Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Reformasi tahun 1998 yang diiringi dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945(selanjutnya ditulis UUD 1945) pada tahun 1999-2002 diperoleh sebagai implikasi yang besar oleh karena perubahan kondisi sosial, politik, dan hukum di Indonesia. Perubahan tersebut memang sebuah keniscayaan, sebabsebagaimanakita pahami bahwa keberadaan Undang-Undang Dasar atau konstitusi adalah merupakandokumen yang mencerminkan kondisi masyarakat pada suatu masa tertentu , sehingga perubahan kondisi masyarakat akan memberipengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan konstitusi.1Keterkaitan konstitusi dan masyarakat tersebut sebagaimana juga dikatakan oleh James Bryce yang mendefinisikan konstitusi sebagai suatu kerangka masyarakat politik (negara) yang terorganisir dengan dan melalui hukum.2

1

K.C. Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern (Modern Constitution), Nusamedia, Bandung, 1996, hlm. 104.

2

James Byrce dalam C.F.Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Nusamedia, Bandung, 2008, hlm. 15.

Keberadaan konstitusi yang demikian itulah yang membawa dampak pengaruh besar terhadap kondisi sosial, politik, dan hukum ketika dilakukan perubahan terhadapnya. Sebagai wujud perjanjian sosial tertinggi,


(2)

konstitusi bangsa Indonesia merupakan dokumen hukum dan dokumen politik yang memuat cita-cita, dasar-dasar, dan prinsip-prinsip penyelenggaraan kehidupan nasional.

Salah satu pengaturan yang dirumuskan dalam UUD 1945 setelah perubahan adalah mengenai pelaksanaan pemilihan umum (selanjutnya ditulis pemilu). Pemilu sendiri sesungguhnya sudah dikenal bahkan sebelum terjadinya perubahan terhadap UUD 1945 pada tahun 1999-2002.Rumusan pengaturan tentang pemilu dalam UUD 1945 tersebutmenghendaki adanya perubahan pada mekanisme pelaksanaan pemilu yang telah dilakukan sebelumnya, baik itu secara formil maupun materil.

Salah satu semangat reformasi adalah mewujudkan pelaksanaan pemilu yang lebih demokratissehingga pemilu tidak sekedar sebuah ritual politik lima tahunan. Pemilu pada era orde baru (pemilu 1971, pemilu 1977, pemilu 1982, pemilu 1987, pemilu 1992 dan pemilu 1997) dinilai penuh rekayasa politik otoritarian yang dikonstruksikan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur pemilu (electoral laws) dan dalam proses pelaksanaan pemilu (electoralprocess). Sehingga yang terjadi sesungguhnya bukan pemilu dalam arti sebenarnya, melainkan “seolah-olah pemiluyang hasilnya sudah bisa ditebak, yakni sekedar untuk melanggengkan kekuasaan.3

3

A. Mukthie Fadjar,Pemilu yang Demokratis dan Berkualitas: Penyelesaian Hukum, Pelanggaran Pemilu dan PHPU, Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor 1, April 2009.


(3)

Walaupun sejak awal kemerdekaan bangsa Indonesia telah memilih demokrasi sebagai dasar penyelenggaraan negara, namun belum ada dasar konstitusional yang mengharuskan pelaksanaan pemilu, termasuk keharusanpemilihan kepala daerah secara berkala. Sila “Kerakyatan yangdipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalampermusyawaratan perwakilan”belum diterjemahkan menjadi ketentuan pemilu dalam pasal-pasal hingga dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945. Konsekuensinya pelaksanaan pemilu untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat dilakukan dengan cara pengangkatan atau penunjukan atau yang sering disebut dengan sistem pemilihan organis4

Pemilu adalah wujud nyata demokrasi prosedural, meskipun demokrasi tidak sama dengan pemilu, namun pemilu merupakan salah satu aspek demokrasi yang sangat penting diselenggarakan secara demokratis. Oleh karena itu, lazimnya di negara-negara yang menamakan diri sebagai negara demokrasi mentradisikan pemilu adalah untuk memilih pejabat-pejabat publik di bidang legislatif dan eksekutif baik di pusat maupun daerah. Demokrasi dan pemilu yang demokratis merupakan “qonditio sine qua non”, the one can not exist without the others.5

Di Indonesia, salah satu perubahan yang signifikan sebagai akibat perubahan UUD 1945 (1999-2002) adalah bahwa cara pengisian jabatan dalam lembaga legislatif dan eksekutif, baik di tataran nasional maupun lokal harus dilakukan dengan cara pemilihan, tidak boleh dengan cara penunjukan, pengangkatan, atau pewarisan. Pengaturan yang demikian dapat diasumsikan

4

Bewa Rawagino, Hukum Tata Negara, Universitas Padjajaran, Bandung, 2007, hal 70. 5

A. Mukhtie Fajar, Op cit, pemilu yang demokratis...,Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor 1, April 2009.


(4)

sebagai aturan yang lebih demokratis dan sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yaitu bahwa

Kedaulatan beradadi tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

Dasar.” Selain itu, Indonesia telah menganut bentuk pemerintahan republik (vide

pasal 1 ayat (1) UUD 1945) sehingga perlu penguatan demokrasi yang prinsipnya kedaulatan rakyat yang bertujuan untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama.6

Ukuran bahwa suatu pemilu demokratis atau tidak, harus memenuhi tiga syarat,7 yaitu a) ada tidaknya pengakuan, perlindungan, dan pemupukan HAM; b) terbangunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemilu yang menghasilkan pemerintahan yang legitimate, dan c) terdapat persaingan yang adil dari para peserta pemilu. Melalui Perubahan UUD 1945 Indonesia sebenarnya telah meletakkan dasar-dasar pemerintahan yang demokratis dan mengamanatkan pemilu berkala yang demokratis pula, yakni menganut asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Pasal 22E ayat (1) UUD 1945) dan diselenggarakan oleh mandiri (Pasal 22E ayat (5) UUD 1945). Pemilu sebelum amandemen hanya berdasarkan azas langsung,umum, bebas, dan rahasia atau LUBER , yaitupemilu-pemilu yang dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto sehinggapemilu-pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu Orde Baru8

6

H. M Thallah, Teori demokrasi dalam wacana ketatanegaraan persepektif pemikiran hans kelsen, Jurnal hukum no. 3 vol 16, Bandung, 2009, hlm 421.

7

A. Mukhtie fadjar, op cit, pemilu yang demokratis...., Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor 1, April 2009.

8

Tri Karyanti, Sistem Ketatanegaraan Indonesia sebelum dan sesudah amandemen, Majalah Informatika Vol 3: Universitas Aki, 2012, hal 205.


(5)

Pemilu yang sebelumnya hanya dikenal sebagai instrumen untuk memilih sebagian anggota DPR dan DPRD (karena yang sebagian lagi diangkat, misalnya Pemilu pada era Orde Baru dan Pemilu 1999) melalui pengaidahan dalam Pasal 22E UUD 1945 berubah menjadi instrumen untuk memilih seluruh anggota DPR, DPD, dan DPRD, dan bahkan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung.9

• Pasal 6A ayat (1): “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”;

Hal ini ditunjukkan dengan adanya ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 sebagai berikut:

• Pasal 18 ayat (3): “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”;

• Pasal 19 ayat (1): “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum”;

• Pasal 22C ayat (1): “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum”;

• Pasal 22E ayat (2): “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.

Menjadi perhatian khusus dalam pembahasan skripsi ini adalah keberadaan pemilihan umum kepala daerah (selanjutnya ditulis pemilukada)

9

A. Mukhtie fadjar, op cit, pemilu yang demokratis...., Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor 1, April 2009.


(6)

sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945 yang menyatakan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Keberadaan pasal yang merupakan hasil dari perubahan kedua Undang-Undang Dasar ini merupakan suatu terobosan dalam alam demokrasi di Indonesia.

Pemilihan kepala daerah (selanjutnya ditulis pilkada), baik provinsi maupun kabupaten/kota, diatur pada pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menentukan: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masingsebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilihsecara demokratis.”

Rumusan ini telah menimbulkan penafsiran bahwa pilkada dapat dilakukan secara langsung (seperti halnya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, disingkat pilpres) atau secara tidak langsung (oleh DPRD seperti yang dipraktekkan sebelumnya dan diatur dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah). Pembentuk undang-undang, melalui UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya ditulis UU 32/2004) yang menggantikan UU No. 22 Tahun 1999 rupanya menafsirkan “kepala daerah dipilih secara demokratis” adalah : “dipilih secara langsung oleh rakyat”, sehingga pilkada kemudian dikategorikan juga termasuk rezim hukum pemilu, terlebih lagi setelah terbitnya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (selanjutnya ditulis UU 22/2007).10

Pelaksanakan Pemilihan secara langsung terhadap kepala daerah baik pada tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota memperoleh lgitimasi

10


(7)

konstitusional melalui amandemen UUD 1945 yang kedua.Perubahan ini boleh disebut sebagai sebuah revolusi administrasi pemerintahan khususnya untuk memilih pemimpin formal di daerah. UUD 1945 telah menambah satu ayat dalam Pasal 18 UUD 1945 yang kemudian dituangkan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 sebagai akomodasi dari revolusi dimaksud. Ketentuan di dalamnya menyatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis.11

Dalam proses penyelenggaraanpemilukada tentu sangat mungkin juga diwarnai berbagai kecurangan, misalkan terjadi praktik politik uang (money politics), intimidasi, konflik /kekerasan, daftar pemilih tetap (DPT) bermasalah, mobilisasi Pegawai Negeri Sipil (PNS), penyalahgunaan jabatan, fasilitas dan anggaran negara (abuse of power), penggelembungan dan pengurangan suara dan praktik-praktik curang lainnya. Hal ini menggambarkan bahwa penegakan hukum atas pelanggaran pemilukada masih diwarnai kelemahan dan belum menyentuh pemilu yang bermakna lebih luas.12

Mahkamah Konstitusi (selanjutnya ditulis MK) sejak tahun 2008 diberikan kewenangan mengadili perselisihanhasil pemilukada yang semula dilakukan oleh

11

Samsul Wahidin, Hukum Pemerintahan Daerah Mengawasi Pemilihan Umum Kepala Daerah, Pustaka Pelajar, Yoyakarta, 2008, hlm. 25.

12

Miftakhul Huda, Pola Pelanggaran Pemilukada dan Perluasan Keadilan Substantif, Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi Volume 8, Nomor 2, April 2010.


(8)

Mahkamah Agung (selanjutnya ditulis MA).13 Kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilukada ini memiliki arti penting bagi perkembangan hukum dan ketatanegaraan kita, yang disebabkan putusan MK adalah final dan mengikat

(final and binding). Selain itu, sejak awal MK juga memiliki kewenangan

mengadili perselisihan hasil pemilu. Keberadaan lembaga MK merupakan bagian parameter menilai derajat demokrasi dalam proses penyelenggaraan pemilu maupun penyelesaian perselisihan hasil pemilu dengan prosedur dan keputusan yang adil dan cepat.14

Dengan berlakunya UU 32/2004tentang Pemerintahan Daerah maka sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi pemilihan secara langsung oleh rakyat dan bukan lagi dipilih DPRD, sehingga dengan diberlakukannya sistem pemilihan langsung tersebut telah dapat disimpulkan bahwa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah telah tergolong rezim pemilu.15

Sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dalamUU No. 32/2004adalah pemilihan langsung kepala daerah dan wakil kepala daerah. Disebutkan pula dalam pasal 29UU 32/2004tentang Pemerintahan Daerah yang

13

Pasal 106 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menentukan keberatan penetapan hasil Pemilukada berkenaan ”hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon” diadili MA. Dalam perkembangannya kemudian ditangani MK berdasarkan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Berdasarkan UU ini penanganan sengketa hasil pemilu oleh MA dialihkan ke MK paling lama 18 bulan sejak ditetapkan undang-undang tersebut.

14

Empat parameter menilai derajat demokrasi dalam proses penyelenggaraan pemilu, lihat Ramlan Surbakti dkk, Perekayasaan Sistem Pemilu Untuk Pembangunan Tata Politik Demokratis, (Jakarta: Partnership, 2008), 28-29.

15


(9)

mengatur tentang kewenangan MA dalam kaitan dengan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pengaturan lebih lanjut tentang pemilihan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah ini, pada tanggal 11 Februari 2005 telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang pemilihan, Pengesahan dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.16

Kewenangan memeriksa keberatan menurut undang-undang adalah kewenangan dariMA. Dalam melaksanakannyaMA mendelegasikan wewenangnya kepada Pengadilan Tinggi yang wilayah hukumnya meliputi kabupaten/ kota yang bersangkutan. Dengan demikian kewenangan untuk memeriksa keberatan yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi didasarkan atas pelimpahan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dan ditegaskan kembali melalui Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2005.17

Bab VII B Pasal 22E ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945 menyatakan bahwa pemiludilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil (selanjutnya ditulis luber jurdil) setiap lima tahun sekali. Kemudian dijelaskan lebih lanjut di dalam Pasal 22E ayat (2) untuk apa saja pemilu dilaksanakanyaitu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Namun pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung sebagai

16

Ibid. 17

Hendra Sudrajat, Kewenangan Mahkamah Konstitusi Mengadili Perselisihan Hasil Pemilukada, Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi Volume 7, Nomor , Agustus 2010.


(10)

instrumen demokrasi untuk menjaring kepemimpinan nasional tingkat daerah tidak dilaksanakan secara serentak seperti pemilu legislatif ataupun pilpres sehingga diperlukan unifikasi pelaksanaan/regulasi untuk mampu menjamin pelaksanaan pemilu secara luber dan jurdil. Dengan kata lain pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat merupakan suatu proses politik bangsa Indonesia menuju kehidupan politik yang lebih demokratis, transparan, dan bertanggungjawab. Oleh karena itu, untuk menjamin pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepaladaerah yang berkualitas dan memenuhi derajat kompetisi yang sehat, maka harus mampu mengakomodasi azas-azas pemilihan umum.18

Asas pemilihan kepala daerah dan wakil kepaladaerah secara eksplisit tidak dirumuskan dalam UUD 1945 sebagaimana azas pemilihan umum, tetapi terdapat dalam pasal 56 ayat (1) UU 32/2004 yang menyatakan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Luber dan Jurdil).19

Penggunaan azas luber dan jurdil sebagai asas pemilihan kepala daerah dan wakil kepaladaerah merupakan konsekuensi logis dari pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara demokratis. Hal ini tercantum dalam Pasal 18 ayat (4) UUD1945”gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala daerah

18

Ibid

19


(11)

provinsi, kabupaten dan kota, dipilih secarah demokratis”20. Penggunaan kata “demokratis” mengandung konsekuensi, kerangka sistem pilkada harus segera ditata ulang, yang semula menggunakan sistem perwakilan menjadi sistem pemilihan langsung oleh rakyat. Agar ada keselarasan dengan pasal yang terkait dengan proses pemilihan presiden secara langsung.21

Dengan demikian jelaslah bahwa azas luber dan jurdil dalam pemilu dipergunakan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepaladaerahdan dilakukan secara demokratis yaitu yang oleh UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah ditafsirkan lewat mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat. Berdasarkan hal tersebut MK lewat putusannya dalam perkara pengujian undang-undang memutuskan bahwa pemilukada,22 adalah termasuk dalam rezim pemilu sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal Pasal 22E UUD 1945.23

Hal yang menjadi latar belakang dimasukkannya pemilukada dalam rezim pemilu tersebut serta pemindahan kewenangan penyelesaian perselisihanhasil pemilukada dari MA ke MK tersebut sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut lagi dalam pembahasan yang lebih panjang sehingga dapat didapatkan pemahaman yang jelas mengenai hal tersebut. Selain itu dapat juga dilihat

20

Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 21

Samsul Wahidin,op cit,Hukum Pemerintahan Daerah Mengawasi Pemilihan Umum Kepala Daerah, hal 126.

22

Sebelum keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut lazim didengar sebuatan Pilkada sebagai akronim dari Pemilihan Kepala daerah namun dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa rejim Pilkada adalah termasuk rejim Pemilu sebagaimana dimasksud dalam Pasal 22E -Undang Dasar NRI Tahun 1945 maka sebutan untuk Pemilihan Kepala daerah (Pilkada) diganti menjadi Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada).

23


(12)

bagaimanakah efektifitas dari pelaksanaan kewenangan tersebut ketika dilaksanakan oleh MA maupun oleh MK.

Oleh sebab itu dalam penelitian ini dipilih judul “EFEKTIFITAS

PENYELESAIAN PERSELISIHANHASIL PEMILUKADA OLEH

MAHKAMAH AGUNG DAN MAHKAMAH KONSTITUSI”

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah yang dapat penulis rangkum dalam skripsi ini adalah :

1. Bagaimana latar belakang peralihan kewenangan penyelesaian perselisihan hasil pemilukada dari MA kepada MK ?.

2. Bagaimana efektifitas penyelesaian perselisihan hasil pemilukada oleh MA dan MK?.

C. Tujuan dan Manfaat

Adapun tujuan yang penulis harapkan dari skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana latar belakang peralihan kewenangan penyelesaian perselisihan pemilukada oleh MA dan MK.

2. Untuk mengetahui bagaimana efektifitas penyelesaian perselisihanhasil pemilukada oleh MA dan MK.


(13)

Adapun yang menjadi manfaat dari skripsi ini adalah:

a. Secara teoritis

Skripsi ini diharapkan bermanfaat sebagai tambahan dokumen hukum secara khusus mengenai penyelesaian perselisihanhasil pemilukada oleh MAdan MK , dan sebagai upaya untuk pengembangan Ilmu Hukum Tata Negara.

b. Secara Praktis

Skripsi ini diharapkan bermanfaat bagi akademisi, praktisi hukum, aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan bagi semua pihak yang berkepentingan untuk mengetahui bagaimana efektifitas penyelesaian perselisihan pemilukada oleh MAdan MK.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul “EFEKTIFITAS PENYELESAIAN PERSELISIHANHASIL PEMILUKADA OLEH MAHKAMAH AGUNG DAN MAHKAMAHKONSTITUSI ”, belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini asli serta bukan plagiat ataupun diambil dari skripsi orang lain. Skripsi ini merupakan penemuan ilmiah, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.


(14)

Apabila ada skripsi yang sama, maka akan dipertanggungjawabkan penulis sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

Untuk memberikan pemahaman terhadap penelitian ini, berikut akan diberikan beberapa pengertian terkait dengan objek penelitian ini.

Menurut Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, efektifitas berasal dari kata efek yang artinya pengaruh yang ditimbulkan oleh sebab, akibat/dampak. Efektif yang artinya berhasil, sedang efektifitas menurut bahasa merupakan ketepatan gunaan, hasil guna, menunjang tujuan.24

Efektifitas menurut Dinas Pendidikan dan Kebudayaan adalah keadaan berpengaruh, membawa dan berhasil guna (usaha, tindakan).25 Dan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tersebut juga disebutkan bahwa efektifitas adalah kegiatan yang memberikan hasil yang memuaskan dengan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Dengan demikian efektifitas merujuk kepada suatu ukuran yang diperoleh atas kesesuaian antara ukuran yang dihasilkan dengan ukuran yang diharapkan, yang telah ditentukan terlebih dahulu.26

24

Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya, 1994, hlm. 128.

25

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1998, hlm. 219.

26

J.S. Badudu, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 271.

Jadi dapat disimpulkan efektifitas adalah hal yang bersangkut paut dengan keberhasilan, manfaat dan


(15)

seberapa target (kuantitas, kualitas, dan waktu) yang telah dicapai dari suatu perlakuan yang diterapkan kepada objek penelitian.

Perselisihan adalah perselisihan yuridis sebagai akibat terjadinya pelanggaran pada tahap-tahap penyelenggaraan pemilu, yang terbagi dua yakni pertama pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilu, dan kedua perselisihan hasil pemilu.27Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 (selanjutnya ditulis UU 12/2003) tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur secara tegas perselisihan yang terjadi diantara pihak-pihak adalah perselisihan yang timbul dalam tahapan-tahapan pemilu. Menurut Topo Santoso yang dikutip oleh Rudatyo dalam Jurnal Konstitusi Vol II Tahun 2009 bahwa perselisihan hasil pemilu meliputi:28

Pihak yang mengajukan sengketa memiliki kepentingan memenangkan suatu perkara disinilah berlaku pula maxim point d’etre, point d’action, yang

1. Pelanggaran Administrasi Pemilu; 2. Pelanggaran Pidana Pemilu;

3. Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara; 4. Sengketa dalam proses pemilu;

5. Perselisihan hasil Pemilu; 6. Sengketa hukum lainnya.

Jadi, sengketa pemilu yang dimaksud dalam tahapan- tahapan pemilu adalah sengketa dalam proses pemilu, sengketa perselisihan hasilpemilu, dan sengketa hukum lainnya.

27

Hendra Sudrajat, Op cit, Kewenangan Mahkamah Konstitusi....

28

Rudratyo, Jurnal Konstitusi Vol II No.1, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2009, hal 10


(16)

artinya tanpa kepentingan maka tidak ada suatu tindakan. Seseorang mengajukan pengaduan kostitusional karena yang bersangkutan memiliki kepentingan bahwa hak asasi konstitusional dilanggar oleh badan atau pejabat pemerintah. Zonder belang, het is geen rechtsingang.29

Hasil merupakan sesuatu yang diadakan, dibuat, dijadikan oleh usaha, perolehan. Dalam UUD 1945 tidak memberikan pengertian dan ruang lingkup mengenai apa yang dimaksud dengan perselisihan tentang hasil pemilu, maka diaturlah dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 (selanjutnya ditulis UU 24/2003) tentang Mahkamah Konstitusi, pasal 74 ayat (2) memberikan pengertian bahwa, perselisihan hasil pemilu adalah perselisihan mengenai penetapan hasil pemilu yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi yakni terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, penentuan pasangan calon yang masuk putaran kedua pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan wakil Presiden, dan perselisihan kursi partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemilihan.30

Pasal 258 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 (selanjutnya ditulis UU 10/2008) tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merumuskan pengertian perselisihan hasil pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

29

.Hendra Sudrajat, op cit, kewenangan mahkamah konstitusi...

30


(17)

Daerah adalah perselisihan antara Komisi Pemilihan Umum dan peserta Pemilihan Umum mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional serta perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memmpengaruhi perolehan peserta pemilu.31

Dalam pasal 201 ayat (1)UU 10/2008tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden disimpulkan bahwa, pengertian perselisihan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden adalah pengajuan keberatan yang di ajukan oleh pasangan calon terhadap penetapan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden oleh Komisi Pemilihan Umum yang perhitungan suaranya mempengaruhi terpilihnya pasangan calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden kepada Mahkamah Konstitusi.32

Mengenai pengertian perselisihan hasil Pemilukada , dengan merujuk Pasal 106 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU12/2008 dan UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu,maka dapat disimpulkan bahwa:33

31

Pasal 258 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merumuskan pengertian perselisihan hasil pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

32

Pasal 201 ayat (1) UU No 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

33

Akil Mochtar, Mahkamah Konstitusi dan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), Jakarta, 2010, hal.4.


(18)

a. perselisihan hasil Pemilu Kepala Daerah adalah perselisihan antarapasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaiPeserta Pemilu Kepala Daerah dan KPU provinsi dan/atau KPUkabupaten/kota sebagai penyelenggara Pemilu;

b. yang diperselisihkan adalah penetapan penghitungan suara hasilPemilukada yang ditetapkan oleh KPU provinsi atau KPUkabupaten/kota yang mempengaruhi penentuan calon untuk masuk keputaran kedua Pemilukada atau terpilihnya pasangan calon kepaladaerah dan wakil kepala daerah.

Pengertian pemilu sendiri menurutUU 10/2008tentang Pemilihan anggota DPR, DPRD, dan DPD bahwa pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber-jurdil) dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.34

Arbi Sanit menyatakan bahwa melalui pemilu, transformasi kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan negara dilakukan dengan fungsinya sebagai perjanjian sosial (social contract). Artinya melalui pemilu para individu pemegang hak politik bersepakat menyerahkan sebagian haknya kepada organisasi yang dipandang berpotensi utnuk berkuasa atau membentuk kedaulatan negara.

Dari pengertian ini saja kemudian dapat kita tarik suatu pemahaman bahwa konstitusi memang mengkehendaki pemilu sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat.

35

34

Pasal 1 Angka 1 UU No. 10 Tahun 2008 35

Arbi Sanit, Reformasi Politik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hal. 186


(19)

kekuasaan negara yang pada dasarnya lahir dari bawah menurut kehendak rakyat sehingga terbentuk kekuasaan negara yang benar-benar memancarkan ke bawah sebagai suatu kewibawaan sesuai dengan keinginan rakyat menurut sistem permusyawaratan perwakilan.36

Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung pada dasarnya merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis, berkedaulatan rakyat, transparan, dan bertanggungjawab. Selain itu, pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan dan demokratisasi lokal, yakni tidak sekedar distribusi kekuasaan antar pemerintahan secara vertikal.37

MA menurut Pasal 2 Undang-Undang No.14 Tahun 1985disebutkanbahwa MA adalah pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.

Dengan demikian secara substansial maupun teknis mekanisme penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah berbeda dengan mekanisme penyelenggaraan pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden.

38

36

Hendra Sudrajat, Op cit, Kewenangan Mahkamah Konstitusi..

37

Ibid. 38

Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1985, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 3316)


(20)

badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara.39

Namun kemudian seiring dengan adanya perubahan UUD 1945 maka keberadaan MK adalah sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat 2 UUD 1945.40O.C. Kaligis dalam bukunya yang berjudul “Mahkamah Konstitusi Praktik Beracara & Permasalahannya”mengatakan bahwa MA dan MK sama-sama merupakan pelaksana cabang kekuasaan kehakiman (judiciary) yang merdeka dan terpisah dari cabang-cabang kekuasaan lain, yaitu pemerintah (executive) dan lembaga perwakilan (legislature).41 Namun, struktur kedua lembaga kekuasaan kehakiman ini terpisah dan berbeda sama satu sama lain.42

MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 , memutus perselisihan kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.43

39

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958)

MK wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan

40

Pasal 24 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, Pasal 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226)

42

Ibid. 43


(21)

pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.44MK mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh MA , tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.45

1. Jenis Penelitian

F. Metode Penelitian

Dalam rangka merumuskan isi skripsi ini, maka digunakan metode penulisan yang diuraikan sebagai berikut;

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini penelitian yuridis normatif yaitu jenis penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisis norma-norma hukum yang berlaku. Dalam hal ini, penelitian dilakukan dengan cara menganalisa norma-norma hukum nasional yang berkenaan dengan penelitian.

2. Data Penelitian

Penelitian ini bersumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yaitu sebagai berikut:

A. Bahan Hukum Primer

a. Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

44

Pasal 24C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. 45


(22)

b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844

c. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2004

d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2011 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

e. Undang-Undang Republik Indonesianomor 3 Tahun 2009.TentangPerubahan Kedua AtasUndang-Undang Nomor 14 Tahun 1985Tentang Mahkamah Agung dalam Lembaran Negara Nomor 3 Tahun 2009

B. Bahan Hukum Sekunder, yaitu tulisan-tulisan atau karya-karya para ahli hukum dalam buku-buku teks, tesis, makalah, jurnal, surat kabar, internet, dan media lainnya yang relevan dengan penelitian ini, dan putusan MK.

C. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang digunakan guna menunjang bahan hukum sekunder seperti kamus hukum dan kamus bahasa.


(23)

Teknik Pengumpulan Data yang digunakan adalah Tinjauan Kepustakaan (Library Research). Tinjauan Kepustakaan (Library Research) merupakan teknik pengumpulan data dengan cara penelitian kepustakaan atau data sekunder. Data sekunder adalah data-data yang berasal dari sumber-sumber atau bahan-bahan tertulis yang ditulis oleh para sarjana dan ahli sehingga datanya dapat diakui.

4. Analisis Data

Pengolahan data yang dilakukan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah dengan menganalisa permasalahan yang dibahas. Adapun analisis data dilakukan dengan cara:

a. Mengumpulkan data-data dan bahan-bahan hukum yang relevan dengan objek penelitian.

b. Memilih kaidah-kaidah hukum ataupun doktrin-doktrin yang sesuai dengan objek penelitian.

c. Mensistematiskan kaidah-kaidah hukum dan doktrin-doktrin tersebut. d. Menjelaskan korelasi antara kaidah-kaidah hukum dan doktrin-doktrin

tersebut.

e. Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif.

G. Sistematika Penulisan

Untuk dapat mempermudah pemahaman skripsi ini, maka pembahasan dalam skripsi ini akan diuraikan secara sistematis. Adapun penulisan skripsi ini dibagi ke dalam 5 bab yang berhubungan satu sama lainnya, yaitu:


(24)

BAB I : Bab ini berisi Pendahuluan yang terdiri atas Latar Belakang Penulisan, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan, hingga Sistematika Penulisan.

BAB II : Bab ini membahas tentang tinjauan mengenai pemilu, pemilukada, serta perselisihan pemilukada.

BAB III : Bab ini membahas tentang kedudukan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman di Indonesia.

BAB IV : Bab ini membahas tentang peralihan penyelesaian perselisihan hasil pemilukada dari kewenangan Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi serta efektifitas penyelesaian perselisihan hasil pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Bab V : Bab terakhir dalam skripsi ini berisi penutup berupa Kesimpulan dari keseluruhan penelitian yang dilakukan serta juga Saran.


(1)

kekuasaan negara yang pada dasarnya lahir dari bawah menurut kehendak rakyat sehingga terbentuk kekuasaan negara yang benar-benar memancarkan ke bawah sebagai suatu kewibawaan sesuai dengan keinginan rakyat menurut sistem permusyawaratan perwakilan.36

Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung pada dasarnya merupakan suatu proses politik bangsa menuju kehidupan yang lebih demokratis, berkedaulatan rakyat, transparan, dan bertanggungjawab. Selain itu, pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung tersebut menandakan adanya perubahan dan demokratisasi lokal, yakni tidak sekedar distribusi kekuasaan antar pemerintahan secara vertikal.37

MA menurut Pasal 2 Undang-Undang No.14 Tahun 1985disebutkanbahwa MA adalah pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.

Dengan demikian secara substansial maupun teknis mekanisme penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah berbeda dengan mekanisme penyelenggaraan pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden.

38

36

Hendra Sudrajat, Op cit, Kewenangan Mahkamah Konstitusi..

37

Ibid.

38

Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1985, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 3316)


(2)

badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara.39

Namun kemudian seiring dengan adanya perubahan UUD 1945 maka keberadaan MK adalah sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat 2 UUD 1945.40O.C. Kaligis dalam bukunya yang berjudul “Mahkamah Konstitusi Praktik Beracara & Permasalahannya”mengatakan bahwa MA dan MK sama-sama merupakan pelaksana cabang kekuasaan kehakiman (judiciary) yang merdeka dan terpisah dari cabang-cabang kekuasaan lain, yaitu pemerintah (executive) dan lembaga perwakilan (legislature).41 Namun, struktur kedua lembaga kekuasaan kehakiman ini terpisah dan berbeda sama satu sama lain.42

MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 , memutus perselisihan kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.43

39

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958)

MK wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan

40

Pasal 24 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, Pasal 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226)

42

Ibid.

43


(3)

pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.44MK mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh MA , tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.45

1. Jenis Penelitian

F. Metode Penelitian

Dalam rangka merumuskan isi skripsi ini, maka digunakan metode penulisan yang diuraikan sebagai berikut;

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini penelitian yuridis normatif yaitu jenis penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisis norma-norma hukum yang berlaku. Dalam hal ini, penelitian dilakukan dengan cara menganalisa norma-norma hukum nasional yang berkenaan dengan penelitian.

2. Data Penelitian

Penelitian ini bersumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yaitu sebagai berikut:

A. Bahan Hukum Primer

a. Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

44

Pasal 24C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

45


(4)

b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844

c. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2004

d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2011 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

e. Undang-Undang Republik Indonesianomor 3 Tahun 2009.TentangPerubahan Kedua AtasUndang-Undang Nomor 14 Tahun 1985Tentang Mahkamah Agung dalam Lembaran Negara Nomor 3 Tahun 2009

B. Bahan Hukum Sekunder, yaitu tulisan-tulisan atau karya-karya para ahli hukum dalam buku-buku teks, tesis, makalah, jurnal, surat kabar, internet, dan media lainnya yang relevan dengan penelitian ini, dan putusan MK.

C. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang digunakan guna menunjang bahan hukum sekunder seperti kamus hukum dan kamus bahasa.


(5)

Teknik Pengumpulan Data yang digunakan adalah Tinjauan Kepustakaan (Library Research). Tinjauan Kepustakaan (Library Research) merupakan teknik pengumpulan data dengan cara penelitian kepustakaan atau data sekunder. Data sekunder adalah data-data yang berasal dari sumber-sumber atau bahan-bahan tertulis yang ditulis oleh para sarjana dan ahli sehingga datanya dapat diakui.

4. Analisis Data

Pengolahan data yang dilakukan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah dengan menganalisa permasalahan yang dibahas. Adapun analisis data dilakukan dengan cara:

a. Mengumpulkan data-data dan bahan-bahan hukum yang relevan dengan objek penelitian.

b. Memilih kaidah-kaidah hukum ataupun doktrin-doktrin yang sesuai dengan objek penelitian.

c. Mensistematiskan kaidah-kaidah hukum dan doktrin-doktrin tersebut. d. Menjelaskan korelasi antara kaidah-kaidah hukum dan doktrin-doktrin

tersebut.

e. Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif.

G. Sistematika Penulisan

Untuk dapat mempermudah pemahaman skripsi ini, maka pembahasan dalam skripsi ini akan diuraikan secara sistematis. Adapun penulisan skripsi ini dibagi ke dalam 5 bab yang berhubungan satu sama lainnya, yaitu:


(6)

BAB I : Bab ini berisi Pendahuluan yang terdiri atas Latar Belakang Penulisan, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan, hingga Sistematika Penulisan.

BAB II : Bab ini membahas tentang tinjauan mengenai pemilu, pemilukada, serta perselisihan pemilukada.

BAB III : Bab ini membahas tentang kedudukan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman di Indonesia.

BAB IV : Bab ini membahas tentang peralihan penyelesaian perselisihan hasil pemilukada dari kewenangan Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi serta efektifitas penyelesaian perselisihan hasil pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Bab V : Bab terakhir dalam skripsi ini berisi penutup berupa Kesimpulan dari keseluruhan penelitian yang dilakukan serta juga Saran.