HUBUNGAN KEPALA DESA DENGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DESA DI DESA BANGUNJIWO KECAMATAN KASIHAN KABUPATEN BANTUL

(1)

HUBUNGAN KEPALA DESA DENGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DESA DI DESA BANGUNJIWO KECAMATAN KASIHAN KABUPATEN BANTUL

Skripsi

Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Disusun oleh:

Nama : Febri Dwi Saputra NIM : 20130610379 Fakultas : Hukum

Bagian : Hukum Administrasi Negara

Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

2017


(2)

HUBUNGAN KEPALA DESA DENGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DESA DI DESA BANGUNJIWO KECAMATAN KASIHAN KABUPATEN BANTUL

Skripsi

Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Disusun oleh:

Nama : Febri Dwi Saputra NIM : 20130610379 Fakultas : Hukum

Bagian : Hukum Administrasi Negara

Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

2017


(3)

(4)

HALAMAN MOTTO

“Jadilah kamu manusia yang pada kelahiranmu semua orang tertawa bahagia, tetapi hanya kamu sendiri yang menangis, dan pada kematianmu semua orang menangis sedih, tetapi hanya kamu sendiri yang tersenyum ” .

(Mahatma Gandhi)

”Ilmu itu diperoleh dari lidah yang gemar bertanya serta akal yang suka berpikir”.

(Abdullah bin Abbas)

“Hidup ini bukanlah suatu jalan yang datar dan ditaburi bunga melainkan adakalanya disirami air mata dan juga darah”.

(Buya Hamka)

“Tak usah takut. Kehidupan memang membawa kita pada jalur perjalanan yang rumit, berliku dan menyakitkan. Tapi aku yakin destinasinya sepadan”.

(Fiersa Besari)

“Saat aku melibatkan Allah dalam semua impianku aku percaya tidak ada yang tidak mungkin”.

(Yanie Gisselya)

“Agamaku lebih penting dari semua aktivitas di duniaku” . (Febri Dwi Saputra)


(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah, kupersembahkan karya kecil ini untuk orang-orang yang kusayangi:

 Allah SWT yang telah memberikan kesabaran, ketabahan, kekuatan, serta keikhlasan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

 Yang Pertama, untuk Ibuk tersayang (Harwinarti) dengan izin Allah SWT saya dilahirkan dari rahim beliau, dengan penuh cinta dan kasih sayang beliau merawat saya, terima kasih atas dukungan, cinta, doa, perhatian, dan segala bantuan yang tak terhingga yang diberikan kepada penulis hingga skripsi ini terselesaikan, saya percaya bahwa setiap kali saya merasa beruntung atau dipermudah dalam suatu urusan pada saat itu juga doa seorang Ibuk telah dikabulkan oleh Allah SWT.

 Yang kedua, untuk Bapak tersayang (Sumadi) sosok laki-laki yang hebat, selalu ikhlas dalam bekerja, terima kasih Bapak untuk segala motivasi, doa, dan saran-saran yang diberikan hingga skripsi ini terselesaikan dengan baik, serta selalu mengingatkan saya untuk selalu mengingat Allah SWT serta memberikan tuntunan-tuntunan sebagai bekal hidup saya didunia maupun diakhirat kelak. Terima kasih untuk segala bantuan yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

 Selanjutnya untuk Kakakku tercinta (Anita Putri Kusumawati, S.E) yang sekarang sudah menjadi seorang gadis yang cantik dan cerdas, Kakak yang selalu menjadi kebanggaan dan panutan saya terima kasih penulis ucapakan untuk segala perhatian, kasih sayang, bimbingan, nasehat, motivasi, bantuan, dan doa yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini seperti yang penulis cita-citakan.


(6)

KATA PENGANTAR

QqqqqqqSegala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah dan inayahNya kepada penyusun sehingga mampu menyusun skripsi dengan judul “Hubungan Kepala Desa Dengan Badan Permusyawaratan Desa Dalam Pembentukan Peraturan Desa Di Desa Bangunjiwo Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul” untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan tak lupa penyusun haturkan sholawat serta salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, sang inspirator sejati dan manusia suci yang merupakan makhluk Ilahi yang sempurna dan pemimpin alam semesta. Manusia suci yang telah membawa kita sekalian dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang dengan naungan Ilahi dan kesucian ilmu pengetahuan.

qqqqqqqSelesainya skripsi ini berkat bantuan serta bimbingan yang tulus dan ikhlas dari beberapa pihak. Dengan tidak mengurangi rasa hormat dan terima kasih, secara khusus penyusun menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Gunawan Budiyanto, M.P., selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.


(7)

2. Bapak Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

3. Bapak Bagus Sarnawa, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan bimbingan dan petunjuk dalam menyusun skripsi ini. 4. Bapak Sunarno, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah

membantu dengan teliti dan penuh kesabaran dalam menyusun skripsi ini. 5. Bapak Beni Hidayat, S.H., M.Hum., selaku Ketua Penguji yang telah

meluangkan waktu untuk membaca skrisi saya, memberikan masukan dan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sangat bermanfaat bagi saya untuk membangun dasar keilmuan dan perbaikan yang lebih baik dalam menulis laporan penelitian.

6. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh Karyawan dan Karyawati di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

7. Penjaga Laboratorium Hukum dan Perpustakaan Pusat UMY, terima kasih atas pelayananya selama ini, sehingga saya dapat menemukan buku-buku untuk penelitian ini.

8. Bapak Ibu Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta terima kasih atas segala bantuan yang diberikan kepada penulis. 9. Terkhusus untuk kedua orang tua, Bapak (Sumadi) dan Ibuk (Harwinarti)

yang tidak pernah lelah mendidik penulis dari lahir hingga sekarang dan selalu berusaha, menasehati dan membimbing untuk mengantarkan penulis menuju kesuksesan, belum banyak yang bisa penulis lakukan untuk mebahagiakan


(8)

Bapak dan Ibuk, semoga dengan skripsi dan gelar sarjana S1 ini mampu untuk memberikan sedikit kebahagiaan kepada Bapak dan Ibuk.

10.Untuk kakakku Anita Putri Kusumawati yang telah menjadi kebanggaan dan penyemangat untuk berusaha menjadi yang lebih baik.

11.Untuk keluarga di Cepu, Blitar, Surabaya, Maospati, Magetan, keluarga Bude Hariyati, Bude Hartiningsih, Paklek Hartoyo, Paklek Hartono, dan Paklek Hariyanto terimakasih telah memberikan motivasi dan doa agar penulis lancar dalam menyelesaikan pendidikan ini.

12.Kepada Yusmanita Affifah Nur S.H, terimakasih yang tak terhingga karena sudah menemani, memberikan semangat, kebahagiaan, dan berusaha selalu membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

13.Untuk Sahabat-sahabatku kelas I FH UMY terimakasih atas bantuan, dukungan, dan semua kenangan kita selama menempuh pendidikan di Ilmu Hukum ini, semoga persahabatan kita akan tetap terjaga sampai tua kelak. 14.Untuk Para sahabat di Petita FH UMY , Badan Eksekutif Mahasiswa periode

2014, Sahabat Kos Putra Sawojajar, dan Sahabat Futsal Tim FH UMY terima kasih untuk semua pengalaman, kerja sama, persahabatan dan ilmu yang diberikan kepada penulis kalian sudah seperti keluarga saya selama tinggal di Jogja, tetap jaga kekeluargaan dan kekompakaan kalian.

15.Teman-teman KKN kelompok 019 2017 unit Jelapan, Roby, Dany, Kukuh, Try, Andi, Mufid, Firtya, Evi, Sulis, terimakasih atas kerjasamanya selama KKN.


(9)

16.Teman-teman Ilmu Hukum angkatan 2013 yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang menjadi rekan kuliah selama menempuh pendidikan dan bersama-sama berjuang meraih gelar S1.

17.Terimakasih kepada Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, almamater penulis yang telah memberikan banyak ilmu dan pengetahuan selama menempuh pendidikan Strata 1 (S1).

Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini, itu semua karena keterbatasan kemampuan yang penulis miliki dalam mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan data. Untuk itu penulis minta maaf atas segala kekurangan dalam penulisan skripsi ini, apabila ada segala masukan dalam bentuk kritik dan saran yang sifatnya membangun senantiasa penyusun harapkan demi kesempurnaan skripsi ini.

Demikianlah Kata Pengantar yang dapat penulis sampaikan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi almamater, agama, nusa dan bangsa. Amin.

Yogyakarta, 25 Maret 2017 Penulis


(10)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Persetujuan ... ii

Halaman Pengesahan ... iii

Surat Pernyataan... iv

Halaman Motto... v

Halaman Persembahan ... vi

Kata Pengantar ... vii

Daftar Isi... xi

Daftar Tabel ... xiv

Daftar Gambar ... xii

Abstrak ... xv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II : A. TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DESA DAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA 1. Pengertian Desa ... 17

2. Pengertian Kepala Desa ... 22


(11)

4. Jenis Peraturan Desa ... 34

B. TINJAUAN TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA 1. Pengertian Badan Permusyawaratan Desa ... 36

2. Mekanisme Pembentukan Badan Permusyawaratan Desa.. 38

3. Fungsi, dan Kewenangan Badan Permusyawaratan Desa... 39

4. Hak dan Kewajiban Badan Permusyawaratan Desa ... 40

BAB III : METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 42

B. Lokasi Penelitian ... 43

C. Sumber Data Penelitian ... 43

D. Metode Pengumpulan Data ... 45

E. Metode Analisis Data ... 47

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Pelaksanaan Hubungan Kepala Desa dengan BPD dalam Pembentukan Peraturan Desa di Desa Bangunjiwo.. 48

B. Faktor-faktor yang menghambat Hubungan Kepala Desa dengan BPD dalam Pembentukan Peraturan Desa di Desa Bangunjiwo ... 64


(12)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 69 B. Saran ... 71 DAFTAR PUSTAKA


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Struktur Pemerintahan Desa ... 52

Tabel 4.2 Pendidikan ... 52

Tabel 4.3 Kesehatan ... 53

Tabel 4.4 Keagamaan ... 54

DAFTAR GAMBAR Gambar 4.1 Peta Desa Bangunjiwo ... 50


(14)

(15)

ABSTRAK

Desa adalah suatu wilayah yang ditinggali oleh sejumlah orang yang saling mengenal, hidup bergotong royong, memiliki adat istiadatnya yang relatif sama, dan mempunyai tata caranya sendiri dalam mengatur kehidupan kemasyarakatannya. Sebagian besar penduduknya mencari penghidupan sebagai petani baik sawah ataupun kebun. Desa dihuni oleh masyarakat yang hidup dalam satu budaya yang relatif homogen. Masyarakat desa terikat oleh kesamaan dan kesatuan sistem nilai sosial-budaya. Mereka bermasyarakat secara rukun dan guyub. Karena itu, mereka disebut masyarakat paguyuban (gemeinschaft). Dalam pemerintahan desa, penyelenggaran pemerintahan desa dilakukan oleh pemerintah desa dan Badan Pemusyawaratan Desa. Pemerintah Desa merupakan unsur pimpinan penyelenggaraan pemerintahan desa, sedangkan Badan Permusyawaratan Desa berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Jadi, dalam penyelenggaraan pemerintahan desa terdapat dua lembaga yaitu Pemerintah Desa dan BPD. Pemerintah berfungsi menyelenggarakan kebijakan pemerintah atasnya dan kebijakan desa, sedangkan BPD berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Melihat BPD sebagai mitra kerja dari Kepala Desa, maka hubungan kedua lembaga tersebut tidak dapat dipisahkan dan dalam menjalankan kinerjanya Kepala Desa dan Badan Pemusyawaratan Desa harus berdasarkan Peraturan Daerah yang telah ditentukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota.

Metode penelitian yang penulis gunakan adalah Empiris serta yuridis sosiologis, yaitu dimana proses penyelidikannya meninjau dan membahas obyek dengan menitik beratkan pada kenyataan di lapangan serta aspek-aspek yuridis. Penulis juga melakukan penelitian lapangan untuk menghimpun dan mengkaji data dan fakta hukum yang kongrit yang diperoleh dilokasi penelitian. Penelitian hukum empiris dengan model penelitian yuridis sosiologis mempunyai objek kajian mengenai perilaku masyarakat. Perilaku masyarakat yang dikaji adalah perilaku yang timbul akibat berinteraksi dengan sistem norma yang ada. Interaksi itu muncul sebagai bentuk reaksi masyarakat atas diterapkannya sebuah ketentuan perundangan positif dan bisa pula dilihat dari perilaku masyarakat sebagai bentuk aksi dalam memengaruhi pembentukan sebuah ketentuan hukum positif,

dihubungkan dengan pendekatan kualitatif dilakukan dengan mewawancarai instansi pemerintah terkait yang dapat membantu memecahkanpermasalahan dalam skripsi ini. Hasil yang penulis dapat dari penelitian skripsi ini mengatakan bahwa Hubungan Kepala Desa dengan BPD Desa Bangunjiwo dalam menjalankan tugasnya yaitu pembentukan Peraturan Desa selama ini sudah berjalan dengan baik terbukti dalam pembuatan peraturan desa BPD selalu dilibatkan oleh pemerintah desa. Meskipun terkadang terdapat kendala dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah desa maupun BPD desa bangunjiwo dalam menyelesaikan masalah tersebut dengan cara musyawarah.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia yang lahir pada 17 Agustus 1945 adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Penyelenggaraan pemerintahan daerah Indonesia terdiri atas beberapa daerah/ wilayah provinsi dan setiap daerah/ wilayah provinsi terdiri atas beberapa daerah kabupaten/ kota. Selanjutnya di dalam tiap daerah kabupaten/ kota terdapat suatu pemerintahan terendah yang di sebut Desa dan Kelurahan. Dengan demikian, Desa dan Kelurahan adalah satuan pemerintahan terendah di bawah pemerintah Kabupaten/ Kota.

Desa dan Kelurahan adalah dua kesatuan pemerintahan terendah dengan status berbeda. Desa adalah suatu pemerintahan yang diberi hak otonomi adat sehingga merupakan badan hukum sedangkan Kelurahan adalah satuan pemerintahan administrasi yang hanya merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah Kabupaten/ Kota. Jadi, Kelurahan bukan badan hukum melainkan hanya sebagai tempat beroperasinya pemerintahan dari pemerintah Kabupaten/ Kota diwilayah Kelurahan setempat. Sedangkan Desa adalah wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai kesatuan masyarakat hukum (adat) yang berhak mengatur dan mengurus urusan masyarakat setempat berdasarkan asal-usulnya.1

Desa adalah suatu wilayah yang ditinggali oleh sejumlah orang yang saling mengenal, hidup bergotong royong, memiliki adat istiadatnya yang relatif

1

Hanif Nurcholis, 2011, Pertumbuhan & Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Jakarta, Erlangga, hlm 1.


(17)

sama, dan mempunyai tata caranya sendiri dalam mengatur kehidupan kemasyarakatannya. Sebagian mata pencahariannya adalah bertani atau nelayan. Pada desa daratan sebagian besar penduduknya mencari penghidupan sebagai petani baik sawah ataupun kebun, sedangkan pada desa pesisir sebagian besar penduduknya mencari penghidupan sebagai nelayan.

Desa dihuni oleh masyarakat yang hidup dalam satu budaya yang relatif homogen. Masyarakat desa terikat oleh kesamaan dan kesatuan sistem nilai sosial-budaya. Mereka bermasyarakat secara rukun dan guyub. Karena itu, mereka disebut masyarakat paguyuban (gemeinschaft).2

Desa sejak kemerdekaan Republik ini sampai sekarang, hanyalah dipandang sebagai bagian terkecil dari wilayah negara. Namun sejatinya desa adalah bagian vital yang tidak dapat dipisahkan dalam hierarki struktur bernegara. Karena pada hakikatnya tidak akan ada suatu negara tanpa memiliki bagian-bagian terkecil yang dalam konteks negara Indonesia, biasa disebut dengan Desa. Sebagaimana pendapat Aristoteles yang penulis kutip dari buku pembentukan peraturan desa partisipatif mengatakan bahwa negara adalah persekutuan dari pada keluarga dan desa, guna memperoleh hidup yang sebaik-baiknya dengan logika bahwa negara itu diawali dari manusia, manusia itu kemudian membentuk keluarga, masing-masing keluarga itu bersatu dan membentuk desa, desa-desa yang ditinggali keluarga kemudian membentuk kata negara polis dalam bahasa Yunani, dengan tujuan untuk dapat mempertahankan diri dari serangan musuh.

2


(18)

Sehingga dalam tafsir yang sama istilah negara, atau dengan kata lain dapat pula diartikan bahwa desa adalah cikal bakal atau asal mula negara.

Konsep desa sebagai entitas sosial sangatlah beragam, yaitu sesuai dengan unsur dan sudut pandang yang hendak digunakan dalam melihat desa. Sebutan desa dapat berupa konsep tanpa makna politik, namun juga dapat berarti suatu posisi politik dan sekaligus kualitas posisi dihadapan pihak atau kesatuan lain. Secara etimologis istilah desa berasal dari kata swadesi bahasa sansekerta yang berarti wilayah, tempat atau bagian yang mandiri dan otonom.3

Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 antara lain menyatakan bahwa pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Dalam penjelasan tersebut, antara lain dikemukakan bahwa “oleh karena Negara Indonesia itu suatu

eenheidsstaat, maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah dalam

lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (Streek en locale rechtgemeen-schappen) atau bersifat administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang”. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan Badan Perwakilan Daerah. Oleh karena itu, di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas permusyawaratan.4

Pasal 18 angka (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan Negara Kesatuan Republik Indonesia di bagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah

3

Moh. Fadli, Jazim, Mustafa, 2013, Pembentukan Peraturan Desa Partisipatif, Malang, Universitas Brawijaya Press, hlm. 3.

4

Haw. Widjaja, 2014, Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli Bulat Dan Utuh, Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 1.


(19)

provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-Undang. Pasal 18 angka (2) Undang-Undang Dasar 1945 Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.5

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Desa dibedakan dengan Kelurahan. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui negara sedangkan Kelurahan adalah satuan administrasi pemerintahan di bawah kecamatan yang merupakan wilayah pelayanan administrasi dari Kabupaten/ Kota.

Desa yang di dalamnya terdapat kesatuan masyarakat tersebut kemudian di legalkan melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang disebut sebagai kesatuan masyarakat hukum (adat). Adapun kelurahan bukan merupakan kesatuan masyarakat hukum karena UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak melegalkan kesatuan masyarakat hukum. Kelurahan hanyalah wilayah pelayanan pejabat yaitu lurah, yang diberi tugas oleh Bupati/Walikota di bawah koordinasi camat.6

Ketentuan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, dalam pertimbangan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dikatakan, bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah

5

Sarman, Mohammad, 2011, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Jakarta, PT Rineka Cipta, hlm. 3.

6


(20)

sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara7. Jika tata pemerintahan yang di selenggarakan mengabaikan nilai-nilai diatas maka dapat dikatakan bahwa tata pemerintahan tersebut kurang baik.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terdapat ketentuan pemerintahan Desa sebagai satu kesatuan, ditinjau dari politik pemerintahan, memasukkan pemerintah desa dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mempunyai makna penting sebab sebagai salah satu bentuk pemerintahan desa, desa sudah semestinya mendapatkan

7


(21)

segala status dan kedudukan, beserta berbagai unsur pemerintahan daerah seperti propinsi, kabupaten, atau kota.8

Penyelenggaran pemerintahan desa dilakukan oleh pemerintah desa dan Badan Pemusyawaratan Desa (BPD). Pemerintahan desa adalah organisasi pemerintahan desa yang terdiri atas :

a. Unsur pimpinan, yaitu kepala desa.

b. Unsur pembantu kepala desa, yang terdiri atas :

1) Sekretariat desa, yaitu unsur staf atau pelayanan yang diketuai oleh sekretaris desa.

2) Unsur pelaksana teknis, yaitu unsur pembantu kepala desa yang melaksanakan urusan teknis dilapangan seperti urusan pengairan, keagamaan, dan lain-lain

3) Unsur kewilayahan, yaitu pembantu kepala desa diwilayah kerjanya seperti kepala dusun.9

Badan Permusyawaratan Desa berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Jadi, dalam penyelenggaraan pemerintahan desa terdapat dua lembaga: Pemerintah Desa dan BPD. Pemerintah berfungsi menyelenggarakan kebijakan pemerintah atasnya dan kebijakan desa, sedangkan BPD berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Atas fungsi tersebut BPD mempunyai wewenang:

8

Bagir Manan, 2005, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hlm. 6.

9


(22)

a. Membahas rancangan peraturan desa bersama kepala desa

b. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa

c. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala desa d. Membentuk panitia pemilihan kepala desa

e. Menggali, menampung, menghimpun, merumuskan, dan menyalurkan aspirasi masyarakat, dan

f. Menyusun tata tertib BPD10

BPD sebagai mitra kerja dari Kepala Desa, maka hubungan kedua lembaga tersebut tidak dapat dipisahkan dan dalam menjalankan kinerjanya Kepala Desa dan Badan Pemusyawaratan Desa harus berdasarkan Peraturan Daerah yang telah ditentukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana hubungan antara Kepala Desa dengan BPD dalam pembentukan Peraturan Desa di Desa Bangunjiwo Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul?

2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam kordinasi antara Kepala Desa dengan BPD dalam pembentukan Peraturan Desa di Desa Bangunjiwo Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul?

C.Tujuan Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk:

10


(23)

1.Untuk mengetahui hubungan Kepala Desa dengan BPD dalam pembentukan Peraturan Desa di Desa Bangunjiwo Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul.

2.Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam kordinasi antara Kepala Desa dengan BPD dalam pembentukan Peraturan Desa di Desa Bangunjiwo Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul.

D.Manfaat Penulisan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi yang bermanfaat, baik teoritis maupun praktis. Adapun manfaat-manfaat tersebut antara lain:

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian dari penyusunan penulisan hukum ini penulis berharap dapat menambah wawasan dan berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan Ilmu Hukum Adminstrasi Negara pada khususnya.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan bacaan di bidang Hukum Administrasi Negara khususnya mengenai Hubungan Kepala Desa dengan Badan Pemusyawaratan Desa dalam pembentukan Peraturan Desa di Desa Bangunjiwo Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul.

2. Manfaat Praktis


(24)

b. Sebagai suatu sarana untuk menambah wawasan bagi para pembaca mengenai Hubungan Kepala Desa dengan Badan Pemusyawaratan Desa dalam pembentukan Peraturan Desa di Desa Bangunjiwo Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul.

c. Untuk memberikan tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait dan sebagai bahan informasi dalam kaitannya yang menyangkut masalah ini.


(25)

BAB II

A. TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DESA DAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

Perkataan “desa” berasal dari bahasa sanskerta “desi” yang berarti tanah asal, tanah kelahiran.1

Desa juga suatu wilayah atau daerah tempat tinggal bersama suatu komunitas sosial yang secara sosiologis terbentuk oleh dorongan faktor-faktor seperti sifat-sifat kodrati manusia sebagai makhluk sosial, faktor psikologis, faktor ekobiologis, faktor kepentingan bersama dan faktor keamanan.2

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa menyebutkan bahwa Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa menyebutkan bahwa Pemerintahan Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu Perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.3

Pasal 202 UU Nomor 32 Tahun 2004 mengatakan, (1) Pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. (2) Perangkat desa terdiri dari

1

Soetardjo Karto Hadi Koesoemo, 2000, Desa, Bandung, Sumur, hlm. 1. 2

Sayogya, 2002, Sosiologi Pedesaan, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, hlm 13. 3


(26)

sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. (3) Sekretaris desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diisi dari Pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. Penjelasan Pasal 202 UU Nomor 32 Tahun 2004 ini menyatakan dalam, Ayat (1) Desa yang dimaksud dalam ketentuan ini termasuk antara lain Nagari di Sumatera Barat, Gampong di provinsi NAD, Lembang di Sulawesi Selatan, Kampung di Kalimantan Selatan dan Papua, Negeri di Maluku. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “Perangkat Desa Lainnya” dalam ketentuan ini adalah perangkat pembantu Kepala Desa yang terdiri dari Sekretariat Desa, pelaksana teknis lapangan seperti kepala urusan, dan unsur kewilayahan seperti kepala dusun atau dengan sebutan lain. Ayat (3) Seekretaris Desa yang ada selama ini yang bukan Pegawai Negeri Sipil secara bertahap diangkat menjadi pegawai negeri sipil sesuai peraturan perundang-undangan.4

Peraturan Desa Bangunjiwo Nomor 3 Tahun 2016 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Pemerintah Desa Bangunjiwo, Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.5

Pemerintah Desa adalah penyelenggara urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat.

4

Sarman, Mohammad, Op. Cit, hlm. 287-288. 5

Peraturan Desa Bangunjiwo Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Pemerintah Desa Bangunjiwo


(27)

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup:

a.Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa. b.Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang

diserahkan pengaturannya kepada desa.

c.Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota, dan

d.Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa. (Pasal 7 PP Nomor. 72 Tahun 2005 tentang Desa).

Melaksanakan ketentuan pada Pasal 7 tersebut di atas, khususnya huruf b, terbit Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyerahan Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota Kepada Desa.

Urusan pemerintahan yang akan diserahkan pengaturannya kepada desa berdasarkan Permendagri No. 30 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyerahan Urusan Pemerintahan KabupatenKota Kepada Desa, harus didasarkan kepada hasil pengkajian dan evaluasi dengan pertimbangan aspek geografis, kemampuan personil, kemampuan keuangan, efisiensi dan efektivitas. Penyerahan urusan pemerintahan tersebut ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, yang selanjutnya Pemerintahan Desa bersama BPD melakukan evaluasi untuk menetapkan urusan pemerintahan yang dapat dilaksanakan di Desa, dan kesiapan


(28)

Pemerintah Desa ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa atas persetujuan Pimpinan BPD.

Berdasarkan keputusan Kepala Desa tersebut, Bupati/Walikota menetapkan Peraturan Bupati/Walikota tentang penyerahan urusan pemerintahan Kabupaten/Kota kepada Desa. Penyerahan tersebut dilaksanakan secara nyata dan serentak dan disaksikan oleh Camat serta seluruh Kepala Badan/Dinas/Kantor.

Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menambah penyerahan urusan pemerintahan Kabupaten/Kota kepada Desa atas permintaan Pemerintah Desa. Apabila pelaksanaan urusan pemerintahan yang telah diserahkan oleh Kabupaten/Kota kepada Desa dalam kurun waktu 2 (dua) tahun tidak berjalan secara efektif, Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menarik sebagian atau seluruh urusan pemerintahan yang telah diserahkan. Tata cara penarikan atau penambahan diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan dalam Peraturan tersebut sekurang-kurangnya memuat tentang (a) kriteria pelaksanaan urusan pemerintahan, (b) mekanisme penambahan urusan pemerintahan, dan (c) mekanisme penarikan urusan pemerintahan.

Pelaksanaan urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota yang diserahkan kepada Desa dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota yang dapat diserahkan pengaturannya kepada Desa meliputi :

1) Bidang Pertanian dan Ketahanan Pangan.


(29)

3) Bidang Kehutanan dan Perkebunan. 4) Bidang Perindustrian dan Perdagangan.

5) Bidang Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. 6) Bidang Penanaman Modal.

7) Bidang Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 8) Bidang Kesehatan.

9) Bidang Pendidikan dan Kebudayaan. 10) Bidang Sosial.

11) Bidang Penataan Ruang.

12) Bidang Pemukiman/Perumahan. 13) Bidang Pekerjaan Umum. 14) Bidang Perhubungan. 15) Bidang Lingkungan Hidup.

16) Bidang Politik Dalam Negeri dan Administrasi Publik. 17) Bidang Otonomi Desa.

18) Bidang Perimbangan Keuangan. 19) Bidang Tugas Pembantuan. 20) Bidang Pariwisata.

21) Bidang Pertahanan.

22) Bidang Kependudukan dan Catatan Sipil.

23) Bidang Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat dan Pemerintahan Umum.


(30)

25) Bidang Penerangan/Informasi dan Komunikasi.

26) Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 27) Bidang Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. 28) Bidang Pemuda dan Olahraga.

29) Bidang Pemberdayaan Masyarakat Desa. 30) Bidang Statistik.

31) Bidang Arsip dan Perpustakaan6

Dinamika masyarakat pada tingkat desa dapat terwadahi dalam tiga institusi/lembaga utama sebagai berikut :

1. Pemerintah Desa sebagai unsur pelaksana berbagai program pembangunan, pelayanan, pembinaan dan pemberdayaan masyarakatnya.

2. Badan Perwakilan Desa sebagai lembaga legislatif desa yang berfungsi menampung, menyalurkan serta mewujudkan aspirasi dan kepentingan masyarakatnya dalam penetapan kebijakan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah desa.

3. Lembaga Kemasyarakatan Desa seperti LKMD, karang taruna, PKK dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya sebagai mitra pemerintah desa dalam upaya mewujudkan pemberdayaan masyarakat dan untuk mengakomodasikan aspirasi kebutuhan dan tuntutan masyarakat dalam bidang pembangunan, pelayanan pemerintahanan serta dalam rangka menumbuhkembangkan partisipasi dan semangat gotong royong warganya.

6

Bambang Trisantono Soemantri, 2011, Pedoman Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Bandung, Fokusmedia, Hlm. 4-6.


(31)

Ketiga institusi ini diharapkan bersinergi untuk mewujudkan, mempercepat dan memperkuat implementasi otonomi desa dan memfasilitasi pemberdayaan masyarakat sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing yang secara tegas dan jelas telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Setiap desa memiliki potensi yang khas, berbeda dengan desa lainnya, demikian pula aspirasi dan karakter masyarakatnya. Oleh sebab itu, pembangunan di desa memang sudah sepatutnya lebih banyak ditentukan oleh masyarakat desa sendiri.

Kedudukan pemerintahan desa yang telah diberi kewenangan penuh untuk memberdayakan masyarakatnya sudah tentu harus mempunyai kemampuan untuk mengurus rumah tangganya sendiri dengan lebih mengedepankan hak-hak masyarakat.

Dengan demikian, kedudukan kepala desa lebih merupakan wakil dari pemerintah desa dan masyarakat desa itu sendiri ketimbang sebagai wakil pemerintah pusat, pemerintah propinsi atau pemerintah kabupaten. Sebagai konsekuensinya, kepala desa tidak lagi mempertanggungjawabkan penelanggaran Pemerintahan desa kepada bupati melainkan kepada masyarakat melalui Badan Perwakilan Desa.

Kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa untuk bekerja lebih tekun dan lebih keras lagi dalam rangka mewujudkan Otonomi Desa dengan senantiasa menjalin kerja sama dan hubungan yang harmonis dalam melaksankan tugas di


(32)

desa, karena dalam Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan mengenai Desa dinyatakan bahwa hubungan antara Pemerintah Desa dengan Badan Perwakilan Desa adalah sejajar sebagai dan sebagai mitra, bahkan dijelaskan pula bahwa Badan Perwakilan desa dan Pemerintah Desa merupakan Lembaga Pemerintah Desa.

Ini berarti kedua lembaga ini, di samping memiliki tugas pokok masing-masing, secara bersama-sama akan mengemban tugas yang berat terutama dalam melaksanakan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam wilayah desanya masing-masing.7

1. Pengertian Desa

Secara maknawi pengertian desa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem pemerintahan sendiri.

Secara sosiologis, definisi desa digambarkan sebagai bentuk kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan yang saling mengenal.

Perspektif antropologis melihat desa sebagai suatu kumpulan manusia atau komuniti dengan latar suatu lingkungan atau geografis tertentu yang memiliki corak kebiasaan, adat istiadat dan budaya dalam kehidupannya, adanya upaya eksistensi hidup dan nilai estetika yang dimiliki mendorong adanya perbedaan karakter dan corak budaya yang dimiliki antara satu desa dengan desa lainnya, baik antara desa pesisir dengan desa di pegunungan atau di desa pedalaman.

7


(33)

Desa secara historis merupakan embrio bagi terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia.

Perspektif ekonomi memotret desa sebagai komunitas masyarakat yang memiliki model produksi yang khas dan merupakan lumbung bahan mentah (raw material) dan sumber tenaga kerja (man power).

Desa secara pespektif yuridis-politis, yang penulis intodusir dari berbagai sumber bahwa desa seingkali dipandang sebagai suatu pemerintahan terendah di Indonesia atau kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai identitas, entitas yang berbeda-beda dan memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan NKRI.8

Dalam hal Pengertian Desa, pendapat para ahli dalam mendefinisikan tentang Desa berbeda-beda seperti yang dikemukakan oleh R.Bintaro yang dikutip dari buku Hanif Nurcholis, Desa adalah suatu perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografis sosial ekonomis, politis, dan kultural yang terdapat di situ dalam hubungan dan pengaruh timbal balik dengan daerah-daerah lain.

Menurut P.J. Bournen yang dikutip dari buku Hanif Nurcholis mengatakan tentang Desa ialah salah satu bentuk kuno dari kehidupan bersama sebanyak beberapa ribu orang, hampir semuanya saling mengenal kebanyakan yang termasuk di dalamnya hidup dari pertanian, perikanan, dan sebagainya

8


(34)

usaha-usaha yang dapat dipengaruhi oleh hukum dan kehendak alam. Dan tempat tinggal itu terdapat banyak ikatan-ikatan keluarga yang rapat, ketaatan, dan kaidah-kaidah sosial.

Menurut I.Nyoman Beratha yang dikutip dari buku Hanif Nurcholis mengatakan tentang Desa ialah Desa atau dengan nama aslinya yang setingkat yang merupakan kesatuan masyarakat hukum berdasarkan susunan asli adalah suatu “badan hukum” dan adalah pula “Badan Pemerintahan”, yang merupakan bagian wilayah kecamatan atau wilayah yang melingkunginya.

Menurut R.H. Unang Soenardjo yang dikutip dari buku Hanif Nurcholis mengatakan tentang Desa ialah suatu kesatuan masyarakat berdasarkan adat dan hukum adat yang menetap dalam suatu wilayah yang tertentu batas-batasnya memiliki ikatan lahir dan batin yang sangat kuat, baik karena seketurunan maupun karena sama-sama memiliki kepentingan politik, ekonomi, sosial dan keamanan memiliki susunan pengurus yang dipilih bersama memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu dan berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri9

Dalam hal Pengertian Desa yang dikutip dari buku HAW.Widjaja, Desa adalah suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa10

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa menyebutkan bahwa Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan

9

Hanif Nurcholis Op. Cit, hlm. 4. 10


(35)

pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.11

Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berkaitan dengan angka 10 Desa dikatakan Desa berdasarkan Undang-Undang ini adalah desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yuridiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Kabupaten/Kota, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Undang-undang ini mengakui otonomi yang dimiliki oleh desa ataupun dengan sebutan lainnya dan kepada desa melalui pemerintah desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu12

Menurut Peraturan Desa Bangunjiwo Nomor 3 Tahun 2016 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Pemerintah Desa Bangunjiwo, Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat

11

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa 12


(36)

berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berada di Kabupaten Bantul.13

Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Desa adalah suatu wilayah yang didiami oleh sejumlah penduduk yang saling mengenal atas dasar hubungan kekerabatan dan/atau kepentingan politik, sosial, ekonomi, dan keamanan yang dalam pertumbuhannya menjadi kesatuan masyarakat hukum berdasarkan adat sehingga tercipta ikatan lahir dan batin antara masing-masing warganya, umumnya warganya hidup dari pertanian, mempunyai hak mengatur rumah tangga sendiri, dan secara administratif berada di bawah pemerintahan kabupaten/kota.

Muatan Materi Peraturan Desa

1. Muatan materi yang tertuang dalam Peraturan Desa antara lain: a. Menetapkan ketentuan-ketentuan yang bersifat mengatur

b. Menetapkan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan masyarakat desa

c. Menetapkan segala sesuatu yang membebani keuangan desa dan masyarakat desa

2. Materi peraturan desa dapat memuat masalah-masalah yang berkembang di desa yang perlu pengaturannya.

3. Semua materi peraturan desa tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.14

13

Peraturan Desa Bangunjiwo Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Pemerintah Desa Bangunjiwo


(37)

2. Pengertian Kepala Desa

Pimpinan yang berwenang dalam pemerintahan desa ialah Kepala Desa atau dengan istilah adat dengan sebutan Lurah, Kuwu, Bekel, Petinggi (Jawa Tengah) Mandor, Lembur, Kekolot (Jawa Barat, Banten) Kejuron, Pengulu Suku, Keucik, Pentua (Gayo, Alas, Aceh) Pengulu Andiko (Sumatera Barat) Penyimbang, Kepala Marga (Sumatera Selatan) Orang Kaya, Kepala Desa (Hitu, Ambon) Raja Penusunan (Sekitar Danau Toba) Kesair Pengulu (Karo Batak) Parek, Klian (Bali) Marsaoleh (Gorontalo) Komelaho (Kalimantan Selatan).

Biasanya masing-masing masyarakat desa itu sesuai dengan riwayat asal terjadinya, mempunyai kepribadian serta sesuatu spesifik yang tak terdapat dilain tempat. Begitu pula masing-masing tetua desa tentu dapat menceritakan asal mula terjadinya masyarakat desa yang bersangkutan. Serta siapa yang mula pertama yang membangun desanya tersebut (cikal bakal/danyang desa). Riwayat mana mempunyai arti magisreligius tersendiri biasanya diwujudkan dalam benda-benda pusaka, batu, pohon tua, patilasan-patilasan dan sebagainya.15

Menurut pendapat Bayu Suriningrat, Kepala Desa adalah penguasa tunggal di dalam pemerintahan desa, bersama-sama dengan pembantunya dan ia merupakan pamong desa dalam pelaksanaan penyelenggaraan urusan rumah tangga desa, disamping itu dia menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan.16

Menurut Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Kepala Desa/Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain merupakan kepala

14

Haw. Widjaja, Op. Cit, hlm. 96 15

Sumber Saparin, 1986, Tata Pemerintahan Dan Administrasi Pemerintahan Desa, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm. 30.

16

Suwani, Jurnal : “Peran Kepala Desa Dalam Pembangunan Masyarakat Di Desa Ngayau Kecamatan Muara Bengkal Kabupaten Kutai Timur, hlm. 2237.


(38)

Pemerintahan Desa/Desa Adat yang memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Kepala Desa/Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain mempunyai peran penting dalam kedudukannya sebagai kepanjangan tangan negara yang dekat dengan masyarakat dan sebagai pemimpin masyarakat.17

Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Kepala Desa adalah penguasa tunggal di dalam pemerintahan desa ia mempunyai peran penting dalam kedudukannya sebagai kepanjangan tangan negara yang dekat dengan masyarakat dan sebagai pemimpin masyarakat, dalam melaksanakan penyelenggaran Pemerintahan Desa ia dibantu oleh Pamong Desa.

Pasal 203 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menyatakan, (1) Kepala desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1) dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa warga negara Repablik Indonesia yang syarat selanjutnya dan tata cara pemilihannya diatur dengan Perda yang berpedoman kepada Peraturan Pemerintah. (2) Calon kepala desa yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan kepala desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan sebagai kepala desa. (3) Pemilihan kepala desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam Perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

Masa jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun, dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Kepala desa terpilih dilantik oleh Bupati/Walikota paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah

17


(39)

pemilihan. Sebelum memangku jabatannya, kepala desa mengucapkan sumpah/janji.18

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan dalam Pasal 101 bahwa tugas dan kewajiban kepala desa adalah:

1. Memimpin penyelenggara pemerintah desa. 2. Membina kehidupan masyarakat desa. 3. Membina perekonomian desa.

4. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat desa. 5. Mendamaikan perselisihan masyarakat desa.

6. Mewakili desanya di dalam dan di luar peradilan dan dapat menunjuk kuasa hukumnya.

7. Mengajukan Perencanaan Peraturan Desa dan bersama BPD menetapkan Peraturan Desa (PERDES).

8. Menjaga kelestarian adat istiadat yang hidup dan berkembang di desa yang bersangkutan19

3. Pengertian Peraturan Desa

Dalam rangka untuk meningkatkan kelancaran dalam penyelengaraan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan

18

Sarman, Mohammad, Op. Cit, hlm. 288. 19


(40)

perkembangan dan tuntutan reformasi serta dalam rangka mengimplemantisikan pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 63 Tahun 1999 tentang Pencabutan beberapa Peraturan Menteri Dalam Negeri, Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Instruksi Menteri Dalam Negeri mengenai Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, hal-hal yang berkaitan dengan peraturan desa perlu ditinjau kembali untuk disesuaikan. Selanjutnya yang dimaksud dengan Peraturan Desa adalah semua peraturan desa yang ditetapkan oleh kepala desa setelah dimusyawarahkan dan telah mendapatkan persetujuan Badan Perwakilan Desa.

Agar peraturan desa benar-benar mencerminkan hasil permusyawaratan dan pemufakatan antara pemerintahan desa dengan Badan Perwakilan Desa, maka diperlukan pengaturan yang meliputi syarat-syarat dan tata cara pengambian keputusan bentuk peraturan desa, tata cara pengesahan, pelaksanaan dan pengawasan serta hal-hal lain yang dapat menjamin terwujudnya demokrasi di desa.20

Menurut Peraturan Desa Bangunjiwo Nomor 3 Tahun 2016 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Pemerintah Desa Bangunjiwo, Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Lurah Desa setelah dibahas dan disepakati bersama BPD.21

Penyusunan dan Penetapan Peraturan Desa

20

Haw. Widjaja, Op. Cit, hlm. 94. 21

Peraturan Desa Bangunjiwo Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Pemerintah Desa Bangunjiwo


(41)

1. Rancangan Peraturan Desa disusun oleh Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa

2. Naskah Rancangan Peraturan Desa disampaikan kepada para anggota Badan Perwakilan Desa selambat-lambatnya 3 (tiga) hari atau tiga kali 24 jam sebelum Rapat Badan Perwakilan Desa melaksanakan untuk menetapkan Peraturan Desa.

3. Dalam menyusun Rancangan Peraturan Desa, Pemerintah Desa dan/atau Badan Perwakilan Desa dapat menghadirkan lembaga kemasyarakatan di desa atau pihak-pihak terkait untuk memberikan masukan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan materi peraturan desa tersebut.

4. Dalam Rangka menetapkan peraturan desa, Badan Perwakilan Desa mengadakan rapat yang harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota Badan Perwakilan Desa dan dianggap tidak sah apabila jumlah Badan Perwakilan Desa yang hadir kurang dari ketentuan tersebut

5. Apabila rapat Badan Perwakilan Desa dinyatakan tidak sah, kepala desa dan Pimpinan Badan Perwakilan Desa menentukan waktu untuk mengadakan rapat berikutnya

6. Rapat Badan Perwakilan Desa dalam penetapan Peraturan Desa dapat dihadiri oleh lembaga kemasyarakatan dan pihak-pihak terkait sebagai peninjau 7. Pengambilan keputusan daalam penetapan peraturan desa dilaksanakan


(42)

8. Apabila dalam musyawarah mufakat tidak mendapatkan kesepakatan yang bulat, dapat diambil secara voting berdasarkan suara terbanyak

9. Persetujuan pengesahan terhadap rancangan peraturan desa menjadi peraturan desa dituangkan dalam Berita Acara Rapat Badan Perwakilan Desa

10.Peraturan desa yang telah mendapatkan persetujuan Badan Perwakilan Desa ditetapkan dan ditandatangani kepala desa dan Ketua Badan Perwakilan Desa 11.Peraturan desa yang telah ditetapkan tidak lagi memerlukan pengesahan dari

bupati tetapi wajib melaporkan kembali kepada bupati22

Pemerintah Desa dalam hal ini memiliki kedudukan sebagai tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum dibawahnya. Berdasarkan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia adalah :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia 3. Undang-Undang

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) 5. Peraturan Pemerintah

6. Keputusan Presiden 7. Peraturan Daerah

Pada ketentuan pasal 7 Ayat (7) disebutkan bahwa peraturan daerah yang merupakan produk hukum/peraturan yang paling bawah, dapat didefinisikan

22


(43)

sebagai peraturan untuk melaksanakan aturan hukum diatasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan. Peraturan Daerah dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Peraturan Daerah Propinsi

Peraturan Daerah yang disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi bersama gubernur.

2. Peraturan Daerah Kabupaten

Peraturan Daerah yang disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama dengan Bupati/walikota.

3. Peraturan Desa

Peraturan Desa yang dibuat pemerintah desa bersama Badan Perwakilan Desa yang tata cara pembuatan peraturan desa atau yang setingkat diatur oleh Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.23

Otonomi adalah kata benda yang berasal dari kata bahasa Yunani autonomia. Kata autonomia dibentuk dari kata sifat autonomos. Kata autonomos dibentuk dari dua kata yaitu auto yang berarti sendiri, dan nomos yang berarti hukum dan aturan. Dengan demikian, maka autonomos atau otonom memiliki makna berhukum sendiri atau mempunyai aturan sendiri. Otonom berarti suatu kondisi dimana kemerdekaan dan kebebasan hadir sebagai identitas.24

Otonomi secara harfiah adalah kewenangan mengurus diri sendiri. Kewenangan dapat dipahami sebagai hak legal secara penuh untuk bertindak,

23

Haw. Widjaja, Op. Cit, hlm. 95-96 24

Rooysalamony, Otonomi Desa , 01 Oktober 2012, m.kompasiana.com, diunduh pada 22 November 2016 jam 23:28 WIB


(44)

mengatur, dan mengelola urusan rumah tangga sendiri. Kewenangan juga merupakan instrumen administratif untuk mengelola berbagai urusan. Kewenangan desa adalah hak dan kekuasaan pemerintah desa dalam rangka otonomi desa, yang berarti desa mempunyai hak untuk mengatur dan mengurus kepentingan atau kebutuhan masyarakat desa sesuai kondisi dan sosial adat budaya lokal setempat. Kewenangan akan memperkuat posisi dan eksistensi subyek pemilik kewenangan itu untuk secara leluasa dan otonom dalam mengambil keputusan.

Otonomi desa adalah kemandirian desa. Kemandirian desa merupakan masalah internal desa, rumah tangganya sendiri, yakni kemampuan mengelola maupun membiayai pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan dengan bertumpu pada hasil sumber daya lokal, swadaya, dan gotong royong masyarakat. Swadaya masyarakat desa adalah kemampuan dan keberdayaan masyarakat desa sendiri untuk melakukan aktivitas dan mengatasi masalah mereka. Sedangkan gotong royong adalah solidaritas sosial dan bagian dari modal sosial untuk menyangga kehidupan mereka yang berkelanjutan.

Otonomi desa tidak bisa dilepaskan dari konteks hubungan pemerintahan antara desa dengan pemerintah tingkat atasnya, sebab desa menjadi bagian integral dari negara yang menjalankan sebuah kewajiban. Otonomi desa bukan hanya sekedar swadaya masyarakat, tetapi juga persoalan pemerataan dan keadilan hubungan antara pemerintah tingkat atas dengan desa. Khususnya pemerintah desa, mempunyai hak bila berhadapan dengan negara atau pemerintah


(45)

tingkat atasnya, sebaliknya pemerintah desa mempunyai kewajiban dan tanggung jawab kepada masyarakat desa.

Melampaui batas-batas lokalitas internal desa, otonomi desa mengandung prinsip keleluasaan mengatur diri sendiri, mempunyai hukum adat sendiri, dan kemampuan atau kapasitas sumber daya lokal. Keterpaduan antara keleluasaan dan kapasitas sumber daya lokal bakal melahirkan kemandirian desa, yakni dalam urusan pemerintahan, mengambil keputusan, dan mengelola berbagai sumber daya sesuai dengan preferensi yang diingini oleh masyarakat desa. Kemandirian merupakan kekuatan atau sebagai sebuah prakondisi yang memungkinkan proses peningkatan kualitas penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan desa, pengembangan prakarsa dan potensi lokal, pelayanan umum dan kualitas hidup masyarakat desa secara berkelanjutan.

Keleluasaan mengurus rumah tangga sendiri merupakan sebuah isu persoalan yang terus mengemuka dalam konteks hubungan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan desa. Ketika format hubungan pusat-daerah-desa bersifat sentralistik, hirarkis, organisatoris, dan birokratis, maka desa tidak mempunyai hak untuk secara leluasa mengatur dirinya sendiri. Keleluasaan juga tidak selalu muncul karena terjadi intervensi pusat kepada daerah, pusat kepada desa, dan daerah kepada desa, melalui berbagai kebijakan tentang pemerintahan desa. Hal itu ditambah dengan perubahan kebijakan dari masa ke masa selalu menempatkan desa sebagai obyek dari pemerintah tingkat atasnya.25

25

Azam Awang, 2010, Implementasi Pemberdayaan Pemerintah Desa, Pekanbaru, Pustaka Pelajar, hlm.76-78.


(46)

Otonomi desa merupakan otonomi yang asli, bulat dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknya pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki oleh desa tersebut.

Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan perbuatan hukum, baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda, serta dapat dituntut dan menuntut di muka pengadilan.

Sebagai wujud demokrasi, di desa dibentuk Badan Perwakilan Desa yang berfungsi sebagai lembaga Legislatif dan Pengawas terhadap pelaksanaan peraturan desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa serta Keputusan Kepala Desa. Untuk itu, kepala desa dengan persetujuan Badan Perwakilan Desa mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum dan mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan dengan pihak lain, menetapkan sumber-sumber pendapatan desa, menerima sumbangan dari pihak ketiga dan melakukan pinjaman desa. Kemudian berdasarkan hak atas asal-usul desa bersangkutan, kepala desa dapat mendamaikan perkara atau sengketa yang terjadi diantara warganya.

Dengan demikian, desa yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, merupakan transisi dari desa seragam yang diciptakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan sekaligus memberi landasan yang kuat bagi terwujudnya “Development

Community” dimana desa tidak lagi sebagai level administrasi atau bawahan


(47)

yaitu desa dan masyarakatnya berhak berbicara atas kepentingan masyarakat sendiri.

Namun harus selalu diingat bahwa tiada hak tanpa kewajiban, tiada kewenangan tanpa tanggung jawab dan tiada kebebasan tanpa batas. Oleh karenanya, dalam pelaksanaan hak, kewenangan dan kebebasan dalam penyelenggaraan otonomi desa, jangan dilakukan secara kebablasan sehingga desa merasa seakan terlepas dari ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak mempunyai hubungan dengan kecamatan, kabupaten, propinsi ataupun dengan pemerintah pusat, bertindak semau sendiri dan membuat peraturan desa tanpa memperhatikan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

Pelaksanaan hak, wewenang dan kebebasan otonomi desa menuntut tanggung jawab untuk memelihara integritas, persatuan dan kesatuan bangsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Konstruksi perwilayahan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menempatkan propinsi sebagai wilayah administratif sekaligus pula sebagai daerah otonom.

Pengaturan demikian menunjukkan adanya keterkaitan antara pemerintah propinsi dengan daerah-daerah otonom dalam wilayahnya yaitu kabupaten, kota dan desa, baik dalam arti status kewilayahan maupun dalam sistem dan prosedur penyelengaraan pemerintahan, karena penyusunan kabupaten, kota dan desa


(48)

dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, diikat oleh wilayah propinsi.26

Dalam kaitannya dengan otonomi desa, sesuai dengan pemikiran dan konteks empirik yang berkembang di Indonesia, setidaknya ada tiga tipe bentuk desa :

(1) Tipe “desa adat” atau sebagai self-governing community sebagai bentuk desa asli dan tertua di Indonesia. Konsep “otonomi asli” sebenarnya diilhami dari pengertian desa adat ini. Desa adat mengatur dan mengelola dirinya sendiri dengan kekayaan yang dimiliki tanpa campur tangan negara. Desa adat tidak menjalankan tugas-tugas adminstratif yang diberikan oleh negara. Saat ini desa pakraman di Bali yang masih tersisa sebagai bentuk desa adat yang jelas

(2) Tipe “ desa administratif” (local state government) adalah desa sebagai satuan wilayah administratif yang berposisi sebagai kepanjangan negara dan hanya menjalankan tugas-tugas administratif yang diberikan negara. Desa administratif secara substansial tidak mempunyai otonomi dan demokrasi. Kelurahan yang berada di perkotaan merupakan contoh yang paling jelas dari tipe desa administratif

(3) Tipe “desa otonom” atau dulu disebut sebagai desa praja atau dapat juga disebut sebagai local self-government, seperti halnya posisi dan bentuk daerah otonom di Indonesia. Secara konseptual, desa otonom adalah desa yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi sehingga mempunyai

26


(49)

kewenangan penuh untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Desa otonom berhak membentuk pemerintahan sendiri, mempunyai badan legislatif, berwenang membuat peraturan desa dan juga memperoleh desentralilsasi keuangan dari negara.

Lebih lanjut dijelaskan, ketiga tipe desa tersebut merujuk pada tiga kelompok pemikiran. Pertama, pemikiran para founding fathers yang termuat dalam konstitusi secara jelas mengikuti model desa adat, yakni mengakui (rekognisi) keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat yang jumlahnya sangat banyak dan beragam di Indonesia. Kedua, pemikiran tentang desa otonom atau desapraja atau daerah otonom tingkat III. UU Nomor 22/1999 dan UU Nomor 32/2004 dianggap keliru menempatkan posisi desa sebagai subsistem pemerintahan kabupaten, sekaligus menerima limpahan kewenangan dan alokasi dana dari Kabupaten. Desentralisasi bukan dilakukan pemerintah kabupaten melainkan negara melalui pemerintahan pusat. Ketiga, ide dan pengaturan desa administratif (kelurahan) yang diterapkan pada masa orde baru. Perubahan menjadi kelurahan memang memungkinkan perbaikan pelayanan administratif, tetapi dibalik itu sangat memudahkan proses kapitalisasi, sebab status tanah kelurahan tidak lagi menjadi milik rakyat melainkan menjadi milik negara.27

4. Jenis Peraturan Desa

Peraturan desa merupakan penjabaran lebih lanjut tentang peraturan daerah mengenai pengaturan mengenai desa yang menurut jenisnya antara lain terdiri dari :

27


(50)

1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. 2. Penegasan Batas Wilayah Administrasi Desa.

3. Penetapan Pusat-Pusat Pertumbuhan dan Pengembangan Desa.

4. Penetapan sebutan untuk Desa, Kepala Desa, Perangkat Desa, Badan Perwakilan Desa.

5. Penetapan keberadaan lembaga adat dan lembaga kemasyarakatan di desa. 6. Penetapan susunan organisasi pemerintahan desa.

7. Pembentukan pemilihan pencalonan dan pemilihan anggota Badan Perwakilan Desa.

8. Penetapan yang berhak menggunakan hak pilih dalam pemilihan anggota Badan Perwakilan Desa.

9. Penentuan tanda gambar calon, pelaksanaan kampanye dan cara pemilihan anggota Badan Perwakilan Desa.

10. Penetapan besarnya anggota Badan Perwakilan Desa.

11. Pembentukan panitia pencalonan dan pemilihan perangkat desa.

12. Penetapan yang berhak menggunakan hak pilih dalam pemilihan perangkat desa.

13. Penentuan tanda gambar calon, pelaksanaan kampanye, cara pemilihan dan biaya pelaksanaan pemilihan perangkat desa.

14. Penetapan jumlah perangkat desa.

15. Pembentukan susunan panitia pencalonan dan pemilihan kepala desa.


(51)

17. Penentuan tanda gambar calon, pelaksanaan kampanye, cara pemilihan dan biaya pelaksanaan pemilihan kepala desa.

18. Jenis dan besarnya penghasilan, tunjangan dan penghasilan tambahan kepala desa dan perangkat desa.

19. Pemberian penghargaan kepada mantan kepala desa dan perangkat desa. 20. Penetapan pengelolaan dan pengaturan pelimpahan/pengalihan fungsi

sumber-sumber pendapatan dan kekayaan desa. 21. Ketentuan jenis-jenis pungutan desa. 22. Pendirian Badan Usaha Milik Desa. 23. Pendirian Badan Kerja Sama Desa.

24. Penetapan Rencana Umum Pembangunan Desa.

25. Aturan-aturan pelaksanaan dari peraturan daerah mengenai pemerintah desa dan

26. Peraturan desa lainnya sesuai dengan masalah yang berkembang di desa28 B. TINJAUAN TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

1. Pengertian Badan Permusyawaratan Desa

Sebagai perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, dibentuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di desa bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan peraturan desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja

28


(52)

Desa, dan keputusan kepala desa (berdasar penjelasan UU Nomor 32 Tahun 2004).

Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang melakukan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.

Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 14 Tahun 2007 Tentang Badan Permusyawaratan Desa, Badan Permusyawaratan Desa yang selanjutnya disebut BPD adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa.

Menurut Peraturan Desa Bangunjiwo Nomor 3 Tahun 2016 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Pemerintah Desa Bangunjiwo, Badan Permusyawaratan Desa yang selanjutnya disingkat BPD adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.29

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Tata Cara Pelaporan Dan Pertanggungjawaban Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain yang selanjutnya disebut BPD, adalah lembaga yang merupakan

29

Peraturan Desa Bangunjiwo Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Pemerintah Desa Bangunjiwo


(53)

perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa30

Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa yang terdiri dari atas pemuka-pemuka masyarakat desa yang terdiri atas ketua RW, pemangku adat, tokoh masyarakat/agama dan lainnya.yang berfungsi mengayomi adat-istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintah Desa. Badan ini sebagai permusyawaratan di desa yang merupakan wahana untuk melaksanakan pembangunan desa berdasarkan pancasila.

2. Mekanisme Pembentukan Badan Permusyawaratan Desa

Mekanisme pembentukan Anggota Badan Permusyawaratan Desa disesuaikan dengan kedudukan desa, sebagai penyelenggara pemerintahan desa dan pengambilan keputusan, maka:

1. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. 2. Masa jabatan anggota BPD adalah 6 (enam) tahun dan dapat

diangkat/diusulkan kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

3. Jumlah anggota BPD ditetapkan dengan jumlah ganjil, paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 11 (sebelas) orang, dengan memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, dan kemampuan keuangan desa.

30

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun 2007 Tentang Pedoman Umum Tata Cara Pelaporan Dan Pertanggungjawaban Penyelenggaraan Pemerintahan Desa.


(54)

4. Peresmian anggota BPD ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota.

5. Anggota BPD sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama dihadapan masyarakat dan dipandu oleh Bupati/ Walikota.

6. Pimpinan BPD terdiri dari 1 (satu) orang Ketua, 1 (satu) orang Wakil Ketua, dan 1 (satu) orang Sekretaris.

7. Pimpinan BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipilih dari dan oleh anggota BPD secara langsung dalam Rapat BPD yang diadakan secara khusus. 8. Rapat pemilihan Pimpinan BPD untuk pertama kali dipimpin oleh anggota

tertua dan dibantu oleh anggota termuda.

3. Fungsi dan Kewenangan Badan Permusyawaratan Desa

Karena begitu pentingnya BPD dalam Pemerintahan Desa, maka fungsi dan kewenangan dari BPD ini sangat besar terutama dalam jalannya Pemerintah Desa, salah satunya dalam pembuatan peraturan desa.

Adapun fungsi BPD menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, dan di samping itu BPD mempunyai fungsi mengawasi pelaksanaan peraturan desa dalam rangka pemantapan pelaksanaan kinerja pemerintah desa.

Dalam rangka melaksanakan fungsinya, BPD mempunyai wewenang: a. Membahas rancangan peratuan desa bersama Kepala Desa.

b. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan Kepala Desa.


(55)

d. Menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat, dan

e. Menyusun tata tertib BPD.31

Pada dasarnya semua fungsi Badan Permusyawaratan Desa adalah untuk mengembalikan Desa seperti asal usulnya terdahulu, yaitu sebagai satu kesatuan wilayah yang mempunyai otonomi sendiri dengan kontrol dari bawah yaitu masyarakat itu sendiri. Untuk itu Badan Permusyawaratan Desa mempunyai peranan yang sangat penting dalam mencapai tujuan pembangunan desa, karena yang diajukan dalam musyawarah desa adalah yang dibutuhkan oleh masyarakat desa tersebut.

Semua keberhasilan Pembangunan Desa adalah tujuan untuk mencapai Pembangunan Nasional. Sehingga apabila pembangunan desa merupakan target yang akan di capai, maka Pembangunan Desa tersebut sangat menunjang bagi keberhasilan Pembangunan Nasional.

4. Hak dan Kewajiban Badan Permusyawaratan Desa

Badan Permusyawaratan Desa mempunyai hak yaitu meminta keterangan kepada pemerintah desa dan mempunyai hak untuk menyatakan pendapat.

BPD mempunyai hak:

a. Meminta keterangan kepada pemerintah desa dan b. Menyatakan pendapat.

Anggota BPD mempunyai hak:

a. Mengajukan rancangan peraturan desa. b. Mengajukan pertanyaan.

c. Menyampaikan usul dan pendapat.

31


(56)

d. Memilih dan dipilih. e. Memperoleh tunjangan.

Anggota BPD mempunyai kewajiban:

a. Mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan.

b. Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.

c. Mempertahankan dan memelihara hukum nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

d. Menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.

e. Memproses pemilihan kepala desa.

f. Mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan.

g. Menghormati nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat masyarakat setempat dan

h. Menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga kemasyarakatan.

Pimpinan dan Anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap jabatan menjadi kepala desa dan perangkat desa. Pimpinan dan Anggota BPD dilarang: a. Menjadi pelaksana proyek desa.

b. Merugikan kepentingan umum, meresahkan sekelompok masyarakat, dan mendiskriminasikan warga atau golongan masyarakat lain.

c. Melakukan korupsi, kolusi, nepotisme dan menerima uang, barang dan/ atau jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya.

d. Menyalahgunakan wewenang, dan e. Melanggar sumpah/ janji jabatan.32

32


(57)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan nutuk mempelajari satu atau penelitian seyogyanya selalu meningkatkan dengan makna yang mungkin dapat diberikan kepada hukum agar dapat tercapai sasaran dan tujuan yang diinginkan.

Dalam penelitian ini untuk menelaah suatu masalah digunakan motede ilmiah secara sistematis, terarah dan terancang untuk mencari solusi suatu masalah dalam suatu pengetahuan yang dapat diandalkan kebenarannya. Proses yang dilakukan ini merupakan proses yang terencana, sehingga dengan demikian memerlukan suatu metode yang jelas dan efektif agar hasil yang diperoleh dari penelitian ini maksimal serta dapat dipertanggungjawabkan. Sehubungan dengan hal tersebut metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, adalah: A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah Empiris serta yuridis sosiologis, yaitu dimana proses penyelidikannya meninjau dan membahas obyek dengan menitik beratkan pada kenyataan di lapangan serta aspek-aspek yuridis. Penulis juga melakukan penelitian lapangan untuk menghimpun dan mengkaji data dan fakta hukum yang kongrit yang diperoleh dilokasi penelitian. Penelitian hukum empiris dengan model penelitian yuridis sosiologis mempunyai objek kajian mengenai perilaku masyarakat. Perilaku masyarakat yang dikaji adalah perilaku yang timbul akibat berinteraksi dengan sistem norma yang ada.


(58)

Interaksi itu muncul sebagai bentuk reaksi masyarakat atas diterapkannya sebuah ketentuan perundangan positif dan bisa pula dilihat dari perilaku masyarakat sebagai bentuk aksi dalam memengaruhi pembentukan sebuah ketentuan hukum positif1

B. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini lokasi yang akan menjadi tempat melaksanakan penelitian adalah di daerah Desa Bangunjiwo Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul. C. Sumber Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data yang terbagi menjadi dua yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Adapun penjelasan mengenai sumber data primer dan sumber data sekunder adalah sebagai berikut:

a. Data Primer

Data langsung yang diperoleh peneliti dari tangan pertama yang belum diolah dan diuraikan orang lain. Pada umumnya data primer mengandung data yang bersifat aktual yang diperoleh langsung dari lapangan melalui metode wawancara. Lokasi pengambilan data primer yaitu: Desa Bangunjiwo Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul.

b. Data Sekunder

Penelitian terhadap data sekunder yang berasal dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, kamus hukum, dan lainnya. Data sekunder yang penulis peroleh berupa bahan pustaka yang terdiri dari:

1

Mukti, Yulianto, 2015, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Hlm. 51.


(59)

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat, terdiri dari peraturan perundang-undangan yang berlaku atau ketentuan-ketentuan yang berlaku. Sehubungan dengan itu, maka bahan hukum primer yang digunakan adalah:

a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

b) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Desa

c) Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 14 Tahun 2007 Tentang Badan Pemusyawaratan Desa

d) Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Pedoman Organisasi Pemerintahan Desa

e) Peraturan Bupati Bantul Nomor 50 Tahun 2016 Tentang Pedoman Teknis Penyusunan Peraturan Di Desa

f) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyerahan Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota Kepada Desa.

g) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun 2007 Tentang Pedoman Umum Tata Cara Pelaporan Dan Pertanggungjawaban Penyelenggaraan Pemerintahan Desa


(60)

h) Perdes Bangunjiwo Nomor 01 Tahun 2016 Tentang Laporan Pertanggungjawaban Realisasi Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Desa Tahun Anggaran 2015

i) Perdes Bangunjiwo Nomor 03 Tahun 2016 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Pemerintahan Desa Bangunjiwo

j) Perdes Bangunjiwo Nomor 04 Tahun 2016 Tentang Perubahan Aanggaran Pendapatan dan Belanja Desa Tahun Anggaran 2016 2) Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya:

a) Buku-buku dan literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

b) Makalah-makalah, khususnya yang berkaitan dengan Hubungan Kepala Desa dengan Badan Pemusyawaratan Desa dalam pembentukan Peraturan Desa dan Perangkan Desa.

c) Hasil-hasil penelitian para pakar hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

3) Bahan Hukum Tersier

Yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yang terdiri dari :

a) Kamus hukum.

b) Kamus bahasa indonesia. D. Metode Pengumpulan Data


(61)

Untuk mengumpulkan data-data yang dibutuhkan penulis, maka penulis dalam melakukan penelitian menggunakan cara sebagai berikut:

a. Wawancara

Wawancara ini untuk mengumpulkan data primer mengenai Hubungan Kepala Desa dengan BPD dalam pembentukan Peraturan Desa. Dengan cara melakukan wawancara dengan narasumber dan responden secara langsung dengan mengajukan pertanyaan secara bebas dan terpimpin menurut pedoman wawancara, adapun narasumber yang akan penulis wawancarai adalah:

a) Kabag Pemerintahan Desa Kabupaten Bantul Bapak ST. Heru. W

Respondennya adalah:

a) Kepala Desa Bangunjiwo Bapak Parja, S.T., M.Si.

b) Sekretaris Badan Permusyawaratan Desa Bangunjiwo Bapak Darmawan Raharja.

c) Tokoh Masyarakat Desa Bangunjiwo Bapak Mugiraharjo.


(62)

Untuk mengumpulkan data-data yang dibutuhkan penulis, maka penulis dalam melakukan penelitian dngan cara pengambilan data hukum maupun non hukum dilakukan dan diperoleh melalui studi kepustakaan yaitu pengumpulan data yang berasal dari buku-buku serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan materi skripsi. Selanjutnya untuk peraturan perundangan maupun dokumen yang ada akan di ambil pengertian pokok atau kaidah hukumnya dari masing-masing isi Pasalnya yang terkait dengan permasalahan, sementara untuk buku makalah dan jurnal dan artikel ilmiah akan diambil teori, maupun pernyataan yang terkait, dan akhirnya semua data tersebut diatas akan disusun secara sistematis agar memudahkan proses analisis.

E. Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif yakni dengan mengambil data yang representatif kemudian dianalisis secara kualitatif untuk dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan. Metode kualitatif adalah metode yang mengungkap fakta-fakta secara mendalam berdasar karakteristik ilmiah dari individu atau kelompok untuk memahami dan mengungkap sesuatu di balik fenomena.2 Data primer dan data sekunder yang diperoleh akan disusun secara sistematis. Data yang disusun secara sitematis tersebut dianalisis untuk dapat memahami fokus penelitian secara mendalam, hasil analisis yang dimaksudkan

2


(63)

untuk memberikan gambaran secara komprehensif tentang hubungan Kepala Desa dan BPD dalam Pembentukan Peraturan Desa di Desa Bangunjiwo Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul.


(1)

4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;

5. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 213, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5539);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5558);

7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2091);

8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2293);

9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2094);

10.Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman

Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan

Kewenangan Lokal Berskala Desa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 158);

11.Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 112 Tahun 2014 tentang Tanah Desa (Berita Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2014 Nomor 113); 12.Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 14 Tahun

2007 tentang Badan Permusyawaratan Desa (Lembaran Daerah Kabupaten Bantul Tahun 2007 Seri D Nomor 12); 13.Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 2 Tahun

2015 tentang Pedoman Organisasi Pemerintahan Desa (Lembaran Daerah Kabupaten Bantul Tahun 2015 Seri D Nomor 02);

14.Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Di Desa


(2)

(Lembaran Daerah Kabupaten Bantul Tahun 2015 Seri D Nomor 23);

15.Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 24 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pengadaan Barang/ Jasa Di Desa (Lembaran Daerah Kabupaten Bantul Tahun 2015 Seri D Nomor 24);

16.Peraturan Bupati No. 23 Tahun 2015 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan di Desa;

17.Peraturan Bupati Bantul Nomor 34 Tahun 2015 tentang

Pengelolaan Keuangan Desa (Lembaran Daerah

Kabupaten Bantul Tahun 2015 Seri D Nomor 34);

18.Peraturan Desa Bangunjiwo Nomor 01 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Tahun 2015-2019 (Lembaran Desa Bangunjiwo Tahun 2015 Nomor 01);

19.Peraturan Desa Bangunjiwo Nomor 02 Tahun 2015 tentang Rencana Kerja Pembangunan Desa Tahun Anggaran 2015 (Lembaran Desa Bangunjiwo Tahun 2015 Nomor 02).

Dengan Persetujuan Bersama

BADAN PERMUSYAWARATAN DESA BANGUNJIWO dan

LURAH DESA BANGUNJIWO MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DESA TENTANG PERUBAHAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DESA TAHUN ANGGARAN 2016.

Pasal 1

Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Tahun Anggaran 2016 yang semula berjumlah Rp 4.165.865.092 bertambah sejumlah Rp 751.011.000 sehingga menjadi Rp. 4.916.876.092 dengan perincian sebagai berikut : Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Tahun Anggaran 2016 dengan rincian sebagai berikut:


(3)

2. Belanja Desa

a. Bidang Penyelenggaraan Pemerintah Desa Rp. 1.403.947.216

b. Bidang Pembangunan Rp. 2.253.516.500

c. Bidang Pembinaan Kemasyarakatan Rp. 893.500.000 d. Bidang Pemberdayaan Masyarakat Rp. 352.540.000

e. Bidang Tak Terduga Rp. 13.372.376

Jumlah Belanja Rp. 4.916.876.092

Defisit Rp. 94.462.867

3. Pembiayaan Desa

a. Penerimaan Pembiayaan Rp. 491.938.814

b. Pengeluaran Pembiayaan Rp. -

Selisih Pembiayaan ( a – b ) Rp. 397.475.947 Pasal 2

Uraian lebih lanjut mengenai Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) Tahun 2016 sebagaimana dimaksud Pasal 1, tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Desa ini, berupa Rincian Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.

Pasal 3

Lurah Desa menetapkan Peraturan Lurah Desa dan/atau Keputusan Lurah Desa guna pelaksanaan Peraturan Desa ini.

Pasal 4

Dengan ditetapkannya Peraturan Desa ini maka Peraturan Desa Nomor 11 Tahun 2015 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa 2016 dinyatakan tidak berlaku lagi / dicabut.

Pasal 5

Peraturan Desa ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Desa ini dengan penempatannya dalam Lembaran Desa Bangunjiwo.

Ditetapkan di Bangunjiwo Pada tanggal 16 November 2016

LURAH DESA BANGUNJIWO,

P A R J A

Diundangkan di Bangunjiwo

Pada tanggal 17 November 2016 CARIK DESA BANGUNJIWO,


(4)

Salinan Peraturan Desa ini disampaikan kepada Yth.: 1. Bupati Bantul di Kabupaten Bantul;

2. Kabag Pemdes Setda Kabupaten Bantul; 3. Camat Kasihan;

4. Ketua BPD Desa Bangunjiwo; 5. Arsip.


(5)

PERATURAN DESA BANGUNJIWO

KECAMATAN KASIHAN KABUPATEN BANTUL

NOMOR : 04 TAHUN 2016

PERUBAHAN

ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DESA

( APB - Des )


(6)

PEMERINTAH KABUPATEN BANTUL

KECAMATAN KASIHAN

DESA BANGUNJIWO

Alamat : Bangunjiwo , No. Telepon : 413340 Kode Pos : 55184

Website:www.desabangunjiwo.com, e-mai: desa.bangunjiwo@bantulkab.go.id

No. : 142 / Lamp. : -

Hal : Mohon Persetujuan

APB-Desa Tahun Anggaran 2014

Kepada

Yth. Bapak Ketua BPD Desa Bangunjiwo di Bangunjiwo

Dengan hormat,

Kami Lurah Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, dengan ini mengajukan :

Peraturan Desa Nomor : 05 Tahun 2014 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB-Des) Tahun Anggaran 2014.

Selanjutnya mohon persetujuan untuk kemudian di tetapkan menjadi Peraturan Desa.

Demikian atas persetujuannya diucapkan terima kasih.

Bangunjiwo, … 2014 Lurah Desa,


Dokumen yang terkait

Optimalisasi Peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa (Studi Pada BPD Desa Aek Goti Kecamatan Silangkitang Kabupaten Labuhanbatu Selatan)

5 96 117

Kinerja Badan Permusyawaratan Desa (Bpd) Dalam Otonomi Desa

3 68 100

Relasi Antara Kepala Desa Dengan Badan Permusyawaratan Desa Dalam Mewujudkan Good Governance (Studi Kasus: Desa Pohan Tonga, Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara)

1 62 186

Peranan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dalam Pembangunan Pertanian Di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo

1 71 103

Pelaksanaan Fungsi Badan Permusyaratan Desa (BPD) di Desa Janjimaria

0 40 88

Peran Badan Perwakilan Desa (BPD) Dalam Proses Demokratisasi Di Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang (Suatu Tinjauan di Desa Simalingkar A dan Desa Perumnas Simalingkar)

1 49 124

Optimalisasi Peran Badan Permusyawaratan Desa Dalam Pembentukan Peraturan Desa (Studi Kasus Di Desa Tridayasakti Kecamatan Tambun Selatan Kabupaten Bekasi)

1 12 92

SKRIPSI PERAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) DALAM Peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dalam Pembentukan Peraturan Desa Di Kecamatan Kismantoro Kabupaten Wonogiri.

1 2 15

PERAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DESA DI KECAMATAN KISMANTORO Peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dalam Pembentukan Peraturan Desa Di Kecamatan Kismantoro Kabupaten Wonogiri.

0 2 24

HUBUNGAN KEPALA DESA DENGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DESA DI DESA PEGUYANGAN KAJA, DENPASAR UTARA.

0 8 60