HASIL DAN PEMBAHASAN

E. Kepadatan Krop

Gambar 5 menunjukkan bahwa kepadatan krop tertinggi pada kontrol yaitu

3 0,64 g/cm 3 , sedangkan nilai terendah yaitu 0,37 g/cm pada perlakuan boraks 30 kg/ha dan pahitan. Hasil ini menunjukkan bahwa krop yang paling padat adalah

pada kontrol sedangkan kepadatan yang paling rendah adalah perlakuan boraks 30 kg/ha dan pahitan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua perlakuan kurang dapat meningkatkan kepadatan krop.

Gambar 5. Diagram batang kepadatan krop setelah sepuluh minggu perlakuan

Keterangan : A : Kontrol (perlakuan petani)

B : Boraks 30 kg/ha dan pahitan

C : Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam dan pahitan

D : Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam

E : Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap lubang tanam dan pahitan

F : Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap lubang tanam Rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama, berbeda tidak nyata menurut uji T

pada taraf 5 %

Kepadatan krop yang semakin tinggi dipengaruhi banyak jumlah daun yang membentuk krop. Hal ini berarti bahwa selama pertumbuhan krop terus bertambah padat dan semakin berat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua perlakuan menghasilkan kepadatan krop yang rendah dibandingkan dengan kontrol. Hal ini karena semua perlakuan memiliki rata-rata volume krop yang tinggi dan diikuti peningkatan rata-rata berat krop, tetapi berat krop yang dihasilkan tidak dapat menyeimbangkan untuk meningkatkan kepadatan krop yang dibandingkan dengan kontrol.

F. Populasi Mikrob pada Rizhosfer Kubis

Mikroorganisme memainkan peran penting dalam proses tanah, antara lain : merupakan daur ulang penting nutrisi tanaman, pembentukan humus, dan detoksifikasi pestisida. Penggunaan fungisida menjadi perhatian utama karena dimungkinkan akan memberikan efek berbahaya pada mikrob tanah, yang berkontribusi untuk kesuburan tanah.

Gambar 6. Diagram batang populasi mikrob tanah pada setiap perlakuan

Keterangan : A : Kontrol (perlakuan petani)

B : Boraks 30 kg/ha dan pahitan

C : Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam dan pahitan

D : Boraks 0,3 g/200 ml tiap lubang tanam

E : Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap lubang tanam dan pahitan

F : Flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) tiap lubang tanam spk = satuan pembentukan koloni

Rata-rata populasi jamur, bakteri, atau actinomycetes yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama, berbeda tidak nyata menurut uji T pada taraf 5 %

Gambar 6 menunjukkan bahwa populasi jamur terendah pada perlakuan boraks 0,3 g/200 ml yaitu 3,68 spk/g tanah. Populasi tertinggi jamur pada perlakuan boraks 30 kg/ha dan pahitan yaitu 4,17 spk/g tanah. Pengamatan populasi bakteri, nilai terendah pada perlakuan boraks 0,3 g/200 ml yaitu 11,94 spk/g tanah. Nilai tertinggi populasi bakteri yaitu 13,74 spk/g tanah pada kontrol. Hasil yang sama juga pada perhitungan populasi actinomycetes, nilai terendah pada perlakuan boraks 0,3 g/200 ml yaitu 3,90 spk/g tanah. Populasi actinomycetes tertinggi pada kontrol yaitu 5,00 spk/g tanah.

Berdasarkan hasil tersebut, perlakuan boraks 0,3 g/200 ml memberikan pengaruh dalam menurunkan populasi mikrob baik jamur, bakteri, dan actinomycetes. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan boraks yang tidak dikombinasikan dengan pahitan dapat menurunkan populasi mikrob pada rizhosfer kubis. Pengaruh tersebut dapat berakibat pada aktivitas mikrob, sehingga dapat mengurangi keseimbangan biologi tanah yang dapat menurunkan kesuburan tanah. Dengan demikian, perlu dilakukan kombinasi perlakuan dengan pahitan yang merupakan fungisida nabati yang tidak menimbulkan efek negatif. Selain sebagai fungisida nabati, pahitan juga dapat memberikan bahan organik bagi tanah, sehingga dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh pengaruh aplikasi boraks.

G. Pembahasan Umum

Pengendalian penyakit dengan pemberian fungisida secara umum dapat memberikan pengurangan akar gada yang signifikan dengan pemberian tingkat tinggi dari fungisida. Pemberian fungisida tingkat rendah dapat memberikan hasil yang signifikan ketika infeksi tidak parah (Cheah et al., 1998).

Penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan boraks dan fungisida mempunyai potensi dalam mengendalikan akar gada. Perlakuan boraks, flusulfamide, dan kombinasinya dengan pahitan dibandingkan dengan kontrol dapat menurunkan insidens dan keparahan penyakit, sehingga mampu meningkatkan berat akar lateral sehat, hasil krop, dan diameter krop. Hal ini menunjukkan bahwa pengendalian dengan pemberian borax, flusulfamide dan kombinasinya dengan pahitan efektif menurunkan intensitas penyakit dan meningkatkan hasil.

Hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa boraks menekan insidens penyakit lebih rendah dibandingkan dengan flusulfamide. Hal ini menyebabkan berat akar lateral sehat dan hasil krop pada perlakuan boraks juga lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan flusulfamide. Dixon (1991) menemukan bahwa boron mempengaruhi perkembangan P.brassicae dengan memperlambat laju pematangan spora. Hasil penelitian Tanaka et al. (1999) menunjukkan bahwa flusulfamide secara langsung bertindak melawan spora rehat. Dengan demikian, perlakuan flusulfamide dapat lebih efektif menekan perkembangan patogen dibandingkan dengan boraks karena flusulfamide mempengaruhi tahap awal dalam siklus hidup P. brassicae dengan menghambat perkecambahan spora rehat.

Perlakuan yang memberikan hasil terbaik pada penelitian ini adalah flusulfamide 0,012 g (4 g formulasi) dan pahitan dalam menurunkan intensitas penyakit dan meningkatkan hasil. Keparahan penyakit dapat ditekan dengan efektivitas 46,67 % dan peningkatan hasil krop 148,24 %. Shimotori et al. (1996 cit. Donald & Porter, 2009) melaporkan bahwa sejumlah senyawa kimia telah dievaluasi untuk mengendalikan akar gada,dan tidak ada yang lebih aktif daripada flusulfamide. Flusulfamide banyak digunakan di Jepang dan juga terdaftar di Selandia Baru untuk mengendalikan akar gada pada sayuran Brassicae.