Pengaruh Karakteristik Peternak Melalui Kompetensi Peternak Terhadap Kinerja Usaha Ternak Sapi Potong Di Kabupaten Bandung

PENGARUH KARAKTERISTIK PETERNAK MELALUI
KOMPETENSI PETERNAK TERHADAP KINERJA USAHA
TERNAK SAPI POTONG DI KABUPATEN BANDUNG

DIYANI FAUZIYAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI THESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Karakteristik
Peternak Melalui Kompetensi Peternak terhadap Kinerja Usaha Ternak Sapi Potong
di Kabupaten Bandung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir thesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2015
Diyani Fauziyah
NIM H351130501

4

RINGKASAN
DIYANI FAUZIYAH. Pengaruh Karakteristik Peternak Melalui Kompetensi
Peternak terhadap Kinerja Usaha Ternak Sapi Potong di Kabupaten Bandung.
Dibimbing oleh RITA NURMALINA dan BURHANUDDIN.
Daging sapi merupakan salah satu pangan strategis dari hasil peternakan yang
menjadi target swasembada. Namun, kinerja usaha ternak dalam negeri dan
kompetensi peternak dinilai masih rendah. Kinerja usaha yang rendah ditunjukkan
oleh angka produksi daging sapi lokal yang belum dapat memenuhi kebutuhan
dalam negeri sehingga tingkat ketergantungan pada impor masih sangat tinggi.
Laju perkembangan populasi sapi potong di Kabupaten Bandung cenderung
meningkat, tetapi produksi daging sapi lokal setiap tahunnya cenderung menurun.
Dengan kata lain, peningkatan jumlah populasi sapi potong di Kabupaten Bandung

belum bisa meningkatkan angka produksi daging sapi lokal.
Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi karakteristik dan
kompetensi peternak, dan kinerja usaha ternak, 2) menganalisis pengaruh
karakteristik peternak melalui kompetensinya terhadap kinerja usaha ternak, dan 3)
mengidentifikasi indikator yang berkontribusi besar untuk meningkatkan kinerja
usaha ternak sapi potong di Kabupaten Bandung. Penelitian ini dilakukan di 3
daerah sentra, yaitu Kecamatan Cikancung, Cimenyan, dan Cimaung pada bulan
Januari hingga Maret 2015. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dengan
panduan kuesioner kepada 121 peternak sapi potong yang dipilih dengan teknik
proportional cluster sampling berdasarkan banyaknya peternak di masing-masing
kecamatan tersebut. Data dianalisis dengan metode SEM (Structural Equation
Modelling) menggunakan bantuan program LISREL 8.72.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik peternak sapi potong di
Kabupaten Bandung didominasi oleh peternak yang berusia dewasa madya (40-59
tahun), berpendidikan sangat rendah (SD), belum pernah ikut penyuluhan/
pelatihan, dan memiliki tingkat kekosmopolitan sedang. Rata-rata peternak
memiliki motivasi dan kebutuhan berprestasi yang tinggi. Kompetensi teknis dan
kewirausahaan peternak termasuk kategori tinggi. Kinerja usaha ternak dari segi
produktivitas dan keberlangsungan usaha termasuk kategori tinggi, sedangkan
pertumbuhan dan profitabilitas usaha termasuk kategori sedang.

Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa karakteristik personal dan psikologis
peternak signifikan berpengaruh positif terhadap kompetensi teknis dan
kewirausahaan. Pengaruh terbesar ditunjukkan oleh karakteristik psikologis.
Kompetensi teknis signifikan berpengaruh positif, sedangkan kompetensi
kewirausahaan tidak berpengaruh terhadap kinerja usaha.
Indikator dari karakteristik personal yang berkontribusi paling besar adalah
penyuluhan/pelatihan, sedangkan dari karakteristik psikologis adalah kebutuhan
berprestasi dan motivasi penarik. Indikator dari kompetensi teknis yang
berkontribusi paling besar adalah pengelolaan pemasaran dan input, sedangkan dari
kompetensi kewirausahaan adalah inisiatif. Kinerja usaha dijelaskan paling besar
oleh produktivitas.
Karakteristik personal peternak yang seperti itu menunjukkan bahwa
peternak sudah memilih beternak sapi potong sebagai pekerjaan terbaik, relatif
senang mencoba hal-hal baru dan memiliki sikap cepat mengadopsi suatu inovasi.

5

Akan tetapi, inovasi yang dilakukan peternak belum didasari dengan dasar ilmu
yang tepat dan memadai. Hal ini menyebabkan kompetensi kewirausahaan peternak
tidak berpengaruh terhadap kinerja usahanya. Walaupun dengan skala usaha yang

kecil, rata-rata peternak memiliki motivasi dan kebutuhan berprestasi yang tinggi
sehingga mereka berpotensi untuk mempertahankan bahkan mengembangkan
usahanya, terutama melalui peningkatan kompetensi teknis mereka. Peternak yang
menggunakan modal pribadi yang ditunjang dengan modal tambahan dari pihak
luar (modal gabungan) lebih berpotensi memiliki kompetensi teknis yang tinggi.
Untuk mendukung kompetensi kewirausahaannya yang tinggi, terutama inisiatif
dalam berinovasi, peternak membutuhkan ilmu dan pengetahuan yang tepat guna
melalui penyuluhan/pelatihan, khususnya dalam mengelola input dan pemasaran.
Hal ini selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan kinerja usaha ternak sapi
potong di Kabupaten Bandung, terutama produktivitas dalam rangka meningkatkan
angka produksi daging sapi lokal untuk mencapai swasembada.
Kata kunci: kinerja usaha, kompetensi kewirausahaan, sapi potong, SEM

6

SUMMARY
DIYANI FAUZIYAH. The Influence of Characteristics through Competencies of
Farmers on Beef Cattle Business Performance in Bandung Regency. Supervised by
RITA NURMALINA and BURHANUDDIN.
Beef is one of the strategic food which is the target of self-sufficiency.

However, the business performance of domestic beef cattle and farmer
competencies are considered low. Low of business performance indicated by the
number of local beef production can not fulfill domestic needs so that the
dependence level of import is still very high.
The number of beef cattle population in Bandung Regency tend to increase,
while the number of beef production tend to decline. In other words, the increasing
of the beef cattle population number in Bandung Regency has not been able to
increase the number of local beef production.
Purposes of this study are: 1) to identify the farmers’ characteristics and
competencies, and beef cattle business performance, 2) to analyze the influence of
the characteristics through the competencies of farmers on the beef cattle business
performance, and 3) to identify the indicators contributing to improving beef cattle
business performance in Bandung Regency. This research was conducted in three
central areas of beef cattle in Bandung Regency, namely Cikancung, Cimenyan,
and Cimaung Districts in January to March 2015. Primary data was collected by
interviews with a guide questionnaire to 121 cattle farmers were selected by
proportional cluster sampling according to the number of cattle farmers in each the
central areas. The data were analyzed by SEM analysis by LISREL 8.72.
The results showed that cattle farmers in Bandung Regency were dominated
by farmers aged 40-59 years (middle age), very low educated (elementary school),

have never been attended counseling/training, and have medium cosmopolitan
level. Average farmers have high motivation and achievement needs. Technical and
entrepreneurial competencies of farmers included in a high category. Beef cattle
business performance in terms of productivity and business survival including in
high category, while the business growth and profitability including in medium
category.
Personal and psychological characteristics of farmers significantly and
positively influence on the technical and entrepreneurial competencies. The greatest
effect is indicated by psychological characteristic. Technical competency
significantly and positively influence on business performance, while the
entrepreneurial competency has no effect.
The greatest contributor of personal characteristics is counseling/training,
while the greatest contribution of psychological characteristics is described by the
need for achievement and motivation towing. The greatest contribution of technical
competencies is described by the management of marketing and input, whereas the
greatest entrepreneurial competencies outlined by the initiative. The business
performance is explained by productivity.
This personal characteristics show that the farmers have selected beef cattle
business as the best job, relatively like to try new things and have an attitude to
adopt an innovation quickly. However, innovation constituted farmer did not yet


7

based by the right and adequate knowledge. This causes the entrepreneurial
competencies of farmers have no effect on its business performance. Despite of
with the small-scale enterprises, the average farmer has the motivation and high
achievement needs so that they have the potential to maintain and even expand their
business, particularly through increasing their technical competencies. Farmers
who use private capital which is supported by additional capital from external
parties (combined capital) are more likely to have high technical competencies. To
support the high entrepreneurial competencies, especially in innovating initiative,
farmers need science and appropriate knowledge through education/training,
especially in managing inputs and marketing. In the next step, expected to improve
the business performance of beef cattle in Bandung Regency, especially
productivity in order to increase the number of local beef production to achieve
self-sufficiency.
Keywords: beef cattle, business performance, entrepreneurial competencies, SEM

8


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGARUH KARAKTERISTIK PETERNAK MELALUI
KOMPETENSI PETERNAK TERHADAP KINERJA USAHA
TERNAK SAPI POTONG DI KABUPATEN BANDUNG

DIYANI FAUZIYAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

10

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis

: Dr Ir Rachmat Pambudy, MS

Penguji Program Studi

: Dr Amzul Rifin, SP, MA

11
Judul Tesis : Pengaruh Karakteristik Peternak Melalui Kompetensi Peternak
terhadap Kinerja Usaha Ternak Sapi Potong di Kabupaten Bandung
Nama

: Diyani Fauziyah
NIM
: H351130501

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Ketua

Dr Ir Burhanuddin, MM
Anggota

Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Magister Sains Agribisnis

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS


Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 22 September 2015

Tanggal Lulus:

12

13

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian
ini adalah Pengaruh Karakteristik Peternak Melalui Kompetensi Peternak terhadap
Kinerja Usaha Ternak Sapi Potong di Kabupaten Bandung.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS dan Dr
Ir Burhanuddin, MM selaku dosen pembimbing atas motivasi dan saran, serta
kesabarannya dalam membimbing penulis. Terima kasih juga kepada Dr Ir Rachmat
Pambudy, MS dan Dr Amzul Rifin, SP, MA selaku dosen penguji pada ujian tesis
atas saran perbaikan yang mendukung untuk menyempurnakan karya ilmiah ini.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh keluarga atas segala doa,
dukungan, dan kasih sayangnya kepada penulis. Di samping itu, penulis juga
berterimakasih kepada Bakrie Center Foundation atas beasiswa yang diberikan
sehingga penulis dapat melanjutkan pendidikan di program studi Magister Sains
Agribisnis. Terima kasih juga penulis haturkan kepada Tim Redaksi Jurnal
Agribisnis Indonesia atas kesediaannya untuk menerbitkan artikel dari karya ilmiah
ini sehingga penulis termotivasi untuk lulus tepat waktu. Terima kasih dan
penghargaan yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten Bandung, penyuluh dan peternak sapi di Kabupaten Bandung, serta
pihak-pihak yang telah membantu selama pengumpulan data. Terakhir penulis
sampaikan terima kasih kepada rekan-rekan Magister Sains Agribisnis Angkatan 4
Program Studi Agribisnis IPB atas segala doa dan dukungan.

Bogor, Oktober 2015
Diyani Fauziyah

i

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
5
Manfaat Penelitian
5
Ruang Lingkup Penelitian
5
TINJAUAN PUSTAKA
6
Karakteristik Pelaku Usaha
6
Kompetensi Kewirausahaan dan Determinannya
6
Kinerja Usaha, Determinan dan Indikator Keberhasilannya
8
Hubungan Karakteristik Pelaku Usaha dan Kompetensi Usaha
8
Hubungan Karakteristik Pelaku Usaha dan Kinerja Usaha
8
Hubungan Kompetensi Kewirausahaan dan Kinerja Usaha
9
Analisis SEM (Structural Equation Models) dalam Kajian Kewirausahaan 10
KERANGKA PEMIKIRAN
12
Karakteristik Individu
12
Konsep Kompetensi dan Komponen-komponennya
14
Konsep Kewirausahaan
16
Kompetensi Kewirausahaan
18
Kinerja Usaha dan Ukuran Keberhasilannya
22
Kerangka Pemikiran Operasional
24
Hipotesis
25
METODE PENELITIAN
26
Lokasi dan Waktu Penelitian
26
Metode Pengambilan Sampel
26
Metode Pengumpulan Data
26
Variabel Penelitian dan Skala Pengukuran
27
Metode Analisis Data
30
HASIL DAN PEMBAHASAN
34
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
34
Karakteristik Usaha Ternak Sapi Potong di Kabupaten Bandung
35
Karakteristik Responden
40
Kompetensi Responden
44
Kinerja Usaha Ternak Sapi Potong di Kabupaten Bandung
51
Analisis SEM (Structural Equation Model)
52

ii
Pengaruh Karakteristik Peternak Melalui Kompetensi Peternak terhadap
Kinerja Usaha Ternak Sapi Potong di Kabupaten Bandung
Indikator Karakteristik Peternak Sapi Potong
Indikator-indikator Kompetensi Peternak Sapi Potong
Indikator-indikator Kinerja Usaha Ternak Sapi Potong
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

60
63
67
69
71
71
71
73
80
93

iii

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34

Definisi kompetensi berdasarkan beberapa kajian empiris
Komponen-komponen kompetensi teknis petani wirausaha
Komponen-komponen kompetensi kewirausahaan petani wirausaha
Variabel laten dan manifest/indikator model persaman struktural
Definisi dan skala pengukuran indikator karakteristik personal (X1)
Definisi operasional indikator karakteristik psikologis (X2)
Definisi operasional variabel manifest/indikator kompetensi peternak
Definisi operasional variabel manifest/indikator kinerja usaha (Y3)
Kinerja usaha peternakan sapi potong di Kabupaten Bandung
Sebaran responden berdasarkan karakteristik usaha
Persentase jumlah responden berdasarkan modal usaha dan kompetensi
teknis responden
Persentase jumlah responden berdasarkan persepsi usaha ternak dan
pekerjaan lain yang dimiliki
Persentase jumlah responden berdasarkan skala usaha ternak dan
kompetensi teknis responden
Sebaran jumlah ternak berdasarkan klasifikasi umur ternak
Sebaran persentase responden berdasarkan kelompok usia
Sebaran persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan formal
Sebaran persentase responden berdasarkan pengalaman beternak
Sebaran persentase responden berdasarkan tingkat penyuluhan
Sebaran persentase responden berdasarkan tingkat kekosmopolitan
Kategori dan persentase tertinggi dari karakteristik personal responden
Sebaran persentase penilaian dan tingkat karakteristik psikologis responden
Sebaran persentase penilaian responden terhadap kompetensi teknis
Sebaran responden berdasarkan jenis sapi yang dimiliki
Sebaran responden berdasarkan frekuensi kegiatan pemeliharaan ternak
Sebaran persentase penilaian responden pada kompetensi kewirausahaan
Kategori dan persentase komponen tertinggi dari kompetensi teknis dan
kewirausahaan peternak
Sebaran persentase penilaian responden dan tingkat kinerja usaha ternak
Sebaran persentase responden berdasarkan pertumbuhan jumlah ternak
Hasil uji kecocokan keseluruhan model output SEM
Hasil uji kecocokan keseluruhan model setelah direspesifikasi
Hasil uji validitas variabel manifest pada model pengukuran setelah
direspesifikasi
Hasil uji reliabilitas model pengukuran setelah direspesifikasi
Evaluasi terhadap koefisien model struktural hasil respesifikasi
Nilai faktor muatan (λ) dan rataan skor variabel manifest, serta kesimpulan
mengenai perlakuan terhadap variabel manifest

6
19
23
27
28
28
29
30
34
36
37
37
39
39
40
41
41
41
42
42
43
44
45
46
48
51
52
52
54
58
59
59
63
70

iv

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

7
8
9

10

11

12

13
14
15
16
17

Trend perkembangan populasi sapi dan produksi daging sapi lokal di
Kabupaten Bandung tahun 2005-2013
3
Model daya saing UKM
10
Kerangka konseptual pengaruh karakteristik psikologis dan kompetensi
peternak terhadap kesuksesan kewirausahaan
10
Model SEM
11
Model pengaruh kompetensi terhadap kinerja usaha
11
Kerangka pemikiran operasional pengaruh karakteristik peternak melalui
kompetensi peternak terhadap usaha ternak sapi potong di Kabupaten
Bandung
25
Path diagram pengaruh karakteristik peternak melalui kompetensinya
terhadap kinerja usaha ternak sapi potong
33
Bidang usaha dalam sistem agribisnis sapi potong
35
Heywood cases dan signifikansi (t-value) pada model pengaruh
karakteristik peternak melalui kompetensinya terhadap kinerja usaha
ternak sapi potong di Kabupaten Bandung
55
Validitas dan keeratan hubungan antar variabel pada model pengaruh
karakteristik peternak melalui kompetensinya terhadap kinerja usaha
ternak sapi potong di Kabupaten Bandung (estimasi standardized solution) 56
Signifikansi (t-value) pada model pengaruh karakteristik peternak melalui
kompetensinya terhadap kinerja usaha ternak sapi potong di Kabupaten
Bandung setelah direspesifikasi
60
Validitas dan keeratan hubungan antar variabel pada model pengaruh
karakteristik peternak melalui kompetensinya terhadap kinerja usaha
zternak sapi potong di Kabupaten Bandung setelah direspesifikasi
(estimasi standardized solution)
61
Indikator-indikator karakteristik personal
64
Indikator-indikator karakteristik psikologis
66
Indikator-indikator kompetensi teknis
67
Indikator-indikator kompetensi kewirausahaan
68
Indikator-indikator kinerja usaha ternak
69

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5

Kuesioner
Populasi sapi potong di Kabupaten Bandung tahun 2012 (ekor)
Uji validitas dan reliabilitas model awal
Uji validitas dan reliabilitas model respesifikasi
Output SEM hasil respesifikasi

80
86
87
87
88

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di akhir tahun 2015, Indonesia sebagai salah satu anggota ASEAN akan
menghadapi persaingan global di wilayah regional ASEAN yang dikenal dengan
AEC (ASEAN Economic Community) atau MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN).
Kesepakatan ini menuntut kemandirian pelaku usaha karena intervensi pemerintah
harus lebih diminimalisir. Tuntutan mengenai kemandirian ini sebenarnya sudah
ditegaskan oleh Sumardjo (1999) bahwa petani dituntut untuk memiliki aspirasi,
kreatif, inovatif, mampu mengambil keputusan yang menguntungkan, dan tangguh
dalam beragribisnis, tidak lagi hanya mengandalkan proteksi dan subsidi dari
pemerintah. Riyanti (2003) juga mengatakan bahwa kemandirian dalam hal
permodalan dan penggunaan bahan baku lokal (bukan impor) merupakan modal
awal terciptanya ekonomi perusahaan yang sehat. Kedua pernyataan ini merujuk
pada perkembangan ekonomi berbasis wirausaha, terutama pelaku usaha kecil.
Hasil survey dari The Asian Foundation dan Akatiga (1999) mencatat bahwa
perekonomian Indonesia bisa selamat dari krisis ekonomi dunia karena banyaknya
usaha kecil yang tidak bergantung dari pihak asing dalam hal permodalan dan
penyediaan bahan baku (Riyanti 2003). Padahal diketahui bahwa usaha-usaha kecil
tersebut memiliki banyak hambatan, seperti kurangnya kemampuan manajemen,
teknologi yang kurang memadai, dan kurangnya informasi pasar sehingga kurang
mampu bersaing di pasar global. Namun, adanya tuntutan global seperti
kesepakatan MEA ini memaksa pelaku usaha kecil untuk dapat meningkatkan
kinerja usahanya karena ancaman terkena dampak krisis ekonomi global juga
menjadi lebih besar.
Petani kecil pada perkembangan ekonomi saat ini tidak hanya dituntut untuk
memiliki kompetensi teknis, tetapi juga manajerial dan kewirausahaan (Bergevoet
2005). Menurut Bergevoet (2005), dalam perusahaan yang lebih besar, beberapa
individu yang berbeda melakukan fungsi-fungsi ini, sedangkan petani dengan usaha
kecil dituntut menggabungkan ketiga fungsi tersebut. Sebagai pengusaha, petani
bertanggung jawab untuk membuat pilihan strategis untuk bisnis dan untuk
menyediakan modal. Petani sebagai seorang manajer yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan dan pengendalian rencana. Untuk memenuhi kombinasi tugas tersebut,
petani perlu memiliki keseimbangan antara pengetahuan dan keterampilan di ketiga
wilayah kompetensi tersebut. Oleh karenanya, hal-hal yang berkaitan dengan
kompetensi dan keberhasilan usaha perlu diteliti.
Keberhasilan usaha dapat dilihat dari perkembangan kinerja usaha pada
periode waktu tertentu. Banyak kajian empiris yang menganalisis kompetensi
sumber daya manusia di perusahaan umum, sedangkan mengenai kompetensi yang
spesifik merujuk kepada petani wirausaha (wirausaha pertanian) masih jarang
dilakukan. Padahal data Depkop (2011) menunjukkan bahwa proporsi unit usaha
dan penyerapan tenaga kerja pada sektor ekonomi UMKM di Indonesia masih
didominasi oleh sektor petanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Hal ini
menunjukkan bahwa sektor pertanian berperan penting bagi masyarakat Indonesia.
Namun, sektor ini masih didominasi oleh para petani yang kurang ahli (unskilled
farmers) sehingga masih dianggap sebagai ‘sektor buangan’ (Direktorat Pangan dan
Pertanian Bappenas 2013).

2
Richards dan Bulkley (2007) menyimpulkan dengan tegas bahwa
kewirausahaan merupakan atribut kunci keberhasilan ekonomi pertanian dan target
logis kebijakan pembangunan ekonomi pedesaan adalah wirausaha pertanian
(agricultural entrepreneur). Wirausaha pertanian adalah petani yang memandang
usahanya sebagai suatu bisnis (berorientasi bisnis) yang mendatangkan profit dan
berharap usahanya dapat tumbuh (Kahan 2012).
Sebagai salah satu subsektor pertanian, peternakan berperan penting dalam
penyediaan bahan pangan, terutama dalam pemenuhan protein hewani bagi
masyarakat. Daging sapi tetap menjadi salah satu pangan strategis dari hasil
peternakan yang menjadi target swasembada di tahun 2014, meskipun program
swasembada ini telah dinyatakan gagal di tahun 2005 dan 2010.
Namun, hingga tahun 2013 produksi daging sapi masih belum dapat
memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga tingkat ketergantungan pada impor
masih sangat tinggi. Neraca kebutuhan dan ketersediaan daging sapi mengalami
defisit produksi sebesar 21.46 – 28.06 persen (Direktorat Pangan dan Pertanian
Bappenas 2013). Padahal diperkirakan konsumsi daging sapi akan terus meningkat
karena pertumbuhan jumlah penduduk, kenaikan pendapatan riil per kapita, citra
produk (gengsi), cita rasa, serta pertumbuhan industri pengolahan daging sapi dan
industri pariwisata.
Kementrian pertanian menegaskan bahwa indikator utama keberhasilan
swasembada daging sapi dilihat dari populasi ternak sapi yang sudah dapat
mencukupi kebutuhan konsumsi di dalam negeri, setidaknya 90 persen konsumsi
daging sapi dapat dipasok dari sapi domestik. Sisanya dipenuhi melalui impor, baik
berupa sapi bakalan maupun daging segar, untuk mengurangi kemungkinan
pengurasan ternak sapi potong lokal. Namun, Direktorat Pangan dan Pertanian
Bappenas (2013) menyatakan bahwa pertumbuhan populasi sapi potong di
Indonesia masih terhambat karena: (1) Usaha pembiakan secara komersial kurang
menguntungkan sehingga usaha ini hanya dilakukan secara sambilan sekedar untuk
tabungan/investasi oleh petani skala kecil; (2) Padang penggembalaan yang
menjadi andalan usaha pembiakan di wilayah timur Indonesia terus berkurang
karena dikapling untuk pemukiman dan lain-lain; dan (3) Pemotongan sapi betina
produktif yang sangat sulit dikendalikan sehingga pertumbuhan jumlah anak sapi
yang lahir menurun.
Adapun menurut Suharyanto (2011), persoalan swasembada tidak hanya
dalam pencapaian target populasi, tetapi juga bagaimana mempertahankannya. Hal
ini penting diperhatikan mengingat usaha peternak sapi masih menjadi usaha
subsisten dan skala usahanya masih kecil. Skala usaha yang kecil menunjukkan
tingkat efisiensi usaha yang masih rendah. Di samping itu, peternak pada umumnya
masih bersifat subsisten sehingga sangat mungkin mengkonversi ternaknya untuk
kebutuhan hidupnya tanpa mempertimbangkan keberlanjutan reproduksi dan
populasi ternak. Hal ini dapat menyebabkan keberhasilan swasembada sulit dicapai,
atau mungkin hanya berlangsung dalam jangka pendek.
Dari pernyataan di atas, diketahui bahwa akar permasalahannya dimulai dari
faktor produsen daging sapi, yaitu peternak sapi potong. Keberhasilan swasembada
sangat bergantung pada partisipasi penuh masyarakat peternak sapi potong, baik
peternak maupun para pelaku usaha peternakan sapi potong lainnya (Kementan
2010). Di dalam Permentan No. 19/Permentan/OT.140/2/2010 tentang Pedoman
Umum Program Swasembada Daging Sapi 2014, dua prinsip utama program ini

3
juga menekankan pada kinerja ternak dalam negeri yang dinilai rendah dan
kompetensi peternak yang masih perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, kompetensi
peternak dan kinerja usaha ternak sapi potong menjadi menarik untuk diteliti.
Perumusan Masalah

60000

12000.00

50000

10000.00

40000

8000.00

30000

6000.00

20000

4000.00

10000

2000.00

0

Produksi (ton)

Populasi (ekor)

Jawa Barat merupakan sentra produksi daging sapi terbesar ke-2 di Indonesia
setelah Jawa Timur (BPS 2015). Pola usaha ternak yang lebih berkembang di Jawa
Barat adalah pola penggemukan karena wilayahnya yang cukup strategis dari aspek
pasar (konsumen). Salah satu wilayah yang mengembangkan usaha ternak sapi di
wilayah Priangan Barat dari Jawa Barat adalah Kabupaten Bandung.
Kabupaten Bandung dikenal dengan komoditas unggulannya dari subsektor
peternakan yaitu sapi perah, pertama di tingkat provinsi Jawa Barat dan ketiga di
tingkat nasional. Sementara sapi potong masuk sepuluh besar di tingkat provinsi
jika dilihat dari jumlah populasinya. Uniknya, data mengklasifikasikan sapi jantan
jenis FH (Fries Holland/Holstein) ke dalam jenis sapi perah, padahal para peternak
menjadikan sapi jenis ini sebagai salah satu komoditas sapi potong. Sapi perah
jantan dan betina afkiran juga ikut berkontribusi pada ketersediaan daging sapi lokal
sehingga tetap perlu diperhitungkan. Jadi, yang dimaksud dengan usaha ternak sapi
potong dalam penelitian ini adalah usaha pembesaran maupun penggemukan sapi
yang dilakukan oleh peternak rakyat untuk dimanfaatkan dagingnya.
Dari hasil observasi diketahui bahwa peternak sapi di Kabupaten Bandung
mulai beralih pada usaha ternak sapi potong. Data dari Dinas Peternakan Provinsi
Jawa Barat (Gambar 1) membuktikan bahwa perkembangan populasi sapi potong
di Kabupaten Bandung tahun 2005-2013 cenderung meningkat (rata-rata 17.91
persen/tahun), sedangkan sapi perah cenderung menurun (rata-rata -3.93
persen/tahun). Namun, perkembangan produksi daging sapi lokal setiap tahunnya
juga cenderung menurun (rata-rata -3.90 persen/tahun). Dengan kata lain,
peningkatan jumlah populasi sapi potong di Kabupaten Bandung belum bisa
meningkatkan angka produksi daging sapi lokal.

0.00
2005

2006

2007

2008

2009

2010

2011

2012

2013

Tahun
Populasi sapi potong (ekor)
Populasi sapi perah (ekor)
Produksi daging lokal (ton)

Linear (Populasi sapi potong (ekor))
Linear (Populasi sapi perah (ekor))
Linear (Produksi daging lokal (ton))

Gambar 1 Trend perkembangan populasi sapi dan produksi daging sapi lokal di
Kabupaten Bandung tahun 2005-2013
Sumber: Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat tahun 2009 dan 2013 (diolah).

4
Peningkatan jumlah populasi sapi potong ini karena adanya dukungan dari
Pemerintah Kabupaten Bandung di akhir tahun 2010, salah satunya melalui bantuan
kredit dan bantuan bibit yang diberikan kepada anggota kelompok tani ternak.
Bantuan kredit ketahanan pangan dan energi (KKPE) diberikan melalui bank
dengan masa kontrak 3 tahun. Bantuan yang diberikan berupa 2 ekor bakalan sapi
potong jantan jenis PO (Peranakan Ongole) per paketnya. Pembayaran dilakukan
peternak dengan cicilan per 4 – 6 bulan dengan bunga sebesar 6 persen (karena ada
subsidi dari pemerintah sebesar 7 persen). Jika lancar, kelompok tersebut akan
ditawarkan untuk meminjam kembali.
Sementara bantuan bibit berupa bibit sapi betina yang sedang bunting. Bibit
ini dibagikan kepada beberapa anggota untuk dipelihara. Setelah lahir pedet
pertama, anggota tersebut wajib memberikan pedet kepada anggota lain yang belum
mendapatkan bagian. Sementara induknya menjadi hak milik anggota tersebut.
Bantuan ini bergulir dengan masa kontrak rata-rata 3 tahun.
Namun, tidak semua peternak merupakan anggota kelompok tani ternak.
Sehingga cara mereka untuk menjalankan usaha ternaknya adalah dengan
meminjam kredit dari UPK/PPK (semacam lembaga keuangan setingkat koperasi),
bagi hasil dengan investor, maupun tukar tambah dengan bandar. Intinya, untuk
memulai usaha ternak sapi potong dibutuhkan adanya suntikan modal dari luar.
Selanjutnya, perkembangan jumlah populasi sapi potong kembali menurun di
tahun 2012 karena tingginya harga bakalan sapi potong lokal, khususnya PO yang
didatangkan dari Jawa Timur. Hal ini menjadi salah satu penyebab sebagian
peternak sapi potong di Kabupaten Bandung beralih membeli pedet dan bakalan
sapi perah jantan (sapi jantan jenis FH) untuk dibesarkan (rearing) dan digemukkan
(fattening). Hal unik ini terutama terjadi di Kecamatan Cimenyan karena berbatasan
langsung dengan Cilengkrang sebagai salah satu wilayah sentra sapi perah. Di
daerah ini juga, pemasaran sapi perah jantan lebih mudah karena banyaknya bandar
yang memang lebih mencari sapi jenis ini sehingga peternak dapat menjual sapi di
luar hari raya qurban.
Perkembangan populasi ternak dapat menunjukkan kinerja usaha ternak
karena berkorelasi positif dengan pendapatan peternak (Firman 2010). Sementara
produktivitas dan pendapatan merupakan salah satu indikator keberhasilan usaha
(Bird 1995). Namun, apakah peningkatan populasi sapi hidup menjadi salah satu
indikator akan keberhasilan swasembada yang ditunjukkan oleh peningkatan angka
ketersediaan daging sapi? Pada kenyataannya, peternak memang memperoleh
keuntungan dari hasil penjualan sapi. Akan tetapi, pada umumnya peternak hanya
memelihara sapi selama 6-8 bulan/ekor, baik untuk usaha pembesaran maupun
penggemukan. Kemudian dijual ke bandar dan dijual lagi ke peternak lain untuk
digemukkan lagi, bukan untuk langsung dipotong. Oleh karena itu, peningkatan
jumlah populasi sapi potong di Kabupaten Bandung belum bisa meningkatkan
angka produksi daging sapi lokal. Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah bantuan
pemerintah belum diimbangi dengan peningkatan kompetensi peternak yang
mungkin berbeda dengan usaha ternak sapi perah? Bagaimana karakteristik
mereka? Kompetensi seperti apa yang dibutuhkan peternak sapi potong, khususnya
di Kabupaten Bandung, agar perkembangan populasi sapi tidak hanya
meningkatkan kesejahteraan peternak, tetapi juga berkontribusi dalam ketersediaan
daging sapi?

5
Oleh karena itu, berdasarkan pemaparan tersebut, dapat dibuat beberapa
perumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana karakteristik dan kompetensi peternak, serta kinerja usaha sapi
potong di Kabupaten Bandung.
2. Bagaimanakah pengaruh karakteristik peternak melalui kompetensi peternak
terhadap kinerja usaha ternak sapi potong di Kabupaten Bandung.
3. Indikator apa saja yang berkontribusi besar untuk meningkatkan kinerja usaha
ternak sapi potong di Kabupaten Bandung.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mengidentifikasi karakteristik dan kompetensi peternak, serta kinerja usaha
ternak sapi potong di Kabupaten Bandung.
2. Menganalisis pengaruh karakteristik peternak melalui kompetensi peternak
terhadap kinerja usaha ternak sapi potong di Kabupaten Bandung.
3. Mengidentifikasi indikator yang berkontribusi besar untuk meningkatkan
kinerja usaha ternak sapi potong di Kabupaten Bandung.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pihak-pihak yang terkait,
di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Bagi pengambil kebijakan, sebagai bahan informasi dan pertimbangan dalam
merumuskan kebijakan dalam pengembangan agribisnis, terutama berkaitan
dengan kompetensi kewirausahaan dan teknis agribisnis.
2. Bagi pelaku usaha ternak, sebagai bahan masukan dan pertimbangan untuk
pengambilan keputusan dalam mengembangkan usaha ternaknya.
3. Bagi mahasiswa dan peneliti, sebagai tambahan informasi dan referensi
dalam bidang wirausaha peternakan, khususnya untuk penelitian sejenis.
Ruang Lingkup Penelitian
Teori yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada tulisan David Kahan
(2012) di dalam buku panduan Farm Managemenet Extension Guide yang
diterbitkan oleh FAO (Food and Agriculture Organization of the United Nations).
Teori tersebut lebih mengeksplorasi komponen kewirausahaan yang dimiliki petani
wirausaha (farmer entrepreneur), salah satunya adalah kualitas kewirausahaan
petani. Kualitas kewirausahaan petani dapat dilihat dari kompetensi kewirausahaan,
kompetensi teknis, kompetensi manajerial. Namun, penelitian ini lebih terfokus
pada kompetensi teknis dan kewirausahaan yang dimiliki petani, dalam hal ini
adalah peternak sapi potong. Adapun daerah penelitian yang diteliti meliputi 3
kecamatan yang menjadi daerah sentra sapi potong di Kabupaten Bandung, yaitu
Kecamatan Cikancung, Kecamatan Cimenyan, dan Kecamatan Cimaung. Jadi, hasil
penelitian dimungkinan belum bisa menyimpulkan kondisi untuk program
pengembangan usaha agribisnis lainnya dan di wilayah lainnya.

6
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Pelaku Usaha
Kajian kewirausahaan dan keberhasilan usaha selalu dimulai dengan
pendekatan karakteristik individu pelaku usahanya, yaitu faktor demografis,
psikologis, dan human capital (Li 2009). Faktor demografis dan human capital
yang berhubungan dengan keberhasilan usaha diukur dari usia, pengalaman,
pendidikan, dan jaringan (Gerry et al. 2008, Meng dan Liang 1996, Nishanta 2009,
Zimmerer dan Scarborough 1996). Menurut Staw (2001) dalam Riyanti (2003), usia
yang berhubungan dengan keberhasilan usaha adalah entrepreneurial age, yaitu
seberapa lama seseorang menjadi wirausaha (pengalaman berwirausaha).
Sementara itu, faktor psikologis yang berpengaruh terhadap keberhasilan usaha
diukur dari motivasi diri, kebutuhan berprestasi (need for achievement), locus of
control, risk-taking propensity, tolerance of ambiguity, kepribadian (percaya diri,
berpikir positif, proaktif), komitmen, sabar, tipe perilaku, kreativitas, dan
innovativeness (Boyd dan Vozikis 1994, Inggarwati dan Kaudin 2010, Jung et al.
2001, Li 2009). Faktor-faktor psikologis dapat mempengaruhi pengambilan
keputusan peternak dalam melakukan usahanya sehingga dijadikan sebagai variabel
karakteristik peternak (Bergevoet 2005). Berdasarkan kajian-kajian tersebut, dapat
diduga bahwa kompetensi kewirausahaan peternak dipengaruhi oleh faktor
karakteristik individu, yang selanjutnya dapat mempengaruhi kinerja usaha ternak.
Kompetensi Kewirausahaan dan Determinannya
Beberapa penelitian dalam jurnal internasional membedakan kompetensi
menjadi competence dan competency. Competence adalah evaluasi kinerja dalam
lingkup yang spesifik pada kegiatan, sedangkan istilah competency digunakan
untuk mengkarakterisasi individu dan perilakunya (Hayton dan McEvoy 2006,
Mitchelmore dan Rowley 2010). Sementara Woodruffe (1990) menyatakan bahwa
competence didefinisikan sebagai aspek pekerjaan yang dapat dilakukan seorang
individu, sedangkan competency mengacu pada perilaku seseorang dan mendasari
kinerja yang kompeten.
Tabel 1 Definisi kompetensi berdasarkan beberapa kajian empiris
Kompetensi (competencies) didefinisikan sebagai:
Pengalaman, pengetahuan, keterampilan, nilai, sikap
Sifat, pengetahuan, kemampuan, karakter pribadi, motif
Perilaku, sikap, karakteristik, pengetahuan, keterampilan
Keterampilan/kemampuan, pengetahuan/pengalaman, dan
sikap/karakter.
Inti, pribadi, dan kompetensi manajerial
Keterampilan

Penulis
Pickett 1998
Kanungo & Misra 1992
Mitchelmore & Rowley 2010

Bartlett & Ghoshal 1997

Abraham et al. 2001
Brightman 2004, Hofener
2000, McKenna 2004
Karakteristik, pengetahuan, keterampilan dan karakter pribadi Man et al. 2002
Pengetahuan, motif, karakter, gambaran diri, peran sosial dan Bird 1995, Man and Lau
keterampilan; kepribadian, sikap dan pengalaman
2005
Sumber: Penchev and Salopaju (2011).

7
Hayton dan McEvoy (2006) menunjukkan adanya penggunaan istilah lain
dari kompetensi (competency), yaitu keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan.
Di kalangan para penggagas dan pengguna assessment centre, telah disepakati
bahwa hal-hal yang ada pada diri manusia yang berpengaruh terhadap keberhasilan
usahanya disebut dengan istilah kompetensi (Prihadi 2004). Prihadi (2004) merinci
beberapa istilah lain dari kompetensi, yaitu pengetahuan, watak, penalaran,
sifat/jiwa, karakter, kepribadian, keterampilan, sikap, perilaku, motivasi, dan
sebagainya. Dalam kajiaannya, Penchev dan Salopaju (2011) juga merangkum
berbagai istilah definisi (Tabel 1).
Secara umum, kompetensi adalah satu set persyaratan yang digunakan secara
luas dalam lingkup pengembangan sumber daya manusia untuk menilai kinerja
masyarakat (Moore et al., 2002). Man et al. (2002) mendefinisikan kompetensi
kewirausahaan sebagai kemampuan total seorang wirausaha untuk melakukan
pekerjaan dengan sukses. Terdapat konsensus umum bahwa kompetensi
kewirausahaan dibawa oleh individu yang memulai dan mengubah bisnis mereka
(Mitchelmore dan Rowley 2010). Sementara Lackéus (2013) mendefinisikan
kompetensi kewirausahaan sebagai “…..knowledge, skills and attitudes that affect
the willingness and ability to perform the entrepreneurial job of new value creation;
that can be measured directly or indirectly; and that can be improved through
training and development.” Jadi, kompetensi kewirausahaan didefinisikan sebagai
pengetahuan, keterampilan dan sikap yang mempengaruhi kemauan dan
kemampuan untuk melakukan pekerjaan kewirausahaan dengan penciptaan nilai
baru; yang dapat diukur secara langsung maupun tidak langsung; dan yang dapat
ditingkatkan melalui pelatihan dan pengembangan. Adapun model pengembangan
kompetensi kewirausahaan dimulai dengan karakteristik individunya terlebih
dahulu, seperti latar belakang keluarga, pendidikan, pengalaman usaha dan
pengalaman kerja (sebagai karyawan), dan variabel demografis lainnya yang
dianggap mempengaruhi (Herron dan Robinson 1993, Bird 1995).
Beberapa penelitian di bidang kewirausahaan membedakan antara
kompetensi manajerial dan kompetensi kewirausahaan (Chandler dan Hanks 1994,
Man et al. 2002, Lerner dan Almor 2002). Man et al. (2002) secara jelas
membedakan bahwa kompetensi kewirausahaan merupakan prasyarat untuk
memulai suatu usaha, sedangkan kompetensi manajerial merupakan prasyarat
untuk mengembangkan bisnis. Hal tersebut menjadi dasar bahwa dalam penelitian
ini hanya mengkaji kompetensi kewirausahaan yang dimiliki peternak untuk
memulai suatu bisnis karena pada umumnya peternak masih berpola pikir subsisten,
bukan komersial (bisnis).
Kajian empiris mengenai perilaku kewirausahaan lebih banyak dilakukan
karena perilaku merupakan salah satu komponen kompetensi yang mudah diukur.
Pernyataan ini juga didukung oleh kajian teoritis dari Klemp (1981), Boyatzis
(1982), Spencer dan Spencer (1993), Bird (1995), dan pakar lainnya. Oleh karena
itu pada poin ini juga dipaparkan mengenai hal-hal atau faktor apa saja yang terkait
dengan perilaku, khususnya dalam lingkup kewirausahaan.
Karakteristik individu yang mempengaruhi perilaku kewirausahaan
seseorang dapat dibedakan menjadi dua faktor, yaitu: (1) faktor demografis (Gerry
et al. 2008, Nishanta 2009), seperti umur, jenis kelamin, status sosial, dan
pendidikan; dan (2) faktor psikologis (Boyd dan Vozikis 1994, Jung et al. 2001),
seperti motivasi, kepribadian, dan proses kognitif. Umumnya studi tersebut

8
bertujuan menjelaskan intensi seseorang dalam mendirikan usaha baru. Sementara
studi Inggarwati dan Kaudin (2010) bertujuan mengkaji pengaruh faktor psikologis
terhadap intensi untuk mengembangkan usaha, meliputi motivasi awal mendirikan
usaha, entrepreneurial self-efficacy, dan risk taking propensity.
Kinerja Usaha, Determinan dan Indikator Keberhasilannya
Sánchez dan Marin (2005) mengukur kinerja usaha dengan melihat dari aspek
profitabilitas, produktivitas, dan pasar. Lee dan Tsang (2001) mengukur kinerja
usaha dari tiga indikator, yaitu pertumbuhan penjualan (sales growth), pertumbuhan
profit (profit growth), dan pertumbuhan modal (capital growth).
Keberhasilan usaha dapat dilihat dari peningkatan atau perkembangan kinerja
usaha setiap periode waktu tertentu. Suatu usaha dapat dinyatakan berhasil jika
mengalami sedikitnya 6-10% pertumbuhan per tahun (Ghost et al. dalam Meng dan
Liang 1996). Dirlanudin (2010) memaparkan bahwa ukuran keberhasilan usaha
kecil adalah: (1) terciptanya kepuasan berbagai pihak yang berkepentingan dengan
usaha kecil; (2) meningkatnya kesetiaan pelanggan terhadap produk yang
dihasilkan; (3) mampu meningkatkan dan memperluas pangsa pasar; (4) memiliki
kemampuan bersaing di bidang usahanya; dan (5) terjadi peningkatan pendapatan.
Hubungan Karakteristik Pelaku Usaha dan Kompetensi Usaha
Penelitian Darya (2012) menunjukkan bahwa kompetensi usaha secara umum
memiliki hubungan positif dan dipengaruhi secara signifikan oleh karakteristik
kewirausahaan. Kompetensi usaha dalam penelitiannya terdiri atas pengetahuan,
keterampilan, dan kemampuan terhadap usaha. Sementara karakteristik wirausaha
dalam hal ini mengacu pada kelima faktor berikut: (1) kemampuan mengatasi
perubahan (adapted to change), (2) kemampuan mengatasi kegagalan (ability to
risk failure), (3) keinginan untuk berkembang (desire of growth), (4) keinginan
lebih unggul (take advantage of the oportunity), (5) mempunyai pengetahuan dan
mencari hal-hal baru (ability to search and having knowledge).
Penelitian Syafiuddin dan Jahi (2007) lebih spesifik pada kompetensi
kewirausahaan petani. Hasil kajiannya menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
sangat signifikan antara karakteristik individu dan kompetensi kewirausahaan
petani. Karakteristik individu yang dianalisis terdiri atas umur, pendidikan formal,
tanggungan, keluarga, pengalaman usaha tani, pendapatan keluarga, motivasi
berusaha, pemanfaatan media informasi, luas lahan budidaya, dan modal usaha.
Sementara kompetensi wirausaha yang dianalisis meliputi kompetensi agribisnis,
kompetensi manajemen, mengambil keputusan menanggung resiko dan bertindak
kreatif, berkomunikasi dan memotivasi. Hasil analisis dengan menggunakan uji
korelasi dan path analysis menunjukkan bahwa umur memiliki hubungan dengan
kesepakatan tertinggi, sedangkan pengalaman usaha dan pendidikan formal
memiliki hubungan dengan kesepakatan yang rendah dan sedang.
Hubungan Karakteristik Pelaku Usaha dan Kinerja Usaha
Penelitian Lee dan Tsang (2001) menunjukkan bahwa karakteristik
kewirausahaan, pengalaman usaha, aktivitas mengembangkan jaringan usaha,

9
jumlah mitra usaha, dan hasrat mengelola usaha berpengaruh positif terhadap
kinerja usaha tersebut. Penelitian lainnya juga telah membuktikan adanya hubungan
positif antara karakteristik pemilik usaha dan kinerja usahanya (Nimalathasan 2008,
Street dan Cameron 2007). Penelitian Darroch dan Glover (2005) menunjukkan
bahwa motivasi diri dan lingkungan (keluarga) dan pengalaman bisnis dapat
meningkatkan keberhasilan UMKM Agribisnis dilihat dari kemampuannya
membayar pinjaman. Kajian lain menyatakan bahwa kinerja karyawan suatu
perusahaan didukung oleh karakteristik karyawan tersebut, seperti keterikatan,
motivasi, dan kepuasan kerja (Rizal et al. 2013, Tobing 2009, Winanti 2011). Darya
(2012) juga menganalisis hubungan dan pengaruh karakteristik kewirausahaan
terhadap kinerja usaha mikro, tetapi hasilnya tidak signifikan.
Hubungan Kompetensi Kewirausahaan dan Kinerja Usaha
Noersasongko (2005) menyatakan bahwa kewirausahaan dianggap memiliki
pengaruh yang dominan terhadap keberhasilan kinerja usaha. Omrane dan Fayolle
(2011) menegaskan bahwa kompetensi merupakan prediktor terbaik dari kinerja
pengusaha. Beberapa penelitian pada perusahaan umum juga telah menyimpulkan
bahwa kinerja kewirausahaan pada tingkat perusahaan berkaitan dengan
kompetensi kewirausahaan (Chandler dan Hanks 1994, Chandler dan Jansen 1992,
Lans et al. 2013, Priyanto dan Iman 2005). Kesimpulan yang sama diperoleh Phelan
(2014) pada usaha sektor pertanian yang berbasis pariwisata (agrowisata).
Penelitian Darroch dan Glover (2005) merekomendasikan bahwa untuk
meningkatkan perkembangan usaha agribisnis, para pembuat kebijakan sebaiknya
memperhatikan komponen-komponen kualitas kewirausahaan pelaku usaha.
Komponen tersebut mengacu pada model Guzman dan Santos (2001), yaitu
preferensi bekerja sebagai self-employed, kapasitas perilaku energizer (seperti
rencana ekspansi usaha dan pelatihan staf), sifat motivasi kewirausahaan, serta
faktor-faktor personal dan eksternal (lingkungan).
Wijayanti (2011) memaparkan bahwa faktor yang menghambat para pelaku
agribisnis skala kecil dan menengah dalam mengembangkan agribisnis terletak
pada kemampuan berwirausaha dan penerapan manajemen. Hubungan
kewirausahaan, yang direfleksikan melalui jiwa kewirausahaan, dengan
keberhasilan usaha agribisnis (Udayani 2010) maupun program pemerintah
(Wijayanti 2011, Dananjaya 2014) adalah positif dan berpengaruh sangat nyata.
Jiwa kewirausahaan (sifat kepemimpinan, kerja keras dan tekun, sifat mau belajar,
dan kreatif) berpengaruh paling dominan, kemudian diikuti oleh karakteristik
pelaku agribisnis (Udayani 2010). Wijayanti (2011) menganalisis tiga belas
indikator jiwa kewirausahaan, yaitu sifat instrumental, prestatif, keluwesan bergaul,
risk taker, swakendali, kerja keras, keyakinan diri, inovatif, kreatif, dan
kepemimpinan. Sementara Dananjaya (2014) menambahkan tiga indikator lainnya,
yaitu sifat berorientasi pada tindakan, berpikir simple, dan fokus pada usaha.
Man et al. (2002) telah membedakan sepuluh bidang kompetensi
kewirausahaan dari perspektif perilaku, yaitu kesempatan, hubungan, analitis,
inovatif, operasional, manusia, strategis, komitmen, belajar dan kekuatan pribadi
kompetensi. Kompetensi kewirausahaan tersebut terbukti memiliki dampak, baik
secara langsung maupun tidak langsung, terhadap kinerja UKM (Gambar 2). Di
dalam model tersebut, Man et al. (2002) menggambarkan bahwa kompetensi

10
kewirausahaan merupakan faktor penentu (determinan) kinerja usaha, begitupun
dengan lingkup persaingan dan kapabilitas organisasi. Namun, keduanya juga
dipengaruhi secara langsung oleh kompetensi kewirausahaan. Model ini kemudian
diadopsi oleh Sánchez (2011).
Lingkup Persaingan
Tugas 1: Membentuk
lingkup persaingan

Kompetensi
Kewirausahaan

Kinerja Usaha

Tugas 2: Menciptakan
kapabilitas organisasi

Tugas 3:
Mengatur tujuan
dan mengambil
tindakan

Kapabilitas
Organisasi

Gambar 2 Model daya saing UKM
Sumber: Man et al. (2002).

Analisis SEM (Structural Equation Models) dalam Kajian Kewirausahaan
Bergevoet (2005) menguji hubungan antara karakteristik psikologis dan
kompetensi kewirausahaan sebagai prediktor keberhasilan kewirausahaan dari
peternak sapi perah menggunakan alat analisis SEM dengan program LISREL.
Hasil analisisnya menunjukkan bahwa kesuksesan kewirausahaan berhubungan
positif dengan keinovatifan (innovativeness) dan berhubungan negatif lemah
dengan penghindaran risiko (risk avoidance). Karakteristik psikologis mempengaruhi kompetensi strategis kewirausahaan dan kompetensi pencarian informasi,
keduanya memberikan skor tertinggi terhadap kesuksesan kewirausahaan. Adapun
model SEM dalam penelitian ini diadopsi dari model pada Gambar 3.
PETANI
Kompetensi teknis

Karakteristik
psikologis & faktor
personal

Karakteristik
usaha

Kesuksesan
kewirausahaan

Kompetensi
manajerial

Kompetensi
kewirausahaan

Lingkungan
eksternal

Gambar 3 Kerangka konseptual pengaruh karakteristik psikologis dan
kompetensi peternak terhadap kesuksesan kewirausahaan
Sumber: Bergevoet (2005).

Darya (2012) menguji hubungan dan pengaruh ketidakpastian lingkungan
dan karakteristik kewirausahaan terhadap kompetensi usaha dan kinerja usaha

11
mikro kecil, serta kompetensi usaha terhadap kinerja usaha mikro kecil
menggunakan alat analisis SEM dengan program AMOS (Analysis of Moment
Structure). Dengan alat analisis yang sama, Sarwoko et al. (2013) menganalisis
pengaruh karakteristik kewirausahaan terhadap kinerja usaha, dan kompetensi
kewirausahaan sebagai variabel antara (Gambar 4).
Kompetensi
Kewirausahaan

Kinerja
Usaha

Karakteristik
Kewirausahaan

Gambar 4 Model SEM
Sumber: Sarwoko et al. (2013).

Sánchez (2011) menganalisis hubungan langsung dan tidak langsung
kompetensi kewirausahaan terhadap kinerja perusahaan (Gambar 5). Hasil
analisisnya menunjukkan bahwa kompetensi kewirausahaan tidak hanya
berpengaruh langsung terhadap kinerja, tetapi juga secara tidak langsung dengan
perantara kapabilitas organisasi dan lingkup persaingannya. Kapabilitas organisasi
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja usaha dan secara parsial
menjadi variabel antara kompetensi kewirausahaan terhadap kinerja. Sementara
lingkup persaingan tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap
pertumbuhan usaha, tetapi merupakan prediktor yang kuat terhadap indikator
kinerja usaha lainnya. Sánchez (2011) juga menemukan bahwa kapabilitas
organisasi merupakan prediktor yang kuat terhadap lingkup persaingan.
Kapabilitas
Organisasi

Kompete