Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau untuk Mereduksi Polusi Udara (CO2) di Kota Cibinong
ANALISIS SPASIAL RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK
MEREDUKSI POLUSI UDARA (CO2) DI KOTA CIBINONG
AJAT ROCHMAT JATNIKA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul Analisis Spasial
Ruang Terbuka Hijau untuk Mereduksi Polusi Udara (CO2) di Kota Cibinong
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Ajat Rochmat Jatnika
NRP. P052094104
RINGKASAN
AJAT ROCHMAT JATNIKA. Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau untuk
Mereduksi Polusi Udara (CO2) di Kota Cibinong. Dibimbing oleh ALINDA F. M.
ZAIN dan ENDES N. DAHLAN.
Ruang Terbuka Hijau mempunyai fungsi salah satunya adalah mengurangi
kadar karbondioksida di udara. Kadar karbondioksida secara umum meningkat
seiring dengan peningkatan gas buang kendaraan bermotor dan perubahan lahan
yang disebabkan oleh kegiatan industri, permukiman, atau jasa lainnya. Salah satu
kota, yang mengalami peningkatan kegiatan industri, permukiman, dan jasa, serta
adanya peningkatan kadar karbondioksida adalah Kota Cibinong. Sari et al.
(2007) melakukan penelitian bahwa kondisi kualitas udara di Kota Cibinong
mengalami penurunan bahkan telah terjadi hujan asam dan Badan Lingkungan
Hidup Kabupaten Bogor mencatat pada kurun waktu 2008 sd 2010 telah terjadi
peningkatan kadar emisi karbondioksida di pusat kota yang cukup tinggi.
Tujuan penelitian adalah (1) menganalisis daya serap ruang terbuka hijau
terhadap karbondioksida di Kota Cibinong berdasarkan perubahan lahan dari
tahun 2000 ke tahun 2010, (2) menganalisis jumlah karbondioksida yang
dihasilkan oleh gas buang kendaraan bermotor pada setiap ruas jalan per
waktu,(3) memberikan arahan RTH secara spasial, khusunya pada jalur hijau jalan
utama di Kota Cibinong untuk mengurangi kadar CO2 akibat emisi gas buang
kendaraan bermotor. Pendekatan studi menekankan pada dua hal analisis spasial
RTH yaitu analisis perubahan guna lahan kota (poligon) dan analisis ruas jalan
(line). Hasil penelitian menunjukan bahwa dalam satu dekade (tahun 2000 dan
2010), daya serap ruang terbuka hijau terhadap karbondioksida mengalami
penambahan yaitu 145.195 ton/ha/tahun. Hal ini terjadi karena banyak alih fungsi
lahan dari tanah kosong/terbuka/tegalan ke lahan perkebunan/kebun, yang
memiliki fungsi daya serap karbondioksida cukup baik. Tetapi, dilihat dari pola
kecenderungan perubahan lahan, penggunaan lahan permukiman mengalami
peningkatan dari 2.268,88 Ha (35,78 %) ke 3.558,22 Ha (56,12 %) sehingga jika
pola perubahan fungsi lahan tersebut berlanjut maka ketersediaan Ruang Terbuka
Hijau akan berkurang.
Pada ruas-ruas jalan utama yang diteliti (10 ruas jalan), kadar
karbondioksida yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor cukup tinggi, yaitu
antara 1 - 17 ton/hari. Ruas jalan yang memiliki fungsi jalan arteri primer dan
melayani pergerakan regional (jalan Raya Bogor - Jakarta) memiliki kadar
karbondioksida paling tinggi, sedangkan ruas jalan dengan fungsi melayani
pergerakan lokal dalam kota memiliki kadar karbondioksida rendah. Kontribusi
tingginya kadar karbondioksida berasal dari jenis kendaraan non Bus/Truk untuk
semua ruas jalan. Hasil tumpang susun kadar karbondioksida tiap ruas jalan
dengan penggunaan lahan tahun 2010, maka semakin terlihat bahwa di kawasan
permukiman akan menunjukan penilaian kualitas udara yang kurang baik, tetapi
pada kawasan non permukiman akan menunjukan kualitas udara yang cukup baik.
Key words : Ruang Terbuka Hijau, Tingkat Kadar Karbondioksida, Perubahan
Lahan
SUMMARY
AJAT ROCHMAT JATNIKA. Spatial Analysis of Green Open Space to Reduce
Air Pollution (CO2) in Cibinong City. Supervised by ALINDA F. M. ZAIN and
ENDES N. DAHLAN.
Green open space among others have a function to reduce the level of
carbondioxide in the air. Carbondioxide levels are generally increased due to an
increase in motor vehicle exhaust gas emissions and land use changes, such as
changes in open land into industrial, or agricultural land turned into housing, etc.
Cibinong City in this decade had increased levels of carbondioxide caused by the
developmnet of a growing city.
Research purposes are (1) analyze changes of green open space and its
impact on the ability to absorb carbondioxide, (2) analyze the amount of
carbondioxide produced by motor vehicle exhaust gas emissions for each road
segment and provide direction spatially green open space. The results showed that
within a decade (2000 and 2010), the absorption of green open space which has
the addition of carbon dioxide to 145 195 tonnes / ha / year. This happens because
many land-uses of vacant land / open / moor land to farm / garden, which has a
carbon dioxide absorption function quite well. However, judging from the pattern
of land use change tendency, residential land use increased from 2268.88 ha
(35.78%) to 3558.22 ha (56.12%), so if the pattern of land use change continues,
the availability of green open space will reduced. On the main road sections
studied (10 roads), the levels of carbon dioxide produced by motor vehicles is
quite high, ie between 1-17 tons / day.
Roads that have a primary arterial road function and serve the regional
movement (the Bogor Raya - Jakarta) has the highest carbon dioxide levels, while
the road to serve the function of a local movement in the city have low carbon
dioxide levels. Contribute to high levels of carbon dioxide derived from the type
of non-bus vehicles / trucks for all roads. When the carbondioxide emission
strength map is overlayed with the land use map then we have the conclusion that
the roads that have a high volume of vehicle movement will have a high
carbondioxide levels, but not mean low air quality because it depends on the
existence of protective trees as green belt or land use.
Key words : green open spaces, carbondioxide emission levels, landuse changes
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS SPASIAL RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK
MEREDUKSI POLUSI UDARA (CO2) DI KOTA CIBINONG
AJAT ROCHMAT JATNIKA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
HALA~PENGESAHANyutsrponmlkjihgfedcbaZUTSRPNMLKJIHFDCA
Judul tesis
Analisis
Spasial
Ruang
Terbuka
Hijau untuk Mereduksi
Polusi Udara (C02) di Kota Cibinong
Nama
Ajat Rochmat Jatnika
NRP
P052094104rURPNIGA
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Alinda F. M. Zain
Anggota
Ketua
Diketahui
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS
Dr.Ir. Dahrul Syah, M. Sc. Agr
Tanggal Ujian: 7 Pebruari 2014
Tanggal Lulus:
19
U
A G
'01&
Penguji luar komisi pada ujian tesis: Dr. Ir. Bambang Sulistiyantara
PRAKATA
Pertama dan utama, kami panjatkan puji syukur kehadirat Alloh SWT,
yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini bisa
diselesaikan. Tema yang dipilih pada penelitian ini adalah Ruang Terbuka Hijau
(RTH), dengan judul Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau untuk Mereduksi Polusi
Udara (CO2) di Kota Cibinong.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Alinda Fitriany Malik
Zain dan Bapak Dr. Ir. Endes Nurfilmarasa Dachlan selaku pembimbing, serta
Bapak Dr Ir Bambang Sulistyantara dan Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina Satyawan
selaku penguji yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada teman-teman se-angkatan dan staf administrasi di PS
PSL IPB, yang telah membantu selama penyelesaian tesis ini. Terkhir, ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada istri, anak-anak, serta seluruh keluarga, atas
segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor,
Agustus 2014
Ajat Rochmat Jatnika
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR LAMPIRAN
iii
BAB I PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
Kerangka Pemikiran
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
1
1
3
5
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Pengertian Ruang Terbuka Hijau
Klasifikasi RTH
Fungsi RTH dalam Penyerapan Kadar CO2
Peran Jalur Hijau Jalan di Perkotaan.
Menghitung Kadar CO2 di Jalan
Penggunaan Lahan
Sistem Informasi Geografis dalam Analisis Ruang Terbuka Hijau
Penerapan SIG dalam Analisis Perubahan Lahan
Indek Vegetasi dalam Penentuan Skor Fungsi Ekologis Penggunaan Lahan
Penerapan SIG dalam sebaran karbondioksida tiap ruas jalan dan arahan RTH
6
6
6
6
7
9
9
11
12
12
13
13
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Rancangan Penelitian
Bahan dan Alat Penelitian
Metode Pengambilan dan Pengolahan Data
Metode Analisis Data
14
14
17
18
18
19
BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
Letak geografis dan administrasi wilayah
Topografi dan kemiringan lereng
Kependudukan
Transportasi
Prasarana Jalan
Volume lalu lintas
Ketersediaan ruang terbuka hijau publik
22
22
24
24
25
25
26
27
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
Perubahan Penggunaan Lahan dari Tahun 2000 – 2010
28
28
Pola Perubahan Penggunaan Lahan
Daya Serap Ruang Terbuka Hijau terhadap Karbondioksida
Kadar Emisi CO2 di Ruas Jalan Utama di Kota Cibinong
Hasil Overlay Peta Kekuatan Emisi CO2 dengan Peta Penggunaan Lahan
29
33
33
35
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
38
38
38
DAFTAR PUSTAKA
39
LAMPIRAN
40
RIWAYAT HIDUP
51
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9
Tabel 10
Tabel 11
Tabel 12
Tabel 13
Tabel 14
Tabel 15
7
Klasifikasi ruang terbuka hijau
Daya serap ruang terbuka hijau terhadap kadar CO2
Ekivalensi kendaraan penumpang untuk jalan 2/2 UD dan 4/2 D
Faktor emisi kendaraan bermotor
Matrik rancangan penelitian
Skor fungsi ekologis tutupan lahan
Matrik deferensial tumpang susun penggunaan lahan
dengan kadar CO2
Wilayah administratif Kota Cibinong
Panjang ruas jalan di Kota Cibinong (10 ruas terpilih)
Jumlah volume lalu lintas harian sesuai jenis kendaraan
pada 10 ruas jalan di Kota Cibinong
Ketersediaan RTH publik di Kota Cibinong
Perubahan lahan dari tahun 2000 dan tahun 2010
Pola perubahan lahan tahun 2010
Tingkat daya serap ruang terbuka hijau pada tahun 2000 dan
tahun 2010
kekuatan emisi CO2 per ruas jalan (ton/hari)
10
11
17
20
21
23
26
27
28
29
30
33
35
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3
Gambar 4
Gambar 5
Gambar 6
Gambar 7
Gambar 8
Kerangka pemikiran
Hasil pengujian kualitas udara ambient parameter CO2
di Kota Cibinong tahun 2008 - 2010
Lokasi Kota Cibinong (lokasi penelitian)
Lokas ruas jalan yang diteliti (lokasi penelitian)
Peta penggunaan lahan tahun 2000
Peta penggunaan lahan tahun 2010
Kadar emisi karbondioksida tiap ruas jalan
Peta analisis spasial rth pada ruas jalan
Halaman
3
5
15
16
22
31
32
34
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Arahan spasial ruang terbuka hijau sepanjang ruas jalan utama di
Kota Cibinong
Lampiran 2 Volume lalu lintas hasil traffic counting
40
42
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga
mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat luas. Pertumbuhan perekonomian akan
meningkatkan peranan sektor transportasi dalam menunjang pencapaian sasaran
pembangunan dan hasil-hasilnya; sebaliknya, fungsi sektor transportasi akan
merangsang peningkatan pembangunan ekonomi karena antara fungsi sektor
transportasi dan pembangunan ekonomi mempunyai hubungan kausal/timbal balik
(Tamin 2000). Hubungan kausal tersebut akan mendorong tumbuhnya pembangunan di
sektor perindustrian dan turunannya, yang merupakan cikal bakal terbentuknya kawasan
perkotaan. Selain menimbulkan dampak positif bagi perkembangan kota, hubungan
kausal tersebut akan memberikan dampak negatif yang luar biasa terhadap kehidupan
masyarakat perkotaan itu sendiri apabila dalam perencanaan kota nya mengabaikan
daya dukung lingkungan.
Isu yang berkembang dan terus menjadi perhatian dunia dari dampak negatif
pembangunan adalah pemanasan global (global warming). Pemanasan global atau
meningkatnya suhu permukaan bumi, disebabkan oleh kenaikan intensitas Efek Rumah
Kaca (ERK), yang dipicu oleh meningkatnya kadar CO2 dalam atmosfer (Sumarwoto
2004). Pembakaran bahan bakar fosil, yang sebagian besar dihasilkan oleh kegiatan
kendaraan bermotor dan sebagian kecil oleh industri, telah meningkatkan efek rumah
kaca alami yang menyebabkan terjadinya pemanasan global. Peningkatan kadar CO2
merupakan gas rumah kaca utama (Sutamiharja 2009). Ekosistem perkotaan merupakan
interaksi antara manusia dengan proses ekologi yang sangat komplek (Alberti 2009).
Kegiatan manusia akan memicu perubahan lingkungan sehingga lingkungan akan
beradaptasi mencari keseimbangan. Keberadaan ruang terbuka hijau di perkotaan
merupakan salah satu cara untuk menjaga keseimbangan ekosistem perkotaan tersebut,
baik sistem hidrologi dan mikroklimat maupun ekosistem lainnya. Ruang terbuka hijau
sangat diperlukan untuk meningkatkan ketersediaan air dan udara bersih bagi
masyarakat serta menciptakan estetika (Joga dan Ismaun 2011).
Keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH), akan membantu mengurangi kadar
CO2 di udara. Penelitian daya serap ruang terbuka hijau dalam bentuk pohon terhadap
kadar CO2 memiliki nilai 569,07 ton/ha/thn dibadingkan dengan daya serap ruang
terbuka hijau dalam bentuk padang rumput terhadap kadar CO2, hanya 12 ton/ha/thn
(Adiastari 2011). Penelitian lainnya menunjukan bahwa pohon Trembesi (Ki Hujan)
dapat menyerap CO2 sebesar 28,5 ton per pohon per tahun (Dahlan 2013). Beberapa
penelitian tersebut telah menunjukan bahwa ruang terbuka hijau, baik dalam tutupan
lahan maupun pohon tunggal dapat menyerap kadar CO2.
Kerangka Pemikiran
Sistem transportasi dibentuk oleh tiga sub sistem yaitu sistem kegiatan atau guna
lahan, sistem jaringan jalan, dan sistem pergerakan (Tamin 2002). Perkembangan suatu
kota akan dipengaruhi oleh sistem kegiatan perkotaan. Kegiatan perkotaan, baik berupa
kegiatan industri, jasa, perdagangan, permukiman, dan fasilitas penunjang perkotaan,
akan semakin berkembang apabila didukung oleh sistem jaringan jalan yang memadai.
2
Keberadaan sistem jaringan jalan yang memadai akan membentuk sistem pergerakan
dari suatu kegiatan ke kegiatan lainnya. Dalam skala kota, sistem pergerakan tersebut
akan memperpendek jarak tempuh antar kegiatan sehingga memicu perubahan ruang
karena permintaan ruang yang semakin dinamis. Perubahan ruang semakin tinggi
apabila sistem pergerakan regional, nasional, bahkan internasional, dijadikan bahan
perhitungan yang akan membebani tingginya pergerakan dalam kota. Oleh karena itu,
perkembangan kota tersebut akan mendorong peningkatan perubahan lahan dari tidak
terbangun menjadi terbangun dan peningkatan jumlah kendraan bermotor sebagai
sarana pergerakan.
Perubahan lahan di perkotaan pada umumnya akan mengalihfungsikan lahanlahan tidak terbangun menjadi lahan-lahan perumahan, industri, dan fasilitas penunjang
perkotaan lainnya. Konsekuensi logis dari perubahan tersebut adalah berkurangnya
ruang terbuka hijau di perkotaan. Secara ekologis, keseimbangan alam dalam menjaga
kualitas lingkungan hidup perkotaan pun akan terganggu. Berkurangnya ruang terbuka
hijau akan mengurangi peran kota dalam menjaga ekosistem perkotaan sehingga
berdampak pada masalah lingkungan, baik meningkatnya suhu udara, masalah
hidrologi, dan penurunan kualitas udara perkotaan
Peningkatan perubahan lahan tersebut akan mendorong tinggi pula pergerakan
penduduk menggunakan kendaraan bermotor dari pusat kegiatan yang satu ke pusat
kegiatan lainnya. Adanya jaringan jalan dan teknologi transportasi memudahkan
pergerakan penduduk tersebut. Konsekuensi logis dari pergerakan kendaraan bermotor
tersebut adalah munculnya gas buang yaitu salah satunya CO2 yang merupakan gas
rumah kaca utama dalam memberikan kontribusi pada pemanasan global. Untuk
mengetahui keberadaan konsentrasi CO2 tersebut maka perlu dilihat secara spasial
melalui besarnya arus lalu lintas yang melintasi jaringan jalan. Beban jalan terhadap
kadar CO2 akan terlihat secara spasial per waktu sehingga kebutuhan ruang terbuka
hijau, khususnya jalur hijau jalan dapat terlihat.
Kebutuhan jalur hijau jalan dari keberadaan konsentrasi CO2 tidak bisa hanya
dilihat dari emisi yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor saja, tetapi ada beberapa
faktor lain yang harus dilihat seperti kebutuhan makhluk hidup akan CO2, kegiatan
industri, permukiman, dan penggunaan lahan lainnya. Komposisi ruang untuk ruang
terbuka hijau atau tegakan pohon di tutupan lahan permukiman akan lebih kecil
dibandingkan dengan tutupan lahan non permukiman. Proses tumpang susun faktor
tersebut akan memberikan arahan pada ruas jalan atau bagian ruas jalan mana saja yang
memerlukan penanganan jalur hijau atau ruang terbuka hijau.
3
Sistem Perkembangan
Kota
- Sistem Kegiatan
- Sistem Jaringan Jalan
- Sistem Pergerakan
Meningkatnya
Lahan Terbangun di
Kota Cibinong
Skala Kota
Analisis
Spasial
Peningkatan
Pergerakan
Kendaraan
Bermotor
Pola
Perubahan
lahan (2000 s.d
2010)
Peningkatan Kadar
Karbondioksida pada
Jaringan Jalan
Peningkatan Kadar
Karbondioksida oleh
Kegiatan Industri
Penurunan Fungsi (daya
serap) RTH thp CO2
Tutupan Lahan
Tahun 2010
Buruknya Polusi
Udara (kadar CO2)
Distribusi
Spasial
Arahan
Spasial RTH
bukan lingkup studi
Gambar 1 Kerangka pemikiran
Perumusan Masalah
Salah satu kota satelit yang akan berkembang pesat adalah Kota Cibinong.
Secara geografis, Kota Cibinong, sebagai Ibukota Kabupaten Bogor, terletak diantara
dua kutub pertumbuhan yaitu DKI Jakarta dan Kota Bogor dan sekitarnya, serta menjadi
gerbang pergerakan penduduk dari DKI Jakarta ke arah Selatan pulau Jawa. Posisi Kota
4
Cibinong tersebut serta ditunjang dengan infrastruktur jalan yang memadai,
mengakibatkan pergerakan kendaraan barang atau penumpang yang melewati Kota
Cibinong menjadi tinggi, baik untuk kepentingan industri, permukiman, maupun
pariwisata. Selain dampak pertumbuhan ekonomi yang secara positif akan
mengembangkan Kota Cibinong, apabila tidak dikelola dengan baik maka dampak
lingkungan hidup pun tentunya akan tinggi pula. Pencemaran udara, air, maupun tanah
akan terjadi seiring perkembangan Kota Cibinong.
Pertumbuhan kota tersebut mendorong semakin berkurangnya lahan non
terbangun (ruang terbuka hijau) di Kota Cibinong. Pada Tahun 2000, Pemerintah
Kabupaten Bogor telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2000 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor, dengan salah satu fungsinya adalah
mengendalikan perubahan lahan non terbangun. Kenyataanya, perubahan lahan non
terbangun semakin banyak terjadi dalam kurun waktu tahun 2000 sampai dengan tahun
2010. Penebangan pohon di pinggir jalan acap kali sering dilakukan karena kepentingan
pengembangan jaringan jalan atau alih fungsi kegiatan dari hunian menjadi komersil,
yang membutuhkan ruang parkir cukup luas. Perubahan ruang terbuka hijau, baik
berupa taman maupun jalur hijau jalan, akan berdampak pada tingginya polusi udara
pada titik tertentu.
Penelitian hujan asam, yang tidak terkait langsung dengan peran CO2 karena
hujan asam lebih didominasi pengaruh senyawa lain selain CO2, di empat titik lokasi
yaitu Kebun Raya Bogor, Ciawi, Megamendung, dan Kota Cibinong (Sari et al. 2007)
menunjukan Kota Cibinong memiliki nilai pH rata-rata paling rendah sehingga di
kawasan ini telah terjadi hujan asam. Apabila air hujan asam tersebut jatuh ke badan air
maka air permukaan pun akan bersifat asam sehingga membahayakan ekosistem
perairan tersebut. Hal ini terjadi karena penggunaan lahan Kota Cibinong terdapat
daerah industri, kegiatan transportasi yang tinggi dan pusat permukiman, serta
ketersediaan Ruang Terbuka Hijau di Kota Cibinong lebih sedikit dibandingkan dengan
daerah Ciawi, daerah sekitar Kebun Raya dan daerah sekitar Megamendung. Walaupun
konsentrasi karbondioksida di udara mempunyai pengaruh kecil sebagai pemicu
terjadinya hujam asam, penelitian tersebut menunjukan bahwa kualitas udara di Kota
Cibinong mendekati kondisi kurang baik.
Sejak tahun 2005, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor telah mencatat
kualitas udara di pusat Kota Cibinong bahwa beberapa parameter kualitas lingkungan
menunjukan telah melebihi baku mutu lingkungan (BML) seperti partikel debu,
sedangkan parameter lainnya (seperti CO2, dll) dari tahun ke tahun menunjukan
peningkatan yang signifikan. Secara khusus, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten
Bogor mencatat bahwa kadar CO2 di Pusat Kota Cibinong menunjukan bahwa pada
titik pemantauan jalan raya di sekitar Pasar Cibinong pada tahun 2008 sampai dengan
tahun 2010, konsentrasi CO2 sebesar antara 540 ppm sampai dengan 904 ppm. Nilai
konsentrasi CO2 tersebut mungkin masih perlu dikritisi karena dianggap terlalu besar,
terutama metode survainya karena penyimpanan alat ukur saat survai sangat
menentukan kualitas data yang dihasilkan, tetapi faktanya menunjukan ada peningkatan
konsentrasi CO2 merupakan bukti ada penurunan kualitas lingkungan dari parameter
konsentrasi CO2. Konsentrasi CO2 yang sangat besar tersebut merupakan peringatan
bagi masyarakat Kota Cibinong, khususnya Pemertintah Daerah untuk segera mengatasi
masalah lingkungan ini, baik terganggunya ekosistem perairan, kesehatan, pemanasan
global, dan dampak negatif lainnya yang mengganggu kehidupan masyarakat perkotaan.
5
Gambar 2 di bawah ini menjelaskan kadar CO2 setiap tahun pada titik sampel lokasi
tersibuk di Kota Cibinong yaitu di Jalan Raya Bogor depan Mall Ramayana. Lokasi ini
dipilih oleh Badan Lingkungan Hidup karena dianggap representasi dari kondisi kualitas
udara maksimal di Kota Cibinong.
kadar CO2 (ppm)
1,000
800
600
400
200
2008
2009
TAHUN
2010
Sumber : UPT Laboratorium Lingkungan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor
Catatan : Metoda Uji NDIR, Data diambil semester I (satu kali antara bulan Januari –
Juni), Lokasi sample di Pusat Kota (jalan Raya Bogor depan Pasar Ramayana)
Gambar 2 Hasil pengujian kualitas udara ambient parameter CO2 di Kota
Cibinong tahun 2008 - 2010
Berdasarkan penjelasan di atas maka beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan
masalah antara lain :
1. Bagaimana kemampuan daya serap ruang terbuka hijau terhadap CO2 setelah adanya
perubahan lahan dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2010?
2. Berapa kadar CO2 setiap waktu yang dihasilkannya di setiap ruas jalan utama di
Kota Cibinong yang diakibatkan oleh kendaraan bermotor ?
3. Bagaimana arahan RTH secara spasial, khusunya pada jalur hijau jalan utama di
Kota Cibinong untuk mengurangi kadar CO2 akibat emisi gas buang kendaraan
bermotor?
Tujuan Penelitian
Untuk menjawab pertanyaan pada rumusan masalah di atas, maka penelitian ini
bertujuan untuk :
1. Menganalisis daya serap ruang terbuka hijau terhadap karbondioksida di Kota
Cibinong berdasarkan perubahan lahan dari tahun 2000 ke tahun 2010.
2. Menganalisis besarnya kadar CO2 setiap waktu yang dihasilkannya di setiap ruas
jalan utama di Kota Cibinong yang diakibatkan oleh kendaraan bermotor.
3. Memberikan arahan RTH secara spasial, khusunya pada jalur hijau jalan utama di
Kota Cibinong untuk mengurangi kadar CO2 akibat emisi gas buang kendaraan
bermotor.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa :
6
1. Memberikan informasi kondisi perubahan lahan dan dan pengaruhnya terhadap
kemampuan menyerap CO2, kondisi kadar CO2 pada ruas jalan utama yang
diakibatkan oleh emisi gas buang kendaraan bermotor, serta arahan RTH pada jalur
hijau jalan untuk mengurangi dampak emisi gas buang.
2. Sebagai masukan bagi pemerintah daerah untuk penanganan ruang terbuka hijau dan
pengurangan emisi gas buang Karbondoksida.
II TINJAUAN PUSTAKA
Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Pengertian Ruang Terbuka Hijau
Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok,
yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik
yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam (Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor : 05/Prt/M/2008 Tentang Pedoman Penyediaan Dan
Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Perkotaan). Joga, N dan Ismaun, I
(2011) lebih menekankan bahwa RTH merupakan suatu kawasan /lahan yang
mengandung unsur dan struktur alami yang dapat menjalankan proses-proses ekologis,
seperti pengendalian pencemaran udara, ameliorasi iklim, pengendali tata air, dan
sebagainya. Unsur alami inilah yang menjadi ciri RTH di wilayah perkotaan, baik unsur
alami berupa tumbuh tumbuhan atau vegetasi, badan air, maupun unsur alami lainnya.
Keberadaan RTH di kawasan perkotaan memberikan manfaat secara langsung
maupun tidak langsung terhadap kehidupan masyarakat perkotaan, baik berupa
keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan kota karena meningkatnya
kualitas lansekap kota itu sendiri. Keamanan mempunyai pengertian bahwa RTH dapat
memberikan jaminan aman dari dampak lingkungan berupa banjir, polusi, dll.
Kenyamanan mempunyai pengertian bahwa kualitas udara yang baik sesuai kebutuhan
manusia memberikan rasa nyaman bagi masyarakat kota. Kesejahteraan mempunyai
pengertian bahwa RTH dapat mempunyai fungsi ekonomi dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, serta tentunya unsur alami yang ada dapat menunjang
terbentuknya keindahan kota.
Klasifikasi RTH
Ruang Terbuka Hijau dapat diklasifikasikan berdasarkan fisiknya berupa RTH
alami dan buatan, berdasarkan kepemilikannya berupa RTH publik dan privat,
berdasarkan bentuknya berupa kawasan dan jalur, serta berdasarkan fungsinya berupa
ekologis, ekonomis, sosial budaya, dan estetika (Permenpu Nomor 05/PRT/M/2008).
Klasifikasi RTH ini menjadi penting guna mengidentifikasi dan memilah RTH sehingga
memudahkan dalam merencanakan kebutuhan RTH dalam kawasan perkotaan. Tabel 1
menjelaskan klasifikasi ruang terbuka hijau (Joga dan Ismaun, 2011) :
7
Tabel 1 Klasifikasi ruang terbuka hijau
Ruang
Terbuka
Hijau
1. RTH Pertanian dan RTH Kehutanan (Sawah, kebun, hutan Lindung,
Hutan Kota, Hutan Rekreasi, Taman Hutan Raya)
2. RTH Olahraga, RTH Pemakaman, RTH Lainnya (Botanic Park, Zoo
Park, Arboretum, Tempat Latihan Militer)
3. RTH Pertamanan
RTH
Taman
Taman Berdasarkan Hirarki
(Taman
Kota,
Taman
Kecamatan, Taman Lingkungan)
Taman
berdasarkan
fungsi
(taman
rekreasi,
taman
bangunan, taman atap, taman
dekorasi tata hijau kota, dll)
RTH Jalur
Jalur Hijau Tepian Air (bantaran
kali, setu, dll)
Jalur Hijau Pengaman (bantaran
rel KA, pipa gas, dll)
Jalur Hijau Jalan (JHJ Tol,
arteri, lingkungan)
Sumber : - Permenpu No. 5/PRT/M/2008
- Joga dan Ismaun (2011)
Fungsi RTH dalam Penyerapan Kadar CO2
Beberapa fungsi ekologis RTH di kota adalah antara lain sebagai areal resapan
air menghasilkan oksigen, meredam kebisingan, filter dari partikel padat yang
mencemari udara kota, menyerap gas-gas rumah kaca atau hujan asam, penahan angin,
mencegah intrusi air laut, ameloerasi iklim serta konservasi air tanah.
Hutan kota merupakan penyerap gas karbon dioksida yang cukup penting, selain
dari fitoplankton, ganggang dan rumput laut di samudera. Dengan berkurangnya
kemampuan hutan dalam menyerap gas ini sebagai akibat menyusutnya luasan hutan
akibat perladangan, pembalakan dan kebakaran, maka perlu dibangun ruang terbuka
hijau untuk membantu mengatasi penurunan fungsi hutan tersebut. Cahaya matahari
akan dimanfaatkan oleh semua tumbuhan, baik ruang terbuka hijau, hutan alami,
tanaman pertanian dan lainnya dalam proses fotosintesis yang berfungsi untuk
mengubah gas karbon dioksida dengan air menjadi karbohidrat (C6H12O6) dan oksigen
(O2). Proses kimia pembentukan karbohidrat (C6H12O6) dan oksigen (O2) adalah 6
CO2 + 6 H2O + Energi dan klorofil menjadi C6H12O6 + 6 O2.
Proses fotosintesis sangat bermanfaat bagi manusia. Pada proses fotosintesis
dapat menyerap gas buang, yang bila konsentrasinya meningkat akan beracun bagi
manusia dan hewan, serta akan mengakibatkan efek rumah kaca. Di lain pihak proses
fotosintesis menghasilkan gas oksigen yang sangat diperlukan oleh manusia dan hewan.
Kota merupakan pusat perekonomian masyarakat, yang mengakibatkan wilayah
perkotaan menjadi daerah yang sangat ramai, padat dengan aktivitas dan penggunaan
lahan. Pada akhirnya, banyak Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang beralih fungsi menjadi
infrastruktur kota hasil pembangunan. Berkurangnya RTH menyebabkan perkotaan
8
menjadi lingkungan yang sakit dan tercemar. Salah satu indikasi dari penurunan kualitas
lingkungan perkotaan adalah meningkatnya kadar CO2 di udara. Selain berdampak
buruk bagi lingkungan perkotaan, peningkatan ini juga memicu kerusakan lingkungan
bumi melalui pemanasan global. Oleh karena itu, diperlukan penanggulangan langsung
dari sumber produsen CO2, yaitu daerah perkotaan. Hal ini dilakukan dengan cara
menanam tanaman yang dapat mereduksi peningkatan kadar CO2 di wilayah perkotaan.
Dalam pembangunan hutan kota ini, pengetahuan tentang kemampuan daya serap
tanaman terhadap CO2 akan menentukan keberhasilan pembangunan. Oleh karena itu,
diperlukan data akurat mengenai daya serap CO2 dari berbagai jenis tanaman hutan kota
sehingga tercipta suatu wujud hutan kota yang efektif dan efisien.
Tanaman pepohonan yang ada di dalam dan di sekitar kota diarahkan tuntuk
mengatasi efek pulau bahang. Efek pulau bahang adalah gejala lebih hangatnya suhu
udara khususnya di pusat kota. Hal ini diperburuk dengan adanya global warming. Kota
yang dulunya sejuk, kini berubah menjadi semakin panas. Meningkatnya suhu udara di
seluruh permukaan bumi sebagai akibat meningkatnya gas rumah kaca. Salah satu gas
penyebab efek rumah kaca yang penting adalah gas CO2 atau Karbondioksida (Dahlan
2013).
Keberadaan tanaman di kota akan membantu menyerap karbondioksida
terserbut. Penanaman pohon yang tepat, baik diameter tajuk yang lebar, kerapatan
pohon yang baik, dan sebaran tanaman merata di seluruh kota, bahkan hutan kota
tersebar dimana-mana akan menciptakan kondisi suhu kota yang sejuk. Beberapa hal
yang harus diperhatikan agar tanaman dapat maksimal mengatasi efek rumah kaca
melalui mekanisme rosot karbondioksida antara lain (Dahlan 2013) :
1. Jenis tanaman yang dipilih adalah jenis yang sangat rakus dalam menyerap gas
karbondioksida, seperti Trembesi dan banyak lagi hasil penelitian dilakukan.
2. Luas lahan cukup luas dan merata di seluruh kota
3. Jenis tanaman yang dipilih tergolong bongsor (fast growing), seperti Sengon.
4. Kepadatan pohon cukup rapat untuk menyerap lebih banyak karbondioksida
5. Jarak pohon dengan bangunan diatur sedemikian rupa lebih mendekati ke bangunan
tetapi disesuaikan dengan jenis tanaman yang memiliki diameter tajuk yang lebar
(jarak bisa 3 - 7 meter), dll
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menguji kemampuan ruang terbuka
hijau dapat mengurangi karbon dioksida (Prasetyo et al. 2002). Kemampuan tanaman
dalam menyerap gas karbon dioksida bermacam-macam. Menurutnya, hutan yang
mempunyai berbagai macam tipe penutupan vegetasi memiliki kemampuan atau daya
serap terhadap karbon dioksida yang berbeda. Tipe penutupan vegetasi tersebut berupa
pohon, semak belukar, padang rumput, sawah. Daya serap berbagai macam tipe vegetasi
terhadap karbon dioksida dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini.
Tabel 2 Daya serap ruang terbuka hijau terhadap kadar CO2
No.
1
2
3
4
Jenis Tutupan Lahan / Vegetasi
Pohon
Semak Belukar
Padang Rumput
Sawah
Sumber : Prasetyo et al dalam Adiastari (2011)
(Ton/ha/th)
569,07
55
12
12
9
Peran Jalur Hijau Jalan di Perkotaan.
Terdapat tiga dimensi utama dalam merpresentasikan keberadan pohon-pohon di
kota yaitu dimensi estetika, kontrol sosial, dan identitas kota atau negara. Keberadaan
pohon-pohon di kota memberikan kenyamanan bagi penduduk kota, baik keindahan,
kebebasan mengakses oleh semua lapisan strata sosial, bahkan rasa memiliki kota (sense
of belonging) dengan ciri penataan lansekap yang baik. Beberapa negara di Eropa telah
menerapkan batas kawasan hunian (residential), batas kota, bahkan batas negara berupa
jalur hijau jalan. Penataan pohon di jalur hijau jalan tersebut, berfungsi sebagai 'green
space fashions', menjadikan kunjungan ke Eropa meningkat.
Dalam konsep infrastruktur hijau (Joga dan Ismaun 2011), infrastruktur hijau
merupakan kerangka ekologis untuk berkelanjutan lingkungan, sosial, dan ekonomi;
singkatnya sebagai sistem kehidupan alami bekelanjutan. Infrastsruktur hijau
merupakan jaringan yang saling berhubungan antara sungai, lahan basah, hutan, habitat
kehidupan liar, dan daerah alami di wilayah perkotaan, seperti jalur hijau, kawasan
hijau, dan daerah konservasi, dan berbagai RTH lainnya. Infrastrukut hijau merupakan
jaringan terpadu dari berbagai jenis RTH, terdiri atas area (hub) dan jalur (link). RTH
berbentuk area dapat berupa taman kota, taman lingkungan, taman pemakaman,
situ/danau, hutan kota, dan hutan lindung, dan lain-lain. Sedangkan, jalur hijau dapat
berbentuk jalur atau koridor, seperti jalur hijau jalan, jalur hijau sungai, jalur hijau
saluran utama tegangan tinggi, dan sebagainya, yang befungsi sebagai konektor areaarea hijau.
Secara planologis, jalur hijau merupakan pengendali perkembangan kota agar
tidak terjadi peluberan kota (urban sprawl). Salah satu cara untuk menyediakan ruang
terbuka hijau di jalan atau jalur hijau jalan adalah dengan menerapkan pengaturan garis
sempadan jalan/bangunan pada setiap ruas jalan. Prinsip umum yang sering
dipergunakan dalam penerapan aturan teknis, panjang garis sempadan bangunan/jalan
adalah menggunakan rumus 0,5 x ROW (damija). ROW (Right Of Way) atau Damija
(Daerah Milik Jalan) adalah lebar jalan dihitung dari pagar jalan ke pagar jalan sisi
lainnya. Garis sempadan bangunan/ jalan dihitung dari pagar jalan ke arah bagunan.
Misalnya, apabila bangunan di ruas jalan dengan Damija 10 m maka garis sempadan
yang berlaku adalah 5 m dihitung dari pagar jalan ke arah bangunan sehingga tersedia
ruang antara bangunan dan jalan yang bisa dipergunakan untuk ruang terbuka hijau.
Menghitung Kadar CO2 di Jalan
Menurut Yamin et al. dalam Sihotang (2010), untuk menghitung kadar CO2
menggunakan apa yang disebut dengan kekuatan emisi. Kekuatan emisi (emission
strength) menunjukkan volume emisi yang dikeluarkan per satuan waktu. Untuk suatu
cerobong, kekuatan emisi merupakan hasil perkalian antara kecepatan lepasan emisi
dengan luas penampang cerobong Untuk menentukan kekuatan emisi (Q). Simbol
kekuatan emisi adalah Q karena mempunyai makna juga adalah debit, dimana satuannya
adalah gram/detik atau besarnya konsentrasi yang melaju. Persamaan Kekuatan Emisi
yang dibuat oleh Yamin et al tersebut adalah :
= ×
× × …………………………..…(1)
Dimana:
Q = kekuatan emisi (gram/detik)
n= jumlah kendaraan (smp/detik) atau arus kendaraan berupa satuan mobil penumpang
(smp) per waktu
10
FE= faktor emisi (gram/liter)
K= konsumsi bahan bakar (liter/100km)
L= panjang jalan (km)
Data arus kendaraan diperoleh langsung melalui survai penghitungan lalu lintas
pada waktu penelitian , sedangkan faktor emisi dan konsumsi bahan bakar diperoleh
dari studi literatur yang telah ada
a. Menghitung Arus Kendaraan
Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) Tahun 1997 yang diterbitkan
oleh Direktotrat Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum, Arus kendaraan adalah
jumlah kendaraan bermotor yang melewati suatu titik pada jalan per satuan waktu,
dinyatakan dalam kendaraan/jam (Qkend), smp/jam (Qsmp) atau LHRT ( Lalu-lintas
Harian Rata-Rata Tahunan) atau dapat juga dihitung per hari sesuai dengan kepentingan
penggunaannya. MKJI merupakan hasil penelitian dari Kementrian Pekerjaan Umum
perihal teknik lalu lintas dan jalan berdasarkan perilaku lalu lintas pengemudi dan
jaringan jalan di Indonesia. MKJI menjadi acuan dan pedoman bagi para pelaku di
bidang transportasi, baik pihak pemerintah, swasta, dan masyarakat sehingga para
pelaku mempunyai persamaan dalam mengelola tranportasi , khususnya manajemen lalu
lintas jalan.
Data arus lalu lintas dapat berupa arus lalu lintas rencana disesuaikan dengan jam
rencana dan analisis, atau berupa arus harian. Untuk kepentingan menghitung kadar
CO2 , data arus lalu lintas yang diperlukan berupa arus lalu lintas dalam satu hari (sesuai
rumus kekuatan emisi). Apabila data arus lalu lintas diperoleh, baik melalui traffic
counting, estimasi dengan pola lalu lintas atau pergerakan antara zona, harus dilakukan
konversi ke smp (satuan mobil penumpang) dengan mengalikan jumlah kendaraan
dengan ekivalensi mobil penumpang (emp) dari MKJI tersebut. Sehubungan lokasi
penelitian berada di Kota Cibinong, khususnya untuk perhitungan arus lalu lintas pada
ruas jalan, yang memiliki karakteristik jalan dua lajur-dua arah tidak terbagi (2/2
UnDivided) dan jalan empat lajur dua arah 4/2 D, maka ekivalensi mobil penumpang
yang dapat digunakan adalah mengacu kepada tabel 3 beriktu ini :
Tabel 3 Ekivalensi kendaraan penumpang (emp) untuk jalan 2/2 UD dan 4/2 D
Tipe Jalan :
Jalan Tak
Terbagi (UD)
Dua lajur tak
terbagi (2/2
UD)
EMpat Lajur
terbagi (4/2 D)
Arus Lalu
lintas total
dua arah
(kend/jam)
0 - 1800
emp
Kendaraan Kendaraan
Ringan
Berat
1
1,3
Sepeda
Motor
0,4
> 1800
0 - 3700
1
1
1,2
1,3
0,25
0,4
> 3700
1
1,2
0,25
Sumber : MKJI ; Direktotrat Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum 1997
11
b. Faktor Emisi
Faktor emisi adalah adalah nilai representatif yang menghubungkan kuantitas
suatu polutan yang dilepaskan ke atmosfer dari suatu kegiatan yang terkait dengan
sumber polutan. Faktor-faktor ini biasanya dinyatakan sebagai berat polutan dibagi
dengan satuan berat, volume, jarak, lamanya aktivitas yang mengemisikan polutan atau
durasi dari komponen kegiatan yang mengemisikan polutan tersebut.
Tabel 4 Faktor emisi karbondioksida kendaraan bermotor
No.
Jenis Kendaraan
1 Sepeda motor
2 Mobil penumpang
a. Bensin
b. Solar
3 Bis
4 Truk
gr/km
ton/km
266 0,000266
270
190
770
770
0,000270
0,000190
0,000770
0,000770
Sumber : Mesi Shinta Dewi (2008)
c. Panjang Jalan
Panjang jalan untuk perhitungan arus lalu lintas biasanya dibatasi pada
persimpangan jalan sehingga titik awal nya adalah persimpangan dan titik akhir
persimpangan juga. Oleh karena itu, antara kedua simpang tersebut dikenal dengan ruas
jalan. Ruas jalan penting ditentukan untuk menghitung jumlah kendaraan dan polusi
yang terjadi. Ruas jalan dapat mengacu kepada yang sudah ditetapkan oleh pemerintah
atau menghitung tersendiri pada peta jaringan jalan yang sudah ada dengan
menggunakan GIS.
Penggunaan Lahan
Menurut Arsyad (1989), lahan didefinisikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri
dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda di atasnya sepanjang memiliki
pengaruh terhadap penggunaannya, termasuk di dalamnya hasil kegiatan manusia di
masa lalu dan sekarang. Lahan mempunyai tiga fungsi utama, yaitu fungsi produksi dan
wadah, seperti tempat tinggal, produksi tanaman dan penggembalaan, fungsi regulasi
seperti siklus tanaman, keseimbangan air dan tanah, proses asimilasi, dan fungsi
informasi seperti ilmu pengetahuan dan sejarah.
Penggunaan lahan perkotaan adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menunjukan pembagian dalam ruang dari peran kota, seperti kawasan tempat tinggal,
kawasan tempat bekerja, dan kawasan rekreasi (Jayadinata 1999). Semakin tinggi suatu
peran kota pada sektor tertentu akan mendorong perkembangan kawasan lainnya. Oleh
karena itu, perubahan lahan perkotaan akan mendorong peralihan fungsi lahan dari
lahan tidak terbangun (misalnya lahan pertanian, ruang terbuka hijau, dll.).
12
Sistem Informasi Geografis dalam Analisis Ruang Terbuka Hijau
Penerapan SIG dalam Analisis Perubahan Lahan
Sistem informasi geografis dapat membantu menganalisis perubahan lahan dari
kurun waktu tertentu ke waktu yang ditentukan. Data penggunaan lahan pada tahun
yang berbeda merupakan data yang mutlak harus ada sebagai bahan komparasi
penggunaan lahan pada tahun awal dengan penggunaan lahan pada tahun akhir.
Perbandingan peta tersebut tentunya harus mempunyai kualitas peta yang sama untuk
mempermudah proses analisisnya (Indarto dan Faisol 2012).
Sistem informasi geografis menganalisis perubahan lahan dengan metode
tumpang susun dua peta yang berbeda waktu nya tetapi mempunyai informasi yang
sama. Pendekatan ini akan mempermudah menemukan pola perubahan lahan, misalnya
dari persawahan ke permukiman, atau perkebunan ke permukiman, dan sebagainya.
Dalam sistem informasi dikenal jargon data sampah akan menghasilkan sampah. Oleh
karena itu, input data menjadi sangat penting dalam proses analisis menggunakan sistem
informasi geografis.
Berbagai pendekatan dalam memperoleh data yang baik banyak digunakan, salah
satunya adalah dengan memanfaatkan penginderaan jauh. Penginderaan jauh sekarang
tidak hanya menjadi alat bantu dalam menyelesaikan masalah. Begitu luasnya
lingkupnya aplikasi penginderaan jauh sehingga dewasa ini bidang tersebut telah
menjadi semacam kerangka keraja dalam menyelesaikan berbagai masalah terkait
dengan aspek ruang (lokasi, area), lingkungan (ekologis), dan kewilayahan, baik skala
besar maupun skala sangat kecil (Danoedoro 2012). Pendekatan penginderaan jauh
adalah pendekatan model. Model merupakan representasi dari realitas karena fenomena
alam bersifat sangan komplek maka untuk dapat memahami realitas tersebut dibutuhkan
penyederhanaan. Model akan membatu kita memahami, mendeskripsikan atau
memprediksi bagaimana fenomena ata realitas itu bekerja pada dunia nyata (Indarto dan
Faisol 2012). Model berbasis representasi mendeskripsikan objek-objek di permukaan
bumi (seperti bangunan, sungai, jalan, dan hutan) melalui layer data di dalam sistem
informasi geografis. Analisis dilakukan pada data terformat dalam bentuk layer data
berbetuk raster maupun layer yang berisi data vektor.
Untuk analisis skala kota sangat disarankan menggunakan peta dari citra satelit
yang beresolusi tinggi. Keunggulan citra satelit tersebut lebih ditekankan kepada
kemampuannya dalam membantu interpretasi visual atau sebagai pengganti foto udara.
Dengan kedalaman resolusi sampai 0,5 meter, informasi yang dihasilkan pun akan lebih
akurat sehingga dengan dibantu survai lapangan (Ground True Check) pun informasi
akan semakin mendekati faktanya. Penggunaan lahan atau tutupan lahan hasil
pengolahan dari citra satelit resolusi tinggi (GeoEye, Quckbird, Ikonos, dll) diharapkan
dapat menghasilkan analisis perubahan lahan yang cukup akuntable dan presisi. Selain
itu, citra resolusi tinggi dapat membantu mengidentifikasi jenis dan kerapatan vegetasi
tetapi pada penelitian ini hanya digunakan dalam mengidentifikasi penggunaan lahan,
serta analogi indek vegetasi digunakan untuk penentuan skor fungsi ekologis
penggunaan lahannya.
13
Indek Vegetasi dalam Penentuan Skor Fungsi Ekologis Penggunaan Lahan
Indek vegetasi merupakan suatu bentuk transformasi spektral yang diterapkan
terhadap citra multisaluran untuk menonjolkan aspek kerapatan vegetasi ataupun aspek
lain yang berkaitan dengan kerapan, misalnya biomassa (Danoedoro 2012). Indek
vegetasi dikembangkan terutama berdasarkan feature space tiga saluran : hijau, merah,
dan inframerah dekat. Ketiga saluran ini cukup representatif dalam menyajikan
fenomena vegetasi. Penggunaan lahan di bumi akan memberikan nilai pantulan yang
berbeda-beda. Oleh karena itu, dikenal dua garis yaitu garis vegetasi dan garis tanah.
Garis vegetasi dibentuk oleh pantulan lahan yang memiliki vegetasi berdaun lebar dan
sangat rapat, sedangkan garis tanah dibentuk oleh pantulan lahan terbuka kering.
Vegetasi dengan kerapatan yang variasi terletak di antara kedua garis tersebut.
Menganalogikan indek vegetasi di atas, maka penggunaan lahan pun dapat
mengasumsikan kepada analogi indek vegetasi tersebut. Untuk penggunaan lahan
permukiman dapat dinyatakan bahwa di permukiman tidak ada vegetasi sehingga skor
yang diberikan nilai 5, tanah kosong nilai 4, sawah nilai 3, semak belukar nilai 2 ,dan
kebun / perkebunan nilai 1.
Penerapan SIG dalam sebaran karbondioksida tiap ruas jalan dan arahan
RTH
Untuk menggambarkan interaksi antar objek yang dimodelkan pada model
representatif disebut model berbasis proses. Hubungan tersebut dimodelkan
mengunakan berbagai alat atau metode analisis spasial. Beberapa proses operasi
mungkin sederhana, sementara operari lain mungkin lebih komplek sehingga
memasukan unsur logika, kombinasi beberapa proses, menggunakan pemrograman,
misalnya dengan bahasa pemrograman Visual Basic, dll (Indarto dan Faisol 2012).
Analisis spasial dilakukan dengan dua cara yaitu analisis spasial data raster dan
data vektor. Untuk kepentingan melihat sebaran kadar karbondioksida dan arahan RTH
menggunakan analisis data vektor. Pada prinsipnya, data berformat vektor ada tiga jenis
yaitu titik, garis, dan poligon. Ketiga jenis vektor tersebut digunakan untuk
mempresentasikan objek-objek yang ada di permukaan bumi. Ada beberapa jenis
operasi untuk analisis spasial antara lain, ekstraksi, overlay, dan proximity. Untuk
kepentingan analisis sebaran kadar karbondioksida setiap ruas jalan dapat dilakukan
dengan menampilkan hasil perhitungan kekuatan emisi berupa data tabular ke dalam
data vektor sehingga membentuk fitur baru.
Untuk mengetahui kondisi sebaran karbondioksida pada setiap ruas jalan di
penggunaan lahan sehingga bisa dijadikan landasan arahan ruang terbuka hijau maka
dapat dilakukan dengan perintah operasi overlay . Fungsi overlay merupakan alat untuk
membuat fitur dengan memotong fitur dengan fitur lain pada bagian yang
bersinggungan. Prinsipnya, informasi yang ada pada fitur sebaran kadar karbondioksida
akan diambil menjadi fitur baru setelah ditampalkan dengan fitur penggunaan lahan.
Sistem informasi geografis dapat melakukan fungsi-fungsi penggabungan suatu
informasi sehingga menghasilkan informasi baru yang sangat bermfaat dalam analisis
14
spasial. Software ArcGIS 10 sangat membantu dan mudah dioperasikan untuk
melakukan operasi-operasi yang disampaikan di atas.
III METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di Kota Cibinong Kabupaten Bogor Provinsi Jawa
Barat. Wilayah Kota Cibinong meliputi seluruh kelurahan di Kecamatan Cibinong (Kel.
Ciriung, Kel. Cirimerkar, Kel. Pabuaran, Kel. Cibinong, Kel. Pakansari, Kel. Tengah,
Kel. Harpan Jaya, Kel. Pondok Rajeg, Kel. Sukahati, Kel. Karadenan, Kel. Nanggewer
Mekar, Kel. Nanggewer), 6 Desa di Kecamatan Bojong Gede (Desa Pabuaran, Desa
Rawapanjang, Desa Bojong Gede, Desa Bojong Baru, Desa Kedung Waringin, Desa
Waringin Jaya), dan satu Desa di Kecamatan Citeureup (Desa Karang Asem Barat).
Selain lokasi penelitian berupa wilayah administrasi, lokasi penelitian ini
menitikberatkan penelitian pada beberapa ruas jalan di Kota Cibinong. Untuk
kepentingan penelitian ini, dipilih 10 ruas jalan utama pergerakan kendaraan bermotor
yaitu Ruas Jalan Mayor Oking, Jalan Karadenan-Pomad, Jalan Karadenan -PDAM,
Jalan PDAM-Setu Cikaret, Jalan Setu Cikaret-Raya Bogor, Jalan Setu CIkaret -POndok
Rajeg, Jalan Raya Bogor (Kandang Roda-Cikaret), Jalan Raya Bogor (Cikaret-simpang
Cibinong), Jalan Lanbaw, dan Jalan Tegar Beriman. Gambar 3 memperlihatkan lokasi
penelitian berupa batas wilayah administrasi dan Gambar 4 memperlihatkan lokasi
penelitian berupa 10 ruas jalan terpilih.
Waktu penelitian direncanakan selama 6 bulan, mulai bulan Agustus 2011
sampai dengan Desember 2012. Tahapan penelitian meliputi persiapan penelitian,
pengumpulan data, analisis perubahan lahan, analisis kandungan CO2, dan terakhir
analisis spasial arahan RTH.
15
15
Gambar 3 Lokasi Kota Cibinong (lokasi penelitian)
16
Gambar 4 Lokasi ruas jalan yang diteliti (lokasi penelitian)
17
Rancangan Penelitian
Untuk menjawab tujuan penelitian, dilakukan tahapan-tahapan pekerjaan meliputi
kebutuhan bahan dan alat penelitian, metode pengambilan dan pengolahan data, serta metode
analisis. Tabel 5 menjelaskan tahapan-tahapan penelitian mulai dari tujuan penelitian dampai
keluaran yang diharapkan.
Tabel 5 Matrik rancangan penelitian
Jenis dan
Tujuan
Sumber
Penelitian
Data
Mengetahui
Peta
kemampuan
Penggunaan
daya serap RTH Lahan tahun
terhadap
2000
(peta
karbondioksida
RBI,
berdasarkan
bakorsurtanal),
citra Quickbird
perubahan lahan
2010
Mengetahui
besarnya kadar
karbondioksida
setiap
waktu
yang
dihasilkannya di
setiap ruas jalan
yang diakibatkan
oleh kendaraan
bermotor
Peta ruas jalan,
Jumlah
kendaraan,
faktor emisi,
konsumsi
bahan bakar
Memberikan
arahan
RTH
secara spasial,
khusunya pada
jalur hijau jalan
utama di Kota
Cibinong untuk
mengurangi
kadar
CO2
akibat emisi gas
buang kendaraan
bermotor
-
-
Peta sebaran
kadar
karbondioksida per ruas
jalan
Peta
penggunaan
lahan tahun
2010
Teknik
Teknik Analisis
Pengumpulan
Data
Data
Survai sekunder - Analisis tumpang
Interpretasi citra susun
tutupan
Quickbird (digit lahan
on
screen) - Perhitungan daya
berbasis
peta serap
RBI
karbondioksida
(luas lahan x daya
serap
lahan
terhadap CO2)
- Studi literatur
- Perhitungan
- Survai sekunder
kekuatan emisi
- Survai
primer tiap ruas jalan
perhitungan lalu - Analisis distribusi
lintas
(traffic spasial kekuatan
counting)
dan emisi tiap ruas
konversi
ke jalan
satuan
smp
(satuan
mobil
penumpang)
-
analisis
spasial
dengan
proses
tumpang
susun
antara peta sebaran
karbondioksida per
ruas jalan dengan
peta penggunaan
lahan tahun 2010
Keluaran
- Peta perubahan
lahan
tahun
2000 dan 2010
- Tabel
perhitungan
daya
serap
karbondioksida
-
Peta
sebaran
kadar
karbondioksida
per ruas jalan
-
Peta
analisis
spasial
ruang
terbuka
hijau
pada ruas jalan
-
18
Bahan dan Alat Penelitian
Peralatan yan
MEREDUKSI POLUSI UDARA (CO2) DI KOTA CIBINONG
AJAT ROCHMAT JATNIKA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul Analisis Spasial
Ruang Terbuka Hijau untuk Mereduksi Polusi Udara (CO2) di Kota Cibinong
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Ajat Rochmat Jatnika
NRP. P052094104
RINGKASAN
AJAT ROCHMAT JATNIKA. Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau untuk
Mereduksi Polusi Udara (CO2) di Kota Cibinong. Dibimbing oleh ALINDA F. M.
ZAIN dan ENDES N. DAHLAN.
Ruang Terbuka Hijau mempunyai fungsi salah satunya adalah mengurangi
kadar karbondioksida di udara. Kadar karbondioksida secara umum meningkat
seiring dengan peningkatan gas buang kendaraan bermotor dan perubahan lahan
yang disebabkan oleh kegiatan industri, permukiman, atau jasa lainnya. Salah satu
kota, yang mengalami peningkatan kegiatan industri, permukiman, dan jasa, serta
adanya peningkatan kadar karbondioksida adalah Kota Cibinong. Sari et al.
(2007) melakukan penelitian bahwa kondisi kualitas udara di Kota Cibinong
mengalami penurunan bahkan telah terjadi hujan asam dan Badan Lingkungan
Hidup Kabupaten Bogor mencatat pada kurun waktu 2008 sd 2010 telah terjadi
peningkatan kadar emisi karbondioksida di pusat kota yang cukup tinggi.
Tujuan penelitian adalah (1) menganalisis daya serap ruang terbuka hijau
terhadap karbondioksida di Kota Cibinong berdasarkan perubahan lahan dari
tahun 2000 ke tahun 2010, (2) menganalisis jumlah karbondioksida yang
dihasilkan oleh gas buang kendaraan bermotor pada setiap ruas jalan per
waktu,(3) memberikan arahan RTH secara spasial, khusunya pada jalur hijau jalan
utama di Kota Cibinong untuk mengurangi kadar CO2 akibat emisi gas buang
kendaraan bermotor. Pendekatan studi menekankan pada dua hal analisis spasial
RTH yaitu analisis perubahan guna lahan kota (poligon) dan analisis ruas jalan
(line). Hasil penelitian menunjukan bahwa dalam satu dekade (tahun 2000 dan
2010), daya serap ruang terbuka hijau terhadap karbondioksida mengalami
penambahan yaitu 145.195 ton/ha/tahun. Hal ini terjadi karena banyak alih fungsi
lahan dari tanah kosong/terbuka/tegalan ke lahan perkebunan/kebun, yang
memiliki fungsi daya serap karbondioksida cukup baik. Tetapi, dilihat dari pola
kecenderungan perubahan lahan, penggunaan lahan permukiman mengalami
peningkatan dari 2.268,88 Ha (35,78 %) ke 3.558,22 Ha (56,12 %) sehingga jika
pola perubahan fungsi lahan tersebut berlanjut maka ketersediaan Ruang Terbuka
Hijau akan berkurang.
Pada ruas-ruas jalan utama yang diteliti (10 ruas jalan), kadar
karbondioksida yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor cukup tinggi, yaitu
antara 1 - 17 ton/hari. Ruas jalan yang memiliki fungsi jalan arteri primer dan
melayani pergerakan regional (jalan Raya Bogor - Jakarta) memiliki kadar
karbondioksida paling tinggi, sedangkan ruas jalan dengan fungsi melayani
pergerakan lokal dalam kota memiliki kadar karbondioksida rendah. Kontribusi
tingginya kadar karbondioksida berasal dari jenis kendaraan non Bus/Truk untuk
semua ruas jalan. Hasil tumpang susun kadar karbondioksida tiap ruas jalan
dengan penggunaan lahan tahun 2010, maka semakin terlihat bahwa di kawasan
permukiman akan menunjukan penilaian kualitas udara yang kurang baik, tetapi
pada kawasan non permukiman akan menunjukan kualitas udara yang cukup baik.
Key words : Ruang Terbuka Hijau, Tingkat Kadar Karbondioksida, Perubahan
Lahan
SUMMARY
AJAT ROCHMAT JATNIKA. Spatial Analysis of Green Open Space to Reduce
Air Pollution (CO2) in Cibinong City. Supervised by ALINDA F. M. ZAIN and
ENDES N. DAHLAN.
Green open space among others have a function to reduce the level of
carbondioxide in the air. Carbondioxide levels are generally increased due to an
increase in motor vehicle exhaust gas emissions and land use changes, such as
changes in open land into industrial, or agricultural land turned into housing, etc.
Cibinong City in this decade had increased levels of carbondioxide caused by the
developmnet of a growing city.
Research purposes are (1) analyze changes of green open space and its
impact on the ability to absorb carbondioxide, (2) analyze the amount of
carbondioxide produced by motor vehicle exhaust gas emissions for each road
segment and provide direction spatially green open space. The results showed that
within a decade (2000 and 2010), the absorption of green open space which has
the addition of carbon dioxide to 145 195 tonnes / ha / year. This happens because
many land-uses of vacant land / open / moor land to farm / garden, which has a
carbon dioxide absorption function quite well. However, judging from the pattern
of land use change tendency, residential land use increased from 2268.88 ha
(35.78%) to 3558.22 ha (56.12%), so if the pattern of land use change continues,
the availability of green open space will reduced. On the main road sections
studied (10 roads), the levels of carbon dioxide produced by motor vehicles is
quite high, ie between 1-17 tons / day.
Roads that have a primary arterial road function and serve the regional
movement (the Bogor Raya - Jakarta) has the highest carbon dioxide levels, while
the road to serve the function of a local movement in the city have low carbon
dioxide levels. Contribute to high levels of carbon dioxide derived from the type
of non-bus vehicles / trucks for all roads. When the carbondioxide emission
strength map is overlayed with the land use map then we have the conclusion that
the roads that have a high volume of vehicle movement will have a high
carbondioxide levels, but not mean low air quality because it depends on the
existence of protective trees as green belt or land use.
Key words : green open spaces, carbondioxide emission levels, landuse changes
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS SPASIAL RUANG TERBUKA HIJAU UNTUK
MEREDUKSI POLUSI UDARA (CO2) DI KOTA CIBINONG
AJAT ROCHMAT JATNIKA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
HALA~PENGESAHANyutsrponmlkjihgfedcbaZUTSRPNMLKJIHFDCA
Judul tesis
Analisis
Spasial
Ruang
Terbuka
Hijau untuk Mereduksi
Polusi Udara (C02) di Kota Cibinong
Nama
Ajat Rochmat Jatnika
NRP
P052094104rURPNIGA
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Alinda F. M. Zain
Anggota
Ketua
Diketahui
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS
Dr.Ir. Dahrul Syah, M. Sc. Agr
Tanggal Ujian: 7 Pebruari 2014
Tanggal Lulus:
19
U
A G
'01&
Penguji luar komisi pada ujian tesis: Dr. Ir. Bambang Sulistiyantara
PRAKATA
Pertama dan utama, kami panjatkan puji syukur kehadirat Alloh SWT,
yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini bisa
diselesaikan. Tema yang dipilih pada penelitian ini adalah Ruang Terbuka Hijau
(RTH), dengan judul Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau untuk Mereduksi Polusi
Udara (CO2) di Kota Cibinong.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Alinda Fitriany Malik
Zain dan Bapak Dr. Ir. Endes Nurfilmarasa Dachlan selaku pembimbing, serta
Bapak Dr Ir Bambang Sulistyantara dan Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina Satyawan
selaku penguji yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada teman-teman se-angkatan dan staf administrasi di PS
PSL IPB, yang telah membantu selama penyelesaian tesis ini. Terkhir, ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada istri, anak-anak, serta seluruh keluarga, atas
segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor,
Agustus 2014
Ajat Rochmat Jatnika
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR LAMPIRAN
iii
BAB I PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
Kerangka Pemikiran
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
1
1
3
5
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Pengertian Ruang Terbuka Hijau
Klasifikasi RTH
Fungsi RTH dalam Penyerapan Kadar CO2
Peran Jalur Hijau Jalan di Perkotaan.
Menghitung Kadar CO2 di Jalan
Penggunaan Lahan
Sistem Informasi Geografis dalam Analisis Ruang Terbuka Hijau
Penerapan SIG dalam Analisis Perubahan Lahan
Indek Vegetasi dalam Penentuan Skor Fungsi Ekologis Penggunaan Lahan
Penerapan SIG dalam sebaran karbondioksida tiap ruas jalan dan arahan RTH
6
6
6
6
7
9
9
11
12
12
13
13
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Rancangan Penelitian
Bahan dan Alat Penelitian
Metode Pengambilan dan Pengolahan Data
Metode Analisis Data
14
14
17
18
18
19
BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
Letak geografis dan administrasi wilayah
Topografi dan kemiringan lereng
Kependudukan
Transportasi
Prasarana Jalan
Volume lalu lintas
Ketersediaan ruang terbuka hijau publik
22
22
24
24
25
25
26
27
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
Perubahan Penggunaan Lahan dari Tahun 2000 – 2010
28
28
Pola Perubahan Penggunaan Lahan
Daya Serap Ruang Terbuka Hijau terhadap Karbondioksida
Kadar Emisi CO2 di Ruas Jalan Utama di Kota Cibinong
Hasil Overlay Peta Kekuatan Emisi CO2 dengan Peta Penggunaan Lahan
29
33
33
35
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
38
38
38
DAFTAR PUSTAKA
39
LAMPIRAN
40
RIWAYAT HIDUP
51
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9
Tabel 10
Tabel 11
Tabel 12
Tabel 13
Tabel 14
Tabel 15
7
Klasifikasi ruang terbuka hijau
Daya serap ruang terbuka hijau terhadap kadar CO2
Ekivalensi kendaraan penumpang untuk jalan 2/2 UD dan 4/2 D
Faktor emisi kendaraan bermotor
Matrik rancangan penelitian
Skor fungsi ekologis tutupan lahan
Matrik deferensial tumpang susun penggunaan lahan
dengan kadar CO2
Wilayah administratif Kota Cibinong
Panjang ruas jalan di Kota Cibinong (10 ruas terpilih)
Jumlah volume lalu lintas harian sesuai jenis kendaraan
pada 10 ruas jalan di Kota Cibinong
Ketersediaan RTH publik di Kota Cibinong
Perubahan lahan dari tahun 2000 dan tahun 2010
Pola perubahan lahan tahun 2010
Tingkat daya serap ruang terbuka hijau pada tahun 2000 dan
tahun 2010
kekuatan emisi CO2 per ruas jalan (ton/hari)
10
11
17
20
21
23
26
27
28
29
30
33
35
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3
Gambar 4
Gambar 5
Gambar 6
Gambar 7
Gambar 8
Kerangka pemikiran
Hasil pengujian kualitas udara ambient parameter CO2
di Kota Cibinong tahun 2008 - 2010
Lokasi Kota Cibinong (lokasi penelitian)
Lokas ruas jalan yang diteliti (lokasi penelitian)
Peta penggunaan lahan tahun 2000
Peta penggunaan lahan tahun 2010
Kadar emisi karbondioksida tiap ruas jalan
Peta analisis spasial rth pada ruas jalan
Halaman
3
5
15
16
22
31
32
34
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Arahan spasial ruang terbuka hijau sepanjang ruas jalan utama di
Kota Cibinong
Lampiran 2 Volume lalu lintas hasil traffic counting
40
42
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga
mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat luas. Pertumbuhan perekonomian akan
meningkatkan peranan sektor transportasi dalam menunjang pencapaian sasaran
pembangunan dan hasil-hasilnya; sebaliknya, fungsi sektor transportasi akan
merangsang peningkatan pembangunan ekonomi karena antara fungsi sektor
transportasi dan pembangunan ekonomi mempunyai hubungan kausal/timbal balik
(Tamin 2000). Hubungan kausal tersebut akan mendorong tumbuhnya pembangunan di
sektor perindustrian dan turunannya, yang merupakan cikal bakal terbentuknya kawasan
perkotaan. Selain menimbulkan dampak positif bagi perkembangan kota, hubungan
kausal tersebut akan memberikan dampak negatif yang luar biasa terhadap kehidupan
masyarakat perkotaan itu sendiri apabila dalam perencanaan kota nya mengabaikan
daya dukung lingkungan.
Isu yang berkembang dan terus menjadi perhatian dunia dari dampak negatif
pembangunan adalah pemanasan global (global warming). Pemanasan global atau
meningkatnya suhu permukaan bumi, disebabkan oleh kenaikan intensitas Efek Rumah
Kaca (ERK), yang dipicu oleh meningkatnya kadar CO2 dalam atmosfer (Sumarwoto
2004). Pembakaran bahan bakar fosil, yang sebagian besar dihasilkan oleh kegiatan
kendaraan bermotor dan sebagian kecil oleh industri, telah meningkatkan efek rumah
kaca alami yang menyebabkan terjadinya pemanasan global. Peningkatan kadar CO2
merupakan gas rumah kaca utama (Sutamiharja 2009). Ekosistem perkotaan merupakan
interaksi antara manusia dengan proses ekologi yang sangat komplek (Alberti 2009).
Kegiatan manusia akan memicu perubahan lingkungan sehingga lingkungan akan
beradaptasi mencari keseimbangan. Keberadaan ruang terbuka hijau di perkotaan
merupakan salah satu cara untuk menjaga keseimbangan ekosistem perkotaan tersebut,
baik sistem hidrologi dan mikroklimat maupun ekosistem lainnya. Ruang terbuka hijau
sangat diperlukan untuk meningkatkan ketersediaan air dan udara bersih bagi
masyarakat serta menciptakan estetika (Joga dan Ismaun 2011).
Keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH), akan membantu mengurangi kadar
CO2 di udara. Penelitian daya serap ruang terbuka hijau dalam bentuk pohon terhadap
kadar CO2 memiliki nilai 569,07 ton/ha/thn dibadingkan dengan daya serap ruang
terbuka hijau dalam bentuk padang rumput terhadap kadar CO2, hanya 12 ton/ha/thn
(Adiastari 2011). Penelitian lainnya menunjukan bahwa pohon Trembesi (Ki Hujan)
dapat menyerap CO2 sebesar 28,5 ton per pohon per tahun (Dahlan 2013). Beberapa
penelitian tersebut telah menunjukan bahwa ruang terbuka hijau, baik dalam tutupan
lahan maupun pohon tunggal dapat menyerap kadar CO2.
Kerangka Pemikiran
Sistem transportasi dibentuk oleh tiga sub sistem yaitu sistem kegiatan atau guna
lahan, sistem jaringan jalan, dan sistem pergerakan (Tamin 2002). Perkembangan suatu
kota akan dipengaruhi oleh sistem kegiatan perkotaan. Kegiatan perkotaan, baik berupa
kegiatan industri, jasa, perdagangan, permukiman, dan fasilitas penunjang perkotaan,
akan semakin berkembang apabila didukung oleh sistem jaringan jalan yang memadai.
2
Keberadaan sistem jaringan jalan yang memadai akan membentuk sistem pergerakan
dari suatu kegiatan ke kegiatan lainnya. Dalam skala kota, sistem pergerakan tersebut
akan memperpendek jarak tempuh antar kegiatan sehingga memicu perubahan ruang
karena permintaan ruang yang semakin dinamis. Perubahan ruang semakin tinggi
apabila sistem pergerakan regional, nasional, bahkan internasional, dijadikan bahan
perhitungan yang akan membebani tingginya pergerakan dalam kota. Oleh karena itu,
perkembangan kota tersebut akan mendorong peningkatan perubahan lahan dari tidak
terbangun menjadi terbangun dan peningkatan jumlah kendraan bermotor sebagai
sarana pergerakan.
Perubahan lahan di perkotaan pada umumnya akan mengalihfungsikan lahanlahan tidak terbangun menjadi lahan-lahan perumahan, industri, dan fasilitas penunjang
perkotaan lainnya. Konsekuensi logis dari perubahan tersebut adalah berkurangnya
ruang terbuka hijau di perkotaan. Secara ekologis, keseimbangan alam dalam menjaga
kualitas lingkungan hidup perkotaan pun akan terganggu. Berkurangnya ruang terbuka
hijau akan mengurangi peran kota dalam menjaga ekosistem perkotaan sehingga
berdampak pada masalah lingkungan, baik meningkatnya suhu udara, masalah
hidrologi, dan penurunan kualitas udara perkotaan
Peningkatan perubahan lahan tersebut akan mendorong tinggi pula pergerakan
penduduk menggunakan kendaraan bermotor dari pusat kegiatan yang satu ke pusat
kegiatan lainnya. Adanya jaringan jalan dan teknologi transportasi memudahkan
pergerakan penduduk tersebut. Konsekuensi logis dari pergerakan kendaraan bermotor
tersebut adalah munculnya gas buang yaitu salah satunya CO2 yang merupakan gas
rumah kaca utama dalam memberikan kontribusi pada pemanasan global. Untuk
mengetahui keberadaan konsentrasi CO2 tersebut maka perlu dilihat secara spasial
melalui besarnya arus lalu lintas yang melintasi jaringan jalan. Beban jalan terhadap
kadar CO2 akan terlihat secara spasial per waktu sehingga kebutuhan ruang terbuka
hijau, khususnya jalur hijau jalan dapat terlihat.
Kebutuhan jalur hijau jalan dari keberadaan konsentrasi CO2 tidak bisa hanya
dilihat dari emisi yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor saja, tetapi ada beberapa
faktor lain yang harus dilihat seperti kebutuhan makhluk hidup akan CO2, kegiatan
industri, permukiman, dan penggunaan lahan lainnya. Komposisi ruang untuk ruang
terbuka hijau atau tegakan pohon di tutupan lahan permukiman akan lebih kecil
dibandingkan dengan tutupan lahan non permukiman. Proses tumpang susun faktor
tersebut akan memberikan arahan pada ruas jalan atau bagian ruas jalan mana saja yang
memerlukan penanganan jalur hijau atau ruang terbuka hijau.
3
Sistem Perkembangan
Kota
- Sistem Kegiatan
- Sistem Jaringan Jalan
- Sistem Pergerakan
Meningkatnya
Lahan Terbangun di
Kota Cibinong
Skala Kota
Analisis
Spasial
Peningkatan
Pergerakan
Kendaraan
Bermotor
Pola
Perubahan
lahan (2000 s.d
2010)
Peningkatan Kadar
Karbondioksida pada
Jaringan Jalan
Peningkatan Kadar
Karbondioksida oleh
Kegiatan Industri
Penurunan Fungsi (daya
serap) RTH thp CO2
Tutupan Lahan
Tahun 2010
Buruknya Polusi
Udara (kadar CO2)
Distribusi
Spasial
Arahan
Spasial RTH
bukan lingkup studi
Gambar 1 Kerangka pemikiran
Perumusan Masalah
Salah satu kota satelit yang akan berkembang pesat adalah Kota Cibinong.
Secara geografis, Kota Cibinong, sebagai Ibukota Kabupaten Bogor, terletak diantara
dua kutub pertumbuhan yaitu DKI Jakarta dan Kota Bogor dan sekitarnya, serta menjadi
gerbang pergerakan penduduk dari DKI Jakarta ke arah Selatan pulau Jawa. Posisi Kota
4
Cibinong tersebut serta ditunjang dengan infrastruktur jalan yang memadai,
mengakibatkan pergerakan kendaraan barang atau penumpang yang melewati Kota
Cibinong menjadi tinggi, baik untuk kepentingan industri, permukiman, maupun
pariwisata. Selain dampak pertumbuhan ekonomi yang secara positif akan
mengembangkan Kota Cibinong, apabila tidak dikelola dengan baik maka dampak
lingkungan hidup pun tentunya akan tinggi pula. Pencemaran udara, air, maupun tanah
akan terjadi seiring perkembangan Kota Cibinong.
Pertumbuhan kota tersebut mendorong semakin berkurangnya lahan non
terbangun (ruang terbuka hijau) di Kota Cibinong. Pada Tahun 2000, Pemerintah
Kabupaten Bogor telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2000 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor, dengan salah satu fungsinya adalah
mengendalikan perubahan lahan non terbangun. Kenyataanya, perubahan lahan non
terbangun semakin banyak terjadi dalam kurun waktu tahun 2000 sampai dengan tahun
2010. Penebangan pohon di pinggir jalan acap kali sering dilakukan karena kepentingan
pengembangan jaringan jalan atau alih fungsi kegiatan dari hunian menjadi komersil,
yang membutuhkan ruang parkir cukup luas. Perubahan ruang terbuka hijau, baik
berupa taman maupun jalur hijau jalan, akan berdampak pada tingginya polusi udara
pada titik tertentu.
Penelitian hujan asam, yang tidak terkait langsung dengan peran CO2 karena
hujan asam lebih didominasi pengaruh senyawa lain selain CO2, di empat titik lokasi
yaitu Kebun Raya Bogor, Ciawi, Megamendung, dan Kota Cibinong (Sari et al. 2007)
menunjukan Kota Cibinong memiliki nilai pH rata-rata paling rendah sehingga di
kawasan ini telah terjadi hujan asam. Apabila air hujan asam tersebut jatuh ke badan air
maka air permukaan pun akan bersifat asam sehingga membahayakan ekosistem
perairan tersebut. Hal ini terjadi karena penggunaan lahan Kota Cibinong terdapat
daerah industri, kegiatan transportasi yang tinggi dan pusat permukiman, serta
ketersediaan Ruang Terbuka Hijau di Kota Cibinong lebih sedikit dibandingkan dengan
daerah Ciawi, daerah sekitar Kebun Raya dan daerah sekitar Megamendung. Walaupun
konsentrasi karbondioksida di udara mempunyai pengaruh kecil sebagai pemicu
terjadinya hujam asam, penelitian tersebut menunjukan bahwa kualitas udara di Kota
Cibinong mendekati kondisi kurang baik.
Sejak tahun 2005, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor telah mencatat
kualitas udara di pusat Kota Cibinong bahwa beberapa parameter kualitas lingkungan
menunjukan telah melebihi baku mutu lingkungan (BML) seperti partikel debu,
sedangkan parameter lainnya (seperti CO2, dll) dari tahun ke tahun menunjukan
peningkatan yang signifikan. Secara khusus, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten
Bogor mencatat bahwa kadar CO2 di Pusat Kota Cibinong menunjukan bahwa pada
titik pemantauan jalan raya di sekitar Pasar Cibinong pada tahun 2008 sampai dengan
tahun 2010, konsentrasi CO2 sebesar antara 540 ppm sampai dengan 904 ppm. Nilai
konsentrasi CO2 tersebut mungkin masih perlu dikritisi karena dianggap terlalu besar,
terutama metode survainya karena penyimpanan alat ukur saat survai sangat
menentukan kualitas data yang dihasilkan, tetapi faktanya menunjukan ada peningkatan
konsentrasi CO2 merupakan bukti ada penurunan kualitas lingkungan dari parameter
konsentrasi CO2. Konsentrasi CO2 yang sangat besar tersebut merupakan peringatan
bagi masyarakat Kota Cibinong, khususnya Pemertintah Daerah untuk segera mengatasi
masalah lingkungan ini, baik terganggunya ekosistem perairan, kesehatan, pemanasan
global, dan dampak negatif lainnya yang mengganggu kehidupan masyarakat perkotaan.
5
Gambar 2 di bawah ini menjelaskan kadar CO2 setiap tahun pada titik sampel lokasi
tersibuk di Kota Cibinong yaitu di Jalan Raya Bogor depan Mall Ramayana. Lokasi ini
dipilih oleh Badan Lingkungan Hidup karena dianggap representasi dari kondisi kualitas
udara maksimal di Kota Cibinong.
kadar CO2 (ppm)
1,000
800
600
400
200
2008
2009
TAHUN
2010
Sumber : UPT Laboratorium Lingkungan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor
Catatan : Metoda Uji NDIR, Data diambil semester I (satu kali antara bulan Januari –
Juni), Lokasi sample di Pusat Kota (jalan Raya Bogor depan Pasar Ramayana)
Gambar 2 Hasil pengujian kualitas udara ambient parameter CO2 di Kota
Cibinong tahun 2008 - 2010
Berdasarkan penjelasan di atas maka beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan
masalah antara lain :
1. Bagaimana kemampuan daya serap ruang terbuka hijau terhadap CO2 setelah adanya
perubahan lahan dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2010?
2. Berapa kadar CO2 setiap waktu yang dihasilkannya di setiap ruas jalan utama di
Kota Cibinong yang diakibatkan oleh kendaraan bermotor ?
3. Bagaimana arahan RTH secara spasial, khusunya pada jalur hijau jalan utama di
Kota Cibinong untuk mengurangi kadar CO2 akibat emisi gas buang kendaraan
bermotor?
Tujuan Penelitian
Untuk menjawab pertanyaan pada rumusan masalah di atas, maka penelitian ini
bertujuan untuk :
1. Menganalisis daya serap ruang terbuka hijau terhadap karbondioksida di Kota
Cibinong berdasarkan perubahan lahan dari tahun 2000 ke tahun 2010.
2. Menganalisis besarnya kadar CO2 setiap waktu yang dihasilkannya di setiap ruas
jalan utama di Kota Cibinong yang diakibatkan oleh kendaraan bermotor.
3. Memberikan arahan RTH secara spasial, khusunya pada jalur hijau jalan utama di
Kota Cibinong untuk mengurangi kadar CO2 akibat emisi gas buang kendaraan
bermotor.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa :
6
1. Memberikan informasi kondisi perubahan lahan dan dan pengaruhnya terhadap
kemampuan menyerap CO2, kondisi kadar CO2 pada ruas jalan utama yang
diakibatkan oleh emisi gas buang kendaraan bermotor, serta arahan RTH pada jalur
hijau jalan untuk mengurangi dampak emisi gas buang.
2. Sebagai masukan bagi pemerintah daerah untuk penanganan ruang terbuka hijau dan
pengurangan emisi gas buang Karbondoksida.
II TINJAUAN PUSTAKA
Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Pengertian Ruang Terbuka Hijau
Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok,
yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik
yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam (Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor : 05/Prt/M/2008 Tentang Pedoman Penyediaan Dan
Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Perkotaan). Joga, N dan Ismaun, I
(2011) lebih menekankan bahwa RTH merupakan suatu kawasan /lahan yang
mengandung unsur dan struktur alami yang dapat menjalankan proses-proses ekologis,
seperti pengendalian pencemaran udara, ameliorasi iklim, pengendali tata air, dan
sebagainya. Unsur alami inilah yang menjadi ciri RTH di wilayah perkotaan, baik unsur
alami berupa tumbuh tumbuhan atau vegetasi, badan air, maupun unsur alami lainnya.
Keberadaan RTH di kawasan perkotaan memberikan manfaat secara langsung
maupun tidak langsung terhadap kehidupan masyarakat perkotaan, baik berupa
keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan kota karena meningkatnya
kualitas lansekap kota itu sendiri. Keamanan mempunyai pengertian bahwa RTH dapat
memberikan jaminan aman dari dampak lingkungan berupa banjir, polusi, dll.
Kenyamanan mempunyai pengertian bahwa kualitas udara yang baik sesuai kebutuhan
manusia memberikan rasa nyaman bagi masyarakat kota. Kesejahteraan mempunyai
pengertian bahwa RTH dapat mempunyai fungsi ekonomi dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, serta tentunya unsur alami yang ada dapat menunjang
terbentuknya keindahan kota.
Klasifikasi RTH
Ruang Terbuka Hijau dapat diklasifikasikan berdasarkan fisiknya berupa RTH
alami dan buatan, berdasarkan kepemilikannya berupa RTH publik dan privat,
berdasarkan bentuknya berupa kawasan dan jalur, serta berdasarkan fungsinya berupa
ekologis, ekonomis, sosial budaya, dan estetika (Permenpu Nomor 05/PRT/M/2008).
Klasifikasi RTH ini menjadi penting guna mengidentifikasi dan memilah RTH sehingga
memudahkan dalam merencanakan kebutuhan RTH dalam kawasan perkotaan. Tabel 1
menjelaskan klasifikasi ruang terbuka hijau (Joga dan Ismaun, 2011) :
7
Tabel 1 Klasifikasi ruang terbuka hijau
Ruang
Terbuka
Hijau
1. RTH Pertanian dan RTH Kehutanan (Sawah, kebun, hutan Lindung,
Hutan Kota, Hutan Rekreasi, Taman Hutan Raya)
2. RTH Olahraga, RTH Pemakaman, RTH Lainnya (Botanic Park, Zoo
Park, Arboretum, Tempat Latihan Militer)
3. RTH Pertamanan
RTH
Taman
Taman Berdasarkan Hirarki
(Taman
Kota,
Taman
Kecamatan, Taman Lingkungan)
Taman
berdasarkan
fungsi
(taman
rekreasi,
taman
bangunan, taman atap, taman
dekorasi tata hijau kota, dll)
RTH Jalur
Jalur Hijau Tepian Air (bantaran
kali, setu, dll)
Jalur Hijau Pengaman (bantaran
rel KA, pipa gas, dll)
Jalur Hijau Jalan (JHJ Tol,
arteri, lingkungan)
Sumber : - Permenpu No. 5/PRT/M/2008
- Joga dan Ismaun (2011)
Fungsi RTH dalam Penyerapan Kadar CO2
Beberapa fungsi ekologis RTH di kota adalah antara lain sebagai areal resapan
air menghasilkan oksigen, meredam kebisingan, filter dari partikel padat yang
mencemari udara kota, menyerap gas-gas rumah kaca atau hujan asam, penahan angin,
mencegah intrusi air laut, ameloerasi iklim serta konservasi air tanah.
Hutan kota merupakan penyerap gas karbon dioksida yang cukup penting, selain
dari fitoplankton, ganggang dan rumput laut di samudera. Dengan berkurangnya
kemampuan hutan dalam menyerap gas ini sebagai akibat menyusutnya luasan hutan
akibat perladangan, pembalakan dan kebakaran, maka perlu dibangun ruang terbuka
hijau untuk membantu mengatasi penurunan fungsi hutan tersebut. Cahaya matahari
akan dimanfaatkan oleh semua tumbuhan, baik ruang terbuka hijau, hutan alami,
tanaman pertanian dan lainnya dalam proses fotosintesis yang berfungsi untuk
mengubah gas karbon dioksida dengan air menjadi karbohidrat (C6H12O6) dan oksigen
(O2). Proses kimia pembentukan karbohidrat (C6H12O6) dan oksigen (O2) adalah 6
CO2 + 6 H2O + Energi dan klorofil menjadi C6H12O6 + 6 O2.
Proses fotosintesis sangat bermanfaat bagi manusia. Pada proses fotosintesis
dapat menyerap gas buang, yang bila konsentrasinya meningkat akan beracun bagi
manusia dan hewan, serta akan mengakibatkan efek rumah kaca. Di lain pihak proses
fotosintesis menghasilkan gas oksigen yang sangat diperlukan oleh manusia dan hewan.
Kota merupakan pusat perekonomian masyarakat, yang mengakibatkan wilayah
perkotaan menjadi daerah yang sangat ramai, padat dengan aktivitas dan penggunaan
lahan. Pada akhirnya, banyak Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang beralih fungsi menjadi
infrastruktur kota hasil pembangunan. Berkurangnya RTH menyebabkan perkotaan
8
menjadi lingkungan yang sakit dan tercemar. Salah satu indikasi dari penurunan kualitas
lingkungan perkotaan adalah meningkatnya kadar CO2 di udara. Selain berdampak
buruk bagi lingkungan perkotaan, peningkatan ini juga memicu kerusakan lingkungan
bumi melalui pemanasan global. Oleh karena itu, diperlukan penanggulangan langsung
dari sumber produsen CO2, yaitu daerah perkotaan. Hal ini dilakukan dengan cara
menanam tanaman yang dapat mereduksi peningkatan kadar CO2 di wilayah perkotaan.
Dalam pembangunan hutan kota ini, pengetahuan tentang kemampuan daya serap
tanaman terhadap CO2 akan menentukan keberhasilan pembangunan. Oleh karena itu,
diperlukan data akurat mengenai daya serap CO2 dari berbagai jenis tanaman hutan kota
sehingga tercipta suatu wujud hutan kota yang efektif dan efisien.
Tanaman pepohonan yang ada di dalam dan di sekitar kota diarahkan tuntuk
mengatasi efek pulau bahang. Efek pulau bahang adalah gejala lebih hangatnya suhu
udara khususnya di pusat kota. Hal ini diperburuk dengan adanya global warming. Kota
yang dulunya sejuk, kini berubah menjadi semakin panas. Meningkatnya suhu udara di
seluruh permukaan bumi sebagai akibat meningkatnya gas rumah kaca. Salah satu gas
penyebab efek rumah kaca yang penting adalah gas CO2 atau Karbondioksida (Dahlan
2013).
Keberadaan tanaman di kota akan membantu menyerap karbondioksida
terserbut. Penanaman pohon yang tepat, baik diameter tajuk yang lebar, kerapatan
pohon yang baik, dan sebaran tanaman merata di seluruh kota, bahkan hutan kota
tersebar dimana-mana akan menciptakan kondisi suhu kota yang sejuk. Beberapa hal
yang harus diperhatikan agar tanaman dapat maksimal mengatasi efek rumah kaca
melalui mekanisme rosot karbondioksida antara lain (Dahlan 2013) :
1. Jenis tanaman yang dipilih adalah jenis yang sangat rakus dalam menyerap gas
karbondioksida, seperti Trembesi dan banyak lagi hasil penelitian dilakukan.
2. Luas lahan cukup luas dan merata di seluruh kota
3. Jenis tanaman yang dipilih tergolong bongsor (fast growing), seperti Sengon.
4. Kepadatan pohon cukup rapat untuk menyerap lebih banyak karbondioksida
5. Jarak pohon dengan bangunan diatur sedemikian rupa lebih mendekati ke bangunan
tetapi disesuaikan dengan jenis tanaman yang memiliki diameter tajuk yang lebar
(jarak bisa 3 - 7 meter), dll
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menguji kemampuan ruang terbuka
hijau dapat mengurangi karbon dioksida (Prasetyo et al. 2002). Kemampuan tanaman
dalam menyerap gas karbon dioksida bermacam-macam. Menurutnya, hutan yang
mempunyai berbagai macam tipe penutupan vegetasi memiliki kemampuan atau daya
serap terhadap karbon dioksida yang berbeda. Tipe penutupan vegetasi tersebut berupa
pohon, semak belukar, padang rumput, sawah. Daya serap berbagai macam tipe vegetasi
terhadap karbon dioksida dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini.
Tabel 2 Daya serap ruang terbuka hijau terhadap kadar CO2
No.
1
2
3
4
Jenis Tutupan Lahan / Vegetasi
Pohon
Semak Belukar
Padang Rumput
Sawah
Sumber : Prasetyo et al dalam Adiastari (2011)
(Ton/ha/th)
569,07
55
12
12
9
Peran Jalur Hijau Jalan di Perkotaan.
Terdapat tiga dimensi utama dalam merpresentasikan keberadan pohon-pohon di
kota yaitu dimensi estetika, kontrol sosial, dan identitas kota atau negara. Keberadaan
pohon-pohon di kota memberikan kenyamanan bagi penduduk kota, baik keindahan,
kebebasan mengakses oleh semua lapisan strata sosial, bahkan rasa memiliki kota (sense
of belonging) dengan ciri penataan lansekap yang baik. Beberapa negara di Eropa telah
menerapkan batas kawasan hunian (residential), batas kota, bahkan batas negara berupa
jalur hijau jalan. Penataan pohon di jalur hijau jalan tersebut, berfungsi sebagai 'green
space fashions', menjadikan kunjungan ke Eropa meningkat.
Dalam konsep infrastruktur hijau (Joga dan Ismaun 2011), infrastruktur hijau
merupakan kerangka ekologis untuk berkelanjutan lingkungan, sosial, dan ekonomi;
singkatnya sebagai sistem kehidupan alami bekelanjutan. Infrastsruktur hijau
merupakan jaringan yang saling berhubungan antara sungai, lahan basah, hutan, habitat
kehidupan liar, dan daerah alami di wilayah perkotaan, seperti jalur hijau, kawasan
hijau, dan daerah konservasi, dan berbagai RTH lainnya. Infrastrukut hijau merupakan
jaringan terpadu dari berbagai jenis RTH, terdiri atas area (hub) dan jalur (link). RTH
berbentuk area dapat berupa taman kota, taman lingkungan, taman pemakaman,
situ/danau, hutan kota, dan hutan lindung, dan lain-lain. Sedangkan, jalur hijau dapat
berbentuk jalur atau koridor, seperti jalur hijau jalan, jalur hijau sungai, jalur hijau
saluran utama tegangan tinggi, dan sebagainya, yang befungsi sebagai konektor areaarea hijau.
Secara planologis, jalur hijau merupakan pengendali perkembangan kota agar
tidak terjadi peluberan kota (urban sprawl). Salah satu cara untuk menyediakan ruang
terbuka hijau di jalan atau jalur hijau jalan adalah dengan menerapkan pengaturan garis
sempadan jalan/bangunan pada setiap ruas jalan. Prinsip umum yang sering
dipergunakan dalam penerapan aturan teknis, panjang garis sempadan bangunan/jalan
adalah menggunakan rumus 0,5 x ROW (damija). ROW (Right Of Way) atau Damija
(Daerah Milik Jalan) adalah lebar jalan dihitung dari pagar jalan ke pagar jalan sisi
lainnya. Garis sempadan bangunan/ jalan dihitung dari pagar jalan ke arah bagunan.
Misalnya, apabila bangunan di ruas jalan dengan Damija 10 m maka garis sempadan
yang berlaku adalah 5 m dihitung dari pagar jalan ke arah bangunan sehingga tersedia
ruang antara bangunan dan jalan yang bisa dipergunakan untuk ruang terbuka hijau.
Menghitung Kadar CO2 di Jalan
Menurut Yamin et al. dalam Sihotang (2010), untuk menghitung kadar CO2
menggunakan apa yang disebut dengan kekuatan emisi. Kekuatan emisi (emission
strength) menunjukkan volume emisi yang dikeluarkan per satuan waktu. Untuk suatu
cerobong, kekuatan emisi merupakan hasil perkalian antara kecepatan lepasan emisi
dengan luas penampang cerobong Untuk menentukan kekuatan emisi (Q). Simbol
kekuatan emisi adalah Q karena mempunyai makna juga adalah debit, dimana satuannya
adalah gram/detik atau besarnya konsentrasi yang melaju. Persamaan Kekuatan Emisi
yang dibuat oleh Yamin et al tersebut adalah :
= ×
× × …………………………..…(1)
Dimana:
Q = kekuatan emisi (gram/detik)
n= jumlah kendaraan (smp/detik) atau arus kendaraan berupa satuan mobil penumpang
(smp) per waktu
10
FE= faktor emisi (gram/liter)
K= konsumsi bahan bakar (liter/100km)
L= panjang jalan (km)
Data arus kendaraan diperoleh langsung melalui survai penghitungan lalu lintas
pada waktu penelitian , sedangkan faktor emisi dan konsumsi bahan bakar diperoleh
dari studi literatur yang telah ada
a. Menghitung Arus Kendaraan
Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) Tahun 1997 yang diterbitkan
oleh Direktotrat Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum, Arus kendaraan adalah
jumlah kendaraan bermotor yang melewati suatu titik pada jalan per satuan waktu,
dinyatakan dalam kendaraan/jam (Qkend), smp/jam (Qsmp) atau LHRT ( Lalu-lintas
Harian Rata-Rata Tahunan) atau dapat juga dihitung per hari sesuai dengan kepentingan
penggunaannya. MKJI merupakan hasil penelitian dari Kementrian Pekerjaan Umum
perihal teknik lalu lintas dan jalan berdasarkan perilaku lalu lintas pengemudi dan
jaringan jalan di Indonesia. MKJI menjadi acuan dan pedoman bagi para pelaku di
bidang transportasi, baik pihak pemerintah, swasta, dan masyarakat sehingga para
pelaku mempunyai persamaan dalam mengelola tranportasi , khususnya manajemen lalu
lintas jalan.
Data arus lalu lintas dapat berupa arus lalu lintas rencana disesuaikan dengan jam
rencana dan analisis, atau berupa arus harian. Untuk kepentingan menghitung kadar
CO2 , data arus lalu lintas yang diperlukan berupa arus lalu lintas dalam satu hari (sesuai
rumus kekuatan emisi). Apabila data arus lalu lintas diperoleh, baik melalui traffic
counting, estimasi dengan pola lalu lintas atau pergerakan antara zona, harus dilakukan
konversi ke smp (satuan mobil penumpang) dengan mengalikan jumlah kendaraan
dengan ekivalensi mobil penumpang (emp) dari MKJI tersebut. Sehubungan lokasi
penelitian berada di Kota Cibinong, khususnya untuk perhitungan arus lalu lintas pada
ruas jalan, yang memiliki karakteristik jalan dua lajur-dua arah tidak terbagi (2/2
UnDivided) dan jalan empat lajur dua arah 4/2 D, maka ekivalensi mobil penumpang
yang dapat digunakan adalah mengacu kepada tabel 3 beriktu ini :
Tabel 3 Ekivalensi kendaraan penumpang (emp) untuk jalan 2/2 UD dan 4/2 D
Tipe Jalan :
Jalan Tak
Terbagi (UD)
Dua lajur tak
terbagi (2/2
UD)
EMpat Lajur
terbagi (4/2 D)
Arus Lalu
lintas total
dua arah
(kend/jam)
0 - 1800
emp
Kendaraan Kendaraan
Ringan
Berat
1
1,3
Sepeda
Motor
0,4
> 1800
0 - 3700
1
1
1,2
1,3
0,25
0,4
> 3700
1
1,2
0,25
Sumber : MKJI ; Direktotrat Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum 1997
11
b. Faktor Emisi
Faktor emisi adalah adalah nilai representatif yang menghubungkan kuantitas
suatu polutan yang dilepaskan ke atmosfer dari suatu kegiatan yang terkait dengan
sumber polutan. Faktor-faktor ini biasanya dinyatakan sebagai berat polutan dibagi
dengan satuan berat, volume, jarak, lamanya aktivitas yang mengemisikan polutan atau
durasi dari komponen kegiatan yang mengemisikan polutan tersebut.
Tabel 4 Faktor emisi karbondioksida kendaraan bermotor
No.
Jenis Kendaraan
1 Sepeda motor
2 Mobil penumpang
a. Bensin
b. Solar
3 Bis
4 Truk
gr/km
ton/km
266 0,000266
270
190
770
770
0,000270
0,000190
0,000770
0,000770
Sumber : Mesi Shinta Dewi (2008)
c. Panjang Jalan
Panjang jalan untuk perhitungan arus lalu lintas biasanya dibatasi pada
persimpangan jalan sehingga titik awal nya adalah persimpangan dan titik akhir
persimpangan juga. Oleh karena itu, antara kedua simpang tersebut dikenal dengan ruas
jalan. Ruas jalan penting ditentukan untuk menghitung jumlah kendaraan dan polusi
yang terjadi. Ruas jalan dapat mengacu kepada yang sudah ditetapkan oleh pemerintah
atau menghitung tersendiri pada peta jaringan jalan yang sudah ada dengan
menggunakan GIS.
Penggunaan Lahan
Menurut Arsyad (1989), lahan didefinisikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri
dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda di atasnya sepanjang memiliki
pengaruh terhadap penggunaannya, termasuk di dalamnya hasil kegiatan manusia di
masa lalu dan sekarang. Lahan mempunyai tiga fungsi utama, yaitu fungsi produksi dan
wadah, seperti tempat tinggal, produksi tanaman dan penggembalaan, fungsi regulasi
seperti siklus tanaman, keseimbangan air dan tanah, proses asimilasi, dan fungsi
informasi seperti ilmu pengetahuan dan sejarah.
Penggunaan lahan perkotaan adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menunjukan pembagian dalam ruang dari peran kota, seperti kawasan tempat tinggal,
kawasan tempat bekerja, dan kawasan rekreasi (Jayadinata 1999). Semakin tinggi suatu
peran kota pada sektor tertentu akan mendorong perkembangan kawasan lainnya. Oleh
karena itu, perubahan lahan perkotaan akan mendorong peralihan fungsi lahan dari
lahan tidak terbangun (misalnya lahan pertanian, ruang terbuka hijau, dll.).
12
Sistem Informasi Geografis dalam Analisis Ruang Terbuka Hijau
Penerapan SIG dalam Analisis Perubahan Lahan
Sistem informasi geografis dapat membantu menganalisis perubahan lahan dari
kurun waktu tertentu ke waktu yang ditentukan. Data penggunaan lahan pada tahun
yang berbeda merupakan data yang mutlak harus ada sebagai bahan komparasi
penggunaan lahan pada tahun awal dengan penggunaan lahan pada tahun akhir.
Perbandingan peta tersebut tentunya harus mempunyai kualitas peta yang sama untuk
mempermudah proses analisisnya (Indarto dan Faisol 2012).
Sistem informasi geografis menganalisis perubahan lahan dengan metode
tumpang susun dua peta yang berbeda waktu nya tetapi mempunyai informasi yang
sama. Pendekatan ini akan mempermudah menemukan pola perubahan lahan, misalnya
dari persawahan ke permukiman, atau perkebunan ke permukiman, dan sebagainya.
Dalam sistem informasi dikenal jargon data sampah akan menghasilkan sampah. Oleh
karena itu, input data menjadi sangat penting dalam proses analisis menggunakan sistem
informasi geografis.
Berbagai pendekatan dalam memperoleh data yang baik banyak digunakan, salah
satunya adalah dengan memanfaatkan penginderaan jauh. Penginderaan jauh sekarang
tidak hanya menjadi alat bantu dalam menyelesaikan masalah. Begitu luasnya
lingkupnya aplikasi penginderaan jauh sehingga dewasa ini bidang tersebut telah
menjadi semacam kerangka keraja dalam menyelesaikan berbagai masalah terkait
dengan aspek ruang (lokasi, area), lingkungan (ekologis), dan kewilayahan, baik skala
besar maupun skala sangat kecil (Danoedoro 2012). Pendekatan penginderaan jauh
adalah pendekatan model. Model merupakan representasi dari realitas karena fenomena
alam bersifat sangan komplek maka untuk dapat memahami realitas tersebut dibutuhkan
penyederhanaan. Model akan membatu kita memahami, mendeskripsikan atau
memprediksi bagaimana fenomena ata realitas itu bekerja pada dunia nyata (Indarto dan
Faisol 2012). Model berbasis representasi mendeskripsikan objek-objek di permukaan
bumi (seperti bangunan, sungai, jalan, dan hutan) melalui layer data di dalam sistem
informasi geografis. Analisis dilakukan pada data terformat dalam bentuk layer data
berbetuk raster maupun layer yang berisi data vektor.
Untuk analisis skala kota sangat disarankan menggunakan peta dari citra satelit
yang beresolusi tinggi. Keunggulan citra satelit tersebut lebih ditekankan kepada
kemampuannya dalam membantu interpretasi visual atau sebagai pengganti foto udara.
Dengan kedalaman resolusi sampai 0,5 meter, informasi yang dihasilkan pun akan lebih
akurat sehingga dengan dibantu survai lapangan (Ground True Check) pun informasi
akan semakin mendekati faktanya. Penggunaan lahan atau tutupan lahan hasil
pengolahan dari citra satelit resolusi tinggi (GeoEye, Quckbird, Ikonos, dll) diharapkan
dapat menghasilkan analisis perubahan lahan yang cukup akuntable dan presisi. Selain
itu, citra resolusi tinggi dapat membantu mengidentifikasi jenis dan kerapatan vegetasi
tetapi pada penelitian ini hanya digunakan dalam mengidentifikasi penggunaan lahan,
serta analogi indek vegetasi digunakan untuk penentuan skor fungsi ekologis
penggunaan lahannya.
13
Indek Vegetasi dalam Penentuan Skor Fungsi Ekologis Penggunaan Lahan
Indek vegetasi merupakan suatu bentuk transformasi spektral yang diterapkan
terhadap citra multisaluran untuk menonjolkan aspek kerapatan vegetasi ataupun aspek
lain yang berkaitan dengan kerapan, misalnya biomassa (Danoedoro 2012). Indek
vegetasi dikembangkan terutama berdasarkan feature space tiga saluran : hijau, merah,
dan inframerah dekat. Ketiga saluran ini cukup representatif dalam menyajikan
fenomena vegetasi. Penggunaan lahan di bumi akan memberikan nilai pantulan yang
berbeda-beda. Oleh karena itu, dikenal dua garis yaitu garis vegetasi dan garis tanah.
Garis vegetasi dibentuk oleh pantulan lahan yang memiliki vegetasi berdaun lebar dan
sangat rapat, sedangkan garis tanah dibentuk oleh pantulan lahan terbuka kering.
Vegetasi dengan kerapatan yang variasi terletak di antara kedua garis tersebut.
Menganalogikan indek vegetasi di atas, maka penggunaan lahan pun dapat
mengasumsikan kepada analogi indek vegetasi tersebut. Untuk penggunaan lahan
permukiman dapat dinyatakan bahwa di permukiman tidak ada vegetasi sehingga skor
yang diberikan nilai 5, tanah kosong nilai 4, sawah nilai 3, semak belukar nilai 2 ,dan
kebun / perkebunan nilai 1.
Penerapan SIG dalam sebaran karbondioksida tiap ruas jalan dan arahan
RTH
Untuk menggambarkan interaksi antar objek yang dimodelkan pada model
representatif disebut model berbasis proses. Hubungan tersebut dimodelkan
mengunakan berbagai alat atau metode analisis spasial. Beberapa proses operasi
mungkin sederhana, sementara operari lain mungkin lebih komplek sehingga
memasukan unsur logika, kombinasi beberapa proses, menggunakan pemrograman,
misalnya dengan bahasa pemrograman Visual Basic, dll (Indarto dan Faisol 2012).
Analisis spasial dilakukan dengan dua cara yaitu analisis spasial data raster dan
data vektor. Untuk kepentingan melihat sebaran kadar karbondioksida dan arahan RTH
menggunakan analisis data vektor. Pada prinsipnya, data berformat vektor ada tiga jenis
yaitu titik, garis, dan poligon. Ketiga jenis vektor tersebut digunakan untuk
mempresentasikan objek-objek yang ada di permukaan bumi. Ada beberapa jenis
operasi untuk analisis spasial antara lain, ekstraksi, overlay, dan proximity. Untuk
kepentingan analisis sebaran kadar karbondioksida setiap ruas jalan dapat dilakukan
dengan menampilkan hasil perhitungan kekuatan emisi berupa data tabular ke dalam
data vektor sehingga membentuk fitur baru.
Untuk mengetahui kondisi sebaran karbondioksida pada setiap ruas jalan di
penggunaan lahan sehingga bisa dijadikan landasan arahan ruang terbuka hijau maka
dapat dilakukan dengan perintah operasi overlay . Fungsi overlay merupakan alat untuk
membuat fitur dengan memotong fitur dengan fitur lain pada bagian yang
bersinggungan. Prinsipnya, informasi yang ada pada fitur sebaran kadar karbondioksida
akan diambil menjadi fitur baru setelah ditampalkan dengan fitur penggunaan lahan.
Sistem informasi geografis dapat melakukan fungsi-fungsi penggabungan suatu
informasi sehingga menghasilkan informasi baru yang sangat bermfaat dalam analisis
14
spasial. Software ArcGIS 10 sangat membantu dan mudah dioperasikan untuk
melakukan operasi-operasi yang disampaikan di atas.
III METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di Kota Cibinong Kabupaten Bogor Provinsi Jawa
Barat. Wilayah Kota Cibinong meliputi seluruh kelurahan di Kecamatan Cibinong (Kel.
Ciriung, Kel. Cirimerkar, Kel. Pabuaran, Kel. Cibinong, Kel. Pakansari, Kel. Tengah,
Kel. Harpan Jaya, Kel. Pondok Rajeg, Kel. Sukahati, Kel. Karadenan, Kel. Nanggewer
Mekar, Kel. Nanggewer), 6 Desa di Kecamatan Bojong Gede (Desa Pabuaran, Desa
Rawapanjang, Desa Bojong Gede, Desa Bojong Baru, Desa Kedung Waringin, Desa
Waringin Jaya), dan satu Desa di Kecamatan Citeureup (Desa Karang Asem Barat).
Selain lokasi penelitian berupa wilayah administrasi, lokasi penelitian ini
menitikberatkan penelitian pada beberapa ruas jalan di Kota Cibinong. Untuk
kepentingan penelitian ini, dipilih 10 ruas jalan utama pergerakan kendaraan bermotor
yaitu Ruas Jalan Mayor Oking, Jalan Karadenan-Pomad, Jalan Karadenan -PDAM,
Jalan PDAM-Setu Cikaret, Jalan Setu Cikaret-Raya Bogor, Jalan Setu CIkaret -POndok
Rajeg, Jalan Raya Bogor (Kandang Roda-Cikaret), Jalan Raya Bogor (Cikaret-simpang
Cibinong), Jalan Lanbaw, dan Jalan Tegar Beriman. Gambar 3 memperlihatkan lokasi
penelitian berupa batas wilayah administrasi dan Gambar 4 memperlihatkan lokasi
penelitian berupa 10 ruas jalan terpilih.
Waktu penelitian direncanakan selama 6 bulan, mulai bulan Agustus 2011
sampai dengan Desember 2012. Tahapan penelitian meliputi persiapan penelitian,
pengumpulan data, analisis perubahan lahan, analisis kandungan CO2, dan terakhir
analisis spasial arahan RTH.
15
15
Gambar 3 Lokasi Kota Cibinong (lokasi penelitian)
16
Gambar 4 Lokasi ruas jalan yang diteliti (lokasi penelitian)
17
Rancangan Penelitian
Untuk menjawab tujuan penelitian, dilakukan tahapan-tahapan pekerjaan meliputi
kebutuhan bahan dan alat penelitian, metode pengambilan dan pengolahan data, serta metode
analisis. Tabel 5 menjelaskan tahapan-tahapan penelitian mulai dari tujuan penelitian dampai
keluaran yang diharapkan.
Tabel 5 Matrik rancangan penelitian
Jenis dan
Tujuan
Sumber
Penelitian
Data
Mengetahui
Peta
kemampuan
Penggunaan
daya serap RTH Lahan tahun
terhadap
2000
(peta
karbondioksida
RBI,
berdasarkan
bakorsurtanal),
citra Quickbird
perubahan lahan
2010
Mengetahui
besarnya kadar
karbondioksida
setiap
waktu
yang
dihasilkannya di
setiap ruas jalan
yang diakibatkan
oleh kendaraan
bermotor
Peta ruas jalan,
Jumlah
kendaraan,
faktor emisi,
konsumsi
bahan bakar
Memberikan
arahan
RTH
secara spasial,
khusunya pada
jalur hijau jalan
utama di Kota
Cibinong untuk
mengurangi
kadar
CO2
akibat emisi gas
buang kendaraan
bermotor
-
-
Peta sebaran
kadar
karbondioksida per ruas
jalan
Peta
penggunaan
lahan tahun
2010
Teknik
Teknik Analisis
Pengumpulan
Data
Data
Survai sekunder - Analisis tumpang
Interpretasi citra susun
tutupan
Quickbird (digit lahan
on
screen) - Perhitungan daya
berbasis
peta serap
RBI
karbondioksida
(luas lahan x daya
serap
lahan
terhadap CO2)
- Studi literatur
- Perhitungan
- Survai sekunder
kekuatan emisi
- Survai
primer tiap ruas jalan
perhitungan lalu - Analisis distribusi
lintas
(traffic spasial kekuatan
counting)
dan emisi tiap ruas
konversi
ke jalan
satuan
smp
(satuan
mobil
penumpang)
-
analisis
spasial
dengan
proses
tumpang
susun
antara peta sebaran
karbondioksida per
ruas jalan dengan
peta penggunaan
lahan tahun 2010
Keluaran
- Peta perubahan
lahan
tahun
2000 dan 2010
- Tabel
perhitungan
daya
serap
karbondioksida
-
Peta
sebaran
kadar
karbondioksida
per ruas jalan
-
Peta
analisis
spasial
ruang
terbuka
hijau
pada ruas jalan
-
18
Bahan dan Alat Penelitian
Peralatan yan