methods, using herbicides and
manually. The average yield per hectare per year was 81 395.90 kg. Farmers using
herbicides and manual method gained 79 207.01 kg/ha/year and 84 898.12
kg/ha/year, respectively. R/C ratio over cash costs of farmers using herbicides and

manual methods was 3.41 and 3.39, respectively, whereas overall farmers was
3.40. Meanwhile, R/C ratio over total costs of farmers using herbicides, manual
methods and overall farmers were the same, equal to 2.82.
Keywords : herbicides methods, linkage, manual methods, ratio R/C

ANALISIS USAHATANI LIDAH BUAYA
DI KABUPATEN BOGOR

RIZKY LUTFI SUPRABOWO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta`ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini
merupakan hasil penelitian yang telah dilaksanakan selama bulan Januari 2015
sampai Februari 2015 dengan judul penelitian Analisis Usahatani Lidah Buaya di
Kabupaten Bogor.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Siti Jahroh PhD, selaku dosen
pembimbing yang selalu membantu penulis dalam penyusunan tugas akhir ini.
Ungkapan terima kasih kepada petani lidah buaya di Kabupaten Bogor dan semua
pihak yang telah membantu selama pengumpulan data dalam penyelesaian tugas
akhir ini. Ungkapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada
kedua orang tua penulis, Bapak Eriyanto dan Ibu Roto Hartatik serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Selain itu penulis juga
berterimakasih kepada pihak-pihak yang banyak membantu selama proses
penyusunan skripsi, Oktarina Nur Widyanti, teman-teman Dramaga Cantik S-02,
teman-teman fasttrack Agribisnis angkatan 48, seluruh teman Agribisnis angkatan
48 dan semua teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu oleh penulis.
Terima kasih atas dukungan dan bantuan semua pihak selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2015

Rizky Lutfi Suprabowo

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
5
Manfaat Penelitian
5
Ruang Lingkup Penelitian
5

TINJAUAN PUSTAKA
5
Keterkaitan ke Belakang (Backward Linkage) dan ke Depan
(Forward Linkage) Pengembangan Komoditas Pertanian
5
Analisis Usahatani Lidah Buaya
6
Penerapan Metode yang Berbeda dalam Usahatani
7
KERANGKA PEMIKIRAN
8
Kerangka Pemikiran Teoritis
8
Konsep Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan
8
Konsep Usahatani
9
Penerimaan Usahatani
10
Biaya Usahatani

10
Pendapatan Usahatani
11
Analisis Rasio Penerimaan dan Biaya
11
Kerangka Pemikiran Operasional
12
METODE PENELITIAN
14
Lokasi dan Waktu Penelitian
14
Jenis dan Sumber Data
14
Metode Penarikan Sampel dan Pengumpulan Data
14
Metode Pengolahan dan Analisis Data
14
Deskripsi Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan
15
Biaya Usahatani Lidah Buaya

15
Analisis Rasio Penerimaan dan Biaya
16
Uji Beda Mann-Whitney U Test
17
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
18
Karakteristik Wilayah
18
Karakteristik Petani Responden
18
Pendidikan
19
Pengalaman Usahatani Lidah Buaya
20
Status Usahatani
20
Luas Lahan Garapan
21
Status Kepemilikan Lahan

21
HASIL DAN PEMBAHASAN
22
Keterkaitan ke Belakang (Backward Linkage) dan ke Depan
(Forward Linkage) pada Usahatani Lidah Buaya
22
Keterkaitan ke Belakang (Backward Linkage) pada Usahatani Lidah
Buaya
22
Keterkaitan ke Depan (Forward Linkage) pada Usahatani Lidah Buaya 23
Keragaan Usahatani Lidah Buaya
25

Input Usahatani Lidah Buaya
Teknik Budidaya
Output Usahatani Lidah Buaya
Rangkuman Input dan Output Usahatani Lidah Buaya
Analisis Pendapatan Usahatani Lidah Buaya di Kabupaten Bogor
Penerimaan Usahatani Lidah Buaya
Biaya Usahatani Lidah Buaya

Uji Beda Mann-Whitney
Analisis Pendapatan Usahatani Lidah Buaya
Analisis Nilai Rasio R/C
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

26
31
35
36
37
37
39
45
45
46

47
47
47
48
50
54

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Lima besar kabupaten/kota produsen lidah buaya di Jawa Barat ( kg )
Sebaran responden berdasarkan desa dan metode penyiangan
Usia petani lidah buaya di Kabupaten Bogor
Tingkat pendidikan petani lidah buaya di Kabupaten Bogor
Karakteristik pengalaman usahatani lidah buaya petani lidah buaya di
Kabupaten Bogor
Karakteristik status usahatani petani lidah buaya di Kabupaten Bogor
tahun 2014
Karakteristik luas lahan garapan petani lidah buaya di Kabupaten Bogor
tahun 2014
Karakteristik status kepemilikan lahan petani lidah buaya di Kabupaten
Bogor tahun 2014
Penggunaan jarak tanam dan kebutuhan bibit lidah buaya petani lidah
buaya di Kabupaten Bogor
Penggunaan tenaga kerja pada usahatani lidah buaya di Kabupaten
Bogor tahun 2014
Hasil panen pelepah lidah buaya petani responden di Kabupaten Bogor
tahun 2014
Uji beda Mann-Whitney rata-rata penggunaan input dan hasil output
usahatani lidah di Kabupaten Bogor tahun 2014
Penerimaan usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014
Biaya pupuk dan herbisida usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor
tahun 2014
Biaya tenaga kerja pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor
tahun 2014
Biaya penyusutan peralatan pertanian pada usahatani lidah buaya di
Kabupaten Bogor tahun 2014
Uji signifikasi biaya penggunaan input dan penerimaan usahatani lidah
buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014
Penerimaan, pengeluaran, pendapatan dan nilai R/C usahatani lidah
buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014

3
19
19
20
20
21
21
22
26
29
36
36
38
40
41
43
45
46

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

Luas panen tanaman lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012
Kurva hubungan biaya dengan tingkat produksi
Kerangka pemikiran operasional analisis usahatani lidah buaya di
Kabupaten Bogor
Penggunaan pupuk kandang pada usahatani lidah buaya di Kabupaten
Bogor tahun 2014
Penggunaan herbisida pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor
tahun 2014
Penggunaan peralatan tambahan pada usahatani lidah buaya di
Kabupaten Bogor tahun 2014

4
10
13
27
28
30

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

4

5

Rincian penerimaan, biaya, pendapatan, dan nilai R/C usahatani lidah
buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014
Karakteristik petani responden usahatani lidah buaya di Kabupaten
Bogor
Output SPSS uji beda Mann-Whitney raat-rata penggunaan input dan
hasil output pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014
(α = 5 %)
Output SPSS uji beda Mann-Whitney raat-rata biaya penggunaan input
dan penerimaan pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun
2014 (α = 5 %)
Dokumentasi saat penelitian

50
51

51

52
53

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia sebagai negara agraris memiliki potensi sumberdaya alam yang
sangat melimpah, salah satu sektor yang memiliki potensi untuk dikembangkan
adalah sektor pertanian. Salah satu potensi dalam bidang pertanian yang memiliki
peluang yang bagus untuk dikembangkan adalah dalam sektor tanaman
biofarmaka atau tanaman obat. Pemanfaatan tanaman obat di Indonesia telah
banyak dilakukan baik secara tradisional sebagai ekstrak untuk obat atau jamu
bubuk maupun sebagai bahan kosmetik. Tanaman obat memiliki potensi yang
besar untuk pasar dalam negeri maupun di pasar internasional. Hal tersebut
mengindikasikan tanaman obat mempunyai potensi yang sangat baik untuk
dikembangkan. Kesadaran masyarakat saat ini akan pentingnya kesehatan serta
kepedulian masyarakat untuk mengkonsumsi obat-obat yang berasal dari bahan
alami berpengaruh pada potensi tanaman obat itu sendiri. Berdasarkan data riset
kesehatan dasar (rikesdas) 2013, sekitar 30.40 persen penduduk Indonesia telah
memanfaatkan obat tradisional, dan 49 persen diantaranya menggunakan ramuan
jamu 1 . Disaat masyarakat mulai sadar akan pentingnya kesehatan dan adanya
kecenderungan masyarakat untuk beralih ke obat yang berbahan alami, peluang
tanaman obat sebagai komoditas perdagangan semakin besar. Semakin populernya
tanaman biofarmaka saat ini dapat dilihat dari nilai omset jamu dan obat
tradisional di pasar domestik yang mencapai angka Rp 15 triliun hingga akhir
2014, naik 7.14 persen dari tahun 2013 yang hanya sebesar Rp 14 triliun2.
Penjelasan di atas mengindikasikan bahwa potensi dan peluang dari
pengembangan produk pertanian khususnya biofarmaka di Indonesia sangat
menjanjikan khususnya pertanian tanaman lidah buaya (Aloe Vera L). Keunggulan
komparatif yang dimiliki Indonesia diharapkan mampu menjadikan komoditas
tanaman lidah buaya sebagai komoditas yang dapat memperkuat perekonomian
Indonesia sehingga dapat menambah devisa negara. Lidah buaya menurut
sejarahnya berasal dari Kepulauan Canary di sebelah barat Afrika dan sejak dulu
sudah dipercayai oleh masyarakat sebagai tanaman yang berkhasiat baik untuk
kesehatan tubuh atau perawatan rambut. Arifin (2015) menjelaskan bahwa lidah
buaya memiliki banyak khasiat di semua bagiannya dan memiliki banyak
kandungan zat yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia. Nutrisi yang
terkandung pada gel dan lendir lidah buaya diantaranya beberapa jenis mineral
seperti Zn, K, Fe, dan beberapa macam vitamin seperti A, B1, B2, B12, C dan E,
inositol, asam folat dan kholin. Selain itu, Arifin (2015) juga menyebutkan bahwa
gel lidah buaya mengandung 18 asam amino yang penting dan sangat bermanfaat.
Hal tersebut menunjukkan bahwa peluang diversifikasi produk dari
1

Kebijakan Kesehatan Indonesia. 2015. Kemkes Kembangkan Budaya Minum Jamu. [internet].
[diakses 2015 Maret 08]. Tersedia pada http://www.kebijakankesehatanindonesia.
net/juli/25- berita/berita/2078-kemkes-kembangkan-budaya-minum-jamu.
2
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. 2014. Omzet Jamu dan Obat Tradisional
Menjacai 15T. [Internet]. [diakses 2014 Desember 15] Tersedia pada
http://www.kemenperin.go.id/artikel/9889/Omzet-Jamu-dan-Obat-Tradisional-Capai-Rp15T/.

2
pengembangan olahan berbahan baku lidah buaya sangat banyak. Kompleksnya
kandungan senyawa kimia dan zat aktif di dalam lidah buaya, memberikan efek
penyembuhan yang luar biasa untuk berbagai macam penyakit. Beberapa penyakit
yang dapat disembuhkan dengan bahan baku lidah buaya, antara lain menghambat
infeksi HIV, nutrisi tambahan bagi pengidap HIV, menurunkan kadar gula dalam
darah bagi penderita diabetes, mencegah radang sendi, menghambat sel kanker,
membantu penyembuhan luka, antibakteri dan antijamur untuk membersihkan
luka, kandungan saponin yang berkhasiat untuk antiseptik, mengatasi gangguan
pencernaan, mencegah penuaan, serta penelitian terbaru menyebutkan bahwa
kandungan emodin pada gel lidah buaya berkhasiat mencegah virus flu burung.
Gel lidah buaya dalam industri kosmetik digunakan untuk membuat shampoo,
kondisioner rambut dan pelembab karena gel lidah buaya yang mengandung
polisakarida, tannin, asam amino, inositol, vitamin C, vitamin A, enzim dan
mineral yang memberikan efek penyegar dan mencegah rambut rontok.
Banyaknya khasiat yang terkandung dalam lidah buaya, saat ini lidah
buaya tidak hanya digunakan untuk keperluan kesehatan dan kosmetik namun
juga digunakan sebagai bahan baku pembuatan makanan ringan dan minuman.
Adapun makanan ringan dan minuman yang berbahan baku lidah buaya yaitu
minuman nata de aloe vera, jus, minuman ekstrak, krupuk, manisan, dodol, selai.
Banyaknya manfaat yang terkandung dalam lidah buaya dan diversifikasi olahan
yang bermacam-macam dari lidah buaya, lidah buaya termasuk kedalam salah
satu dari sepuluh tanaman terlaris dalam perdagangan internasional 3 . Hal ini
menunjukkan potensi pasar yang sangat bagus dari komoditas lidah buaya jika
pengembangan komoditas lidah buaya diperhatikan. Peluang pasar yang
menjanjikan tersebut ditangkap oleh Dirjen Hortikultura dan Aneka Tanaman
dengan membuat strategi pengembangan komoditas unggulan lidah buaya di
beberapa wilayah yang sesuai di Indonesia. Wilayah yang termasuk dalam
pengembangan lidah buaya antara lain Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan (Adhiana, 2005).
Namun sampai saat ini, daerah yang masih menjadi tempat pengembangan lidah
buaya dan mendapatkan dukungan dari Dirjen Hortikultura hanya tinggal tiga
wilayah saja yaitu di Pontianak, Bali dan Kabupaten Bogor 4.
Menurut Adhiana (2005), Kabupaten Bogor pernah dicanangkan untuk
pengembangan tanaman lidah buaya di wilayah Jawa Barat. Sampai tahun 2013
Kabupaten Bogor menduduki peringkat kedua dalam hal jumlah produksi tanaman
lidah buaya di daerah Jawa Barat setelah Kota Bogor. Data lima besar kabupaten
atau kota terbanyak produksi lidah buaya di daerah Jawa Barat dapat dilihat pada
Tabel 1.

3

Badan Litbang Pertanian. 2015. Lidah Buaya Khas Lahan Gambut Kalbar. [Internet]. [diakses
pada 2015 April 9]. Tersedia pada http:// balittra.litbang.pertanian.go.id/index.php?option=
com_content&view=article&id=1328: lidah-buaya-khas-lahan-gambut-kalbar&catid=13:
info-aktual&Itemid.
4
Hasil wawancara dengan pegawai Dirjen Hortikultura Republik Indonesia bidang pasca panen
tanaman biofarmaka dan Kepala Bidang Pasca Panen tanaman biofarmaka Dinas Pertanian
Kabupaten Bogor, tanggal 11 Desember 2014.

3
Tabel 1 Lima besar kabupaten/kota produsen lidah buaya di Jawa Barat ( kg )
No

Kabupaten/kota

Tahun
2008
2009
2010
1
Kota Bogor
6 800
253 403
115 450
2
Kabupaten Bogor
35 354
55 278
44 437
3
Kota Depok
5 932
16 435
1 332
4
Sukabumi
5 000
27 900
1 900
5
Ciamis
0
5 489
16 370
Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat (2014).

2011
184 345
103 521
12 814
200
17 252

2012
124 505
29 672
17 583
2 000
92

2013
26 257
20 919
19 278
2
692

Selain faktor modal dan peran serta pemerintah, faktor lain yang
mendukung berkembangnya tanaman lidah buaya adalah permintaan terhadap
lidah buaya dari sektor industri pengolahan. Kenyataannya saat ini Kabupaten
Bogor sebagai tempat pengembangan lidah buaya di Provinsi Jawa Barat jumlah
petani yang masih relatif sedikit dan berdampak kepada pasokan lidah buaya
yang masih sangat terbatas dan kontinuitasnya masih belum terjaga, maka perlu
diadakan pengkajian mengenai keterkaitan ke belakang dan ke depan pada
usahatani lidah buaya dan melihat peluang perkembangan lidah buaya dari sisi
produsen yaitu petani. Tingkat pendapatan petani lidah buaya merupakan salah
satu alasan petani mengusahakan lidah buaya. Diharapkan dari penelitian ini dapat
mengetahui permasalahan yang mengakibatkan terhambatnya perkembangan
komoditas lidah buaya di Kabupaten Bogor serta peluang pengusahaan lidah
buaya. Sehingga dengan penelitian ini dapat memberikan alternatif-alternatif yang
dapat membantu untuk pengembangan komoditas tanaman lidah buaya yang lebih
baik lagi, serta dapat mengetahui pendapatan petani yang saat ini telah melakukan
usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor.
Perumusan Masalah
Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten yang pernah ditunjuk
oleh kementerian pertanian dalam pengembangan komoditas lidah buaya di
Provinsi Jawa Barat. Meskipun sampai tahun 2013 Kabupaten Bogor di Provinsi
Jawa Barat menempati peringkat kedua dalam hal produksi lidah buaya, namun
kenyataan di lapang jumlah petani lidah buaya di Kabupaten Bogor masih sangat
sedikit. Masih sedikitnya petani yang mengusahakan lidah buaya dapat dilihat dari
fluktuatifnya total produksi setiap tahunnya dan ada kecenderungan penurunan
produksi lidah buaya pada dua tahun terakhir, hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Selain penurunan produksi pada dua tahun terakhir, indikasi penurunan jumlah
dan minat petani dalam menanam lidah buaya terlihat dari jumlah luas panen yang
mengalami penurunan pada tahun 2011 dan mengalami sedikit kenaikan pada
tahun 2012 meskipun kenaikan tersebut tidak signifikan. Gambar 1 menunjukkan
luas panen lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2008 sampai 2012.

4

Luas panen

15000
10000

9788

9168

9825
5287

5000

6200
Luas panen (m²)

0
2008

2009

2010

2011

2012

Tahun
Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat (2014)

Gambar 1 Luas panen tanaman lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012
Penurunan jumlah produksi dan luas panen lidah buaya di Kabupaten
Bogor yang ditunjukkan pada Tabel 1 dan Gambar 2 mengindikasikan bahwa
komoditas lidah buaya di Kabupaten Bogor tidak berkembang dengan baik.
Pengembangan komoditas lidah buaya di Kabupaten Bogor kurang berjalan
dengan baik, diduga ada beberapa penyebabnya. Penyebab yang pertama yaitu
tidak ada keterkaitan ke belakang dan ke depan pada usahataninya. Keterkaitan ke
belakang (backward linkage) maksudnya petani memiliki kemudahan dalam hal
akses pemenuhan input-input atau sarana budidaya lidah buaya. Keterkaitan ke
depan (forward linkage) maksudnya kegiatan usahatani lidah buaya memiliki
hubungan dengan sektor pengolahan dan pemasaran yang baik, sehingga saat
petani masuk masa panen petani tidak merasa kesulitan dalam hal pemasaran
maupun pengolahan hasil panen. Jika pengembangan komoditas lidah buaya di
Kabupaten Bogor memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke
depan (forward linkage) dengan baik maka akan mampu mempengaruhi para
petani dalam mengusahakan tanaman lidah buaya. Gambar 1 menunjukkan
adanya indikasi usahatani lidah buaya tidak berkembang dengan baik, maka ada
kemungkinan keterkaitan ke belakang dan ke depan pada usahatani lidah buaya di
Kabupaten Bogor tidak bekerja dengan baik sehingga berdampak kepada minat
petani untuk membudidayakan berkurang.
Prinsip petani salah satunya adalah akan membudidayakan suatu
komoditas pertanian, jika mendapatkan kepastian pasar hasil panen dan
pendapatan dari hasil usahataninya sesuai dengan yang diharapkan. Pasar dan
besarnya pendapatan merupakan faktor utama dari suatu kegiatan bisnis, termasuk
dalam sebuah kegiatan pertanian baik skala besar maupun skala kecil. Besarnya
pendapatan dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah
penggunaan metode yang berbeda juga dapat mempengaruhi besarnya pendapatan
yang diperoleh oleh masing-masing petani. Petani lidah buaya yang ada di
Kabupaten Bogor dalam proses penyiangan gulma ada dua cara atau metode, yang
pertama petani melakukan metode penyiangan gulma dengan cara manual dan
yang kedua dengan metode menyemprot menggunakan herbisida.
Berdasarkan pada permasalahan yang telah dijelaskan di atas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward
linkage) pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor?
2. Bagaimana keragaan usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor?

5
3. Bagaimana pendapatan dan efisiensi usahatani lidah buaya di Kabupaten
Bogor?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari uraian perumusan masalah yang telah dituliskan, maka
tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mendiskripsikan keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan
(forward linkage) pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor
2. Mengetahui keragaan usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor
3. Mengetahui pendapatan dan efisiensi usahatani lidah buaya di Kabupaten
Bogor
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan tambahan
wawasan kepada para petani lidah buaya, pembaca, serta masyarakat yang hendak
melakukan usahatani lidah buaya. Bagi petani lidah buaya diharapkan penelitian
ini dapat memberikan informasi dan menjadi bahan pertimbangan dalam
mengambil keputusan selama menjalankan usahatani lidah buaya. Bagi pembaca
dan masyarakat diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi dan
menambah wawasan tentang usahatani lidah buaya sehingga dapat memberikan
gambaran tentang usahatani lidah buaya itu sendiri sehingga outpun dari membaca
hasil penelitian ini dapat merencanakan dan menjalankan usahatani lidah buaya
dengan baik.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menggunakan perhitungan usahatani untuk satu tahun
berdasarkan biaya dan penerimaan pada tahun 2014. Petani yang menjadi
responden merupakan petani yang memiliki lahan yang ditanami lidah buaya,
dengan pertimbangan petani tersebut telah melakukan pemanenan selama minimal
satu tahun yaitu sejak awal tahun 2014. Penerimaan usahatani dilakukan dengan
cara menghitung produksi dikalikan dengan harga jual. Perhitungan modal petani
yang dikeluarkan berasal dari total biaya tunai dan biaya tidak tunai yang
dikeluarkan oleh petani.

TINJAUAN PUSTAKA
Keterkaitan ke Belakang (Backward Linkage) dan ke Depan (Forward
Linkage) Pengembangan Komoditas Pertanian
Penelitian mengenai keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke
depan (forward linkage) pengembangan komoditas nenas bogor pernah dilakukan
oleh Nadila (2014), perkembangan komoditas nenas bogor tidak berjalan dengan
baik padahal rata-rata persentase peningkatan jumlah pohon per tahunnya
mencapai 26 persen pada tahun 2007 sampai 2011. Peningkatan tersebut tidak

6
diimbangi dengan peningkatan persentase tanaman nenas itu sendiri, sehingga
suplai nenas bogor sangat sedikit dan menyebabkan nenas bogor hilang dari
pasaran. Dari hasil penelitian terlihat bahwa performa forward linkage dan
backward linkage nenas bogor kurang baik, dimana pada subsistem budidaya
tidak produktif, karena lahan yang tidak diperhatikan dan rendahnya penggunaan
pupuk. Dilihat dari performa forward linkage, akses pasar bagi petani yang sulit
dan posisi tawar petani yang rendah. Selain itu dari lembaga penunjang baik dari
kelompok tani dan badan penyuluh kurang efektif dalam meningkatkan performa
pengembangan komoditas nanas bagor. Selain itu penelitian mengenai keterkaitan
ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward linkage) pada
pengembangan komoditas pertanian juga pernah dilakukan oleh Santoso (2001),
hasil penelitian menyebutkan bahwa secara umum performa backward linkage
dan forward linkage tebu rakyat bebas lahan kering di Kabupaten Ngawi yang
mencakup subsistem penyediaan sarana produksi, subsistem usahatani, subsistem
pemasaran hasil tebu dan subsistem pengolahan hasil pada waktu dilakukan
penelitian belum ada keterkaitan. Salah satu dampak dari tidak adanya keterkaitan
yang baik yaitu petani harus memanen tebunya lebih awal dikarenakan pabrik
pegolahan gula sudah mulai beroprasi, sehingga berpengaruh ke berat tebu yang
dipanen petani rendah.
Analisis Usahatani Lidah Buaya
Penelitian mengenai tanaman lidah buaya di Kabupaten Bogor pernah
dilakukan oleh Adhiana (2005). Pada tahun 2005 petani lidah buaya berjumlah 35
petani yang menyebar di tujuh desa di Kabupaten Bogor. Harga ditingkat petani
pada tahun 2005 untuk mutu A sebesar Rp1 700/kg, mutu B sebesar Rp1 000/kg
dan mutu C sebesar Rp500/kg, harga tersebut berlaku jika petani menjual hasil
panennya melalui tengkulak. Pemupukan tanaman lidah buaya menggunakan
kotoran ayam sebanyak 25 ton/ha, urea sebanyak 300 kg/ha dan kotoran kambing
sebanyak 27 ton/ha. Lamanya pemanenan lidah buaya di lapang adalah 15 sampai
30 hari sekali panen yang dilakukan secara bergilir, selain itu juga ditentukan oleh
ada tidaknya permintaan. Berdasarkan penelitian di Desa Cihujung, pemanenan
pernah tidak dilakukan selama 3 bulan karena tidak ada permintaan. Selain itu di
Desa Cibening, petani mengalami kesulitan dalam hal pemasaran sehingga petani
melakukan pamanenan 1.5 bulan sekali. Di Desa Cijunjung pemanenan tidak
dilakukan selama 6 bulan, dikarenakan tidak ada permintaan. Pada tahun 2005,
petani yang sudah memperoleh pasar melakukan panen sebanyak 9 kali per tahun
dengan interval panen rata-rata dua minggu hingga empat minggu sekali panen.
Penelitian tentang lidah buaya juga pernah dilakukan oleh Nugraha (2008),
permasalahan yang dihadapi pada usahatani lidah buaya adalah masalah
kontinuitas dan mutu dari produksi lidah buaya yang kurang terjamin sehingga
menyulitkan petani dalam melakukan pemasaran hasil panennya. Selain itu sikap
pemerintah yang tidak peduli dengan kondisi para petani, sehingga petani
kewalahan dalam memasarkan produk hasil panenannya. Saat dilakukan
penelitian, produktivitas lidah buaya mencapai 10 ton/ha per bulan. Jumlah petani
yang ada di Kabupaten Bogor pada tahun 2008 berjumlah 30 petani yang
menyebar di 13 desa di Kabupaten Bogor. Diketahui sebanyak 82.61 persen petani
mengalami kesulitan dalam hal pemasaran. Kesulitan yang dihadapi dikarenakan,

7
petani tidak memiliki informasi pasar dan jumlah pembeli yang masih terbatas.
Saat dilakukan penelitian diketahui bahwa, petani yang saat itu mengusahakan
tanaman lidah buaya tidak tergabung dalam sebuah kelompok tani.
Penelitian tentang lidah buaya sudah banyak dilakukan khususnya dilakukan
di daerah Kalimantan Barat, mengingat di daerah tersebut merupakan daerah
sentra produksi lidah buaya di Indonesia. Menurut Sudiman dalam Yurisinthae et
al (2012) menyebutkan biaya terbesar dalam usahatani lidah buaya adalah biaya
tenaga kerja dan pengeluaran terbesar kedua pada komponen biaya pemakaian
pupuk urea dan abu yang mencapai 21.91 persen. Penggunaan abu dilakukan
untuk mengontrol keasaman tanah, karena lahan yang ditanami lidah buaya di
daerah Pontianak dilakukan di tanah gambut. Selain itu berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Kurniawan (2010) menyatakan pada tahun 2001, produksi
lidah buaya di Kecamatan Pontianak Utara mencapai 7 720 ton dan meningkat
menjadi 16 156.8 ton pada tahun 2004. Namun, pada tahun berikutnya produksi
lidah buaya justru mengalami penurunan menjadi 7 776 ton pada tahun 2006.
Faktor utama yang membuat penurunan produksi yaitu yang faktor produksi dan
pasca produksi, harga pupuk yang terlalau mahal, turunnya harga jual lidah buaya
dan keterbatasan pemasaran. Penurunan produksi lidah buaya di daerah sentra
diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Yurisinthae (2010), diketahui
penurunan produksi lidah buaya di Kotamadya Pontianak berlangsung sejak
tahun 2005 sampai 2009. Penurunan ini dipengaruhi oleh sistem distribusi
pemasaran dan cakupan pemasaran yang dilakukan oleh petani terlalu sempit.
Petani lidah buaya di Kotamadya Pontianak sejak tahun 2000 sampai tahun 2010
tidak mendapatkan kenaikan harga jual lidah buaya hasil panennya, hanya sebesar
Rp900 per kilogram. Penurunan produksi dan rendahnya harga jual
mempengaruhi R/C usahatani lidah buaya. Berdasarkan Muinet et al dalam
Yurisinthae (2010) nilai R/C usahatani lidah buaya sebesar 1.99.
Berdasarkan penelitian Burhansyah (2002), anjuran teknis dari Dinas
Urusan Pangan Kota Pontianak merekomendasikan populasi tanaman 10 000 per
hektar dengan jarak tanam dalam baris 1 meter dan antar baris 1 sampai 1.5 meter,
namun petani lidah buaya di Kalimantan Barat menggunakan jarak tanam 200 x
100 cm ( populasi 5 000 per hektar) sampai 120 x 75 cm ( populasi tanaman 10
800 per hektar). Input pupuk yang digunakan petani di lokasi penelitian yaitu
pupuk organik dan pupuk kimia. Pupuk kimia yang digunakan meliputi pupuk
Urea, TSP dan KCL dan pupuk organik yang sering dipakai adalah pupuk abu.
Penggunaan pupuk organik mencapai 16 602 kg/hektar/tahun dan pupuk kimia
mencapai 951 kg/hektar/tahun. Dari hasil penelitian diketahui produksi maksimal
pada umur 4 sampai 5 tahun, dengan nilai gross B/C 2.25.
Penerapan Metode yang Berbeda dalam Usahatani
Penggunaan metode yang berbeda pada suatu usahatani juga akan
berdampak pada penerimaan dan pendapatan dari petani yang mengusahakannya.
Penelitian Nugraha (2013) memperlihatkan banyaknya penggunaan HOK pada
metode bercocok tanam metode padi sehat SRI dan metode konvensional.
Perbedaan metode bercocok tanam tersebut mempengaruhi penggunaan inputinput sehingga berpengaruh pada biaya yang harus dikeluarkan oleh petani, selain
itu perbedaan penggunaan metode akan mempengaruhi efisiensi usahatani. Total

8
biaya tunai yang dikeluarkan selama 1 musim tanam dengan luasan 1 ha untuk
metode padi sehat SRI dan konvensional secara berturut-turut yaitu Rp8 567
707.79 dan Rp9 125 727.81. Perbedaan yang sangat signifikan terjadi pada hasil
panen pada kedua metode bertani tersebut yaitu pada metode padi sehat SRI
panen yang diperoleh sebesar 7 531 kg dan pada metode padi konvensional hanya
sebesar 5 448 kg. Rata-rata harga jual GKP yang diterima oleh petani padi metode
SRI sebesar Rp3 400/kg, sedangkan harga yang diperoleh oleh petani metode
konvensional jika menjual GKP ke pasaran hanya sekitar Rp3 000/kg. Petani
metode padi sehat SRI dalam semusim memperoleh pendapatan sebesar Rp25 606
305.95 sedangkan petani metode konvensional hanya memperoleh Rp16 344 070.
Perhitungan R/C atas biaya total untuk petani metode SRI dan konvensional
sebesar 2.60 dan 1.67.
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Konsep Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan
Menurut Soeharjo (1987) dalam Hernanto (1996) pengertian agribisnis
adalah kegiatan yang mencakup semua kegiatan mulai dari pengadaan sarana
produksi pertanian sampai pada tataniaga produk pertanian yang dihasilkan
usahatani atau hasil olahannya. Hernanto (1996) menjelaskan bahwa agribisnis
merupakan sebuah sistem yang terdiri dari beberapa subsistem, yaitu :
1. Subsitem pembuatan dan penyaluran berbagai sarana produksi pertanian,
seperti: bibit, pupuk, alat pertanian, bahan bakar, dan lainnya. Pelaku dalam
subsistem ini adalah perusahaan swasta, koperasi, pemerintah, bank atau pun
perorangan.
2. Subsistem kegiatan produksi dalam usahatani yang menghasilkan bermacam
produk pertanian. Usahatani mencakup semua bentuk organisasi produksi,
mulai dari skala kecil sampai skala besar dan termasuk juga budidaya pertanian
yang menggunakan lahan secara intensif (akuakultur, florikultur).
3. Subsistem pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, dan penyaluran produk
pertanian yang dihasilkan usahatani atau hasil olahannya ke konsumen.
4. Subsistem penunjang (koperasi, bank, lembaga penelitian, angkutan pasar,
peraturan pemerintah).
Dalam sistem agribisnis terdapat keterkaitan antar subsistem dengan
subsistem lainnya. Kinerja masing-masing subsistem akan sangat ditentukan oleh
keterkaitan dengan subsistem lain, sehingga gangguan pada salah satu subsistem
dapat menyebabkan keseluruhan sistem terganggu. Terdapat dua keterkaitan
dalam sistem agribisnis yaitu :
1. Keterkaitan ke belakang (Backward Linkage)
Dalam menjalankan kegiatan bisnis juga dapat mempunyai keterkaitan ke
belakang dengan proses sebelumnya. Kegiatan pada subsistem usahatani
memiliki keterkaitan dengan subsistem hulu seperti pengadaan input (benih,
pupuk, tenaga kerja, alat-alat pertanian)

9
2. Keterkaitan ke Depan (Fordward Linkage)
Dalam menjalankan kegiatan bisnis terdapat keterkaitan pada kegiatan bisnis
dengan proses selanjutnya. Jika proses diarahkan pada kegiatan usaha maka
Fordward Linkage pada kegiatan tersebut yaitu terdapat hubungan antara
usahatani dengan pengolahan produk.
Konsep Usahatani
Menurut Suratiyah (2008) ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari
bagaimana seseorang mengusahakan dan mengordinasikan faktor-faktor produksi
berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat
yang sebaik-baiknya. Sebagai ilmu pengetahuan, ilmu usahatani merupakan ilmu
yang mempelajari cara-cara petani menentukan, mengorganisasikan, dan
mengkoordinasikan penggunaan faktor-faktor produksi seefektif dan seefisien
mungkin sehingga usaha tersebut memberikan pendapatan yang maksimal.
Dimana bisa dikatakan sebuah usahatani efektif, jika petani atau produsen dapat
mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya (yang dikuasainya) sebaik-baiknya
untuk mencapai tujuan tertentu sedangkan dikatakan efisien, jika pemanfaatan
atas sumberdaya yang dimilikinya menghasilkan keluaran (output) yang melebihi
masukan (input) (Soekartawi 2002). Hernanto (1996) menjelaskan bahwa ada
empat unsur pokok faktor-faktor produksi dalam kegiatan usahatani, yaitu :
1. Tanah
Tanah selalu memiliki hubungan yang kuat dengan pertanian dan pedesaan.
Tanah memiliki beberapa sifat khusus yaitu relatif langka, distribusi penguasaan
yang tidak merata di masyarakat, luasnya relatif tetap, tidak dapat dipindahpindahkan dan dapat diperjualbelikan. Menurut jenisnya tanah dibedakan menjadi
kolam, tambak, sawah, perkarangan, perkebunan, tegalan dan lain sebagainya.
2. Tenaga Kerja
Tenaga kerja usahatani dapat diperoleh dari dalam keluarga dan luar
keluarga. Tenaga kerja dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu tenaga kerja
manusi, ternak dan mekanik. Tenaga kerja manusia dibagi lagi menjadi tenaga
kerja pria, wanita, dan anak. Menurut Yang (1995) dalam Hernanto (1996)
menyatakan bahwa adanya konversi tenaga kerja dimana membandingkan tenaga
kerja pria sebagai ukuran baku dan jenis tenega kerja lainnya dikonversikan,
menjadi 1 pria = 1 hari kerja pria (HKP), 1 Wanita = 0.7 HKP, 1 ternak = 2 HKP,
dan 1 anak = 0.5 HKP.
3. Modal
Modal adalah barang atau uang bersama-sama dengan faktor produksi lain
untuk menghasilkan produk pertanian. Modal dibedakan menurut sifatnya menjadi
dua, yaitu modal tetap dan modal tidak tetap. Modal tetap diartikan modal yang
tidak habis pada satu periode produksi, contohnya bangunan, tanah. Sedangkan
modal tidak tetap diartikan sebagai modal yang habis dalam satu periode proses
produksi, contohnya alat-alat pertanian, piutang, uang tunai, tanaman, ternak, ikan
dikolam. Berdasarkan sumbernya modal dapat berasal dari modal sendiri,
pinjaman, hasil sewa, maupun warisan.
4. Manajemen
Manajemen usahatani merupakan kemampuan petani dalam menentukan,
mengorganisir dan mengkoordinir faktor-faktor produksi yang dimilikanya

10
dengan sebaik-baiknya dan mampu memberikan produksi pertanian sesuai yang
diharapkan.
Penerimaan Usahatani
Menurut Hernanto (1996) penerimaan usahatani adalah nilai dari perkalian
antara total produksi dengan harga satuan produk usahatani. Total produksi dalam
usahatani dapat berupa produk yang dijual maupun produk yang tidak dijual.
Menurut Soekartawi (2011) produk yang tidak dijual misalnya digunakan untuk
konsumsi rumah tangga, digunakan kembali dalam usahatani, produk yang
digunakan untuk pembayaran dan produk yang disimpan digudang pada akhir
tahun. sehingga dalam usahatani ada dua jenis penerimaan yaitu penerimaan tunai
dan penerimaan total. Penerimaan tunai yaitu nilai yang dijual oleh petani
sedangkan penerimaan total adalah nilai produk total usahatani dalam jangka
waktu tertentu baik nilai produk yang dijual maupun nilai produk yang tidak
dijual.
Biaya Usahatani
Biaya dalam usahatani diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu biaya tetap
dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang relatif sama jumlahnya, dan
terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit.
Sehingga besar kecilnya biaya tidak dipengaruhi oleh besarnya produksi.
Contohnya, pajak, sewa tanah. Biaya variabel adalah biaya yang besar-kecilnya
dipengaruhi oleh besarnya produksi, sehingga biaya ini sifatnya berubah-ubah
tergantung dari besar-kecilnya produksi yang diinginkan. Contoh biaya variabel
adalah biaya untuk sarana produksi, karena jika petani menginginkan hasil
produksi yang tingggi, maka pengeluaran untuk tenaga kerja, pupuk dan segala
hal yang mempengaruhi peningkatan produksi akan ikut bertambah. Gambar 2
menunjukkan hubungan tingkat produksi dengan besaran biaya.
C
C
TC
VC
C
FC

Keterangan :
C = Biaya
TC = Total Biaya
VC = Biaya Variabel
FC = Biaya Tetap
Y = Tingkat Produksi

Y
C
Gambar 2 Kurva hubungan biaya dengan tingkat produksi
Dalam penelitian ini perhitungan biaya dalam usahataninya dibedakan
menjadi dua, yaitu biaya tunai dan biaya tidak tunai. Penggunaan biaya tunai dan
tidak tunai didasarkan karena objek yang menjadi penelitian masih berskala kecil.
Sedangkan penggunaan jenis biaya tetap dan bariabel digunakan untuk usaha yang
sudah berskala besar dan diterapka di negara maju. Biaya tunai adalah biaya yang

11
harus dikeluarkan oleh petani secara tunai, biaya ini terdiri dari beberapa
komponen kegiatan usahatani. Biaya tunai terdiri dari pembelian pupuk kandang,
herbisida, upah tenaga kerja luar keluarga, pajak bagi petani pemilik lahan sendiri,
sewa lahan, pembelian perlengkapan tambahan seperti koran dan karung untuk
pemanenan. Biaya tidak tunai (diperhitungkan) adalah biaya yang tidak termasuk
ke dalam biaya tunai, akan tetapi biaya tersebut diperhitungkan dalam usahatani.
Biaya tidak tunai terdiri dari tenaga kerja dalam keluarga, sewa lahan yang
diperhitungkan, biaya bibit yang dibebankan selama umur produktif dan
penyusutan peralatan.
Pendapatan Usahatani
Menurut Soekartawi (2011) pendapatan usahatani adalah selisih antara
penerimaan dan pengeluaran. Pendapatan usahatani mengukur imbalan yang
diperoleh keluarga petani dari pengunaan faktor-faktor produksi kerja,
pengelolaan, dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan
dalam kegiatan usahatani.
Menurut Suratiyah (2008) ada faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya
biaya dan pendapatan, secara garis besar dapat dibagi kedalam dua golongan
yaitu:
 Faktor internal dan faktor eksternal
Faktor internal seperti umur petani, pendidikan, pengalaman, keterampilan,
jumlah tenaga kerja keluarga, luas lahan dan modal. Faktor eksternal seperti
input (ketersediaan dan harga) dan output (permintaan dan harga)
 Faktor manajemen
Petani sebagai manajer harus dapat mengambil berbagai pertimbangan
ekonomi sehingga dapat mendatangkan hasil yang maksimal. Mengingat
faktor internal tertentu dan faktor eksternal yang selalu berubah-ubah, petani
sebagai juru tani harus dapat melaksanakan usahataninya dengan sebaikbaiknya, yaitu menggunakan faktor produksi dan tenaga kerja secara efisien
sehingga akan memperoleh manfaat yang setinggi-tingginya.
Namun perlu diperhatikan bahwa pendapatan yang besar tidak selalu
menunjukan usahatani berjalan efisien, karena bisa saja pendapatan usahatani
yang besar juga diimbangi oleh biaya yang besar pula. Sehingga dalam proses
pembandingan penampilan usahatani perlu digunakan ukuran efisiensi usahatani
seperti R/C ratio.
Analisis Rasio Penerimaan dan Biaya
Salah satu cara untuk mengukur kelayakan suatu usahatani dapat dilihat dari
nilai Return cost ratio atau R/C ratio, Return cost ratio atau R/C ratio adalah
perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya (Soekartawi, 2002). Jika nilai
ratio R/C nya lebih besar dari satu maka usahatani dapat dikatakan layak untuk
dijalankan. Apabila nilai R/C lebih kecil dari satu maka usahatani dikatakan tidak
layak. Sedangkan jika nilai R/C sama dengan satu, maka kegiatan usahatani
memperoleh keuntungan normal atau tidak untung dan tidak rugi. Nilai ratio R/C
memperlihatkan besar-kecilnya penerimaan yang diperoleh sebagai manfaat dari
setiap rupiah yang dikeluarkan oleh petani.

12
Kerangka Pemikiran Operasional
Kabupaten Bogor merupakan salah satu tempat pengembangan lidah buaya
di Indonesia. Sebagai tempat pengembangan lidah buaya, jumlah petani lidah
buaya masih relatif sedikit dan produksinya cenderung mengalami penurunan di
dua tahun terakhir. Hal ini mengindikasikan bahwa komoditas lidah buaya di
Kabupaten Bogor belum berjalan dengan baik. Selain itu di lapangan juga
diketahui ada dua metode pemeliharaan lidah buaya terutama dalam hal
pengendalian gulma di lahan. Metode yang pertama dengan cara manual yaitu
petani membersihkan rumput dengan cangkul atau koret dan metode yang kedua
petani menggunakan penyemprotan herbisida untuk membersihkan rumput di
lahan. Tidak seragamnya cara atau metode budidaya lidah buaya juga dapat
menghambat keberhasilan usahatani yang dampaknya mempengaruhi biaya yang
harus dikeluarkan oleh petani sehingga dapat berpengaruh ke pendapatan petani.
Oleh sebab itu, perlu adanya penelitian mengenai komoditas lidah buaya untuk
mengetahui performa keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan
(forward linkage) pada usahatani lidah buaya dan mengetahui pendapatan petani
saat ini yang telah mengusahakan lidah buaya pada kedua metode, sehingga
dengan penelitian ini dapat mengetahui penyebab terhambatnya perkembangan
lidah buaya di Kabuapeten Bogor serta mengetahui pendapatan petani pada kedua
metode tersebut. Untuk memperjelas dan mempermudah pemehaman mengenai
gagasan penelitian diatas, maka penjabaran alur kerangka pemikiran operasional
dapat dilihat di bawah ini :

13
Analisis Usahatani Lidah Buaya di Kabupaten Bogor
 Kabupaten Bogor sebagai daerah pengembangan komoditas lidah buaya di
Provinsi Jawa Barat
 Produksi dan luas lahan yang ditanami lidah buaya mengalami penurunan
pada dua tahun terakhir
 Perlu adanya penelitian mengenai performa backward linkage dan forward
linkage pada usahatani dan segi pendapatan usahatani lidah buaya

1.

2.
3.

Bagaimana keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan
(forward linkage) pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor ?
Bagaimana keragaan usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor ?
Bagaimana pendapatan dan efisiensi usahatani lidah buaya di Kabupaten
Bogor ?

Keterkaitan
ke
belakang
(backward
linkage) dan ke depan
(forward linkage) pada
usahatani lidah buaya

Keragaan
usahatani lidah
buaya

Pendapatan dan
efisiensi
usahatani lidah
buaya

Rekomendasi yang perlu diperbaiki dalam usahatani lidah buaya

Gambar 3 Kerangka pemikiran operasional analisis usahatani lidah buaya di
Kabupaten Bogor

14

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Bogor Jawa Barat.
Pemilihan Kabupaten Bogor sebagai lokasi penelitian dilakukan secara sengaja
(purposive) dengan alasan bahwa Kabupaten Bogor merupakan daerah
pengembangan komoditas lidah buaya di Provinsi Jawa Barat. Kecamatan yang
dijadikan tempat penelitian di Kabupaten Bogor ada tiga yaitu di Kecamatan
Kemang, Ciseeng dan Ranca Bungur. Penentuan Ketiga kecamatan tersebut
berdasarkan ketersedian petani lidah buaya yang telah melakukan pemanenan
minimal satu tahun terakhir. Waktu penelitian ini dilaksanakan selama bulan
Januari sampai Februari 2015.
Jenis dan Sumber Data
Jenis data dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh secara langsung melalui pengamatan dan wawancara dengan 13
petani lidah buaya. Data primer yang digunakan dalam penelitian mencakup
karakteristik responden, kegiatan petani yang mengindikasikan performa
keterkaitan ke depan dan ke belakang pada usahatani dan keragaan usahatani
lidah buaya.
Data sekunder merupakan data pelengkap dari data primer serta mencakup
data produktivitas lidah buaya, luas panen serta data-data yang mendukung untuk
penelitian ini. Data sekunder diperoleh dari Direktorat Jenderal Hortikultura,
Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat, Dinas Pertanian Kabupaten Bogor, dan
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor maupun pusat. Selain itu, dilakukan juga
penelusuran melalui internet, buku serta penelitian-penelitian sebelumnya yang
dapat dijadikan sebagai bahan rujukan yang berhubungan dengan analisis
usahatani lidah buaya.
Metode Penarikan Sampel dan Pengumpulan Data
Jumlah responden yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 13 petani
lidah buaya dengan rincian 8 petani metode herbisida dan 5 petani metode
manual. Jumlah tersebut berdasarkan hasil observasi dan data yang berasal dari
Dinas Pertanin Kabupaten Bogor. Penentuan petani yang menjadi responden
secara sengaja (purposive) dan merupakan petani yang telah melakukan proses
pemanenan lidah buaya selama satu tahun terakhir. Pengumpulan data primer
dengan cara memberikan pertanyaan kepada responden dengan acuan berupa
kuesioner. Tujuan penggunaan kuesioner yaitu agar ada acuan pertanyaan dan
pertanyaan yang diajukan sistematis serta untuk mendapatkan data kuantitatif
mengenai segala hal yang menyangkut usahatani lidah buaya.
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.
Pengolahan data secara kuantitatif menggunakan software Microsoft excel dan

15
SPSS. Pengolahan data secara kuantitatif nantinya akan dapat melihat struktur
biaya dan pendapatan, serta nilai R/C dan uji beda Mann-Whitney U test.
Sedangkan analisis data secara kualitatif nantinya akan dapat menjelaskan
performa keterkaitan ke belakang dan ke depan pada usahatani lidah buaya dapat
menjelaskan atau menjabarkan hasil perhitungan kuantitatif usahatani lidah
buaya. Setelah data diolah maka disajikan dan dijelaskan secara kualitatif dan
kuantitatif sesuai dengan analisis yang telah diuraikan dalam kerangka teoritis.
Deskripsi Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan
Diskripsi keterkaitan ke belakang dan ke depan pada usahatani lidah buaya
di Kabupaten Bogor akan menjelaskan ketekaitan ke belakang sistem usahatani
dengan sektor hulu seperti pengadaan input (bibit, pupuk, tenaga kerja, alat-alat
pertanian). Keterkaitan ke depan akan menjelaskan keterkaitan ke depan sistem
usahatani dengan sektor hulu yaitu pemasaran dan pengolahan. Diskripsi
keterkaitan ke belakang dan ke depan akan dapat menjelaskan gambaran secara
umun mengenai keterkaiatan sistem usahatani dengan sektor hulu dan hilir.
Biaya Usahatani Lidah Buaya
Analisis biaya usahatani lidah buaya digunakan untuk mengetahui jumlah
biaya-biaya yang dikeluarkan oleh petani dalam kegiatan usahatani lidah buaya
baik petani metode herbisida maupun manual. Dalam analisis biaya usahatani
lidah buaya ini menggunakan dua jenis biaya yaitu, biaya tunai dan biaya tidak
tunai. Biaya usahatani adalah hasil penjumlahan secara keseluruhan yang
dikeluarkan oleh petani dalam kegiatan usahatani baik biaya tunai maupun biaya
tidak tunai. Perhitungan biaya usahatani sebagai berikut :

Keterangan :
TC = Total Biaya Usahatani
C = Total Biaya Tunai
NC = Total Biaya Tidak Tunai
Biaya tunai terdiri dari pembelian pupuk kandang, herbisida, upah tenaga
kerja luar keluarga, pajak bagi petani pemilik lahan sendiri, sewa lahan.
pembelian perlengkapan tambahan seperti koran dan karung untuk pemanenan.
Biaya tidak tunai terdiri dari tenaga kerja dalam keluarga, sewa lahan yang
diperhitungkan, biaya bibit yang dibebankan selama umur produktif dan
penyusutan peralatan. Menurut Suratiyah (2009) perhitungan penyusutan
berdasarkan metode garis lurus (straight line method) adalah dengan membagi
hasil antara nilai pembelian dengan nilai sisa yang selanjutnya dibagi oleh umur
ekonomi dari alat tersebut.
Penerimaan Usahatani Lidah Buaya
Analisis penerimaan usahatani lidah buaya digunakan untuk mengetahui
besaran penerimaan yang diperoleh oleh petani lidah buaya baik petani metode
herbisida maupun manual. Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi
yang diperoleh dengan harga jual. Secara matematis dapat dituliskan (Soekartawi
1995) :

16

Keterangan : TR = Total Penerimaan (Rupiah)
Y = Produksi yang diperoleh dalam usahatani (Kg)
Py = Harga produk per unit (Rupiah/Kg)
Penerimaan dalam kegiatan usahatani terdiri dari dua jenis sumber
penerimaan, yaitu penerimaan tunai dan penerimaan tidak tunai. Penerimaan tunai
adalah penerimaan yang didapatkan dari hasil kegiatan produksi usahatani yang
dijual. Penerimaan tidak tunai adalah hasil produksi yang tidak dijual oleh petani,
namun hasil tersebut digunakan untuk keperluan lain, seperti untuk konsumsi atau
benih. Sehingga penerimaan total usahatani merupakan hasil keseluruhan nilai
produksi yang usahatani yang dijual, dikonsumsi keluarga, serta yang dijadikan
persediaan.
Pendapatan Usahatani Lidah Buaya
Menurut Soekartawi (2002) pendapatan usahatani adalah selisih antara
penerimaan dan pengeluaran. Pendapatan usahatani adalah balas ja