Gambaran Infeksi Menular Seksual di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009.

(1)

GAMBARAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) DI RSUP.H.ADAM MALIK MEDAN

TAHUN 2009 Oleh:

JANE TETRAULINA SILITONGA 070100117

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(2)

GAMBARAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) DI RSUP.H.ADAM MALIK MEDAN

TAHUN 2009

KARYA TULIS ILMIAH INI DIAJUKAN SEBAGAI SALAH SATU

SYARAT UNTUK MEMPEROLEH KELULUSAN SARJANA

KEDOKTERAN

Oleh:

JANE TETRAULINA SILITONGA 070100117

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(3)

(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Gambaran Infeksi Menular Seksual di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2009

Nama : Jane Tetraulina Silitonga NIM : 070100117

Pembimbing Penguji I

( dr. Donna Partogi, Sp.KK) (dr. Isti Ilmiati Fujiati, MSc. NIP 19720103 2005012 001 (CM-FM), MPd.Ked)

NIP 19670527 19990322 001

Penguji II

(Prof.dr.Abdul Rachman Saragih, Sp. THT-KL) NIP 19471130 1980031 002


(5)

ABSTRAK

Angka kejadian Infeksi Menular Seksual (IMS) di dunia, terutama di Indonesia masih cukup tinggi, meskipun pemerintah Indonesia dan WHO telah melakukan berbagai usaha pencegahan, penemuan kasus dan pengobatan IMS. RSUP.H.Adam Malik Medan, sebagai rumah sakit negri yang menjadi pusat rujukan di Sumatera Utara harus mengenali gambaran kelompok-kelompok beresiko tinggi terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) tersebut, agar dapat melakukan pencegahan,diagnosa dan pengobatan dengan lebih efisien.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah cross sectional study. Populasi dan sampel pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang mengidap Infeksi Menular Seksual (IMS) di RSUP. H. Adam Malik Medan pada tahun 2009 dengan jumlah sebanyak 67 orang yang diperoleh secara total sampling. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan menggunakan program SPSS dan diinterpretasikan dalam bentuk tabel.

Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran Infeksi Menular Seksual (IMS) pada pasien Poli Kulit dan Kelamin RSUP Haji Adam Malik Medan berdasarkan jenis IMS, jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan dan status marital.

Hasil penelitian ini adalah Infeksi Menular Seksual (IMS) yang paling sering terjadi adalah kondiloma akuminata (29,9%), diikuti gonore(28,4%), sifilis(7,5%), IGNS(4,5%) dan herpes simpleks(3%), dan terbanyak pada kelompok usia 30 hingga 34 tahun (22,4%), dimana pasien wanita (50,7%) ditemukan lebih banyak daripada pasien pria(49,3%). Didapati pula tingkat pendidikan rendah(14,9%), sedang (67,2%) dan tinggi(17,9%), dengan frekuensi yang lebih tinggi pada kelompok yang bekerja (53,7%) dan telah menikah (59,7%).

Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa gambaran IMS yang ditemukan adalah kondiloma akuminata sebagai jenis terbanyak, dimana IMS paling sering terjadi pada responden wanita, dengan kelompok usia 30-34 tahun, tingkat pendidikan sedang, bekerja dan telah menikah.


(6)

ABSTRACT

The incidence of Sexually Transmitted Infections (STI) in the world, especially in Indonesia is still quite high, although the Indonesian government and WHO have made various preventive efforts, case detections and treatment of STIs., RSUP.H.Adam Malik Medan, a government hospital that has become a referral health institution in North Sumatra must be able to recognize the figures of the groups at high risk for STIs are, in order to perform prevention, diagnosis and treatment more efficiently.

This study is a descriptive research and the research design used is a cross sectional study. The populations and samples in this study are all patients who suffered from sexually transmitted infections (STIs) in RSUP. H. Adam Malik Medan in 2009 with a total of 67 people with total sampling method. The data were then processed by using SPSS and interpreted in table forms.

The purpose of implementing this research is to describe the Sexually Transmitted Infections (STI) in patients of Poly Dermatology RSUP Haji Adam Malik Medan, on the basis of type of STI, sex, age, educational level, occupation and marital status.

The results of this study indicate that Sexually Transmitted Infections (STIs) that most often happened was condyloma acuminate (29.9%), that’s followed by gonorrhea(28,4%), siphilis(7,5%),NSGI(4,5%) and herpes simplex(3%)in the age group 30-34 years (22.4%), in which female patients (50.7%) were found to be more than male patients (49,3%) in low (14,9%),medium(67,2%) and high(17,9%) educational level and higher frequencies in the groups of patients who work (53,7) and have been married(59,7%).

From this research, it is known that the patients of Sexually Transmitted Infections (STIs) were dominated by the groups with Condyloma Acuminata, more frequent to be found in female in the age group 30-34 years, in medium levels of education,work and have been married.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah dengan judul “Gambaran Infeksi Menular Seksual (IMS) di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009”. Penulisan skripsi ini ditujukan sebagai tugas akhir dalam pemenuhan persayaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis mengakui adanya kekurangan dalam tulisan ini sehingga laporan hasil penelitian ini tidak mungkin disebut sebagai suatu karya yang sempurna. Kekurangan dan ketidak sempurnaan tulisan ini tidak lepas dari berbagai macam rintangan dan halangan yang selalu datang baik secara pribadi pada penulis maupun dalam masalah teknis pengerjaan. Penulis rasakan semua itu sebagai suatu ujian dan pengalaman yang sangat berharga yang kelak dapat memberi manfaat di kemudian hari.

Rampungnya karya tulis ini, tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara dan Dekan fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran USU Medan.

2. Ibu dr. Donna Partogi, Sp.KK sebagai dosen pembimbing yang telah banyak memberikan masukkan kepada penulis dalam rangka menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

3. Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan kesempatan serta sarana untuk menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

4. Seluruh pegawai dan staf bagian rekam medis RSUP H. Adam Malik yang telah membantu saya dalam pengumpulan data karya tulis ilmiah ini.


(8)

5. Seluruh pegawai dan staf pengajar bagian IKK Fakultas Kedokteran USU yang telah memberikan bimbingan dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini.

6. Teman- teman yang telah membantu saya dalam proses penelitian ini, Shanthi Levanita, Aida Siregar,Istia Asri, Dede Kurniawan, teman-teman sekelompok saya Annette Regina, Syahputra dan Ruth serta seluruh teman-teman angkatan 2007 Fakultas Kedokteran USU yang telah mendukung dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini, saya ucapkan terima kasih atas kerja samanya.

7. Terima kasih sebesar- besarnya kepada kedua orang tua saya, Elbiner Silitonga,MBA dan D. Rosanna Hutagalung yang telah memberikan dukungan dan motivasi dalam menyelesaikan studi saya termasuk dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini.

8. Terima kasih juga saya sampaikan kepada segenap keluarga yang tetap mendukung saya dalam pengerjaan karya tulis ilmiah ini.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat saya tuliskan yang telah memberikan bantuan kepada saya dalam pengerjaan karya tulis ini. Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa selalu membalas semua kebaikan yang selama ini di berikan kepada penulis dan melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.

Medan, November 2010 Penulis,

(Jane Tetraulina Silitonga) 070100117


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... ... 5

2.1. Defenisi Infeksi Menular Seksual……..………..………... 5

2.2. Penularan Infeksi Menular Seksual.……....………... 5

2.3. Diagnosa Infeksi Menular Seksual...……….... 6

2.4. Jenis-Jenis Infeksi Menular Seksual……...………..….... 8

2.4.1.Gonore………....….... 8

2.4.2. Infeksi Genital Non-Spesifik………...…….. 11

2.4.3. Sifilis………..………...……… 14


(10)

2.4.5. Kondiloma Akuminata…………...……..…………. 21

2.5. Pencegahan Infeksi Menular Seksual (IMS)……….…………... 23

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL.... .... 25

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... ... 25

3.2. Defenisi Operasional ... ... 25

BAB 4 METODE PENELITIAN ... ... 28

4.1. Jenis Penelitian………...……... 28

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian………...………... 28

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian………...……….. 28

4.4. Teknik Pengumpulan Data………... 28

4.5. Pengolahan Data……...……….. 29

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... ... 30

5.1 Hasil Penelitian ... 30

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 30

5.1.2 Karakteristik Responden ... 30

5.2 Pembahasan... ... 33

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... .... 38

6.1 Kesimpulan ... 38

6.2 Saran ... 38

DAFTAR PUSTAKA ... 40


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 3.1 Tabel Variabel………... 26

Tabel 5.1 Distribusi Responden Menurut Jenis IMS Tahun 2009... .31

Tabel 5.2 Distribusi Responden Menurut Usia Tahun 2009...31

Tabel 5.3 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin Tahun 2009...32

Tabel 5.4 Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2009... 32

Tabel 5.4 Distribusi Responden Menurut Pekerjaan Tahun 2009...32


(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul

1 Riwayat Hidup

2 Surat Persetujuan Komisi Etik tentang Pelaksanaan

Penelitian Bidang Kesehatan

3 Surat Izin Penelitian dati RSUP.H. Adam Malik

4 Data Induk


(14)

ABSTRAK

Angka kejadian Infeksi Menular Seksual (IMS) di dunia, terutama di Indonesia masih cukup tinggi, meskipun pemerintah Indonesia dan WHO telah melakukan berbagai usaha pencegahan, penemuan kasus dan pengobatan IMS. RSUP.H.Adam Malik Medan, sebagai rumah sakit negri yang menjadi pusat rujukan di Sumatera Utara harus mengenali gambaran kelompok-kelompok beresiko tinggi terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) tersebut, agar dapat melakukan pencegahan,diagnosa dan pengobatan dengan lebih efisien.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah cross sectional study. Populasi dan sampel pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang mengidap Infeksi Menular Seksual (IMS) di RSUP. H. Adam Malik Medan pada tahun 2009 dengan jumlah sebanyak 67 orang yang diperoleh secara total sampling. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan menggunakan program SPSS dan diinterpretasikan dalam bentuk tabel.

Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran Infeksi Menular Seksual (IMS) pada pasien Poli Kulit dan Kelamin RSUP Haji Adam Malik Medan berdasarkan jenis IMS, jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan dan status marital.

Hasil penelitian ini adalah Infeksi Menular Seksual (IMS) yang paling sering terjadi adalah kondiloma akuminata (29,9%), diikuti gonore(28,4%), sifilis(7,5%), IGNS(4,5%) dan herpes simpleks(3%), dan terbanyak pada kelompok usia 30 hingga 34 tahun (22,4%), dimana pasien wanita (50,7%) ditemukan lebih banyak daripada pasien pria(49,3%). Didapati pula tingkat pendidikan rendah(14,9%), sedang (67,2%) dan tinggi(17,9%), dengan frekuensi yang lebih tinggi pada kelompok yang bekerja (53,7%) dan telah menikah (59,7%).

Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa gambaran IMS yang ditemukan adalah kondiloma akuminata sebagai jenis terbanyak, dimana IMS paling sering terjadi pada responden wanita, dengan kelompok usia 30-34 tahun, tingkat pendidikan sedang, bekerja dan telah menikah.


(15)

ABSTRACT

The incidence of Sexually Transmitted Infections (STI) in the world, especially in Indonesia is still quite high, although the Indonesian government and WHO have made various preventive efforts, case detections and treatment of STIs., RSUP.H.Adam Malik Medan, a government hospital that has become a referral health institution in North Sumatra must be able to recognize the figures of the groups at high risk for STIs are, in order to perform prevention, diagnosis and treatment more efficiently.

This study is a descriptive research and the research design used is a cross sectional study. The populations and samples in this study are all patients who suffered from sexually transmitted infections (STIs) in RSUP. H. Adam Malik Medan in 2009 with a total of 67 people with total sampling method. The data were then processed by using SPSS and interpreted in table forms.

The purpose of implementing this research is to describe the Sexually Transmitted Infections (STI) in patients of Poly Dermatology RSUP Haji Adam Malik Medan, on the basis of type of STI, sex, age, educational level, occupation and marital status.

The results of this study indicate that Sexually Transmitted Infections (STIs) that most often happened was condyloma acuminate (29.9%), that’s followed by gonorrhea(28,4%), siphilis(7,5%),NSGI(4,5%) and herpes simplex(3%)in the age group 30-34 years (22.4%), in which female patients (50.7%) were found to be more than male patients (49,3%) in low (14,9%),medium(67,2%) and high(17,9%) educational level and higher frequencies in the groups of patients who work (53,7) and have been married(59,7%).

From this research, it is known that the patients of Sexually Transmitted Infections (STIs) were dominated by the groups with Condyloma Acuminata, more frequent to be found in female in the age group 30-34 years, in medium levels of education,work and have been married.


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit kelamin merupakan suatu fenomena yang telah lama kita kenal dan beberapa diantaranya sangat populer seperti sifilis, gonore maupun herpes. Semakin majunya ilmu pengetahuan, menemukan bahwa penyakit ini tidak hanya menimbulkan gejala klinis pada alat kelamin saja, tapi juga dapat menimbulkan gangguan pada organ-organ tubuh lainnya. Oleh karena itu, penggunaan istilah penyakit kelamin menjadi tidak sesuai lagi dan diubah menjadi Penyakit Menular Seksual (PMS). Namun sejak tahun 1998, istilah PMS ini kembali diganti menjadi Infeksi Menular Seksual (IMS) untuk menjangkau penderita asimptomatik yang ternyata banyak terjadi, terutama pada wanita.(Daili, 2009)

Infeksi menular seksual (IMS) selama dekade terakhir ini mengalami peningkatan insidensi yang cukup pesat di berbagai negara di seluruh dunia. Contohnya, kasus baru gonore di Amerika Serikat pada tahun 1995 sebanyak 62.150.000 kasus meningkat menjadi 62.350.000 kasus pada 1999 (WHO, 2001). Totalnya, pada tahun 1999, WHO memperkirakan terdapat 340 juta kasus IMS baru yang terjadi terutama pada pria dan wanita berusia 15- 49 tahun (WHO, 2007). Pada tahun 2008, dilaporkan 1.210.523 kasus infeksi klamidia di Amerika Serikat. Jumlah ini merupakan peningkatan sebanyak 9,2 % bila dibandingkan dengan data infeksi klamidia pada tahun 2007 (CDC, 2009). Tidak hanya infeksi klamidia, insidensi sipilis pun mengalami peningkatan yang pesat yaitu sebanyak 67% sejak tahun 2004 dan memuncak pada tahun 2008 dengan jumlah 13.500 kasus termasuk kejadian sipilis primer dan sekunder (CDC, 2009). Di Indonesia sendiri, telah banyak laporan mengenai prevalensi infeksi menular seksual ini. Beberapa laporan yang ada dari beberapa lokasi antara tahun 1999 sampai 2001 menunjukkan prevalensi infeksi gonore dan klamidia yang tinggi antara 20%-35% (Jazan, 2003). Selain klamidia,


(17)

sifilis maupun gonore , infeksi HIV/AIDS saat ini juga menjadi perhatian karena peningkatan angka kejadiannya yang terus bertumbuh dari waktu ke waktu. Jumlah penderita HIV/AIDS dapat digambarkan sebagai fenomena gunung es, yaitu jumlah penderita yang dilaporkan jauh lebih kecil daripada jumlah sebenarnya. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia yang sebenarnya belum diketahui secara pasti (Departemen Kesehatan R.I., 2006).

Berbagai usaha pencegahan penularan IMS telah digalakkan baik oleh pemerintah Indonesia maupun oleh WHO. Namun meskipun pemerintah telah mengupayakan usaha-usaha tersebut, insidensi IMS tetap meningkat dari tahun ke tahun. Seperti yang dikemukakan dalam hasil sebuah penelitian retrospektif deskriptif yang berjudul “Pola Penyakit Menular Seksual (PMS) di Poliklinik Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Pusat Sanglah Denpasar Periode Januari 1996 - Desember 2000” yang menunjukkan selama rentang waktu lima tahun didapatkan 809 kasus baru IMS yang memiliki kecenderungan meningkat setiap tahunnya, 15,3 % pada tahun 1996 dan 27,9 % pada tahun 2000. Lima kelompok IMS terbanyak adalah cervicitis non-gonorrhea (32,1%), kondiloma akuminata (15,7%), kandidosis vaginitis (14,9%), sifilis (11,7%), gonorrhea (9,6%) (Rosyati, 2001).

Peningkatan insidensi IMS dipengaruhi oleh beberapa faktor yang diantaranya adalah perubahan demografik seperti pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat tinggi, pergerakan masyarakat yang meningkat akibat perkerjaan ataupun pariwisata dan kemajuan sosial ekonomi. Akibat perubahan-perubahan demografik tersebut maka terjadi pergeseran pada nilai moral dan agama pada masyarakat. Faktor lain yang juga mempengaruhi peningkatan IMS adalah kelalaian negara dalam memberi pendidikan kesehatan dan seks kepada masyarakat, fasilitas kesehatan yang belum memadai dan banyak kasus asimptomatik sehingga pengidap merasa tidak sakit, namun dapat menularkan penyakitnya kepada orang lain (Djuanda, 2007). Infeksi itu sendiri dapat terjadi pada siapa saja, dari lapisan masyarakat manapun dan mulai dari usia muda hingga tua. Dengan memahami gambaran infeksi menular seksual yang terjadi pada masyarakat dan distribusi populasi berisiko tinggi terhadap infeksi ini


(18)

akan sangat membantu upaya pencegahan penularan IMS dan pengobatan dini terhadap pengidapnya.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimanakah gambaran atau profil infeksi menular seksual yang terjadi di RSUP Haji Adam Malik Medan pada bulan Januari 2009 sampai dengan Desember 2009 berdasarkan kelompok usia, jenis kelamin, pendidikan dan status marital.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Tujuan umum pelaksanaan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran Infeksi Menular Seksual (IMS) pada pasien Poli Kulit dan Kelamin RSUP Haji Adam Malik Medan.

1.3.2 Tujuan khusus

Tujuan khusus pelaksanaan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui gambaran infeksi menular seksual berdasarkan jenis penyakit yang paling sering terjadi.

2. Mengetahui gambaran infeksi menular seksual berdasarkan usia.

3. Mengetahui gambaran infeksi menular seksual berdasarkan jenis kelamin.

4. Mengetahui gambaran infeksi menular seksual berdasarkan tingkat pendidikan terakhir.

5. Mengetahui gambaran infeksi menular seksual berdasarkan pekerjaan. 6. Mengetahui gambaran infeksi menular seksual berdasarkan status marital.


(19)

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat: 1.4.1. Bagi Peneliti

1. Sebagai tambahan wawasan serta kesempatan penerapan ilmu yang telah diperoleh selama mengikuti pendidikan di FK USU.

2. Sebagai pemenuhan tugas akhir pendidikan di FK USU.

1.4.2. Bagi Pembaca

Dapat menjadi sumber informasi dan kelak dapat dipergunakan dalam hal yang berkaitan dengan penelitian yang telah dilakukan penulis.

1.4.3. Bagi RSUP.H.Adam Malik Medan

1. Memberikan informasi mengenai jenis IMS yang paling sering didapati di RSUP Haji Adam Malik Medan.

2. Memberikan informasi mengenai karakteristik dan distribusi populasi pengidap IMS yang menjalani pengobatan di RSUP Haji Adam Malik Medan.

3. Memberikan informasi sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan populasi yang paling berisiko mengidap IMS, sehingga dapat melakukan diagnosa dini dan penanganan yang tepat.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi Infeksi Menular Seksual

Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah infeksi yang penularannya terutama melalui hubungan seksual yang mencakup infeksi yang disertai gejala-gejala klinis maupun asimptomatis (Daili, 2009). Penyebab infeksi menular seksual ini sangat beragam dan setiap penyebab tersebut akan menimbulkan gejala klinis atau penyakit spesifik yang beragam pula. Penyebab IMS dapat dikelompokkan atas beberapa jenis ,yaitu: (WHO,2007)

- bakteri ( diantaranya N.gonorrhoeae, C.trachomatis, T.pallidum)

- virus (diantaranya HSV,HPV,HIV, Herpes B virus, Molluscum contagiosum virus),

- protozoa (diantaranya Trichomonas vaginalis) - jamur (diantaranya Candida albicans)

- ektoparasit (diantaranya Sarcoptes scabiei)

2.2. Penularan Infeksi Menular Seksual

Cara penularan IMS adalah dengan cara kontak langsung yaitu kontak dengan eksudat infeksius dari lesi kulit atau selaput lendir pada saat melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang telah tertular. Lesi bisa terlihat jelas ataupun tidak terlihat dengan jelas. Pemajanan hampir seluruhnya terjadi karena hubungan seksual (vaginal, oral, anal).

Penularan IMS juga dapat terjadi dengan media lain seperti darah melalui berbagai cara,yaitu:

- Transfusi darah dengan darah yang sudah terinfeksi HIV - Saling bertukar jarum suntik pada pemakaian narkoba


(21)

- Menindik telinga atau tato dengan jarum yang tidak steril,

- Penggunaan alat pisau cukur secara bersama-sama (khususnya jika terluka dan menyisakan darah pada alat).

- Penularan juga pada terjadi dari ibu kepada bayi pada saat hamil, saat melahirkan dan saat menyusui. Penularan karena mencium atau pada saat menimang bayi dengan IMS kongenital jarang sekali terjadi.

2.3. Diagnosa Infeksi Menular Seksual

Pemeriksaan klinis pada IMS memiliki 3 prinsip yaitu anamnese, pemeriksaan fisik dan pengambilan bahan untuk pemeriksaan laboratorium (Daili, 2009). Anamnesis dilakukan untuk mendapatkan informasi penting terutama pada waktu menanyakan riwayat seksual. Hal yang sangat penting dijaga adalah kerahasiaan terhadap hasil anamnese pasien. Pertanyaan yang diajukan kepada pasien dengan dugaan IMS meliputi:

- Keluhan dan riwayat penyakit saat ini. - Keadaan umum yang dirasakan.

- Pengobatan yang telah diberikan, baik topikal ataupun sistemik dengan penekanan pada antibiotik.

- Riwayat seksual yaitu kontak seksual baik di dalam maupun di luar pernikahan, berganti-ganti pasangan, kontak seksual dengan pasangan setelah mengalami gejala penyakit, frekuensi dan jenis kontak seksual, cara melakukan kontak seksual, dan apakah pasangan juga mengalami keluhan atau gejala yang sama.

- Riwayat penyakit terdahulu yang berhubungan dengan IMS atau penyakit di daerah genital lain.

- Riwayat penyakit berat lainnya.

- Riwayat keluarga yaitu dugaan IMS yang ditularkan oleh ibu kepada bayinya.

- Keluhan lain yang mungkin berkaitan dengan komplikasi IMS, misalnya erupsi kulit, nyeri sendi dan pada wanita tentang nyeri perut bawah, gangguan haid, kehamilan dan hasilnya.


(22)

- Riwayat alergi obat.

Pemeriksaan fisik yang dilakukan kepada pasien harus memperhatikan hal penting seperti kerahasiaan pribadi pasien, sumber cahaya yang baik untuk dokter pemeriksa dan selalu harus menggunakan sarung tangan setiap kali memeriksa pasien. Pada pasien pria, organ reproduksi lebih mudah diraba. Mula-mula inspeksi daerah inguinal dan raba adakah pembesaran kelenjar dan catat konsistensi, ukuran, mobilitas, rasa nyeri, serta tanda radang pada kulit di atasnya. Pada waktu bersamaan, perhatikan daerah pubis dan kulit sekitarnya, adanya pedikulosis, folikulitis atau lesi kulit lainnya. Lakukan inspeksi skrotum, apakah asimetris, eritema, lesi superfisial dan palpasi isi skrotum dengan hati-hati. Dan akhirnya perhatikan keadaan penis mulai dari dasar hingga ujung. Inspeksi daerah perineum dan anus dengan posisi pasien sebaiknya bertumpu pada siku dan lutut.

Berbeda dengan pasien pria, organ reproduksi wanita terdapat dalam rongga pelvik sehingga pemeriksaan tidak segampang pria. Pemeriksaan meliputi inspeksi dan palpasi dimulai dari daerah inguinal dan sekitarnya. Untuk menilai keadaan di dalam vagina, gunakan spekulum dengan memberitahukannya kepada pasien terlebih dahulu. Dan akhirnya lakukan pemeriksaan bimanual untuk menilai ukuran, bentuk, posisi, mobilitas, konsistensi dan kontur uterus serta deteksi kelainan pada adneksa.

Pengambilan bahan duh tubuh uretra pria, dapat dilakukan dengan menggunakan sengkelit maupun lidi kapas yang dimasukkan ke dalam uretra. Sedangkan pengambilan duh tubuh genital pada wanita dilakukan dengan spekulum dan mengusapkan kapas lidi di dalam vagina dan kemudian dioleskan ke kaca objek bersih.


(23)

2.4. Jenis-jenis IMS

Beberapa jenis IMS yang paling umum ditemukan di Indonesia adalah:

2.4.1. Gonore

2.4.1.1. Defenisi

Gonore merupakan semua penyakit yang disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae yang bersifat purulen dan dapat menyerang permukaan mukosa manapun di tubuh manusia (Behrman, 2009).

2.4.1.2 Epidemiologi

Di dunia, gonore merupakan IMS yang paling sering terjadi sepanjang abad ke 20, dengan perkiraan 200 juta kasus baru yang terjadi tiap tahunnya (Behrman, 2009). Sejak tahun 2008, jumlah penderita wanita dan pria sudah hampir sama yaitu sekitar 1,34 tiap 100.000 penduduk untuk wanita dan 1,03 tiap 100.000 penduduk untuk pria (CDC, 2009).

Sedangkan di Indonesia, dari data rumah sakit yang beragam seperti RSU Mataram pada tahun 1989 dilaporkan gonore yang sangat tinggi yaitu sebesar 52,87% dari seluruh penderita IMS. Sedangkan pada RS Dr.Pirngadi Medan ditemukan 16% dari sebanyak 326 penderita IMS (Hakim, 2009).

2.4.1.3. Etiologi dan morfologi

Gonore disebabkan oleh gonokokus yang ditemukan oleh Neisser pada tahun 1879. Kuman ini masuk dalam kelompok Neisseria sebagai N.gonorrhoeae bersama dengan 3 spesies lainnya yaitu, N.meningitidis, N.catarrhalis dan N.pharyngis sicca.

Gonokok termasuk golongan diplokokus berbentuk biji kopi dengan lebar 0,8 u dan pajang 1,6 u. Kuman ini bersifat tahan asam, gram negatif, dan dapat ditemui baik di dalam maupun di luar leukosit. Kuman ini tidak dapat bertahan hidup pada suhu 39 derajat Celcius, pada keadaan kering dan tidak tahan terhadap zat disinfektan. Gonokok terdiri atas 4 tipe yaitu tipe 1, tipe 2, tipe 3 dan tipe 4. Namun, hanya gonokok tipe 1 dan tipe 2 yang bersifat virulen karena memiliki pili yang


(24)

membantunya untuk melekat pada mukosa epitel terutama yang bertipe kuboidal atau lapis gepeng yang belum matur dan menimbulkan peradangan (Daili, 2009).

2.4.1.4. Gejala klinis

Masa tunas gonore sangat singkat yaitu sekitar 2 hingga 5 hari pada pria. Sedangkan pada wanita, masa tunas sulit ditentukan akibat adanya kecenderungan untuk bersifat asimptomatis pada wanita.

Keluhan subjektif yang paling sering timbul adalah rasa gatal, disuria, polakisuria, keluar duh tubuh mukopurulen dari ujung uretra yang kadang-kadang dapat disertai darah dan rasa nyeri pada saat ereksi. Pada pemeriksaan orifisium uretra eksternum tampak kemerahan, edema, ekstropion dan pasien merasa panas. Pada beberapa kasus didapati pula pembesaran kelenjar getah bening inguinal unilateral maupun bilateral.

Gambaran klinis dan perjalanan penyakit pada wanita berbeda dari pria. Pada wanita, gejala subjektif jarang ditemukan dan hampir tidak pernah didapati kelainan objektif. Adapun gejala yang mungkin dikeluhkan oleh penderita wanita adalah rasa nyeri pada panggul bawah, dan dapat ditemukan serviks yang memerah dengan erosi dan sekret mukopurulen (Daili, 2009).

2.4.1.5. Pemeriksaan

- Pemeriksaan Gram dengan menggunakan sediaan langsung dari duh uretra memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi terutama pada duh uretra pria, sedangkan duh endoserviks memiliki sensitivitas yang tidak begitu tinggi. Pemeriksaan ini akan menunjukkan N.gonorrhoeae yang merupakan bakteri gram negatif dan dapat ditemukan baik di dalam maupun luar sel leukosit.

- Kultur untuk bakteri N.gonorrhoeae umumnya dilakukan pada media pertumbuhan Thayer-Martin yang mengandung vankomisin untuk menekan pertumbuhan kuman gram positif dan kolimestat untuk menekan pertumbuhan bakteri negatif-gram dan nistatin untuk menekan pertumbuhan jamur. Pemeriksaan kultur ini merupakan


(25)

pemeriksaan dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, sehingga sangat dianjurkan dilakukan terutama pada pasien wanita.

- Tes defenitif: dimana pada tes oksidasi akan ditemukan semua Neisseria akan mengoksidasi dan mengubah warna koloni yang semula bening menjadi merah muda hingga merah lembayung. Sedangkan dengan tes fermentasi dapat dibedakan N.gonorrhoeae yang hanya dapat meragikan glukosa saja.

- Tes beta-laktamase: tes ini menggunakan cefinase TM disc dan akan tampak perubahan warna koloni dari kuning menjadi merah.

- Tes Thomson: tes ini dilakukan dengan menampung urine setelah bangun pagi ke dalam 2 gelas dan tidak boleh menahan kencing dari gelas pertama ke gelas kedua. Hasil dinyatakan positif jika gelas pertama tampak keruh sedangkan gelas kedua tampak jernih (Daili, 2009).

2.4.1.6. Komplikasi

Komplikasi gonore sangat erat hubungannya dengan susunan anatomi dan faal genitalia (Daili, 2009). Komplikasi lokal pada pria dapat berupa tisonitis, parauretritis, littritis, dan cowperitis. Selain itu dapat pula terjadi prostatitis, vesikulitis, funikulitis, epididimitis yang dapat menimbulkan infertilitas. Sementara pada wanita dapat terjadi servisitis gonore yang dapat menimbulkan komplikasi salpingitis ataupun penyakit radang panggul dan radang tuba yang dapat mengakibatkan infertilitas atau kehamilan ektopik. Dapat pula terjadi komplikasi diseminata seperti artritis, miokarditis, endokarditis, perikarditis, meningitis dan dermatitis. Infeksi gonore pada mata dapat menyebabkan konjungtivitis hingga kebutaan (Behrman, 2009 ).


(26)

2.4.2. Infeksi Genital Non-Spesifik (IGNS)

2.4.2.1. Defenisi

IGNS merupakan infeksi traktus genital yang disebabkan oleh penyebab yang nonspesifik yang meliputi beberapa keadaan yaitu Uretritis Non-spesifik (UNS), proktitis nonspesifik dan Uretritis Non-Gonore (UGN) (Lumintang, 2009).

2.4.2.2. Epidemiologi

Di dunia, WHO memperkirakan terdapat 140 juta kasus yang terjadi akibat infeksi C.trachomatis. Terdapat 1,1 juta kasus dilaporkan di Amerika Serikat dengan prevalensi tertinggi terjadi pada wanita diusia 15-24 tahun pada tahun 2007 (Struble, 2010).

Sedangkan di Indonesia, dari data yang diambil dari poliklinik IMS RS dr.Pirngadi Medan didapatkan prevalensi UNG sebesar 54% pada tahun 1990-1991. Di RSUP Denpasar prevalensi UNG/IGNS sebesar 13,8% pada tahun 1993-1994. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan terhadap kelompok pramuwaria di Jakarta mendapatkan data prevalensi klamidia sebesar 35,48% dari 62 orang yang diperiksa sedangkan pada pemeriksaan terhadap WTS di Medan menunjukkan prevalensi sebesar 45% (Hakim, 2009).

2.4.2.3. Etiologi dan morfologi

Penyebab 30% hingga 50% kasus IGNS adalah Chamydia trachomatis, sedangkan kasus selebihnya umumnya disebabkan oleh Ureaplasma urealyticum. Chlamydia trachomatis, imunotipe D sampai dengan K, ditemukan pada 35 – 50 % dari kasus uretritis non gonokokus.

Klamidia yang menyebabkan penyakit pada manusia diklasifikasikan menjadi tiga spesies, yaitu: (Struble, 2010)


(27)

2. C. trachomatis, termasuk serotipe yang menyebabkan trachoma infeksi alat kelamin, Chlamydia conjunctivitis dan pneumonia anak dan serotipe lain yang menyebabkan Lymphogranuloma venereum.

3. C. pneumoniae, penyebab penyakit saluran pernapasan termasuk pneumonia dan merupakan penyebab penyakit arteri koroner.

2.4.2.4. Gejala klinis

Penting untuk mengetahui adanya koitus suspektus yang biasanya terjadi 1 hingga 5 minggu sebelum timbulnya gejala. Juga penting untuk mengetahui apakah telah melakukan hubungan seksual dengan istri pada waktu keluhan sedang berlangsung, mengingat hal ini dapat menyebabkan fenomena penularan pingpong (Lumintang, 2009).

Menurut Pedoman Penatalaksanaan Infeksi Menular Seksual Depkes RI, infeksi melalui hubungan seksual ini pada pria muncul sebagai uretritis dan pada wanita sebagai servisitis mukopurulen. Manifestasi klinis dari uretritis kadang sulit dibedakan dengan gonorrhea dan termasuk adanya discharge mukopurulen dalam jumlah sedikit atau sedang, terutama pada pagi hari (morning drops) dan dapat pula berupa bercak di celana dalam, gatal pada uretra dan rasa panas ketika buang air kecil. Infeksi tanpa gejala bisa ditemukan pada 1-25% pria dengan aktivitas seksual aktif. Pada wanita, manifestasi klinis mungkin sama dengan gonorrhea, dan seringkali muncul sebagai discharge endoservik mukopurulen, disertai dengan pembengkakan, eritema dan mudah mengakibatkan perdarahan endoservik disebabkan oleh peradangan dari epitel kolumner endoservik. Namun, 70 % dari wanita dengan aktivitas seksual aktif yang menderita klamidia, biasanya tidak menunjukkan gejala. Infeksi kronis tanpa gejala dari endometrium dan saluran tuba bisa memberikan hasil yang sama. Manifestasi klinis lain namun jarang terjadi seperti bartolinitis, sindroma uretral dengan disuria dan pyuria, perihepatitis (sindroma Fitz-Hugh-Curtis) dan proktitis. Infeksi yang terjadi selama kehamilan bisa mengakibatkan ketuban pecah dini dan menyebabkan terjadinya kelahiran prematur,


(28)

serta dapat menyebabkan konjungtivitis dan radang paru pada bayi baru lahir. Infeksi klamidia endoserviks meningkatkan risiko terkena infeksi HIV. Infeksi klamidia bisa terjadi bersamaan dengan gonorrhea, dan tetap bertahan walaupun gonorrhea telah sembuh. Oleh karena servisitis yang disebabkan oleh gonokokus dan klamidia sulit dibedakan secara klinis maka pengobatan untuk kedua mikroorganisme ini dilakukan pada saat diagnosa pasti telah dilakukan. Namun pengobatan terhadap gonorrhea tidak selalu dilakukan jika diagnosa penyakit disebabkan C. trachomatis.

2.4.2.5. Pemeriksaan

Diagnosa Uretritis Non Gonokokus (UNG) atau diagnosa servisitis non gonokokus ditegakkan biasanya didasarkan pada kegagalan menemukan Neisseria gonorrhoeae melalui sediaan apus dan kultur. Klamidia sebagai penyebab dipastikan dengan pemeriksaan preparat apus yang diambil dari uretra atau endoserviks atau dengan tes IF langsung dengan antibodi monoklonal, EIA, Probe DNA, tes amplifikasi asam nukleus (Nucleic Acid Amplification Test, NAAT), atau dengan kultur sel. NAAT bisa dilakukan dengan menggunakan spesimen urin. Organisme intraseluler sulit sekali dihilangkan dari discharge.

Pada pemeriksaan sekret uretra dengan pewarnaan Gram ditemukan leukosit lebih dari 5 pada pemeriksaan mikroskop dengan pembesaran 1000 kali. Pada pemeriksaan mikroskopik sekret serviks dengan pewarnaan Gram didapatkan leukosit lebih dari 30 per lapangan pandang dengan pembesaran 1000 kali. Tidak dijumpai diplokokus negatif gram, serta pada pemeriksaan sediaan basah tidak didapati parasit Trichomonas vaginalis (Lumintang,2009).

Pembiakan C.trachomatis yang bersifat obligat intraseluler harus dilakukan pada sel hidup. Sel hidup ini dibiakkan dalam gelas kaca yang disebut biakan monolayer seperti Mc Coy dan BHK yang dapat dilihat hasil pertumbuhannya pada hari ketiga.


(29)

2.4.2.6. Komplikasi

Komplikasi dan gejala sisa berupa salpingitis dengan risiko infertilitas, kehamilan diluar kandungan atau nyeri pelvis kronis. Komplikasi dan gejala sisa mungkin terjadi dari infeksi uretra pada pria berupa epididimitis, infertilitas dan sindroma Reiter. Pada pria homoseksual, hubungan seks anorektal bisa menyebabkan proktitis klamidia (Ditjen PP&PL).

2.4.3. Sifilis

2.4.3.1. Defenisi

Sifilis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Treponema pallidum yang bersifat kronis dan sistemik ditandai dengan lesi primer diikuti dengan erupsi sekunder pada kulit dan selaput lendir kemudian masuk kedalam periode laten tanpa manifestasi lesi di tubuh diikuti dengan lesi pada kulit, lesi pada tulang, saluran pencernaan, sistem syaraf pusat dan sistem kardiovaskuler. Infeksi ini dapat ditularkan kepada bayi di dalam kandungan (sifilis kongenital) (Hutapea, 2010).

2.4.3.2. Epidemiologi

Sifilis tersebar diseluruh dunia dan telah dikenal sebagai penyakit kelamin klasik yang dapat dikendalikan dengan baik. Di Amerika Serikat kejadian sifilis dan sifilis kongenital yang dilaporkan meningkat sejak tahun 1986 dan berlanjut sampai dengan tahun 1990 dan kemudian menurun sesudah itu. Peningkatan ini terjadi terutama di kalangan masyarakat dengan status sosial ekonomi rendah dan di kalangan anak-anak muda dengan kelompok usia yang paling sering terkena infeksi adalah golongan usia muda berusia antara 20 – 29 tahun, yang aktif secara seksual. Adanya perbedaan prevalensi penyakit pada ras yang berbeda lebih disebabkan oleh faktor sosial daripada faktor biologis. Dari data tahun 1981-1989 insidensi sifilis primer dan sekunder di Amerika Serikat meningkat 34% yaitu 18,4% per 100.000 penduduk. Dibanyak wilayah di AS, terutama di daerah perkotaan dan di daerah pedesaan bagian selatan faktor risiko yang melatarbelakangi peningkatan prevalensi


(30)

sifilis pada kelompok ini antara lain pemakaian obat-obat terlarang, prostitusi, AIDS dan hubungan seks pertama kali pada usia muda. Pada tahun 2003-2004 terjadi peningkatan prevalensi sifilis sebanyak 8 % dari 2,5 menjadi 2,7 per 100.000 populasi. Sedangkan pada tahun 2006 – 2007 terjadi peningkatan 12% dari 3,3 menjadi 3,7 per 100.000 populasi (Liu,2009).

2.4.3.3. Etiologi dan morfologi

Sifilis disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum yang merupakan spesies Treponema dari famili Spirochaetaceae, ordo Spirochaetales. Treponema pallidum berbentuk spiral, negatif-Gram dengan panjang rata-rata 11 µm (antara 6-20 µm) dengan diameter antara 0,09 – 0,18 µm. Treponema pallidum mempunyai titik ujung terakhir dengan 3 aksial fibril yang keluar dari bagian ujung lapisan bawah. Treponema dapat bergerak berotasi cepat, fleksi sel dan maju seperti gerakan pembuka tutup botol (Hutapea, 2009).

2.4.3.4. Gejala klinis

Menurut hasil pemeriksaan histopatologis, perjalanan penyakit sífilis merupakan penyakit pembuluh darah dari awal hingga akhir. Dasar perubahan patologis sífilis adalah inviltrat perivaskular yang terdiri atas limfosit dan plasma sel. Hal ini merupakan tanda spesifik namun tidak patognomonis untuk sífilis. Sel infiltrat tampak mengelilingi endotelial yang berproliferasi sehingga menebal. Penebalan ini mengakibatkan timbulnya trombosis yang menyebabkan fokus-fokus nekrosis kecil sebagai lesi primer.

Periode inkubasi sifilis biasanya 3 minggu. Fase sifilis primer ditandai dengan munculnya tanda klinis yang pertama yang umumnya berupa tukak baik tunggal maupun multipel. Lesi awal biasanya berupa papul yang mengalami erosi, teraba keras dan terdapat indurasi. Permukaan dapat tertutup krusta dan terjadi ulserasi. Bagian yang mengelilingi lesi meninggi dan keras. Pada pria biasanya disertai dengan


(31)

pembesaran kelenjar limfe inguinal media baik unilateral maupun bilateral. Masuknya mikroorganisme ke dalam darah terjadi sebelum lesi primer muncul, biasanya ditandai dengan terjadinya pembesaran kelenjar limfe (bubo) regional, tidak sakit, keras nonfluktuan. Infeksi juga dapat terjadi tanpa ditemukannya chancer (ulkus durum) yang jelas, misalnya kalau infeksi terjadi di rektum atau serviks. Tanpa diberi pengobatan, lesi primer akan sembuh spontan dalam waktu 4 hingga 6 minggu.

Sepertiga dari kasus yang tidak diobati mengalami stadium generalisata, stadium dua, dimana muncul erupsi di kulit yang kadang disertai dengan gejala konstitusional tubuh. Timbul ruam makulo papuler bisanya pada telapak tangan dan telapak kaki diikuti dengan limfadenopati. Erupsi sekunder ini merupakan gejala klasik dari sifilis yang akan menghilang secara spontan dalam beberapa minggu atau sampai dua belas bulan kemudian. Sifilis sekunder dapat timbul berupa ruam pada kulit, selaput lendir dan organ tubuh dan dapat disertai demam dan malaise. Juga adanya kelainan kulit dan selaput lendir dapat diduga sifilis sekunder, bila ternyata pemeriksaan serologis reaktif. Pada kulit kepala dijumpai alopesia yang disebut moth-eaten alopecia yang dimulai di daerah oksipital. Dapat dijumpai plakat pada selaput lendir mulut, kerongkongan dan serviks. Pada beberapa kasus ditemukan pula splenomegali. Penularan dapat terjadi jika ada lesi mukokutaneus yang basah pada penderita sifilis primer dan sekunder. Namun jika dilihat dari kemampuannya menularkan kepada orang lain, maka perbedaan antara stadium pertama dan stadium kedua yang infeksius dengan stadium laten yang non infeksius adalah bersifat arbitrari, oleh karena lesi pada penderita sifilis stadium pertama dan kedua bisa saja tidak kelihatan.

Lesi pada sifilis stadium dua bisa muncul berulang dengan frekuensi menurun 4 tahun setelah infeksi. Namun penularan jarang sekali terjadi satu tahun setelah infeksi. Dengan demikian di AS penderita sifilis dianggap tidak menular lagi setahun setelah infeksi. Transmisi sifilis dari ibu kepada janin kemungkinan terjadi pada ibu yang menderita sifilis stadium awal namun infeksi dapat saja berlangsung selama stadium laten. Penderita stadium erupsi sekunder ini, sepertiga dari mereka yang tidak


(32)

diobati akan masuk kedalam fase laten selama berminggu minggu bahkan selama bertahun tahun. Fase laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis namun dengan pemeriksaan serologis yang reaktif. Akan tetapi bukan berarti perjalanan penyakit akan berhenti pada tingkat ini, sebab dapat terjadi sifilis stadium lanjut berbentuk gumma, kelainan susunan syaraf pusat dan kardiovaskuler. Terserangnya Susunan Syaraf Pusat (SSP) ditandai dengan gejala meningitis sifilitik akut dan berlanjut menjadi sifilis meningovaskuler dan akhirnya timbul paresis dan tabes dorsalis. Periode laten ini kadang kala berlangsung seumur hidup. Pada kejadian lain yang tidak dapat diramalkan, 5 – 20 tahun setelah infeksi terjadi lesi pada aorta yang sangat berbahaya (sifilis kardiovaskuler) atau gumma dapat muncul dikulit, saluran pencernaan tulang atau pada permukaan selaput lendir.

Stadium awal sifilis jarang sekali menimbulkan kematian atau disabilitas yang serius, sedangkan stadium lanjut sifilis memperpendek umur, menurunkan kesehatan dan menurunkan produktivitas dan efisiensi kerja. Mereka yang terinfeksi sifilis dan pada saat yang sama juga terkena infeksi HIV cenderung akan menderita sifilis SSP. Oleh karena itu setiap saat ada penderita HIV dengan gejala SSP harus dipikirkan kemungkinan yang bersangkutan menderita neurosifilis (neurolues).

Infeksi pada janin terjadi pada ibu yang menderita sifilis stadium awal pada saat mengandung bayinya dan ini sering sekali terjadi sedangkan frekuensinya makin jarang pada ibu yang menderita stadium lanjut sifilis pada saat mengandung bayinya. Infeksi pada janin dapat berakibat terjadi aborsi, stillbirth atau kematian bayi karena lahir prematur atau lahir dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) atau mati karena menderita penyakit sistemik.

Bayi yang menderita sifilis mempunyai lesi mukokutaneus basah yang muncul lebih menyebar dibagian tubuh lain dibandingkan dengan penderita sifilis dewasa. Lesi basah ini merupakan sumber infeksi yang sangat potensial.

Infeksi kongenital dapat berakibat munculnya manifestasi klinis yang muncul kemudian berupa gejala neurologis terserangnya SSP. Dan kadangkala infeksi


(33)

kongenital dapat mengakibatkan berbagai kelainan fisik yang dapat menimbulkan stigmatisasi di masyarakat seperti gigi Hutchinson, saddlenose (hidung berbentuk pelana kuda), saber shins (tulang kering berbentuk pedang), keratitis interstitialis dan tuli. Sifilis kongenital kadang asimtomatik, terutama pada minggu-minggu pertama setelah lahir (Hutapea, 2009).

2.4.3.5. Pemeriksaan

Beberapa pemeriksaan terhadap sifilis dapat dilakukan dengan berbagai cara: - Pemeriksaan lapangan gelap (dark field) dengan bahan pemeriksaan dari bagian

dalam lesi. Ruam sifilis primer dibersihkan dengan larutan NaCl fisiologis. Serum diperoleh dari bagian dasar atau dalam lesi dengan cara menekan lesi sehingga serum akan keluar. Kemudian serum diperiksa pada lapangan gelap untuk melihat ada tidaknya T.pallidum berbentuk ramping, dengan gerakan lambat dan angulasi. Bahan apusan lesi dapat pula diperiksa dengan metode mikroskop fluoresensi, namun pemeriksaan ini memberikan hasil yang kurang dapat dipercaya sehingga pemeriksaan dark field lebih umum dilaksanakan.

- Penentuan antibodi di dalam serum yang timbul akibat infeksi T.pallidum. Tes yang dilakukan sehari-hari dapat menunjukkan reaksi IgM dan juga IgG tetapi tidak dapat menunjukkan antibodi spesifik adalah tes Wasserman, tes Kahn, tes VDRL (Veneral Diseases Research Laboratory), tes RPR (Rapid Plasma Reagin) dan tes Automated Reagin. Tes-tes tersebut merupakan tes standar untuk sifilis dan memiliki spesifisitas rendah sebab dapat menunjukkan hasil positif semu. Sedangkan tes RPCF ( Reiter Protein Complement Fixation) merupakan tes yang dapat menunjukkan kelompok antibodi spesifik. Tes dengan spesifitas tinggi dan dapat menentukan antibodi spesifik sifilis ini adalah tes TPI, tes FTA-ABS, tes TPHA dan tes Elisa (Hutapea, 2009).

Menurut Pedoman Penatalaksanaan Infeksi Menular Seksual Depkes RI tahun 2006, diagnosa sifilis dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan serologis terhadap darah dan likuor serebrospinalis.


(34)

2.4.3.6. Komplikasi

Sifilis stadium lanjut yang dapat menyebakan neurosifilis, sifilis kardiovaskuler, dan sifilis benigna lanjut dapat menyebabkan kematian bila menyerang otak.

2.4.4. Herpes genitalis

2.4.4.1. Defenisi

Herpes genitalis adalah infeksi pada genital yang disebabkan oleh Herpes Simplex Virus (HSV) dengan gejala khas berupa vesikel yang berkelompok dengan dasar eritema dan bersifat rekurens (CDC Fact Sheet, 2007).

2.4.4.2. Epidemiologi

Data- data di beberapa RS di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi herpes genital rendah sekali pada tahun 1992 di RSUP dr.Moewardi yaitu hanya 10 kasus dari 9983 penderita IMS. Namun, prevalensi di RSUD Dr.Soetomo agak tinggi yaitu sebesar 64 dari 653 kasus IMS dan lebih tinggi lagi di RSUP Denpasar yaitu 22 kasus dari 126 kasus IMS (Hakim, 2009).

2.4.4.3. Etiologi dan morfologi

Herpes Simplex Virus (HSV) dibedakan menjadi 2 tipe oleh SHARLITT tahun 1940 menjadi HSV tipe 1 dan HSV tipe 2. Secara serologik, biologik dan fisikokimia, keduanya hampir tidak dapat dibedakan. Namun menurut hasil penelitian, HSV tipe 2 merupakan tipe dominan yang ditularkan melalui hubungan seksual genito-genital. HSV tipe 1 justru banyak ditularkan melalui aktivitas seksual oro-genital atau melalui tangan (Salvaggio, 2009).

2.4.4.4. Gejala klinis

Gejala awalnya mulai timbul pada hari ke 4-7 setelah terinfeksi. Gejala awal biasanya berupa gatal, kesemutan dan sakit. Lalu akan muncul bercak kemerahan


(35)

yang kecil, yang diikuti oleh sekumpulan lepuhan kecil yang terasa nyeri. Lepuhan ini pecah dan bergabung membentuk luka yang melingkar. Luka yang terbentuk biasanya menimbulkan nyeri dan membentuk keropeng. Penderita bisa mengalami nyeri saat berkemih atau disuria dan ketika berjalan akan timbul nyeri. Luka akan membaik dalam waktu 10 hari tetapi bisa meninggalkan jaringan parut. Kelenjar getah bening selangkangan biasanya agak membesar. Gejala awal ini sifatnya lebih nyeri, lebih lama dan lebih meluas dibandingkan gejala berikutnya dan mungkin disertai dengan demam dan tidak enak badan (Salvaggio, 2009).

Pada pria, lepuhan dan luka bisa terbentuk di setiap bagian penis, termasuk kulit depan pada penis yang tidak disunat. Pada wanita, lepuhan dan luka bisa terbentuk di vulva dan leher rahim. Jika penderita melakukan hubungan seksual melalui anus, maka lepuhan dan luka bisa terbentuk di sekitar anus atau di dalam rektum. Pada penderita gangguan sistem kekebalan (misalnya penderita infeksi HIV), luka herpes bisa sangat berat, menyebar ke bagian tubuh lainnya, menetap selama beberapa minggu atau lebih dan resisten terhadap pengobatan dengan asiklovir. Gejala-gejalanya cenderung kambuh kembali di daerah yang sama atau di sekitarnya, karena virus menetap di saraf panggul terdekat dan kembali aktif untuk kembali menginfeksi kulit. HSV-2 mengalami pengaktivan kembali di dalam saraf panggul. HSV-1 mengalami pengaktivan kembali di dalam saraf wajah dan menyebabkan fever blister atau herpes labialis. Tetapi kedua virus bisa menimbulkan penyakit di kedua daerah tersebut. Infeksi awal oleh salah satu virus akan memberikan kekebalan parsial terhadap virus lainnya, sehingga gejala dari virus kedua tidak terlalu berat.

2.4.4.5. Pemeriksaan

Diagnosis secara klinis ditegakkan dengan adanya gejala khas berupa vesikel berkelompok dengan dasar eritema dan bersifat rekuren. Pemeriksaan laboratorium yang paling sederhana adalah tes Tzank yang diwarnai dengan pengecatan Giemsa atau Wright dimana akan tampak sel raksasa berinti banyak. Cara terbaik dalam


(36)

menegakkan diagnosa adalah dengan melakukan kultur jaringan karena paling sensitif dan spesifik. Namun cara ini membutuhkan waktu yang banyak dan mahal. Dapat pula dilakukan tes-tes serologis terhadap antigen HSV baik dengan cara imunoflouresensi, imunoperoksidase maupun ELISA (Daili, 2009).

2.4.4.6. Komplikasi

Komplikasi yang paling ditakutkan adalah akibat dari penyakit ini pada bayi yang baru lahir (Daili, 2009). Herpes genitalis pada trimester awal kehamilan dapat menyebabkan abortus atau malformasi kongenital berupa mikroensefali. Pada bayi yang lahir dari ibu pengidap herpes ditemukan berbagai kelainan seperti hepatitis, ensefalitis, keratokonjungtifitis bahkan stillbirth.

2.4.5. Kondiloma Akuminata 2.4.5.1. Defenisi

Kondiloma akuminata (KA) adalah infeksi menular seksual dengan kelainan berupa fibroepitelioma pada kulit dan mukosa (Zubier, 2009).

2.4.5.2. Epidemiologi

Di Amerika Serikat dari 122 juta penduduk berusia 15 – 49 diperkirakan lebih dari 1% yang menderita kondiloma akuminata dan 2% yang subklinis. Di Swedia, dengan menggunakan metode PCR, ditemukan prevalensi KA akibat infeksi VPH tipe 6 atau 16 pada 84% pria yang datang di klinik IMS (Hakim, 2009).

2.4.5.3. Etiologi

Lebih dari 90% kondiloma akuminata disebabkan oleh Virus Papiloma Humanus (VPH) tipe 6 dan 11. VPH merupakan virus DNA yang merupakan virus epiteliotropik (menginfeksi epitel ) dan tergolong dalam famili Papovaviridae. Berdasarkan kemungkinan terjadinya displasia epitel dan keganasan maka VPH dibagi menjadi VPH berisiko rendah (low risk), VPH beresiko sedang (moderate risk)


(37)

dan VPH berisiko tinggi (high risk). VPH tipe 6 dan tipe 11 paling sering ditemukan pada kondiloma akuminata yang eksofitik dan pada displasia derajat rendah (low risk), sedangkan VPH tipe 16 dan 18 sering ditemukan pada displasia keganasan yang berisiko tinggi (high risk) sedangkan risiko menengah (moderate risk) terdiri atas VPH tipe 33, 35, 39, 40, 43, 45, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 58. Pada sekitar 10% pasien mengalami kondiloma akuminata yang diakibatkan oleh kombinasi beberapa VPH (Ghadishah, 2009).

2.4.5.4. Gejala klinis

Kondiloma akuminata atau yang umum dikenal sebagai kutil genitalis paling sering tumbuh di permukaan tubuh yang hangat dan lembab. Pada pria, area yang sering terkena adalah ujung dan batang penis dan di bawah prepusium jika tidak disunat. Pada wanita, kutil timbul di vulva, dinding vagina, leher rahim (serviks) dan kulit di sekeliling vagina. Kutil genitalis juga bisa terjadi di daerah sekeliling anus dan rektum, terutama pada pria homoseksual dan wanita yang melakukan hubungan seksual secara genitoanal. Kutil biasanya muncul dalam waktu 1-6 bulan setelah terinfeksi, dimulai sebagai pembengkakan kecil yang lembut, lembab, berwarna merah atau pink. Mereka tumbuh dengan cepat dan bisa memiliki tangkai. Pada suatu daerah seringkali tumbuh beberapa kutil dan permukaannya yang kasar memberikan gambaran seperti bunga kol. Pada wanita hamil, pada gangguan sistem kekebalan (penderita AIDS atau pengobatan dengan obat yang menekan sistem kekebalan) dan pada orang yang kulitnya meradang, pertumbuhan kutil ini sangat cepat.

Keadaan klinis kondiloma akuminata dibagi dalam 3 bentuk yaitu bentuk akuminata, bentuk papul dan bentuk datar. Selain itu, dikenal pula sebutan Giant Condyloma untuk keadaan klinis KA tampak sangat besar, bersifat invasif lokal dan tidak bermetastasis (Zubier, 2009).


(38)

2.4.5.5. Pemeriksaan

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Kutil yang menetap bisa diangkat melalui pembedahan dan diperiksa dibawah mikroskop untuk meyakinkan bahwa itu bukan merupakan suatu keganasan. Wanita yang memiliki kutil di leher rahimnya, harus menjalani pemeriksaan Pap-smear secara rutin.

Pada lesi yang meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang dengan tes asam asetat, kolposkopi dan pemeriksaan histopatologis.

2.4.5.6. Komplikasi

Kondiloma akuminata yang diakibatkan oleh VPH berisiko tinggi dapat berkembang menjadi keganasan. Infeksi VPH akan semakin buruk pada pasien imunodefisiensi dan memperbesar kemungkinan terjadinya keganasan. Penyakit laten semakin sering kambuh pada wanita yang sedang hamil. Pendarahan sering terjadi pada flat penile wart (Ghadishah, 2009).

2.5 Pencegahan IMS

Prinsip umum pengendalian IMS adalah: Tujuan utama:

- Memutuskan rantai penularan infeksi IMS

- Mencegah berkembangnya IMS dan komplikasinya Tujuan ini dicapai melalui:

- Mengurangi pajanan IMS dengan program penyuluhan untuk menjauhkan masyarakat terhadap perilaku berisiko tinggi

- Mencegah infeksi dengan anjuran pemakaian kondom bagi yang berperilaku risiko tinggi

- Meningkatkan kemampuan diagnosa dan pengobatan serta anjutan untuk mencari pengobatan yang tepat


(39)

- Membatasi komplikasi dengan melakukan pengobatan dini dan efektif baik untuk yang simptomatik maupun asimptomatik serta pasangan seksualnya.

(Daili, 2009)

Menurut Direktorat Jenderal PPM & PL (Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan) Departemen Kesehatan RI, tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan beberapa tindakan, seperti:

1. Mendidik masyarakat untuk menjaga kesehatan dan hubungan seks yang sehat, pentingnya menunda usia aktivitas hubungan seksual, perkawinan monogami, dan mengurangi jumlah pasangan seksual.

2. Melindungi masyarakat dari IMS dengan mencegah dan mengendalikan IMS pada para pekerja seks komersial dan pelanggan mereka dengan melakukan penyuluhan mengenai bahaya IMS, menghindari hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan, tindakan profilaksis dan terutama mengajarkan cara penggunaan kondom yang tepat dan konsisten.

3. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan untuk diagnosa dini dan pengobatan dini terhadap IMS. Jelaskan tentang manfaat fasilitas ini dan tentang gejala-gejala IMS dan cara-cara penyebarannya.

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Pada penelitian ini kerangka konsep tentang gambaran Infeksi Menular Seksual (IMS) akan diuraikan berdasarkan variabel-variabel jenis penyakit, usia, jenis kelamin,tingkat pendidikan, pekerjaan dan status marital.


(40)

- Membatasi komplikasi dengan melakukan pengobatan dini dan efektif baik untuk yang simptomatik maupun asimptomatik serta pasangan seksualnya.

(Daili, 2009)

Menurut Direktorat Jenderal PPM & PL (Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan) Departemen Kesehatan RI, tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan beberapa tindakan, seperti:

1. Mendidik masyarakat untuk menjaga kesehatan dan hubungan seks yang sehat, pentingnya menunda usia aktivitas hubungan seksual, perkawinan monogami, dan mengurangi jumlah pasangan seksual.

2. Melindungi masyarakat dari IMS dengan mencegah dan mengendalikan IMS pada para pekerja seks komersial dan pelanggan mereka dengan melakukan penyuluhan mengenai bahaya IMS, menghindari hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan, tindakan profilaksis dan terutama mengajarkan cara penggunaan kondom yang tepat dan konsisten.

3. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan untuk diagnosa dini dan pengobatan dini terhadap IMS. Jelaskan tentang manfaat fasilitas ini dan tentang gejala-gejala IMS dan cara-cara penyebarannya.

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Pada penelitian ini kerangka konsep tentang gambaran Infeksi Menular Seksual (IMS) akan diuraikan berdasarkan variabel-variabel jenis penyakit, usia, jenis kelamin,tingkat pendidikan, pekerjaan dan status marital.


(41)

Gambar 3.1. Kerangka Konsep

3.2 Definisi Operasional

Variabel-variabel yang akan diteliti adalah jenis penyakit, usia, jenis kelamin, pekerjaan dan status marital pada penderita IMS dengan defenisi operasional sebagai berikut:

a. Infeksi Menular Seksual (IMS) yang akan diteliti adalah jenis infeksi menular seksual genitalis yang terjadi pada responden yang telah didiagnosa oleh dokter dan tercatat pada rekam medik di RSUP H.Adam Malik Medan pada bulan Januari 2009 hingga Desember 2009. Jenis IMS yang akan diteliti meliputi gonore genitalis, Infeksi Genital Non Spesifik (IGNS) , sifilis genitalis, herpes genitalis, kondiloma akuminata dan IMS lainnya.

b. Usia responden yang akan diteliti adalah interval waktu antara tanggal lahir responden dengan saat pertama kali didiagnosa mengidap infeksi menular seksual genitalis sesuai dengan yang tercatat pada rekam medik di RSUP H.Adam Malik Medan yang dibagi dengan interval lima tahun (CDC, 2009) dalam rentang usia 15 hingga 44 tahun dan diatas atau 44 tahun (WHO, 2007).

c. Jenis kelamin responden dibedakan menjadi laki-laki atau perempuan.

d. Pendidikan terakhir responden yang akan diteliti adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang pernah dilalui oleh responden pada saat didiagnosa mengidap infeksi menular seksual genitalis sesuai dengan yang tercatat pada rekam medik. Tingkat pendidikan yang akan diteliti meliputi tingkat

Infeksi Menular Seksual - usia

-jenis kelamin -pendidikan terakhir -pekerjaan


(42)

pendidikan rendah, tingkat pendidikan sedang maupun tingkat pendidikan tinggi.

e. Pekerjaan adalah segala kegiatan responden yang bertujuan untuk menghasilkan pendapatan, yang dibagi dalam kelompok bekerja atau tidak bekerja.

f. Status marital adalah status pernikahan responden ketika pertama kali didiagnosa oleh dokter dan tercatat pada rekam medik di RSUP H.Adam Malik Medan.

Tabel 3.1 Tabel Variabel

No. Variable Alat ukur Kategori Skala ukur

1. Jenis penyakit Data sekunder dari rekam medik

- Gonore genitalis

- Infeksi Genital Non Spesifik (IGNS)

- Sifilis genitalis - Herpes genitalis - Kondiloma akuminata - dan IMS lainnya

nominal

2.

Usia Data sekunder dari

rekam medik

- kurang dari 15 tahun - 15-19 tahun

- 20-24 tahun

- 25- 29 tahun

- 30- 34 tahun

- 35-39 tahun

- 40- 44 tahun


(43)

- lebih dari 44 tahun

3. Jenis kelamin Data sekunder dari rekam medik

Laki-laki atau perempuan nominal

4. Pendidikan terakhir

Data sekunder dari rekam medik

- Tingkat pendidikan rendah: Tidak bersekolah atau hingga Sekolah Dasar(SD)

- Tingkat pendidikan sedang: Hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) - Tingkat pendidikan tinggi: Hingga diploma atau hingga sarjana

Ordinal

5. Pekerjaan Data sekunder dari

rekam medik

- bekerja - tidak bekerja

Nominal

6. Status marital Data sekunder dari rekam medik

Sudah menikah atau belum menikah


(44)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penilitian ini adalah penelitian deskriptif yang akan menentukan gambaran infeksi menular seksual di RSUP H.Adam Malik Medan pada tahun bulan Januari 2009 sampai Desember 2009. Pendekatan yang digunakan pada desain penelitian ini adalah cross sectional study, dimana akan dilakukan pengumpulan data dari rekam medik pasien di Poli Kulit dan Kelamin RSUP H.Adam Malik Medan.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan di Poli Kulit Kelamin RSUP H. Adam Malik Medan. Waktu pelaksanaan penelitian direncakan dilakukan pada bulan Agustus hingga November 2010.

4.3. Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien Infeksi Menular Seksual (IMS) di Poli Kulit dan Kelamin RSUP H.Adam Malik Medan.

4.3.2 Sampel

Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara total sampling, dengan kriteria responden yang akan dikutsertakan dalam penelitian ini mengidap Infeksi Menular Seksual (IMS) genitalis. Sehingga yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah pasien yang mengidap Infeksi Menular Seksual (IMS) genitalis di Poli Kulit dan Kelamin RSUP H.Adam Malik Medan pada bulan Januari 2009 hingga Desember 2009.


(45)

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang berasal dari rekam medik pasien IMS di Poli Kulit dan kelamin RSUP H. Adam Malik Medan.

4.5. Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul akan diolah dengan bantuan program SPSS (Statistic Package of Social Science) for Windows versi 17.0 dan diinterpretasikan dalam bentuk tabel.


(46)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

RSUP H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit kelas A dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990 dan juga sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes/SK/IX/1991 yang memiliki visi sebagai pusat unggulan pelayanan kesehatan dan pendidikan juga merupakan pusat rujukan kesehatan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat dan Riau. Lokasinya dibangun diatas tanah seluas kurang lebih 10 Ha dan terletak di Jalan Bunga Lau No. 17 Km 12 Kecamatan Medan Tuntungan Kotamadya Medan Provinsi Sumatera Utara

Dalam rangka melayani kesehatan masyarakat umum, RSUP H. Adam Malik Medan didukung oleh 1.995 orang tenaga kerja yang terdiri dari 790 orang tenaga medis dari berbagai spesialisasi dan sub spesialiasi, 604 orang paramedis perawatan, 298 orang paramedis non perawatan dan 263 orang tenaga non-medis serta ditambah dengan Dokter Brigade Siaga Bencana (BSB) sebanyak 8 orang.

RSUP H. Adam Malik Medan memiliki fasilitas pelayanan yang terdiri dari pelayanan medis (instalasi rawat jalan, rawat inap, perawatan intensif, gawat darurat, bedah pusat, hemodialisa), pelayanan penunjang medis (instalasi diagnostik terpadu, patologi klinik, patologi anatomi, radiologi, rehabilitasi medis, kardiovaskular, mikrobiologi), pelayanan penunjang non-medis (instalasi gizi, farmasi, Central Sterilization Supply Depart (CSSD), bioelektrik medik, Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS), dan pelayanan non-medis (instalasi tata usaha pasien, teknik sipil pemulasaraan jenazah).

Bagian rekam medis terletak di lantai dasar tepat dibelakang poliklinik Obstetri Ginekologi RSUP H. Adam Malik Medan.


(47)

5.1.2. Karakteristik Responden

Responden pada penelitian ini sebanyak 67 pasien Infeksi Menular Seksual (IMS) di Poli Kulit dan Kelamin RSUP H.Adam Malik Medan pada tahun 2009. Karakteristik responden pada penelitin ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

5.1.2.1 Jenis Infeksi Menular Seksual

Dari tabel 5.1, jenis Infeksi Menular Seksual (IMS) yang paling banyak adalah kondiloma akuminata dengan jumlah 20 orang (29,9%). Jenis Infeksi Menular Seksual (IMS) terbanyak kedua adalah gonore dengan jumlah responden sebanyak 19 orang (28,4%), yang diikuti oleh IMS jenis lainnya sebanyak 18 orang (26,9%), sipilis sebanyak 5 orang (7,5 %), IGNS sebanyak 3 orang (4,5 %) dan herpes simpleks sebanyak 2 orang (3 %).

Tabel 5.1 Distribusi Responden Menurut Jenis IMS Tahun 2009

No. Jenis IMS Jumlah Persentasi (%)

1. Gonore 19 28,4

2. IGNS 3 4,5

3. Sipilis 5 7,5

4. Herpes Simpleks 2 3,0

5. Kondiloma Akuminata 20 29,9

6. IMS lain 18 26,9


(48)

(49)

5.1.2.2 Usia

Dari tabel 5.2, kelompok usia responden yang paling banyak adalah pada kelompok usia 30 – 34 tahun dengan jumlah 15 orang (22,4%).

Tabel 5.2 Distribusi Responden Menurut Usia Tahun 2009

No. Kelompok Usia (tahun) Jumlah Persentasi (%)

1. <15 5 7,5

2. 15-19 4 6,0

3. 20-24 12 17,9

4. 25-29 9 13,4

5. 30-34 15 22,4

6. 35-39 7 10,4

7. 40-44 7 10,4

8. >44 8 11,9

Jumlah 67 100

5.1.2.3 Jenis Kelamin

Dari tabel 5.3, didapati jumlah responden perempuan lebih banyak daripada responden laki-laki dengan perbedaan yang sangat tipis, dimana terdapat 33 orang (49,3%) responden laki-laki dan 34 orang (50,7%) responden perempuan yang mengidap IMS.

Tabel 5.3 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin Tahun 2009

No. Jenis Kelamin Jumlah Persentasi (%)

1. Laki-laki 33 49,3

2. Perempuan 34 50,7


(50)

5.1.2.4 Pendidikan Terakhir

Dari tabel 5.4, tingkat pendidikan terakhir responden yang paling banyak adalah tingkat pendidikan sedang dengan jumlah 45 orang (67,2%).

Tabel 5.4 Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2009

No. Tingkat Pendidikan Jumlah Persentasi (%)

1. Rendah 10 14,9

2. Sedang 45 67,2

3. Tinggi 12 17,9

Jumlah 67 100

5.1.2.5 Pekerjaan

Dari tabel 5.5, didapati lebih banyak responden yang bekerja bila dibandingkan dengan responden yang tidak bekerja. Jumlah responden yang bekerja adalah 36 orang (53,7%).

Tabel 5.4 Distribusi Responden Menurut Pekerjaan Tahun 2009

No. Pekerjaan Jumlah Persentasi (%)

1. Bekerja 36 53,7

2. Tidak bekerja 31 46,3


(51)

5.1.2.6 Status Marital

Dari tabel 5.6, didapati lebih banyak responden yang sudah menikah bila dibandingkan dengan responden yang belum menikah. Jumlah responden yang sudah menikah adalah 40 orang (59,7%).

Tabel 5.4 Distribusi Responden Menurut Pekerjaan Tahun 2009

No. Status Marital Jumlah Persentasi (%)

1. Sudah menikah 40 59,7

2. Belum menikah 27 40,3

Jumlah 67 100

5.2 Pembahasan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan data sekunder rekam medis di RSUP H.Adam Malik Medan pada tahun 2009, diperoleh data mengenai karakteristik atau gambaran yang dimiliki oleh pasien Infeksi Menular Seksual (IMS) baik pasien rawat jalan maupun rawat inap yang menjadi responden dalam perelitian ini. Data-data tersebutlah yang akan digunakan sebagai dasar dari pembahasan hasil akhir penelitian ini, yang dapat dijabarkan sebagai berikut.

Pada tabel 5.1., diperoleh bahwa dari 67 kasus IMS yang terjadi di RSUP H.Adam Malik Medan pada tahun 2009, jenis IMS yang paling banyak terjadi adalah kondiloma akuminata yang disebabkan oleh infeksi Human Papiloma Virus yaitu sebanyak 20 kasus (29,9%), yang diikuti oleh gonore dengan perbedaan yang sangat tipis yaitu sebanyak 19 kasus (20,4%). Reponden yang mengidap sifilis dijumpai sebanyak 5 orang (7,5 %), herpes simpleks sebanyak 2 orang (3,0%) dan IMS jenis


(52)

lainnya seperti moluscum contangiosum, kandidiasis genitalis dan lainnya sebanyak 18 orang (26,9%).

Hasil ini tidak sesuai dengan hasil penelitian CDC pada tahun 2008, yang menyatakan IMS terbanyak adalah klamidia (401,3 kasus per 100.000 penduduk), kemudian diikuti oleh gonore (111,6 kasus per 100.000 penduduk ) dan sipilis. Begitu pula dengan hasil penelitian Jazan (2003) di Bitung yang menyatakan IMS yang paling banyak ditemukan adalah gonore (32%) yang diikuti oleh jenis IMS klamidia (22%) dan sifilis (9%). Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Rosyati (2001) di Bali, didapati hasil yang berbeda dimana IMS yang paling banyak ditemukan adalah servisitis non gonore (32,1%), kondiloma akuminata (15,7%), dan kandidiasis genitalis (14,9%).

Pada tabel 5.2, dapat diketahui bahwa responden pengidap IMS paling banyak berasal dari kelompok usia 30-34 tahun yaitu sebanyak 15 orang (22,4%) yang diikuti oleh kelompok usia 20-24 tahun sebanyak 11 orang (16,7%) dan 25-29 tahun sebanyak 9 orang (13,6%). Kemudian, sesuai dengan urutan frekuensi atau jumlah responden, kelompok usia selanjutnya adalah lebih dari 44 tahun sebanyak 8 orang (11,9%), 35-39 tahun dan 40-44 tahun yang sama-sama berjumlah 7 orang (10,4%), kurang dari 15 tahun sebanyak 5 orang (7,5 %) dan kelompok usia dengan frekuensi paling kecil adalah 15-19 tahun, sebanyak 4 orang (6,0 %).

Berdasarkan asumsi peneliti, perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh perilaku masyarakat dalam mengobati diri sendiri, tanpa memeriksakan diri atau berkonsultasi kepada dokter terlebih dahulu. Beberapa jenis IMS dapat diketahui pengobatannya dengan bantuan internet ataupun saran-saran dari berbagai pihak. Sementara jenis IMS kondiloma akuminata, kemungkinan menimbulkan manifestasi klinis yang tidak dapat ditangani sendiri oleh responden, sehingga mereka cenderung memeriksakan dirinya ke petugas kesehatan.

Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian CDC pada tahun 2008 yang menyatakan kelompok usia 15-19 tahun merupakan kelompok usia tertinggi pengidap IMS, yang diikuti oleh kelompok usia 20-24 tahun. Meskipun sedikit berbeda,


(53)

namun hasil penelitian ini cukup sesuai dengan penelitian Rosyati (2001) di Bali yang menyatakan kelompok usia pengidap IMS terbanyak adalah 20-24 tahun (29,5%). Begitu pula menurut Mamahit (2000) yang melakukan penelitian di Jember dan Tulungagung, Jawa Timur serta Bitung dan Manado,Sulawesi Utara mendapatkan usia rata-rata pengidap IMS di kedua propinsi tersebut adalah 25 tahun.

Pada tabel 5.3, diperoleh bahwa jumlah responden perempuan lebih banyak daripada responden laki-laki dengan perbedaan yang sangat tipis yaitu 34 orang responden perempuan (50,7%) dan 33 orang responden laki-laki (49,3%). Hal ini pun cukup sesuai dengan hasil penelitian CDC tahun 2008, meskipun penelitian CDC tersebut menyatakan jumlah penderita IMS wanita jauh lebih banyak daripada pria. Hal ini disebutkan mungkin dipengaruhi oleh lebih banyaknya wanita yang melakukan pemeriksaan ginekologis daripada pria, sehingga penemuan kasus IMS pada wanita lebih banyak daripada pada pria.

Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian CDC di Amerika pada tahun 2008, diasumsikan peneliti disebabkan oleh adanya perbedaan budaya dan gaya hidup, dimana hubungan seks pranikah lebih umum dilakukan oleh remaja-remaja di Amerika daripada di Indonesia. Hal ini menyebabkan masyarakat Amerika terpapar terhadap faktor resiko penularan IMS pada usia yang lebih muda daripada di Indonesia.

Pada tabel 5.4 didapatkan hasil bahwa IMS lebih banyak terjadi pada responden dengan tingkat pendidikan terakhir sedang (hingga tingkat SMP atau SMA) yaitu 45 orang (67,2%). Sedangkan jumlah responden dengan tingkat pendidikan terakhir tinggi adalah 12 orang(17,9%) dan jumlah responden dengan tingkat pendidikan terakhir rendah adalah 10 orang (14,9%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mamahit (2000) di Bitung dan Manado,Sulawesi Utara yang menyatakan tingkat pendidikan terakhir terbanyak pengidap IMS di propinsi tersebut adalah tingkat pendidikan sedang (hingga SMP atau SMA) yaitu sebanyak 157 orang (75,1%). Namun, tidak sesuai dengan penelitiannya yang dilaksanakan di Jember dan Tulungagung, Jawa Timur yang menyatakan tingkat pendidikan terahir terbanyak


(54)

adalah tingkat pendidikan rendah (tidak bersekolah atau hingga SD) yaitu sebanyak 121 orang (52,6%).

Gambaran IMS berdasarkan status pekerjaan pada tabel 5.5 menunjukkan bahwa responden yang bekerja, lebih banyak mengidap IMS yaitu 36 orang (53,7%), sedangkan jumlah responden yang tidak bekerja adalah 31 orang (46,3%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rosyati (2001) dan Jazan (2003) yang juga menyatakan bahwa pengidap IMS lebih banyak yang bekerja daripada yang tidak bekerja.

Menurut asumsi peneliti, hal ini mungkin terjadi karena responden yang bekerja memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk berada di luar lingkungan keluarga, bepergian keluar kota atau luar negeri dan memiliki pergaulan yang lebih luas, sehingga lebih gampang terpapar oleh faktor-faktor resiko penularan IMS.

IMS juga lebih banyak terjadi pada responden yang telah menikah yaitu sebanyak 40 orang (59,7%) sedangkan responden yang belum menikah adalah sebanyak 27 orang (40,3%) seperti yang terdapat pada tabel 5.6. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mamahit (2000) yang juga menyatakan pengidap IMS lebih banyak yang telah menikah daripada yang belum menikah.

Dengan melakukan tabulasi silang, gambaran masing-masing jenis Infeksi Menular Seksual (IMS) pada penelitian ini, dapat dijelaskan sebagai berikut:

5.2.1. Gonore

Dalam penelitian ini, ditemukan 19 orang responden yang mengidap gonore. Karakteristik dari IMS ini adalah, gonore ditemukan sebanyak 15 kasus pada responden laki-laki dan 4 kasus pada wanita. Gonore adalah jenis IMS yang paling banyak ditemukan pada responden laki-laki dalam penelitian ini. Gonore paling banyak ditemukan pada responden dengan tingkat pendidikan terakhir sedang (hingga SMP atau SMA) yaitu sebanyak 13 kasus. Terdapat 12 responden yang bekerja dan 7 responden yang tidak bekerja pada jenis IMS ini. Gonore paling banyak ditemukan pada responden dengan kelompok usia 30-34 tahun. Gonore merupakan jenis IMS


(55)

yang paling banyak ditemukan pada responden yang sudah menikah yaitu sebanyak 14 kasus.

5.2.2. IGNS (Infeksi Genital Non-Spesifik)

Dalam penelitian ini, ditemukan 3 kasus IGNS, yang terdiri dari 2 orang responden laki-laki dan 1 orang responden perempuan. Ketiga responden tersebut memiliki tingkat pendidikan terakhir sedang (hingga SMP atau SMA), 2 diantaranya bekerja dan selebihnya tidak bekerja. Responden paling banyak didapati pada kelompok usia 30-34 tahun yaitu sebanyak 2 orang. Ketiga responden pada penelitian ini didapati telah menikah.

5.2.3. Sipilis

Pada penelitian ini, didapatkan 5 kasus sipilis yang terdiri dari 3 orang responden laki-laki dan 2 orang responden perempuan. Kasus sipilis paling banyak ditemukan pada responden dengan tingkat pendidikan terakhir sedang (hingga SMP atau SMA) yaitu sebanyak 4 kasus. IMS jenis ini lebih banyak ditemukan pada responden yang tidak bekerja yaitu sebanyak 3 kasus bila dibandingkan dengan responden yang bekerja yaitu sebanyak 2 kasus. Responden pengidap sipilis paling banyak ditemukan pada kelompok usia 25-29 tahun yaitu sebanyak 2 kasus dan ditemukan lebih banyak pada responden yang telah menikah, yaitu sebanyak 3 kasus.

5.2.4. Herpes Simpleks

Pada penelitian ini, didapatkan 2 kasus herpes simpleks yang terdiri dari 1 orang responden laki-laki dan 1 orang responden perempuan. Kedua responden didapati memiliki tingkat pendidikan terakhir sedang (hingga SMP atau SMA). Didapati 1 orang responden yang bekerja dan 1 orang responden yang tidak bekerja. Salah seorang responden termasuk dalam kelompok usia 25-29 tahun dan seorang


(56)

responden lainnya termasuk dalam kelompok usia 30-34 tahun. Kedua responden pada penelitian ini didapati belum menikah.

5.2.5. Kondiloma Akuminata

Dalam penelitian ini, kondiloma akuminata merupakan jenis IMS responden yang paling banyak ditemukan yaitu sebanyak 20 kasus. Kondiloma akuminata lebih banyak ditemukan pada responden perempuan yaitu sebanyak 12 orang, sedangkan responden laki-laki terdapat 8 orang. Kondiloma akuminata merupakan jenis IMS yang paling banyak ditemukan pada perempuan pada penelitian ini. Kondiloma akuminata paling banyak ditemukan pada responden dengan tingkat pendidikan terakhir sedang (hingga SMP atau SMA) yaitu sebanyak 17 kasus. Terdapat 12 responden yang bekerja dan 8 orang responden yang tidak bekerja. Kondiloma akuminata paling banyak ditemukan pada kelompok usia 20-24 tahun yaitu sebanyak 6 kasus dan didapati lebih banyak pada responden yang sudah menikah yaitu 13 orang.

5.2.6. Lain-lain

Terdapat 18 kasus yang dalam penelitian ini dimasukkan ke dalam kelompok IMS lainnya, terdiri atas 6 responden yang mengidap moluscum contangiosum dan 12 orang yang mengidap kandidiasis genitalis. Terdapat 14 responden perempuan dan 4 reponden laki-laki pada kelompok ini. Tingkat pendidikan terakhir yang paling banyak ditemukan adalah tingkat rendah (tidak bersekolah atau hingga SD) dengan jumlah 7 kasus. Didapati 7 orang responden yang bekerja dan 11 orang responden yang tidak bekerja. Kelompok usia yang paling sering ditemukan adalah kelompok usia kurang dari 15 tahun dan lebih dari 44 tahun masing-masing dengan jumlah yang sama yaitu 5 kasus. Didapati 10 kasus pada responden yang sudah menikah dan 8 kasus pada responden yang belum menikah.


(57)

(58)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai gambaran Infeksi Menular Seksual (IMS) di RSUP. H.Adam Malik Medan tahun 2009 dengan jumlah responden sebanyak 67 orang, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Distribusi jenis Infeksi Menular Seksual (IMS) paling banyak adalah kondiloma akuminata sebanyak 20 orang (29,9%).

2. Distribusi kelompok usia pada penderita Infeksi Menular Seksual (IMS) paling banyak adalah 30-34 tahun sebanyak 15 orang (22,4%).

3. Distribusi jenis kelamin pada penderita Infeksi Menular Seksual (IMS) paling banyak pada perempuan yaitu 34 orang (50,7%)

4. Distribusi pendidikan terakhir pada penderita Infeksi Menular Seksual (IMS) yang paling banyak adalah tingkat pendidikan sedang (hingga tingkat SMP atau SMA) yaitu sebanyak 45 penderita (67,2%).

5. Distribusi pekerjaan pada penderita Infeksi Menular Seksual (IMS) yang paling banyak adalah bekerja yaitu sebanyak 36 orang (53,7%).

6. Distribusi status marital pada penderita Infeksi Menular Seksual (IMS) yang paling banyak adalah sudah menikah yaitu sebanyak 40 penderita (59,7%).

6.2. Saran

Adapun saran yang diberikan peneliti berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Penelitian selanjutnya mengenai IMS sebaiknya menggunakan populasi penelitian yang lebih luas dengan menggunakan data dari beberapa rumah sakit dan meneliti jenis Infeksi Menular Seksual (IMS) yang lebih beragam,


(59)

yang bertujuan untuk memperkaya data sehingga karakteristik penderita IMS dapat dikenali dengan lebih baik.

2. Pihak RSUP H.Adam Malik Medan sebaiknya meningkatkan kualitas dan melengkapi data rekam medik pasien, sehingga penelitian yang dilakukan selanjutnya dapat memberikan hasil yang lebih tepat.

3. Berhubungan dengan karakteristik responden yang telah dipaparkan, IMS masih banyak terjadi pada kelompok usia yang tergolong muda dan tingkat pendidikan yang tidak begitu tinggi, sehingga hal ini kiranya menjadi pengingat bagi pihak-pihak terkait untuk melakukan penyuluhan atau pendidikan mengenai IMS dan perihal seksualitas lainnya kepada kelompok masyarakat yang beresiko tinggi tersebut.


(60)

DAFTAR PUSTAKA

Behrman, A.J. & Shoff, W.H., 2009. Gonorrhea, University of Pennsylvania. Available from: [accessed 13 April 2010].

Centers for Disease Control and Prevention, 2007. CDC Fact Sheet Genital Herpes. Available from: 13 April 2010].

Centers for Disease Control and Prevention, 2009. Sexually Transmitted Disease Surveillance 2008. Georgia: U.S. Department of Health and Human Services, Division of STD Prevention.

Daili, S.F., 2007. Tinjauan Penyakit Menular Seksual (PMS). In: Djuanda, A., Hamzah, M., and Aisah, S., Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI, 363-365.

Daili, S.F., 2009. Gonore. In: Daili, S.F., et al., Infeksi Menular Seksual. 4th ed. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI, 65-76.

Daili, S.F., 2009. Herpes Genitalis. In: Daili, S.F., et al., Infeksi Menular Seksual. 4th ed. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI, 125-139.

Daili, S.F., 2009. Pemeriksaan Klinis pada Infeksi Menular Seksual. In: Daili, S.F., et al., Infeksi Menular Seksual. 4th ed. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI, 19-61.


(61)

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Ghadishah, D., 2009. Condiloma Acuminata, FACEP. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/781735-overview [accessed 13 April 2010].

Hakim, L., 2009. Epidemiologi Infeksi Menular Seksual. In: Daili, S.F., et al., Infeksi Menular Seksual. 4th ed. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI, 3-16.

Hutapea, N.O., 2009. Sifilis. In: Daili, S.F., et al., Infeksi Menular Seksual. 4th ed. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI, 84-102.

Jazan, S., et al. 2003. Prevalensi Infeksi Saluran Reproduksi pada Wanita Penjaja Seks di Bitung,Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal PPM & PPL.

Kastner M., et al., 2006. Age-Specific Search Strategies for Medline, University of Toronto, Faculty of Medicine. Available from: http://www.jmir.org

. [Accesed 15 April 2010].

Liu, P.F. & Euerle, B., 2009. Syphilis, Virginia Hospital Center Arlington. Available from: April 2010].

Lumintang, H., 2009. Infeksi Genital Non Spesifik. In: Daili, S.F., et al., Infeksi Menular Seksual. 4th ed. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI, 77-83.


(1)

Frequency Table

Statistics

jenisIMS jenis kelamin pendidikan pekerjaan statusmarital Kelompok Usia

N Valid 67 67 67 67 67 67

Missing 0 0 0 0 0 0

jenisIMS

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid gonore 19 28.4 28.4 28.4

kondiloma akuminata 20 29.9 29.9 58.2

Sifilis 5 7.5 7.5 65.7

herpes simpleks 2 3.0 3.0 68.7

IGNS 3 4.5 4.5 73.1

lain-lain 18 26.9 26.9 100.0

Total 67 100.0 100.0

jenis kelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid laki laki 33 49.3 49.3 49.3

perempuan 34 50.7 50.7 100.0


(2)

Kelompok Usia

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid <15 5 7.5 7.5 7.5

15 - 19 4 6.0 6.0 13.4

20 - 24 12 17.9 17.9 31.3

25 - 29 9 13.4 13.4 44.8

30 - 34 15 22.4 22.4 67.2

35 - 39 7 10.4 10.4 77.6

40 - 44 7 10.4 10.4 88.1

>44 8 11.9 11.9 100.0

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid pendidikan rendah 10 14.9 14.9 14.9

pendidikan sedang 45 67.2 67.2 82.1

pendidikan tinggi 12 17.9 17.9 100.0

Total 67 100.0 100.0

Pekerjaan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid bekerja 36 53.7 53.7 53.7

tidak bekerja 31 46.3 46.3 100.0

Total 67 100.0 100.0

Statusmarital

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid sudah menikah 40 59.7 59.7 59.7

belum menikah 27 40.3 40.3 100.0


(3)

Kelompok Usia

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid <15 5 7.5 7.5 7.5

15 - 19 4 6.0 6.0 13.4

20 - 24 12 17.9 17.9 31.3

25 - 29 9 13.4 13.4 44.8

30 - 34 15 22.4 22.4 67.2

35 - 39 7 10.4 10.4 77.6

40 - 44 7 10.4 10.4 88.1

>44 8 11.9 11.9 100.0

Total 67 100.0 100.0

Crosstabs

Case Processing Summary Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

jenisIMS * jenis kelamin 67 100.0% 0 .0% 67 100.0%

jenisIMS * pendidikan 67 100.0% 0 .0% 67 100.0%

jenisIMS * pekerjaan 67 100.0% 0 .0% 67 100.0%

jenisIMS * statusmarital 67 100.0% 0 .0% 67 100.0%


(4)

jenisIMS * jenis kelamin Crosstabulation Count

jenis kelamin

Total laki laki perempuan

jenisIMS Gonore 15 4 19

kondiloma akuminata 8 12 20

Sifilis 3 2 5

herpes simpleks 1 1 2

IGNS 2 1 3

lain-lain 4 14 18


(5)

jenisIMS * pendidikan Crosstabulation Count

Pendidikan

Total pendidikan rendah

pendidikan

sedang pendidikan tinggi

jenisIMS Gonore 2 13 4 19

kondiloma akuminata 1 17 2 20

Sifilis 0 4 1 5

herpes simpleks 0 2 0 2

IGNS 0 3 0 3

lain-lain 7 6 5 18

Total 10 45 12 67

jenisIMS * pekerjaan Crosstabulation Count

pekerjaan

Total bekerja tidak bekerja

jenisIMS Gonore 12 7 19

kondiloma akuminata 12 8 20

Sifilis 2 3 5

herpes simpleks 1 1 2

IGNS 2 1 3

lain-lain 7 11 18


(6)

jenisIMS * statusmarital Crosstabulation Count

statusmarital

Total sudah menikah belum menikah

jenisIMS Gonore 14 5 19

kondiloma akuminata 13 7 20

Sifilis 3 2 5

herpes simpleks 0 2 2

IGNS 0 3 3

lain-lain 10 8 18

Total 40 27 67

jenisIMS * Kelompok Usia Crosstabulation Count

Kelompok Usia

Total <15 15 - 19 20 – 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44 >44

jenisIMS Gonore 0 1 3 2 5 2 4 2 19

kondiloma akuminata

0 1 6 4 4 2 2 1 20

Sifilis 0 1 0 2 1 0 1 0 5

herpes simpleks

0 0 0 1 1 0 0 0 2

IGNS 0 0 1 0 2 0 0 0 3

lain-lain 5 1 2 0 2 3 0 5 18