Analisa Kelompok

4.3. Analisa Kelompok

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, peneliti menyatakan bahwa terjadi kesenjangan antara idealitas dan realitas penayangan stasiun tv dengan regulator yang ada, yaitu KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Dalam kenyataannya peran KPI mengalami keterbatasan kewenangan dan membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakatnya dalam bentuk sosialisasi literasi media dan memberikan pemahaman sedalam-dalamnye mengenai literasi media.

Dilihat dari kasus Dahsyat selama tahun 2015. Selama 5 kali ia mendapatkan teguran administratif, padahal sudah dijelaskan oleh Ibu Nina Mutmainah Armando bahwa ―jika lebih dari 2 kali mendapatkan teguran tertulis, sanksi harus meningkat ke sanksi yang lebih berat, yaitu pembatasan durasi atau pemberhentian sementara‖ namun hal ini tidak dijalankan oleh KPI.

Media televisi saat ini hanya memikirkan keuntungan saja dari rating televisi untuk mendapatkan iklan karena biaya produksi dan operasional TV sangat besar, apalagi saat ini media sudah terpolitisasi dan harus ikut akan kemauan pemiliknya

41 Wawancara langsung dengan Nina Mutmainah Armando, 1 Oktober 2015 di Universitas Indonesia Depok.

yang notabene aktif di partai-partai besar sehingga tak jarang bahwa uang yang masuk ke stasiun televisi tersebut dipergunakan untuk keperluan partai. Merujuk Robert Picard dalam Media Economics (1989), media televisi melayani keinginan/ kebutuhan dari empat kelompok. Pertama, pemilik, termasuk di dalamnya terkait tujuan ekonomi yaitu memperoleh pendapatan yang tinggi, pertumbuhan perusahaan, serta peningkatan nilai dan aset perusahaan.

Secara kolektif, audiens mencari produk dan pelayanan media yang bermutu tinggi dengan biaya rendah dan akses yang mudah. Ketiga, para pengiklan, yang mencari akses untuk menyasar target audiens dengan biaya yang rendah melalui pesan-pesan komersial dan pelayanan bermutu tinggi dari media pengiklan.

Terakhir, para pekerja dari organisasi media, yang tertarik untuk mendapatkan kompensasi berupa gaji yang baik, perlakuan yang adil dan sama, suasana kerja yang aman dan menyenangkan, serta segala penghargaan yang didapatkan dari pekerjaannya. Maka itu, ketika industri pertelevisian di Indonesia cenderung menjadi sangat pragmatis, lebih mengedepankan untung rugi, mengabaikan nilai dan pendidikan publik, lebih mengutamakan hiburan dan berorientasi kepada pasar tanpa mempertimbangkan baik/ buruk efek yang ditimbulkannya, sesungguhnya televisi sudah mengabaikan paling tidak kepentingan dari kelompok stakeholder-nya yang utama yaitu masyarakat. Padahal sudah saatnya media televisi tidak sekadar menjadi unit bisnis dan media hiburan, tetapi juga menjadi institusi yang membawa kemaslahatan untuk masyarakat.

Berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku UU No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran, Mike Feintuck (1999:43-45) mengemukakan bahwa justifikasi penyusunan regulasi penyiaran karena ada dua hal, yaitu komunikasi yang efektif dan diversitas politik dan kultural.

Selain berhubungan dengan keterbatasan frekuensi, Effective Communication juga berkaitan dengan demokratisasi komunikasi, yang meliputi jaminan negara untuk memungkinkan terjadinya keberagaman komunikasi. Tanpa regulasi yang menjamin keberagaman penyiaran, kondisi yang berkembang akan cenderung monopolistik. Kondisi ini merupakan jembatan emas menuju monopoli informasi, yang berujung pada monopoli kebenaran. Feintuck secara lugas menunjuk kondisi yang demikian sebagai komunikasi yang tidak efektif.

Diversitas berhubungan dengan dua aspek, yaitu politis dan cultural. Secara politis, diversitas berkaitan erat dengan nilai demokrasi yang menghendaki terjadinya aliran ide secara bebas melalui suatu instrumen yang memungkinkan semua orang dapat mengaksesnya secara merata. Jika satu atau dua orang atau kelompok mendominasi kepemilikan media, dan menggunakan posisi tersebut untuk mengontrol isi tampilan media, maka ketika itulah terjadi reduksi ―keberagaman sudut pandang‖ (heterodox view).

Dalam konteks industri media kekinian, secara apologis Mc Quail (1992:55-

59) menunjukkan bahwa aspek diversitas lebih banyak ditemukan pada lembaga penyiaran publik. Horizontal diversity adalah bagian dari diversitas itu sendiri, yaitu varietas jumlah program atau tipe program yang ditawarkan pada konsumen dalam satu kurun waktu bersamaan. Sebagai mana yang telah dipaparkan oleh Azimah Subagijo, sebagai contoh tayangan ―Dahsyat‖ yang ditayangkan pada pagi hari, terdapat pula di waktu yang bersamaan acara yang memiliki muatan-muatan yang hampir sama dengannya.

Selama ini stasiun televisi tidak mengindahkan KPI karena sanksi dari KPI tidak sampai mencabut izin, hanya tertulis sampai sanksi pembatasan durasi dan tidak tayang sementara. Izin dan administrasi dikelola Kominfo, jadi KPI hanya bisa berbicara saja, inilah salah satu kekurangan fungsi dari KPI sebagai lembaga regulasi penyiaran.

Indonesia membutuhkan tayangan atau konten yang mendidik dan lembaga regulasi penyiaran yang tegas kewenangannya sehingga perilaku masyarakat di Indonesia bisa lebih baik karena dipaparkan tayangan-tayangan yang positif.