Pengaruh Faktor Protektif, Ancaman, Dan Aktivitas Remaja Terhadap Resiliensi Remaja

PENGARUH FAKTOR PROTEKTIF, ANCAMAN, DAN
AKTIVITAS TERHADAP RESILIENSI REMAJA

RAYSHA HELAU WARDHANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Faktor Protektif,
Ancaman, dan Aktivitas terhadap Resiliensi Remaja adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini melimpahkan hak cipta dari karya tulis kepada Institut Pertanian
Bogor.


Bogor, November 2016

Raysha Helau Wardhani
NIM I251130151

RINGKASAN
RAYSHA HELAU WARDHANI. Pengaruh Faktor Protektif, Ancaman, dan Aktivitas
Remaja terhadap Resiliensi Remaja. Dibimbing oleh EUIS SUNARTI dan
ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI.
Data Badan Pusat Statistik (2012) menunjukkan bahwa remaja Indonesia
berjumlah sekitar 26,47 persen dari total penduduk Indonesia. Remaja memiliki
karakteristik dan tugas perkembangan serta risiko perkembangan. Salah satu risiko
perkembangan yang dihadapi anak remaja yaitu perilaku sosial yang menyimpang.
Ancaman perkembangan anak pada usia remaja terkait dengan dinamika dan perubahan
dalam kehidupan sehingga menuntut ketangguhan agar anak remaja terhindar dari
penyimpangan perkembangan. Ketangguhan inilah yang disebut dengan resiliensi.
Resiliensi dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor protektif dan ancaman. Faktor
protektif adalah faktor yang dapat mengurangi dampak negatif dari ancaman yang ada.
Sedangkan ancaman adalah mediator yang menyebabkan terjadinya suatu perilaku yang
bermasalah. Faktor protektif dan ancaman terdiri dari faktor internal (individu) dan

faktor eksternal (keluarga dan lingkungan). Secara umum penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis pengaruh faktor protektif, ancaman dan aktivitas terhadap resiliensi remaja
sedangkan tujuan khusus penelitian adalah (1) mengidentifikasi resiliensi, faktor
protektif (internal dan eksternal), ancaman, dan aktivitas remaja, (2) menganalisis
perbedaan resiliensi, faktor protektif (internal dan eksternal), ancaman, dan aktivitas
berdasarkan jenis kelamin dan tipologi wilayah, (3) menganalisis pengaruh
karakterisitik remaja dan keluarga, faktor protektif internal, faktor protektif eksternal,
ancaman, dan aktivitas terhadap resiliensi remaja.
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Penelitian dilakukan di
SMPN Kota Bogor dan SMPN Kabupaten Bogor. Sekolah yang dipilih dengan
pertimbangan bahwa siswa tersebut memiliki latar belakang ekonomi yang beragam.
Contoh yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 133 remaja. Data dalam
penelitian ini dianalisis dengan mneggunakan analisis deskriptif, uji beda independent
sample t-tes, dan uji regresi linier berganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja memiliki tingkat resiliensi yang
cukup baik (indeks 66.24). Remaja perempuan memiliki resiliensi lebih tinggi (indeks
68.63) dibanding remaja laki-laki (indeks 62.12). Remaja di wilayah kabupaten
memiliki resiliensi lebih tinggi (indeks 67.42) dibandingkan kota (indeks 64.88).
Secara umum remaja memiliki faktor protektif internal cukup baik (indeks
77.57). Remaja perempuan memiliki faktor protektif internal lebih tinggi (indeks 80.91)

dibanding remaja laki-laki (indeks 71.84). Remaja di wilayah kota memiliki faktor
protektif internal lebih tinggi (indeks 78.16) dibandingkan kota (indeks 77.05).
Faktor protektif eksternal remaja yang berasal dari sekolah (indeks 70.53),
masyarakat (indeks 67.13), dan teman sebaya (indeks 76.44) tergolong cukup baik,
sedangkan faktor protektif eksternal yang berasal dari keluarga tergolong rendah (indeks
58.34). Remaja perempuan cenderung memiliki faktor protektif eksternal yang lebih
tinggi (indeks 65.45) daripada remaja laki-laki (indeks 60.66). Remaja di wilayah
kabupaten memiliki rata-rata skor protektif eksternal (indeks 65.40) yang lebih besar
dibandingkan remaja yang di wilayah kota (indeks 61.72).

Rata-rata ancaman yang dihadapi remaja tergolong rendah (indeks 12.01),
beberapa ancaman yang paling rendah yaitu mengalami pelecahan seksual dan pernah
tinggal kelas . Ancaman yang dihadapi remaja laki-laki (indeks 14.19) lebih besar
dibandingkan ancaman yang dihadapi remaja perempuan(indeks 10.74). Remaja yang
tinggal di wilayah perkotaan (indeks 13.79) memiliki ancaman yang lebih tinggi
dibandingkan dengan remaja kabupaten (indeks 10.45).
Rata-rata tingkat aktivitas yang dimiliki remaja, baik aktivitas di dalam maupun di
luar rumah tergolong sedang (indeks 62.48), aktivitas remaja yang besar yaitu kegiatan
les dan olahraga. Remaja laki-laki (indeks 49.85) memiliki aktivitas di luar rumah yang
lebih banyak dibandingkan remaja perempuan (indeks 51.30). Hasil uji regresi berganda

menunjukkan bahwa faktor protektif internal, faktor protektif eksternal (keluarga,
sekolah, dan teman sebaya), aktivitas remaja berpengaruh positif signifikan terhadap
resiliensi remaja.
Kata kunci: remaja, resiliensi, faktor protektif, ancaman, aktivitas remaja

SUMMARY
RAYSHA HELAU WARDHANI. The effects of protective factors, threats and
activities towards teens resilience. Supervised by EUIS SUNARTI and
ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI.
According to the BPS-Statistics Indonesia (2012) adolescents in Indonesia
amounted to 26.47 percent of the total population of Indonesia. The data shows, there
are adolescents who have the characteristics and development tasks as well as the risk of
progression. One of the risks faced by adolescent development that is socially deviant
behavior. Threats of child development in adolescence associated with the dynamics
and changes in life, thus demanding toughness that teenagers avoid developmental
disorders. Toughness is called resilience. Resilience is influenced by two factors,
namely the protective factors and risk factor. Factor derived from the internal is a skill
and great ability controlled by the individual, while external factors are certain
characteristics that can make people capable to escape from the pressures of life and can
survive while in high-risk conditions. Threats are mediators that lead to a problematic

behavior. Protective factors and threats are divided into internal and external. In
general this research aimed to predict the effects of protective and risk factors and
activities towards teens resilience. The specific objective of this reserach (1) identify the
protective factors (external and internal), threats, and, (2) analyze the resilience,
protective factors (external and internal), threats, and teens activities based on gender,
and typology of the region (3) analyze the influence of individual characteristics,
parental characteristics, protective and risk factors, and teens activities towards the
resilience of teenagers.
This research uses cross sectional study. Research conducted on junior high
schools at Kabupaten Bogor and Kota Bogor. School were selected with the
consideration that have diverse economic backgrounds. The total number of samples in
this reserach was 133 students. The data were analyzed using descriptive analysis,
different test independent sample t-test and multiple linear regression.
This research shows that average adolescent has a quite good stage of resilience
(index 66.24). Girls has higher average score(index 68.63) of resilience than boys
(index 62.12). Adolescent who live in district has higher average score (index 67.42) of
resilience compared to those who live in municipality (index 64.88).
Adolescent is also has a quite good stage of protective internal (index 77.57).
Girls tend to have internal protective factors higher (index 80.91) than boys (index
78.16). Adolescent who lives in district has higher average score (index 78.16) of

protective internal compared to those who live in municipality (index 77.05).
This research shows that average adolescent has a quite good stage of protective
factors external from school (index 70.53), community (index 67.13) and friends at the
same age (index 76.44) , in contrast the protective factors external from family (index
58.34) has lower stage of resilience. Girls tend to have external protective factors (index
65.45) higher than boys (index 60.66). Adolescent who lives in district has higher
average score of protective external (index 65.40) compared to those who live in
municipality (index 61.72).
Average threats facing young people is low (index 12.01), some threats to its
lowest experiencing sexual harassment and never stayed class. The threats faced by

boys are greater than girls. adolescent who lives in urban areas (index 13.79) has a
higher threats than adolescent of the district (index 10.45).
Boys (index 49.85) have more outdoor activities than girls (index 51.30), teen
activities are extra lessons and sports. The average level of activity that is owned by
teenagers, both activities inside and outside the home were moderate (index 62.48). The
protective factor of internal, external protective factors (family, school, and peer group),
and teen activities is influenced teen resilience

Keywords


: Adolescent, Resilience, Protective and Threats, and Teens
Activities.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang menggunakan dan memperbanyak sebagaian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGARUH FAKTOR PROTEKTIF, ANCAMAN, DAN
AKTIVITAS REMAJA TERHADAP RESILIENSI REMAJA

RAYSHA HELAU WARDHANI

Tesis
Sebagai syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Tin Herawati, SP, M.Si

PRAKATA
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang serta sumber dari segala ilmu pengetahuan yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
dengan judul “Pengaruh Faktor Protektif, Ancaman, dan Aktivitas terhadap Resiliensi
Remaja”. Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi persyatan untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak,
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini mendapat bantuan, bimbingan,

dukungan dan dorongan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. Euis Sunarti, M.Si selaku ketua komisi pembimbing, dan Dr. Ir.
Istiqlaliyah Muflikhati, M.Si selaku anggota komisi pembimbing.
2. Dr. Tin Herawati, SP, M.Si selaku penguji luar komisi yang telah banyak
memberikan masukan dan arahan, Dr. Megawati Simanjuntak, SP, M.Si selaku
penguji dari perwakilan program studi pada saat ujian serta Ketua Program Studi
Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak Dr. Ir. Diah Krisnatuti, MS beserta para
dosen yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan selama masa perkuliahan.
Moderator seminar Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA yang telah banyak
memberikan masukan dan arahan pada saat seminar.
3. Kepala Sekolah SMPN 1 Bogor dan SMPN 1 Cibinong beserta guru-guru dan staf.
4. Keluarga tercinta, Ibu dan Bapak, mertua, suami, anak, serta saudara-saudara dan
keponakan-keponakan atas bantuan, do’a dan motivasi yang diberikan dalam
penyelesaian tesis ini
5. Teman-teman seangkatan yang selalu memberi support dalam masa penyelesaian
tesis ini, kebersamaan dan persahabatan yang tidak terlupakan, khususnya untuk
teman-teman IKK 2013, Nur Rohimah, dan teman-teman GM 2013 serta semua
pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan
bantuan dan kontribusi selama masa perkuliahan sampai selesai masa studi.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif dalam dan untuk dapat
menyempurnakan tulisan ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Bogor, November 2016

Raysha Helau Wardhani

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

xv

DAFTAR GAMBAR

xvi

DAFTAR LAMPIRAN


xvi

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Teori Struktural Fungsional
Teori Sistem Ekologi Bronfenbrenner
Keluarga
Remaja
Resiliensi
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi
Faktor Protektif (Protective Factor).
Ancaman (Hazard)
Aktivitas Remaja

1
1
3
3
4
4
4
5
5
6
8
10
10
11
12

KERANGKA PEMIKIRAN

13

METODE PENELITIAN
Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian
Contoh dan Teknik Pengambilan Contoh
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Variabel Penelitian dan Pengukuran Data
Pengolahan dan Analisis Data
Definisi Operasional

15
15
15
15
16
18
19

HASIL
Karakteristik Remaja
Karakteristik Orangtua
Resiliensi Remaja
Faktor Protektif
Faktor Protektif Internal

20
20
21
23
24
25

Faktor Protektif Eksternal Keluarga

26

Faktor Protektif Eksternal Sekolah

27

Faktor Protektif Eksternal Masyarakat

28

Faktor Protektif Eksternal Teman Sebaya
Ancaman
Aktivitas
Pengaruh Faktor Protektif, Ancaman, dan Aktivitas terhadap Resiliensi
Remaja

30
31
32
33

PEMBAHASAN

33

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

37
37
38

DAFTAR PUSTAKA

40

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.

Variabel, skala data, dan kategori data
Sebaran remaja (%) berdasarkan jenis kelamin dan tipologi wilayah
Sebaran remaja (%) berdasarkan usia
Sebaran remaja (%) berdasarkan urutan kelahiran
Sebaran remaja (%) berdasarkan usia ayah dan ibu
Sebaran remaja (%) berdasarkan pendidikan ayah dan ibu
Sebaran sampel (%) berdasarkan pendapatan keluarga per kapita
Sebaran remaja berdasarkan kategori, nilai rata-rata dan standar deviasi
variabel dan aspek resiliensi
Rataan indeks dimensi resiliensi (%) dan uji beda berdasarkan
jenis kelamin dan tipologi wilayah
Rataan indeks dimensi faktor protektif (%) dan uji beda berdasarkan
jenis kelamin, tipologi wilayah
Sebaran remaja berdasarkan kategori, nilai rata-rata dan dimensinya
Rataan indeks dimensi faktor protektif internal (%) dan uji beda
berdasarkan jenis kelamin dan tipologi wilayah
Sebaran remaja berdasarkan kategori, nilai rata-rata dan standar deviasi
variabel dan aspek faktor protektif eksternal keluarga
Rataan indeks dimensi faktor protektif eksternal keluarga (%) dan
uji beda berdasarkan jenis kelamin dan tipologi wilayah
Sebaran remaja berdasarkan kategori, nilai rata-rata dan standar deviasi
variabel dan aspek faktor protektif eksternal masyarakat
Rataan indeks dimensi faktor protektif eksternal sekolah (%) dan
uji beda berdasarkan jenis kelamin dan tipologi wilayah
Sebaran remaja berdasarkan kategori, nilai rata-rata dan standar deviasi
variabel dan aspek faktor protektif eksternal masyarakat
Rataan indeks dimensi faktor protektif eksternal masyarakat (%)
dan uji beda berdasarkan jenis kelamin dan tipologi wilayah
Sebaran remaja berdasarkan kategori, nilai rata-rata dan standar deviasi
variabel dan aspek faktor protektif teman sebaya
Rataan indeks dimensi faktor protektif teman sebaya (%) dan uji beda
berdasarkan jenis kelamin dan tipologi wilayah
Sebaran remaja berdasarkan kategori, nilai rata-rata dan standar deviasi
variabel dan aspek ancaman
Rata-rata capaian skor dimensi ancaman (%) dan uji beda berdasarkan
jenis kelamin dan tipologi wilayah
Sebaran remaja berdasarkan kategori, nilai rata-rata dan standar deviasi
variabel dan aspek aktivitas remaja
Rataan indeks dimensi aktivitas remaja (%) dan uji beda berdasarkan
jenis kelamin dan tipologi wilayah
Pengaruh karakterisitik keluarga, faktor protektif, dan ancaman
terhadap resiliensi

17
20
20
21
21
22
23
23
24
24
25
26
27
27
28
28
29
29
30
30
31
31
32
32
33

DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka pemikiran
2. Bagan cara pengambilan remaja

14
15

DAFTAR LAMPIRAN
1. Rataan indeks dimensi faktor protektif (%) dan uji beda
berdasarkan jenis kelamin dan tipologi wilayah
2. Rata-rata capaian skor dimensi faktor protektif internal (%) dan uji beda
berdasarkan jenis kelamin dan tipologi wilayah
3. Rataan indeks dimensi faktor protektif eksternal keluarga
(%) dan uji beda berdasarkan jenis kelamin dan tipologi wilayah
4. Rataan indeks dimensi faktor protektif eksternal sekolah
(%) dan uji beda berdasarkan jenis kelamin dan tipologi wilayah
5. Rataan indeks dimensi faktor protektif eksternal masyarakat (%)
dan uji beda berdasarkan jenis kelamin dan tipologi wilayah
6. Rataan indeks dimensi faktor protektif eksternal teman sebaya (%)
dan uji beda berdasarkan jenis kelamin dan tipologi wilayah
7. Rataan indeks dimensi ancaman (%) dan uji beda berdasarkan
jenis kelamin dan tipologi wilayah
8. Rataan indeks dimensi resiliensi (%) dan uji beda
berdasarkan jenis kelamin dan tipologi wilayah
9. Sebaran koefisien korelasi antara variabel-variabel penelitian
10. Sebaran koefisien korelasi antara resiliensi dengan karakteristik remaja
dan sosial ekonomi keluarga

46
47
48
49
50
51
52
53
54
54

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anak adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun, termasuk anak
dalam kandungan. Anak merupakan generasi penerus bangsa dimasa yang akan
datang. Saat ini jumlah anak di Indonesia sangat besar, bahkan melebihi jumlah
penduduk beberapa negara di dunia. Anak usia 0-18 tahun berjumlah sepertiga
(sekitar 80 juta) dari penduduk Indonesia (sekitar 250 juta pada tahun 2014), dan
akan menentukan 100 persen masa depan bangsa dan negara. Dari jumlah
tersebut, terdapat diantaranya anak remaja (usia 12 sampai 18 tahun) yang
memiliki karakteristik dan tugas perkembangan serta risiko perkembangan. Salah
satu risiko perkembangan yang dihadapi anak remaja yaitu perilaku sosial yang
menyimpang. Risiko perkembangan anak pada usia remaja terkait dengan
dinamika dan perubahan dalam kehidupan, sehingga menuntut ketangguhan agar
remaja terhindar dari penyimpangan perkembangan (Sunarti, 2015).
Pada masa remaja terjadi perubahan fisik yang cepat. Masa remaja
merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa sehingga remaja harus
mempersiapkan diri dan perlu penyesuaian mental dalam menghadapinya
(Hurlock, 1993). Masa remaja merupakan masa yang menyenangkan dalam
rentang kehidupan seorang manusia (Steinberg, 2003) karena seorang individu
mulai membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Selain itu fase remaja juga
merupakan fase “rentan” karena pada masa tersebut seorang individu bukan lagi
anak-anak yang mudah diatur oleh orang dewasa namun belum menjadi orang
dewasa yang bisa mengatur dirinya sendiri.
Remaja masa kini semakin dituntut memiliki ketangguhan atau
kelentingan (resiliensi) agar tidak mengalami kondisi yang akan mengganggu
tugas perkembangannya. Sehingga menurut Gunarsa (2003) bahwa perkenalan
remaja dengan hal yang baru dapat menyebabkan kegoncangan dan pada akhirnya
remaja akan mengalami krisis identitas. Beberapa karakterisitik remaja adalah
keadaan emosi yang labil, adanya sikap menentang terhadap pihak yang dirasakan
mengatur dirinya, pertentangan dalam dirinya membawa pertentangan dengan
orangtuanya, ekperimentasi dan keinginan yang besar melakukan kegiatan orang
dewasa, keinginan yang besar untuk mengeksplorasi atau menjelajah alam dan
petualang, berkembang fantasia atau hayalan, kecenderungan berkelompok dan
melakukan kegiatan berkelompok (Gunarsa & Gunarsa, 1995).
Ditengah upaya pembangunan kualitas anak agar menjadi generasi penerus
bangsa yang berkualitas, saat ini telah diketahui terdapat berbagai masalah yang
dihadapi anak Indonesia, diantaranya perilaku sosial menyimpang (PSM). Data
UNICEF tahun 2003-2013 mencatat bahwa perilaku-perilaku kekerasan seperti
bullying dan phsysical fight and attacks yang dilakukan oleh remaja usia 13-15
tahun di Indonesia lebih tinggi dibandingkan di Malaysia, Vietnam, dan Thailand
(UNICEF 2014). Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia
menyebutkan, dalam kurun waktu tiga tahun, sebanyak 301 peristiwa tawuran
pelajar terjadi di Jabodetabek. Dari seluruh peristiwa tersebut, sebanyak 46 orang
pelajar tewas sia-sia. Untuk tahun 2010 tercatat ada 102 kejadian tawuran dengan
korban meninggal 17 orang. Sementara tahun 2011 menurun hanya ada 96 kasus

2

dengan korban meninggal 12. Untuk tahun 2012 terdapat 103 kasus tawuran
dengan jumlah korban tewas 17 orang. Terdapat 229 kasus tawuran pelajar
sepanjang Januari-Oktober 2013. Jumlah ini meningkat sekitar 44 persen di
bandingkan tahun lalu yang hanya 128 kasus. Dalam 229 kasus kekerasan antar
pelajar SMP dan SMA itu, 19 siswa meninggal. Penelitian Sunarti et al. (2015)
menemukan bahwa remaja di Kota dan Kabupaten Bogor memiliki
kecenderungan yang tinggi untuk terlibat dalam merokok, tawuran, skes bebas
dan narkoba. Remaja laki-laki lebih sering terlibat kenakalan secara umum,
merokok, dan diajak tawuran.
Salah satu aspek bentuk perlindungan khusus kepada remaja adalah
membangun ketangguhan (resiliensi) remaja, sehingga remaja memiliki
kemampuan dalam mencegah, mengantisipasi, beradaptasi dan menghadapi
masalah. Kemampuan ini akan membuat seseorang mampu bertahan dan bahkan
dapat tetap bergerak maju dalam kondisi sulit sekalipun.kemampuan inilah yang
disebut dengan resiliensi (Ungar, 2008). Wagnild dan Young (1993) menyatakan
bahwa resiliensi adalah keberhasilan untuk dapat mengatasi perubahan atau
ketidakberuntungan atau dengan kata lain resiliensi adalah kemampuan untuk
bangkit dan melanjutkan kehidupan setelah jatuh. Resiliensi pada remaja menjadi
suatu hal yang penting karena dengan resiliensi yang baik maka seseorang akan
memiliki kemampuan untuk beradaptasi terhadap situasi-situasi berat dalam
hidupnya. Remaja lebih banyak melakukan aktivitas di luar rumah bersama
dengan teman-teman sebaya yang mencoba malakukan aktivitas negatif seperti
minum alkohol, obat-obat terlarang atau merokok, maka remaja cenderung
mengikutinya tanpa memperdulikan akibatnya.
Resiliensi ditandai dengan adanya hasil yang baik meskipun dalam kondisi
kesulitan dan mampu memiliki kompetensi walaupun berada dibawah tekanan
(Masten dan Coatworth 1998). Dalam memahami resilinsi terdapat 2 faktor yang
perlu diperhatikan yaitu faktor protektif (proctectif factor) dan ancaman (hazard).
Faktor proktektif merupakan faktor yang bersifat meminimalisri bahkan
menetralisir hasil akhir yang negatif, juga membantu melindungi anak dan remaja
dari efek-efek negatif ancaman. Menurut Benard 1995 diacu dalam Alimi 2005
faktor protektif terbagi menjadi dua yaitu faktor protektif internal dan faktor
protektif eksternal (keluarga, sekolah, masyarakat, dan teman sebaya).
Ancaman merupakan predikator awal dari sebuh hasil yang tidak
menguntungkan dan sesuatu yang membuat orang menjadi rentan (Kaplan 1999).
Dengan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka perlu dilakukan
penelitian untuk mengetahui resiliensi remaja berdasarkan jenis kelamin, dan
tipologi wilayah. Penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi bagi
orangtua dan sekolah mengenai resiliensi remaja sehingga informasi tersebut
menjadi bahan pertimbangan orangtua dan sekolah dalam memberikan aktivitas
untuk remaja dalam keseharian dan diharapkan membantu remaja dapat resiliensi
dalam mengahadapi ancaman.

3

Masalah Penelitian
Permasalahan yang terjadi pada remaja agak berbeda dengan kelompok
individu pada rentang usia lainnya karena dapat menimbulkan permasalahan
sosial yang berupa prilaku yang negatif serta dapat merugikan diri sendiri dan
orang-orang sekitarnya. Perilaku negatif ini antara lain tawuran, pemakaian obatobatan terlarang, mabok, seks bebas, dan prilaku lainnya yang bersifat desruktif.
Terdapatnya kesulitan hidup dapat berupa bencana atau kejadian yang tidak
terduga lainnya, adanya lingkungan yang mendorong terjadinya perilaku negatif
ataupun perubahan-perubahan dalam situasi sosial dan ekonomi. Sehingga
resiliensi sebagai kemampuan setiap individu sebagai kemampuan untuk bangkit
dalam kesulitan maka seseorang yang resilien akan mampu dalam menjawab
suatu tantangan dan kesulitan yang dihadapi dengan bersikap positif atau bahkan
lebih baik dari sebelumnya.
Pada dasarnya penelitian tentang resiliensi di Indonesia masih relatif baru.
Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu, resiliensi dapat diukur pada individu
dalam kesulitan, misalnya korban bencana alam (Volia 2007), individu yang
mengalami depresi (Erdem 2008), penggunaan narkoba (Fergus &Zimmerman
2004), anak yang memiliki keterbatasan fisik atau penyakit berat (AlrikssonSchmidt et al. 2007), anak yang pernah mengalami abuse atau neglect di masa
kecil (Yuliatin 2007), dan resiliensi berdasarkan tipologi wilayah (Martiastuti
2011). Penelitian resiliensi dapat dilakukan pada kelompok individu yang berada
dalam kondisi normatif. Dalam hal ini, resiliensi dilihat sebagai sebuah investasi
yang dimiliki individu yang diharapkan akan muncul pada saat individu tersebut
mengalami kesulitan. Penelitian resiliensi juga dapat dilakukan sebagai upaya
intervensi dalam rangka meningkatkan resiliensi dengan melalui kegiatankegiatan yang positif.
Penelitian ini ingin menjawab pertanyaan permasalahan sebagai berikut
menjawab : (1) Bagaimana tingkat resiliensi remaja, faktor proktektif (internal dan
eksternal), ancaman dan aktivitas remaja? (2) Bagaimana perbedaan resiliensi,
faktor protektif (internal dan eksternal), ancaman, dan aktivitas remaja
berdasarkan jenis kelamin dan tipologi wilayah? (3) Bagaimana pengaruh
karakterisitik remaja dan keluarga, faktor protektif internal, faktor protektif
eksternal, ancaman dan aktivitas terhadap resiliensi remaja?
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis pengaruh faktor protektif,
ancaman dan aktivitas terhadap resiliensi remaja sedangkan tujuan khusus
penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi resiliensi, faktor protektif (internal dan eksternal), aktivitas,
dan ancaman remaja
2. Menganalisis perbedaan resiliensi, faktor protektif (internal dan ekternal),
aktivitas, dan ancaman berdasarkan jenis kelamin dan tipologi wilayah
3. Menganalisis pengaruh karakterisitik remaja dan keluarga, faktor protektif
(internal dan eksternal), ancaman, dan aktivitas terhadap resiliensi remaja.

4

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi kepada para
orangtua mengenai kualitas lingkungan keluarga dan aktivitas remaja yang baik
bagi perkembangannya. Selanjutnya orangtua diharapkan dapat memberikan
lingkungan yang kondusif bagi terbentuknya resiliensi remaja.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pihak
sekolah untuk lebih meningkatkan aktivitas siswa agar dapat meningkatkan
resiliensi remaja melalui kegiatan intra dan ekstrakulikuler. Selain itu, temuan
dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pemerintah
maupun lembaga terkait untuk dapat melakukan berbagai langkah preventif
khususnya yang berkaitan dengan program ketahanan keluarga dan ketahanan
remaja.
Penelitian ini diharapakan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan
khususnya ilmu keluarga dan perkembangan anak. Penelitian ini juga diharapkan
dapat menjadi landasan untuk pelaksanaan penelitian-penelitian lanjutan, baik dari
kualitas lingkungan keluarga, aktivitas remaja maupun tentang resiliensi remaja di
masa yang akan datang.

TINJAUAN PUSTAKA
Teori Struktural Fungsional
Konsep struktur sosial meliputi bagian-bagian sistem dengan cara kerja
pada setiap bagian yang terorganisir. Pendekatan teori ini mengakui adanya segala
keragaman dalam kehidupan sosial yang kemudian diakomodasi dalam fungsi
sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah sistem (Megawangi, 1999).
Talcott parson (Klein dan White, 1996) terkenal dengan konsep pendekatan sistem
melalui AGIL (Adaption, Goal Attainment, Integration, and Latency), yaitu
adaptasi dengan lingkungan, adanya tujuan yang ingin dicapai, integrasi antar subsubsistem, dan pemeliharaan budaya atau norma/ nilai-nilai/ kebiasaan.
Pendekatan struktural fungsional menekankan pada keseimbangan sistem yang
stabil dalam keluarga dan kestabilan sistem sosial dalam masyarakat (Puspitawati,
2012).
Chapman (2000) mengatakan bahwa keluarga adalah unit universal yang
memiliki peraturan, seperti peraturan untuk anak-anak agar dapat belajar untuk
mandiri. Tanpa aturan atau fungsi yang dijalankan oleh unit keluarga, unit
keluarga tersebut tidak memiliki arti yang dapat menghasilkan suatu kebahagian.
Megawangi (1999) mneyatakan bahwa asumsi dasar dalam teori stuktural
fungsional adalah (1) masyarakat selalu mencari titik keseimbangan; (2)
masyarakat memerlukan kebutuhan dasar agar titik keseimbangan terpenuhi; (3)
untuk memenuhi kebutuhan dasar, fungsi-fungsi harus dijalankan; dan (4) untuk
memenuhui semua ini, harus ada struktur tertentu demi berlangsungnya suatu
keseimbangan atau homeostatik. Teori struktural fungsional yang diperkenalkan
oleh ahli ekonomi yaitu Adam Smith, yang menyangkut adanya konsep kesatuan
dan saling ketergantungan antara individu dan masayrakat (Killpatrik dan
Holland, 2003).

5

Teori Sistem Ekologi Bronfenbrenner
Teori sistem ekologi melihat bahwa perkembangan setiap individu tidak
dapat dilepaskan dari konteks lingkungan dimana individu berada karena individu
merupakan bagian dari sebuah sistem yang luas (keluarga, komunitas, masyarakat,
dan lainnya) (Darling, 2007; Glassman dan Hadad, 2009). Sistem ini terdiri atas
lima subsistem yang dapat mendukung dan mengarahkan perkembangan indvidu,
yaitu mikrosistem, mesosistem, eksosistem, makrosistem, dan kronosistem
(Bronfenbrenner, 1994).
Bronfenbrenner menyatakan bahwa anak dan konteks lingkungan saling
mempengaruhi satu sama lain di dalam interaksinya sebagai sebuah proses yang
mendorong perkembangan anak (Miller, 2011). Perkembangan yang efektif akan
terjadi ketika individu terlibat di dalam sebuah aktivitas yang rutin dan dalam
periode waktu yang lama, yang melibatkan interaksi timbal balik antara individu
dan konteks lingkungan (Bronfenbrenner, 1999). Teori sistem ekologi
menggambarkan perkembangan individu ke dalam sebuah model dengan empat
elemen yaitu process-person-context-time model (Tudge et al., 2009).
Keluarga
Keluarga berkualitas dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah dan
bercirikan sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal,
berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis, dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Menurut Duvall (1977) keluarga merupakan sekumpulan orang
yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi dan kelahiran yang bertujuan
untuk menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan
perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial dari masing-masing anggota
keluarganya.
Keluarga merupakan institusi pertama dan utama pembangunan sumber
daya manusia. Pertama adalah karena dalam keluargalah seorang individu tumbuh
berkembang, dimana tingkat pertumbuhan dan perkembangan tersebut
menentukan kualitas individu yang kelak akan menjadi pemimpin masyarakat
bahkan pemimpin negara. Alasan kedua adalah karena di keluargalah aktivitas
utama kehidupan indvidu berlangsung (Sunarti, 2008). Sehubungan dengan
kesehatan reproduksi remaja tentang peningkatan pengetahuan masalah
reproduksi lebih banyak diketahui oleh remaja melalui media elektronik, media
cetak dan teman sebaya dibandingkan dari orangtua atau kelaurga, padahal pesan
tentang kesehatan reproduksi remaja dari orangtua dinilai lebih baik karena
mengikutsertakan nilai moral dan agama (Sunarti, 2008).
Orangtua mempunyai peran sebagai pengasuh anak dalam menentukan
perkembangan seorang anak. Orangtua yang permisif akan menghasilkan anak
yang memiliki regulasi emosi yang rendah, mudah memberontak, menunjukkan
tingkah laku yang anti sosial dan memiliki ketahanan yang rendah dalam
mengahadapi hal-hal yang menantang, orangtua yang otoritatif akan menghasilkan
anak yang bahagia, memiliki rasa percaya diri, memiliki regulasi emosi dan
kemampuan sosial yang baik (Brooks, 2001).
Moos dan Moos (2009) membagi lingkungan keluarga dalam 3 dimensi
utama yaitu dimensi hubungan (relationship) merupakan evaluasi lingkungan

6

keluarga dalam hal hubungan antar keluarga. perkembangan personal (personal
growth) yang merupakan evaluasi lingkungan keluarga dalam hubunganya dengan
pertumbuhan dan perkembangan pribadi, dimensi sistem pemeliharaan (system
maintenance) berhubungan dengan sistem pemeliharaan nilai-nilai dan aturan
dalam keluarga.
Remaja
Remaja atau dalam Bahasa Inggris yaitu adolescence yang berasal dari
Bahasa Latin adolascare yang artinya tumbuh untuk mencapai kematangan.
Bangsa primitif dalam memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda
dengan periode lain dalam rentang kehidupan. Anak dianggap sudah dewasa
apabila sudah mampu bereproduksi (Ali dan Asrori, 2009). Menurut Piaget, secara
psikologis, masa remaja merupakan masa dimana terjadi integrasi individu ke
dalam kelompok masyarakat dewasa yang mengandung banyak aspek afektif,
lebih atau kurang dari usia pubertas (Hurlock, 1993). Masa remaja merupakan
suatu masa yang menyenangkan dalam rentang kehidupan manusia, mereka
menjadi individu yang telah dapat membuat keputusan-keputusan yang baik bagi
dirinya sendiri yang dipandang telah mampu untuk bekerja serta mempersiapkan
perkawinan (Steinberg, 1993).
Masa remaja merupakan masa yang paling penting dalam suatu
perkembangan setiap individu karena jembatan dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa awal. Masa ini disebut sebagai masa peralihan karena seorang individu
yang berada pada masa ini akan meninggalkan sikap dan tingkah laku yang biasa
ditampilkan pada masa kanak-kanak dan mulai belajar menyesuaikan diri dengan
tata cara hidup orang dewasa (Ali dan Asrori, 2009). Masa remaja mendambakan
untuk diperlakukan dan dihargai sebagai mana layaknya orang dewasa. Menurut
Erikson diacu dalam Hurlock (1993) yang menamakan proses tersebut sebagai
proses pencarian jati diri.
Masa remaja menunjukkan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa awal. Batas usia tidak dirinci dengan jelas dan terdapat beberapa
perbedaan dalam menetukan rentang usia remaja. Menurut Hurlock (1981) usia
remaja adalah 13-18 tahun sedangkan menurut Stanley Hall, remaja berada dalam
rentang usia 12 – 23 tahun (Santrock, 2003). Akan tetapi menurut Davidoff, usia
remaja berada dalam kisaran 13 -18 tahun yang ditandai dengan perubahan yang
pesat dalam dimensi fisik, kematangan seksual, kemampuan kognitif serta harapan
dan permintaan dari keluarga, teman, dan masyarakat yang juga berbeda
sebelumnya (Davidoff, 1981).
Pada masa remaja terdapat banyak perubahan yang pesat, baik perubahan
secara fisik, kognitif maupun sosial emosional (Seifert dan Hoffnung, 1987).
Begitu pula menurut Papalia, Olds dan Feldman (2008) bahwa masa remaja
merupakan masa transisi seseorang dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa
yang ditandai denga perubahan fisik, kognitif, dan psikososial. Oleh karena itu
semua harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh dari diri seorang manusia
yang terintegrasi, yang hanya mempunyai satu badan dan jiwa yang saling
tergantung (Santrock, 2003).
Perkembangan fisik adalah perubahan-perubahan pada tubuh, otak,
kapasitas sensoris dan ketrampilan motorik (Papalia & Old, 2008). Perubahan

7

fisik yang terjadi pada masa remaja terlihat pada saat pubertas yaitu meningkatnya
berat badan serta kematangan sosial (Santrock, 2002). Diantara perubahan fisik,
yang terbesar pengaruhnya pada perkembangan jiwa remaja adalah perkembangan
tubuh. Pertumbuhan fisik yang cepat pada remaja sangat membutuhkan zat-zat
pembangun yang diperoleh dari makanan sehingga remaja pada umumnya
memiliki nafsu makan yang tinggi (Ali dan Asrori, 2009). Selanjutnya mulai
berfungsinya alat-alat reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi
basah pada laki-laki) dan tanda-tanda seksual sekunder yang tumbuh (Sarwono,
1989). Perubahan dan perkembangan yang terjadi pada masa remaja, dipengaruhi
oleh hormon-hormon seksual (testosteron untuk laki-laki dan progesteron untuk
perempuan). Hormon-hormon inilah yang berpengaruh terhadap dorongan seksual
remaja. Dorongan seksual ini mengakibtkan remaja mempunyai perilaku seksual
dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Objek seksualnya bisa berupa orang
lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri (Sarwono, 1989).
Perkembangan kognitif. Menurut Piaget dalam Santrock (2001), seorang
remaja yang termotivasi untuk memahami dunia karena perilaku adaptasi secara
biologis mereka. Dalam pandangan Piaget, remaja secara aktif membangun dunia
kognitif mereka, dimana informasi yang didapatkan tidak langsung diterima
begitu saja dalam skema kognitif mereka. Perkembangan kognitif remaja ini
dikenal dengan tahap operasional formal (Santrock, 2002). Tahap operasional
formal adalah sutu tahapan dimana seseorang sudah mampu berfikir secara
abstrak. Seorang remaja tidak lagi terbatas pada hal-hal yang aktual, serta
pengalaman yang benar-benar terjadi. Dengan mencapai tahap operasi formal
remaja untuk dapat berfikir dengan fleksibel dan kompleks. Remaja sudah mampu
memikirkan suatu situasi yang masih berupa rencana atau suatu bayangan
(Santrock, 2002).
Pada tahap ini, remaja sudah mampu untuk berspekulasi tentang sesuatu,
dimana mereka sudah mulai untuk membayangkan sesuatu yang diinginkan di
masa depan. Perkembangan kognitif yang terjadi pada masa remaja juga dapat
dilihat dari kemampuan seorang remaja untuk dapat berpikir lebih logis (Santrock,
2002). Remaja sudah mulai mempunyai pola berpikir sebagai peneliti, dimana
mereka mampu membuat suatu perencanaan untuk mencapai suatu tujuan di masa
depan (Santrock, 2002). Salah satu bagian dari perkembangan kognitif masa
kanak-kanak yang belum sepenuhnya ditinggalkan oleh remaja adalah
kecenderungan dengan cara berpikir egosentrisme (Piaget dalam Papalia & Olds,
2008)
Perkembangan sosial. Remaja mengalami masa pergolakan yang terjadi
tidak terlepas dari bermacam-macam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal,
keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas yang dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari. Lingkungan sosial remaja umumnya berada pada kelompok
teman sebaya daripada dengan keluarga (Monks et al., 2002). Hal ini dikarenakan
remaja lebih banyak melakukan kegiatan diluar rumah dengan teman sebaya
seperti sikap, pembincaraan, minat dan prilaku. Kelompok teman sebaya tidak
menjadi hal yang berbahaya jika remaja dapat mengarahkannya. Dengan adanya
kelompok teman sebaya, remaja merasa kebutuhannya terpenuhi, seperti
kebutuhan akan pengalaman baru, kebutuhan berprestasi, kebutuhan diperhatikan,
kebutuhan harga diri, dan kebutuhan rasa aman yang belum tentu diperoleh
remaja di rumah maupun di sekolah (Zulkifli, 2005). Namun, kelompok teman

8

sebaya dapat memberikan pengaruh yang tidak baik pada remaja seperti
meminum minuman keras, merokok, maupun melakukan seks bebas (Hurlock,
2004). Hal ini disebabkan karena teman sebaya diakui dapat mempengaruhi
pertimbangan dan keputusan seseorang dalam berprilaku (Papalia & Olds, 2008).
Berdasarkan teori belajar sosial (social learning theory) dari Albert
Bandura, dinyatakan bahwa anak-anak belajar bersosialisasi melalui pengamatan
pada orang lain. Melalui belajar dengan melakukan observasi ini (imitasi dan
meniru), anak secara kognitif mempresentasikan tingkah laku orang lain yang
kemudian tingkah laku ini diadopsi ke dalam tingkah laku dirinya sendiri. Dalam
perkembangan sosial ini diperlukan adanya self efficacy yaitu kepercayaan akan
adanya kemampuan diri untuk dapat menghasilkan hal-hal yang positif. Selain itu
diperlukan juga kepercayaan diri (confidence) dengan cara menyakinkan diri
sendiri untuk dapat mengatasi atau melakukan tindakan (Puspitawati, 2009). Bagi
seorang remaja yang sedang dalam masa pencarian identitas diri, kepercayaan
diri, dan memahami jati diri memegang peranan yang amat penting kelak dapat
memainkan peran sosial yang positif dalam masyarakat (Hastuti, 2008). Banyak
remaja yang kehilangan jati dirinya dengan melakukan perbuatan antisosial untuk
dapat menunjukkan eksistensi dirinya agar diakui oleh lingkunganya (Puspitawati,
2009). Dalam hal ini diperlukan sebuah proses adaptasi yang kemudian dikenal
dengan resiliensi.
Resiliensi
Kelentingan keluarga (family resilience) dapat diartikan sebagai
kemampuan untuk mersepon secara positif terhadap situasi yang menyengsarakan
atau merusak kehidupan keluarga, sehingga memunculkan perasaan kuat, tahan,
dan bahkan situasi dimana keluarga merasa lebih berdaya, dan lebih percaya diri
dibandingkan situasi sebelumnya (Simon, Murphy, Smith, 2005). Kelentingan
keluarga dialami ketika anggota keluarga menunjukkan perilaku seperti percaya
diri, kerja keras, kerjasama, dan memaafkan. Hal tersebut merupakan faktor yang
menolong keluarga dapat menghadapi stressor sepanjang siklus kehidupannya.
Kelentingan keluarga berkaitan dengan konsep-konsep utama yang saling
berhadapan. Konsep pertama berkaitan dengan kerentanan keluarga, ancaman
yang dihadapi keluarga, sedangkan di sisi lainnya adalah konsep asset keluarga
serta asset yang dapat menjadi faktor pelindung. Keseimbangan antara kerentanan
dan ancaman berhadapan dengan asset pelindung yang akan menghasilkan tingkat
resiliensi keluarga (Sunarti, 2007)
Pada pertengahan tahun 1970-an, terdapat studi tentang kelentingan
keluarga yang dilakukan oleh Werner dan Smith (1982). Studi tersebut
mendefinisikan kelentingan sebagai kapasitas untuk mengatasi stres internal dan
eksternal secara efektif (resilence as the capacity to cope effectively with internal
and external stresses). Proyek hubungan antara ibu dan anak menempatkan
konsep resiliensi atau kelentingan dalam kerangka prespektif organisasi dan
perkembangan sebagai suatu proses dan kapasitas untuk menuju tahapan sukses
tentang isu perkembangan sepanjang waktu melalui transaksi individual dengan
lingkungan (Egeland, Carlson, dan Sroufe, 1993). Keluarga lenting (resilient
family) dibangun oleh indikator family bonding dan family flexibility yang
menghasilkan tipologi fragile family (keluarga yang mudah pecah), bonded family

9

(keluarga yang saling terikat), pliant family (keluarga yang lunak) dan resilient
family (keluarga lenting).
Studi yang lebih modern diteruskan oleh Masten (2001) yang meliputi dua
faktor penting: adanya ancaman serius yang mengharuskan untuk beradaptasi atau
berkembamg serta pencapaian adaptasi yang positif dan hasil yang baik.
Perspektif perkembangan adalah suatu tema kerangka teoritis dalam kelentingan
anak yang dilihat dari tingkat perkembangan anak dan fungsi perkembangan anak,
pengaruh multi terhadap perkembangan anak, serta hubungan timbal balik
ancaman, protektif dan penyesuaian anak. Resiliensi yang berkaitan dengan
kelentingan anak adalah adanya proses adaptasi sebagai manusia yang normal
termasuk perkembangan kognitif, perilaku yang normal dan interaksi yang baik
antara pengasuh dan lingkungan (Masten, 2001). Menurut penelitian Masten
(2001 dalam Newman, 2005), tingkah laku yang banyak dikaitkan dengan
resiliensi bukanlah tingkah laku yang luar biasa melainkan yang dapat dilakukan
oleh semua orang. Bahkan menurutnya anak-anak dan remaja yang mengalami
kesulitan hidup selama tahap perkembanganya pun masih mampu untuk
mengatasi hal tersebut seperti layaknya orang dewasa. Sehingga, pada dasarnya
resiliensi dimiliki oleh semua orang, bahkan pada remaja.
Menurut Kalil (2003), resiliensi merupakan sebuah proses yang dinamis
mengarah pada adaptasi positif dalam menghadapi situasi yang sulit. Resiliensi
dapat diartikan sebagai kemampuan mengembalikan diri dari kesulitan dan
perubahan yang terjadi kepada fungsi sebelumnya dan bergerak maju menuju
perbaikan. Orang yang dikatakan resilien yaitu orang yang dapat mengatasi dan
beradptasi secara efektif terhadap tekanan dan tantangan yang dihadapi serta
belajar dari pengalamannya agar dapat mengelola sebuah situasi secara efektif,
dan mampu mengatasi tekanan dan tantangan di masa yang akan datang.
Menurut Wagnild dan Young, resiliensi merupakan keberhasilan
seseorang untuk mengatasi perubahan atau ketidakberuntungan yang dialami oleh
seseorang. Selain itu resiliensi juga didefinisikan sebagai kemampuan seseorang
untuk pulih dari kesulitan dan melakukan perubahan yang positif untuk mengatasi
tantangan secara efektif (Walsh, 2006). Dalam hal ini, kajian tentang resiliensi
untuk menghadapi, mangatasi, bahkan mengubah kemalangan hidup (Grotberg,
1995). Hampir semua manusia mengalami kesulitan dan jatuh dalam perjalanan
hidup, namun mereka memiliki ketahanan untuk dapat bangkit dan melanjutkan
hidupnya. Kemampuan untuk dapat bangkit dan terus melanjutkan hidup ini
disebut dengan resiliensi. Penelitian Wagnild (2010) menemukan bahwa resiliensi
menjadi faktor protektif dari munculnya depresi, kecemasan, ketakutan, perasaan
tidak berdaya, dan berbagai emosi negatif lainnya sehingga memiliki potensi
untuk dapat mengurangi efek fisiologis yang mungkin dapat muncul.
Dari sejumlah definisi yang ada, definisi resiliensi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk mampu bertahan
dalam situasi yang kurang menguntungkan atau penuh tekanan dan menjalani
hidup secara positif bahkan lebih baik dari sebelumnya yang diperoleh dari
hubungan antara orangtua dengan anak. Orangtua anak maupun remaja yang
berlatarbelakang penghasilan rendah, beresiko tinggi untuk mengalami masalah
kesehatan mental (McLoyd 1993). Davis (1999) menyebutkan bahwa secara garis
besar ada dua faktor yang diasumsikan mampu mendorong terbentuk atau
tidaknya resiliensi pada individu, yaitu ancaman dan faktor protektif. Sunarti et al

10

(2015) menyebutkan bahwa bahaya dan keterpaparan remaja (baik di kabupaten
maupun kota, di SMA maupun SMK, laki-laki maupun perempuan) terhadap
berbagai bahaya yang berada di sekelilingnya cukup besar. Beberapa hasil uji
beda menunjukkan bahwa remaja kota lebih sering melihat seks bebas, terlibat
membolos, dan terlibat miras. Resiliensi anak remaja dipengaruhi oleh faktor
pembinaan dan perlindungan yang dilakukan oleh sekolah, pengasuhan orangtua
di rumah, dan faktor internal anak remaja.
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Resiliensi
Mandleco dan Peer (2000) menyatakan bahwa terdapat dua faktor utama
yang mempengaruhi resiliensi yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal
adalah pengaruh yang berasal dari diri individu tersebut, yaitu biologis dan
psikologis. Kesehatan, kecenderungan genetis, tempramen, dan gender termasuk
dalam faktor biologis yang mempengaruhi resiliensi. Sementara kemampuan
kognitif (kecerdasan dan congnitive style), coping ability, dan personality
characteristics (intrapersonal dan interpersonal) termasuk dalam faktor
psikologis yang mempengaruhi resiliensi.
Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar individu tersebut, dan
tercermin dalam wujud dan kualitas dari hubungan di dalam maupun di luar
keluarga (Mandleco & Peery, 2000). Faktor eksternal juga dikategorikan menjadi
dua kelompok, yaitu faktor yang berasal dari dalam keluarga dan faktor yang
berasal dari luar keluarga. Faktor di dalam keluarga mencakup suasana rumah,
anggota keluarga (orangtua, saudara kandung, kakek dan nenek), dan parenitng
practice. Sementara certain individuals (orang dewasa dan peers) dan community
resources (sekolah, gereja, day care atau pre-school programs, organisasi anak
muda dan healthacare atau social service agencies) dikelompokkan sebagai faktor
di luar keluarga.
Penelitian Fergus dan Zommerman (2005) dalam Zolkoski & Bullock
(2012) tentang resiliensi remaja mendukung kerangka teoritis yang disusun
Mandleco dan Perry (2000) namun dengan menggunakan istilah yang berbeda.
Fergus dan Zimmerman menggunakan istilah assets (faktor internal) dan
resources (faktor eksternal) sebagai faktor yang dapat membantu remaja
menghindari efek negatif dari paparan ancaman. Mereka menemukan bahwa
peran orangtua sangat besar dalam membentuk resiliensi remaja terhadap risiko
penggunaan obat-obatan terlarang, perilaku kekerasan, dan perilaku seksual.
Mendukung pentingnya faktor ekternal pada resiliensi individu, Benard (1997)
menyatakan bahwa guru dapat menjadi penentu resiliensi muridnya. Menurut
Everall (2006) dalam Zolkoski dan Bullock (2012) lebih lanjut menyatakan bahwa
faktor yang mempengaruhi resiliensi dapat digolongkan menjadi dua faktor, yaitu
ancaman dan faktor pelindung.
Faktor Protektif (Protective Factor). Beberapa studi atas resiliensi
berhasil mengidentifikasi faktor-faktor pelindung (protective factors) yang dapat
mengurangi dampak negatif dari ancaman yang ada. Resiliensi dihambat oleh
ancaman dan didorong oleh faktor pelindung (Zolkoski & Bullock, 2012). Faktor
pelindung berperan dalam mengubah tanggapan individu terhadap efek buruk dari
faktor-ancaman yang ada sehingga potensi dampak negatif dari faktor-ancaman
dapat dihindari. Menurut Benzies dan Mychasiuk (2009) resiliensi akan menjadi

11

optimal ketika faktor protektif diperkuat di semua tingkat interaktif model sosioekologis (individu, keluarga dan masyarakat). Dengan demikian secara garis
besar, dapat dikatakan bahwa faktor protektif yang mempengaruhi resiliensi
terbagi menjadi dua, yaitu faktor intenal dan faktor eksternal.
Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu (faktor individu),
sedangkan faktor eksternal (faktor di luar individu), yaitu keluarga dan lingkungan
(sekolah, teman sebaya, dan masyarakat). Munurut Zolkoski dan Bullock (2012),
faktor protektif utama yang meningkatkan resiliensi mencakup karakterisitik
individu. Penelitian ini akan menggunakan faktor internal dan eksternal
berdasarkan acuan dari resiliesnce and youth development modul (Austin et al.,
2010). Terdapat enam faktor internal y