SPIRITUALITAS DALAM FILM (Analisis semiotika dalam Film Gandhi)

(1)

SPIRITUALITAS DALAM FILM

(Analisis semiotikadalam Film Gandhi)

Skripsi

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana S-1 Jurusan Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Harry Prasetyo 20100530127

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

SPIRITUALITAS DALAM FILM

(Analisis semiotikadalam Film Gandhi)

Skripsi

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana S-1 Jurusan Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Harry Prasetyo 20100530127

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(3)

(4)

iv

MOTTO

Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata mereka : Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalam nya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih

dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau ? Dia berkata : Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui

(QS. Al-Baqarah: 30)

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun. Dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur

(QS. An –Nahl: 78)

Susah dalam hidup itu mesti, sebab makna yang muncul dari susahnya hidup sangatlah tinggi (Mandar Family)

Kemuliaan manusia ada pada tingkat kesadarannya sebagai manusia (Harry Prasetyo)

Kebenaran suatu hal tidaklah ditentukan oleh berapa banyaknya orang yang mempercayainya (KH. Ahmad Dahlan)

Setiap ajaran yang mempercayai dan meyakini kebenarannya, harus melindungi kebebasan berpikir dan berkepercayaan


(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dengan hasil karya dan usaha berpikir saya selama kurang lebih 1 tahun beberapa bulan kemarin, skripsi ini akhirnya dengan spesial dapat saya persembahkan kepada orang-orang terbaik disekitar saya terutama kepada Ibunda tercinta Sayati H. Muksin Mandar dan kepada Ayahanda tercinta Sutopo Sukarjo. Semoga terlimpahkan kenikmatan serta kebahagiaan dengan penuh syukur kepada Allah SWT atas segala bentuk kerja keras dan dukungan selama ini kepada saya.

Kepada Tete Hi. Muksin Mandar yang sudah mendorong saya berhijrah ke kota Yogyakarta untuk studi ini dan juga Nenek Hj. Aminah Yoi. Semoga Allah SWT selalu memberikan kebahagiaan dan nikmat kesehatan kepada nene dan tete.

Kepada Mama Tua Tini Mandar, Om saya Mas’ud Mandar, Almarhum Om Muhdin Mandar,

dan Om Muhibu Mandar S.Pi yang menjadi tauladan saya dalam keluarga juga senantiasa berada digaris perjuang menegakkan kebenaran. Semoga darah keluarga ini memiliki dan menggapai nama besarnya dari perjuangan panjang dan atas kecintaan yang tinggi terhadap nilai-nilai kemanusian.

Kepada mama Marbaya Mandar dengan suaminya Om Mansur Yusuf, mama Marlia Mandar dengan suaminya Om guru Manaf Iman, dan mama Marfat Mandar dengan suaminya Om Haris. Semoga ini menjadi berkah ditengah-tengah keluarga kita.

Kepada adik-adik saya Wahyu Aditya, Bayu Saputra, Agung, Virgiawan Mandar, Nining, Cica, Adha, Aco, Wita, Risa dan Kiran. Semoga atas ini kakak tidak mengecewakan kalian.

Terima kasih juga kepada Om Hamit, Om Dino, Om Kalla, Mama Leha, serta Tete dan Nene di Maba atas perhatiannya selama ini. Juga kepada saudari calon Apoteker dan Mantan Ketua IPMHT Bandung Sitna Haruna yang selalu baik kepada saya.

Kepada juwitaku Wahidatul Rizki Selviana, S.Pd yang selalu kuat membangunkanku dari malas berkepanjangan serta membantu saya selama penyusunan skripsi ini.


(6)

vi

Kepada Akak Adam, terima kasih atas semua perhatian selama saya tiba dan berada bersama di Jogja, dan juga Ko Mohzan Mustafa yang selalu ada buat saya. Juga Kanda Moh. Aqil Rumaday S.IP, dan Abangku Ustad Aliman Djafar, Abang Abd Gani H Soleman S.IP, Serta Kakanda Muhammad Yasin yang telah menjadi kakak saya selama di Jogja.

Kepada saudara, Asmir Alwi, Muh Rifais Mauraji, Aldi Rivaldi, Adik saya Aldi Rahandian yang sudah berteman dan bakutamang deng saya selama gyana Jogja, terima kasih banyak.

Kepada sahabat terhebat saya sobat Abd. Rasid G. Ripamole semoga garis serta semangat perjuangan kita tidak pernah surut, Thank’s sobat.

Kepada seluruh teman-teman Jakfi Jogja, Teman-teman HMI Komisariat Tunas Bangsa dan Avicena UMY serta seluruh teman-teman hijau hitam dibawah Cabang Jogja. Juga terspesial kepada seluruh basudara di IKPM-HT Yogyakarta dan IKPM-MALUT DIY.


(7)

vii

KATA PENGANTAR Bismillahirrahmannirrahim.

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Segala puja dan puji patut kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Tuhan semesta alam, karena dengan kasih serta sayang-Nya, terlimpahkan kehidupan yang tiada kurang dari cinta dan tidak sedikit pun luput dari anugerah serta rahmat-Nya.

Shalawat serta Salam senantiasa tercurah kepada baginda Rasul Allah. Sang revolusi dunia yang membawa pesan kebenaran sebagai manusia sempurna dimuka bumi, ialah nabi Muhammad SAW yang denganya alam semesta raya bercahaya. Nabi suci tauladan seluruh ummat. Penulis menyadari bahwa dengan segala rahmat serta hikmah ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

Penelitian dengan judul Spiritualitas dalam Film yang penulis lakukan ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh dan mendapatkan gelar sarjana S-1, jurusan ilmu komunikasi fakultas ilmu sosial dan ilmu politik di universitas muhammadiyah Yogyakarta. Penelitian ini juga tidak terlepas dari dorongan semangat dan bantuan dari orang-orang mulia di sekeliling penulis. Maka sudah sepatutnya penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sedalam-dalamnnya dan dengan harapan terlimpahkan segenap kebahagiaan dan keselamatan dalam kehidupan mereka terutama kepada:

1. Ibu yang senantiasa mencintai anak-anaknya, ibunda tercinta Sayati H. Muksin Mandar dan Bapak yang selalu melindungi kekasih serta anak-anaknya, ayahanda terkasih Sutopo Sukarjo.

2. Bapak Zein Mufarrih Muktaf S.IP, M.I.Kom. yang telah memuliakan waktunya membimbing penulis selama penelitian ini dan selaku dosen pembimbing akademik penulis selama berkuliah di UMY. Sungguh penulis merasa sangat rugi kurang bertatapan muka dengan bapak selama berkuliah di UMY. Juga kepada bapak Aly Aulia, Lc., M.Hum yang sudah memuliakan waktunya membimbing penulis, dan kepada bapak Dr. Taufiqurrahman S.IP, M.A yang juga memuliakan waktunya menghadiri ujian untuk menguji dan mengarahkan penulis dalam merintis penelitian ini.


(8)

viii

3. Bapak Rektor UMY Prof. Dr. Bambang Cipto, M.A dan kepada bapak Haryadi Arief Nur Rasyid, S.IP, M.Sc selaku ketua jurusan prodi Ilmu Komunikasi UMY sekaligus juga kepada bapak Zuhdan Aziz, S.IP, S.Sn, M.Sn selaku sekretaris jurusan prodi Ilmu Komunikasi yang sudah memudahkan penulis selama proses perkuliahan di prodi Ilmu Komunikasi UMY.

Semoga penelitian ini bermanfaat dan atas segala kritik dan saran yang diberikan senantiasa penulis terima sebagai bahan pembelajaran untuk penulis terutama demi perbaikan penelitian ini.


(9)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... iii

MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

ABSTRAK ... xiii

ABSTRACT ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Rumusan Masalah ... 10

C.Tujuan Penelitian ... 10

D.Manfaat Penelitian ... 10

E. Kerangka Teori ... 11

1. Konsep Spiritualitas ... 11

2. Hubungan Ritual dengan Spiritualitas ... 16

3. Hubungan Keadilan dengan Spiritualitas ... 17

4. Hubungan Cinta dengan Spiritualitas ... 18

5. Film sebagai Media Konstruksi Realitas ... 20

6. Semiotika sebagai Kajian Budaya ... 24

F. Metode Penelitian ... 26

1. Jenis Penelitian ... 26

2. Objek Penelitian ... 28

3. Teknik Pengumpulan Data ... 28

4. Teknik Analisis Data ... 29

BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN ... 38

A.Biografi Mahatma Gandhi ... 38

1. Silsilah Keluarga ... 38

2. Tempat Kelahiran ... 39

3. Riwayat Pendidikan ... 40

4. Pengaruh Mahatma Gandhi ... 42

B.Film Gandhi ... 48

1. Profil Film Gandhi ... 48

2. Sinopsis Film Gandhi ... 51

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 65

A.Arah Pembahasan ... 65


(10)

x

1. Ritual dalam Film ... 69

a. Doa dan Puasa sebagai Alat Perlawanan ... 70

b. Puasa sebagai Alat Penebusan Dosa ... 76

c. Doa menjadi Sandaran setiap Usaha ... 79

2. Keadilan dalam Film ... 86

a. Memandang Manusia yang Berasal dari Tuhan adalah Sama ... 86

b. Menegakkan Keadilan adalah Ketentuan Setiap Manusia ... 92

c. Keadilan itu Memberikan Tempat untuk Semua Orang ... 98

3. Cinta dalam Film ... 101

a. Cinta Mengikat Manusia menjadi Saudara ... 101

b. Cinta Melahirkan Semangat Penentangan Tanpa Kekerasan ... 105

c. Keutamaan Cinta sebagai Potensi Dasar Manusia ... 108

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN... 117

A. Kesimpulan ... 117

B. Saran ... 119

DAFTAR PUSTAKA ... 120


(11)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1 Peta tanda Roland Barthes ... 31

Tabel 1.2 Jarak pengambilan gambar menurut Berger ... 34

Tabel 1.3 Jarak pengambilan gambar menurut Pratista ... 34


(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Mahatma Gandhi berpidato dalam kongres di Afrika Selatan ... 4

Gambar 1.2 Mahatma Gandhi bertemu anggota kongres India ... 5

Gambar 2.1 Mahatma Gandhi ... 38

Gambar 2.2 Sampul depan film Gandhi ... 48

Gambar 2.3 Richard Attenborough ... 49

Gambar 2.4 Ben Kingsley ... 51

Gambar 2.5 Mahatma Gandhi menghadiri upacara doa bersama ... 52

Gambar 3.1 Mahatma Gandhi bertemu anggota kongres India ... 70

Gambar 3.2 Mahatma Gandhi sedang duduk di lantai ... 76

Gambar 3.3 Mahatma Gandhi berbaring ditemani Mirabehn ... 79

Gambar 3.4 Mahatma Gandhi berdiskusi dengan rekan pengacara di Afrika Selatan ... 86

Gambar 3.5 Mahatma Gandhi berpidato dalam kongres di Afrika Selatan ... 92

Gambar 3.6 Mahatma Gandhi bertemu dengan pemuda berkulit putih ... 98

Gambar 3.7 Mahatma Gandhi sedang berjalan dengan Charlie Andrews ... 101

Gambar 3.8 Reaksi seorang masyarakat India yang tidak membalas penangkapan oleh tentara Inggris ... 105


(13)

(14)

xiii ABSTRAK

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi

Konsentrasi Public Relation Harry Prasetyo

20100530127

Spiritualitas dalam Film (Analisis Semiotika Spiritualitas dalam Film Gandhi)

Modernitas yang ditandai dengan lahirnya perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi faktanya tidak selalu berdampak positif bagi masyarakat. Oleh karena di sisi yang lain, hadirnya modernitas ditengah-tengah masyarakat cenderung mendorong perilaku individu manusia menjadi hedonis dan jauh dari tujuan aspek spiritual kemanusiaannya. Kecenderungan individu dalam masyarakat modern yang demikian akut ini tentu menjadi masalah tersendiri. Pada akhirnya kecenderungan ini akan membawa masyarakat pada situasi dimana masyarakatnya mengalami degradasi moral.

Upaya untuk menjawab persoalan ini setiap individu manusia harus memahami apa tujuan hidupnya dan untuk itu hal pertama dan terutama ialah individu manusia harus mengenal dirinya. Dalam hal ini, esensi manusia tidak terlepas dari jiwa. Karena manusia sebagai manifestasi Tuhan, ia mampu menjalin hubungan transenden melalui segenap usaha dan upaya yang dilakukan jiwa dengan mengarahkan kesadaran serta merealisasikannya untuk tujuan kebenaran. Kesadaran jiwa menuju kebenaran inilah yang dimaksud spiritualitas.

Penelitian yang berjudul spiritualitas dalam film ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana spiritualitas dalam film. Objek penelitian yang mengacu pada film Gandhi karya Richard Attenborough sengaja penulis angkat karena penulis menyadari bahwa film ini menggambarkan perjalanan spiritualitas Mahatma Gandhi. Hal ini penulis dapatkan melalui hasil analisa dan pembahasan dalam penelitian di mana spiritualitas dalam film digambarkan adalah jiwa yang sadar akan kedekatannya dengan Tuhan tidak akan melepaskan beberapa aspek dalam kehidupan sehari-harinya yakni ritual, keadilan dan cinta.


(15)

xiv ABSTRACT

Muhammadiyah University of Yogyakarta Faculty of Social and Political Sciences Department of Communication Science The Concentration of Public Relation

Spirituality in Film (analysis of Semiotics spirituality in Film Gandhi)

Modernity is characterised by the inception of the development of science and technology in fact is not always a positive impact for the community. Therefore, on the other hand, the presence of modernity amongst the people tend to encourage individual human behavior into a hedonist and away from the goal of the spiritual aspects of his humanity. The tendency of the individual in modern society are so acute it's certainly become a problem unto it self. In the end this trend will bring the community in situations where the moral degradation of the society is experiencing.

An attempt to answer this question every individual human being must understand what the purpose of his life and for that it is first and foremost an individual man should know himself. In this case, the essence of the human soul. Because humans as manifestation of God, he was able to establish rapport transcendent through all our efforts and the efforts made and direct awareness as well as make it possible for the purpose of truth. The consciousness of the soul towards truth is spirituality.

The study, entitled spirituality in this film aims to find out how spirituality in film. Research object that refers to the film Gandhi by Richard Attenborough author intentionally lift because the author realized that the film portrays the spirituality of Mahatma Gandhi. It is the authors get through the analysis and discussion of the results in the research where spirituality in the film depicted is the soul that is aware of its proximity with the Lord won't let go some aspects in daily life likes ritual, justice and love.


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagaimana telah tampak bahwa kegersangan spiritual semakin meluas pada masyarakat modern. Lahirnya masyarakat modern tidak terlepas dari sumbangsih perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang ditandai dengan lahirnya revolusi industri hingga berpengaruh terhadap pola komunikasi masyarakat yang saat ini dikenal dengan istilah modernitas. Masyarakat modern adalah masyarakat yang dilengkapi berbagai teknologi komunikasi dan informasi yang canggih, dalam hal ini masyarakat modern juga mengalami transisi pola pikir yang semakin berkembang.

Jurgen Habermas mengatakan bahwa modernisme mendorong gaya hidup masyarakat menjadi materialistik serta hedonistik. Manusia modern cenderung memandang keberadaannya dari aspek materi. Mereka tidak lagi mempercayai adanya spirit (semangat; jiwa) yang ada pada dirinya karena hal tersebut secara materi tidak pernah ada. Di sisi yang lain kefanatikan manusia modern terhadap eksistensialisme dan positivisme membuat mereka menafikan berbagai informasi baik yang bersumber dari kitab suci maupun tradisi mistik yang menyatakan bahwa manusia memiliki unsur spiritual. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa mayoritas manusia modern saat ini memiliki ketimpangan dalam hal spiritual (Muhayya, 2001: 22).


(17)

2

Spirit atau jiwa merupakan esensi manusia yang mana jika aspek ini diabaikan maka manusia akan terasing dari dirinya. Menurut pengertiannya, kata spiritual sendiri menegaskan sifat dasar manusia yaitu sebagai makhluk yang secara mendasar dekat dengan Tuhannya (Riyadi, 2014: 15). Dengan demikian spiritualitas menjelaskan keniscayaan hubungan manusia dengan Tuhan. Jiwa yang tidak menyadari hubungan kedekatannya dengan Tuhan dapat memberikan ketidakbermaknaan dalam hidup. Sebab, esensi utama dari spiritualitas yakni mampu mengarahkan hidup manusia supaya lebih bermakna sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri. Maka kebutuhan manusia modern terhadap spiritualitas sudah menjadi keharusan untuk menjawab persoalan ini.

Permasalahan spiritualitas dalam kajian ilmu komunikasi lebih dekat jika membincang jenis komunikasi transendental. Wilayah kajian ini adalah bagaimana manusia dapat menyingkap hubungan makhluk dengan pencipta. Komunikasi transenden bagi manusia merupakan sesuatu yang niscaya oleh karena jiwa manusia bersifat transenden (Susanto, 1976: 10). Dengan demikian jiwa itu sendiri adalah subjek utama dalam menjalin hubungan transenden dengan pencipta. Tentu jalan yang ditempuh untuk berhubungan dengan Tuhan harus berangkat dari spiritualitas manusia. Karena keyakinan manusia akan keberadaan Tuhan selalu mendorong manusia untuk mencari jalan bagaimana supaya menyatukan dirinya dengan Tuhan, yang tidak lain adalah untuk mencapai kesempurnaan (Suciati, 2013: 2).


(18)

3

Seiring berkembangnya teknologi media, fenomena spiritualitas kemudian diangkat dalam dunia perfilman. Salah satu film yang mengangkat tema spiritualitas adalah film biografi Mahatma Gandhi yang berjudul Gandhi. Film biografi merupakan jenis film yang mengulas sejarah, perjalanan hidup atau karir seorang tokoh, ras dan kebudayaan ataupun kelompok. Mahatma Gandhi adalah seorang tokoh atau pejuang yang memegang prinsip pantang kekerasan (ahimsa). Seperti yang dikatakan oleh Radhakrishnan bahwa Mahatma Gandhi adalah orang pertama dalam sejarah manusia yang memperluas prinsip pantang kekerasan dari tingkatan individu ke tingkatan kelompok baik dalam tatanan sosial maupun politik. Dengan demikian, film Gandhi adalah film yang menceritakan perjalanan hidup Mahatma Gandhi.

Film ini dirilis pertama kali di India pada tahun 1982 yang di sutradarai oleh Richard Attenborough. Film ini berdurasi kurang lebih 191 menit dan menceritakan perjalanan Mahatma Gandhi ketika menentang penjajahan Inggris (Rusdhie, 2011).

Cerita perjalanan Mahatma Gandhi dalam film bermula dari kepergiannya ke Afrika Selatan untuk memimpin kasus di salah satu perusahaan dagang India. Di tengah perjalanannya dengan kereta ia mendapat perlakuan yang tidak semestinya sehingga dilempar keluar dari gerbong kereta. Hal itu terjadi karena terdapat suatu sistem yang membedakan orang-orang berdasarkan ras dan warna kulit. Mahatma Gandhi


(19)

4

tidak berkulit putih tetapi ia duduk digerbong kereta kelas eksekutif yang menurut kedua petugas kereta tersebut tempat itu hanya untuk orang-orang yang berkulit putih.

Ketika Mahatma Gandhi bertemu dan berdiskusi dengan beberapa rekan pengacara, Mahatma Gandhi menyarankan agar sistem apartheid yang memisahkan orang-orang berdasarkan ras dan warna kulit tersebut harus dilawan. Ia katakan kepada rekan-rekannya bahwa kita adalah anak Tuhan seperti semua orang. Ia tidak menerima jika sebagian manusia menindas sebagian manusia yang lain. Saran yang disampaikan Mahatma Gandhi akhirnya mendapat dukungan dari rekan-rekannya. Perlawanan pun dimulai dari sebuah kongres terbuka.

Gambar 1.1 Mahatma Gandhi berpidato dalam kongres di AfrikaSelatan.

Kongres tersebut merupakan fase pertama penentangan Mahatma Gandhi di film ini dalam memperjuangkan hak-hak warga India yang berada di Afrika Selatan. Dalam pidato pertamanya, ia menegaskan bahwa menegakkan keadilan sudah menjadi ketentuan bagi setiap manusia. Oleh


(20)

5

karena itu simbol yang membedakan orang menjadi berkasta-kasta harus dihapuskan.

Selain penentangan di atas, scene lain dari penentangan yang dilakukan Mahatma Gandhi adalah penentangannya terhadap Undang-Undang Penangkapan Tanpa Jaminan dan Pemenjaraan Otomatis untuk Kepemilikan Benda-Benda yang di anggap Menghasut yang dibuat oleh pemerintah Inggris. Mahatma Gandhi menawarkan gaya penentangan yang mengejutkan para anggota kongres. Sebab, ia akan mengajak seluruh penduduk negeri India untuk menjadikan hari itu sebagai hari do‟a dan puasa. Ini adalah bentuk penentangan yang dia sampaikan kepada rekan kongres di dalam ruangan tersebut.

Gambar 1.2 Mahatma Gandhi bertemu anggota kongres India.

Umumnya diketahui bahwa do‟a dan puasa merupakan suatu aktivitas ritual keagamaan yang diyakini memiliki manfaat bagi setiap individu yang melakukannya. Namun disisi yang lain Mahatma Gandhi menggunakan ibadah ini untuk menyikapi penindasan dan ketidakadilan yang terjadi sehingga menjadikan ritual sebagai alat perlawanan.


(21)

6

Melihat karakter perlawanan yang dibangun oleh Mahatma Gandhi tersebut, secara sadar terlihat adanya suatu kesadaran yang berjalan vertikal yakni kesadaran ia sebagai manusia yang selalu bergantung pada Tuhannya dalam kondisi seperti apa pun. Menyitir pernyataan Mahatma Gandhi dalam bukunya yang berjudul semua manusia bersaudara bahwa percobaan spiritual yang dia lakukan memberikan kekuatan untuk terjun di bidang politik (Gandhi, 2009: 1). Dengan itu dapat pula dikatakan bahwa ritual juga menjadi salah satu suplemen terhadap gaya perlawanan tanpa kekerasan yang ia bangun dan menegaskan bahwa upaya-upaya yang dilakukan Mahatma Gandhi dalam perjuangan menegakkan keadilan dengan pantang terhadap kekerasan berangkat dari suatu kesadaran spiritual.

Rangkaian persitiwa dalam film Gandhi menggambarkan proses-proses realisasi diri dengan kesadaran yang universal. Seperti keadilan itu sendiri yang dengannya seseorang dapat mengendalikan amarah, syahwat, dan menyalurkan kepada tujuan yang baik atau berlaku tidak berat sebelah (Jumantoro, 2005: 2). Dengan unsur-unsur tersebut, gerakan kemerdekaan di India mempunyai ciri yang berbeda dari gerakan kemerdekaan di negara-negara Asia lainnya. Kebangkitan nasional bangsa-bangsa Asia, misalnya Indonesia, China, Philipina, dan Turki, identik dengan penggunaan cara-cara kekerasan. Dari ajaran-ajaran tersebut Mahatma Gandhi dalam film biografi ini mengantarkan India pada kemerdekaan yaitu pada tanggal 15 Agustus 1947.


(22)

7

Mahatma Gandhi dalam film ini digambarkan sebagai seorang sosok yang religius, mempunyai sifat jujur, ikhlas, sederhana, dermawan, pemberani, dan bijaksana serta dipenuhi kelembutan dalam tutur kata maupun sikapnya. Hal ini pula yang mencerminkan tingginya tingkat spiritualitas Mahatma Gandhi. Ia menghargai perbedaan dan selama hidupnya ia selalu ingin menuju kebenaran, dengan taat dalam berkeyakinan, menegakkan keadilan, cinta, dan pantang kekerasan. Suatu ketika Ia berkata ketika aku putus asa, aku ingat bahwa sepanjang sejarah kebenaran dan cinta selalu menang. Ada banyak tirani dan pembunuhan, sejenak seolah tidak terkalahkan, tetapi pada akhirnya mereka selalu kalah. Kapanpun kau dalam keraguan apakah jalan Tuhan adalah jalan yang sudah ditetapkan untuk dunia, dan kemudian cobalah untuk menjalaninya sesuai jalannya. Pernyataan ini memiliki maksud jika kebatilan dilawankan dengan kebenaran, maka kebenaranlah yang akan menjadi pemenangnya.

Sementara pemerintah Inggris dalam film tersebut dideskripsikan sebagai kelompok yang amoral, menindas dan materialistik. Membuat dan memberlakukan sistem hukum yang sepihak untuk menguasai seluruh kekayaan yang ada di India. Masyarakat India diperalat menjadi mesin pekerja atau buruh-buruh di setiap pabrik. Ironisnya seluruh hasil pertanian, perekonomian dan sektor-sektor lainnya dikuasai serta diatur sepenuhnya oleh pemerintah Inggris.


(23)

8

Penelitian-penelitian terdahulu tentang spiritualitas telah dilakukan oleh Adil Sastrawan pada tahun 2010. Penelitian yang diambil berjudul Spiritualitas Dalam Novel Bilangan Fu. Peneliti bermaksud untuk mengetahui nilai-nilai spiritualitas dalam karya sastra novel bilangan fu. Adil Sastrawan sendiri melakukan penelitian menggunakan teknik analisis data dengan cara analisis content / isi. Peniliti yang satu ini ingin mengetahui makna spiritualitas dan melihat relevansi kebutuhan adikodrati manusia ketika dihadapkan dengan zaman yang semakin modernis.

Adapun penelitian terdahulu tentang spiritualitas, yakni oleh Wahyu Supartana pada tahun 2014. Penelitian ini berjudul Spiritualitas Kristen dalam Film Soegija. Persoalan yang diangkat dalam penelitian ini adalah moralitas yang semakin jauh dari karakter masyarakat Indonesia yang beradab dan bermartabat. Dimana spiritualitas merupakan jalan untuk mengembalikan kecenderungan tindakan yang menjauhkan kesadaran nilai-nilai kemanusiaan. Di dalam penelitian ini, peneliti memandang spiritualitas Kristen tidak terlepas dari agama karena agama adalah salah satu jalan untuk mengenal spritualitas dengan baik.

Penelitian-penelitian terdahulu tersebut selain menjadi tambahan referensi dalam penelitian ini, juga merupakan bahan pendukung dalam tahapan proses analisis data yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Di sisi lain penelitian tersebut juga akan menambah pengetahuan penulis mengenai


(24)

9

spiritualitas sehingga mempertegas tujuan penulis dalam menyusun penelitian ini.

Kaitan dengan persoalan tersebut pada dasarnya penulis akan melihat fenomena dalam film ini yang diyakini sebagai spiritualitas. Karena apa yang disampaikan melalui film ini terdapat fenomena berupa tindakan, ajakan dan seruan seorang manusia untuk melaksanakan ritual keagamaan, melawan ketidakadilan dengan menegakkan keadilan, dan menjadikan cinta sebagai landasan perjuangan sehingga tertabur kasih sayang di sekeliling kehidupannya. Tentunya fenomena menarik yang terdapat dalam film ini memanggil penulis untuk menjadikan masalah ini sebagai pokok-pokok yang penting untuk diteliti.

Adapun kesadaran penulis memilih tema spiritualitas ini karena posisi penulis sebagai generasi muda melihat begitu kompleksnya tantangan zaman salah satunya bagaimana menyikapi pengaruh modernitas yang rentan dengan perilaku-perilaku menyimpang seperti perilaku kekerasan serta perilaku yang cenderung amoral.

Dengan melihat objek penelitian yang berupa film, maka penulis memilih menggunakan pendekatan semiotika dalam mengkaji spiritualitas yaitu melalui makna-makna dibalik tanda yang terdapat dalam film baik yang bersifat verbal maupun nonverbal serta visualnya. Sebab film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis semiotika seperti dikemukakan oleh Van Zoest (1998: 109) film dibangun dengan tanda-tanda


(25)

10

semata. Film yang mendapatkan penghargaan 8 piala Oscar dari 11 nominasi ini merupakan objek kajian yang menarik karena selain dari tokoh yang diangkat dalam cerita tersebut dikenal sebagai tokoh spiritual, film ini juga begitu jelas menggambarkan spiritualitas yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga penulis meyakini bahwa spiritualitas dalam film dengan memilih film Gandhi merupakan pilihan judul yang tepat untuk menggali lebih dalam makna-makna spiritualitas yang tersampaikan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan latar belakang masalah tersebut maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana spiritualitas yang digambarkan dalam film Gandhi.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana spiritualitas yang digambarkan dalam film Gandhi.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Menjadi bahan pendukung penelitian karya ilmiah selanjutnya terutama memahami makna spiritualitas dalam film.


(26)

11

b. Mengembangkan subjek kajian ilmu komunikasi khususnya berkaitan dengan analisis semiotika dalam film.

2. Manfaat Praktis

a. Menjadi bahan evaluasi karya ilmiah terutama dalam melihat spiritualitas dalam film.

b. Menunjang referensi karya ilmiah selanjutnya yang fokus pada pencarian makna-makna spiritualitas dalam film dengan menggunakan pendekatan semiotika.

E. Kerangka Teori

1. Konsep Spiritualitas

Spiritualitas secara bahasa berasal dari kata spirit yang berarti jiwa (Poerwadarminta, 1986: 963). Sedangkan secara harfiah, spiritualitas berarti mencangkup nilai-nilai kemanusiaan yang non material seperti kebenaran, kebaikan, keindahan, kesucian, cinta, rohani dan intelektual (Partanto, 1994: 721).

Spiritualitas dalam definisi tertentu dipahami sebagai pengalaman manusia secara umum dari suatu pengertian akan makna, tujuan dan moralitas (Zastrow 1999: 317). Sementara Young dan Koopsen menjelaskan bahwa spiritualitas merupakan aspek kepribadian manusia yang memberi kekuatan yang mempengaruhi individu dalam menjalani hidupnya.


(27)

12

Manusia merupakan poros dari pembahasan spiritual yang di dalamnya meliputi setiap pengalaman terutama yang berkaitan dengan pengalaman jiwa. Pernyataan ini didukung kuat oleh aliran psikologi humanistik yang berpandangan bahwa manusia bukan hanya makhluk biologis saja, melainkan juga sebagai insan yang memfokuskan perbaikan kualitas-kualitas pribadi seperti kemampuan abstraksi, aktualisasi diri, makna hidup, pengembangan diri dan kemampuan dalam estetika. Kualitas ini khas dan tidak dimiliki oleh makhluk lain. Aliran psikologi ini memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki otoritas atas kehidupannya sendiri serta memiliki kapasitas intelektual luar biasa dengan kebebasan yang luas.

Tasmara (2001) menambahkan bahwa manusia yang memiliki kecerdasan spiritual atau kecerdasan qalbu tindakannya lebih manusiawi, sehingga dapat menjangkau nilai-nilai luhur yang mungkin belum tersentuh oleh akal maupun fikiran manusia. Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan tertinggi manusia serta menjadi landasan utama yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif.

Manusia di sisi lain dilihat sebagai wujud spiritual yang mempunyai potensi dekat dengan Tuhan, disisi lain ia tidak bisa terlepas dari kodratnya sebagai makhluk yang keberadaannya bersama dengan alam semesta sehingga mustahil baginya untuk menolak keberadaan realitas. Spiritualitas merupakan suatu bentuk keseimbangan antara manusia dengan alam semesta. Keberadaan manusia di alam semesta adalah sebagai khalifah yang


(28)

13

seharusnya memiliki wujud keharmonisan antara spiritualnya dengan realitas yang ada. Untuk mencapai kondisi tersebut dibutuhkan adanya pengetahuan.

Pengetahuan merupakan hal dasar dalam diri manusia sebagai wujud spiritual dan realitas serta menjelaskan kedudukan manusia sebagai khalifah yang berarti adanya keseimbangan aspek lahir dan batin manusia juga dengan pengetahuan. Gagasan ini dilengkapi dengan pernyataan Al-Hujwiri tentang pengetahuan. Ia mengatakan bahwa pengetahuan itu terdiri dari dua aspek, yaitu aspek luar dan aspek dalam. Ibadah adalah aspek luar, sedangkan aspek dalamnya adalah keikhlasan.

Sementara itu, Stoll (1989) dalam Kozier dan Wilkinson menyatakan bahwa spiritualitas merupakan suatu konsep dua dimensi yaitu dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal merupakan hubungan individu dengan Tuhan Yang Maha Esa yang menuntun kehidupan seseorang. Sedangkan, dimensi horizontal merupakan hubungan seseorang dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan.

Untuk menggapai pengalaman-pengalaman spiritualitas tersebut, diperlukan upacara-upacara khusus guna mencapainya. Sebab dari pengalaman keagamaan itu, umumnya muncul hati yang mencintai yang ditandai dengan kelembutan dan kepekaan. Sehingga sifat cinta ini akan melahirkan kasih kepada sesama makhluk tanpa membedakan ras serta keberagaman yang berbeda (Anas, 2003: 17).


(29)

14

Spiritual menegaskan sifat dasar manusia yaitu sebagai makhluk yang dekat dengan Tuhannya, paling tidak selalu mencoba berjalan ke arah-Nya. Dalam ungkapan Ibn Arabi, manusia adalah majlahu, tempat di mana Tuhan menampakkan diri. Manusia hendaknya terus berproses dari keadaan sudah menjadi menjadi keadaan akan menjadi agar manusia merasa dirinya bukan siapa-siapa dan menatap masa depan dengan penuh optimisme. Spiritualitas juga menunjukkan sifat dasar manusia sebagai wujud yang religius. Hal ini sekaligus menampik pandangan barat yang menekankan paham materialistik semata. Spiritualitas menjelaskan manusia sebagai sosok yang menyadari akan diri dan Tuhan serta telah menemukan keseimbangan dalam hidup (Riyadi, 2014: 76).

Spiritualitas dalam diri manusia berporos pada jiwa, sesuatu yang non materi dan mandiri. Jiwa secara kodrati mampu menyerap kesadaran vertikal secara langsung. Namun tidak dapat dilepaskan bahwa jiwa perlu didukung oleh akal, organ-organ biologis lainnya. Meski demikian, jiwa manusia memiliki kemandirian dalam pencapaiannya. Dalam artian bahwa konsep-konsep universal jiwa seperti kebebasan, kebenaran, keadilan, dan kebaikan secara langsung bersemayam dalam jiwa tetapi akan dapat terwujudkan dalam realitas melalui suatu hubungan yang harmonis. Tuhan manusia dan alam semesta harus memiliki hubungan yang harmonis.

Di dalam penelitian ini, penulis akan melihat nilai-nilai universal yang merupakan wujud dari pada spiritualitas yakni nilai-nilai yang bersumber


(30)

15

dari kesadaran spiritual yakni kebebasan, keadilan, kebenaran, dan kebaikan. Nilai-nilai universal tersebut digambarkan didalam karya film yang berjudul Gandhi. Film ini menjelaskan bahwa kekuatan manusia berada pada jiwanya dan untuk itu hal yang utama dilakukan adalah memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Spiritualitas merupakan jiwa yang merdeka, berkeadilan, dan berperikemanusiaan dalam realitas sehingga dapat membimbing manusia menuju kebahagiaan hakiki dalam kehidupan.

Sementara pantang kekerasan yang terdapat dalam film Gandhi merupakan bentuk perwujudan fitrah manusia yang tinggi karena pada dasarnya fitrah manusia dipenuhi rasa kasih sayang yang harus dilatih dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Sementara menurut Said Agil Siradj, mengatakan bahwa dalam ajaran agama-agama di dunia semuanya anti kekerasan (Siradj, 2013: 318).

Setiap individu memiliki pemahaman tersendiri mengenai spiritualitas karena masing-masing memiliki cara pandang yang berbeda. Perbedaan definisi dan konsep spiritualitas dipengaruhi oleh budaya, perkembangan, pengalaman hidup seseorang serta persepsi mereka tentang hidup dan kehidupan. Hal-hal tersebut nantinya dapat mengubah pandangan seseorang mengenai konsep spiritualitas dalam dirinya sesuai dengan pemahaman yang ia miliki dan keyakinan yang ia pegang teguh (Hawari, 2002).


(31)

16

2. Hubungan Ritual dengan Spiritualitas

Pada dasarnya ritual merupakan suatu aktivitas yang menggambarkan keberagamaan setiap orang yang mempunyai keyakinan terhadap sesuatu dan menjadi segala pergantungan dalam hidupnya. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Emile Durkheim bahwa susunan tiap masyarakat dari beribu-ribu suku bangsa yang berbeda-beda di muka bumi ini telah menentukan adanya beribu-ribu bentuk agama, yang perbedaannya tampak dalam upacara-upacara kepercayaan dan mitologinya (Fajri, 2012: 11). Pada umumnya ritual dalam setiap keyakinan dan agama tertentu berbeda-beda. Namun perbedaan ini tidak serta selalu meniscayakan ritual setiap keyakinan dan agama mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dalam artian bahwa di satu sisi, ritual merupakan jenis ibadah yang menggambarkan segi statis dari ibadah yang tidak dapat dipengaruhi oleh kecenderungan umum atau majunnya masyarakat (Shadr, 2015: 9).

Di jelaskan bahwa rumusan umum ibadah, metode dan aturan tetap sama, pentingnya pelaksanaan ibadah tidak pernah mengalami perubahan, juga dengan aturannya yang tidak mengalami perubahan sekaligus tidak tergoyahkan oleh perkembangan kontrol dan cara hidup manusia atas alam yang berketerusan. Dengan demikian dapat kita sampaikan bahwa sistem ritual berhubungan dengan kebutuhan permanen manusia, dibuat untuk manusia dan senantiasa sama hingga kini meskipun terdapat kemajuan yang terus menerus dalam kehidupan manusia (Shadr, 2015: 11).


(32)

17

Berkenaan dengan ibadah, ia bukan hubungan manusia dengan alam seperti layaknya hubungan petani dengan sawah, sehingga dapat dipengaruhi oleh perkembangan atau kemajuan zaman. Tetapi ibadah merupakan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Hubungan ini mengandung peranan spiritual yang mengarahkan hubungan manusia dengan manusia karena kita ketahui bahwa ritual yang benar merupakan ekspresi praktis keterkaitan dengan Yang Mutlak (Shadr, 2015: 12-13-32).

3. Hubungan keadilan dengan Spiritualitas

Keadilan senantiasa dijadikan sebagai tolok ukur dalam sikap dan tindakan sehari-hari, bahkan menjadi neraca kebenaran. Hingga saat ini, keadilan selalu menjadi perhatian umum masyarakat terutama oleh para pemikir. Umumnya masyarakat selalu menyuarakan gagasan menyangkut keadilan sehingga senantiasa setiap gagasan-gagasan itu kini menjadi mitos bagi masyarakat terutama saat orang-orang membincang kemaslahatan hidup manusia. Namun, keadilan sebagai suatu persoalan perlu di identifikasi apa makna sejatinya. Hal ini yang memanggil minat para pemikir untuk mencari makna keadilan secara hakiki. Menurut Murtadha Muthahhari dalam bukunya yang berjudul Keadilan Ilahi, ia menjelaskan bahwa kata “adil” sering digunakan dalam empat hal yakni keseimbangan, persamaan dan non diskriminasi, pemberian hak kepada yang berhak, dan pelimpahan wujud berdasarkan tingkat dan kelayakan (Muthahhari, 2009: 60-65).


(33)

18

Rawls mendefinisikan keadilan sebagai kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Menurutnya suatu hukum dan institusi, tidak peduli betapapun efisien dan rapinya, harus direformasi atau dihapuskan jika tidak adil. Atas dasar definisi tersebut keadilan menolak segala lenyapnya kebebasan yang ingin diperoleh oleh orang lain. Keadilan tidak membiarkan pengorbanan yang dipaksakan pada segilintir orang diperberat oleh sebagian besar keuntungan yang dinikmati oleh banyak orang. Karena itu, dalam masyarakat yang adil kebebasan warga negara dianggap mapan dan hak-hak yang dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar-menawar politik atau kalkulasi kepentingan sosial (Rawls, 2011: 3-4).

Manusia sebagaimana ia adalah manifestasi Tuhan maka di dalam jiwanya terdapat sifat-sifat ke-Tuhan-an. Keadilan sebagai satu dari sekian banyak sifat tentu menjadi perangai dan landasan manusia dalam bertindak. Tindakan manusia yang berlandaskan pada keadilan memiliki pengaruh yang kuat terhadap kemaslahatan hidup manusia oleh karena tindakan ini menolak kezaliman dibalik itu.

4. Hubungan Cinta dengan Spiritualitas

Cinta itu sendiri merupakan fitrah dalam diri manusia dan dengan kemampuan berpikir manusia, cinta dijadikan landasan untuk mencapai suatu tujuan. Cinta menyempurnakan jiwa, dan menampilkan kemampuan-kemampuan dahsyat yang terpendam. Dari sisi pandang daya persepsi, cinta


(34)

19

itu mengilhami; dari sisi pandang emosi, cinta mengeraskan kemauan dan tekad. Dan bila cinta bangkit ke aspeknya yang tertinggi, cinta membawa mukjizat dan keajaiban. Cinta membersihkan rohani dan tingkah jasad, atau dengan kata lain, cinta adalah pencahar yang membuang sifat-sifat aib, seperti egoisme atau sikap dingin tawar, iri hati, serakah, pengecut, penghayal serta sifat suka memuji diri sendiri. Cinta mencabut sifat dendam dan dengki, meskipun frustasi dan putus cinta dapat menimbulkan kompleks dan yang tidak disukai (Muthahhari, 2015: 41)

Haidar Bagir (2012: 81) mengungkapkan bahwa cinta merupakan tanda Allah yang paling agung. Karena sesungguhnya, yang merangkum semua sifat Allah adalah cinta. Dalam ungkapan tersebut ia menyimpulkan dengan kalimat Tuhan adalah cinta. Konsep cinta (mahabbah) lebih dimaksudkan sebagai bentuk cinta kepada Tuhan (Nasution, 1973: 74). Meski demikian, cinta kepada Tuhan juga akan melahirkan bentuk kasih sayang kepada sesama, bahkan kepada seluruh alam semesta.

Haidar Bagir (2012: 77) menambahkan bahwa cinta dan kasih sayang identik dengan dorongan untuk selalu memberi, bukan menuntut. Mencintai adalah sebuah prinsip menempatkan kebutuhan dan kepentingan kita di bawah (atau setelah) kebutuhan dan kepentingan orang yang kita cintai. Bahkan karena cinta, kita rela mengesampingkan kebutuhan dan kepentingan kita demi terpenuhinya kebutuhan dan kepentingan orang yang


(35)

20

kita cintai. Dengan memberi dan berbuat baik pada manusia, kita pun akan mendapatkan cinta dari Tuhan.

5. Film sebagai Media Konstruksi Realitas

Film adalah hasil daya cipta manusia dan tengah menjadi bagian dari masyarakat. Dalam perkembangannya film termasuk salah satu media massa yang memiliki kemampuan menjangkau khalayak luas atau heterogen. Denis McQuail (2000 :17) menjelaskan dalam buku Mass Communication Theory, „Media Massa‟ adalah Istilah untuk menggambarkan alat komunikasi yang beroperasi dalam skala besar, luas dan melibatkan hampir semua orang dalam masyarakat baik kalangan atas maupun bawah.

Phil Astrid S. Susanto (1982: 60) mengatakan bahwa film adalah suatu kombinasi antara usaha penyampaian pesan melalui gambar yang bergerak, pemanfaatan teknologi kamera, warna dan suara, dimana unsur-unsur film tersebut dilatarbelakangi oleh suatu cerita yang mengandung suatu pesan yang ingin disampaikan oleh sutradara kepada suatu khalayak. Sifatnya dalam menyampaikan pesan melalui pesan audio dan pesan visual secara bersamaan, menjadikan film sebuah sarana komunikasi yang sangat komplit kedudukannya sebagai media massa. Dengan karakteristik itu, sehingga film pun menjadi media massa yang sangat persuasif terutama dalam menyalurkan beragam nilai, baik agama, dan budaya, termasuk persoalan ekonomi, politik dan persoalan apapun yang ada dalam kehidupan manusia.


(36)

21

Dalam kajian analisis teks media film merupakan media yang digunakan untuk mengkonstruksi realitas. Seperti yang dikatakan Sobur, pekerjaan media adalah mengkonstruksi realitas. Realitas dalam film tidak murni diangkat dari realitas objektif. Sebab realitas tersebut telah dikonstruksi atau merupakan hasil dari kecenderungan pikiran, nilai-nilai tertentu yang ingin disampaikan. Ia tidak terlepas dari suatu bangunan konseptual maupun ideologi. Realitas media diciptakan berdasarkan pada keinginan, kepentingan dan kecenderungan media dalam menyampaikannya kepada khalayak. Untuk mengetahui apa itu realitas bisa merujuk pada pernyataan Wignjosoebroto dalam (sobur 2009: 186).

Apakah realitas itu? Realitas adalah sebuah kata berasal dari res yang berarti benda, yang kemudian menjadi realis yang berarti „sesuatu yang membeda, aktual dan/atau mempunyai wujud.

Pengertian di atas memberikan artian bahwa realitas tidak berada pada wilayah imajinasi atau pemikiran namun ia memiliki wujud yang bisa disentuh dengan inderawi manusia. Realitas merupakan benda yang berada diluar diri manusia yang memiliki sifat gerak dan berubah. Film merupakan media yang yang menggunakan suara dan gambar-gambar bergerak.

Schutz menyatakan bahwa realitas mengacu pada pikiran manusia, di dalamnya terdapat stock of knowledge baik pengetahuan tentang barang-barang fisik, artefak, koleksi-koleksi sosial, maupun obyek-obyek budaya,


(37)

22

dan stock of knowledge dari proses sosialisasi yang menyediakan orientasi dalam menginterpretasikan obyek-obyek dan peristiwa sehari-hari. Hal ini tidak memiliki makna universal atau inheren yang jauh dari kerangka yang sudah ditentukan (Noviani, 2002: 49).

Piliang melihat realitas sebagai sebuah konsep yang kompleks yang sarat dengan pertanyaan filosofis. Ada sebuah konsep filosofis yang mengatakan bahwa yang kita lihat bukanlah realitas melainkan representasi atau tanda dari realitas yang sesungguhnya yang tidak dapat kita tangkap. Mengenai hal ini Menurut Zak van Strateen, yang dapat kita tangkap hanyalah tampilan dari realitas dibaliknya (Sobur, 2012: 93).

Sekarang persoalannya adalah apakah film biografi Mahatma Gandhi merupakan suatu realitas media yang realitasnya sudah dikonstruksi. Realitas dalam paradigma konstruktivis merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh Individu (Bungin, 2008: 11). Individu menjadi mesin produksi yang mengkonstruksi dunia sosialnya. Dunia sosial menjadi wahana dalam merepresentasikan sikap individu melalui aktualisasi diri disetiap lingkungan sosial sehingga menjadi realitas sosial.

Istilah konstruksi realitas diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman yang menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksi manusia. dimana individu secara intens menciptakan suatu realitas


(38)

23

yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Berger dan Luckman memulai penjelasan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman dengan “kenyataan” dan “pengetahuan”. Mereka mengartikan realitas sebagai kualitas sendiri dan memiliki keberadaan yang tidak bergantung kepada kehendak tertentu. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata dan memiliki karakteristik yang spesifik. Namun mereka memandang masyarakat dan institusi sosial sebagai hasil dari definisi subjektif melalui proses interaksi meskipun keberadaannya terlihat nyata secara objektif. Sedangkan tolok ukur objektifitas adalah melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subjektif yang sama. Sedangkan pada tingkat generalitas paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolik yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupan (Sobur, 2012: 91).

Selanjutnya Berger dan Luckman menjelaskan realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Konstruksi sosial dalam pandangan mereka tidak berlangsung dalam ruang hampa namun sarat dengan kepentingan-kepentingan. Berkenaan dengan hal tersebut media massa khususnya komunikator massa lazim melakukan berbagai tindakan dalam konstruksi realitas di mana hasil akhirnya


(39)

24

berpengaruh kuat terhadap pembentukan makna atau citra tentang suatu realitas.

6. Semiotika sebagai Kajian Budaya

Secara etimologis istilah semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dan dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Eco, 1979: 16). Sedangkan secara terminologis semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, dan seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco, 1979: 6).

Van Zoest (1996: 5) mengartikan semiotik sebagai “ilmu tanda” (sign) dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya (Sobur, 2012: 96). Menurut John Fiske, terdapat tiga area penting dalam studi semiotik yakni pertama, tanda itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan beragam tanda yang berbeda, seperti cara mengantarkan makna serta cara menghubungkannya dengan orang yang menggunakannya. Tanda adalah buatan manusia dan hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang menggunakannya. Kedua, kode atau sistem di mana lambang-lambang disusun. Studi ini meliputi bagaimana beragam kode yang berbeda dibangun


(40)

25

untuk mempertemukan dengan kebutuhan masyarakat dalam sebuah kebudayaan. Yang ketiga adalah kebudayaan di mana kode-kode dan lambang itu beroperasi (Sobur, 2012: 94).

Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari tanda. Mulai dari manusia lahir hingga mati senantiasa dihadapkan oleh berbagai tanda. Tanda itu sendiri semacam pemandangan abadi dalam kehidupan manusia. Sebagai mahluk sosial, manusia membentuk kelompok dan setiap kelompok mempunyai ciri khas dan kebudayaan masing-masing. Namun kebudayaan apa pun dalam setiap masyarakat tidak akan terlepas dari tanda. Dapat pula dikatakan bahwa manusia tercipta dengan segala potensi yakni instrumen pengetahuan dapat menangkap segala realitas yang ada disekelilingnya sementara akal manusia dengan makna yang ada juga memiliki hubungan dengan realitas. Makna membutuhkan instrumen untuk dipahami yakni menggunakan bahasa.

Mengenai bahasa, lebih jauh Lacan memandang bahasa menandakan bukan karena mengekspresikan pikiran ataupun menggambar realitas, namun lebih disebabkan mengkonstitusi subjek sebagai makhluk kultural, historis, dan geografis. Bahasa merupakan sistem tanda yang paling fundamental bagi manusia, sedangkan tanda-tanda nonverbal seperti gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka praktik sosial konvensional lainnya dapat dipandang sebagai jenis bahasa yang tersusun dari tanda-tanda bermakna


(41)

26

yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-relasi. Semiotika dalam sejarah linguistik merujuk pada bidang studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau lambang. Tanda-tanda adalah basis dari seluruh komunikasi (Littlejohn, 1996: 64).

Semiotika belakangan ini menunjukkan perhatian besar dalam produksi tanda yang dihasilkan oleh masyarakat linguistik dan budaya. Setiap kebudayaan memiliki realitas sosial yang konvensi-konvensi di dalamnya berbeda. Tanda merupakan bagian dari keseluruhan peristiwa yang terdapat di dalam suatu masyarakat. . Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna ialah hubungan antara suatu objek atau tanda idea dan suatu tanda (Littlejohn, 1996: 64). Berbicara tentang tanda tidak terlepas dari konteks-konteks atau kondisi-kondisi sosial masyarakat. Melihat pandangan yang diberikan dari berbagai pemikir tersebut maka setiap usaha mempelajari semiotika atau memaknai suatu tanda pada dasarnya merupakan upaya mengkaji suatu kebudayaan.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes. Analisis semiotika selain merupakan subjek kajian dalam ilmu komunikasi juga merupakan metode analisis tentang tanda. Metode analisis semiotika saat ini banyak digunakan untuk


(42)

27

meneliti makna yang termuat dalam media massa, dalam hal ini adalah termasuk makna dari tanda-tanda yang tersajikan dalam film. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Kurniawan (2001: 81) bahwa semiologi Roland Barthes kerap digunakan dalam kajian-kajian kebudayaan meliputi kesusastraan, perfilman, busana dan berbagai fenomena kebudayaan lainnya.

Fiske (2007: 282) menambahkan makna dari semiotika yaitu studi tentang tanda dan makna dari sistem tanda, ilmu tentang tanda, tentang bagaimana makna dibangun dalam teks media. Sementara itu, Langer memandang makna sebagai sebuah hubungan yang kompleks di antara simbol, objek, dan manusia yang melibatkan makna bersama serta makna pribadi (John dan Foss, 2009: 155). Secara teknis analisis semiotika mencangkup klasifikasi tanda-tanda yang dipakai dalam komunikasi, yang menggunakan kriteria sebagai dasar kualifikasi serta menggunakan analisa tertentu untuk membuat prediksi (Sobur, 2001: 63).

Dengan demikian, semiotika merupakan alat atau instrumen analisis yang akan dipakai untuk menyingkap makna dibalik tanda-tanda spiritualitas yang terdapat dalam film Gandhi. Pemilihan metode semiotika sebagai metode penelitian sangat tepat dikarenakan penulis melihat film Gandhi banyak menampilkan tanda-tanda bermakna atau sering disebut sebagai sinyal tersembunyi.


(43)

28 2. Objek Penelitian

Objek yang akan diteliti yakni film Gandhi karya Richard Attenborough yang diproduksi pada tahun 1982. Penulis memilih film Gandhi karena film ini menceritakan perjalanan Mahatma Gandhi ketika menentang penjajahan Inggris yang berangkat dari kesadaran spiritual. 3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data yang relevan dengan tujuan penelitian maka penulis menggunakan beberapa teknik dalam mengumpulkan data dalam penelitian ini yang terdiri dari data primer dan sekunder. Penjelasan terperinci mengenai teknik pengumpulan data yakni sebagai berikut:

a. Data Primer

Kategori ini berupa dokumentasi yang digunakan untuk mendapatkan data dari film Gandhi dengan proses print screen menggunakan media snipping tool. Caranya adalah setelah menyaksikan film Gandhi dengan seksama, peneliti memilih dan mengkategorisasi beberapa scene yang merujuk pada tema yang diteliti. Kemudian dilakukan proses snipping tool atau membekukan objek video menjadi format gambar. Data yang berasal dari film Gandhi merupakan data primer dalam penelitian karena data ini diambil langsung dari objek penelitian.

b. Data Sekunder

Sedangkan kategori yang kedua ini berupa studi pustaka yang diambil dari beberapa macam sumber antara lain: buku, makalah, website,


(44)

29

e-book dan jurnal, serta sumber-sumber lain yang merujuk pada penelitian ini. Sumber data dari studi pustaka merupakan data sekunder dalam penelitian karena menjadi data pendukung dalam suatu penelitian.

4. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan rangkaian kegiatan penelaahan, pengelompokan, penafsiran dan verifikasi data agar sebuah fenomena memiliki nilai sosial, akademis dan ilmiah. Penelitian kualitatif tidak memiliki teknik analisis yang baku (seragam) dalam melakukan analisis data (Mulyana, 2004: 180). Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Pawito (2008:101) bahwa analisis data pada dasarnya dikembangkan dengan maksud memberikan makna (making sense of) terhadap data, menafsirkan (interpreting), atau mentransformasikan (transforming) data ke dalam bentuk-bentuk narasi yang berakhir pada kesimpulan-kesimpulan final.

Dalam menganalisis data penulis menggunakan pendekatan semiotika yang dikembangkan oleh Roland Barthes yaitu dengan menggunakan sistem pemaknaan denotasi, konotasi dan mitos. Berger menjelaskan bahwa dalam semiologi makna denotasi dan konotasi memegang peranan yang sangat penting jika dibandingkan dengan peranannya dalam ilmu linguistik. Makna denotasi bersifat langsung, dan dapat disebut sebagai gambaran dari suatu petanda. Sedangkan makna konotasi dihubungkan dengan kebudayaan yang tersirat di dalam pembungkusnya-tentang makna yang terkandung di dalamnya. Akhirnya, makna konotatif dari beberapa tanda akan menjadi


(45)

30

semacam mitos atau petunjuk mitos (yang menekankan makna-makna tersebut) sehingga dalam banyak hal (makna) konotasi menjadi perwujudan mitos yang sangat berpengaruh (Berger, 2010: 65).

Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkatan pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran (Lyons dalam Pateda, 2001: 98). Makna denotatif pada dasarnya meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata (yang disebut sebagai makna referensial). Makna denotatif suatu kata ialah makna yang biasa kita temukan dalam kamus. Harimurti Kridalaksana (2001: 40) mendefinisikan denotasi sebagai makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu dan bersifat obyektif. Sedangkan konotasi diartikan sebagai aspek makna atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca) (Sobur, 2009: 263). Selanjutnya, terdapat pandangan yang menyatakan bahwa jika denotasi adalah sebuah kata adalah definisi objektif kata tersebut, maka konotasi sebuah kata adalah makna subjektif atau emosionalnya (Devito, 1997: 125).

Barthes dalam bukunya yang berjudul mythologies, membahas bagaimana aspek-aspek denotatif tanda-tanda dalam budaya pop menyingkap konotasi yang pada dasarnya adalah mitos-mitos yang dibangkitkan oleh sistem tanda yang lebih luas oleh masyarakat (Cobley &


(46)

31

Janses dalam Sobur, 2004: 43). Barthes juga menguraikan bahwa konotasi yang terkandung dalam mitologi-mitologi tersebut biasanya merupakan hasil konstruksi yang cermat (Cobley & Janses dalam Sobur, 2004: 4).

Semiotika menjadi alat untuk menganalisis data karena data yang akan dianalisis adalah tanda atau bahasa. Pada dasarnya film merupakan unit bahasa yang terdiri dari sistem bahasa dan bagaimana bahasa itu bekerja. Di dalam film Gandhi, sistem bahasa dibangun atas dua makna tanda yaitu denotatif dan konotatif. Gambar yang tampak secara mekanis dalam film tersebut merupakan tanda denotatif sementara yang melatarbelakangi tanda tersebut adalah suatu ideologi, wacana dan mitos yang dimaknai sebagai tanda konotatif.

Selanjutnya, Barthes menciptakan tahapan-tahapan bagaimana tanda bekerja yaitu sebagai berikut:

Tabel 1.1 Peta tanda Roland Barthes 1. Signifier

(penanda)

2. Signified (petanda) 3. Denotative Sign

(tanda denotatif) 4. Connotative Signifier

(penanda konotatif) 5. Connotative Signified (petanda konotatif) 6. Connotative Sign

(tanda konotatif) Sumber : Sobur, 2006: 69


(47)

32

Berdasarkan Tabel 1.1 terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Disaat bersamaan tanda denotatif (3) adalah juga sebagai penanda konotatif (4). Tanda-tanda yang dimaksudkan adalah tanda yang mengarah pada makna yang dituju dalam tiap scene. Selanjutnya tanda harus diklasifikasikan menjadi penanda dan petanda, yang kemudian diperoleh maknanya. Pembacaan teks tersebut oleh Barthes dinamakan sebagai deskripsi struktur (structural description). Deskripsi tersebut berfungsi untuk menganalisis lebih mendalam teks yang terlihat natural, padahal teks tersebut diada-adakan (arbitrer).

Peta tanda Barthes berfungsi sebagai acuan dan batasan bagi peneliti dalam melakukan penelitian. Pertama, mengidentifikasi penanda dan petanda yang terdapat dalam film Gandhi, yakni memaknai tanda-tanda tersebut di level pemaknaan denotatif dan selanjutnya memaknai ke tingkatan yang lebih jauh yakni pemaknaan konotatif, yang akhirnya dihubungkan dengan mitos yang berkembang di masyarakat.

Makna dalam penelitian ini akan diidentifikasi berdasarkan tanda-tanda yang terdapat dalam film baik yang berada di permukaan maupun yang tersembunyi. Adapun tanda yang dapat diamati dalam penelitian ini adalah tanda-tanda verbal dan non-verbal. Tanda verbal adalah tanda dari bahasa teks yang ada di film, sedangkan tanda non verbal adalah tanda minus kata. Jadi secara sederhana, tanda non-verbal dapat diartikan semua tanda yang bukan kata-kata.


(48)

33

Penelitian ini berusaha untuk mencari tanda-tanda spiritualitas yang terdapat di film Gandhi melaui dialog-dialog atau scene-scene tokoh utama yang terdapat dalam film tersebut dengan menggunakan signifikasi dua tahap Roland Barthes. Signifikasi merupakan suatu proses yang memadukan penanda dan petanda sehingga menghasilkan tanda-tanda atau simbol-simbol (Budiman, 1999: 62).

Untuk mendukung analisis signifikasi dua tahap Roland Barthes, peneliti menggunakan aspek-aspek teknis yakni sudut kamera atau sudut pandang kamera dan jarak pengambilan gambar. Sudut kamera adalah sudut pandang kamera terhadap frame yang dibagi menjadi tiga yakni sebagai berikut:

1. High Angle, yakni kamera melihat objek dalam frame yang berada di bawahnya. Teknik ini mampu membuat sebuah objek seolah tampak lebih kecil, lemah serta terintimidasi.

2. Straight on Angle, yakni kamera melihat objek dalam frame secara lurus. Teknik ini membuat objek berada pada kondisi normal.

3. Low Angle, yakni kamera melihat objek dalam frame yang berada di atasnya. Teknik ini mampu membuat objek seolah tampak lebih besar (raksasa), dominan percaya diri, serta kuat (Pratista, 2008: 106-107). Teknik pengambilan gambar juga dapat dilihat berdasarkan jarak pengambilan gambar, sebagaimana dilihat pada tabel berikut:


(49)

34

Tabel 1.2 Jarak pengambilan gambar menurut Berger

Penanda Definisi Petanda

Extreme Close Up

(ECU)

Sedekat mungkin dengan objek (Misalnya hanya mengambil bagian dari wajah)

Kedekatan hubungan dengan cerita atau pesan-pesan film

Close Up (CU) Wajah keseluruhan (sebagai

objek)

Keintiman, tetapi tidak sangat dekat. Bisa juga menandakan bahwa objek sebagai inti cerita

Medium Shot Setengah badan Hubungan personal antar

tokoh dan menggambarkan kompromi yang baik

Long Shot Seting dan karakter (shot

penentuan)

Konteks, skop dan jarak public

Full Shoot Seluruh objek Hubungan sosial

Sumber: Berger, 2000: 33.

Lebih lengkapnya Pratista memperkenalkan tujuh cara pengambilan gambar dalam produksi film antara lain: Extreme Long Shot, Long Shot, Medium Long Shot, Medium Shot, Medium Close Up, Close Up, Extreme dan Close Up. Dari ke-7 cara pengambilan gambar tersebut 4 diantaranya telah disebutkan oleh Berger. Berikut adalah tabel sekaligus penjelasan mengenai cara pengambilan gambar yang akan digunakan untuk menganalisis film dalam penelitian ini.

Tabel 1.3 Jarak pengambilan gambar menurut Pratista Petanda

(Shot Size) Definisi

Penanda (Makna) (ELS)

Extreme Long Shot

Wujud fisik manusia nyaris tidak tampak

Kondisi lingkungan yang sangat luas dan besar (MLS)

Medium Long Shot

Dari bawah lutut sampai ke atas

Hubungan manusia dengan lingkungan sekitar relatife seimbang.


(50)

35 (MCU)

Medium Close-Up Dari dada ke atas

Hubungan personal yang lebih dekat antar tokoh dan menggambarkan kompromi yang baik (ECU)

Extreme Close-Up

Bagian dari wajah: mata, telinga, hidung, dll

Keintiman yang sangat dekat

Sumber: Pratista, 2008: 105-106

Berikut ini merupakan penjelasan secara terperinci dari cara pengambilan gambar tersebut :

Close-Up (CU)

Arah kamera yang dekat dan memperlihatkan bagian kecilnya saja, tetapi merupakan kesatuan yang utuh dari objek, misalnya : wajah, tangan, kaki yang mendukung untuk mengungkapkan arti simbolik dari objek yang digambarkan. Close-up dapat memberikan efek yang kuat serta pengambilan konsentrasi pada suatu titik, sehingga mudah menimbulkan rangsangan, reaksi, tanggapan dan emosi yang dapat menimbulkan informasi terhadap nilai yang tidak mungkin terlihat oleh penonton.

Medium Shot (MS)

Medium shot merupakan pengambilan gambar yang lebih dekat daripada long shot dalam kaitan dengan subjek manusia. Contoh hasil pengambilan gambar dengan medium shot¸ dengan menggunakan objek manusia misalnya pada bagian pinggang ke atas, untuk menjelaskan adegan apa yang sedang dilakukan, misalnya perkenalan, dengan memfokuskan pada tangan secara keseluruhan.


(51)

36 Long Shot (LS)

Pengambilan gambar dengan teknik biasanya memperlihatkan setting dan karakter yakni menunjukkan adegan suasana pemandangan atau lingkungan secara keseluruhan dan menjelaskan posisi objek pada suatu tempat yang dapat dikenali.

Full Shot (FS)

Pengambilan gambar yang menekankan sosok dengan keseluruhan bagian. Bertujuan menjelaskan obek misalnya : penokohan, yang akan berfungsi menjelaskan secara utuh keadaan tokoh. Full shot juga dapat menjelaskan atau menunjukkan lokasi tempat di mana adegan itu berlangsung.

Extreme Long Shot (ELS)

Teknik ini digunakan untuk pengambilan gambar dengan jarak yang sangat jauh, sehingga wujud fisik manusia nyaris tidak terlihat. Pengambilan gambar semacam ini biasanya digunakan untuk menunjukkan sesuatu hal yang besar.

Medium Long Shot (MLS)

Teknik ini digunakan untuk pengambilan gambar dari bagian lutut sampai ke atas, dengan memperlihatkan gerakan manusia yang relatif seimbang dengan lingkungan sekitar.


(52)

37

Pengambilan gambar dengan teknik ini yaitu memperhatikan jarak kamera dengan objek manusia semakin dekat yaitu dari dada ke atas, lingkungan sekitar yang menjadi background sedikit tertutup oleh badan manusia yang mendominasi frame.

Extreme Close-Up (ECU)

Yaitu pengambilan gambar close-up secara detail dan memfokuskan pada satu unsur benda atau bagian badan. Misalkan : ujung pisau atau busur, bola mata, hidung. Bagian yang difokuskan menjadikan rincian penting dalam rangkaian cerita.


(53)

38 BAB II

DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN

A. Biografi Mahatma Ghandi 1. Silsilah Keluarga

Mahatma Gandhi bernama lengkap Mohandas Karamchand Gandhi juga sering dipanggil Mahatma Gandhi dalam bahasa Sansekerta artinya jiwa yang agung.Ia dilahirkan pada tanggal 2 oktober 1869 di Porbandar (Fischer, 1976: 11).

Gambar 2.1 Mahatma Gandhi ( Sumber: http://www.politicoscope.com/- indiamahatma- gandhi-biography-and-profile/

diakses tanggal 13 Desember 2015.

Mahatma Gandhi merupakan keturunan dari seorang laki-laki yang bernama Lal, yang tinggal di desa Kutiyana bagian Jugadh pada abad ketujuh belas.Mahatma Gandhi merupakan bungsu dari empat bersaudara, ayahnya bernama Karamchand Gandhi (Kaba Gandhi) dan Mahatma Gandhi


(54)

39

merupakan hasil pernikahan dari istri ke empat.Ibu Mahatma Gandhi bernama Putlibai.Ia merupakan wanita yang amat saleh yakni tercermin dari aktivitas-aktivitas kesehariannya seperti bermatiraga (Gandhi, 1948: 8).

Keluarga Mahatma Gandhi termasuk dalam sub kasta Banya yang dimasukkan dalam kasta Waisya. Penempatan kasta Waisya salah satunya berasal dari nama Gandhi dalam bahasa Gujarat berarti grosir yang termasuk dalam sub kasta besar yang terdiri dari pemilik toko dan orang-orang yang meminjamkan uang. Dari keluarga yang ia miliki Mahatma Gandhi mendapat gambaran tentang nilai dasar kehidupan di Porbandar. Mahatma Gandhi waktu masih muda memiliki dorongan ingin tahu yang tinggi terhadap hal yang tidak disukainya seperti belajar bahasa Sansekerta yang merupakan bahasa dalam agama Hindu Vaishana serta ia juga tidak terlalu menyukai puasa yang dilakukan oleh ibunya.

Mahatma Gandhi menikah pada usia 13 tahun dengan Kasturba Gandhi. Istri Mahatma Gandhi merupakan anak dari seorang pedagang dari kelompok banya dari Porbandar (Vehta, 2011: 167).

2. Tempat Kelahiran

Porbandar adalah sebuah kota yang terletak di sebelah barat India, tepatnya di antara Bombay dan Karachi. Tempat lahir Mahatma Ghandi terletak diwilayah pantai, dengan latar belakang bukit Barda yang penuh dengan pepohonan serta dikelilingi tembok tebal dan tinggi. Rumah-rumah


(55)

40

penduduk terbuat dari batu kapur putih sehingga kota ini dijuluki kota putih. Pada zaman dahulu Porbandar dikuasi oleh bermacam-macam suku bangsa yang masing-masing memeluk agama yang berlainan seperti Hindu dan Islam (Trimurti, 1994: 1).

3. Riwayat Pendidikan

Berdasarkan sejarah masa studinya, Mahatma Gandhi hampir tidak pernah mendapatkan nilai yang maksimal. Diantara teman-temannya, ia tergolong pelajar cukupan seperti anak-anak lain pada umumnya. Mahatma Gandhi mengakui sendiri mengenai hal tersebut, dapat kita lihat dalam suatu pernyataankarir sekolah menengahku tak pernah di atas rata-rata. Saya bersyukur jika dapat lulus ujian. Perbedaan di sekolah merupakan di luar aspirasiku (Trimurti, 1994: 4).

Dalam lingkup pergaulan sosial Mahatma Gandhi memiliki karakter yang susah bersosialisasi baik di lingkungan sekolah maupun rumah. Mahatma Gandhi adalah anak yang pemalu. Sewaktu di Sekolah Menengah, ia tidak mempunyai sahabat. Karena setiap pulang sekolah, ia tidak seperti teman-temannya yang lain yang suka mengobrol dan bermian. Meskipun Mahatma Gandhi memiliki sifat yang pemalu dan kurang suka berteman, ia mempunyai sifat penuh kejujuran dan kepatuhan ( Wegig, 1989: 9).

Selang beberapa tahun setelah pernikahan, pada tahun 1887 sekitar umur 17 tahun Mahatma Gandhi lulus dari sekolahnya, kemudian Mahatma


(56)

41

Gandhi melanjutkan kuliah di perguruan tinggi Salmadas di kota Bhavnagar India. Proses perkuliahan Mahatma Gandhi saat itu tidak berjalan lancar, dandia mengalami beberapa masalah di kampus bahkan mulai tidak suka dengan kampusnya. Pada akhir semester tahun 1888 Mahatma Gandhi memutuskan untuk keluar dari perguruan tinggi Salmadas dan kembali kerumahnya di kota Porbandar (Mehta, 2011: 169).

Mahatma Gandhi melanjutkan kuliahnya di fakultas Hukum di Universitas Collage di London Inggris pada saat umur 18 tahun. Keputusan Mahatma Gandhi untuk melanjutkan pendidikan di Inggris awalnya ditentang oleh beberapa orang dalam keluarga, antara lain paman, ibunya dan para tetua suku kasta yang di anut oleh Mahatma Gandhi yaitu modh bania. Kaum-kaum tua mempermasalahkan bahwa belum pernah ada seorang dari modh bania yang pergi ke Inggris, karena agama Hindu tidak dapat diibadahkan di Inggris (Trimurti, 1994: 17).

Saat di Inggris tantangan terberat Mahatma Gandhi adalah bagaimana cara mengontrol diri untuk tidak mengkonsumsi daging sama sekali. Kondisi Inggris yang dingin menjadi tantangan terberatnya untuk tetap setia memegang sumpah yang telah diucapkannya (Gandhi, 1948: 65). Dari prinsip yang dianutnya, menghantarkan Mahatma Gandhi pada paham vegetarianisme yang ia peroleh dari sebuah restoran yang bernama Central Restaurant di jalan Farringdon. Di tempat ini Mahatma Gandhi memperoleh banyak hal-hal penting seperti bertemunya Mahatma Gandhi dengan


(57)

42

pemimpin-pemimpin gerakan seperti Henry Salt, Howard William dan Josiah Oldfield. Dari perkumpulan dan pertemuan ini Mahatma Gandhi dan kawan-kawannya mendirikan Masyarakat Pembaharu Makan London Barat (West London Food Reform Society), dimanaMahatma Gandhi menjabat sebagai sekretaris perkumpulan (Gandhi, 2009: 12).

Salah satu organisasi penting yang diikuti Mahatma Gandhi yakni Asosiasi Nasional Bangsa India (National Indian Association) Mahatma Gandhi banyak mendapatkan pengalaman di organisasi ini mengenai keyakinan-keyakinan agama. Setelah lulus mengikuti ujian pada tanggal 10 juni 1891, Mahatma Gandhi mendapat panggilan ke pengadilan kemudian pada tanggal 12 juni 1891 Mahatma Gandhi memutuskan untuk pulang ke India dengan menggunakan kapal. Saat di India Mahatma Gandhi membuka kantor pengacara tepatnya di kota Bombay.

4. Pengaruh Mahatma Gandhi

Saat di India Mahatma Gandhi membuka kantor pengacara tepatnya di kota Bombay, namun di tempat ini dia jarang menemukan kasus-kasus hukum.Sementara praktik-praktik suap banyak dilakukan pada masa itu di wilayah Bombay. Mahatma Gandhi merasa suap adalah hal yang sangat memalukan untuk seorang pengacara, dan pada akhirnya Mahatma Gandhi mengambil keputusan untuk meninggalkan Bombay menuju daerah Rajkot.


(58)

43

Di kota Rajkot Mahatma Gandhi membuka kantor pengacara, usahanya di kota ini terbilang berhasil. Dari berbagai urusan pemohonan dan peringatan di bidang hukum, Mahatma Gandhi memperoleh penghasilan rata-rata 300 rupee sebulan (Gandhi, 1948: 123). Perjuangan Mahatma Gandhi selanjutnya adalah keputusannya untuk pergi ke Afrika Selatan. Tujuan awal ke Afrika Selatan yaitu membantu menangani sebuah perusahaan yang tengah mengalami perkara besar di pengadilan. Dari masalah ini ia memperoleh informasi tentang banyaknya orang India yang diberlakukan sewenang-wenang dan tidak adil di Afrika Selatan. Mahatma Gandhi merasa tertarik untuk mengabdikan ilmunya, dan membebaskan penderitaan bangsanya (Trimurti, 1994: 20).

Ironisnya, ketika perjalanan ke Pretoria dengan kereta Mahatma Gandhi sudah mengalami perlakuan diskriminasi dari petugas keretap api yang berkulit putih dikarenakan perbedaaan warna kulit (Wegig, 1989: 11). Satu tahun di Pretoria dengan berbagai kejadian memberi pengalaman yang sangat berharga bagi sepanjang hidup Mahatma Gandhi. Berbagai pengalaman yang telah dilewati oleh Mahatma Gandhi memberikan pelajaran tersendiri baginya seperti memperoleh kekuatan pemahaman mengenai keagamaan dan mendapat pengetahuan yang sebenarnya mengenai praktik hukum. Sejak saat itu, Mahatma Gandhi memiliki niat untuk memperjuangkan bangsanya. Perjuangan ini bukan berbentuk suatu revolusi


(59)

44

fisik melainkan suatu perjuangan yang menggunakan kekuatan jiwa atau lebih sering dikenal dengan sebutan satyagraha (Wegig, 1989: 11-12).

Semangat ahimsa dan satyagraha adalah dua hal yang dibawanya untuk melawan ketidakadilan. Dalam perlawanannya Mahatma Gandhi menjunjung tinggi semangat humanisme (Wisarja, 2005: 75). Ia tidak pernah sekalipun membebani siapapun yang menghujatnya atau memperlakukannya secara tidak adil, karena ia menyayangi sesama manusia dan menjunjung tinggi martabat manusia. Mahatma Gandhi tidak pernah ingin menghukum manusia, tetapi menghukum perbuatannya.

Mahatma Gandhi adalah sosok dibalik berdirinya gerakan demonstrasi damai di India. Ia identik dengan kacamata bulat, kepala tidak berambut, kulit hitam, badan kurus dan memakai helaian kain putih sebagai pengganti baju. Semangat perubahan yang diharapkan Mahatma Gandhi direalisasikan dengan membentuk sebuah organisasi yang disebut sebagai Kongres Orang India di Natal (Natal Indian Corngress) yang kemudian berubah menjadi Kongres Nasional India (Indian National Congress). Tujuan diadakannya kongres ini adalah untuk menentang sikap-sikap ataupun peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Inggris di Afrika Selatan yang dianggap tidak adil. Hal inilah yang membakar semangat Mahatma Gandhi untuk memperjuangkan masyarakat India, khususnya kaum buruh.


(1)

Lampiran

Tema : Ritual

Konteks : Doa dan puasa sebagai alat perlawanan

Denotasi Konotasi Mitos

Mahatma

Gandhi

sedang

berdiri

memberikan

segelas

minuman

kepada

Maulana

Azad

dan

berbicara

kepada

beberapa

anggota

kongres India

 Mahatma Gandhi memakai kain warna krem yang dililitkan di badannya, serta Maulana Azad memakai tutup kepala berwarna hitam  Mahatma Gandhi

berbicara dan memberikan usulan pada anggota kongres ‘maksudku benar-benar hari doa dan puasa

 Doa dan puasa dijadikan sebagai alat perlawanan  Sikap Mahatma Gandhi

meberikan pemahaman bahwa, pelayanan sebagai bentuk perilaku yang baik dan benar  Pakaian yang dikenakan

Mahatma Gandhi dan Maulana Azad diidentifikasi sebagai pakaian keagamaan

 Puasa sebagai pencegah bala’, misalanya puasa sebagai tameng hawa nafsu, puasa mencegah perbuatan keji-munkar, berdoa sebelum naik kendaraan (islam)  Dalam Kitab Imamat

yang dijadikan dasar oleh orang-orang Lewi menyatakan bahwa salah satu tujuan berpuasa yakni untuk menyatakan rasa untuk menghapus dosa

 Doa dan puasa sebagai alat pengusiran roh jahat –film the conjuring (Kristen)

 Bunda Teresa memberikan pelayanan terhadap kaum-kaum marginal India

Tema : Ritual

Konteks : Puasa sebagai alat penebusan dosa

Denotasi

Konotasi Mitos

Gestur wajah Mahatma

Gandhi duduk di lantai

seorang diri dengan

ekspresi yang dingin

 Mahatma Gandhi tidak berdaya dan memiliki perasaan bersalah ketika orang-orang disekitarnya terlibat kekerasan atau

 Puasa (upawasa-hindu) sebagai penebusan dosa dalam agama Hindu  Berpuasa 2 bulan


(2)

dan tatapan yang serius

Dalam posisi duduk

Mahatma

Gandhi

berkata

dan aku akan

berpuasa

sebagai

penebusan dosa atas

peranku

dalam

membangkitkan emosi

semacam itu

menjadi korban kekerasan sehingga ia pun merasa harus menebusnya dengan jalan berpuasa

berturut-turut sebagai cara penebusan dosa (Islam). Seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a tentang seorang lelaki menemui Nabi Muhammad SAW untuk meminta solusi atas perbuatannya yang melanggar syariat, Nabi Muhammad memberikan solusi untuk berpuasa 2 bulan berturut-turut sebagai bentuk penebusan dosa

Tema : Ritual

Konteks : Doa menjadi sandaran tiap usaha

Denotasi

Konotasi Mitos

Menggambarkan

perbincangan Mahatma

Gandhi

dengan

Mirabehn saat sedang

terbaring di atas tempat

tidur

Dengan kondisi yang

lemah

Mahatma

Gandhi berucap kepada

Mirabehn yakni

maka

doaku di kabulkan

 Mahatma Gandhi sebagai manusia biasa yang lemah tidak berdaya tanpa kuasa Tuhan  Usaha perlu adanya

campur tangan Tuhan

 Kepercayaan animisme dan dinamisme di negara Mesir Babilonia (memuja dan berdoa kepada lembu jantan (Dewa/Tuhan))

 Jendral Sudirman berdoa dan berpasrah pada Tuhan sebelum memulai perang gerilya dengan Belanda

 Masyarakat Mesir menyembah berhala-berhala yang dianggap sebagai Tuhan

 Nabi Nuh berpasrah diri dan berdoa menghadapi


(3)

kaumnya

 Nabi Muhammad berdoa sebelum memulai perang Badar

Tema : Keadilan

Konteks : Memandang manusia yang berasal dari Tuhan adalah sama

Denotasi

Konotasi Mitos

Mahatma

Gandhi

sedang

berdiri

dan

berjalan

sambil

mengatakan bahwa kita

adalah anak Tuhan

seperti semua orang

 Kesadaran dan keyakinan bahwa Tuhan menciptakan manusia memiliki kedudukan yang sama

 Nelson Mandela menolak tegas sistem apartheid di Afrika Selatan dengan menulis piagam kemerdekaan (ini bagiku dan bagi kami) dengan tanpa kekerasan

 Martin Luther Kings juga menolak adanya sistem apartheid di Albama Georgia AS tanpa kekerasan

Tema : Keadilan

Konteks : Menegakkan keadilan adalah ketentuan setiap manusia

Denotasi

Konotasi Mitos

Mahatma Gandhi yang

berada

di

tengah

kerumunan

peserta

kongres

saat

menyampaikan pidato

di lapangan terbuka

Gaya

berdiri

yang

tegap dan tangan yang

diangkat

mengacungkan

 Keadilan merupakan suatu sifat alami atau potensi alami yang dimiliki setiap manusia maka menjadi sebuah keniscayaan untuk diperjuangkan

 Peristiwa diberikannya gelar al-amin kepada Nabi Muhammad yakni saat peletakan Hajar Aswad

 Peristiwa pecahnya revolusi dunia menjadi revolusi perancis dan revolusi industri di Inggris


(4)

telunjuk

seraya

menyatakan

bahwa

sudah

menjadi

ketentuan kita keadilan

harus ditegakkan

 Pemimpin dunia yang memperjuangkan

keadilan seperti Mahatma Gandhi, Che Guevara, Lenin dan Ir. Soekarno

Tema : Keadilan

Konteks : keadilan itu memberikan tempat kepada semua orang

Denotasi

Konotasi Mitos

Mahatma

Gandhi

diberhentikan

oleh

pemuda berkulit putih

di trotoar jalan

Mahatma

Gandhi

dengan

mata

yang

terbuka

menatap

seorang

pemuda

berkulit putih seraya

mengatakan

padanya

kau akan tahu ada

tempat

untuk

kita

semua

 Kesadaran serta sikap Mahatma Gandhi yang menolak diskriminasi

 Rasulullah tidak bersikap diskriminatif pada Usamah Bin Zaid yang baru berusia 18 th untuk memimpin gerakan politik (shahih bukhari)

 Piagam Madinah yang mengikat seluruh penduduk Arab, Makkah dengan berbagai latar belakang yang berbeda

Tema : Cinta

Konteks : Cinta mengikat manusia menjadi saudara

Denotasi

Konotasi Mitos

Mahatma Gandhi dan

Charlie Andrews yang

berjalan menuju kantor

advokat

Gandhi

di

Afrika Selatan

Di tengah perjalanan

menuju kantor advokat

Mahatma

Gandhi

mengatakan

cintailah

 Menunjukkan keakraban dan sifat saling

mengasihi satu sama lain  Cinta terhadap orang lain

harus seperti mencintai diri sendiri

 Bunda Teresa yang merawat seorang pria yang sakit di Kalkutta dengan segala kepedulian dan perhatiannya

 Kisah dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a yang lebih mengutamakan


(5)

tetanggamu

seperti

kamu mencintai diri

sendiri

Muhammada

dibandingkan dengan istri, anak dan hartanya

Tema : Cinta

Konteks : Cinta melahirkan semangat penentangan tanpa kekerasan

Denotasi

Konotasi Mitos

Nampak

setengah

badan dua orang

laki-laki paruh baya, salah

satunya memakai baju

putih berkulit coklet

merupakan pendukung

Mahatma Gnadhi dan

seorang tentara Inggris

memakai pakaian dinas

berwarna

hijau

keduanya

sedang

berseteru

Pandit

Nehru

merupakan

seorang

pendukung

Mahatma

Gandhi dari pihak

laki-laki

berbaju

putih

memperingatkan untuk

tidak membalas agar

jangan ada kekerasan

seperti dalam teks pada

adegan tersebut

 Ajaran Mahatma Gandhi telah terpatri pada setiap jiwa pengikutnya , seperti nampak lelaki berbaju putih tidak adanya perlawanan karena sudah terbentuk suatu keyakinan penentangan tanpa kekerasan

 Kisah Eva Peron, ibu negara dari Argentina yang memperjuangkan kemakmuran negaranya  Konsep cinta terdapat

pada ajaran sila (budha), contohnya : tidak menganiaya atau membunuh, tidak mengambil sesuatu yang bukan miliknya, tidak berzina, tidak berdusta dan tidak menipu


(6)

Tema : Cinta

Konteks : Keutamaan cinta sebagai potensi dasar manusia

Denotasi

Konotasi Mitos

Mahatma Gandhi yang

terbaring

di

atas

ranjang di kamarnya

dengan sehalai kain

berwarna putih yang

menutupi tubuhnya

 Menunjukkan filosofi kehidupan Mahatma Gandhi menyangkut kepercayaan serta tujuan hidupnya yang diarahkan pada kebenaran dan cinta

 Cinta merupakan potensi yang mendasari gerak manusia termasuk keingintahuan terhadap sesuatu (Muthahari, 2015)

 Aktivitas manusia yang berlandaskan cinta dalam kehidupan sehari-hari mudah ditemukan, seperti ibu menyuapi anaknya makan, bapak mengantar anak pergi ke sekolah, anak membantu ibu menyapu halaman, dua saudara saling berbagi makanan atau pahlawan –pahlawan yang rela mati di medan perang demi terciptanya kemerdekaan

 Kecintaan Nabi Nuh terhadap anaknya