- Concept note
Annex 1 - Concept note
Seminar Publik
Intervensi 1 pada Pelaku sebagai Bagian dari Upaya untuk Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan terhadap Perempuan : Hambatan dan Harapan
Kamis, 10 Desember 2015 Hotel Oria, Jakarta Dalam Rangka Kampanye 16 HAKTP
1 Istilah intervensi dalam konteks ini digunakan secara bebas untuk mengacu pada pengertian segala bentuk penanganan pada pelaku kekerasan yang bertujuan agar pelaku dapat menghentikan kekerasan yang dilakukannya, merubah perilakunya dan dapat mengembangkan
diri menjadi lebih baik sebagai manusia yang bermartabat. Termasuk di dalamnya intervensi yang dilakukan oleh negara setelah putusan ataupun sebelum putusan pengadilan, dalam hal ini sering disebut sebagai rehabilitasi pelaku, maupun inisiatif lembaga non pemerintah yang dilakukan pada pelaku, misalnya pelaku atau yang beresiko tinggi melakukan kekerasan datang ke layanan konseling, baik inisiatif sendiri maupun dorongan dari orang lain.
LATAR BELAKANg
Dalam beberapa tahun terakhir ini, intervensi pada pelaku kekerasan terhadap perempuan dianggap sebagai upaya yang penting dalam menangani dan mencegah kekerasan terhadap perempuan. Seiring dengan upaya untuk memperjuangkan pemulihan dan keadilan bagi perempuan korban kekerasan, intervensi pada pelaku juga diupayakan dengan tujuan agar pelaku jera dan tidak lagi mengulangi perbuatannya, selain pemenjaraan, juga melalui berbagai proses rehabilitasi. Diharapkan fokus dan perhatian pada intervensi pada pelaku dapat memberikan solusi karena kontrol pada terjadinya kekerasan sebenarnya terletak pada pelaku kekerasan tersebut.
Pada tahun 2014, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan menurut laporan akhir tahun Komnas Perempuan adalah sebesar 293.220, meningkat dibanding tahun 2013 yang mencapai 279.688 kasus. Salah satu terobosan untuk perlunya intervensi lebih lanjut, selain sanksi pemenjaraan pada pelaku, sudah tertuang dalam UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga No. 232004, dimana ada pengaturan tentang program konseling bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga. Pasal 50 UU PKDRT 232004, mengatur tentang pemberian sanksi hukum bagi pelaku yang terbukti telah melakukan KDRT diantaranya mewajibakan pelaku untuk mengikuti program konseling dengan tujuan agar terjadi perubahan perilaku pada diri terpidana pelaku KDRT. Lebih lanjut diatur dalam UU tersebut mengenai kewenangan seorang hakim pengadilan yang dapat menjatuhkan hukuman pidana tambahan kepada pelaku berupa perintah untuk mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu. Selain itu, negara juga sudah membuat komitmen untuk melakukan proses rehabilitasi pada pelaku usia anak yang lebih mengedepankan kepentingan terbaik anak dan menerapkan prinsip perlindungan anak melalui diberlakukannya UU Sistem Peradilan Pidana Anak No 11 tahun 2012, menggantikan UU yang lama UU No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Hal ini bertujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Namun terlepas dari terobosan-terobosan yang sudah dilakukan untuk intervensi pada pelaku, masih
diperlukan sebuah tinjauan seberapa jauh hal ini sudah diimplementasikan dan apakah intervensi pada pelaku ini sudah menuju pada perubahan perilaku yang dapat berkontribusi pada penghentian kekerasan terhadap perempuan, seperti dalam konteks KDRT ataupun kekerasan seksual, termasuk pada anak pelaku kekerasan seksual.
Intervensi pada pelaku dalam bentuk rehabilitasi menjadi bagian penting dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Berkaitan dengan itu, pada tahun 2007 RutgersWPF bersama dengan WCC Rifka Annisa, Yogyakarta dan WCC Cahaya Perempuan Bengkulu, mengembangkan program konseling bagi laki-laki yang bertujuan untuk membimbing laki-laki yang melakukan kekerasan dalam hubungan personal demi mengakhiri kekerasannya dan menjadi pasangan yang saling menghargai dan menghormati. Pada tahun 2013, Yayasan PULIH, PKBI Lampung, PKBI Jawa Timur, WCC DAMAR Lampung dan WCC Sahabat Perempuan Magelang mulai bergabung mengembangkan konseling perubahan perilaku ini sampai pada tingkat komunitas.
Semuanya di atas ini dilakukan untuk merespon terhadap meningkatnya angka kekerasan seksual di Indonesia dan UU yang mengatur tentang kekerasan seksual saat ini tidak bisa menjawab kompleksitasnya masalah kekerasan seksual yang terjadi. Berangkat dari keprihatinan yang sama akhir-akhir ini pemerintah mengeluarkan wacana mengenai pengebirian sebagai hukuman pidana tambahan bagi pelaku kekerasan seksual pada anak. Wacana ini menimbulkan pro dan kontra, terutama mendapatkan pertentangan dari LSM karena tindakan itu sendiri merupakan sebuah pelanggaran hak asasi manusia khususnya hak atas kesehatan seksual dan reproduksinya dan dibuat atas dasar pemahaman yang keliru mengenai kekerasan seksual, yaitu bahwa kekerasan seksual semata-mata terjadi karena masalah libido dan penggunaan alat kelamin. Keprihatinan-keprihatinan tersebut di atas, baik dari pemerintah maupun dari LSM, mengarah ke perlunya sebuah pendekatan yang holistik dan terintegrasi untuk mengatasi dan mencegah terjadinya kekerasan seksual.
Terlepas dari hal tersebut, baik pemerintah dan warga masyarakat lainnya sebenarnya sependapat akan Terlepas dari hal tersebut, baik pemerintah dan warga masyarakat lainnya sebenarnya sependapat akan
TUJUAN
perempuan. Akan tetapi, dari berbagai diskusi dan pendapat yang berkembang akibat wacana kebiri
Kegiatan seminar ini memiliki tujuan untuk:
tersebut, menyisakan berbagai pertanyaan refleksi
1) berpartisipasi dalam kampanye 16 HAKTP
apakah kita masyarakat sudah memahami dengan
2) menyediakan ruang diskusi bersama dengan