Tipe dan tingkat kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan pohon di hutan dataran rendah tanah kering

TIPE DAN TINGKAT KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL
AKIBAT PENEBANGAN POHON DI HUTAN DATARAN
RENDAH TANAH KERING

MAIZURRA SEPTI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Tipe dan Tingkat
Kerusakan Tegakan Tinggal akibat Penebangan Pohon di Hutan Dataran Rendah
Tanah Kering adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014
Maizurra Septi
NIM E14100121

ABSTRAK
MAIZURRA SEPTI. Tipe dan Tingkat Kerusakan Tegakan Tinggal akibat
Penebangan Pohon di Hutan Dataran Rendah Tanah Kering. Dibimbing oleh
UJANG SUWARNA.
Kerusakan ekosistem hutan pada kegiatan pemanenan tidak dapat
dihindarkan. Tegakan tinggal merupakan bagian dalam ekosistem hutan yang
akan menjadi tegakan inti sebagai kayu yang akan diproduksi pada siklus tebang
selanjutnya sehingga, tegakan tinggal dapat menjadi indikator bagi kerusakan
ekosistem hutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tipe-tipe
kerusakan tegakan tinggal serta tingkat keparahannya dan menghitung tingkat
kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan pohon. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tipe kerusakan yang paling banyak rusak adalah tipe
roboh/condong sebesar 35.79% dan tipe pecah/patah batang sebesar 28.14%.
Berdasarkan tingkat keparahan, sebagian besar dari kerusakan tegakan tinggal

memiliki tingkat keparahan berat yaitu, sebesar 63.39%. Tingkat kerusakan
tegakan tinggal berdasarkan populasi pohon akibat penebangan sebesar 8.54%
(37 pohon/ha) dengan intensitas penebangan 7 pohon/ha tergolong tingkat
kerusakan ringan.
Kata kunci: penebangan, tingkat kerusakan tegakan tinggal, tipe kerusakan
tegakan tinggal

ABSTRACT
MAIZURRA SEPTI. Type and Degree of Residual Stand Damage cause Tree
Felling in Dry Lowland Forest. Supervised by UJANG SUWARNA
Damage of forest ecosystem in timber harvesting can not be avoidable.
Residual stand is a part of forest ecosystem that will be prime stand as timber
product for the next harvesting cycles so, residual stand can used as indicator of
forest ecosystem damage. The research aims to identify types of residual stand
damage with the big of injury and calculate the degree of residual stand damage
cause tree felling. The research showed that type of residual stand damage which
many occur are collaps/leaning is 35.79% and broken trunk is 28.14%. Based on
the big injury, most of residual stand damage have serious injury that is 63.39%.
The degree of residual stand damage based on tree population is 8.54%
(37 tree/ha) with felling intensity is 7 tree/ha belong to low damage degree.

Keywords: felling, degree of residual stand damage, type of residual stand damage

TIPE DAN TINGKAT KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL
AKIBAT PENEBANGAN POHON DI HUTAN DATARAN
RENDAH TANAH KERING

MAIZURRA SEPTI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Manajemen Hutan

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014


Judul Skripsi : Tipe dan Tingkat Kerusakan Tegakan Tinggal akibat Penebangan
Pohon di Hutan Dataran Rendah Tanah Kering
Nama
: Maizurra Septi
NIM
: E14100121

Disetujui oleh

Dr Ujang Suwarna, SHut MScFTrop
Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Ahmad Budiaman, MScFTrop
Ketua Departemen

Tanggal Pengesahan:

PRAKATA

Alhamdulillah, Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Tipe dan Tingkat Kerusakan Tegakan Tinggal akibat Penebangan Pohon
di Hutan Dataran Rendah Tanah Kering”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ujang Suwarna, SHut MScFTrop
selaku dosen pembimbing atas saran, bimbingan, dan arahan yang diberikan.
Terima kasih kepada segenap pimpinan, direksi, staf, dan karyawan PT. Dasa
Intiga atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis melakukan penelitian.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ayah (Fasikhin), Ibu
(Salimah), Nike Diah Agustin, dan M. Luthfi yang terus memberikan doa dan
dukungannya, kepada M. Rifqi Tirta Mudhofir atas doa, dukungan dan sarannya.
Terima kasih kepada Departemen Manajemen Hutan yang meliputi dosen-dosen,
staf tata usaha dan lain-lain atas bantuannya, serta teman-teman Manajemen
Hutan 47.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bogor, Oktober 2014
Maizurra Septi

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

Ruang Lingkup Penelitian

2

METODE

2

Waktu dan Tempat

2


Alat dan Bahan

2

Prosedur Pengambilan Data

3

Prosedur Analisis Data

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

6

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

6


Kerapatan Awal Tegakan

7

Tipe Kerusakan Tegakan Tinggal

9

Tingkat Kerusakan Tegakan Tinggal

11

Kerapatan Tegakan Setelah Penebangan

16

SIMPULAN DAN SARAN

17


Simpulan

17

Saran

17

DAFTAR PUSTAKA

17

RIWAYAT HIDUP

21

DAFTAR TABEL
1
2
3

4
5
6
7
8
9

Kerapatan awal tegakan berdasarkan kelas diameter
Kerapatan awal tegakan berdasarkan kelompok jenis dan kelas diameter
Jumlah pohon rusak berdasarkan tipe-tipe kerusakan
Tingkat keparahan/besarnya luka pada tegakan tinggal
Kriteria tingkat keparahan/besarnya luka pada tegakan tinggal
Tingkat kerusakan tegakan tinggal berdasarkan populasi pohon
Tingkat kerusakan tegakan tinggal berdasarkan kelas diameter
Tingkat kerusakan tegakan tinggal berdasarkan kelompok jenis
Kerapatan tegakan sebelum dan setelah penebangan

7
9
10
10
11
12
13
13
16

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Desain plot contoh
3
Skema prosedur penelitian
4
Potensi tegakan berdasarkan kerapatan
8
Perbandingan kerapatan awal tegakan
8
Hubungan intensitas penebangan terhadap kerusakan tegakan tinggal
pada Plot Penelitian dan Indriyanti (2010)
14
6 Hubungan volume pohon ditebang terhadap kerusakan tegakan tinggal
pada Plot Penelitian (a) dan (b) dan pada Firma (2012) (c)
15
7 Potensi tegakan sebelum dan setelah penebangan
16

DAFTAR LAMPIRAN
1 Daftar nama jenis pohon pada plot penelitian
2 Peta plot penelitian
3 Gambar tipe-tipe kerusakan tegakan tinggal

19
20
20

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Operasi pemanenan hutan selalu memberikan dampak bagi kerusakan
ekosistem hutan (Elias 2012). Hal tersebut menunjukan bahwa kerusakan ekosistem
hutan pada kegiatan pemanenan tidak dapat dihindarkan, namun dapat ditekan
seoptimal mungkin sejalan dengan berlangsungnya kegiatan produksi kayu.
Kegiatan pemanenan terdiri dari beberapa subkegiatan, yang secara simultan
memberikan pengaruh bagi kerusakan ekosistem hutan. Suparto (1999) berpendapat
bahwa tingkat kerusakan operasi pemanenan hutan tergantung dari besar kecilnya
intensitas operasi itu, sistem pemanenan yang diterapkan, kondisi alamiah medan,
dan peralatan yang digunakan.
Intensitas penebangan dan diameter pohon ditebang merupakan faktor yang
perlu dipertimbangkan dalam kegiatan pemanenan hutan. Faktor tersebut dapat
mempengaruhi luasan areal yang terkena dampak sehingga berpengaruh terhadap
besarnya kerusakan. Menurut Sist et al. (1998) dalam Angelsen (2010), intensitas
pemanenan itu penting untuk diperhatikan karena pada intensitas sangat tinggi
sebagian hutan akan rusak meskipun dipanen dengan berhati-hati. Selanjutnya,
menurut Elias (2002) besarnya volume kayu produksi per hektar sangat tergantung
dari intensitas tebang. Makin besar intensitas tebang (pohon/ha), makin tinggi
volume kayu produksi per ha sehingga semakin besar kerusakan yang ditimbulkan
terhadap vegetasi.
Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) merupakan sistem silvikultur yang
banyak diterapkan pada hutan produksi alam di Indonesia. Menurut Suparto (1999),
Sistem Tebang Pilih Indonesia yang kemudian diperbaiki menjadi Tebang Pilih
Tanam Indonesia adalah suatu jenis sistem yang pada pokoknya mengandalkan
pembaharuan tegakan dari pertumbuhan tegakan tinggal. Tegakan tinggal ini terdiri
dari pohon-pohon inti yang berdiameter sekitar 20 cm ke atas sebanyak 25 pohon
atau lebih per hektar.
Tegakan tinggal merupakan salah satu bagian dalam ekosistem hutan. Pada
siklus pemanenan selanjutnya, tegakan tinggal akan menjadi tegakan inti sebagai
kayu yang akan diproduksi sehingga kondisi tegakan tinggal merupakan kunci
utama dalam kelestarian fungsi produksi pada hutan produksi alam dengan sistem
TPTI. Sehingga, tegakan tinggal dapat menjadi indikator bagi kerusakan ekosistem
hutan.
Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian mengenai
kerusakan tegakan tinggal. Data kondisi tegakan tinggal sangat diperlukan dalam
mengevaluasi sistem pemanenan yang telah digunakan dan tindakan silvikultur
yang optimal dalam pemeliharaan tegakan tinggal agar tercipta pengelolaan hutan
lestari.

2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tipe-tipe kerusakan tegakan
tinggal serta tingkat keparahannya dan menghitung tingkat kerusakan tegakan
tinggal akibat penebangan pohon.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tipe-tipe
kerusakan, tingkat keparahan, serta tingkat kerusakan tegakan tinggal yang terjadi
akibat penebangan pohon sehingga dapat digunakan dalam mengevaluasi sistem
pemanenan yang telah digunakan dan tindakan silvikultur yang optimal dalam
pemeliharaan tegakan tinggal agar tercipta pengelolaan hutan lestari.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah kerusakan tegakan tinggal pada pohon
berdiameter ≥ 10 cm akibat kegiatan penebangan pohon.

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Maret 2014 di
IUPHHK-HA PT Dasa Intiga petak BJ 21 blok RKT 2013, Provinsi Kalimantan
Tengah.
Alat dan Bahan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Tegakan hutan di petak BJ 21 yang merupakan obyek kajian penelitian
Pita meter untuk membuat plot
Tali rafia untuk membuat subsubplot ukuran 10×10 m
Pita ukur untuk mengukur diameter pohon.
Kompas untuk menentukan arah
Global Positioning System (GPS) untuk menandai plot
Patok untuk membuat batas-batas plot dan subplot
Cat untuk memberi tanda patok
Tally sheet serta alat tulis untuk merekap data
Label untuk memberi tanda pohon dan penomoran pohon
Kamera untuk dokumentasi
Software Microsoft Office Excel 2007 untuk mengolah data pengukuran
Software Arcgis9.3 untuk memetakan plot contoh

3
Prosedur Pengambilan Data
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data sekunder dan data primer. Data
sekunder berupa peta areal kerja PT Dasa Intiga yang diperoleh dari dokumen
perusahaan dan hasil wawancara sehingga dapat ditentukan petak BJ 21 dengan
luasan sebesar 100 ha sebagai lokasi pengambilan data. Petak tebang tersebut
dipilih secara purposive sampling disesuaikan dengan kegiatan penebangan yang
sedang berlangsung. Selanjutnya, data primer diperoleh dari pengukuran langsung
di lapangan berupa observasi lapang untuk menentukan plot contoh sebanyak 10
plot, inventarisasi tegakan sebelum penebangan (ITSP), dan inventarisasi tegakan
setelah penebangan.
Bentuk dan Ukuran Plot Contoh
Plot contoh yang digunakan berbentuk bujur sangkar berukuran 100×100 m
(Gambar 1). Plot contoh tersebut dibagi menjadi 25 subplot dengan ukuran
20×20 m untuk mengukur pohon berdiameter ≥ 20 cm (cara jalur) dan subsubplot
ukuran 10×10 m untuk mengukur pohon berdiameter 10–19 cm (cara garis
berpetak) (Soerianegara dan Indrawan 2012).
100 m

100 m

Gambar 1 Desain plot contoh
Keterangan :
: Subplot (20×20 m) untuk mengukur pohon D ≥ 20 cm
: Subsubplot (10×10 m) untuk mengukur pohon D 10–19 cm
: Jalur rintis

4
Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan
Inventarisasi tegakan pohon berdiameter 10–19 cm dilakukan secara sampel
dengan ukuran subsubplot 10×10 m pada tiap-tiap subplot sedangkan inventarisasi
tegakan pohon berdiameter ≥ 20 cm dilakukan secara sensus pada seluruh subplot
berukuran 20×20 m. Parameter yang diukur meliputi jumlah, jenis, diameter (Dbh),
dan tinggi bebas cabang (Tbc).
Inventarisasi Tegakan Setelah Penebangan
Kegiatan ini dilakukan untuk mengukur kerusakan tegakan tinggal. Parameter
yang diukur meliputi jumlah, jenis dan Dbh pohon berdiameter ≥ 10 cm yang rusak
serta mengidentifikasi tipe-tipe kerusakan dan tingkat keparahan.

Gambar 2 Skema prosedur penelitian

Prosedur Analisis Data
Menurut Elias (2012), analisis kerusakan tegakan tinggal ditetapkan dengan
tiga cara yaitu :

5
1.

2.
3.
1.

Tingkat kerusakan tegakan tinggal berdasarkan jumlah populasi. Tingkat
kerusakan tegakan tinggal (K) adalah perbandingan antara jumlah pohonpohon yang rusak terhadap jumlah pohon-pohon yang sehat sebelum
penebangan.
Kerusakan tegakan tinggal berdasarkan tipe kerusakan
Kerusakan tegakan tinggal berdasarkan tingkat keparahan/besarnya luka
Tipe kerusakan tegakan tinggal
Tipe-tipe kerusakan menurut Elias (2012) terdiri dari pohon roboh dan
batang patah, rusak tajuk, luka batang, serta banir dan akar rusak. Persentase
tipe kerusakan tegakan tinggal dihitung menggunakan rumus (Muhdi 2001) :
A=

S
× 100 %
T

Keterangan :
A = Persentase kerusakan tegakan tinggal berdasarkan tipe x (%)
S = Jumlah pohon yang rusak berdasarkan tipe x (Pohon/ha)
T = Jumlah seluruh pohon yang rusak (Pohon/ha)
2.

Tingkat keparahan/besarnya luka pada tegakan tinggal
Menurut Elias (2012), tingkat keparahan/besarnya luka tiap individu
pohon yang rusak ditentukan dengan kriteria sebagai berikut :
a. Tingkat kerusakan berat, bila :
1. Patah batang
2. Pecah batang
3. Roboh/condong (< 45⁰ dari permukaan tanah)
4. Rusak tajuk > 50%
5. Rusak kulit > ½ keliling batang
6. Rusak banir/akar (> ½ rusak/terpotong)
b. Tingkat kerusakan sedang, bila :
1. Rusak tajuk (30–50%)
2. Rusak kulit ( ¼–½ keliling batang)
3. Rusak banir/akar (¼–½ rusak/terpotong)
4. Roboh/condong (> 45⁰ dari permukaan tanah)
c. Tingkat kerusakan ringan, bila :
1. Rusak tajuk (< 30%)
2. Rusak kulit (< ¼ keliling batang)
3. Rusak banir/akar (< ¼ rusak/terpotong)

3.

Tingkat kerusakan tegakan tinggal berdasarkan populasi pohon dihitung
dengan menggunakan rumus (Elias 2012) :
K=

b

Kr

b

Ka

× 100 %

6
Keterangan :
K
= Tingkat kerusakan tegakan tinggal (%)
b
Kr = Jumlah pohon yang rusak setelah penebangan (Pohon/ha)
b
Ka = Jumlah pohon yang sehat sebelum penebangan (Pohon/ha)
4.

Intensitas Penebangan
Data intensitas penebangan pada seluruh plot dibagi menjadi 3 kelas
yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Berdasarkan Walpole (1997), prosedur yang
dilakukan yaitu:
1. Menentukan range (R)
R = Intensitas Penebangan Tertinggi ˗ Intensitas Penebangan Terendah
2. Menentukan interval kelas (i)
i=

R
K

dimana, k = Jumlah kelas

3. Menentukan batas kelas
Dalam menentukan batas kelas, intensitas penebangan terendah masuk
pada kelas rendah dan intensitas penebangan tertinggi masuk pada kelas
tinggi.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Areal unit manajemen IUPHHK-HA PT Dasa Intiga dengan luasan ±131 850
ha termasuk kedalam wilayah administrasi Kecamatan Kapuas Tengah dan Timpah,
Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimanatan Tengah. Areal tersebut terdiri dari hutan
primer seluas 805 ha, hutan bekas tebangan seluas 110 156 ha dan non hutan seluas
20 889 ha (PT Dasa Intiga 2012).
Menurut letak geografis dan ketinggian tempat dari permukaan laut, areal PT
Dasa Intiga termasuk dalam tipe hutan dataran rendah tanah kering dan hutan
kerangas. Hutan alam dataran rendah tanah kering merupakan hutan yang tumbuh
secara alami, tidak tergenang air sepanjang tahun, dan berada pada ketinggian tidak
lebih dari 800 m di atas permukaaan laut (Muhdin 2012). Secara umum areal PT
Dasa Intiga mempunyai topografi datar (0–8%) seluas 128 881 ha dan landai
(8–15%) seluas 2 638 ha dengan ketinggian tempat berkisar antara 100–300 mdpl.
Berdasarkan peta tanah Provinsi Kalimantan Tengah skala 1: 500 000 (PPT tahun
1993), wilayah ini memiliki dua jenis tanah yaitu podsolik merah kuning seluas
102 013 ha dan podsol seluas 29 837 ha (PT Dasa Intiga 2012).
Kegiatan pemanenan terdiri dari kegiatan penebangan, penyaradan, muat
bongkar, dan pengangkutan. Teknik pemanenan yang diterapkan oleh PT Dasa
Intiga adalah teknik pemanenan konvensional dimana kegiatan penebangan maupun
penyaradan tidak menggunakan peta pohon hasil ITSP dan tidak dibuatnya rencana
jalan sarad. Menurut Elias (1998) dalam Sitanggang (2011), Conventional Logging
adalah praktek pemanenan kayu yang umum dilakukan di hutan alam tropika

7
Indonesia hingga saat ini. Teknik pemanenan kayu biasanya dilaksanakan dengan
cara yang sangat sederhana, kebanyakan tanpa rencana pemanenan kayu yang
matang, arahan kerja yang tidak tepat dalam operasi pemanenan, menggunakan
teknik yang tidak benar, dan kurangnya pengawasan.
Proses penebangan di PT Dasa Intiga dilakukan oleh regu chainsaw dengan
sistem borongan. Operator chainsaw umumnya dibantu oleh seorang helper. Pada
awal proses penebangan biasanya operator chainsaw melihat kondisi pohon untuk
menentukan boleh atau tidaknya pohon tersebut ditebang dengan melihat diameter
dan bentuk batang. Pohon yang ditebang adalah pohon berdiameter ≥ 40 cm.
Selanjutnya, dilakukan penentuan arah rebah dengan mempertimbangkan
kemiringan lapang dan berat tajuk. Terdapat dua operator chainsaw yang
membantu penelitian ini. Kedua operator tersebut menebang dengan cara
menyelesaikan setiap pohon mulai dari tebang sampai pembagian batang atau
trimming. Kegiatan penebangan yang sedang berlangsung berada pada blok RKT
2013 yang dimulai dari bulan Agustus 2013 sampai Juli 2014.

Kerapatan Awal Tegakan
Kerapatan awal tegakan diperoleh dari kegiatan Inventarisasi Tegakan
Sebelum Penebangan (ITSP) untuk mengetahui potensi tegakan sebelum dilakukan
penebangan. Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa secara keseluruhan pohon
berdiameter ≥ 10 cm memiliki rata-rata kerapatan tegakan 440 pohon/ha dengan
volume sebesar 178.4 m³/ha. Nilai kerapatan tersebut tergolong normal pada
tegakan hutan alam bekas tebangan jika dibandingkan dengan penelitian Muhdin
(2012) dan Wijayanti (2013). Menurut Muhdin (2012), jumlah pohon semua jenis
dengan diameter 10 cm ke atas pada setiap PUP (berukuran 1 ha) pada umumnya
bervariasi antara 113-607 pohon. Selanjutnya menurut Wijayanti (2013) kerapatan
tiang dan pohon pada plot bujur sangkar sebesar 441 pohon/ha.
Tabel 1 Kerapatan awal tegakan berdasarkan kelas diameter
Jumlah Pohon (N) dan Volume (V) Pada Kelas Diametera
Plot

20–29 cm

30–39 cm

40–49 cm

N

V

N

V

N

V

N

V

N

V

N

V

1

356

44.05

39

16.36

25

21.25

11

18.10

10

59.48

441

159.25

2

368

58.88

50

19.06

31

26.65

20

30.56

15

50.67

484

185.81

3

320

52.31

38

15.98

24

20.86

13

21.59

16

55.09

411

165.84

4
5

376

59.74

68

24.44

31

26.52

19

33.01

13

40.57

507

184.28

324

55.14

38

17.86

23

20.43

11

19.51

12

51.22

408

164.16

6

276

47.71

35

15.94

27

24.91

17

30.14

8

31.67

363

150.38

7

296

46.29

72

31.38

30

27.48

20

34.63

12

54.70

430

194.48

8

340

54.28

43

18.08

36

33.47

18

32.11

18

64.17

455

202.11

9

332

47.29

50

20.16

33

30.91

17

29.96

12

39.487

444

167.81

10

372

62.06

30

13.59

26

25.08

16

31.29

20

78.28

464

210.31

336

52.80

46

19.30

28

25.80

16

28.10

14

52.53

440

178.40

Rata rata
a

Total

≥ 50 cm

10–19 cm

N = Pohon/ha dan V = m³/ha

8
Menurut Muhdi (2001), ada kecenderungan bahwa semakin besar kelas
diameter pohon, kerapatannya semakin kecil. Kecenderungan tersebut dapat dilihat
pada Tabel 1, pohon dengan kelas diameter 10–19 cm mendominasi tegakan
dengan kerapatan rata-rata 336 pohon/ha dan terus menurun pada setiap kelas
diameter diatasnya. Sedangkan untuk volume berlaku sebaliknya yaitu semakin
besar kelas diameter pohon, semakin besar potensi volumenya. Volume pohon
dengan kelas diameter ≥ 50 cm memiliki rata-rata 52.53 m³/ha dan terus menurun
pada setiap kelas diamater dibawahnya, kecuali kelas diameter 10–19 cm dengan
rata-rata volume mencapai 52.8 m³/ha. Hal ini dikarenakan kerapatan tegakan pada
kelas diameter tersebut sangat mendominasi.
Kerapatan
(Pohon/ha)

400
300
200
100
0
10 -19 20 -29 30 - 39 40 - 49 ≥ 50 cm
cm
cm
cm
cm
Kelas Diameter

Gambar 3 Potensi tegakan berdasarkan kerapatan
Potensi tegakan berdasarkan kerapatan berbentuk huruf J terbalik (Gambar 3).
Hal ini sesuai dengan pernyataan Budiarta (2001) bahwa struktur tegakan pada
hutan bekas tebangan secara umum berbentuk huruf J terbalik, dicirikan oleh
sebaran jumlah pohon menurut kelas diameter.
400
Kerapatan
(Pohon/ha)

Buku RKU
300

Plot Penelitian

200

Elias (2002)
Muhdin (2012)

100
0
10 - 19 cm

20 - 49 cm

≥ 50 cm

Kelas Diameter

Gambar 4 Perbandingan kerapatan awal tegakan
Gambar 4 merupakan grafik yang menunjukan perbandingan kerapatan awal
tegakan dari berbagai literatur dengan tipe hutan sejenis. Pada penelitian lain,
terlihat pula bahwa semakin besar kelas diameter maka kerapatannya akan semakin
menurun. Nilai kerapatan pada plot penelitian berada dalam satu garis yang sama
dengan nilai kerapatan dari buku RKU PT Dasa Intiga. Hal ini dapat dikarenakan
data tersebut berasal dari satu areal yang sama sehingga jumlahnya pada tiap-tiap
kelas diameter memiliki selisih yang kecil. Jika dibandingkan dengan Elias (2002)

9
dan Muhdin (2012), nilai kerapatan plot penelitian pada kelas diameter 10–19 cm
berada di antara nilai keduanya sedangkan pada kelas diameter 20–49 cm dan ≥ 50
cm berada di bawah nilai keduanya. Kondisi tersebut menunjukkan jumlah pohon
yang relatif lebih banyak pada kelas diameter kecil, namun menurun dengan tajam
pada pohon-pohon yang berdiameter lebih besar (Muhdin 2012).
Lokasi penelitian terdiri dari beberapa jenis tanaman yang dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok jenis. Klasifikasi kelompok jenis
mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 163/Kpts-II/2003 tentang
Pengelompokan Jenis Kayu sebagai Dasar Pengenaan Iuran Kehutanan dan buku
Laporan Hasil Cruising (LHC) PT Dasa Intiga. Kerapatan awal tegakan
berdasarkan kelompok jenis dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Kerapatan awal tegakan berdasarkan kelompok jenis dan kelas diameter
Jumlah Pohon (N) dan Volume (V) Pada Kelas Diameter b

Total

≥ 50 cm

Jenis

10–19 cm

20–29 cm

30–39 cm

40–49 cm

N

N

N

N

Meranti

239

36.8

27

11.49

15

14.77

13

21.77

12

44.60

306

129.39

Rimba Campuran

86

14.3

17

6.75

10

8.63

2

3.18

1

5.13

116

37.98

Dilindungi

11

1.7

2

0.98

3

2.37

1

3.15

1

2.81

18

11.02

336

52.8

46

19.30

28

25.80

16

28.10

14

52.53

440

178.40

Seluruh Jenis
b

V

V

V

V

N

V

N

V

N = Pohon/ha dan V = m³/ha

Kawasan hutan tropis dataran rendah kalimantan didominasi oleh jenis-jenis
dari famili Dipterocarpaceae. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang
menunjukan bahwa kelompok meranti mendominasi kelompok jenis lainnya
sebesar 306 pohon/ha, lalu kelompok rimba campuran sebesar 116 pohon/ha, dan
kayu dilindungi yang memiliki dominasi terkecil yaitu 18 pohon/ha. Kelompok
meranti mendominasi kelompok jenis lainnya pada kelas diameter 10–19 cm
sebesar 239 pohon/ha, kelas diameter 40–49 cm sebesar 13 pohon/ha, dan kelas
diameter ≥ 50 cm sebesar 12 pohon/ha. Pada kelas diameter 20–29 cm dan
30–39 cm, kelompok meranti tetap mendominasi jenis lainnya namun dengan nilai
yang tidak jauh berbeda dibandingkan kelompok rimba campuran.

Tipe Kerusakan Tegakan Tinggal
Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu dengan sistem TPTI
adalah kerusakan yang terjadi pada tegakan tinggal yang sebenarnya tidak termasuk
dalam rencana untuk dipanen hasilnya pada waktu pemanenan kayu. Kerusakan
tersebut dapat berupa pohon roboh atau pohon masih berdiri tetapi bagian batang,
banir atau tajuk mengalami kerusakan dan diperkirakan tidak dapat tumbuh lagi
dengan normal. Tipe kerusakan terdiri dari pohon roboh, batang patah, rusak tajuk,
luka batang, serta banir dan akar rusak. Selanjutnya, tipe-tipe kerusakan tersebut
diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahannya yang terdiri dari tingkat
keparahan berat, sedang, dan ringan (Elias 2012).

10
Tipe-tipe kerusakan yang terjadi akibat kegiatan penebangan adalah tipe
rusak tajuk, banir/akar, pecah/patah batang, kulit, dan roboh/condong (Tabel 3).
Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa tipe roboh/condong merupakan tipe
kerusakan terbesar yaitu 131 pohon (35.79%), lalu tipe pecah/patah batang sebesar
103 pohon (28.14%), kulit sebesar 52 (14.21%), tajuk sebesar 47 pohon (12.84%),
serta banir/akar sebesar 33 pohon (9.01%). Menurut Elias (2012), pada berbagai
kasus penelitian mengenai kerusakan tegakan tinggal di Indonesia, tipe kerusakan
terbesar adalah tipe roboh dan batang utama patah. Tipe-tipe kerusakan tersebut
penting untuk diperhatikan karena terdapat pada bagian tubuh pohon yang
menunjang proses pertumbuhan. Jika bagian-bagian tersebut mengalami kerusakan
maka pohon tidak dapat tumbuh secara optimal.
Tabel 3 Jumlah pohon rusak berdasarkan tipe-tipe kerusakan
Tipe
Kerusakan
Tajuk
Banir/akar
Pecah/ Patah
Batang
Kulit
Roboh/
Condong
Total

Jumlah Pohon Rusak (Pohon/ha) Pada Plot Ke1 2
3 4
5 6
7
8 9 10
5 4
3 3
6 2
7
8 3
6
6 3
3 1
3 1
4
4 3
5

Total

Persentase (%)
47
12.84
33
9.01

12

6

9

3

10

3

13

20

6

21

103

28.14

7

5

6

2

5

1

6

7

4

9

52

14.21

19

5

11

3

14

5

17

23

7

27

131

35.79

38 12

47

62 23

68

366

100.00

49 23

32 12

Kerusakan tegakan tinggal berdasarkan tingkat keparahan/besarnya luka
dibedakan menjadi tiga yaitu tingkat keparahan berat, sedang, dan ringan. Tingkat
keparahan/besarnya luka pada plot penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Kerusakan
terbesar terjadi pada tingkat keparahan berat yaitu 63.39%. Tingkat keparahan berat
yang paling banyak terjadi terdapat pada plot 8 dan 10. Hal ini dikarenakan pada
plot tersebut memiliki intensitas penebangan yang tinggi yaitu 10–12 pohon/ha.
Tabel 4 Tingkat keparahan/besarnya luka pada tegakan tinggal
Tingkat
Keparahan
Berat
Sedang
Ringan
Total

Jumlah Pohon Rusak (Pohon/ha) Pada Plot Ke- Total Persen1
2
3
4
5
6
7
8
9 10
tase (%)
34
8 22
5 28
8 32 43 12 40
232
63.39
7 12
8
2
7
4
8 10
5 15
78
21.31
8
3
2
5
3
0
7
9
6 13
56
15.30
49 23 32 12 38 12 47 62 23 68
366
100.00

Kriteria yang digolongkan menjadi tingkat keparahan berat lebih banyak
dibandingkan tingkat keparahan sedang dan ringan (Tabel 5). Kriteria kerusakan
yang paling banyak terjadi adalah roboh/condong sebesar 26.78% dan patah batang
sebesar 18.31% yang tergolong tingkat keparahan berat. Data tersebut menunjukan
bahwa sebagian besar kerusakan tergolong ke dalam tingkat keparahan berat.
Semakin tinggi tingkat keparahan luka, semakin kecil pohon dapat tumbuh kembali
secara normal. Hal ini dapat mengakibatkan berkurangnya tegakan potensial yang
dapat menjadi pohon layak tebang pada periode selanjutnya.

11
Tabel 5 Kriteria tingkat keparahan/besarnya luka pada tegakan tinggal
Tingkat
Keparahan

Berat

Sedang

Ringan

Kriteria
1. Patah Batang
2. Pecah batang
3. Roboh/condong (< 45⁰ dari Permukaan tanah)
4. Rusak tajuk > 50 %
5. Rusak kulit > ½ keliling batang
6. Rusak banir/akar (> ½ rusak/terpotong)
Total
1. Rusak tajuk (30–50%)
2. Rusak kulit ( ¼–½ keliling batang)
3. Rusak banir/akar ( ¼–½ rusak/terpotong)
4. Roboh/condong (> 45⁰ dari permukaan tanah)
Total
1. Rusak tajuk (< 30%)
2. Rusak Kulit (< ¼ keliling batang)
3. Rusak banir/akar (< ¼ rusak/terpotong)
Total
Total kerusakan

Jumlah
%
(Pohon)
67 18.31
36
9.84
98 26.78
9
2.46
8
2.19
14
3.83
232 63.39
17
4.64
19
5.19
9
2.46
33
9.02
78 21.31
21
5.74
25
6.83
10
2.73
56 15.30
366 100.00

Tingkat Kerusakan Tegakan Tinggal
Tingkat Kerusakan Berdasarkan Populasi Pohon
Tingkat kerusakan tegakan tinggal (K) adalah perbandingan antara jumlah
pohon-pohon yang rusak terhadap jumlah pohon-pohon yang sehat sebelum
penebangan (Elias 2012). Kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan secara
keseluruhan berdasarkan populasi pohon dapat dilihat pada Tabel 6.
Rata-rata jumlah pohon rusak adalah 37 pohon/ha dengan intensitas
penebangan sebesar 7 pohon/ha. Hal ini menunjukan bahwa dengan menebang satu
pohon merusak 5.3 pohon/ha. Kondisi tersebut tidak jauh berbeda jika
dibandingkan dengan penelitian Muhdi et al. (2006) yaitu, jumlah rata-rata pohon
rusak per hektar akibat penebangan dengan teknik konvensional sebesar 35.6 pohon
atau dengan menebang satu pohon merusak 5.95 pohon dan penelitian Pradata
(2012) yaitu, dengan menebang satu pohon merusak 5.63 pohon/ha (3.07 pohon/ha
untuk tingkat tiang dan 2.56 pohon/ha untuk tingkat pohon).

12
Tabel 6 Tingkat kerusakan tegakan tinggal berdasarkan populasi pohon
Plot
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Rata rata

Jumlah Pohon (Pohon/ha)
Sebelum
Sesudah
Ditebang
Penebangan
Penebangan
441
388
4
484
456
5
411
372
7
507
491
4
408
362
8
363
346
5
430
375
8
455
383
10
444
415
6
464
384
12
440

396

7

Jumlah Pohon Rusak
(Pohon/ha)
%
49
23
32
12
38
12
47
62
23
68

11.21
4.80
7.92
2.39
9.50
3.35
11.14
13.93
5.25
15.04

37

8.54

Menurut Elias (2012), tingkat kerusakan berdasarkan populasi digolongkan
atas kerusakan berat (K > 50%), kerusakan sedang (K = 25–50%) dan kerusakan
ringan (K < 25%). Berdasarkan penggolongan tersebut, persentase kerusakan
tegakan tinggal pada plot penelitian sebesar 8.54% tergolong tingkat kerusakan
ringan. Hasil penelitian Suhartana dan Idris (1996) dalam Indriyati (2010)
menunjukkan rata-rata besarnya kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan
berkisar antara 5–19.70%.
Tingkat Kerusakan Berdasarkan Kelas Diameter dan Kelompok Jenis
Kerusakan yang diakibatkan kegiatan penebangan memilki nilai yang
beragam pada setiap kelas diameter. Kerusakan tegakan tinggal berdasarkan kelas
diameter tersajikan pada Tabel 7. Persentase kerusakan pohon pada kelas diameter
10–19 cm, 20–29 cm, 30–39 cm, 40–49 cm, dan ≥ 50 cm berturut-turut adalah
56.28%, 20.49%, 16.12%, 6.28%, dan 0.82%. Berdasarkan hasil tersebut, terlihat
bahwa semakin kecil kelas diameter maka tingkat kerusakannya akan semakin
besar dan sebaliknya, semakin besar kelas diameter maka tingkat kerusakannya
akan semakin kecil. Hal ini dikarenakan pohon-pohon berdiameter kecil memiliki
kerapatan yang lebih besar serta lebih mudah tertimpa pohon ditebang. Data
tersebut sesuai dengan penelitian Elias (2012) yang menyatakan bahwa pohonpohon yang paling banyak mengalami kerusakan adalah pohon-pohon berdiameter
kecil yaitu, sebesar 65.2% berasal dari pohon berdiameter 10–19 cm dan 21.2%
berasal dari pohon berdiameter 20–29 cm.

13
Tabel 7 Tingkat kerusakan tegakan tinggal berdasarkan kelas diameter
Plot
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Ratarata
c

Jumlah Pohon Rusak (N)c dan Persentasenya (%)
10–19 cm
20–29 cm
30–39 cm
40–49 cm
N
%
N
%
N
%
N
%
30 81.97
9 24.59
8 21.86
2
5.46
15 40.98
4 10.93
3
8.20
1
2.73
17 46.45
7 19.13
6 16.39
2
5.46
8 21.86
2
5.46
1
2.73
1
2.73
18 49.18
12 32.79
7 19.13
1
2.73
8 21.86
2
5.46
1
2.73
1
2.73
25 68.31
7 19.13
10 27.32
5 13.66
38 103.8
12 32.79
11 30.05
1
2.73
11 30.05
4 10.93
4 10.93
3
8.20
36 98.36
16 43.72
8 21.86
6 16.39
21

56.28

8

20.49

6

16.12

2

6.28

≥ 50 cm
N
%
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1 2.73
2 5.46
0.3

0.82

N = Pohon/ha

Perbedaan kerapatan tegakan pada kelompok jenis mengakibatkan perbedaan
besarnya kerusakan tegakan tinggal yang menimpa kelompok jenis tersebut.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, terlihat bahwa kelompok meranti merupakan
kelompok yang mengalami jumlah kerusakan terbesar dibandingkan dengan
kelompok jenis lainnya. Hal ini dikarenakan kelompok meranti memiliki kerapatan
terbesar dan jenis kayu yang dipanen termasuk kedalam kelompok meranti.
Kerusakan tegakan tinggal berdasarkan kelompok jenis tersajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Tingkat kerusakan tegakan tinggal berdasarkan kelompok jenis
Plot
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Rata rata
d

N = Pohon/ha

Jumlah Pohon Rusak (N)d dan Persentasenya (%)
Kelompok Meranti
Rimba Campuran
N
%
N
%
26
71.04
21
57.38
13
35.52
8
21.86
24
65.57
7
19.13
8
21.86
4
10.93
26
71.04
11
30.05
12
32.79
0
0.00
33
90.16
14
38.25
37
101.09
24
65.57
20
54.64
3
8.20
45
122.95
21
57.38
24

66.67

12

30.87

Kayu Dilindungi
N
%
2
5.46
2
5.46
1
2.73
0
0.00
1
2.73
0
0.00
1
2.73
1
2.73
0
0.00
2
5.46
1

2.73

14

Kerusakan (Pohon/ha)

Intensitas dan Volume Penebangan Terhadap Kerusakan Tegakan Tinggal
Intensitas penebangan adalah jumlah pohon yang ditebang dalam satu hektar.
Menurut Elias (2002) besarnya volume kayu produksi per hektar sangat tergantung
dari intensitas tebang. Makin besar intensitas tebang (pohon/ha), makin tinggi
volume kayu produksi per ha. Demikian pula terhadap kerusakan tegakan tinggal,
makin tinggi intensitas tebang, makin besar kerusakan terhadap vegetasi,
keterbukaan, dan pemadatan tanah.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kecenderungan bahwa semakin besar
intensitas dan volume pohon ditebang maka kerusakannya akan semakin besar.
Kecenderungan tersebut juga terdapat pada penelitian Indriyati (2010) dan Firma
(2012). Kondisi tersebut dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6.
70
60
50
40
30
20
10
0

65

39
Rendah

26

24

19

19
12

9

Plot Penelitian Plot Penelitian
(D ≥ 10 cm)
(D ≥ 20 cm)

6

Sedang
Tinggi

Indriyanti
(D ≥ 20 cm)

Intensitas Penebangan

Gambar 5 Hubungan intensitas penebangan terhadap kerusakan
tegakan tinggal pada Plot Penelitian1 dan Indriyanti (2010)2
Pada Gambar 5, data pada plot penelitian menunjukan bertambahnya jumlah
kerusakan seiiring dengan semakin besarnya intensitas penebangan, baik pada
pohon berdiameter ≥ 10 cm atau pun hanya pohon berdiameter ≥ 20 cm. Pada
intensitas penebangan rendah, sedang, dan tinggi besarnya kerusakan tegakan
tinggal pohon berdiameter ≥ 10 cm berturut-turut adalah 24 pohon/ha, 39 pohon/ha,
dan 65 pohon/ha. Sedangkan pada pohon berdiameter ≥ 20 cm, besarnya kerusakan
berturut-turut adalah 9 pohon/ha, 19 pohon/ha, dan 26 pohon/ha. Begitu pula pada
penelitian Indriyanti (2010), yang menunjukan bertambahnya jumlah kerusakan
seiiring dengan semakin besarnya intensitas penebangan. Besarnya jumlah
kerusakan tersebut pada intensitas rendah, sedang, tinggi adalah 6 pohon/ha, 12
pohon/ha, dan 19 pohon/ha.

1
2

Plot penelitian, intensitas penebangan rendah 4–6 pohon/ha, sedang 7–9 pohon/ha, tinggi 10–12 pohon/ha
Indriyanti (2010), intensitas penebangan rendah 3–6 pohon/ha, sedang 7–10 pohon/ha, tinggi 11–13 pohon/ha

Kerusakan
(Pohon/ha)

15

70
60
50
40
30
20
10
0
0

20 40 60 80 100 120 140 160
Volume pohon ditebang (m³/ha)

Kerusakan
(Pohon/ha)

(a)3
70
60
50
40
30
20
10
0
0

20 40 60 80 100 120 140 160
Volume pohon ditebang (m³/ha)

Kerusakan
(Pohon/ha)

(b)4
70
60
50
40
30
20
10
0
0

20 40 60 80 100 120 140 160
Volume pohon ditebang (m³/ha)

(c)5
Gambar 6 Hubungan volume pohon ditebang terhadap kerusakan
tegakan tinggal pada Plot Penelitian (a) dan (b) dan
pada Firma (2012) (c)
Data pada plot penelitian menunjukan semakin bertambahnya jumlah
kerusakan seiring dengan semakin besarnya volume pohon ditebang baik pada
pohon berdiameter ≥ 10 cm atau pun hanya pohon berdiameter ≥ 20 cm. Pada plot
penelitian, volume pohon ditebang sebesar 8.76–39.56 m³/ha mengakibatkan
kerusakan pada pohon berdiameter ≥ 10 cm sebesar 12–68 pohon/ha dan pada
pohon berdiameter ≥ 20 cm sebesar 4–28 pohon/ha. Begitu pula pada penelitian
Firma (2012), volume pohon ditebang sebesar 27.05–157.24 m³/ha mengakibatkan
kerusakan pohon berdiameter ≥ 20 cm sebesar 19–42 pohon/ha. Sehingga, ketiga
grafik tersebut menunjukan jumlah kerusakan tegakan tinggal cenderung menjadi
lebih besar seiring dengan semakin besarnya volume pohon ditebang (Gambar 6).

Plot penelitian dengan diameter ≥ 10 cm, 4Plot penelitian dengan diameter ≥ 20 cm, 5Frensi (2012)
dengan diameter ≥ 20 cm
3

16
Kerapatan Tegakan Setelah Penebangan
Kerusakan pada tegakan tinggal menyebabkan penurunan jumlah kerapatan
tegakan dibandingkan sebelum penebangan (Tabel 9). Nilai penurunan tersebut
adalah sebesar 44 pohon/ha atau 10 % dari kerapatan awal tegakan sebesar 440
pohon/ha. Menurut Departemen Kehutanan (1993), keberhasilan sistem silvikultur
TPTI sangat tergantung dari jumlah dan kualitas tegakan yang ditinggalkan.
Tegakan tersebut merupakan pohon inti dari jenis komersil dan jenis niagawi lain
berdiameter ≥ 20 cm dan berjumlah minimal 25 pohon/ha. Meskipun terdapat
penurunan jumlah kerapatan, kondisi kerapatan tegakan setelah penebangan
menurut kelas diameter membentuk huruf J terbalik seperti kondisi sebelum
penebangan (Gambar 7).
Tabel 9 Kerapatan tegakan sebelum dan setelah penebangan
Jumlah pohon (Pohon/ha) Pada Kelas Diameter (cm)
Plot

Sebelum Penebangan

Setelah Penebangan

10–19

20–29

30–39

40–49

≥ 50

Total

10–19

20–29

30–39

40–49

≥ 50

Total

1

356

39

25

11

10

441

326

30

17

9

6

388

2

368

50

31

20

15

484

353

46

28

18

11

456

3

320

38

24

13

16

411

303

31

18

11

9

372

4

376

68

31

19

13

507

368

66

30

17

10

491

5

324

38

23

11

12

408

306

26

16

10

4

362

6

276

35

27

17

8

363

268

33

26

15

4

346

7

296

72

30

20

12

430

271

65

20

15

4

375

8

340

43

36

18

18

455

302

31

25

17

8

383

9

332

50

33

17

12

444

321

46

29

13

6

415

10

372

30

26

16

20

464

336

14

18

9

2

379

Rata
-

336

46

28

16

14

440

315

39

23

13

6

396

Kerapatan (Pohon/ha)

rata

400
300
200

Sebelum
penebangan

100

Setelah
penebangan

0
10 -19 20 -29 30 - 39 40 - 49 ≥ 50
cm
cm
cm
cm
cm
Kelas Diameter

Gambar 7 Potensi tegakan sebelum dan setelah penebangan

17

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kerusakan tegakan tinggal berdasarkan tipe kerusakan yang paling banyak
rusak adalah tipe roboh/condong sebesar 35.79% dan tipe pecah/patah batang
sebesar 28.14%. Berdasarkan tingkat keparahan, kerusakan terbesar terjadi pada
tingkat keparahan berat sebesar 63.39%.
Tingkat kerusakan tegakan tinggal pada pohon berdiameter ≥ 10 cm akibat
penebangan sebesar 8.54% tergolong tingkat kerusakan ringan. Pohon yang paling
banyak mengalami kerusakan adalah pohon berdiameter 10–19 cm sebesar 56.28%
dan kelompok jenis meranti sebesar 66.67%. Semakin besar intensitas dan volume
pohon ditebang maka jumlah kerusakan tegakan tinggal cenderung akan semakin
besar.

Saran
Peta sebaran pohon dan peningkatan pengawasan oleh mandor perlu
diterapkan pada kegiatan penebangan dalam menentukan arah rebah sehingga dapat
meminimalisir kerusakan pada tegakan tinggal. Pengayaan tanaman perlu dilakukan
khususnya pada jenis meranti untuk mempertahankan produktivitas pada siklus
penebangan selanjutnya. Perusahaan juga dapat memberikan insentif kepada
operator chainsaw yang dapat meminimalisir kerusakan tegakan tinggal. Perlu
dilakukan penelitian serupa dengan cakupan yang lebih luas yaitu dampak kegiatan
pemanenan terhadap kerusakan tegakan tinggal dengan tipe hutan sejenis ataupun
berbeda.

DAFTAR PUSTAKA
Angelsen A. 2010 Mewujudkan REDD+ strategi nasional dan berbagai pilihan
kebijakan. Bogor (ID): CIFOR.
Budiarta S. 2001. Pengamatan tegakan tinggal setelah penebangan di PT Inhutani II,
Sub Unit Malinau, Kalimantan Timur [laporan magang]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Departemen Kehutanan. 1993. Pedoman Petunjuk Teknis Tebang Pilih Tanam
Indonesia (TPTI) Pada Hutan Alam Daratan. Jakarta (ID): Departemen
Kehutanan Republik Indonesia.
Elias. 2002 . Rasionalisasi kegiatan logging dan kondisi minimum struktur tegakan
yang boleh ditebang dalam pengelolaan hutan alam tropika. Jurnal Teknologi
Hasil Hutan XV(1).
Elias. 2012. Pembukaan Wilayah Hutan. Bogor (ID): IPB Press.

18
Firma F. 2012. Emisi karbon potensial akibat pemanenan kayu secara mekanis di
hutan alam tropis (kasus konsesi hutan PT. Salaki Summa Sejahtera, Pulau
Siberut, Provinsi Sumatera Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Indriyati IN. 2010. Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan hutan di PT.
Salaki Suma Sejahtera Pulau Siberut, Sumatera Barat [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Muhdi. 2001. Studi kerusakan akibat pemanenan kayu dengan teknik pemanenan
kayu berdampak rendah dan konvensional di hutan alam (studi kasus di areal
HPH PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Muhdi, Elias, Manan. 2006. Dampak pemanenan kayu berdampak rendah dan
konvensional terhadap kerusakan tegakan inggal di hutan alam (studi kasus di
areal HPH PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat). Jurnal manajemen Hutan
Tropika No.3.
Muhdin. 2012. Dinamika struktur tegakan hutan tidak seumur untuk pengaturan
hasil hutan kayu berdasarkan jumlah pohon (kasus pada areal bekas tebangan
hutan alam hujan tropika dataran rendah tanah kering di Kalimantan) [disertasi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Pradata AA. 2012. Kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan pohon di PT.
Membramo Alasmandiri, Provinsi Papua [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
PT Dasa Intiga. 2012. Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam
Hutan Alam Pada Hutan Produksi Berbasis Inventarisasi Hutan Menyeluruh
Berkala (IHMB) Periode Tahun 2012 s/d 2021. Kalimantan Tengah (ID): PT
Dasa Intiga.
PT Dasa Intiga. 2013. Buku Laporan Hasil Cruising RKT UPHHK 2013.
Kalimantan Tengah (ID): PT Dasa Intiga.
Sitanggang MM. 2011. Perbandingan besarnya kerusakan tegakan tinggal pada
pemanenan kayu menggunakan metode reduce impact logging dan conventional
logging di IUPHHK PT. Ratah Timber [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Soerianegara, Indrawan. 2012. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): IPB Press.
Suparto RS. 1999. Bunga Rampai Pemanenan Kayu. Bogor (ID): IPB Press.
Walpole RE. 1997. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. Sumantri B, Penerjemah.
Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Introduction to
Statistic.
Wijayanti, A. 2013. Kerusakan tingkat tiang dan pohon akibat penebangan
intensitas rendah di IUPHHK-HA PT. Sari Bumi Kusuma Kalimantan Tengah
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

19
Lampiran 1 Daftar nama jenis pohon pada plot penelitian
Nama
Nama Daerah
Perdagangan
Kelompok Meranti
Meranti
Meranti
Balau
Balau
Keruing
Keruing
Kapur
Kapur
Nyatoh
Nyatoh
Kelompok Rimba Campuran
Bintangur
Nyamplung
Medang
Sintuk
Unknown
Doho
Terentang
Tulang
Unknown
Mahadirang
Jabon
Jabon
Selanking
Tampang
Gerunggang
Kemutul
Mendarahan
Kumpang
Unknown
Sorak
Laban
Laban
Papung
Puntung
Makaranga
Kakat
Kempas
Bangaris
Unknown
Buntok
Kelompok Dilindungi
Tengkawang
Tengkawang
Rengas
Rengas
Ulin
Ulin

Nama Ilmiah

Famili

Shorea spp
Shorea leavis
Dipterocarpus spp
Dryobalanops spp
Palaqium spp

Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae
Sapotaceae

Callophyllum soulatri
Unknown
Unknown
Campnosperma macrophylla
Shorea spp
Anthochepalus cadamba
Artocarpus dadah
Cratoxylum spp
Myristica maxima
Unknown
Vitex pubescens
Dyera lowii
Macaranga spp
Koompassia malaccensis
Unknown

Gutiferaceae
Unknown
Unknown
Anacardiaceae
Dipterocarpaceae
Rubiaceae
Moraceae
Dipterocarpaceae
Myristicaceae
Unknown
Verbenaceae
Apocynaceae
Euphorbiaceae
Caesalpinaceae
Unknown

Shorea gybertsiara
Gluta aptera
Eusideroxylon zwageri

Dipterocarpaceae
Anacardiaceae
Lauraceae

20
Lampiran 2 Peta plot penelitian

Lampiran 3 Gambar tipe – tipe kerusakan tegakan tinggal

Tipe rusak akar

Tipe condong

Tipe rusak kulit

Tipe patah batang

Tipe roboh

Tipe rusak tajuk

21

RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 5 September 1992 dari pasangan Bapak
Fasikhin dan ibu Salimah. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis
lulus tahun 2007 dari SMP Negeri 30 Jakarta lalu melanjutkan ke SMA Negeri 13
Jakarta dan lulus pada tahun 2010. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai
mahasiswa IPB melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN) dengan mayor Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan.
Selama menjadi mahasiswa Fakultas Kehutanan, penulis mengkuti Praktek
Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di jalur Pangandaran-Sawal tahun 2012,
praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat tahun 2013,
dan tahun 2014 penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di IUPHHKHA PT. Dasa Intiga, Kalimantan Tengah. Selama mengikuti perkuliahan, penulis
aktif di Himpunan Profesi Forest Management Student Club (FMSC) divisi
Keprofesian, menjadi asisten praktikum Ilmu Ukur Tanah dan Pemetaan Wilayah
tahun ajaran 2012/2013 dan Analisis Biaya Pengelolaan Hutan tahun ajaran
2014/2015, serta mengikuti berbagai kepanitiaan seperti Bina Corps Rimbawan
(BCR), Ecological Social Mapping (ESM), dan Bina Hutan rakyat (BHR).
Dalam memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan
skripsi dengan judul Tipe dan Tingkat Kerusakan Tegakan Tinggal akibat
Penebangan Pohon di Hutan Dataran Rendah Tanah Kering dibimbing oleh Bapak
Dr Ujang Suwarna SHut, MScFTrop.