Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

(1)

BAB II

PEMILIHAN UMUM

A. Pemilihan Umum

1. Tinjauan Umum tentang Pemilihan Umum

Pada dasarnya yang dimaksud dengan pemilu adalah proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu.46 Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 (selanjutnya ditulis UU 15/2011)tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dan Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 (selanjutnya ditulis UU 8/2012)tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, Pemilihan Umumadalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.47

Perubahan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dari yang semula berbunyi “Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”menunjukan terjadinya

47

Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 101;Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 5246) Dan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316).


(2)

perubahan gagasan yang begitu mendasar tentangkedaulatan rakyat dalam UUD 1945. Terjadi pergeseran yang sangat fundamental tentang siapa sebenarnya yang bertindak sebagai pemegang supremasi atau kekuasaan tertinggi. Sebagaimana dikemukakan Soewoto Mulyosudarmo, perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 merupakan perubahan menuju sebuah kondisi yang mencerminkan keadaan yang sebenarnya mengatur tentang kekuasaan tertinggi.48

Moh.Kusnardi dan Harmailly Ibrahim mengemukakan bahwa dalam paham kedaulatan rakyat (democracy), rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik atau pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.

Di mana pemilik kekuasaan tertinggi dalam negara adalah rakyatyang pelaksanaannya sesuai dengan Undang-Undang Dasar.

49

Perubahan gagasan kedaulatan dalam UUD 1945 sekaligus juga diiringi dengan perubahan terhadap cara rakyat memberikan mandat terhadap penyelenggara kekuasaan negara. Salah satu contoh yang dapat dikemukan bahwa Presiden sebagai penyelenggara salah satu cabang kekuasaan negara pada awalnya dipilih oleh MPR.Sedangkan berdasarkan UUD 1945 yang telah diamandemen,

Rakyatlah yang menentukan corak dan bagaimana cara pemerintahan diselenggarakan. Rakyat jugalah yang menetukan tujuan yang hendak dicapai oleh negara dan pemerintahannya itu.Berdasarkan hal tersebut maka diadakanlah pemilihan umum yang yang bertujuan untuk melaksanakan kedaulatan rakyat dimana rakyat memilih siapa yang berhak menjadi pemimpin bagi mereka.

48

Soewoto Mulyosudarmo, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Asosiasi Pengajar HTN dan HAN dan In-TRANS, Malang, 2004, hlm. 4.

49


(3)

Presiden dipilih langsung oleh rakyat, tidak lagi oleh MPR.Begitu juga mandat yang diberikan rakyat kepada penyelenggara kekuasaaan negara lainnya, seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).Semua anggota DPR dan DPD dipilih melalui pemilu.Tidak seorangpun anggota DPR dan DPD yang ditunjuk sebagaimana pernah terjadi pada masa-masa sebelum reformasi, di mana anggota DPR, DPRD I dan DPRD II yang berasal dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) tidak dipilih oleh rakyat melalui mekanisme pemilu.

Sebagai wujud dari kedaulatan rakyat, dalam sistemdemokrasi harus dijamin bahwa rakyat terlibat penuh dalammerencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukanpengawasan serta menilai pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan. Pelaksanaan keterlibatan penuh rakyat tersebut haruslah diorganisasikan menurut Undang-Undang Dasar sesuai dengan dengan ketentuan UUD 1945, tidak lagi diorganisasikan melalui institusi kenegaraan Majelis Permusyawaratan Rakyat layaknya ketentuan UUD 1945 sebelum perubahan. Perbedaan yang terjadi setelah perubahan itu sangat jelas dan prinsipil.50

50

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, BIP, Jakarta, 2007, hal. 292.

Pertama, kedaulatan yang berada di tangan rakyat itu sekarang tidak lagi dilembagakan hanya pada satu subjek saja (ordening subject), yaitu MPR sebagai penjelmaan tunggal lembaga negara pelaksana kedaulatan rakyat. Dalam rumusan yang baru, semua lembaga negara baik secara langsung ataupun tidak langsung juga dianggap sebagai penjelmaan dan dibentuk dalam rangka pelaksanaan kedaulatan


(4)

rakyat. Kedua, pengharusan pelaksanaan tugas menurut ketentuan undang-undang dasar tidak hanya satu lembaga saja, yakni MPR, melainkan semua lembaga negara diharuskan bekerja menurut ketentuan undang-undang dasar..Secara langsung penjelmaan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat itu adalah melalui pemilihan umum langsung untuk menetukan pemegang jabatan publik pada suatu lembaga negara yang harus dilakukan secara berkala dan teratur.

.Ada beberapa alasan mengapa sangat penting bagi pemilihan umum untuk dilaksanakan secara berkala.51Pertama, pendapat atau aspirasi rakyat tidak akan selalu sama untuk jangka waktu yang panjang, dalam artian bahwa kondisi kehidupan rakyat itu bersifat dinamis sehingga aspirasi mereka akan aspek kehidupan bersama juga akan berubah-ubah seiring dengan berjalannya waktu. Mungkin saja terjadi dalam jangka waktu tertentu rakyat menghendaki agar corak dan jalannya pemerintahan harus berubah, hal ini dapat kita pahami dengan melihat proses amandemen UUD 1945.Dan dapat dihubungkan dengan teori resultan dari K.C. Wheare yang menyatakan bahwa kondisi masyarakat pada suatu masa tertentu memiliki aspek pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan konstitusi.52

51

Ibid., hlm. 171.

52

K.C. Wheare , op.citKonstitusi-Konstitusi Modern... hal.104.

Kedua, disamping pendapat rakyat dapat berubah-ubah dari waktu ke waktu, kondisi kehidupan bersama dalam masyarakat dapat pula berubah, baik karena dinamika internasional maupun karena dinamika dalam negeri sendiri, baik karena faktor internal manusia maupun karena faktor eksternal manusia.Ketiga, perubahan-perubahan aspirasi dapat juga disebabkan karena


(5)

pertambahan jumlah penduduk dan rakyat yang dewasa. Mereka itu, terutama para pemilih baru (new voters) atau pemilih pemula belum tentu memiliki sikap yang sama dengan orang tua mereka sendiri. Dan keempat, pemilihan umum perlu diadakan secara teratur dengan maksud untuk menjamin terjadinya pergantian kepemimpinan negara, baik di cabang kekuasaan eksekutif maupun di cabang kekuasaan legislatif.

2. Tujuan pemilihan umum

Secara menyeluruh, tujuan penyelenggaraan pemilu itu ada 4 (empat)53

a. untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai;

, yaitu :

b. untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan;

c. untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; dan d. untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.

Harus dimaklumi, kemampuan seseorang dalam melaksanakan apapun adalah bersifat terbatas.Di samping itu pula, jabatan pada dasarnya merupakan amanah yang berisi beban dan tanggung jawab, bukan merupakan hak yang harus dinikmati. Jadi, sudah seharusnya seseorang tidak boleh menduduki suatu jabatan tanpa ada kepastian berapa lama ia duduk di jabatan tersebut. Dibutuhkan suatu

53

Jimly Asshiddiqie,Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekertariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, hal. 418-419.


(6)

siklus jabatan yang dinamis untuk mencegah kekuasaan yang permanen dan menjadi sumber malapetaka, hal ini dikarenakan dalam setiap jabatan, dalam dirinya selalu ada kekuasaan yang cenderung berkembang menjadi sumber kesewenang-wenangan bagi siapa saja yang memegangnya. Untuk itulah, pergantian kepemimpinan harus dipandang sebagai suatu keniscayaan untuk memelihara amanah yang terdapat dalam setiap kekuasaan itu sendiri.

Dalam pemilihan umum, yang dipilih tidak saja wakil rakyat yang akan duduk di lembaga perwakilan rakyat atau parlemen, tetapi juga para pemimpin pemerintahan yang duduk di kursi eksekutif. Di cabang kekuasaaan legislatif, para wakil rakyat itu ada yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, dan ada yang duduk di Dewan Perwakilan Daerah. Sementara itu di cabang kekuasaan eksekutif, para pemimpin yang dipilih secara langsung oleh rakyat adalah Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Dengan terlaksananya pemilu yang teratur dan berkala maka pergantian pejabat yang dimaksud juga berjalan secara teratur dan berkala pula.54

Suatu kewajaran apabila selalu terjadi pergantian pejabat baik di lingkungan eksekutif maupun di lingkungan legislatif.Pergantian pejabat yang dimaksudkan disini adalah pergantian yang terjadi secara legalatau terjadi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.Dan di dalam negara

54


(7)

demokrasi pergantian pejabat pemerintah itu ditentukan secara langsung oleh rakyat, yaitu melalui pemilu yang diselenggarakan secara periodik.

Pemilu kemudian disebut juga bertujuan untuk memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan dan pergantian pejabat negara yang diangkat melalui pemilihan (elected public officials). Dalam hal tersebut di atas, memungkinkan disini bermaksud bahwa tidak harus selalu berarti ketika terjadi pemilihan umum harus terjadi pergantian pemerintahan atau pejabat negara. Mungkin saja terjadi, pemerintahan suatu partai politik dalam sistem parlementer memerintah untuk dua, tiga, atau empat kali, ataupun seorang Presiden di Indonesia atau Amerika Serikat dipilih untuk dua kali masa jabatan. Dimaksud memungkinkan disini berarti bahwa pemilihan umum itu harus membuka kesempatan yang sama bagi peserta pemilu untuk menang atau kalah. Pemilu yang demikian itu hanya dapat terjadi apabila benar-benar dilaksanakan dengan jujur dan adil (jurdil).

Tujuan ketiga dan keempat dari pemilihan umum itu adalah juga untuk melasanakan kedaulatan rakyat dan melaksanakan hak asasi para warga negara. Untuk menentukan jalannya negara, rakyat sendirilah yang harus mengambil keputusan melalui perantaraan wakil-wakilnya yang akan duduk di lembaga legislatif. Hak-hak politik rakyat untuk menentukan jalannya pemerintahan dan fungsi-fungsi negara secara dengan benar dan sebaik-baiknya menurut Undang – undang Dasar adalah hak konstitusional warga negara dan merupakan hak yang sangat fundamental. Oleh karena itu penyelenggaraan pemilu, di samping merupakan perwujudan kedaulatan rakyat, juga merupakan sarana pelaksanaan


(8)

hak-hak asasi warga negara sendiri.. Demikian pula di lingkungan kekuasaan eksekutif, rakyat sendirilah yang harus memilih Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk memimpin jalannya pemerintahan baik di tingkat pusat, di tingkat provinsi, maupun di tingkat kabupaten/kota.

B. Pemilukada

Perihal mengenai pemilu diatur secara tersendiri dalam Bab VIIB UUD 1945tentang Pemilihan Umum. Dalam bab tersebut dinyatakan bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.55

1. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang pesertanya adalah partai politik;

Pada pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dinyatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Berdasarkan ketentuan Pasal 23E ayat (2) UUD 1945, pemilu yang dimaksudkan oleh konstitusi adalah pemilu untuk memilih:

56

2. Anggota Dewan Perwakilan Daerah yang pesertanya adalah perseorangan;57

3. Presiden dan Wakil Presiden yang pesertanya adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum;58

55

Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945.

56

Pasal 22E ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945.

57

Ibid.

58


(9)

4. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang pesertanya adalah partai politik.

Selain ketentuan diatas pada pasal 18 ayat (4) UUD 1945 disebutkan adanya ketentuan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota yang dipilih secara demokratis.59

Pemahaman demokratis tersebut menimbulkan multitafsir, harus dikaji secara mendalam dan komprehensif tentang pengaturan pemilukada sehingga penerapannya dapat memberikan manfaatbagi demokratisasi daerah dan kesejahteraan masyarakat daerah. Menurut Ibnu Tricahyo berdasarkan tafsir sistematis dan historis maka demokratis adalah pemilihan langsung.

Ketentuan lebih lanjut mengenai hal ini oleh UUD 1945 diamanatkan dalam undang-undang. Makna perkataan demokratis sesuai dengan ketentuan konstitusi tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana mekanisme yang ditempuh untuk melaksanakan pemilihan tersebut.

60

59

Pasal 18 UUD NRI 1945

60

Ibnu Tricahyo,”Menata Managemen Pemilihan Kepala Daerah”, Makalah, Pada lokakarya MPR.

Selain itu dapat dilihat dari tafsirsosiologis bagaimana kemauan dan fakta di masyarakat terhadap hal tersebut, sehingga ini dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam


(10)

membentuk peraturan perundang-undangan khususnya terkait dengan masalah pemilukada.61

Pengaturan pemerintahan daerah sebagai penjabaran pasal 18 ayat (4) UUD1945, dituangkan dalam UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerahyang telah mengalami revisi menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan pelaksananya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 dan juga telah mengalami beberapa kali perubahan yakni Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, Peraturan

Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Dengan demikian terjadi perubahan paradigma dari demokrasi representatif bergeser ke demokrasi partisivatif. Demokrasi secara umum dimaknai “dari, oleh, danuntuk rakyat”, dengan demikian dalam pengambilan keputusan seharusnya ditentukan oleh rakyat baik itu secara langsung maupun tidak langsung. Maka kemudian oleh pembentuk undang- undang makna demokratis itu ditafsirkan sebagai pemilihan secara langsung yang diimplementasikan dalam UU 32/2004 sebagai pengganti UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.

61

Amancik, Model Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan UUD 1945 Dalam Rangka

Otonomi Daerah, Jurnal pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, Malang,


(11)

PemerintahNomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Ketentuan ini mengatur bahwa kepala daerah dan wakil Kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Penafsiran “kepala daerah dipilih secara demokratis” adalah “dipilih secaralangsung oleh rakyat”, sehingga pemilukada kemudiandikategorikan juga masuk rezim hukum pemilu, terlebih lagi setelahterbitnya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.62 Akhirnya sejak Juni 2005, pemilukada, baik gubernur, bupati dan walikotadilakukan secara langsung.Pemilukada sendiri diartikan sebagai pemilu untuk memilih kepala daerah danwakil kepala daerah secara langsung dalam NegaraKesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasiladan UUD 1945.63

Kacung Marijan mengatakan pemilukada langsung padadasarnya adalah untuk memperbaiki kualitas demokrasi lokal denganberbagai kemajuan, tetapi juga memunculkan fenomena ”ekonomipolitik bayang-bayang” dengan calon hanya bermodalkan politikdan modal ekonomi. Calon tersebut kemudiantidak otonom dengan kekuatan ekonomi dan politik yangmendukungnya. Ia mengutip Peter Evan (1995), yang mengatakanpemerintah daerah memiliki jaringan (embeddedness) dengankekuatan-kekuatan ekonomi dan politik yang

62

A. Mukhtie Fadjar, Pemilu yang Demokratis..., op.cit, hlm.6.

63

Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4721)


(12)

mendukungnya.64

Dengan pemilihan langsung,rakyat merupakan pelaku utama dan penentu kekuasaan di daerah.Rakyat semula hanya sebagai penonton proses demokrasi lokalyang didominasi para elit (DPRD dan partai politik). Denganpemilukada langsung, rakyat yang memilih siapa yang memimpindan mewakilinya di daerah. Pembajakan otoritas rakyat oleh parapemimpin atau wakilnya diharapkan tidak terjadi denganpemilukada langsung. Lewat pemilihan secara luber dan jurdil pemilihjuga akan bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan. Diharapkan program-programdari calon akan lebih baik dan akan mengimplementasikannya secara nyataketika dipilih rakyat secara langsung. Selain itu para pemimpin hasilpemilihan langsung akan lebih mendengar suara pemilih sehinggapraktik money politic serta reduksi oleh elit-elit politik akanmenghilang dengan dikembalikannya kedaulatan kepada rakyat.

Mahalnya biaya politik saat ini yang dikeluhkan dalam pemilukadalangsung terkait erat dengan praktik kecurangan ini dan faktorkedekatan dengan masyarakat sebagai modal pencalonan belumsebagai hal utama yang diusung oleh para calon.

65

64

Kacung Marijan, Demokratisasi di Daerah (Pelajaran dari Pilkada Secara Langsung), (Surabaya: Eureka-Pusdeham, 2006), hlm. 83-118

65

Bintan R. Saragih, Sistem Pemerintahan dan Lembaga Perwakilan di Indonesia, (Jakarta: Perintis Press, 1985), 98-107.

Secara teori, kepala daerah yang dipilih langsung cenderung akan menggunakan keterwakilannyasecara “delegate”, yaitu berusaha merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakanyang menjadi pilihan dan keinginan pemilih. Sedangkan jika tidak langsung,akan cenderung mengarah pada fungsi keterwakilan “trustee”, yaitu menjalankan kewenangan sesuai apayang diyakini,


(13)

terlepas dari pemilih atau mengarah pada fungsi “politico”, membuat keputusan politikberdasarkan situasi yang berkembang.66

C. Perselisihan Hasil Pemilukada

Berbeda dengan pemilu-pemiluyang berlangsung sebelum perubahan UUD 1945 yang tidak dapatdiuji hasilnya oleh peserta pemilu, sesudah perubahan UUD 1945, pemilu yang diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihanumum yang bersifat “nasional, tetap, dan mandiri”, dapat diujihasilnya oleh peserta pemilu di MKsebagai “perselisihan hasil pemilu”.UUD 1945 tidak menegaskan tentang pengertian dan ruanglingkup mengenai apa yang dimaksud dengan “perselisihan hasilpemilu” seperti yang tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Sehingga undang-undanglah yang kemudian mengaturnya, yakniUndang-Undang No. 24 Tahun 2003 (selanjutnya ditulis UU 24/2003) sebagaimana telah diubah Undang-Undang No.8 Tahun 2011(selanjutnya ditulis UU 8/2011) TentangMK. Dalampasal 74 ayat (2) UU 8/2011 memberikan pengertian bahwaperselisihan hasil pemilu adalah perselisihan mengenai “penetapanhasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh KPU”yang mempengaruhi :

a. terpilihnya calon anggota DPD;

b. penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran keduapemilihan

Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden;

c. perolehan kursi partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemilihan.

66


(14)

Kalau kita cermati, ketentuan Pasal 74 ayat (2) tersebut hanyaberkaitan dengan perselisihan hasil Pemilu anggota DPR, DPD, danDPRD serta perselisihan hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden,belum menjangkau mengenai perselisihan hasil pemilukada. Hal itu dapat dimengerti, karena yang menjadi kewenangan konstitusional MK saat itu hanyalah untuk memutus perselisihan hasil pemilu sebagaimana dimaksudPasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang pada dasarnya adalah hasil pemilu yang dimaksuddalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, yaitu pemilu anggota DPR, DPD, presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD.

MK sejak tahun 2008 diberikan kewenanganmengadili sengketa

pemilukada yang semula dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).67Kewenangan

mengadili perkarapemilukada ini memiliki arti penting bagi perkembangan hukumdan ketetanegaraan, dimana putusan MK adalah final danmengikat (final and binding). Selain itu, sejak awal MK juga memiliki kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilu.Keberadaan lembaga MK yang mengadili juga merupakan bagian parameter menilai derajat demokrasi dalam proses penyelenggaraan pemilu dengan penyelesaian sengketa dengan prosedur dankeputusan yang adil dan cepat.68

Ruang lingkup ”sengketapemilukada” sesuai kewenangan yang dimiliki MK, yaitu: Pertama,penyimpangan dalam proses dan tahapan pemilukada

67

Pasal 106 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menentukan keberatan penetapan hasil Pemilukada berkenaan ”hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon” diadili MA. Dalam perkembangannya kemudian ditangani MK berdasarkan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Berdasarkan UU ini penanganan sengketa hasil pemilu oleh MA dialihkan ke MK paling lama 18 bulan sejak ditetapkan undang-undang tersebut.

68

Ramlan Surbakti dkk, Perekayasaan Sistem Pemilu Untuk Pembangunan Tata Politik


(15)

akanberpengaruh atas hasil akhir yang mengharuskan MK tidak bolehmembiarkannya dan dinilai juga untuk menegakkan keadilan.Mahkamah tidak boleh membiarkan aturan-aturan keadilanprosedural (procedural justice) memasung dan mengesampingkankeadilan substantif (substantive justice). Kedua, pengalihankewenangan dari MA ke MK bermakna bahwa MK sebagaiperadilan konstitusi diberikan mandat sebagai pengawal konstitusidan menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabilberdasarkan konstitusi.69

69

Miftakhul Huda, Pola Pelanggaran Pemilukada..., op.cit., hlm.120

Jadi MK tidak hanya bertindak sebagai kalkulator hasil penghitungan pemilukada namun masuk kedalam proses yang menentukan hasil pemilukada itu sendiri.


(1)

membentuk peraturan perundang-undangan khususnya terkait dengan masalah pemilukada.61

Pengaturan pemerintahan daerah sebagai penjabaran pasal 18 ayat (4) UUD1945, dituangkan dalam UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerahyang telah mengalami revisi menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan pelaksananya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 dan juga telah mengalami beberapa kali perubahan yakni Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, Peraturan

Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Dengan demikian terjadi perubahan paradigma dari demokrasi representatif bergeser ke demokrasi partisivatif. Demokrasi secara umum dimaknai “dari, oleh, danuntuk rakyat”, dengan demikian dalam pengambilan keputusan seharusnya ditentukan oleh rakyat baik itu secara langsung maupun tidak langsung. Maka kemudian oleh pembentuk undang- undang makna demokratis itu ditafsirkan sebagai pemilihan secara langsung yang diimplementasikan dalam UU 32/2004 sebagai pengganti UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.

61

Amancik, Model Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan UUD 1945 Dalam Rangka

Otonomi Daerah, Jurnal pada Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, Malang,


(2)

PemerintahNomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Ketentuan ini mengatur bahwa kepala daerah dan wakil Kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Penafsiran “kepala daerah dipilih secara demokratis” adalah “dipilih secaralangsung oleh rakyat”, sehingga pemilukada kemudiandikategorikan juga masuk rezim hukum pemilu, terlebih lagi setelahterbitnya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.62 Akhirnya sejak Juni 2005, pemilukada, baik gubernur, bupati dan walikotadilakukan secara langsung.Pemilukada sendiri diartikan sebagai pemilu untuk memilih kepala daerah danwakil kepala daerah secara langsung dalam NegaraKesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasiladan UUD 1945.63

Kacung Marijan mengatakan pemilukada langsung padadasarnya adalah untuk memperbaiki kualitas demokrasi lokal denganberbagai kemajuan, tetapi juga memunculkan fenomena ”ekonomipolitik bayang-bayang” dengan calon hanya bermodalkan politikdan modal ekonomi. Calon tersebut kemudiantidak otonom dengan kekuatan ekonomi dan politik yangmendukungnya. Ia mengutip Peter Evan (1995), yang mengatakanpemerintah daerah memiliki jaringan (embeddedness) dengankekuatan-kekuatan ekonomi dan politik yang

62

A. Mukhtie Fadjar, Pemilu yang Demokratis..., op.cit, hlm.6. 63

Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4721)


(3)

mendukungnya.64

Dengan pemilihan langsung,rakyat merupakan pelaku utama dan penentu kekuasaan di daerah.Rakyat semula hanya sebagai penonton proses demokrasi lokalyang didominasi para elit (DPRD dan partai politik). Denganpemilukada langsung, rakyat yang memilih siapa yang memimpindan mewakilinya di daerah. Pembajakan otoritas rakyat oleh parapemimpin atau wakilnya diharapkan tidak terjadi denganpemilukada langsung. Lewat pemilihan secara luber dan jurdil pemilihjuga akan bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan. Diharapkan program-programdari calon akan lebih baik dan akan mengimplementasikannya secara nyataketika dipilih rakyat secara langsung. Selain itu para pemimpin hasilpemilihan langsung akan lebih mendengar suara pemilih sehinggapraktik money politic serta reduksi oleh elit-elit politik akanmenghilang dengan dikembalikannya kedaulatan kepada rakyat.

Mahalnya biaya politik saat ini yang dikeluhkan dalam pemilukadalangsung terkait erat dengan praktik kecurangan ini dan faktorkedekatan dengan masyarakat sebagai modal pencalonan belumsebagai hal utama yang diusung oleh para calon.

65

64

Kacung Marijan, Demokratisasi di Daerah (Pelajaran dari Pilkada Secara Langsung), (Surabaya: Eureka-Pusdeham, 2006), hlm. 83-118

65

Bintan R. Saragih, Sistem Pemerintahan dan Lembaga Perwakilan di Indonesia, (Jakarta: Perintis Press, 1985), 98-107.

Secara teori, kepala daerah yang dipilih langsung cenderung akan menggunakan keterwakilannyasecara “delegate”, yaitu berusaha merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakanyang menjadi pilihan dan keinginan pemilih. Sedangkan jika tidak langsung,akan cenderung mengarah pada fungsi keterwakilan “trustee”, yaitu menjalankan kewenangan sesuai apayang diyakini,


(4)

terlepas dari pemilih atau mengarah pada fungsi “politico”, membuat keputusan politikberdasarkan situasi yang berkembang.66

C. Perselisihan Hasil Pemilukada

Berbeda dengan pemilu-pemiluyang berlangsung sebelum perubahan UUD 1945 yang tidak dapatdiuji hasilnya oleh peserta pemilu, sesudah perubahan UUD 1945, pemilu yang diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihanumum yang bersifat “nasional, tetap, dan mandiri”, dapat diujihasilnya oleh peserta pemilu di MKsebagai “perselisihan hasil pemilu”.UUD 1945 tidak menegaskan tentang pengertian dan ruanglingkup mengenai apa yang dimaksud dengan “perselisihan hasilpemilu” seperti yang tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Sehingga undang-undanglah yang kemudian mengaturnya, yakniUndang-Undang No. 24 Tahun 2003 (selanjutnya ditulis UU 24/2003) sebagaimana telah diubah Undang-Undang No.8 Tahun 2011(selanjutnya ditulis UU 8/2011) TentangMK. Dalampasal 74 ayat (2) UU 8/2011 memberikan pengertian bahwaperselisihan hasil pemilu adalah perselisihan mengenai “penetapanhasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh KPU”yang mempengaruhi :

a. terpilihnya calon anggota DPD;

b. penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran keduapemilihan

Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden;

c. perolehan kursi partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemilihan.

66


(5)

Kalau kita cermati, ketentuan Pasal 74 ayat (2) tersebut hanyaberkaitan dengan perselisihan hasil Pemilu anggota DPR, DPD, danDPRD serta perselisihan hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden,belum menjangkau mengenai perselisihan hasil pemilukada. Hal itu dapat dimengerti, karena yang menjadi kewenangan konstitusional MK saat itu hanyalah untuk memutus perselisihan hasil pemilu sebagaimana dimaksudPasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang pada dasarnya adalah hasil pemilu yang dimaksuddalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, yaitu pemilu anggota DPR, DPD, presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD.

MK sejak tahun 2008 diberikan kewenanganmengadili sengketa

pemilukada yang semula dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).67Kewenangan

mengadili perkarapemilukada ini memiliki arti penting bagi perkembangan hukumdan ketetanegaraan, dimana putusan MK adalah final danmengikat (final and binding). Selain itu, sejak awal MK juga memiliki kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilu.Keberadaan lembaga MK yang mengadili juga merupakan bagian parameter menilai derajat demokrasi dalam proses penyelenggaraan pemilu dengan penyelesaian sengketa dengan prosedur dankeputusan yang adil dan cepat.68

Ruang lingkup ”sengketapemilukada” sesuai kewenangan yang dimiliki MK, yaitu: Pertama,penyimpangan dalam proses dan tahapan pemilukada

67

Pasal 106 UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menentukan keberatan penetapan hasil Pemilukada berkenaan ”hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon” diadili MA. Dalam perkembangannya kemudian ditangani MK berdasarkan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Berdasarkan UU ini penanganan sengketa hasil pemilu oleh MA dialihkan ke MK paling lama 18 bulan sejak ditetapkan undang-undang tersebut.

68

Ramlan Surbakti dkk, Perekayasaan Sistem Pemilu Untuk Pembangunan Tata Politik


(6)

akanberpengaruh atas hasil akhir yang mengharuskan MK tidak bolehmembiarkannya dan dinilai juga untuk menegakkan keadilan.Mahkamah tidak boleh membiarkan aturan-aturan keadilanprosedural (procedural justice) memasung dan mengesampingkankeadilan substantif (substantive justice). Kedua, pengalihankewenangan dari MA ke MK bermakna bahwa MK sebagaiperadilan konstitusi diberikan mandat sebagai pengawal konstitusidan menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabilberdasarkan konstitusi.69

69

Miftakhul Huda, Pola Pelanggaran Pemilukada..., op.cit., hlm.120

Jadi MK tidak hanya bertindak sebagai kalkulator hasil penghitungan pemilukada namun masuk kedalam proses yang menentukan hasil pemilukada itu sendiri.