HUBUNGAN KEPALA DESA DENGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DESA DI DESA PEGUYANGAN KAJA, DENPASAR UTARA.

(1)

SKRIPSI

HUBUNGAN KEPALA DESA DENGAN BADAN

PERMUSYAWARATAN DESA DALAM

PEMBENTUKAN PERATURAN DESA DI DESA

PEGUYANGAN KAJA, DENPASAR UTARA

I NYOMAN ARY SUTRISNOPUTRA NIM. 1003005091

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

SKRIPSI

HUBUNGAN KEPALA DESA DENGAN BADAN

PERMUSYAWARATAN DESA DALAM

PEMBENTUKAN PERATURAN DESA DI DESA

PEGUYANGAN KAJA, DENPASAR UTARA

I NYOMAN ARY SUTRISNOPUTRA NIM. 1003005091

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

HUBUNGAN KEPALA DESA DENGAN BADAN

PERMUSYAWARATAN DESA DALAM

PEMBENTUKAN PERATURAN DESA DI DESA

PEGUYANGAN KAJA, DENPASAR UTARA

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

I NYOMAN ARY SUTRISNOPUTRA NIM. 1003005091

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

LembarPersetujuanPembimbing

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL

PEMBIMBING I

Prof. Dr. I WAYAN PARSA,SH.,M.,Hum NIP: 19591231 198602 1007

PEMBIMBING II

NENGAH SUHARTA, SH.,MH NIP: 19551107 198602 1001


(5)

SKRIPSI INI DIUJI DAN DIPERBAIKI PADA TANGGAL : 27 JUNI 2016

Ujian Berlangsung :

Hari/Tanggal : Senin, 27 Juni 2016

Jam : 08:30 wita

Tempat : RUANG UJIAN 1

SK. NOMOR : 224/UN14.1.11/PP.05.02/2016

Ketua Penguji Tanda Tangan

Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH.,M.Hum (...)

Sekretaris :

Negah Suharta, SH.,MH (…….…………..)

Anggota :

Prof. Dr. Ibrahim R.,SH.,MH (………...)

Anggota :

I Ketut Suardita, SH.,MH (………..)

Anggota :


(6)

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu.

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Angrah-Nyalah skripsi ini yang berjudul

“HUBUNGAN KEPALA DESA DENGAN BADAN

PERMUSYAWARATAN DESA DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN

DESA DI DESA PEGUYANGAN KAJA DENPASAR UTARA” dapat terselesaikan. Penyusunan skripsi ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari rangkaian kegiatan akademis yang lain, untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Dalam penyusunan ini penulis telah banyak mendapat bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis

menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang sebenar-benarnya kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,MH, Dekan Fakultas Hukum

Universitas Udayana;

2. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, SH.,MH, Pembantu Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Udayana;

3. Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari SH.,MH, Pembantu Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Udayana;

4. Bapak Dr. I Gede Yusa, SH.,MH, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum


(7)

5. Bapak I Ketut Suardita, SH.,MH. Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara Universitas Udayana

6. Bapak Cokorde Dalem Dahana, SH.,M.Kn sekretaris bagian Hukum

Administrasi Negara Universitas Udayana

7. Bapak Prof. Dr. I Wayan Parsa,SH.,M.,Hum, sebagai pembimbing I yang

telah membimbing dan mengarahkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

8. Bapak Nengah Suharta,SH.,MH sebagai dosen pembimbing II yang telah

membimbing dan mengarahkan penulis untuk untuk menyelesaikan skripsi ini;

9. Bapak I Kadek Sarna,SH.,M.kn sebagai Pembimbing Akademik yang telah

memberikan petunjuk dan arahan selama penulis melakukan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

10.I Nyoman Darmadha,SH.,MH dosen yg memberi arahan dan saran terhadap

skripsi ini.

11.I Dewa Gede Dana Sugama,SH.,MH selaku dosen yang selalu mensupport

penuh di dalam pembuatan skripsi.

12.Bapak/Ibu Dosen dan Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Udayana

yang telah memberikan ilmu pengetahuan hukum;

13.Bapak/Ibu Pegawai Tata Usaha serta Perpustakaan Fakultas Hukum

Universitas Udayana atas bantuannya dalam hal administrasi kampus dan peminjaman literature;

14.Bapak I Wayan Sumendra seorang ayah yang selalu mengajarkan


(8)

15.Ibu Ni Ketut Kerni.Sos seorang ibu yang selalu mendukung dalam segala hal, motivasi dll;

16.Ni Luh Eka lestari dan sekeluarga, kakak yang selalu mendukung dan

memberikan uang jajan dalam pembuatan skripsi;

17.Ni Kadek Shinta Sanistya Rahayu yang selalu memberikan semangat, dan

perhatian serta berperan besar dalam penyelesaian skripsi ini.

18.Serta semua teman-teman angkatan 2011 (PENINDAS) yang selalu

mendukung dalam segala hal kesulitan dalam proses pembuatan skripsi ini.

19.Teman – teman KKN Gulingan yang selalu mensupport penuh.

20.I Wayan Suita PLT Kepala Desa di desa peguyangan kaja yang memberikan

informansi tentang Desa.

21.I Wayan Sudarma selaku sekretaris BPD yang menjelaskan kinerja BPD

22.I Made Ardiana selaku ketua STT di desa peguyangan kaja atas

wawancaranya.

Akhirnya semoga budi baik Bapak/Ibu/Saudara/I akan mendapatkan imbalan yang sesuai dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Om Shanti, Shanti, Shanti, Om

Denpasar, 9 Mei 2016


(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DALAM ... i

HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING/PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

SURAT PERSYARATAN KEASLIAN ... xi

ABSTRAK ... xii

ABSTRACT ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3 Ruang Lingkup Masalah... 9

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 10

1.5 Tujuan Penelitian ... 13

1.5.1 Tujuan umum ... 13

1.5.2 Tujuan Khusus ... 13

1.6 Manfaat Penelitian ... 13

1.6.1 Manfaat teoritis ... 13

1.6.2 Manfaat praktis ... 14


(10)

1.8 Hipotesis ... 21

1.9 Metode Penelitian ... 22

1.9.1 Jenis penelitian ... 22

1.9.2 Jenis pendekatan ... 23

1.9.3 Sifat penelitian ... 23

1.9.4 Sumber Data ... 24

1.9.5 Teknik Pengumpulan Data ... 26

1.9.6 Pengolahan dan Analisis Data ... 27

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DESA, KEPALA DESA, BADAN PERMUSYAWARATAN DESA, DAN PERATURAN DESA ... 28

2.1 Tentang Desa ... 28

2.1.1 Pembentukan Desa ... 28

2.1.2 Pemerintahan Desa ... 35

2.2 Badan Permusyawaratan Desa ... 38

2.3 Peraturan Desa ... 40

BAB III HUBUNGAN KEPALA DESA DENGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA ... 45

3.1 Pengaturan Tentang Jabatan Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa ... 45

3.1.1 Pengaturan Tentang Jabatan Kepala Desa ... 45

3.1.2 Pengaturan Tentang Jabatan Badan permusyawaratan Desa ... 57


(11)

3.2 Hubungan Fungsinaris Antara Kepala Desa Dengan Badan

Permusyaratan Desa Di Desa Peguyangan Kaja ... 62

BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HUBUNGAN KEPALA DESA DENGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DESA ... 68

4.1 Pembentukan Peraturan Desa ... 68

4.2 Faktor-Faktor Yang berpengaruh Dalam Pembentukan Peraturan Desa Di Desa Peguyangan Kaja ... 75

BAB V PENUTUP ... 78

5.1 Kesimpulan ... 78

5.2 Saran ... 79 DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RESPONDEN LAMPIRAN :

01.Notulensi Rapat Badan Permusyawaratan Desa


(12)

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi raanapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila Karya Ilmiah/ Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.

Demikian surat pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun.

Denpasar, Mei 2016 Yang menyatakan,

(I Nyoman Ary Sutrisnoputra)


(13)

ABSTRAK

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa telah mengatur tentang hubungan kepala desa dengan badan permusyawaratan desa dalam rangka pembentukan peraturan desa. Kepala desa berhak mengajukan rancangan peraturan desa kemudian membahasnya bersama Badan Permusyawaratan desa. Permasalahannya adalah dalam prakteknya apakah sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Disamping itu, apakah faktor yang menghambat dalam pembentukan peraturan desa tersebut.

Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian hukum empiris, dimana hukum dikonsepkan sebagai pranata sosial secara riil, dan dikaitkan dengan variabel-variabel sosial yang lain. Penelitian ini menggunakan pendekatan fakta, yakni mengamati dan mengumpulkan fakta-fakta yang terdapat di lapangan secara metodis, kemudian dijadikan sebagai bahan untuk menunjang penelitian.

Adapun hasil yang diperoleh yakni, kedudukan antara Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa dalam Pemerintahan Desa adalah sejajar, selain dalam pembentukan Peraturan Desa, dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, hubungan Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa juga terjadi dalam hal pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa) dan dalam hal Badan Permusyawaratan Desa melakukan fungsi pengawasan terhadap Kepala Desa. Dalam pembentukan peraturan desa yang benar-benar menampung aspirasi dari masyarakat yang disetujui bersama dan disahkan serta disosialisasikan kepada masyarakat di Desa Peguyangan Kaja. Selain itu dalam pembahasan rancangan peraturan desa tidak dikonsultasikan sebelumnya kepada masyarakat oleh Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa.

Kata Kunci: Hubungan, Kepala Desa, Badan Permusyawaratan Desa, Peraturan Desa.


(14)

ABSTRACT

Law No. 6 of 2014 On The village has set about the relationship with the village chief deliberative body of the village in order to establish village regulations. The village chief has the right to submit a draft regulation and then discuss it with the village Village Consultative Body. The problem is that in practice is in conformity with the laws and regulations that govern them. In addition, whether the factors that inhibit the formation of the village regulations.

The research method used is empirical legal research methods, where the law is conceptualized as a social institution in real terms, and is associated with social variables other. This study uses the approach of the fact, that observe and gather the facts contained in the field methodically, then used as materials to support research.

The results obtained namely, position of the head of the village with the Village Consultative Body in the Village Administration is parallel, in addition to the formation of Village Regulations, the Act No. 6 of 2014 About the Village, relationships village chief with the Village Consultative Body also occurs in the discussion of the Budget income and Expenditure Desa (APBDesa) and in the case of the Village Consultative Body perform oversight of the chief. In the establishment of village regulations that actually accommodate the aspirations of the people who agreed with and endorsed and disseminated to the public in the village Peguyangan Kaja. Besides the discussion of the draft regulation was not consulted before the village to the public by the Village Head and Village Consultative Body.

Keywords: Relationships, Village Chief, Village Consultative Body, Village Regulations.


(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan suatu negara kesatuan yang terdiri dari beberapa pulau besar dan kecil yang tersebar dari Sabang sampai Merauke yang juga kaya akan sumber daya alamnya. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia tahun 1945 disebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara

Kesatuan yang berbentuk Republik”. Mengingat Negara Indonesia memiliki banyak pulau besar dan kecil menyebabkan Negara Indonesia terdiri dari beberapa provinsi yang masing-masing memiliki luas wilayah dan sistem pemerintahan sendiri-sendiri. Negara Republik Indonesia merupakan salah satu negara kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945, antara lain menyatakan bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya diterapkan dengan Undang-undang.

Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat staat (Negara bagian) juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi dalam daerah yang lebih kecil, yang mana daerah-daerah tersebut bersifat otonom. Atau dengan kata lain didaerah-daerah yang bersifat otonom atau bersifat


(16)

2

administratif belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan

Undang-undang"1. Dengan demikian, Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia tahun 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan otonomi dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah. Disamping itu, penyelenggaraan otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Hal tersebut sudah dapat mencerminkan tujuan dari pembangunan Nasional, dimana tujuan pembangunan nasional adalah mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur yang merata dan berkesinambungan antara material dan spiritual. Hal ini tercermin didalam alenia ke empat Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dengan tegas menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia disusun adalah untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Untuk mewujudkan tujuan dari Pembangunan Nasional tersebut, maka

diperlukan peningkatan dalam bidang pembangunan dan memantapkan

penyelenggaraan pemerintahan yang efektif di seluruh pelosok daerah. Sejalan dengan itu, dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

1

HAW Widjaja, 2005, Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh.


(17)

3

dan selanjutnya disebut dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2008. Pengaturan mengenai desa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut, dalam pelaksanaannya belum dapat mewadahi segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat Desa yang hingga saat ini sudah berjumlah sekitar 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) Desa dan sekitar 8.000 (delapan ribu) kelurahan. Selain itu, pelaksanaan pengaturan Desa yang selama ini berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, terutama antara lain menyangkut kedudukan masyarakat hukum adat, demokratisasi, keberagaman, partisipasi masyarakat, serta kemajuan dan pemerataan pembangunan sehingga menimbulkan kesenjangan antarwilayah, kemiskinan, dan masalah sosial budaya yang dapat mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atas dasar pemikiran tersebut, pemerintah melakukan pembaharuan terhadap pengaturan mengenai desa yang kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

Pengertian mengenai desa diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, dalam ketentuan pasal tersebut ditetentukan bahwa:

Desa atau disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system Pemerintahan Negara Republik Indonesia.


(18)

4

Dari ketentuan pasal tersebut dapat dinyatakan bahwa desa adalah merupakan organisasi pemerintahan terendah. Sebagai suatu organisasi maka desa akan mempunyai unsur-unsur dari suatu organisasi yaitu : adanya unsur pimpinan, unsur pembantu pimpinan dan unsur pelaksana.

Desa dikepalai oleh seorang Kepala Desa, sedangkan yang menjadi pembantu dalam pelaksanaan tugas dari pimpinan di desa yaitu Sekretariat Desa yang terdiri dari Sekretaris Desa dan Kepala-Kepala Urusan serta yang menjadi urusan pelaksanaan adalah kepala dusun. Kepala desa disamping sebagai penyelenggaraan

rumah tangga desa, juga sebagai penyelenggaraan urusan pemerintahan.2

Kepala Desa harus dapat mengatur jalannya pemerintahan dan rumah tangga desanya sendiri secara terkendali, berkesinambungan, adil dan inerata. Dengan demikian dapatlah disadari bahwa betapa beratnya fungsi seorang Kepala Desa. Guna memperlancar pelaksanaan tugas tersebut Kepala Dcsa di bantu oleh perangkat desa. Mengingat demikian beratnya tugas dari pada Kepala Desa maka seorang Kepala Desa harus memenuhi beberapa kriteria yang dipergunakan sebagai syarat menjadi seorang Kepala Desa.3

Dalam rangka melaksanakan urusan-urusan itu, Kepala Desa bertanggung

2

C.S.T Kansil, 1984. Desa Kita Dalam Peraturan Tata Pemerintahan Desa, Cet 1, Ghalia Indonesia. Jakarta.

3

Kartasapoetra, G. 1986, Desa dan Daerah Tata Pemerintahannya, PT. Bina Aksara. Jakarta. h. 74


(19)

5

jawab kepada rakyat (Masyarakat Desa) melalui Badan Permusyawaratan Desa dan kemudian menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya tersebut kepada Bupati dengan tembusan kepada Camat. Badan Permusyawaratan Desa yang selanjutnya disebut BPD adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan desa yang terdiri dan pemuka masyarakat yang ada di desa yang berfungsi melestarikan adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan

menyalurkan aspirasi masyarakat serta melakukan pengawasan terhadap

penyelenggaraan pemerinntahan desa. Bertitik tolak pada hal tersebut diatas berarti bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh seorang kepala desa harus dapat dikoordinasikan dahulu dengan Badan Permusyawaratan Desa dan Masyarakat Desa, baik itu dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Pembuatan Peraturan Desa dan segala jenis kegiatan lainnya. Hal ini bertujuan agar segala tindakan yang dilakukan dan segala bentuk dan pada keputusan dan peraturan yang dibuat atau dikeluarkan oleh Kepala Desa tidak bertentangan dengan keinginan dan adat-istiadat di dalam masyarakat desa. Oleh karena itu kedua lembaga dalam Pemerintahan Desa harus dapat bekerja sama dengan sebaik-baiknya untuk depan menyelenggarakan jalannya pemerintahan desa.4

Dari ketentuan pasal 55 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dapat dilihat bahwa Badan Permusyawaratan Desa dan Kepala Desa mempunyai

4

Dadang Solihin, 2002. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Dalam Era Reformasi, PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, h 45.


(20)

6

hubungan dalam menyelenggarakan pemerintahan desa. Hubungan diartikan sebagai "keadaan berhubungan".5 Keadaan yang berhubungan disini adalah berkaitan dengan tata kerja, diantaranya : structural dan pertanggung jawaban. Mengenai hubungan, dimana kata Hubungan berasal dari kata Hubung yang diartikan sebagai "jabatan, peran, kerja, kegunaan, sekelompok pekerjaan, yang satu dengan yang lainnya ada hubungan erat dalam pelaksanaan tugas pokok".6 Hubungan berkaitan karena jabatan. Untuk melihat hubungan antara Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa dalam pembentukan peraturan desa lebih dalam lagi, penulis mengadakan penelitian di Desa Peguyangan Kaja, Denpasar Utara.

Desa Peguyangan Kaja membawahi 11 Banjar yaitu Banjar Umadesa, Banjar Pondok, Banjar Benbiyu, Banjar Denyeh, Banjar Punduh kulit, Banjar Batur, Banjar Dualang, Banjar Saih, Banjar Gunung, Banjar Paang Tebel, Banjar Blusung. Desa Peguyangan kaja adalah desa yang terletak di kecamatan denpasar utara, karena desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Di dalam perjalanannya desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu di lindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan desa.

5

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Balai Pustaka, Jakarta, h 358. 6


(21)

7

Sedangkan mengenai Peraturan Desa yang terdapat dalam Pasal 69 ayat 3 dan ayat 9 Undang-undang No. 6 tahun 2014. Menyatakan bahwa Peraturan Desa di tetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa. Dan Rancangan Peraturan Desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat desa.

Secara awam masyarakat desa sering diartikan sebagai masyarakat tradisional. Masyarakat desa dalah masyarakat yang tinggal di suatu wilayah teritorial tertentu yang di sebut desa. Masyarakat desa merupakan anggota komunitas kecil atar individu yang bersifat kekeluargaan. Di mana di desa peguyangan kaja yang mayoritas penduduknya berkecimpung dalam bidang pertanian, menyebabkan masyarakat tersebut acuh dengan rancangan peraturan di desa karena mereka sibuk dengan urusan pertaniannya. Dalam pemahaman tentang peraturan desa, masyarakat desa tersebut kurang paham dan cenderung hanya menerima apa saja keputusan dari desa. Dan Kurang kritisnya masyarakat terhadap perancangan peraturan desa.

Sebagai suatu Organisasi Pemerintahan terendah yang diakui oleh Undang- Undang, Desa Peguyangan Kaja memiliki dua lembaga desa yang berperan aktif didalam kelangsungan pemerintahan yaitu Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa sebagai unsur dari penyelenggara pemerintahan di desa. Di dalam menjalankan kinerjanya, Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa diharapkan menjalin hubungan yang baik dan harmonis.

Desa Peguyangan Kaja dipilih sebagai tempat penelitian karena berdasarkan infomasi yang penulis dapatkan, desa ini tergolong kesadaran masyarakatnya masih


(22)

8

sangat rendah terhadap peraturan desa yang telah di tetapkan oleh kepala desa dan badan permusyawaratan desa. Disamping itu juga penelitian di desa ini dimaksudkan untuk mengetahui penerapan peraturan perundang-undang tentang desa secara langsung terutama dalam pembentukan peraturan desa.

Peraturan Desa dibentuk dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa, yang dimana peraturan desa merupakan penjabaran dari perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan kondisi sosial masyarakat desa setempat dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum. Peraturan desa ditetapkan oleh Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan asas pembentukan

peraturan perundang-undangan. Pembentukan peraturan ditujukan untuk

pembangunan desa agar terwujud masyarakat yang adil, makmur dan merata.

Didalam pembuatan peraturan desa, konsep-konsep atau rancangan peraturan desa dapat diajukan oleh Kepala Desa maupun oleh Badan Permusyawaratan Desa, hal ini dikarenakan kedua unsur pemerintahan desa ini memiliki tugas dan hak untuk mengajukan rancangan peraturan desa dan kemudian dibahas bersama-sama didalam rapat musyawarah desa. Setelah dibentuk dan ditetapkannya peraturan desa, haruslah disampakian oleh Kepala Desa kepada Bupati/Walikota melalui Camat sebagai bahan pengawasan dan pembinaan, paling lambat 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. (pasal 58 PP Rl Nomor 72 Tahun 2005).

Peraturan perundang-undangan tentang desa telah mengatur tentang hubungan antara kepala desa dengan badan permusyawaratan desa dalam rangka pembentukan peraturan desa. Kepala desa berhak mengajukan rancangan peraturan desa kemudian


(23)

9

membahasnya bersama Badan Permusyawaratan desa. Permasalahannya adalah dalam prakteknya apakah sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Disamping itu, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi hubungan antara kepala desa dengan badan permusyawaratan desa.

Berdasarkan uraian tersebut diatas penulis ingin mengkaji lebih jauh tentang Hubungan dari dua Lembaga Desa yang sangat berperan penting didalam memajukan kemakmuran masyarakat, yaitu Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa, didalam melaksanakan kinerjanya untuk memajukan desa. Maka penulis memilih

judul "HUBUNGAN KEPALA DESA DENGAN BADAN

PERMUSYAWARATAN DESA DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN

DESA DI DESA PEGUYANGAN KAJA, DENPASAR UTARA”

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang sudah diuraikan diatas, adapun rumusan masalah yang akan menjadi fokus pembahasan dalam skripsi ini adalah :

1. Bagaimana Hubungan Kepala Desa Dengan Badan Permusyawaratan Desa di Desa Peguyangan Kaja ?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi hubungan Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa dalam Pembentukan Peraturan Desa ?

1.3 Ruang Lingkup Masalah


(24)

10

nantinya pembahasan ini tidak menyimpang dari pokok permasalahan, yang mana perlu kiranya untuk mengadakan pembatasan terhadap ruang lingkup permasalannya, yaitu :

a. Permasalah pertama dibahas mengenai hubungan kepala desa dengan badan permusyawaratan desa.

b. Permasalahan kedua dibahas mengenai faktor-faktor apa yang mempengaruhi di dalam pembentukan peraturan desa yang dibuat oleh kepala desa dengan Badan Permusyawaratan Desa.

1.4 Orisinalitas Penelitian

Skripsi ini merupakan karya asli penulis sehingga dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Untuk menunjukkan orisinalitas dari skripsi ini, berikut penulis bandingkan perbedaannya dengan penelitian terdahulu yang sejenis, yaitu:

Indikator Pembeda dari Penelitian :

No. Judul Penulis Penulis Permasalahan

1. Hubungan

Kepala Desa Dengan Badan

Permusyawaratan

Desa Dalam

I Nyoman Ary Sutrisnoputra Fakultas Hukum Universitas

1. Bagaimana Hubungan Kepala Desa Dengan Badan Permusyawaratan Desa di Desa Peguyangan Kaja? 2. Faktor-faktor apa saja yang


(25)

11 Pembentukan

Peraturan Desa Di

Peguyangan Kaja,

Denpasar Utara

Udayana Tahun 2016

Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa dalam Pembentukan Peraturan Desa ?


(26)

12 2

3

Hubungan

Fungsional Antara

Kepala Desa Dengan Badan

Permusyawaratan

Desa Dalam

Pembuatan

Peraturan Desa di Desa Sumerta Kelod, Kota Denpasar

Hubungan

fungsional antara

kepala desa dengan badan

permusyawaratan

desa dalam

pembentukan

peraturan desa di

desa duda timur

kabupaten

I Wayan

Artawan Purnata; Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2008

I Gede Yuda Partha

Mahendra Fakultas Hukum Universitas Udayana tahun 2015

1. Bagaimana hubungan fungsional antara Kepala Desa dengan Badan

Permusyawaratan Desa dalam

rangka pembuatan Peraturan Desa?

2. Hambatan-hambatan apa yang

ditemui dalam pembuatan

Peraturan Desa yang dibuat oleh

Kepala Desa dengan Badan

Permusyawaratan Desa

1. Bagaimana hubungan

fungsional antara Kepala Desa

dengan Badan

Permusyawaratan desa dalam rangka pembentukan peraturan Desa,?

2. Hambatan-hambatan apa yang

ditemui dalam pembentukan peraturan desa yang di buat oleh kepala desa dengan badan


(27)

13


(28)

14

Walaupun ketiga penelitian tersebut memiliki persamaan membahas mengenai Hubungan Kepala Desa Dengan Badan Permusyawaratan Desa Dalam Pembentukan Peraturan Desa, namun hal yang dibahas oleh penulis memiliki perbedaan dengan skripsi pembanding. Terdapat dua perbedaan pada hal yang dibahas, perbedaan yang pertama adalah pada tempat penelitian dari skripsi tersebut. Skripsi yang penulis buat melakukan penelitian di Desa Peguyangan kaja Denpasar Utara. Sedangkan pada skripsi pembanding melakukan penelitian di Desa Sumerta Kelod, Kota Denpasar, dan di desa duda timur kabupaten karangasem. Perbedaan yang kedua pada rumusan masalahnya berbeda antara penelitian satu dengan penelitian dua dan tiga. pembahasan bab 2, bab 3 dan bab 4. Skripsi yang penulis buat pada bab 2 membahas tentang tinjauan umum tentang desa, kepala desa, badan permusyawaratan desa, dan peraturan desa. Pada bab 3 membahas tentang hubungan kepala desa dengan badan permusyawaratan desa dalam rangka pembentukan peraturan desa. Pada bab 4 membahas tentang hambatan-hambatan yang ditemui dalam pembentukan peraturan desa. Pada skripsi pembanding bab 2 membahas tentang tinjauan umum tentang penyelenggaraan pemerintahan desa dan badan permusyawaratan desa. Bab 3 membahas tentang hubungan fungsional antara kepala desa dengan badan permusyawaratan desa dalam rangka pembentukan peraturan desa. Bab 4 membahas tentang penerapan peraturan desa di desa duda timur karangasem.


(29)

15

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1.5.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dari penulisan skripsi ini adalah agar lebih mengetahui secara mendalam bagaimana hubungan Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa dalam Pembentukan peraturan desa di desa Peguyangan Kaja.

1.5.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui hubungan kepala desa dengan badan

permusyawaratan desa di dalam mekanisme Pembentukan Peraturan Desa.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Hubungan Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa di dalam membentuk peraturan desa tersebut.

1.6 Manfaat Hasil Penelitian 1.6.1. Manfaat teoritis.


(30)

16

teoritis (keilmuan). Hasil penelitian skripsi yang dibuat untuk memperoleh gelar sarjana pada fakultas hukum universitas udayana dapat dijadikan sebagai bahan lampiran lembaga fakultas hukum universitas udayana dan sebagai refrensi pada perpustakaan.

1.6.2 Manfaat Praktis

1.6.2.1 Manfaat bagi masyarakat dari Penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman kepada masyarakat tentang pembuatan peraturan desa dan memberi pemahaman tentang hubungan kepala desa dengan badan permusyawaratan desa dalam pembentukan peraturan desa.

1.6.2.2 Manfaat bagi penulis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang hubungan Antara kepala desa dengan badan permusyawaratan desa dalam pembentukan peraturan desa serta mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dalam pembentukan peraturan desa yang dibuat oleh kepala desa dengan badan permusyawaratan desa.

1.7 Landasan Teoritis

Sebelum membahas permasalahan dalam skripsi ini secara mendalam, maka terlebih dahulu akan diuraikan beberapa teori, asas-asas, atau landasan-landasan yang dimungkinkan untuk menunjang pembahasan permasalahan yang ada. Dengan adanya teori-teori yang menunjang, diharapkan dapat memperkuat, memperjelas dan


(31)

17

mendukung untuk menyelesaikan permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini.

1.7.1 Teori Negara Hukum

Secara embriotik, gagasan Negara Hukum telah dikemukakan oleh Plato, ketika ia menulis Nomoi, sebagai karya tulis ketiga yang dibuat di usia tuanya, sementara dalam dua tulisan pertama, Politeia dan Politicos, belum muncul istilah Negara, hukum7.Negara Indonesia adalah negara

yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) bukan negara yang berdasarkan

atas kekuasaan belaka (machtstaaf). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa "negara Indonesia adalah Negara Hukum". Negara Hukum harus

memenuhi dua persyaratan yaitu supremacy before the law artinya hukum

diberikan kedudukan tertinggi, berkuasa penuh dalam suatu negara dan rakyat. Syarat kedua adalah equality before the law artinya semua orang pejabat pemerintahan maupun masyarakat biasa adalah sama statusnya atau

kedudukannya didalam hukum.8

Sifat Negara Hukum ini hanya dapat ditunjukkan jika alat-alat perlengkapannya bertindak menurut peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga pemerintahan yang berwenang dan sesuai dengan asas legalitas. Frans Magnis Susena mengemukakan ciri-ciri Negara

7

Rindwan HR. 2011, Hukum Administrasi Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal..2

8


(32)

18 Hukum sebagai berikut:

1. Asas legalitas.

2. Kebebasan/kemandirian kekuasaan kehakiman.

3. Perlindungan hak asasi manusia.

4. Sistem konstitusi/hak dasar.9

Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap Negara Hukum terutama bagi Negara-Negara Hukum dalam sistem Kontinental10. Istilah asas legalitas juga dikenal dalam Hukum Pidana; nullum delictum sine praevia lage poenali (tidak ada hukuman tanpa undang-undang), kemudian asas legalitas ini digunakan dalam bidang Hukum Administrasi Negara yang memiliki makna, "dat het bestuur aan de wet is onderworpen " (bahwa pemerintah tunduk kepada undang-undang) atau "het legaliteitsbeginsel houdt in dat alle (algcmene) de burgers bindende bepalingen op de wet moeten berusten" (asas legalitas menentukan bahwa semua ketentuan yang mengikat warha Negara harus didasarkan pada undang-undang)11. Asas legalitas ini merupakan prinsip Negara Hukum yang sering dirumuskan dengan ungkapan "het beginsel

9

Frans Magnis Suseno, 1978, Dasar-Dasar limn Politik. PT. Bumi Aksara, Jakarta, hal.34

10

Rindwan HR, op.cit, hal. 90. 11


(33)

19

van wetmatigheid van bestuur" yakni prinsip keabsahan pemerintah.12 Asas Negara Hukum menggambarkan bahwa dalam suatu Negara Hukum haruslah membuat undang-undang untuk dapat mengikat masyarakat karena tanpa undang-undang suatu Negara Hukum tidak bisa mengikat masyarakatnya sendiri.

1.7.2 Teori Negara Kesatuan

Negara kesatuan disebut juga dengan uniterisme atau eenheistaat, ialah suatu Negara yang merdeka dan berdaulat, di mana di seluruh Negara yang berkuasa hanyalah satu pemerintah (pusat) yang mengatur seluruh daerah, jadi tidak terdiri dari beberapa daerah yang berstatus Negara bagian (deelstaaf) atau Negara dalam Negara. Dengan demikian, dalam Negara kesatuan hanya ada satu pemerintahan, yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan Negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan Negara baik di pusat maupun di daerah-daerah, di dalam maupun di luar negeri.13

Negara kesatuan mewujudkan kebulatan tunggal, mewujudkan kesatuan, unity, dan yang monosentris berpusat satu. Beberapa macam

12

Rindwan HR. loc.cit 13

Titik Triwulan Tutik, 2008, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 19451, Kharisma Putra Utama, Jakarta, h. 144


(34)

20

Negara kesatuan, antara lain: pertama, Negara kesatuan dengan system sentralisasi, di mana segala urusan diatur oleh pemerintah pusat. Sedangkan pemerintahan daerah tidak mempunyai hak untuk mengurus sendiri daerahnya, pemerintah daerah tinggal melaksanakan. Contoh:

Jerman dibawah Hitler. Kedua, Negara kesatuan dengan system

desentralisasi (gedecentraliseerde eenheidsstaaf), di mana kepada daerah-daerah diberikan kesempatan dan kekuasaan untuk mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) yang di namakan daerah swatantra (otonomi) tingkat 1 (Daswati I atau Pemprov) dan Daswati II atau

pemkot/pemkab.14

1.7.3 Teori Kewenangan

Setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang.15 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kewenangan mengandung arti: (1) hal wewenang, dan (2) hak dan kekuasaan yang dimiliki untuk memiliki sesuatu. Sedangkan kata wewenang mengandung arti: (1) hak dan kekuasaan untuk bertindak; kewenangan, (2) kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang

14

Ibid,h.145 15


(35)

21 lain.16

Wewenang menurut H.D. Stout mengatakan bahwa wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintah, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum

publik di dalam hubungan hukum publik.17

Dalam konsep hukum publik, wewenang merupakan konsep inti dari hukum tata negara dan hukum administrasi negara.18 Tanpa adanya kewenangan yang dimiliki, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan atau tindakan pemerintah. Menurut Donner, ada dua fungsi berkaitan dengan kewenangan, yakni

fungsi pembuat kebijakan (policy marking) yaitu kekuasaan yang

menentukan tugas (taakstelling) dari alat pemerintah atau kekuasaan yang menentukan politik negara dan fungsi pelaksanaan kebijakan (policy exsecuting) yaitu kekuasaan yang bertugas untuk merealisasikan politik negara yang telah ditentukan (verwezeblikking van de taak).19

Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama

dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk

16

Balai Pustaka, 1989, Kamus Besar Indonesia, Depdikbud, Jakarta, h. 1010 17

Ibid,h. 101.

18

H.M. Arief Muljadi, 2005, Landascm dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan Rcpublik Indonesia, Prestasi Pustaka, h. 61

19

Viktor Situmorang. 1989, Dasar-Dasar Hukum Admnistrasi Negara. Bima Aksara, Jakarta, h. 30


(36)

22

berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten)20. Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dan bagian awal dari hukum administrasi, karena pemerintahan (administrasi) baru dapat menjalankan fungsinya adalah atas

dasar wewenang yang diperolehnya, artinya keabsahan tindak

pemerintahan atas dasar wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (legalitiet beginselen).21

Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara, yaitu atribusi,

delegasi dan mandat.22 Teori kewenangan menurut H.D. Van Wijk/Willem

Konijnenbelt meliputi atribusi, delegasi dan mandat yang didefinisikan sebagai berikut:

a. Attributie: toekening van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan). b. Delegatie: overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan

aan een under, (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya), c. Mandaat: een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namcns hem

20

Ridwan HR,op.cit,h.102

21

Nomensen Sinamo. 2010, Hukum Administrasi Negara. Jala Pcrmata Akasara, Jakarta,h.87

22


(37)

23

uitoefenen door een ander, (mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya).23

Menurut Indroharto, terdapat tiga sifat wewenang pemerintahan yaitu:

1. Wewenang pemerintahan yang bersifat terikat, yakni terjadi apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan yang bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan atau peraturan dasarnya sedikit banyak menentukan tentang isi dari keputusan yang harus diambil.

2. Wewenang fakultatif terdapat dalam hal badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit banyak masih ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalam hal-hal atau keadaan-keadaan tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya.

3. Wewenang bebas, yakni terjadi ketika peraturan dasamya member! kebebasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkannya atau peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup kebebasan kepada pejabat tata usaha negara yang bersangkutan.24

23

Ibid, h.104

24


(38)

24

1.8 Hipotesis

Berdasarkan landasan teori dalam uraian diatas maka dapat ditarik jawaban sementara dari permasalahan yang diangkat. Dalam hipotesis ini bukan merupakan jawaban yang sebenarnya untuk menjawab pennasalahan yang diangkat, akan tetapi harus terlebih dahulu dilakukan penelitian dan pengujian mengenai kebenarannya melalui suatu penelitian yang berdasarkan data-data yang kemudian dianalisa. Barulah analisa tersebut dapat diyakini kebenarannya.

Adapun Hipotesis dari permasalahan tersebut adalah :

1. Hubungan kerja dapat berlangsung apabila dalam pembentukan peraturan desa, kepala desa dan badan permusyawaratan desa telah membahas dan menyepakati peraturan yang akan dibentuk.

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dalam Pembentukan Peraturan Desa yang dibuat oleh Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa yaitu:

1. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada Undang- undang saja.

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan

hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.


(39)

25 karsa manusia di dalam pergaulan hidup25

1.9 Metode Penelitian 1.9.1. Jenis Penelitian

Pengkajian dalam penulisan Skripsi ini termasuk penelitian hukum empiris. Artinya, penelitian hukum tersebut dalam penulisannya mengkonsepkan hukum sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati dalam kehidupan nyata.26 Dalam konteks ini, sesuatu yang disebutkan sebagai hukum tidak semata-mata ditimbulkan dan didasarkan dari literatur-literatur hukum, namun sebagai suatu yang ditimbulkan dari keadaan masyarakat atau proses di dalam masyarakat berdasarkan suatu gejala yang akan menimbulkan berbagai efek dalam kehidupan sosial dengan merumuskan kesenjangan antara das sein dan das solen, yaitu kesenjangan antara teori dengan realita atau fakta hukum.

1.9.2. Jenis pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach) dan pendekatan fakta (The Fact Approach). Pendekatan peraturan perundang-undangann (The Statute Approach)

25

Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto 1), h.8.

26

Nomense Sinamo. 2009. Metode Penelitian Hukum. PT Bumi Jntitama Sejahtera, Jakarta, h.59.


(40)

26

yaitu pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi.27 Sedangkan

pendekatan fakta adalah pendekatan yang melihat langsung

dilapangan/masyarakat berdasarkan fakta yang ada dalam pelaksanaan Peraturan

Daerah Kota Denpasar Tentang Pembentukan Badan Permusyawaratan Desa

tentang tata cara menjadi anggota, kedudukan dan susunan, rapat , Fungsi /dan wewenang, pengangkatan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa. Sesuai dengan pendekatan peraturan perundang-undangan yang selanjutnya diikuti oleh konsep-konsep yang berkaitan dengan penelitian ini.

1.9.3. Sifat Penelitian

Sifat penelitian dalam penulisan ini adalah bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif pada penelitian secara umum, termasuk pula didalamnya penelitian ilmu hukum, bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Dalam penelitian ini teori-teori, ketentuan peraturan, norma-norma hukum, karya tulis yang dimuat baik dalam literatur maupun jurnal, doktrin, serta laporan penelitian terdahulu sudah mulai ada dan bahkan jumlahnya cukup memadai.

1.9.4. SumberData

Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris ada dua jenis yaitu data primer dan data sekunder, yaitu:

27


(41)

27

a. Data primer adalah data-data yang diperoleh langsung dalam penelitian dilapangan.

b. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari data kepustakaan (Library research) yaitu dimana data-data atau bahan penulisan ini diperoleh dari literatur-literatur dan peraturan Perundang-undangan yang ada kaitannya dengan masalah.28

Bahan hukum terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Adapun bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai otoritas (autoritatif) yang terdiri dari (a) peraturan perundang-undangan, (b) catatan-catatan resmi atau risalah pembuatan suatu peraturan perundang-undangan,

dan (c) putusan hakim29. Adapun bahan-bahan hukum yang digunakan adalah:

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (ULID) Tahun 1945; b) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas

Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah; c) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan;

d)Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa;

28

Burhan Ashshofa. 2001, Metode Penelitian Hukum, Rhineka Cipta, Jakarta, hal 103

29


(42)

28

e)Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Desa;

f)Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 Tentang Desa

g)Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 4 Tahun 2007

tentang Pembentukan Badan Permusyawaratan Desa;

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian,

atau pendapat pakar hukum.30 Adapun bahan hukum sekunder yang

digunakan adalah:

a) Berupa Literatur-literatur yang memuat mengenai pandangan dari

beberapa ahli;

b) Bahan-bahan internet yang mendukung.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti

kamus (hukum), ensiklopiedia.31 Adapun bahan hukum tersier yang digunakan

adalah :

a. Kamus Hukum;

b. Kamus Besar Bahasa Indonesia 1.9.5 Teknik Pengumpulan data

Dalam penelitian studi empiris ada beberapa teknik-teknik mengumpulkan

30

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h 32.

31


(43)

29 data yaitu :

a. Teknik Studi Dokumen

Studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum (baik normatif maupun empiris)

b. Teknik wawancara (interview)

Menurut M Mochtar, teknik wawancara adalah teknik atau metode memperoleh informasi untuk tujuan penelitian dengan cara melakukan tanya

jawab secara langsung (tatap muka), antara pewawancara dengan responden.32

c. Teknik Observasi/pengamatan

Teknik observasi dibedakan menjadi dua yaitu teknik observasi langsung dan teknik observasi tidak langsung. Yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik observasi langsung dimana dalam pengumpulan data peneliti mengadakan pengamatan langsung atau tanpa alat terhadap gejala-gejala subjek yang diselidiki baik pengamatan dilakukan dalam situasi buatan, yang khusus diadakan.

1.9.6 Pengolahan dan analisis data

Apabila seluruh data yang diperoleh melalui studi kepustakaan atau dengan wawancara, kemudian data diolah dan dianalisis secara kualitatif yaitu dengan menghubungkan antara data yang ada yang berkaitan dengan pembahasan dan selanjutnya disajikan secara deskriptif analisis.


(44)

28

BAB II

TINJAUANUMUM TENTANG DESA, KEPALA DESA, BADAN

PERMUSYAWARATAN DESA, DAN PERATURAN DESA

2.1 Tentang Desa 2.1.1 Pembentukan Desa

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 1 angka 1 menyebut bahwa Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau link tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Desa adalah suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan asal usul yang bersifat istimewa. Pemikiran mengenai pemerintahan desa berlandaskan keanekaragaman, partisipasi. otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Desa dapat melakukan perbuatan hukum, baik hukum publik maupun hukum privat, memiliki kekayaan, harta bendadan bangunan serta dapat dituntut dan menuntut dipengadilan.

Asal kata "Desa" adalah berasal dan bahasa India, yaitu "swadesi". Swadesi berarti tempat asal, tempat tinggal, negara asal, atau tanah leluhur yang mcrujuk pada satu kesatuan hidup, dengan satu kesatuan norma, serta memiliki


(45)

29

batas yang jelas. Istilah desa ini. juga bisa disebut dengan istilah lain pada daerah-daerah tertentu. Misalnya saja: Dusun dan Marga bagi masyarakat Sumatra selatan , Dati di Maluku, Nagari di Minang atau Wanua di Minahasa. Terjadinya perbedaan istilah desa tersebut tidak lain karena dipengaruhi oleh budaya dan adat istiadat dari setiap desa.1 Pada hakekatnya bentuk Desa dapat dibedakan menjadi dua yaitu Desa Geneologis dan Desa Tradisional. Sekalipun bervariasi nama Desa ataupun daerah hukum yang setingkat Desa di Indonesia, akan tetapi asas atau landasan hukumnya hampir sama yaitu adat, kebiasaan dan hukum adat. Desa dapat diartikan sebagai permukiman manusia di luar kota yang penduduknya berjiwa agraris. Dalam keseharian disebut kampung, sehingga ada istilah pulang ke kampung atau kampung halaman. Desa adalah bentuk kesatuan administratif yang disebut kelurahan. Lurahnya kepala desa.

Pendefinisian desa dari segi geografis ini salah satunya dikemukakan oleh Bintarto. Menurutnya, definisi desa adalah suatu hasil dari perwujudan antara kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungannya. Hasil dari perpaduan itu adalah suatu wujud atau penampakan dimuka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, social ekonomis, politis, dan kultural yang saling berinteraksi antar unsur tersebut dan juga dalam hubungannya dengan daerah lain.2

1

Amin Suprihartini, 2007, Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Cet. I, Cempaka Putih,Klaten, h.1.

2


(46)

30

Definisi desa dipandang dari pergaulan hidup dikemukakan oleh Bouman, yaitu sebagai salah satu bentuk kuno dari kehidupan bersama sebanyak beberapa ribu orang, dan hampir semuanya saling mengenal. Kebanyakan orang yang termasuk didalamnya hidup dari pertanian, perikanan, dan sebagainya, usaha yang dapat dipengaruhi oleh hukum dan kehendak alam. Lebih lanjut Bouman berpendapat bahwa dalam tempat tinggal itu terdapat banyak ikatan-ikatan keluarga yang rapat, ketaatan pada tradisi dan kaidah-kaidah sosial.3

Desa dipandang dari segi hubungan dengan penempatannya di dalam susunan tertib pemerintahan muncul dari Departemen Dalam Negeri yang termaktub dalam Pola Dasar dan Gerakan Operasional Pembangunan Masyarakat Desa. Adapun pengertian Desa yang dimaksud sebagai berikut: "Desa atau dengan nama aslinya yang setingkat yang merupakan kesatuan masyarakat hokum berdasarkan susunan asli adalah suatu 'badan hukum' dan 'badan pemerintahan" yang merupakan bagian wilayah kecamatan atau wilayah

yang melingkunginya.”4

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 200 ayat (2) menyebutkan Pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan Desa dengan memperhatikan asal usulnya atas prakarsa

3

Ibid. h. 2.

4


(47)

31

masyarakat. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa Pasal 2 ayat (1) menyebutkan Desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Dapat dilihat dari Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Pemerintah tersebut bahwa Desa dibentuk atas prakarsa dari masyarakat serta memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.

Adapun syarat-syarat dalam pembentukkan desa diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa adalah:

a. jumlahpenduduk; b. luas wilayah;

c. bagian wilayah kerja; d. perangkat; dan

e. sarana dan prasarana pemerintahan.

Jika Desa yang kondisi masyarakat dan wilayahnya tidak lagi memenuhi persyaratan dapat dihapus atau digabung. Pembentukan desa dapat berupa penggabungan beberapa desa, atau bagian desa yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih, atau pembentukan desa di luar desa yang telah ada.

Menurut Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, Yang dimaksud dengan pembentukan desa adalah tindakan mengadakan desa yang baru diluar desa yang ada. Ungkapan "mengadakan desa baru" tidak berarti bahwa desa yang bersangkutan tiba-tiba muncul, melainkan melalui fase


(48)

32

persiapan jauh sebelumnya, seperti halnya desa yang lahir di lokasi-lokasi transmigrasi, resettlement, dan pradesa.

Pembentukan desa diatur dalam Pasal 7 Ayat (4) huruf a dan Pasal 8 Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, dalam Pasal 7 Ayat (4) huruf a disebutkan bahwa Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pembentukan. Penataan yang dimaksud selanjutnya lebih rinci dijelaskan pada Pasal 8 yang menyebutkan bahwa:

1)Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) huruf a

merupakan tindakan mengadakan Desa baru di luar Desa yang ada.

2)Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan prakarsa masyarakat Desa, asal usul, adat istiadat, kondisi sosial budaya masyarakat Desa, serta kemampuan dan potensi Desa.

3)Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:

a. batas usia Desa induk paling sedikit 5 (lima) tahun terhitung sejak pembentukan;

b. jumlah penduduk, yaitu:

1) wilayah Jawa paling sedikit 6.000 (enam ribu) jiwa atau 1.200 (seribu dua ratus) kepalakeluarga;

2) wilayah Bali paling sedikit 5.000 (lima ribu) jiwa atau 1.000 (seribu) kepala keluarga;

3) wilayah Sumatera paling sedikit 4.000 (empat ribu) jiwa atau 800

(delapan ratus) kepala keluarga;

4) wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara paling sedikit 3.000

(tiga ribu) jiwa atau 600 (enam ratus) kepala keluarga;

5) wilayah Nusa Tenggara Barat paling sedikit 2.500 (dua ribu lima ratus) jiwa atau 500 (lima ratus) kepala keluarga;

6) wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan

Kalimantan Selatan paling sedikit 2.000 (dua ribu)

jiwa atau 400 (empat ratus) kepala keluarga;

7) wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan

Kalimantan Utara paling sedikit 1.500 (seribu lima ratus) jiwa atau 300 (tiga ratus) kepala keluarga;

8) wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Maluku Utara paling

sedikit 1.000 (seribu) jiwa atau 200 (dua ratus) kepala keluarga; dan;


(49)

33 (seratus) kepala keluarga.

c. wilayah kerja yang memiliki akses transportasi antarwilayah;

d. sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat Desa;

e. memiliki potensi yang meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya ekonomi pendukung; 5 / 71

f. batas wilayah Desa yang dinyatakan dalam bentuk peta Desa yang telah ditetapkan dalam peraturan Bupati/ Walikota;

g. sarana dan prasarana bagi Pemerintahan Desa dan pelayanan publik; dan h. tersedianya dana operasional, penghasilan tetap, dan tunjangan lainnya

bagi perangkat Pemerintah Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4) Dalam wilayah Desa dibentuk dusun atau yang disebut dengan nama lain

yang disesuaikan dengan asal usul. adat istiadat, dan nilai sosial budaya masyarakat Desa.

5) Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Desa persiapan.

6) Desa persiapan merupakan bagian dari wilayah Desa induk.

7) Desa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat ditingkatkan statusnya

menjadi Desa dalam jangka waktu 1 (satu) sampai 3 (tiga) tahun.

8) Peningkatan status sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilaksanakan berdasarkan

hasil evaluasi.

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Pasal 2 menyebutkan bahwa pembentukan desa diprakarsai oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pemerintah dapat memprakarsai pembentukan Desa di kawasan yang bersifat khusus dan strategis bagi kepentingan nasional. Prakarsa pembentukan Desa dapat diusulkan oleh kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terkait dimana usul prakarsa pembentukan Desa tersebut diajukan kepada Menteri. Usul prakarsa pembentukan Desa dibahas oleh Menteri bersama-sama dengan menteri/pimpinan lembaga pemerintah


(50)

34

nonkementerian pemrakarsa serta pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. Dalam melakukan pembahasan, Menteri dapat meminta pertimbangan dari menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait, jika usul prakarsa disepakati untuk membentuk Desa, Menteri menerbitkan keputusan persetujuan pembentukan Desa kemudian Keputusan Menteri tersebut ditindaklanjuti oleh pemerintahan daerah kabupaten/kota dengan menetapkannya dalam peraturan daerah kabupaten/kota tentang pembentukan Desa.

Pemerintah daerah kabupaten/kota dalam memprakarsai pembentukan Desa berdasarkan atas hasil evaluasi tingkat perkembangan Pemerintahan Desa di wilayahnya. Pemerintah daerah kabupaten/kota dalam memprakarsai pembentukan Desa harus mempertimbangkan prakarsa masyarakat Desa, asalusul, adat istiadat. kondisi sosial budaya masyarakat Desa, serta kemampuan dan potensi Desa.

Pembentukan desa pada umumnya melalui fase persiapan seperti diatur dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya ada sebidang tanah kosong tiada berpenduduk dan tidak merupakan tanah atau wilayah desa tertentu. Pada suatu hari tanah itu digarap dan didiami oleh beberapa keluarga yang berasal dari tempat (desa) asal yang berjauhan letaknya. Setelah jumlah penduduk daerah itu menginjak angka ratusan, tentu mulai difikirkan soal tata pemerintahannya, terlebih pula mengingat hubungannya dengan desa asal masing-masing. Selama belum dapat disahkan sebagai desa yang berdiri


(51)

35

sendiri, penduduk tersebut memerlukan pembinaan melalui fase persiapan.

2.1.2 Pemerintahan Desa

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 menyebut Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam Pasal 200 Undang-Undang Nomor 32 Tahun Tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa pemerintahan desa terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Secara historis desa rupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum bangsa ini terbentuk.5 Desa merupakan daerah yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri serta relative mandiri. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat keberagaman yang tinggi membuat desa mungkin merupakan wujud bangsa yang paling kongkret.

Desa memiliki pemerintahan sendiri. Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa yang meliputi Kepala Desa dan Perangkat Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Kepala Desa adalah orang yang mengepalai desa. Kepala desa dalam organisasi pemerintahan desa mempunyai kedudukan sebagai pemimpin pemerintahan. Dalam kedudukan ini, kepala desa mempunyai tugas pokok sebagai berikut: Mempimpin, mengkoordinasikan, dan

5

HAW Widjaja, 2003, Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh, Jakarta. Raja Grafindo Persada. H.4


(52)

36

mengendalikan pemerintah desa dalam melaksanakan sebagian urusan rumah tangga desa, urusan pemerintahan umum, pembangunan dan pembinaan masyarakat, serta menjalankan tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan atau pemerintah kabupaten.6

Dalam Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah tidak dijelaskan secara jelas mengenai definisi dari Kepala Desa, kepala desa dapat diartikan sebagai pimpinan penyelenggaraan pemerintahan desa. Kepala Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangunan Desa, pembinaan keinasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. Pemerintah desa berfungsi menyelenggarakan kebijakan pemerintah atasnya dan kebijakan desa, sedangkan BPD berfungsi menetapkan peraturan desa bersama dengan kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa mengatur bahwa Kepala Desa dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut dimana di undang-undang

sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah mengatur bahwa masa jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Dapat dilihat disini bahwa di Undang-Undang Desa yang baru kepala desa dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara

6


(53)

37

berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.

Susunan organisasi pemerintahan di setiap desa tidak tentu sama. Hal ini karena tergantung dari kebutuhan dan keadaan desa masing-masing. Desa memiliki pemerintahan sendiri. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa pemerintahan desa terdiri atas pemerintah desa (yang meliputi kepala desa dan perangkat desa) dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Lebih lanjut bisa dirinci sebagai berikut.

a. Kepala desa

b. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) c. Sekretaris desa

d. Kepala urusan pemerintahan e. Kepala urusan pembangunan f. Kepala urusan kesejahteraan rakyat g. Kepala urusan keuangan

h. Kepala urusan umum

Untuk lebih jelasnya lagi perhatikan contoh bagan struktur organisasi pemerintahan desa di bawah ini :

Kepala Desa

Kaur Pemerintahan

Kaur Pembangunga

Kaur Kesejahteraan

Rakyat

Kaur Keuangan

Kaur Umum Badan

Permusyawaratan Desa


(54)

38

2.2 Badan Permusyawaratan Desa

Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari pcnduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah Pasal 209 menyebut Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Pasal 55 menyebut Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi mcmbahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa dan melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.

Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, kedudukan Badan Pennusyawaratan Desa mengalami perubahan. Jika sebelumnya Badan Pennusyawaratan Desa merupakan unsur penyelenggara pemerintahan maka sekarang menjadi lembaga desa. Dari fungsi hukum berubah menjadi fungsi politis. Kini, fungsi Badan Pennusyawaratan Desa yaitu


(55)

39

menyalurkan aspirasi, merencanakan APBDes, dan mengawasi pemerintahan desa. Sedangkan tugasnya adalah menyelenggarakan musyawarah desa (musdes) dengan peserta terdiri kepala desa, perangkat desa kelompok, dan tokoh masyarakat. Jumlah pesertanya tergantung situasi kondisi setiap desa. Musyawarah desa berfungsi sebagai ajang kebersamaan dan membicarakan segala kebijakan tentang desa.

Badan Pennusyawaratan Desa beranggotakan wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Anggota Badan Pennusyawaratan Desa terdiri atas ketua rukun warga, pemangku adat, golongan pirofesi, dan tokoh atau pemuka agama serta masyarakat lainnya. Masa Jabatan Badan Permusyawaratan Desa adalah enam tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk sekali masa jabatan berikutnya. Peresmian anggota Badan Permusaywaratan Desa ditetapkan dengan keputusan bupati/wali kota.7

Menurut Pasal 55 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Badan Pennusyawaratan Desa mempunyai Fungsi:

a. membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa;

b. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan c. melakukan pengawasan kinerja kepala desa.

Dapat dilihat disini bahwa fungsi dari Badan Permusywaratan Desa

7


(56)

40

merupakan fungsi pemerintahan yang bersifat politis dari suatu Lembaga Desa. Membahas dan menyepakati peraturan desa bersama dengan kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi dari masyarakat desa kepada pemerintah desa dan melakukan pengawasan terhadap kinerja dari kepala desa sebagai kepala pemerintah desa.

Di dalam menjalankan fungsinya, menurut Pasal 61 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Badan Permusyawaratan Desa berhak:

a. mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa kepada Pemerintah Desa;

b. menyatakan pendapat atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa; dan

c. mendapatkan biaya operasional pelaksanaan tugas dan fungsinya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.

Badan Permusyawaratan Desa disini selaku lembaga legislatif desa mempunyai hak untuk mengawasi dan mendapat keterangan tentang penyelenggaraan pemerintahan desa kepada kepala desa, menyatakan pendapat dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dan mendapat biaya operasional pelaksanaan tugas dan fungsinya dari APBDesa.

2.3 Peraturan Desa


(57)

41

tidak mengatur dengan jelas tentang Peraturan Desa sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa menjelaskan bahwa Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Badan Permusyawaratan Desa bersama Kepala Desa. Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 1 angka 7 menyebutkan bahwa Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.

Peraturan ini berlaku di wilayah desa tertentu. Peraturan Desa merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat desa setempat.8 Peraturan desa dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta norma kesusilaan masyarakat. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan peraturan desa. Peraturan desa harus dibentuk berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang meliputi:

a. Kejelasan tujuan;

b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d. Dapat dilaksanakan;

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. Kejelasan rumusan; dan

8

Arifin Wijaya, 2014, Peraturan desa, tersedia pada situs


(58)

42 g. Keterbukaan.9

Sebagai sebuah produk politik, Peraturan Desa diproses secara demokratis dan partisipatif, yakni proses penyusunannya mengikutsertakan partisipasi masyarakat Desa. Masyarakat Desa mempunyai hak untuk mengusulkan atau memberikan masukan kepada Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam proses penyusunan Peraturan Desa.

Dalam menyusun peraturan desa, rancangan peraturan desa dapat diprakarsai oleh pemerintah desa dan dapat berasal dari usul inisiatif Badan Permusyawaratan Desa. Apabila berasal dari pemerintah desa maka kepala desa lah yang menyiapkan rancangan peraturan desa tersebut. Apabila berasal dari Badan Permusyawaratan Desa maka Badan permusyawaratan Desa lah yang menyiapkan rancangan peraturan desa tersebut. Dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Masyarakat berhak memberikan masukan baik secara lisan maupun secara tertulis Terhadap rancangan peraturan desa. Kemudian rancangan peraturan desa akan dibahas secara bersama oleh pemerintah desa dengan badan permusyawatan desa dalam rapat musyawarah desa. Pemerintah desa dapat menarik kembali rancangan peraturan desanya sebelum dibahas bersama Badan Permusyawaratan Desa.

Untuk rancangan peraturan desa tentang anggaran pendapatan dan belanja

9

Hanif Nurcholis, 2011. Pertumbuhan & Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Jakarta, Erlangga. Hal 114


(59)

43

desa, pungutan, dan penataan ruang yang telah disetujui bersama dengan BPD, sebelum ditetapkan oleh kepala desa paling lama 3 (tiga) hari disampaikan oleh kepala desa kepada bupati/walikota untuk dievaluasi. Hasil evaluasi disampaikan oleh bupati /walikota kepada kepala desa paling lama 20 (dua puluh) hari sejak rancangan peraturan desa tersebut diterima. Apabila bupati/walikota belum memberikan hasil evaluasi rancangan angaran pendapatan dan belanja desa tersebut kepala desa dapat menetapkan rancangan peraturan desa tentang anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDesa) menjadi peraturan desa.10

Peraturan Desa yang mengatur kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan berskala lokal Desa pelaksanaannya diawasi oleh masyarakat Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Hal itu dimaksudkan agar pelaksanaan Peraturan Desa senantiasa dapat diawasi secara berkelanjutan oleh warga masyarakat Desa setempat mengingat Peraturan Desa ditetapkan untuk kepentingan masyarakat Desa. Apabila terjadi pelanggaran terhadap pelaksanaan Peraturan Desa yang telah ditetapkan, Badan Permusyawaratan Desa berkewajiban mengingatkan dan menindaklanjuti pelanggaran dimaksud sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Itulah salah satu fungsi pengawasan

yang dimiliki oleh Badan Permusyawaratan Desa. Selain Badan

Permusyawaratan Desa, masyarakat Desa juga mempunyai hak untuk melakukan pengawasan dan evaluasi secara partisipatif terhadap pelaksanaan

10


(60)

44

Peraturan Desa. Materi muatan yang tertuang dalam peraturan desa antara lain: 1. Menetapkan ketentuan-ketentuan yang bersifat menguntungkan;

2. Menetapkan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan masyarakat desa; 3. Menetapkan segala sesuatu yang membebani keuangan desa dan masyarakat

desa.

Materi muatan peraturan desa dapat memuat masalah-masalah yang berkembang di desa yang perlu pengaturannya. Semua materi peraturan desa tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Penetapan Peraturan Desa merupakan penjabaran atas berbagai kewenangan yang dimiliki Desa mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sebagai sebuah produk hukum, Peraturan Desa tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan tidak boleh merugikan kepentingan umum, seperti terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya akses terhadap pelayanan publik, terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum, terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa, dan diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antargolongan, serta gender.


(1)

39

menyalurkan aspirasi, merencanakan APBDes, dan mengawasi pemerintahan desa. Sedangkan tugasnya adalah menyelenggarakan musyawarah desa (musdes) dengan peserta terdiri kepala desa, perangkat desa kelompok, dan tokoh masyarakat. Jumlah pesertanya tergantung situasi kondisi setiap desa. Musyawarah desa berfungsi sebagai ajang kebersamaan dan membicarakan segala kebijakan tentang desa.

Badan Pennusyawaratan Desa beranggotakan wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Anggota Badan Pennusyawaratan Desa terdiri atas ketua rukun warga, pemangku adat, golongan pirofesi, dan tokoh atau pemuka agama serta masyarakat lainnya. Masa Jabatan Badan Permusyawaratan Desa adalah enam tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk sekali masa jabatan berikutnya. Peresmian anggota Badan Permusaywaratan Desa

ditetapkan dengan keputusan bupati/wali kota.7

Menurut Pasal 55 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Badan Pennusyawaratan Desa mempunyai Fungsi:

a. membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa;

b. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan c. melakukan pengawasan kinerja kepala desa.

Dapat dilihat disini bahwa fungsi dari Badan Permusywaratan Desa

7


(2)

40

merupakan fungsi pemerintahan yang bersifat politis dari suatu Lembaga Desa. Membahas dan menyepakati peraturan desa bersama dengan kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi dari masyarakat desa kepada pemerintah desa dan melakukan pengawasan terhadap kinerja dari kepala desa sebagai kepala pemerintah desa.

Di dalam menjalankan fungsinya, menurut Pasal 61 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Badan Permusyawaratan Desa berhak:

a. mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa kepada Pemerintah Desa;

b. menyatakan pendapat atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa; dan

c. mendapatkan biaya operasional pelaksanaan tugas dan fungsinya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.

Badan Permusyawaratan Desa disini selaku lembaga legislatif desa mempunyai hak untuk mengawasi dan mendapat keterangan tentang penyelenggaraan pemerintahan desa kepada kepala desa, menyatakan pendapat dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dan mendapat biaya operasional pelaksanaan tugas dan fungsinya dari APBDesa.

2.3 Peraturan Desa


(3)

41

tidak mengatur dengan jelas tentang Peraturan Desa sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa menjelaskan bahwa Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Badan Permusyawaratan Desa bersama Kepala Desa. Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 1 angka 7 menyebutkan bahwa Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.

Peraturan ini berlaku di wilayah desa tertentu. Peraturan Desa merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat desa setempat.8

Peraturan desa dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta norma kesusilaan masyarakat. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan peraturan desa. Peraturan desa harus dibentuk berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang meliputi:

a. Kejelasan tujuan;

b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d. Dapat dilaksanakan;

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. Kejelasan rumusan; dan

8

Arifin Wijaya, 2014, Peraturan desa, tersedia pada situs


(4)

42

g. Keterbukaan.9

Sebagai sebuah produk politik, Peraturan Desa diproses secara demokratis dan partisipatif, yakni proses penyusunannya mengikutsertakan partisipasi masyarakat Desa. Masyarakat Desa mempunyai hak untuk mengusulkan atau memberikan masukan kepada Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam proses penyusunan Peraturan Desa.

Dalam menyusun peraturan desa, rancangan peraturan desa dapat diprakarsai oleh pemerintah desa dan dapat berasal dari usul inisiatif Badan Permusyawaratan Desa. Apabila berasal dari pemerintah desa maka kepala desa lah yang menyiapkan rancangan peraturan desa tersebut. Apabila berasal dari Badan Permusyawaratan Desa maka Badan permusyawaratan Desa lah yang menyiapkan rancangan peraturan desa tersebut. Dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Masyarakat berhak memberikan masukan baik secara lisan maupun secara tertulis Terhadap rancangan peraturan desa. Kemudian rancangan peraturan desa akan dibahas secara bersama oleh pemerintah desa dengan badan permusyawatan desa dalam rapat musyawarah desa. Pemerintah desa dapat menarik kembali rancangan peraturan desanya sebelum dibahas bersama Badan Permusyawaratan Desa.

Untuk rancangan peraturan desa tentang anggaran pendapatan dan belanja

9

Hanif Nurcholis, 2011. Pertumbuhan & Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Jakarta, Erlangga. Hal 114


(5)

43

desa, pungutan, dan penataan ruang yang telah disetujui bersama dengan BPD, sebelum ditetapkan oleh kepala desa paling lama 3 (tiga) hari disampaikan oleh kepala desa kepada bupati/walikota untuk dievaluasi. Hasil evaluasi disampaikan oleh bupati /walikota kepada kepala desa paling lama 20 (dua puluh) hari sejak rancangan peraturan desa tersebut diterima. Apabila bupati/walikota belum memberikan hasil evaluasi rancangan angaran pendapatan dan belanja desa tersebut kepala desa dapat menetapkan rancangan peraturan desa tentang anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDesa)

menjadi peraturan desa.10

Peraturan Desa yang mengatur kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan berskala lokal Desa pelaksanaannya diawasi oleh masyarakat Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Hal itu dimaksudkan agar pelaksanaan Peraturan Desa senantiasa dapat diawasi secara berkelanjutan oleh warga masyarakat Desa setempat mengingat Peraturan Desa ditetapkan untuk kepentingan masyarakat Desa. Apabila terjadi pelanggaran terhadap pelaksanaan Peraturan Desa yang telah ditetapkan, Badan Permusyawaratan Desa berkewajiban mengingatkan dan menindaklanjuti pelanggaran dimaksud sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Itulah salah satu fungsi pengawasan

yang dimiliki oleh Badan Permusyawaratan Desa. Selain Badan

Permusyawaratan Desa, masyarakat Desa juga mempunyai hak untuk melakukan pengawasan dan evaluasi secara partisipatif terhadap pelaksanaan

10 Ibid.


(6)

44

Peraturan Desa. Materi muatan yang tertuang dalam peraturan desa antara lain: 1. Menetapkan ketentuan-ketentuan yang bersifat menguntungkan;

2. Menetapkan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan masyarakat desa; 3. Menetapkan segala sesuatu yang membebani keuangan desa dan masyarakat

desa.

Materi muatan peraturan desa dapat memuat masalah-masalah yang berkembang di desa yang perlu pengaturannya. Semua materi peraturan desa tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Penetapan Peraturan Desa merupakan penjabaran atas berbagai kewenangan yang dimiliki Desa mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sebagai sebuah produk hukum, Peraturan Desa tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan tidak boleh merugikan kepentingan umum, seperti terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya akses terhadap pelayanan publik, terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum, terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa, dan diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antargolongan, serta gender.


Dokumen yang terkait

Optimalisasi Peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa (Studi Pada BPD Desa Aek Goti Kecamatan Silangkitang Kabupaten Labuhanbatu Selatan)

5 96 117

Kinerja Badan Permusyawaratan Desa (Bpd) Dalam Otonomi Desa

3 68 100

Peranan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dalam Perencanaan Pembangunan Desa (Studi Tentang Proyek Desa Di Desa Gunung Tua Panggorengan Kecamatan Panyabungan)

35 350 77

Relasi Antara Kepala Desa Dengan Badan Permusyawaratan Desa Dalam Mewujudkan Good Governance (Studi Kasus: Desa Pohan Tonga, Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara)

1 62 186

Peranan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dalam Pembangunan Pertanian Di Desa Batukarang Kecamatan Payung Kabupaten Karo

1 71 103

Pelaksanaan Fungsi Badan Permusyaratan Desa (BPD) di Desa Janjimaria

0 40 88

Peran Badan Perwakilan Desa (BPD) Dalam Proses Demokratisasi Di Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang (Suatu Tinjauan di Desa Simalingkar A dan Desa Perumnas Simalingkar)

1 49 124

Optimalisasi Peran Badan Permusyawaratan Desa Dalam Pembentukan Peraturan Desa (Studi Kasus Di Desa Tridayasakti Kecamatan Tambun Selatan Kabupaten Bekasi)

1 12 92

HUBUNGAN KEPALA DESA DENGAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DESA DI DESA BANGUNJIWO KECAMATAN KASIHAN KABUPATEN BANTUL

6 91 245

PERAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD) DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DESA DI KECAMATAN KISMANTORO Peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dalam Pembentukan Peraturan Desa Di Kecamatan Kismantoro Kabupaten Wonogiri.

0 2 24