Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

(1)

Daftar Pustaka

Abdul Ghoffar, KejujurandalamBingkaiHakMemilih-Dipilih (PelajarandariPemilukada Bengkulu Selatan), JurnalKonstitusi Volume 8 Nomor 1 Februari 2011, SekertariatJenderaldanKepaniteraanMahkamahKonstitusi. 2011.

A. AhshinThohari, Komisi yudisial dan reformasi peradilan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarkat (ELSAM), Jakarta, 2004.

Akil Mochtar, Mahkamah Konstitusi dan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), Jakarta, 2010.

Amancik, Model PemilihanKepala Daerah Berdasarkan UUD 1945 DalamRangkaOtonomi Daerah, Jurnal pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2013.

A Mukthie Fadjar,Pemilu yang Demokratis dan Berkualitas: Penyelesaian Hukum, Pelanggaran Pemilu dan PHPU, Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor 1, 2009.

Arbi Sanit, Reformasi Politik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008.

Bintan R. Saragih, Sistem Pemerintahan dan Lembaga Perwakilan di Indonesia, Jakarta, Perintis Press, 1985.

Bewa Rawagino, Hukum Tata Negara, Universitas Padjajaran, Bandung, 2007.

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1998, hlm. 219.

Hendra Sudrajat, Kewenangan Mahkamah Konstitusi Mengadili Perselisihan Hasil Pemilukada, Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi Volume 7, Nomor , Agustus 2010.

H. M Thallah, Teori demokrasi dalam wacana ketatanegaraan persepektif pemikiran hans kelsen, Jurnal hukum no. 3 vol 16, Bandung, 2009.

Juli 2013.


(2)

diakses tanggal 17 Agustus 2013.

IbnuTricahyo,”MenataManagemenPemilihanKepala Daerah”, Makalah, Padalokakarya MPR.

J. Van Kandan J.H. Beekhuis, PengantarIlmuHukum( Jakarta : PT Pembangunan Ghalia Indonesia, 1982.

J.S. Badudu, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta, 1994.

JimlyAsshiddiqie, Perkembangan Dan KonsolidasiLembaga Negara PascaReformasi, CetakanKedua, SekretariatJendralMahkamahAgung RI, Jakarta, 2006.

JimlyAsshiddiqie, Pokok-PokokHukum Tata Negara Indonesia PascaReformasi, BIP, Jakarta, 2007.

JimlyAshidiqie, Konstitusi Dan Konstitusialisme Indonesia, SekretariatJendraldanKepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006.

JimlyAshiddiqie,http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_H ukum_Indonesia.pdf, diakses pada tanggal 04 Februari 2012.

Janedjri M. Gaffar, Kedudukan, Fungsi Dan PeranMahkamah Konstitusi DalamSistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, Surakarta, 2009.

Janedjri M. Gaffar, “MeretasDemokrasiSubstantif”, Seputar Indonesia, 27 Desember 2010.

Kacung Marijan, Demokratisasi di Daerah (Pelajaran dari Pilkada Secara Langsung), Surabaya, Eureka-Pusdeham, 2006.

KasusPilkadaKotawaringin Barat RawanNularke

Bkl

=viewarticle&ci=8&artid=7359, diakses 11 November 2010.

KomisiYudisialRepubik Indonesia,

BungaRampaiRefleksiSatuTahunKomisiYudisial, KomisiYudisialRepublik Indonesia, Jakarta, 2006.

Mahkamah Agung, Cetak biru mahkamah agung, Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung, Jakarta, 2010.


(3)

Mahkamah Agung, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (Lakip), Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung, Jakarta, 2011.

MaruararSiahaan, ImplementasiPutusan No. 27/PHPU.D-VIII/2010

MengenaiPerselisihanHasilPemilihanUmumKepala Daerah KabupatenLamongan, JurnalKonstitusi Volume 8 Nomor 1 Februari 2011,

SekertariatJenderaldanKepaniteraanMahkamahKonstitusi. 2011.

Miftakhul Huda, Pola Pelanggaran Pemilukada dan Perluasan Keadilan Substantif, Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi Volume 8, Nomor 2, April 2010.

Montesquieu, MembatasiKekuasaanTelaahMengenaiJiwaUndang-Undang, PT GramediaPustakaUtama, Jakarta, 1993.

Moh.KusnardidanHarmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, PS HTN Universitas Indonesia, Jakarta, 1983.

“MK MerampasKewenangan KPU dan PTUN, http://mediaindonesia.com/ webtorial/ tanahair/?bar_id=MTYwNTEx”, diakses 11 November 2010.

Muchsin, KekuasaanKehakiman Yang Merdeka Dan KebijakanAsasi, Cetakan I, STIH Iblam, Depok, 2004.

MuhamadTahirAzhary, Negara Hukum: SuatuStudiTentangPrinsip-PrinsipnyaDilihat Dari SegiHukum Islam, ImplementasinyaPada Negara MadinahdanMasaKini, Kencana Jakarta, 2003.

NandangAlamsahDeliarnoor,

TinjauanTeoretisYuridisSengketaPemilihanKepala Daerah (Pilkada), MakalahDisampaikandalamacara “SosialisasiPemilihanUmumGubernur Dan WakilGubernurJawa Barat 2008” bertempat di PusatPengembangan Islam Bogor (PPIB) padahariRabu, 26 Maret 2008, ataskerjasama KPUD ProvinsiJabardenganLemlit UNPAD.

NukthohArfawie,TelaahKritisTeori Negara Hukum, PustakaPelajar, Yogyakarta, 2007.

Noorwahidah, SengketaPemilukadaKotawaringin Barat (AnalisisTerhadapPutusan MK No. 45/PHPU.D-VIII/2010 dariPerspektifHukum Negara danHukum Islam), JurnalKonstitusi Volume 8 Nomor 1 Februari 2011, SekertarianJenderaldanKepaniteraanMahkamahKonstitusi. 2011.

Perkara No.3/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR , DPD Dan DPRD terhadap Undang-Undang Dasar 1945.


(4)

Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya, 1994.

PutusanMahkamahKonstitusiNomorNomor: 072- 073 /PUU-II/2004 tanggal 25 Maret 2005.

PutusanMahkamahKonstitusiRepublik Indonesia Nomor 45/PHPU.D-VIII/2010 tanggal 7 Juli 2010 (selanjutnyadisebutPutusan MK), hlm.193-194.

Ramlan Surbakti dkk, Perekayasaan Sistem Pemilu Untuk Pembangunan Tata Politik Demokratis, Jakarta: Partnership, 2008.

RizkyArgama, “Ramai-ramaiMatikanDemokrasi Daerah” demokrasi-daerah-broleh-rizky-argama, diakses 11 November 2010.

Rudratyo, Jurnal Konstitusi Vol II No.1, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2009.

”SaksiAhliDukungPutusan MK KasusKotawaringin Barat”,

http://www.jpnn.com /index.php?mib=berita.detail&id=68858 diakses 11 November 2010.

SamsulWahidin, HukumPemerintahan Daerah

MengawasiPemilihanUmumKepala Daerah, PustakaPelajar, Yoyakarta, 2008.

“SengketaHasilPemiluKepala Daerah KeadilandanMasalahHukum”,

Diskusipublik yang diselenggarakanolehDivisiAdvokasidanBantuanHukum DPP PartaiDemokratdan Seven Strategic Studies padatanggal 6 Agustus 2010.

SoewotoMulyosudarmo,

PembaharuanKetatanegaraanMelaluiPerubahanKonstitusi, AsosiasiPengajar HTN dan HAN dan In-TRANS, Malang, 2004.

TitikTriwulanTutik, KonstuksiHukum Tata Negara Indonesia PascaAmandemen UUD 1945, Kencana, Jakarta, 2010.

Tri Karyanti, Sistem Ketatanegaraan Indonesia sebelum dan sesudah amandemen, Majalah Informatika Vol 3: Universitas Aki, 2012.

Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125.


(5)

Undang - Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1985; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 3316)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101;Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 5246)

Undang-UndangNomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316.

Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentangPenyelenggaraPemilu ; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4721.

.

WidodoEkatjahjana, Telaah Kritik Tas Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilukada Provinsi Jawa Timur, Jurnal Konstitusi Volume 8 Nomor 1 Februari 2011, Sekertariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2011.


(6)

BAB III

KEDUDUKAN MAHKAMAH AGUNG DAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM RUANG LINGKUP KEKUASAAN KEHAKIMAN INDONESIA

A. Konsep Negara Hukum

Negara hukum dalam bahasa Inggris disebut the rule of law atau dalam bahasa Belanda dan Jerman disebut rechtsstaat. The rule of law dan rechtstaat di Eropa adalah sistem hukum yang berbeda70.The rule of law berkembang di Inggris dan negara-negara Anglo Saxon lainnya sementara rechtsstaat berkembang di negara Eropa kontinental, akan tetapi keduanya memiliki ciri utama yakni pembatasan terhadap kekuasaan dalam penyelenggaraan negara. Pembatasan tersebut dilakukan dengan hukum dan menjadi dasar paham konstitusionalisme modern, oleh karena itu konsep negara hukum disebut juga sebagai negara konstitusional atau constitutional state.71

Pemikiran tentang negara hukum pertama kali dimulai oleh Plato dengan konsepnya bahwa penyelenggaraan negara yang baik adalah negara yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik pula, kemudian disebutnya dengan istilah Nomoi.72

70

JimlyAsshiddiqie,http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_In donesia.pdf, diakses pada tanggal 04 Februari 2012

71 Ibid..

72

Muhamad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Negara Madinah dan Masa Kini, Kencana Jakarta, 2003, hal 88.

Kemudian pemikiran Plato dipertegas muridnya Aristoteles, menurutnya negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan


(7)

konstitusi dan berkedaulatan hukum.73Sebuah filosofi Romawi kuno menyatakan

ubi societas ibi ius, yang artinya dimana ada masyarakat disitu ada hukum.74 Pada abad ke 17 pemikiran mengenai negara hukum menjadi populer karena keadaan sosial politik di Eropa yang didominasi absolutisme.Muncullah keinginan-keinginan untuk merombak struktur sosial politik yang tidak menguntungkan golongan pandai dan kaya menjadi negara hukum yang liberal.75 Dalam perkembangannya, konsep negara hukum mengalami perumusan yang berbeda-beda.Konsep negara hukum Eropa kontinental dipelopori oleh Immanuel Kant dan Julius Stahl.Imanuel Kant berpandangan bahwa negara hukum berfungsi sebagai penjaga malam (nacthwachers staat), artinya negara hanya menjaga agar hak-hak rakyat tidak dilanggar.Urusan mengenai kemakmuran rakyat negara tidak boleh ikut campur tangan. Pandangan Imanuel Kant ini memberikan gambaran negara “liberal“ dimana urusan individu warganya tidak boleh dicampuri oleh negara.76

1.pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;

Di sisi lain konsep Stahl tentang negara hukum memiliki empat unsur pokok yakni :

2.pemisahan kekuasaan;

3.pemerintahan dilaksanakan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur);

73

Nukthoh Arfawie,Telaah Kritis Teori Negara Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 14.

74 Ibid.

75

Muhamad Tahir Azhary, op.cit., hal. 89.

76


(8)

4.Adanya peradilan administrasi untuk mengadili perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pemerintah.77

Gagasan Stahl ini dinamakan negara hukum formil karena lebih menekankan kepada negara yang diatur oleh undang-undang.

Di inggris perkembangan konsep negara hukum dipelopori oleh A. V. Dicey yang disebut sebagai The rule of law, dimana dia menekankan pada tiga unsur utama yakni:

1. Supremacy of law, artinya bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam negara adalah hukum (kedaulatan hukum);

2. Equality before the law, artinya persamaan dalam kedudukan hukum bagi semua warga negara, baik selaku pribadi maupun dalam kualifikasinya sebagai pejabat negara;

3. Constitution based on individual right, artinya konstitusi bukan merupakan sumber dari hak-hak asasi manusia dan jika hak-hak asasi manusia itu diletakkan dalam konstitusi itu hanya menegaskan bahwa hak asasi itu harus dilindungi.

Pada saat ini konsep rechtsstaat yang dikembangkan Julius Stahl dikombinasikan oleh The International Commission of Jurists dengan konsep the rule of law yang dikembangkan A. V. Dicey menjadi prinsip-prinsip penting dari negara hukum, yakni:

1.Negara harus tunduk pada hukum;

2.Pemerintah menghormati hak-hak individu;

77


(9)

3.Peradilan yang bebas dan tidak memihak.78

Jadi, baik konsep rule of law maupun rechtstaat eksisitensi suatu negara haruslah tunduk terhadap supremasi hukum bukan terhadap negara itu.Titik Triwulan Tutik berpendapat “..., maka negara hukum hakikatnya adalah negara yang menolak melepaskan kekuasaan tanpa kendali.Negara yang pola hidupnya berdasarkan hukum yang adil dan demokratis.Kekuasaan negara didalamnya harus tunduk pada “aturan main”.”79

Salah satu instrumen penting di dalam suatu negara hukum adalah adanya kekuasaan kehakiman yang independen untuk menyelenggarakan peradilan guna mewujudkan kepastian hukum dan keadilan.

Kedaulatan hukum menempatkan negara harus tunduk di hadapan hukum. Kedaulatan negara tunduk dan mengabdi pada kedaulatan hukum karena hukum yang akan mengatur ketertiban masyarakat dan juga mengatur hubungan antara masyarakat dan negara. Pada konteks itu, kekuasaan politik yang dimiliki oleh otoritas negara juga harus tunduk dihadapan kedaulatan hukum.

80

78

Jimly Ashidiqie, Konstitusi Dan Konstitusialisme Indonesia, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta, 2006, hal. 12.

79

Titik Triwulan Tutik, Konstuksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Kencana, Jakarta, 2010, hal. 62.

80

Pasal 24 ayat (1) Undang Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

Berbagai konvensi Internasional, seperti: Universal Declaration of Human Rights , International Covenant Civil and Political Rights, International Bar Association Code of Minimum Standard of Judicial Independence , Beijing Statement of Independence of Judiciary in the Law Asia Region juga menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan salah satu komponen utama dalam suatu negara hukum. Konvensi dimaksud bahkan


(10)

juga mengemukakan lebih tegas kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan kehakiman yang independen, tidak memihak dan kompeten.

B. Sistem Kehakiman Indonesia 1. Teori pemisahan kekuasaan

Membahas mengenai kekuasaan kehakiman, maka tidak terlepas dari pemikiran trias politica milik Montesquieu81.Dalam bukunya L’Espirit des Lois, Mostesquieu mengikuti sebagian jalan pemikiran Jhon Locke, membagi kekuasaan negara ke dalam tiga cabang, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.82

Jhon Locke sebelumnya telah membagi fungsi kekuasaan negara kedalam tiga bagian, akan tetapi ada perbedaan yang dikembangkan oleh Montesquieu. Menurut Locke kekuasaan negara yang totaliter dapat dihindari dengan membatasi kekuasaan negara. Kekuasaan negara dibatasi dengan cara mencegah pemusatan kekuasaan dalam satu tangan atau lembaga, dilakukan dengan cara memisahkan kekuasaan dalam tiga bentuk. Ketiga fungsi kekuasaan yang dikembangkan oleh Locke adalah kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power)83

81

Nama lengkap dari Montesquieu adalah Charles de Secondat de la Brede et de Montesquieu

82

Jimly, op.cit.,Pokok-pokok Hukum Tata Negara..., hal. 13.

83

A. Ahshin Thohari, Komisi yudisial dan reformasi peradilan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarkat (ELSAM), Jakarta, 2004, hal 41.

. Dalam bidang eksekutif dan legislatif kedua sarjana ini memiliki pandangan yang sama, akan tetapi di bidang ketiga mereka berbeda pandangan. Bagi Montesquieu melihat pemisahan kekuasaan dari segi hak asasi manusia,kedudukan kekuasaan


(11)

kehakiman (yudisial) sangat penting.MenurutMontesquieu fungsi pertahanan (defence) dan hubungan luar negeri (diplomacy) sudah menjadi kewenangan dari eksekutif, sementara Locke berpandangan berbeda dengan mengatakan fungsi federatif lebih penting. Penjelmaan fungsi defence baru timbul bila fungsi

diplomacy terbukti gagal. Sementara fungsi yudikatif bagi Locke cukup dimasukan kedalam kategori legislatif, yaitu terkait dengan pelaksanaan hukum.

Mengenai ide pemisahan kekuasaan (separation of power) yang di kemukakan Montesquieu adalah berdasarkan hasil penelitiaannya terhadap konstitusi Inggris. Baginya bila kekuasaan legislatif dan eksekutif dipegang oleh satu orang atau satu lembaga yang sama, maka tidak akan ada kebebasan, karena akan terjadi penangkapan-penangkapan. Demikian pula, bila kekuasaan yudikatif tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif, kebebasan juga tidak akan ada. Seandainya kekuasaan yudikatif digabungkan dengan kekuasaan legislatif, maka kehidupan dan kebebasaan warga akan berada dalam pengawasan yang sewenang-wenang karena hakim akan berperan juga sebagai legislator atau pembuat hukum. Jika kekuasaan kehakiman digabungkan dengan eksekutif sebagai pelaksana hukum, hakim dapat bertindak dengan kekerasan atau penindasan.84

Montesquieu juga berpendapat “ kebebasan politik warga negara ialah ketenangan pikiran yang muncul dari pendapat bahwa tiap-tiap orang berada dalam keadaan aman. Untuk memiliki kebebasan ini, prasyaratnya ialah

84

Montesquieu, Membatasi Kekuasaan Telaah Mengenai Jiwa Undang-Undang, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hal. 45.


(12)

pemerintah diberi wewenang sedemikian rupa sehingga tak seorangpun perlu takut kepada orang lain.”85

Pemisahan kekuasaan (separation of power) dianggap dikembangkan oleh Montesqieu dalam trias politikanya. Namun pada perkembangannya banyak versi yang dipakai berkaitan dengan pemisahan atau pembagian kekuasaan ini.Tidak sedikit pro dan kontra di dalam kalangan para sarjana di dalam lapangan ilmu hukum dan politik.Sebagai salah satu bentuk kontra terhadap pemisahan kekuasaan, digunakan juga istilah pembagian kekuasaan sebagai terjemahan dari

distribution of power atau division of power.Salah seorang sarjana Arthur Mass malah membedakan pengertian pembagian kekuasaan kedalam dua bentuk yakni

capital division of power yang bersifat fungsional dan teritorial division of power

yang bersifat kewilayahan atau kedaerahan.86

Akan tetapi terkadang istilah pemisahan kekuasaan diidentikkan dengan istilah pembagian kekuasaan. Menurut Jimly Ashidiqie istilah pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan memiliki arti yang sama, tetapi tergantung konteks pengertian yang dianut. Penggunaan istilah pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan dapat dilihat dari dua konteks yang berbeda yaitu hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal dan hubungan kekuasaan yang bersifat vertikal.Dalam konteks vertikal pemisahan atau pembagian kekuasaan itu ditujukan untuk membedakan kekuasaan pemerintahan atasan dan pemerintahan bawahan, contohnya kekuasaan negara federal terhadap negara bagian atau pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sedangkan pemisahan kekuasaan yang

85 Ibid.

86


(13)

bersifat horizontal tercermin dalam pembagian fungsi-fungsi negara kedalam lembaga-lembaga yang berbeda, akan tetapi kedudukannya sederajat dan saling mengimbangi (checks and balances).87

a) Differentiation, maksudnya pemisahan keuasaan itu untuk membedakan fungsi-fungsi kekuasaan, seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif;

Untuk membatasi pengertian pemisahan kekuasaan G. Marshal dalam bukunya Constitutional Theory membedakan ciri-ciri doktrin pemisahan kekuasaan kedalam lima aspek yaitu:

b) Legal incompability of office holding, pemisahan kekuasaan mengkehendaki seseorang tidak rangkap jabatan diluar kekuasaan yang dipegangnya;

c) Isolation, immunity, independence, doktrin pemisahan kekuasaan mengkehendaki tidak adanya campur tangan atau intervensi dari satu cabang kekuasaan kepada cabang kekuasaan lainnya;

d) Checks and balances, adanya prinsip ini bertujuan untuk mencegah cabang kekuasaan tertentu menyalahgunakan kewenangannya, dimana setiap cabang kekuasaan mengimbangi dan memantau cabang kekuasaan lainnya; e) Coordinate status and lack of accountability, yakni prinsip koordinasi dan

kesederajatan.88

UUD 1945 sebelum amandemen menganut paham pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal. MPR sebagai lembaga tertinggi negara membagikan fungsi-fungsi tertentu sebagai tugas dan kewenangan kepada lembaga tinggi negara yang berada di bawahnya seperi Presiden, DPR ataupun MA.Dalam prinsip pembagian

87

Ibid

88

http://cleosa96.blogspot.com/2012/11/hukum-tata-negara.html. diakses tanggal 07 september 2013


(14)

kekuasaan yang bersifat vertikal tersebut, pemisahan kekuasaan yang sifatnya horizontal diantara lembaga tinggi negara tidak terwujud secara nyata.Sebagai contoh sebagian besar kekuasaan legislatif yang seharusnya dimiliki oleh DPR dipegang dan dilaksanakan oleh pemegang kekuasaan eksekutif yakni Presiden.Fungsi dari DPR hanya lebih kepada pengawasan kepada eksekutif daripada fungsi legislasinya.89

Setelah amandemen UUD 1945 barulah dapat dikatakan bahwa sistem konstitusi Indonesia telah mengikuti sistem pemisahan kekuasaan secara nyata.90 Penjernihan sistem pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan sangat penting karena akan mempengaruhi mekanisme kelembagaan dan hubungan antar lembaga. Dalam paham pemisahan kekuasaan, prinsip checks and balances

diantara lembaga-lembaga tinggi negara dianggap sebagai sesuatu yang pokok.91 Pada intinya prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan ditujukan untuk membatasi kekuasaan negara dari kemungkinan penyalahgunaan kewenangan dan penindasan oleh penguasa.Pengaturan dan pembatasan kekuasaan itulah yang menjadi ciri dari konstitusionalisme dan menjadi tugas utama konstitusi untuk mengendalikan dan meminimalkan kemungkinan kesewenang-wenangan pemegang kekuasaan.92

89

Jimly Ashidiqie, op.cit., Ilmu Hukum Tata Negara, hal. 113.

90

Jimly Ashidiqie, op.cit.,Pokok-pokok Hukum Tata Negara, hal. 291.

91

Jimly Ashidiqie, op.cit., Ilmu Hukum Tata Negara, hal. 133.

92 Ibid.


(15)

2. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia

Montesquieu menyatakan bahwa kekuasaan ketiga yang dinamakannya sebagai kekuasaan yudikatif berwenang untuk menghukum para penjahat atau memutuskan perselisihan yang timbul diantara orang- perorangan. Kekuasaan ini akan menjadi menakutkan orang-orang jika menjadi satu dengan cabang kekuasaan lainnya, sehingga ia menginginkan pemisahan yang secara tegas antara cabang kekuasaan yang ada terutama cabang kekuasaan yudisial.93 Sementara itu John Alder seperti yang dikutip oleh Jimly berpendapat “The principle of separation of power is particulary important for the judiciary”.94

Di dalam sistem negara modern, baik yang menganut sistem hukum

common law maupun civil law, baik yang menganut sistem pemerintahan parlementer maupun presidensial, tetap menempatkan posisi lembaga kekuasaan kehakiman (yudikatif) tersendiri, independen, dan bebas dari pengaruh kekuasaan-kekuasaan lainnya.95M. Yahya Harahap seperti dikutip oleh H. Muchsin berpendapat ada dua tujuan utama kebebasan kekuasaan kehakiman dari kekuasaan legislatif terutama dari eksekutif.Kedua hal tersebut adalah untuk menjamin terlaksananya peradilan yang jujur dan adil (to ensures a fair and just trial) dan agar peradilan mampu berperan mengawasi semua tindakan pemerintahan (to enable the judges to excercise control over govermant action).96

Ada dua prinsip yang dianggap penting dalam sistem peradilan, yaitu prinsip independensi dari peradilan (the principle of judicial independence) dan

93

Montesquieu, op.cit., hal. 45.

94

Jimly Ashidiqie, op.cit., Ilmu Hukum Tata Negara, hal. 45.

95 Ibid.

96

Muchsin, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dan Kebijakan Asasi, Cetakan I, STIH Iblam, Depok, 2004, hal.


(16)

prinsip ketidakberpihakan (the principle of judicial impartiality).97

Sebagai konsekuensi dari pengakuan Indonesia sebagai negara hukum, maka penegakan hukum dan keadilan dibebankan di pundak hakim. Tugas hakim untuk menegakkan hukum dan keadilan di dalam masyarakat merupakan tugas yang mulia, akan tetapi sangat berat untuk mengemban tugas tersebut. Berat karena hakim sebagai manusia juga tidak luput dari kesalahan ataupun kekhilafan, tetapi dengan segala kekurangan yang dimiliki hakim sebagai manusia biasa, ia diberi hak istimewa (previlege) oleh negara atas nama Tuhan Yang Maha Esa untuk menentukan salah atau benar tidaknya tindakan seseorang.Bahkan dalam perkara pidana hakim juga dihadapkan kepada keputusan mati atau tidaknya seseorang. Tugas hakim menjadi tugas mulia manakala dengan putusannya hakim mampu menunjukan cahaya kebenaran dan keadilan bagi masyarakat.

Prinsip independensi diwujudkan dengan bagaimana sikap hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara tanpa ada pengaruh apapun dari luar.Sementara prinsip ketidakberpihakan dapat dilihat sebagai hakim yang berada ditengah-tengah suatu perkara tanpa adanya kepentingan apapun kecuali memberikan keputusan yang memberikan rasa adil.

98

97

Jimly Ashidiqie, op.cit., Ilmu Hukum Tata Negara, hal. 52.

98

Komisi Yudisial Repubik Indonesia, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial, Komisi Yudisial Republik Indonesia, Jakarta, 20006, hal. 161.

Tidak sedikit tanggapan ataupun pandangan negatif terhadap hakim mengenai sejauh mana hakim dapat bekerja secara objektif, dan apakah hakim sebagai manusia bebas dan tidak berpihak selain kepada kebenaran tidak akan “bias”, Jimly memberikan pendapat :


(17)

“Dalam kegiatan bernegara, kedudukan hakim pada pokoknya bersifat sangat khusus. Dalam hubungan kepentingan yang bersifat triadik (triadic relation) antara negara (state), pasar (market), dan masyarakat madani (civil society), kedudukan hakim haruslah berada di tengah. Demikian pula dalam hubungan antara negara (state) dan warga negara (citizens), hakim juga harus berada diantara keduanya secara jelas.”99

Untuk memutus perkara secara objektif dan bebas tanpa adanya pengaruh apapun diantara pihak-pihak yang berkepentingan hakim haruslah bersifat mandiri, karena hakim merupakan penentu dalam proses peradilan. Dalam melaksanakan proses peradilan pengaruh-pengaruh dari pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang.100

Selain dari pendapat sarjana tentang prinsip-prinsip penting dari suatu peradilan, ada juga prinsip-prinsip yang harus dijadikan pegangan oleh para hakim. Forum International Judicial Confrence yang dilaksanakan di Banglore, India pada tahun 2001 disepakati draf kode etik dan perilaku hakim sedunia yang disebut The Bangalora Draft. Setelah mengalami revisi dan penyempurnaan, draf tersebut diterima oleh kalangan hakim di dunia dan dikenal dengan sebutan resmi

The Bangalora Principles of Judicial Conduct yang salah satu isinya adalah prinsip-prinsip yang harus dijadikan pegangan hakim di dunia yaitu prinsip independensi (independence), ketidakberpihakan (impartiality), integritas (intergrity), kepantasan dan kesopanan (propriety), kesetaraan (equality), serta prinsip kecakapan dan keseksamaan (competence and dilgence).101

Di Indonesia kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh dua lembaga tinggi negara, yakni Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya

99

Jimly Ashidiqie, op.cit., Ilmu Hukum Tata Negara, hal. 47.

100

Pasal 3 ayat (2)Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Pasal 3 ayat (2).

101


(18)

dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.102

MA sebagai puncak perjuangan keadilan bagi warga negara yang dalam pelaksanaan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya memiliki posisi yang strategis didalam hukum dan ketatanegaraan dengan format : 1. Menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan; 2.mengadili pada tingkat kasasi; 3.menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang; dan 4.berbagai kekuasaan atau kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.

Semenjak amandemen UUD 1945 dilakukan, MA tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga tinggi negara sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Saat ini MA duduk bersama MK di dalam kekuasaan kehakiman Indonesia.

103

Susunan dari Mahkamah Agung terdiri atas pimpinan, hakim anggota dan seorang sekretaris, yang mana pimpinan dan hakim anggota merupakan hakim agung dan jumlahnya paling banyak 60 orang.104

Ada empat lingkungan peradilan yang berada di bawah MA.Jika MA mengadili pada tingkat kasasi, maka peradilan yang ada dibawahnya mengadili pada tingkat pertama dan kedua. Keempat lingkungan peradilan tersebut adalah :

Para hakim agung diangkat oleh presiden dari nama yang diajukan oleh DPR. Calon hakim agung dipilih oleh DPR dari nama yang diusulkan oleh Komisi Yudisial.

102

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 ayat (2)

103

Titik Triwulan Tutik, op.cit., hal. 211.

104

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, Pasal 4 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9.


(19)

a) Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi Negeri (PTN) dalam lingkungan peradilan umum.

b) Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) dalam lingkungan peradilan agama.

c) Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam lingkungan peradilan tata usaha negara.

d) Pengadilan Militer (PM) dan Pengadilan Tinggi Militer dalam lingkungan peradilan Militer.

Disamping pengadilan tingkat pertama dan kedua dari keempat lingkungan peradilan yang ada, dikenal pula beberapa pengadilan khusus baik yag bersifat tetap ataupun Ad hoc.

Sedangkan MK merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan Indonesia. MK dibentuk untuk menjamin agar konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat ditegakkan sebagaimana mestinya, sehingga MK mendapat julukan lembaga pengawal konsitusi(the guardian of the constitution).105

MK di Indonesia memiliki kewenangan “...mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang keputusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”106

105

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Cetakan Kedua, Sekretariat Jendral Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2006, hal. 152.

106

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 C ayat (1).


(20)

Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.”107

Kelemahan sistem tersebut antara lain adalah kekuasaan yang sangat besarberada di tangan Presiden sebagai mandataris MPR, yang berarti satu-satunyapelaksana amanat MPR. Di sisi lain, MPR berkedudukan sebagai lembaga tertingginegara yang melaksanakan “sepenuhnya” kedaulatan rakyat. Presiden

Hakim di MK disebut hakim konstitusi yang berjumlah sembilan orang yang ditetapkan oleh Presiden.Pengajuan terhadap hakim konstitusidilakukan oleh Mahkamah Agung sebanyak tiga orang, Dewan Perwakilan Rakyat sebanyak tiga orang, dan Presiden sebanyak tiga orang.Mengenai hukum acara yang digunakan, Mahkamah Konstitusi memiliki hukum acaranya sendiri yang ditetapkan didalam pasal 28 sampai pasal 85 UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

C. Kedudukan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konsitusi dalam LingkupKekuasaan Kehakiman di Indonesia

Perubahan besar tatanan kehidupan bernegara dan berbangsa telah berhasildilakukan oleh bangsa Indonesia melalui Perubahan UUD 1945 yang bercermin darikelemahan sistem dan praktik penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu.Hal itumerupakan wujud kesadaran bahwa berbagai penyalahgunaan kekuasaan di masalalu tidak semata-mata terjadi karena faktor orang yang berkuasa, melainkan lebihditentukan oleh sistem yang memungkinkan bahkan mendorong terjadinyapenyalahgunaan kekuasaan.

107


(21)

tidak hanyamemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi, tetapi juga memegang kekuasaanmembentuk undang-undang.Hal itu dipertegas dengan penjelasan yangmenyatakan bahwa konsentrasi kekuasaan negara ada di tangan Presiden(concentration of power upon the President).Di sisi yang lain, UUD 1945 sebelum perubahan tidak cukup mengaturpembatasan terhadap kekuasaan sebagai wujud paham konstitusionalisme. Hal itu diantaranya dapat dilihat dari sedikitnya ketentuan yang mengatur jaminanperlindungan, penghormatan, dan pemajuan terhadap hak asasi manusia (HAM) danhak konstitusional warga negara.

Untuk membatasi kekuasaan dan mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, dengan tetap mempertegassistem presidensil, organisasi negara ditata ulang berdasarkan prinsip separation of power.Wewenang Presiden dibatasi dengan mengembalikan kekuasaan membentukundang-undang kepada DPR serta berbagai bentuk pembatasan lain seperti dalampemberian grasi, amnesti, dan abolisi; pengangkatan dan penerimaan duta/konsul;penyusunan kementerian negara; dan lain-lain.Kekuasaan kehakiman ditegaskansebagai kekuasaan yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan.MPRyang semula berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara diubah menjadilembaga tinggi negara sederajat dengan lembaga tinggi lainnya dengan tugas danwewenang sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. Dengan adanya pemisahankekuasaan itu akan tumbuh mekanisme saling mengimbangi dan mengawasi (checksand balances) antara satu cabang kekuasaan dengan cabang kekuasaan lainsehingga tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan berjalan tetap dalam koridorkonstitusi.


(22)

Salah satu dampak adanya pemisahan kekuasaan tersebut adalah dibentuknya Mahkamah Konstitusi.Keberadaan MK ini telah membentuk perubahan dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia yang selama ini hanya terpusat di Mahkamah Agung.MA diletakkan sebagai salah satu pemegang kekuasaankehakiman dalam masalah-masalah umum atau peradilan konvensional ditambahdengan kewenangan untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangandi bawah undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan yang lebihtinggi, sedangkan MK merupakan peradilan ketatanegaraan (adajuga yang menyebutnya sebagai peradilan politik) yang diberi kewenangan khususdalam masalah-masalah ketatanegaraan tertentu yakni melakukan pengujianundang-undang terhadap UUD 1945, memeriksa dan memutus sengketa kewenanganantar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus dakwaan(impeachment) DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukanpelanggaran tertentu yang ditentukan di dalam UU atau tidak memenuhi syaratlagi sebagai Presiden dan/atau wakil presiden, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Sejak keluarnya UU No.12 Tahun2008 yang merupakan perubahan atas UU 32/2004 kewenanganMK ditambah satu lagi yakni memutus sengketa hasil pemilukada.

1. Kedudukan Mahkamah Agung (MA)

Ketentuan yang menunjuk kearah badan Kehakiman yang tertinggi adalah pasal 24 ayat 1 UUD 1945.Eksistensi Mahkamah Agung ditetapkan setelah diundangkannya Undang-Undang No. 7 tahun 1947 tentang susunan kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaaan Agung yang mulai berlaku pada tanggal 3


(23)

Maret 1947.Undang No. 7 tahun 1947 kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 19 tahun 1948 yang dalam pasal 50 ayat 1 menyebutkan Mahkamah Agung Indonesia ialah pengadilan tertinggi.

Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang "Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman" tanggal 17 Desember 1970, antara lain dalam pasal 10 ayat (2) disebutkan bahwa MA adalah Pengadilan Negara tertinggi dalam arti MA sebagai badan pengadilan kasasi (terakhir) bagi putusan-putusan yang berasal dari pengadilan-pengadilan lain yaitu yang meliputi keempat lingkungan peradilan yang masing-masing terdiri dari:

1. Peradilan Umum; 2. Peradilan Agama; 3. Peradilan Militer;

4. Peadilan Tata Usaha Negara.

MA merupakan pengadilan tertinggi negara sebagaimana yang tercantum dalam Ketetapam Majelis Permusyarawatan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1978 dan merupakan Lembaga Peradilan tertinggi dari semua lembaga peradilan yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya.. Sejak perubahan ketiga UUD 1945 kedudukan MA tidak lagi menjadi satu-satunya puncak kekuasaan kehakiman.Dengan berdirinya MK pada tahun 2003 puncak kekuasaan kehakiman menjadi 2, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, namun tidak seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi tidak membawahi suatu badan peradilan.


(24)

2. Fungsi dan Wewenang Mahkamah Agung

MA adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagai lembagatinggi negara yang merupakan pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan, dimana dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia(UU. No.14 Tahun 1985 pasal 1,2,3). Adapun yang menjadi fungsi-fungsi MA ialah:

A. Fungsi Peradilan

Disamping tugasnya sebagai pengadilan kasasi, MA berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir:

1. Semua sengketa tentang kewenangan mengadili;

2. Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34 Undang-undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985);

3. Semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78 Undang-undang Mahkamah Agung No 14 Tahun 1985);108

Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materil, yaitu wewenang menguji/menilai secara materil peraturan perundangan dibawah undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan yang tingkatnya di bawah undang-undang.109

108

Mahkamah Agung, Cetak biru mahkamah agung, Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung, Jakarta, 2010 hal 16.

109


(25)

B. Fungsi Pengawasan

1.MA melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan pengadilan-pengadilan diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Nomor 14 Tahun 1970);

2.Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan:

- Terhadap pekerjaan pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan perbuatan pejabat pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni dalam hal menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran dan petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim (Pasal 32 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).

- Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan (Pasal 36 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).

Jika ditinjau dari obyeknya, pengawasan (dan pembinaan) hakim danpengadilan yang dilakukan oleh MA meliputi beberapa aspek, antara lain


(26)

teknis yudisial, administrasi peradilan, dan perilaku.110Dan metode yang biasanya dilakukan oleh MA dalam melakukan pengawasan antara lain:Inspeksi rutin dan mendadak; Meminta laporan secara periodik dari pengadilan; dan Menindaklanjuti laporan/pengaduan masyarakat.111

1.Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal- hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27 Undang-undang No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang No.14 Tahun 1985).

C. Fungsi Mengatur

112

2.Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang-undang.113

1.Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain (Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985).Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-undang Mahkamah Agung D. Fungsi Nasehat

110

Keputusan Ketua MA No. KMA/006/SK/III/1994.

111

Mahkamah Agung, op cit, cetak biru... hal 23.

112

Mahkamah Agung, Laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (lakip), Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung, Jakarta, 2011, hal 4.

113


(27)

No.14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1), Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi. Namun demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaannya.

2.Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi petunjuk kepada pengadilan disemua lingkungan peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 38 Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).

Dalam prakteknya, banyak pihak yang menyalahartikan kewenangan MA untuk memberikan pertimbangan hukum. Sebagaimana dijelaskan di atas,sebenarnya kewenangan MA tersebut hanyalah untuk memberikan pertimbangan hukum kepada Lembaga Tinggi Negara. Namun tidak jarang individu, kelompok masyarakat, organisasi politik bahkan institusi pemerintah (yang bukan Lembaga Tinggi Negara) meminta pertimbangan hukum ke MA atas suatu permasalahan hukum.114

Pasal 5 dan Pasal 9 Undang-undang No.49Tahun 2009 tentang tentang perubahan atas Undang-undang No. 2 Tahun 1986 Peradilan Umum memberikan fungsi administratif kepada MA yaitu:

E. Fungsi Administratif

115

114

Mahkamah Agung,op cit, cetak biru... hal 31

115

Pasal 5 dan Pasal 9 Undang-undang No.49Tahun 2009 tentang tentang perubahan atas Undang-undang No. 2 Tahun 1986.


(28)

1) Mahkamah Agung mengusulkan kenaikan kelas pengadilan dan pembentukan pengadilan baru.

2) Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimanadimaksud Pasal 10 ayat (1) Undang-undang nomor 48 tahun 2009 secara organisatoris, administratif dan finansial saat ini dialihkan dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.

Mahkamah Agung juga berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman).

F. Fungsi lain-lain

Selain tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, berdasar Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 serta Pasal 38 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Mahkamah Agung dapat diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan undang-undang.

3. Kedudukan Mahkamah Konstitusi (MK)

Digantikannya sistem division of power (pembagian kekuasaan) dengan

separation of power (pemisahan kekuasaan) mengakibatkan perubahan mendasar terhadap format kelembagaan negara pasca amandemen UUD 1945. Berdasarkan

division of power yang dianut sebelumnya, lembaga negara disusun secara vertikal bertingkat dengan MPR berada di puncak struktur sebagai lembaga tertinggi negara. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR.


(29)

Sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat, MPR sering dikatakan sebagai rakyat itu sendiri atau penjelmaan rakyat. Di bawah MPR, kekuasaan dibagi ke sejumlah lembaga negara, yakni presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) yang kedudukannya sederajat dan masing-masing diberi status sebagai lembaga tinggi negara.

Akibat utama dari anutan sistem separation of power, lembaga-lembaga negara tidak lagi terkualifikasi ke dalam lembaga tertinggi dan tinggi negara. Lembaga-lembaga negara itu memperoleh kekuasaan berdasarkan UUD dan di saat bersamaan dibatasi juga oleh UUD. Pasca amandemen UUD 1945, kedaulatan rakyat tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga melainkan oleh UUD. Dengan kata lain, kedaulatan sekarang tidak terpusat pada satu lembaga tetapi disebar kepada lembaga-lembaga negara yang ada. Artinya sekarang, semua lembaga negara berkedudukan dalam level yang sejajar atau sederajat.

Dalam konteks anutan sistem yang demikian, lembaga negara dibedakan berdasarkan fungsi dan perannya sebagaimana diatur dalam UUD 1945. MK menjadi salah satu lembaga negara baru yang oleh konstitusi diberikan kedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga lainnya, tanpa mempertimbangkan lagi adanya kualifikasi sebagai lembaga negara tertinggi atau tinggi. Sehingga, sangat tidak beralasan mengatakan posisi dan kedudukan MK lebih tinggi dibanding lembaga-lembaga negara lainnya, itu adalah pendapat yang keliru. Prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan


(30)

yudikatif dengan mengedepankan adanya hubungan checks and balances antara satu sama lain.

Selanjutnya, UUD 1945 memberikan otoritas kepada MK untuk menjadi pengawal konstitusi. Mengawal konstitusi berarti menegakkan konstitusi yang sama artinya dengan “menegakkan hukum dan keadilan”. Sebab, UUD 1945 adalah hukum dasar yang melandasi sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini MK memiliki kedudukan, kewenangan serta kewajiban konstitusional menjaga atau menjamin terselenggaranya konstitusionalitas hukum.116

Fungsi dan peran utama MK adalah adalah menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum. Demikian halnya yang melandasi negara-negara yang mengakomodir pembentukan MKdalam sistem ketatanegaraannya. Dalam rangka menjaga konstitusi, fungsi pengujian undang-undang itu tidak dapat lagi dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan Indonesia sebab UUD 1945 menegaskan bahwa anutan sistem bukan lagi supremasi parlemen melainkan supremasi konstitusi. Bahkan, ini juga terjadi di negara-negara lain yang sebelumnya menganut sistem supremasi parlemen dan kemudian berubah menjadinegara demokrasi. MK dibentuk dengan fungsi untuk menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi

4. Fungsi dan Wewenang Mahkamah Konstitusi

116

Janedjri M. Gaffar, Kedudukan, Fungsi Dan PeranMahkamah Konstitusi DalamSistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, Surakarta, 2009, hal 11.


(31)

sehingga hak-hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya.

Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial reviewyang kemudian menjadi kewenangan MK. Jika suatu undang-undang atau salah satu bagian daripadanya dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu akan dibatalkan MK. Sehingga semua produk hukum harus mengacu dan tak boleh bertentangan dengan konstitusi. Melalui kewenangan

judicial review ini, MK menjalankan fungsinya mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi.

Fungsi lanjutan selain judicial review, yaitu (1) memutus sengketa antarlembaga negara, (2) memutus pembubaran partai politik, dan (3) memutus perselisihan hasil pemilu. Fungsi lanjutan semacam itu memungkinkan tersedianya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan (antar lembaga negara) yang tidak dapat diselesaikan melalui proses peradilan biasa, seperti sengketa hasil pemilu, dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik. Perkara-perkara semacam itu erat dengan hak dan kebebasan para warga negara dalam dinamika sistem politik demokratis yang dijamin oleh UUD1945 . Karena itu, fungsi-fungsi penyelesaian atas hasil pemilu dan pembubaran partai politik dikaitkan dengan kewenangan MK

Fungsi dan peran MK di Indonesia telah dirumuskan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menentukan bahwa MK mempunyai empat kewenangan konstitusional (conctitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban


(32)

konstitusional (constitusional obligation). Ketentuan itu dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Empat kewenangan MK adalah117

1. Menguji undang-undang terhadap UUD 1945;

:

2. Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;

3. Memutus pembubaran partai politik;

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

Sementara, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24 C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003, kewajiban MK adalah memberi keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

117

Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.


(33)

BAB IV

EFEKTIFITAS PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILUKADA OLEH MAHKAMAHAGUNG DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

A. Peralihan Kewenangan Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi.

Sebagai lembaga negara yang bertugas mengawal, menjaga, danmemelihara konstitusi, di dalam setiap tindakan dan pengambilan putusan,MK harus mendasarkan kepada UUD 1945.Hal tersebut ditegaskan didalam Pasal 45 UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi.”Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dankeyakinan hakim.”118

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yangPutusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-UndangDasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikanoleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutusperselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Sejauh mana kewenangan yang diberikan konstitusiterhadap lembaga ini untuk menyelesaikan sengketa Pemilu dapatdilihat di dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Ayat tersebut lengkapnyaberbunyi:

119

Di dalam Pasal tersebut secara eksplisit disebutkan kewenangan MKadalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.Ketentuanini dituangkan

118

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnyadisebut

UUD 1945 dan UU 24/2003), (Jakarta: Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 103.

119

UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap Dilengkapi Dengan Piagam Jakarta, (selanjutnya disebut UUD 1945), cetakan kelima, (Jakarta: SinarGrafika, 2008), hlm. 19.


(34)

lebih lanjut dalam UU 24/2003tentang Mahkamah Konstitusi. Di dalam Pasal 10 ayat (1) ditegaskan“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama danterakhir yang Putusannya bersifat final untuk: … d. memutus perselisihantentang hasil pemilihan umum.120

a. Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepaladaerah hanya dapat diajukan oleh pasangan Calon kepada Mahkamah Agungdalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Dengan demikian, sangat jelas bahwaMK memiliki kewenangan memutus perselisihan hasil pemilu.Yang dimaksud dengan pemilu di sini tidak hanya pemilu legislatifuntuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, tetapi juga Pemilu KepadaDaerah dan Wakil Kepala Daerah. Sebab, sejak Undang-Undang Nomor 22Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu dan Undang-Undang Nomor12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah disahkan, pemilihan kepaladaerah dan wakil kepala daerah termasuk dalam ”rezim” pemilu.

Sebelumnya, pemilihan kepaladaerah dan wakil kepala daerah tidak termasuk ”rezim” pemilusehingga penyelesaian perselisihan tidak diputus oleh MK,tetapi diadili oleh MA. Ketentuan ini termuat di dalamPasal 106 UU 32/2004tentang PemerintahanDaerah yaitu:

b. Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasilpenghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.

120


(35)

c. Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud padaayat (1) disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepada pengadilan negeri untuk pemilihankepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota.

d. Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan suara sebagaimanadimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14 (empat belas) hari sejakditerimanya permohonan keberatan oleh pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung.

e. Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat finaldan mengikat.

f. Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutussengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepaladaerah kabupaten dan kota.

g. Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat

final.121

Selintas ketentuan pasal 106 ini dirasakan aneh karena UU 32/2004 yang disahkan pada 15 Oktober 2004, sementara amandemenkeempat UUD 1945 disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Artinya,UUD 1945 hasil amandemen

121

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Nomor 32/2004)


(36)

keempat sudah berlaku selama dua tahundua bulan dan lima belas hari, baru lahir UU 32/2004.Seharusnya, jika mengacu kepada UUD 1945 hasil amandemen itu,perselisihan hasil pemilukada diselesaikan oleh MK. Namun kenyataannya, UU 32/2004 tidakmengatur demikian. Menurut UU ini penyelesaian tersebut dilakukanoleh Mahkamah Agung.122

Meskipun tampak aneh, jika ditelusuri lebih jauh, hal tersebut dapat dipahami dan dibenarkan. Ketika UU 32/2004 lahir,pemilihan kepala daerah belum dikategorikan termasuk dalam rezimpemilusehingga penanganan perselisihan hasil pemilukada tersebut memang bukan menjadikewenangan MK. Ketika itu, nama pemilihannya pun bukan PemilihanUmum (Pemilu) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, tetapi PemilihanKepala Daerah yang biasa disingkat Pilkada.123

Di dalam pertimbangan hukum itu disebutkan:

Hal ini juga dibenarkan oleh MK di dalam pertimbangan hukumnyaketika memutus perkara Nomor 072-073/PUU-II/2004 tentang PengujianUU 32/2004 terhadap UUD 1945 yang diputuskan dalamrapat permusyawaratan hakim yang dihadiri oleh 9 (sembilan) HakimKonstitusi pada hari Senin, 21 Maret 2005, dan diucapkan dalam sidangpleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari iniSelasa, 22 Maret 2005.

122

Noorwahidah, Sengketa Pemilukada Kotawaringin Barat (Analisis Terhadap Putusan MK No. 45/PHPU.D-VIII/2010 dari Perspektif Hukum Negara dan Hukum Islam), Jurnal Konstitusi Volume 8 Nomor 1 Februari 2011, Sekertarian Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2011.

123 Ibid .


(37)

Mahkamah berpendapat bahwa secara konstitusional, pembuat undang-undang dapatsaja memastikan bahwa Pilkada langsung itu merupakan perluasan pengertianPemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945 sehingga karenaitu, perselisihan mengenai hasilnya menjadi bagian dari kewenangan MahkamahKonstitusi dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Namun pembentukundang-undang juga dapat menentukan bahwa Pilkada langsung itu bukan Pemiludalam arti formal yang disebut dalam Pasal 22E UUD 1945 sehingga perselisihanhasilnya ditentukan sebagai tambahan kewenangan Mahkamah Agung sebagaimanadimungkinkan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Mahkamah Agungberwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangandi bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenanglainnya yang diberikan oleh undang-undang”.124

Namun dalam perkembangan cakupan pengertian tentang pemilu dengan sendirinya menentukan jenis perselisihan hasil pemilu menjadi wewenang MK. Perkembangan tersebut diawali oleh putusan MK yang terkait dengan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dalam putusan MK Nomor 072-073/PUU-II/2004, Mahkamah menyatakan bahwa “rezim” pemilihan kepala daerah langsung (Pilkada) walaupun secara formal ditentukan oleh pembentuk undang-undang bukan merupakan rezim pemilu, tetapi secara substantif adalah termasukpemilu sehingga penyelenggaraannya harus memenuhi azas-azas Sesuai dengan pasal 22E UUD 1945, pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, dan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu dengan sendirinya perselisihan hasil pemilu meliputi ketiga jenis pemilu tersebut, yaitu pemilu anggota DPR dan DPRD, pemilu anggota DPD, serta pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur pula dalam Pasal 74 ayat (2) UU MK.

124

Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor: 072- 073 /PUU-II/2004 tanggal 25 Maret 2005, hlm 115.


(38)

konstitusional pemilu. Putusan ini mempengaruhi pembentuk undang-undang yang selanjutnya melakukan pergeseran pemilukada menjadi bagian dari pemilu.

Tindak lanjut dari putusan MK tersebut, oleh pembuat undang-undang pilkada dimasukkan sebagai bagian dari pemilu dalam UU 22/2007tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.Pada Bab I Pasal 1 angka 4 UU22/2007 menyatakan, “Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerahadalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerahsecara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkanPancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.”125

Setelah UU 22/2007tentang Penyelenggara Pemiludisahkan 19 April 2007, barulah pemilihan kepala daerah ”resmi” menjadi”rezim” pemilu dan penyelenggaraannya disebut Pemilihan Umum KepalaDaerah dan Wakil Kepala Daerah yang biasa disingkat Pemilukada. Didalam UU ini secara eksplisit disebutkan tugas, wewenang, dan kewajibanKPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraanPemilukada.126

125

Abdul Ghoffar, Kejujuran dalam Bingkai Hak Memilih-Dipilih (Pelajaran dari Pemilukada Bengkulu Selatan), Jurnal Konstitusi Volume 8 Nomor 1 Februari 2011, Sekertariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2011, hlm. 75.

126

Lihat Pasal 8 ayat 3 dan 4, Pasal 9 ayat 3 dan 4, dan Pasal 10 ayat 3 dan 4 UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.

Sekalipun demikian, tidak secara otomatis kewenangan menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ditanganiMK. Kewenangan itu tetap berada di MA sampai lahir UU Nomor 12 Tahun2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah pada tanggal 28 April 2008. Di


(39)

dalamPasal 236C UU ini disebutkan, ”Penanganan sengketa hasil penghitungansuara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agungdialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulansejak Undang-Undang ini diundangkan”.127

Setelah kewenangan penyelesaian sengketa hasil penghitungan suarapemilukada resmi dialihkan, MK selanjutnya membuat PMK No. 15 Tahun 2008tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan UmumKepala Daerah, yang mengatur secara rigid hukum acara pemilukada.Pasal 3 ayat (1) dan (2) mengatur mengenai objek yang dipersengketakan.Objek yang dipersengketakan adalah hasil penghitungan suara yangditetapkan Termohon (KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota) yang: (1)mempengaruhi penentuan pasangan calon yang dapat mengikuti putarankedua pemilukada, atau (2) mempengaruhi terpilihnya pasangan calonsebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.128

B.Pandangan TerhadapEfektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada Oleh Mahkamah Agung Dan Mahkamah Konstitusi.

Sebelum adanya perubahan UUD 1945, kekuasaaan kehakiman atau fungsi yudikatif (judicial) hanya terdiri atas badan-badan pengadilan yang

127

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008, Nomor 10 Tahun 2008, dan Nomor 12 Tahun 2008 (selanjutnya disebut UU no. 2/2008, 10/2008, dan 12/2008), (Jakarta: DepartemenKomunikasi dan Informatika, Badan Informasi Publik, 2008), hlm. 271-272.

128


(40)

berpuncak pada MA. Lembaga MA tersebut sesuai dengan prinsip “independent of judiciary” diakui bersifat mandiri dalam arti tidak boleh diintervensi atau dipengaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya terutama oleh pemerintah. Prinsip kemerdekaan hakim ini selain diatur dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, juga tercantum dalam Penjelasan Pasal 24 UUD 1945 yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman tidak boleh dipengaruhi cabang-cabang kekuasaan yang lain. Namun, setelah perubahan ketiga UUD 1945 disahkan, kekuasaan kehakiman negara kita mengenal tambahan satu jenis mahkamah lain yang berada di luar MA dan kedudukannya setingkat atau sederajat dengan MA. Sebutannya adalah Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) yang dewasa ini makin banyak negara yang membentuknya di luar kerangka Mahkamah Agung (Supreme Court).129

Efektifitas dalam pembahasan kali ini tentunya merupakan pola perbandingan yang akademik dimana kedua lembaga ini, yaitu MA dan MK

Keberadaan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dengan segala kewenangan yang kedua lembaga ini miliki dalam perjalanannya sering mendapatkan perbandingan baik secara akademis maupun non akademis.Hal ini dilatarbelakangai pada track record masing-masing lembaga.Misalnya anggapan bahwa MA merupakan lembaga kekuasaan kehakiman yang sangat kental dengan orde baru sedangkan MK merupakan lembaga kekuasaan kehakiman yang lahir dari semangat reformasi termasuk reformasi hukum era orde baru.

129

Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, P.T. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2009, hlm. 191-192.


(41)

pernah memiliki dan sedang memiliki kewenangan menyelesaikan perselisihan hasil pemilukada.Sebelumnya hukum positif mengatur bahwa pengadilan atas perkaraperselisihan hasil pemilukada itu menjadi kewenangan MA.Akan tetapi kemudian dengan memperhatikan ketentuan Pasal 236CUndang-Undang Nomor 12 Tahun 2008, maka penanganan perselisihanhasil pemilukada oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada MahkamahKonstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak undang-undang inidiundangkan. Berdasar pada ketentuan Pasal 236C Undang-Undang Nomor12 Tahun 2008 inilah, maka kemudian pada tanggal 29 Oktober 2008, KetuaMahkamah Agung dan Ketua Mahkamah Konstitusi menandatangani BeritaAcara Pengalihan Wewenang Mengadili, untuk melaksanakan ketentuanPasal 236C tersebut.130

Berhubungan dengan kewenangan MA untuk menyelesaikan persoalan-persoalan dalam pilkada berkaitan erat dengan efisisensi dan efektifitas penyelenggaraan peradilan.Banyaknya kasus yang ditangani oleh MA patut menjadi pemikiran untuk meletakkan kewenagan MA sebagai eksekutordalam kasus-kasus pilkada. Dimensi politik yang seringkali mewarnai kasus pilkada menjadi pertimbangan peletakan kewenangan MA menangani kasus pilkada demi menjamin dan menjaga kedudukan MA sebagai lembaga keadilan dan bukan lembaga peradilan politik yang lebih banyak melekat pada MK. Namun faktor jarak dan banyaknya perkara yang kemungkinan besar terjadi dalam pilkada langsung yang tersebar diseluruh provinsi maupun kabupaten/kota merupakan

130

Widodo Ekatjahjana, Telaah Kritik Tas Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilukada Provinsi Jawa Timur, Jurnal Konstitusi Volume 8 Nomor 1 Februari 2011, Sekertariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2011, hlm. 60.


(42)

pertimbangan penting lainnya untuk memberikan kewenangan kepada MA.Waktu yang sempit dan banyaknya daerah pemilihan menjadikan MK tidak relevan untuk ditempatkan menangani perkara perselisihan hasil pilkada.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraeni menyatakan bahwa pengalaman membuktikan penaganan perkara pilkada di MA tidaklah efektif.Beliau menambahkan bahwa dalam penanganan perkara yang sudah menjadi kewajibannya MA masih menyisakan banyak masalah, apalagi ketika ditambah masalah hukum bernuansa politik seperti sengketa pilkada.131Titi Anggraeni mengatakan pengalaman penanganan perselisihan hasil pemilukada 2005-2011 membuktikan putusan-putusan yang dihasilkan MK jauh lebih berkualitas dibandingkan MA. Jika, penanganan perselisihanhasil pilkada dikembalikan ke MA maka tidak akan ada juga pihak yang bisa menjamin bahwa jumlah kasus perselisihan hasil pilkada yang diajukan akan berkurang dari jumlah kasus sengketa yang kini banyak dilaporkan ke MK.132

Perselisihan hasil pemilukada yang menjadisalah satu kewenangan MK untuk memeriksa, mengadilidan memutusnya sejak bulan oktober tahun 2008, didasarkan pasal 236CUndang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Peralihankewenangan tersebut dari MA sebagai lembaga yang semulamenangani sengketa tersebut kepada MK, yang dikatakansebagai pengawal konstitusi, sesungguhnya dikatakan oleh

132 Ibid.


(43)

Maruarar Siahaan adalah bukan hanya merupakanperalihan kelembagaan yang menangani, melainkan juga suatu peralihanyang disertai perubahan karakter penyelesaian perselisihan hasil pemilu dalam kerangkamenjaga dan mengawal proses demokrasi dalam kerangka konstitusi.Sehingga terbuka luas kemungkinandisamping memeriksa dan mengadili perselisihan hasil perolehan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangancalon kepala daerah dalam suatu proses persidangan, sekaligus jugauntuk menguji secara konkrit norma-norma dalam peraturan perundang-undanganyang mengatur proses pemilukada133

Maruarar Siahaan menambahkan, disamping hal tersebut telah menjadi keyakinan para hakim konstitusi bahwapraktek dan jurisprudensi MK telah cukup kaya untukmenunjukkan hal tersebut.134

133

Maruarar Siahaan, Implementasi Putusan No. 27/PHPU.D-VIII/2010 Mengenai Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Lamongan, Jurnal Konstitusi Volume 8 Nomor 1 Februari 2011, Sekertariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.2011, hlm. 2-3.

134

Ibid, hlm. 3.

Tidak pernah dapat dibenarkan bahwa dalamproses pemilukada tersebut, terjadinya pelanggaran-pelanggaranyang secara jelas bertentangan dengan norma konstitusi yangmenjadi prinsip yang harus dipertahankan dalam kerangka mengawal salahsatu wujud demokrasi dalam pemilu secara langsung, umum,bebas, rahasia, jujur dan adil (luber dan jurdil). Perdebatan tentang objectumlitis yang menggeser tanggung jawab atas pelanggaran dalam proses pemiluyang tidak ditangani secara layak dan sepantasnya oleh penyelenggara,pengawas dan penegak hukum sebelum hasil perolehan pemungutansuara diumumkan oleh KPU, tidak boleh diperiksa dan diputus olehMK dalam proses perselisihan hasil pemilukadayang menyangkut


(44)

perolehan suara telah berlalu dan tidak berlaku lagi. Menjadi suatu kebenaranyang disetujui oleh semua pihak, bahwa proses pasti akan berpengaruhkepada hasil.135

Pergeseran pendekatan penyelesaian perselisihan hasil pemilukada yang terjadi dan dilakukan MK pastimendapat perlawanan dari pihak-pihak tertentu, yang merasa dirugikan,termasuk diantaranya penyelenggara pemilukada sendiri, yangtelah menetapkan hasil pemilukada tertentu, yangsesungguhnya dipengaruhi oleh satu proses yang tidak serasi denganprinsip konstitusi diatas.

Putusan-Putusan MK bergerak secaradinamis untuk mengukuhkan prinsip konstitusi dalam praktek, mengawalterwujudnya pemilukada yang jujur dan adil sebagaisatu proses rekruitmen pimpinan pemerintahan.

136

Pihak-pihak yang merasa dirugikan berusaha mengabaikan putusanMK dan berharap bahwa apapun wewenang yang dimiliki MK terhadap putusan itu menjadi tidak efektif.Disamping itu dia akan mencoba membatalkan putusan melalui revisiputusan ataupun jika ada prosedur yang tersedia secara resmi menolakputusan. Opsi terakhir dan yang paling ekstrim adalahdengan menyerang MK dengan berupaya mengurangiwewenangnya atau kekuasaan efektifnya.137

135

Pasal 103 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Jo Pasal 6 ayat (2) huruf b angka 1 dan 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2008.

136

Maruarar Siahaan, op.cit, Implementasi Putusan..., hal 2-3. 137

Tom Ginsburg dalam Maruarar Siahaan, op.cit, Implementasi Putusan..., hlm. 4.

Tom Ginsburg memberi skemaopsi-opsi tersebut dalam gambar sebagai berikut :


(45)

Formally Constitutional Formally Unconstitutional

Accept Comply Ignore

Challenge Overrule/Punish Attack

Perlawanan dalam bentuk pengabaian (ignore) dan serangan balik(strike back) dalam bentuk pencarian forum lain untuk berupaya mengujikembali putusan MK yang telah final dan mengikat,akan sangat mempengaruhi implementasi putusan tersebut secara efektifdan efisien.138

Perlawanan-perlawanan yang timbul inilah yang kemudian yang mengakibatkan putusan yang dihasilkan terkait perselisihan hasil pemilukada menjadi tidak efektif selain juga kualitas putusan dan kualitas institusi yang menangani perselisihan hasil pemilukada.Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan efektif dalam hal ini adalah keadaan berpengaruh, membawa dan berhasil guna (usaha, tindakan).139

138

Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Pengangkatan Kepala Daerah berdasarkan Keputusan KPU setelah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengesahkan Putusan KPU tentang Hasil Pemungutan Suara dan Penetapan Pemenang, ataupun yang membatalkan Keputusan KPU semula dan menentukan hasil perolehan suara yang sebenarnya, telah diajukan pula kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang sampai saat ini berdasar data dari Biro Hukum Departemen Dalam Negeri sebanyak 13 kasus.

139

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bsear Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1998, hlm. 219.

Efektifitas bersangkut paut dengan keberhasilan, manfaat dan seberapa target (kuantitas, kualitas, dan waktu) yang telah dicapai dari suatu perlakuan yang diterapkan kepada objek penelitian.Dalam hal ini yang menjadi obejek penelitian disini


(46)

adalah perselisihan hasil pemilukada. Jadi kita dapat melihat bagaimana efektifitas terkait keberhasilan, manfaat dan target.Dalam hal ini kita cukup merujuk pada soal keberhasilan dan manfaat dari putusan perselisihan hasil pemilukada sebagaimana yang diharapkan.

Secara teoretikal, tiap sengketa hukum (rechtsstrijd) sekaligusmerupakan sengketa kepentingan (belangenstrijd).Sejalan dengan hal tersebutVan Kan juga menegaskan adanya kepentingan-kepentingan manusia yang bisa saling bertumbukan.140

140

J. Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum ( Jakarta : PT Pembangunan Ghalia Indonesia, 1982) hlm. 7-17.

Dalil ini melandasi pikiranbahwa tiap aturan hukum yang dirumuskan secara umum didasarkan padasuatu tindakan menimbang-nimbang (afweging, penimbangan) kepentinganindividual dan/atau kolektif.Pertanyaannya kemudian adalah, apakahtindakan menimbang-nimbang secara rasional (rationele afweging) mungkin,dan apakah hal menimbang-nimbang itu dapat dipahami

(inzichtelijk maken).Dari praktik hukum tampak bahwa hakim (mahkamah) kadang-kadangsecara eksplisit menimbang-nimbang kepentingan-kepentingan. Orangmengatakan juga bahwa hakim (mahkamah) melakukan hal ini denganbantuan apa yang disebut dengan metode timbangan (weegschaal methode).Argumen-argumen yang diajukan untuk membela suatu kepentingantertentu dan argumen-argumen yang diajukan untuk melawan kepentingantertentu, atau argumen-argumen yang mendukung satu kepentingan


(47)

ataukepentingan yang lain, diletakkan pada timbangan. Argumen-argumenitu akan mendorong jarum penunjuk ke satu sisi tertentu.141

Pasal 106 ayat (2) UU 32/2004 tentang PemerintahanDaerah menyebutkan "Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) hanyaberkenaan dengan hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangancalon". Hal serupa juga terlihat pada Pasal 94 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan juga Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan PilwakadaDari KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota. Ayat tersebut jelas dan tegasmenyatakan bahwa yang jadi pokok

Perselisihan hasil pemilu, seperti halnyaperselisihan hasil pemilukada padahakikatnya adalah perselisihan hukum atau sengketa hukum

(rechtsstrijd),yang timbul karena adanya keberatan dan permohonan pasangan calonkepala daerah mengenai proses atau keputusan hasil pemilukada yang diajukan oleh satu atau lebih pasangancalon kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada MK. Sebagaimana dikemukakan oleh Tom Ginsburg bahwa ada upaya-upaya agar putusan suatu lembaga peradilan menjadi tdak efektif maka hal yang sama terjadi pula pada putusan-putusan terkait perselisihan hasil pemilukada, namun sejauh apa putusan tersebut dapat mengatasinya sehingga putusan tersebut menjadi efektif. Hal tersebut didasari kepentingan-kepentingan yang ada terkait dengan perselisihan atau sengketa hukum tersebut.

141


(48)

keberatan yang akan dilayani adalah mengenai hasilperhitungan suara yang berarti proses akhir dari pilkada. Sebagai ilustrasi, raihan suara calon A yang dikeluarkan KPUD sebanyak 200.000 suara, sedangkan calon B 205.000 sehingga memenangkan pilkada tersebut. Padahal berdasarkan catatan tim calon A dan saksi-saksi dari calon A, perhitungan suara calon A di seluruh TPPS mencapai 210.000.142

Pengajuan keberatan atas hasil perhitungan sebelumnya bisa dilakukan saat penghitungan di tingkat PPS ataupun PPK bila terjadi selisih suara ataupun sebab lainnya sepertiperhitungan dilakukan di tempat tertutup dll. Kalau upaya calon A tetap tidak mengubahKPUD untuk mengeluarkan hasil perhitungan suara akhir, calon A bisa mengajukankeberatan atas hasil pilkada yang ditetapkan KPUD tersebut ke MA, karenakalau hasil suara yang diperoleh di TPPS tidak sama dengan yang ditetapkan KPUD.Selain itu, angka yang dianggap hilang tersebut sebenarnya bisa membuat calon A keluarsebagai pemenang pada pilkada tersebut. Karena yang jadi wewenang MAdan Pengadilan Tinggi hanya mengenai hasil suara (akhir) yang ditetapkan KPUD, makaproses-proses pelaksanaan pilkada sebelumnya seperti masalah pendaftaranpemilih, money politic,dll tidak menjadi sengketa pilkada yang menjadi bahasanMA dan Pengadilan Tinggi, melainkan menjadi tugas dan kewenangan panitiapengawas pilkada dan bisa diterapkan hukum acara perdata ataupun pidana.Dengan demikian kesimpulan yang dapat diambil, yang menjadi “pangkalsengketa pilkada” adalah hanya

142

Nandang Alamsah Deliarnoor, Tinjauan Teoretis Yuridis Sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), MakalahDisampaikan dalam acara “Sosialisasi Pemilihan Umum Gubernur Dan Wakil Gubernur Jawa Barat 2008” bertempat di Pusat Pengembangan Islam Bogor (PPIB) pada hari Rabu, 26 Maret 2008, atas kerjasama KPUD Provinsi Jabar dengan Lemlit UNPAD.


(49)

berkenaan dengan hasil perhitungan suara yangmempengaruhi terpilihnya pasangan calon.143

MK dalam perjalanannya telah mengembangkan paradigmanya dimana tidak hanya membuka danmenciptakan peluang keadilan substantif, juga memperluas keadilansubstantif dengan pergeseran dari aturan kepada prinsip-prinsipdan tujuan,serta turut memperkuat demokrasi yang berlangsungagar lebih berkualitas sesuai tujuan demokrasi itu sendiri.Bukan sebatasdemokrasi politik, tetapi membukakan jalan tercapainya demokrasiekonomi dan sosial. MK berperan aktif menilai semua tahapanparameter penyelenggaraan pemilukada agar dilaksanakan demokratis,termasuk oleh penyelenggara pemilu/ lembaga birokrasi yang seharusnyatidak memihak (netral). Demokrasi tidak berhenti pada demokrasiprosedural, tetapi juga mewujudkan tujuan demokrasi yang berkeadilansosial.. Oleh karenanya, hakim konstitusi dituntutsebagai negarawan yang memiliki peran membawa demokrasi dankeadilan, tidak hanya untuk pemilukada saat ini tetapi jugamemikirkan masa depan demokrasi di Indonesia.Selain hal substansi, banyak terobosan hukum MK yang membawaperkembangan hukum acara, antara lain MK mengutamakan kebenaran materil saat berhadapan kelemahan sisi formil,membukakan jalan bakal pasangan calon sebagai sebagai pemohon(subjectum litis), dan lembaga ini lebih maju mengakomodir putusansela sebelum membuat putusan yang mengakhiri perselisihaanyang terbukti efektif menjaga integritas pemilu.Praktik diadakannya sidang lanjutan merupakan pergeseran yang positif dan responsif dengan peluang

143 Ibid.


(50)

diperiksanya kembali sekiranya pelanggaransistematis, terstruktur dan masif yang terjadi saat pelaksanaan putusansela MK.

Janedjri M. Gaffar mengatakan bahwa jalan yang telah dibuka MK hanya dapatmewujudkan demokrasi substantif jika diikuti semua pihak.144Memang keadilan MK tiada artinya tanpa kesadaran sama darilembaga lain. Putusan MK memang mudah diterima para pihakkarena lembaga ini didukung proses yang transparan, tidak memihak dan akuntabel.145

Misalnya dalam sengketa hasil pemilihan kepala daerah Kota Depok yang bermula dari perihal “final” dan “mengikat”. Hal ini bermula pada apa yang dimaksud oleh Pasal 106 Ayat (7) UU 32/2004Tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan : Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimanadimaksud pada ayat (6) bersifat final. Terhadap persoalan ini ada beberapa pendapat seperti dari CETRO (Centre for Electoral Reform) yang menyatakan bahwa walaupun oleh Pasal 106 ayat (7) dikatakanfinal tapi tidak mengikat karena UU 32/2004Tentang Pemerintahan Daerahtidak menyatakan seperti itu. Nandang Alamsah Deliarnoor tidak setuju dengan pernyataan CETRO tersebut di atas, sebab kalausudah dinyatakan final itu artinya adalah sudah mengikat juga atau inkracht van gewij.Memang UU 32/2004Tentang Pemerintahan Daerah tidak menyebutnya Berbanding terbalik dengan MA yang dirasakan masih jauh dari keberterimaan berbagai pihak karena dipandang masih jauh dari keadilan, terlebih lagi sengketa pemilukada merupakan sengketa yang sarat dengan kepentingan politis.

144

Janedjri M. Gaffar, “Meretas Demokrasi Substantif”, Seputar Indonesia, 27 Desember 2010.

145


(51)

mengikat tetapi dalam Pasal 94 ayat(7) PP No. 6 Tahun 2005 disebutkan mengikat.146Tetapi akhirnya memang persoalan “final” dan tidak ini mengemuka juga padakasus pilkada Kota Depok.Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat ternyata dapat ditinjaukembali oleh MA yang hasilnya merupakan pembatalan terhadap PutusanPengadilan Tinggi Jawa Barat.Inilah yang menurut penulis telah terjadi di negeri iniketidakkonsistenan melaksanakan bunyi aturan hukum.147

146

Nandang Alamsah Deliarnoor, op.cit ,Tinjauan Teoretis Yuridis Sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

147 Ibid.

Adapun alasan MA menerima PK dari KPUD Kota Depok ini menurut DjokoSarwoto (salah satu Hakim Agung yang memutus PK) menyadari ada dua aspek yangtimbul dalam perkara sengketa Pilkada Depok ini adalah :Pertama, dari aspek prosedural ia mengakui UU 32/2004Tentang Pemerintahan Daerah tidak memperkenankanadanya upaya hukum lain. Namun, dalam perjalanannya, muncul aspek kedua, yakni rasakeadilan.Para hakim agung, menurut DjokoSarwoto, berpendapat rasa keadilan yang harusdiutamakan. Djoko Sarwoto melanjutkan, secara teknis yuridis harus pula diperhatikan Perma No.2/2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Penetapan HasilPilkada dan Pilwakada dari KPUD Propinsi dan KPUD Kabupaten/Kota, dimanadisebutkan hal-hal lain yang tidak diatur dalam UU ini (UU 32/2004Tentang Pemerintahan Daerah), maka berlakuhukum acara perdata. Meski majelis memutus secara bulat, atau tidak ada dissentingopinion (pendapat berbeda), Djoko Sarwotomengungkapkan adanya wacana mengenai adanyakekhawatiran anggapan MA melanggar undang-undang.


(52)

Namun, Djoko Sarwoto menyatakan bahwa pada akhirnya semuanya sepakat bahwa pertimbanganmajelis cukup beralasan, dan upaya hukum PK bisa dipergunakan untuk memperbaiki putusan. Dengan diterimanya PK KPUD Depok, pertanyaan menarik berikutnya adalahapakah MA akan menerima pengajuan PK terkait dengan sengketa pilkada dari daerah lainnya.Hal ini rupanya telah pula diantisipasi MA. Djoko mengemukakan bahwa Mahkamah Agung telah berhitung bahwa menerima PK KPUD Depok akan membawa konsekuensimembanjirnya permohonan serupa dari daerah-daerah.Namun, untuk mengantisipasinya, MA telah memberikan batasan permohonan PKseperti apa yang bakal diterima atau ditolak. Batasan itu seperti disampaikan Djoko Sarwoto adalah dengan apa yang dinamakan adanya kesalahan yang nyata.148

Dengan demikian menurut Nandang Alamsah Deliarnoorapa yang sudah dilakukan oleh MA ini bukan menjadi semakin adil malahan semakin membuka ketidakadilan dandiskriminasi bagi justiabelen yang lain.149

148 Ibid.

149 Ibid.

Tentunya hal tersebut membawa dampak yang nyata pada efektifitas sebagaimana yang dimaksud dalam perselisihan hasil pemilukada.Sementara itu dalam penyelesaian perselisihan hasil pemilukada di MK, ketentuan final dan mengikat merupakan ketentuan yang sangat substansial dan tidak dapat dilakukan penafsiran lagi. Sangat jelas terlihat bahwa MA dalam hal ini sangat mengedepankan keadilan prosedural saja, tidak pada keadilan substantif sebagaimana yang dilaksanakan oleh MK. Keadilan yang ideal adalahformal ketika aturan-aturan umum dipraktekkan secara seragamsebagai dasar keadilan atau ketikadadilan menegakkan


(1)

FEKTIFITAS PENYELESAIAN PERSELISIHAN

HASIL PEMILUKADA OLEH MAHKAMAH AGUNG

DAN MAHKAMAH KONSTITUSI

Skripsi

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

LEO PS

NIM : 070200095

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

Disetujui oleh :

Ketua Departemen

Armansyah S.H.,M.Hum.

NIP.195810071986011002

Dosen Pengbimbing 1 Dosen Pembimbing 2

Armansyah S.H.,M.Hum.

Yusrin Nazief, S.H.,M.Hum.

NIP.195810071986011002

NIP.197506122002121002


(2)

DAFTAR ISI

Judul

Halaman Pengesahan ... ii

Daftar Isi ... iii

Kata Pengantar ... v

Abstrak ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 12

D. Keaslian Penulisan ... 13

E. Tinjauan Kepustakaan ... 14

F. Metode Pengumpulan Data ... 21

G. Sistematika Penulisan ... 24

BAB II PEMILIHAN UMUM A. Pemilihan Umum ... 25

1. Tinjauan Umum tentang Pemilihan Umum ... 25

2. Tujuan Pemilihan Umum ... 29

B. Pemilukada ... 32

C. Perselisihan Hasil Pemilukada ... 37

BAB III KEDUDUKAN MAHKAMAH AGUNG DAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM RUANG LINGKUP KEKUASAAN KEHAKIMAN INDONESIA A. Konsep Negara Hukum ... 40

B. Sistem Kehakiman Indonesia ... 44

1. Teori Pemisahan Kekuasaan ... 44

2. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia ... 49

C. Kedudukan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konsitusi dalam Ruang Lingkup Kekuasaan Kehakiman di Indonesia ... 54

1. Kedudukan Mahkamah Agung ... 57

2. Fungsi dan Wewenang Mahkamah Agung ... 58

3. Kedudukan Mahkamah Konstitusi ... 63

4. Fungsi dan Wewenang Mahkamah Konsitusi ... 65

BAB IV EFEKTIFITAS PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILUKADA OLEH MAHKAMAH AGUNG DAN MAHKAMAH KONSTITUSI A. Peralihan Kewenangan Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konsitusi ... 68


(3)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 100 B. Saran ... 103


(4)

KATA PENGANTAR

Pertama sekali penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa , karena berkat kasih dan pertolonganNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi”.

Skripsi ini disusun untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat- syarat mendapatkan gelar Sarjana Hukum. Pada kesempatan yang berbahagia ini penulis mempersembahkan skripsi ini kepada Tuhan Yang Maha Esa karena penulis menyadari besar karuniaNya sehingga penulis mendapat kesempatan untuk kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis juga tak lupa mempersembahkan skripsi kepada kedua orang tua penulis, Mampe Simanjuntak dan Khristina Purba S.Pd., yang mana telah sabar dan penuh kasih sayang untuk membimbing saya selaku anak agar dapat lulus dengan gelar yang prestisius dan membanggakan.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum selaku dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku pembantu dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(5)

4 Bapak Muhammad Husni S.H., M.Hum., selaku pembantu dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Armansyah S.H., M.Hum., selaku ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai dosen pembimbing 1 ( terima kasih buat ilmu dan bimbingan yang Bapak berikan ).

6. Bapak Yusrin Nazief S.H., M.Hum., selaku dosen pembimbing 2 ( terima kasih buat kesabaran dan referensi yang Bapak berikan ).

7. Ibu Surianingsih S.H., M.Hum., selaku dosen wali akademik penulis.

8. Semua pahlawan tanpa tanda jasa yakni dosen-dosen di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terkhusus dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu dan pengalamannya yang takkan bisa penulis lupakan sampai kapanpun.

9. Semua staf pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara baik itu yang di bidang akademik/tata usaha, perpustakaan, maupun yang ada di departemen hukum tata negara ( Bapak Elvi Sayhrial Lubis S.H., Abang Ari Sebayang, Kakak Misyani ).

10. Saudara-saudaraku tercinta, Kak Ibeth, Kak Lena, dan Ary yang sudah menjadi motivator selama aku berjuang dalam studyku di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(6)

11. Sahabat-sahabatku terbaik, Wiltar, Tunggun, Donal, Musa, Jhon, Tohom, yang selama ini sudah mau berbagi pengalamannya dalam hal menyelesaikan skripsi ini.

12. Rekan-rekan di Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ( Bung udur, Bung Akmal ) dan junior di kampus (Putri, Juanda, Harry, Barita )

13. Dan semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Medan, September 2013