Analisis Yuridis terhadap Pidana Bersyarat dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi.

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PIDANA BERSYARAT

DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Putusan MA No. 356/Pid. Sus/2008)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

FRANS DANIEL J.S

NIM: 060200139

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PIDANA BERSYARAT

DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

(Studi Putusan MA No. 36/Pid. Sus/2008)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

FRANS DANIEL J.S

NIM: 060200139

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Abul Khair, SH, M. Hum NIP: 196107021989031001

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

Dr. Marlina, SH, M. Hum Dr. Mahmud Mulyadi, SH.MHum NIP: 197503072002122002 NIP: 197302202002121001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penelitian ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II PENGATURAN PIDANA BERSYARAT MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF DI INDONESIA ... 19

A. Pengaturan Pidana Bersyarat di Indonesia ... 19

1. Pengaturan Pidana Bersyarat dalam KUHP ... 19

2. Pengaturan pidana bersyarat dalam Rancangan KUHP Nasional ... 31

B. Pedoman Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Bersyarat ... 33

1. Pertimbangan yuridis ... 33

2. Pertimbangan non yuridis ... 38

3. Hal-hal yang Memberatkan dan Meringankan Pidana ... 41

BAB III PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA BERSYARAT DALAM KASUS KORUPSI (Putusan MA No. 356/Pid.Sus/2008) ... 54

A. Posisi kasus ... 54

B. Analisa kasus ... 65

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 72

A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 73


(4)

ABSTRAK

Frans Daniel J S Dr. Marlina, SH, M. Hum Dr. Mahmud Mulyadi, SH.MHum

Suatu proses peradilan pidana, termasuk peradilan tindak pidana korupsi, tidak jarang terlihat bahwa seseorang yang dinyatakan bersalah dan dihukum melalui sebuah putusan pengadilan, namun orang tersebut tidak perlu masuk penjara. Hal inilah yang dalam hukum positif Indonesia dikenal dengan dengan putusan pidana bersyarat. Pidana bersyarat adalah sebuah lembaga pemidanaan, hal ini diketahui melalui undang Nomor 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana). Upaya penegakan hukum dan pencapaian prinsip keadilan dalam sebuah perkara pidana, termasuk perkara pidana korupsi, maka hakikat yang harus dicapai oleh hakim sebagai pemberi keputusan yang berkeadilan, dalam hal ini orang sering beranggapan bahwa keadilan hanya berhak diterima oleh korban kejahatan saja, padahal harus dipahami bahwa pelaku tindak pidana korupsi juga berhak dan pantas untuk menerima keadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai bagaimana pengaturan pidana bersyarat menurut hukum pidana positif di Indonesia dan bagaimanakah analisis yuridis terhadap pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi (Studi Putusan MA No. 356/Pid.Sus/2008)

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal

research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis

didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through

judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data

sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Pidana bersyarat diatur dalam pasal 14a sampai pasal 14f KUHP. Pada hakikatnya pidana bersyarat bukan merupakan pidana pokok, melainkan hanya suatu cara penerapan pidana penjara, yang penjatuhannya dikaitkan dengan syarat-syarat tertentu. Pidana bersyarat dijatuhkan dalam hal: pertama, dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih dari satu

Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universita Sumatera Utara

 Dosen Pembimbing I dan Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara  Dosen pembimbing II dan Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara


(5)

tahun, dan kedua, pidana bersyarat dapat dijatuhkan jika dikenakan pidana kurungan. Berdasarkan ketentuan dalam undang-undang No. 31 tahun 1971 pada pasal 12 (2), hakim dimungkinkan menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun. Pada undang-undang No. 31 tahun 1999 Jo undang-undang No. 20 tahun 2001, dengan ancaman pidana minimum khusus paling singkat satu tahun, memungkinkan hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun. Hakim pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung RI, dalam putusannya dibenarkan menerapkan pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi. Terbukanya kemungkinan penerapan pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi, akibat putusan hakim yang berbeda dari ancaman pidana yang diatur dalam undang-undang tindak pidana korupsi, sejauh putusan demikian dapat dibenarkan. Hakim beralasan, penyimpangan putusan disebabkan ancaman pidana penjara minimum khusus membatasi kebebasan hakim dalam menjatuhkan pidana.


(6)

KATA PENGANTAR

Syukur penulis akan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas rahmat dan yang telah memberikan kesempatan bagi penyelesaian penulisan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudul: “Analisis Yuridis terhadap Pidana Bersyarat

dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi”.

Pelaksanaan pendidikan guna memperoleh gelar sarjana ini diakui banyak mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing, maka tulisan ini dapat diselesaikan dengan baik.. Penulisan skripsi ini masih banyak kelemahan serta kekurangan-kekurangan, oleh karena itu diharapkan adanya suatu masukan serta saran yang bersifat membangun di masa yang akan datang.

Dengan segala kerendahan hati, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang tulus atas bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Rasa terima kasih dan penghargaan ini penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

2. Bapak Abul Khair, SH. M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana;

3. Ibu Dr. Marlina, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I penulis yang banyak membantu dan memberikan saran dalam penyiapan judul diawal pembuatan skripsi ini, dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini serta membantu penulis dikala mengalami kesulitan;


(7)

4. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II penulis yang banyak membantu dan memberikan saran dalam penyiapan judul diawal pembuatan skripsi ini, dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini serta membantu penulis dikala mengalami kesulitan;

5. Ibu Erna Herlinda selaku Dosen Akademik penulis,dimana telah banyak membantu penulis selama di bangku perkuliahan;

6. Untuk semua Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara terutama Dosen Jurusan Hukum Pidana;

7. Untuk orangtua yang paling saya cintai, untuk Bapak Rudy Sitorus, SH,M.Si dan ibu Ruminta Panggabean, terima kasih buat doa dan dukungannya serta kasih sayang yang diberikan kepada penulis selama ini dari membesarkan anakmu hingga mendapatkan gelar Sarjana Hukum ini, hanya ucapan terima kasih dan doa yang dapat penulis berikan;

8. Untuk adik-adik saya, Fiesta Octorina Sitorus, Firda Melda Yunita Sitorus, dan si kecil Fany Ezra Sitorus atas bantuan dan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

9. Keluarga Sitorus dan Panggabean atas doa dan dukungannya;

10.Untuk anak-anak GTz yang dasyat (Andri Manurung, Christian Sitompul, Janky Sihotang, Donris Sihaloho, Tondy Sianturi, Immanuel Tobing, Archiman Simbolon, Raza Gurusinga, Chipnus) yang telah banyak membantu penulis dalam hal-hal semasa kuliah dan membantu penulis dalam penulisan skripsi ini, terima kasih sahabat-sahabatku, pertemanan yang paling dasyhat kudapat dari kalian semua;


(8)

11.Untuk teman-teman alumnus SMA Negeri 3 yang banyak membantu memotifasi penulis dalam penulisan skripsi dan yang telah memberikan semangat dan doa bagi penulis menyelesaikan skripsi ini; 12.Untuk teman-teman yang saling tolong menolong dalam komunitasnya

(Yuyun, Pekong, Puput, Yuni, Chandut, Bally, Eva, dan yang tidak dapat disebutkan satu per satu). Terimakasih atas segala keceriaannya;

13.Untuk teman-teman seangkatan stambuk 2006 (Ruth Ginting, David butar-butar khusunya dan semua anak grup C), terima kasih atas

doa dan dukungannya;

14.Untuk teman-teman akrabku di Markas Besar Soho (Ricky Matondang, Egy Arjuna Ginting, Tesa, dan semua yang tidak dapat disebutkan satu persatu) terima kasih buat semua bantuan di dalam segala hal dan doa serta dukungannya;

15.Untuk teman-teman, kakanda-kakanda, adinda-adinda seperjuangan GMNI Komisariat Hukum USU terima kasih buat segala pengalaman dan doanya;

Besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya, meskipun penulis menyadari kekurangan dalam penyusunan skripsi ini.

Medan, Nopember 2010 Penulis,


(9)

ABSTRAK

Frans Daniel J S Dr. Marlina, SH, M. Hum Dr. Mahmud Mulyadi, SH.MHum

Suatu proses peradilan pidana, termasuk peradilan tindak pidana korupsi, tidak jarang terlihat bahwa seseorang yang dinyatakan bersalah dan dihukum melalui sebuah putusan pengadilan, namun orang tersebut tidak perlu masuk penjara. Hal inilah yang dalam hukum positif Indonesia dikenal dengan dengan putusan pidana bersyarat. Pidana bersyarat adalah sebuah lembaga pemidanaan, hal ini diketahui melalui undang Nomor 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana). Upaya penegakan hukum dan pencapaian prinsip keadilan dalam sebuah perkara pidana, termasuk perkara pidana korupsi, maka hakikat yang harus dicapai oleh hakim sebagai pemberi keputusan yang berkeadilan, dalam hal ini orang sering beranggapan bahwa keadilan hanya berhak diterima oleh korban kejahatan saja, padahal harus dipahami bahwa pelaku tindak pidana korupsi juga berhak dan pantas untuk menerima keadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai bagaimana pengaturan pidana bersyarat menurut hukum pidana positif di Indonesia dan bagaimanakah analisis yuridis terhadap pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi (Studi Putusan MA No. 356/Pid.Sus/2008)

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal

research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis

didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through

judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data

sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Pidana bersyarat diatur dalam pasal 14a sampai pasal 14f KUHP. Pada hakikatnya pidana bersyarat bukan merupakan pidana pokok, melainkan hanya suatu cara penerapan pidana penjara, yang penjatuhannya dikaitkan dengan syarat-syarat tertentu. Pidana bersyarat dijatuhkan dalam hal: pertama, dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih dari satu

Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universita Sumatera Utara

 Dosen Pembimbing I dan Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara  Dosen pembimbing II dan Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara


(10)

tahun, dan kedua, pidana bersyarat dapat dijatuhkan jika dikenakan pidana kurungan. Berdasarkan ketentuan dalam undang-undang No. 31 tahun 1971 pada pasal 12 (2), hakim dimungkinkan menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun. Pada undang-undang No. 31 tahun 1999 Jo undang-undang No. 20 tahun 2001, dengan ancaman pidana minimum khusus paling singkat satu tahun, memungkinkan hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun. Hakim pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung RI, dalam putusannya dibenarkan menerapkan pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi. Terbukanya kemungkinan penerapan pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi, akibat putusan hakim yang berbeda dari ancaman pidana yang diatur dalam undang-undang tindak pidana korupsi, sejauh putusan demikian dapat dibenarkan. Hakim beralasan, penyimpangan putusan disebabkan ancaman pidana penjara minimum khusus membatasi kebebasan hakim dalam menjatuhkan pidana.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, karena dalam kenyataannya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.1

Tindak pidana korupsi menjadi salah satu penyebab krisis multidimensional di Indonesia. Berdasarkan Konvensi Anti-Korupsi tahun 2003 telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006, secara tegas diatur bahwa korupsi merupakan salah satu kejahatan yang terorganisasi dan bersifat lintas batas teritorial (trans-nasional), disamping pencucian uang, perdagangan manusia, penyelundupan migran dan penyelundupan senjata api.2

Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah mendapat putusan hakim di pengadilan. Penegakan hukum ini diharapkan mampu menjadi faktor penangkal terhadap merebaknya praktek-praktek korupsi di Indonesia, tapi pada kenyataannya

1

Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK: Kajian Yuridis Normatif Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Versi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 25.

2


(12)

semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin meningkat pula praktek-praktek tindak pidana korupsi tersebut.

Pembahasan mengenai sebuah produk hukum suatu negara yang akan dilakukan, maka terdapat beberapa hal yang dapat dikaji dan menarik perhatian bagi banyak kalangan. Namun saat ini yang banyak dibicarakan dan menjadi perhatian masyarakat adalah mengenai hukum pidana. Hukum pidana merupakan salah satu bagian aturan hukum sebagai alat untuk melindungi masyarakat dalam suatu negara, dalam hal ini peranan negara menjadi besar sekali. Permasalahan dalam hukum pidana sendiri juga banyak yang dapat menjadi bahan pembahasan, salah satunya yaitu mengenai masalah pemidanaan.

Menurut Sudarto bahwa sejarah hukum pidana pada hakikatnya adalah sejarah dari pidana dan pemidanaan, pidana termasuk juga tindakan (maatregel,

masznahme), yang menimbulkan suatu penderitaan, sesuatu yang dirasakan tidak

enak oleh yang dikenai, oleh karena itu orang tidak henti-hentinya untuk mencari dasar, hakikat dan tujuan pidana dan pemidanaan untuk memberikan alasan pembenar (justification) pidana itu.3

Berdasarkan pendapat tersebut maka jelas nampak bahwa apabila akan membahas sebuah hukum pidana, maka tidak dapat dipisahkan dari pembahasan mengenai sanksi pidana yang dikenakan bagi para pelanggarnya. Sanksi pidana untuk hukum pidana Indonesia dikenal dengan pidana tersebut, akan sangat menarik untuk dikaji di Indonesia. Berkaitan dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memberikan suatu kebebasan bagi aparat penegak hukum, antara lain jaksa sebagai penuntut umum untuk menuntut seorang

3

Muladi & Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 1


(13)

terdakwa, yang menurutnya secara sah dan meyakinkan telah melakukan sebuah tindakan pidana, dengan ancaman minimal yang sangat rendah, yaitu satu hari dan ancaman maksimal tertentu sesuai dengan ketentuan hukum yang mengaturnya.

Ketentuan tersebut juga berlaku untuk hakim sebagai pemberi keputusan atas suatu tindak pidana. Namun dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara, terutama perkara pidana, hakim harus mempertimbangkan banyak hal. Pertimbangan yang harus dimiliki hakim dalam melaksanakan tugasnya menegakkan hukum dan keadilan tidak boleh menyimpang dari aturan normatif yang berlaku, tetapi di pihak lain ia juga harus dapat memutus dengan memandang keadaan sosiologis dari perkara tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas, jelas nampak bahwa dalam melakukan penegakan hukum, tidak dapat hanya mengandalkan komponen penegak hukum semata tetapi juga harus dikaitkan dengan aturan hukum yang berlaku.

Keputusan seorang hakim akan dipuji dan dapat diikuti oleh para juniornya apabila keputusan tersebut dapat mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia, sebagaimana dicantumkan dalam penjelasan pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.4 Berkaitan dengan hal tersebut, maka pengadilan sebagai lembaga yang bertugas untuk menjatuhkan pidana harus menyadari betul, apakah pidana yang dijatuhkan itu membawa dampak positif bagi terpidana atau tidak. Oleh karena itu, penjatuhan pidana bukan sekedar berat ringannya pidana, akan tetapi juga pidana itu efektif atau tidak dan pidana itu sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya dan struktural yang hidup dan berkembang di masyarakat.

4

Undang-undang tentang Kekuasaan kehakiman, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358.


(14)

Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus. Sebagaimana tindak pidana khusus, hakim diperbolehkan untuk menghukum dua pidana pokok sekaligus, pada umumnya hukuman badan dan denda. Hukuman badan berupa pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara. Tujuannya agar pemidanaan itu memberatkan pelakunya supaya kejahatan dapat ditanggulangi di masyarakat, karena tindak pidana korupsi sangat membahayakan kepentingan bangsa dan negara.

Sanksi pidana yang dijatuhkan oleh para hakim terhadap para pelaku kejahatan masih dinilai belum memberikan rasa takut dan dipengaruhi oleh norma-norma di luar hukum, tampaknya masih melekat dan menjadi kendala terhadap penegakan hukum secara konsekuen. 5 Juga otoritas hakim yang begitu besar dalam memutuskan perkara mengakibatkan banyak terjadi disparitas putusan dalam perkara yang sejenis. Hal ini ditandai dengan adanya perbedaan secara substansial yang tajam antara putusan hakim pengadilan yang satu dengan yang lainnya mengenai perkara yang sama, padahal semua mengacu pada peraturan yang sama.6

Suatu proses peradilan pidana, termasuk peradilan tindak pidana korupsi, tidak jarang terlihat bahwa seseorang yang dinyatakan bersalah dan dihukum melalui sebuah putusan pengadilan, namun orang tersebut tidak perlu masuk penjara. Hal inilah yang dalam hukum positif Indonesia dikenal dengan dengan putusan pidana bersyarat. Pidana bersyarat adalah sebuah lembaga pemidanaan,

5

Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum dalam Kajian Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 9.

6

Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, (Yogyakarta: UII Press, 2007), hal. 32.


(15)

hal ini diketahui melalui undang Nomor 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana).7

Salah satu putusan pengadilan yang telah berkekutan hukum tetap yang menjatuhkan pidana bersyarat pada terdakwa terlihat pada putusan Mahkamah Agung Nomor 356/Pid.Sus/2008. Majelis hakim pada tingkat kasasi dalam kasus ini menjatuhkan pidana bersyarat (masa percobaan) selama satu tahun enam bulan kepada terdakwa tindak pidana korupsi. Penjatuhan pidana bersyarat kepada para terdakwa yang didakwa dengan pasal tindak pidana korupsi ini tentunya menimbulkan pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat, khususnya masyarakat praktisi hukum. Hal ini dikarenakan tindak pidana korupsi merupakan salah satu bentuk extra ordinary crime yang seharusnya mendapatkan hukuman berat dari pengambil keputusan, namun pemberian pidana bersyarat telah menimbulkan persepsi lain tentang tindak pidana korupsi sebagai salah satu bentuk tindak pidana luar biasa.

Upaya penegakan hukum dan pencapaian prinsip keadilan dalam sebuah perkara pidana, termasuk perkara pidana korupsi, maka hakikat yang harus dicapai oleh hakim sebagai pemberi keputusan yang berkeadilan, dalam hal ini orang sering beranggapan bahwa keadilan hanya berhak diterima oleh korban kejahatan saja, padahal harus dipahami bahwa pelaku kejahatan juga berhak dan pantas untuk menerima keadilan sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya, termasuk pelaku tindak pidana khusus seperti tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu maka hakim harus dapat menganalisis secara tajam perkara pidana yang

7


(16)

dihadapinya, agar dapat memecahkan persoalan tersebut secara rasional, sehingga terhindar dari hal-hal yang bersifat merugikan kepentingan keadilan.8

B. Permasalahan

Permasalahan yang akan diangkat untuk dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan pidana bersyarat menurut hukum pidana positif di Indonesia?

2. Bagaimanakah analisis yuridis terhadap pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi (Studi Putusan MA No. 356/Pid.Sus/2008)?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan

a. Untuk mengetahui pengaturan pidana bersyarat menurut hukum pidana positif di Indonesia

b. Untuk mengetahui analisis yuridis terhadap pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi (Studi Putusan MA No. 356/Pid.Sus/2008)

2. Manfaat

a. Secara Teoritis

Diharapkan akan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan ilmu hukum pidana umumnya.

8

Djisman Samosir, Fungsi Pidana Penjara dalam Sistem Pemidanaan Indonesia, (Bandung: Bina Cipta, 1992), hal. 1.


(17)

b. Secara Praktis

Secara praktis penelitian ini ditujukan kepada kalangan praktisi dan agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi yang diatur melalui peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya yang terkait di Indonesia. Penelitian ini juga sedapat mungkin dilakukan agar dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Suatu peraturan yang baik adalah peraturan yang tidak saja memenuhi persyaratan-persyaratan formal sebagai suatu peraturan, tetapi menimbulkan rasa keadilan dan kepatutan dan dilaksanakan/ ditegakkan dalam kenyataannya.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Analisis Yuridis terhadap Pidana Bersyarat dalam Kasus Tindak

Pidana Korupsi (Putusan MA No. 356/Pid. Sus/2008)” belum pernah dilakukan

dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini dapat disebut “asli” sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Tindak Pidana

Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan “strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai tindak pidana di dalam KUHP tanpa


(18)

memberikan suatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit. Perkataan feit sendiri di dalam bahasa Belanda berarti sebahagian dari suatu kenyataan, sedangkan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan sebagai suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan diketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan atau tindakan. Hazewinkel-Suringa membuat rumusan yang umum dari strabaar feit sebagai perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus diadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.9

Menurut Pompe, perkataan strafbaar feit itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang pelaku, dimana penjatuhan terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum, alasan mengapa

strafbaar feit itu harus dirumuskan karena:

a. Untuk adanya suatu strafbar feit itu diisyaratkan bahwa di situ harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan undang-undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum;

9

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 1.


(19)

b. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dalam undang-undang;

c. Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu onrechtmatige handeling.10

2. Tinjauan Umum tentang Pengertian Pemidanaan

Istilah “Penghukuman” berasal dari kata dasar “hukum”, sehingga dapat diartikan sebagai “menetapkan hukum ”atau“ memutuskan tentang hukumnya” (berechten).11 Oleh Prof. Sudarto dijelaskan penghukuman berasal dari kata dasar “hukum”, sehingga dapat diartikan sebagai “menetapkan hukum”, yang dalam perkara pidana kerap kali disama artikan dengan “pemidanaan” atau pemberian/ penjatuhan pidana” oleh hakim.12

Adapun pengenaan sanksi pidana atau pemidanaan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana itu sendiri adalah sebagai akibat mutlak yang harus diterima sebagai suatu pembalasan kepada pelaku yang melakukan tindak pidana karena tidak mematuhi ketentuan undang-undang. Dasar pembenaran dari pemidanaan itu sendiri terletak pada adanya kejahatan itu sendiri sebagai upaya memuaskan rasa keadilan (teori absolut).13

10

Ibid, hal. 2. 11

Moeljatno, Ceramah: “Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Dalam Hukum Pidana”, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1955), hal.7

12

Muladi, Pidana dan Pemidanaan, (Semarang; Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1984), hal. 1-2.

13


(20)

3. Tinjauan Umum Tentang Tujuan Pemidanaan

Tujuan pemidanaan sebagaimana di sampaikan oleh Barda Nawawi Arief dalam suatu seminar menyatakan bahwa tujuan dari pemidanaan tidak terlepas dari tujuan politik kriminil dalam arti keseluruhannya, yaitu “memberikan perlindungan pada masyarakat untuk mencapai kesejahteraan” dan untuk tujuan

“ne peccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan).14

Upaya mewujudkan perlindungan kepentingan hukum masyarakat perlu menetapkan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam daripada sanksi yang terdapat dalam cabang hukum lainnya. Terutama dalam bidang penegakan hukum sangatlah diperlukan mengingat hukum pidana yang dipandang mampu memberikan efek jera terhadap pelanggarnya.15

Perumusan tujuan pemidanaan baru dilakukan dan tampak dalam konsep Rancangan KUHP Nasional (1992), buku yang dirumuskan dalam Pasal 12 ayat (1), yaitu:16

a. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat, dan penduduk.

b. Untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota masyarakat yang berguna.

c. Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana. Sementara itu dalam ayat (2) nya dinyatakan bahwa pemidanaan “tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia”

Berdasarkan pada hal-hal tersebut di atas, akan jelas terlihat bahwa tujuan pidana dan pemidanaan adalah untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil

14 Ibid 15

Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung; Alumni, 1981), hal. 78 16


(21)

dan makmur, serta mencegah terjadinya tindak kejahatan.17 Menurut pendapat Sahetapy, bahwa sasaran utama yang dituju oleh pidana adalah “orang” (si pembuat). Dalam pengertian “pembebasan” sebagaimana diutarakannya, yaitu pembuat dibina sedemikian rupa sehingga si pembuat terbebas dari alam pikiran jahat dan terbebas dari kenyataan sosial yang membelenggu.18

Tujuan pemidanaan yang bersifat pembinaan yang berorientasi pada “orang” (pembuat) berpengaruh dalam menetapkan strategi berikutnya, yaitu dalam kebijakan menetapkan sanksi pidana. umumnya meliputi masalah menetapkan jenis dan jumlah berat, di mana melakukan pemilihan tersebut berdasar pada suatu pertimbangan yang rasional.19 Sanksi hukum pidana punya pengaruh preventif (pencegahan) terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran norma hukum, karena itu harus diingat bahwa, sebagai alat “social control” fungsi hukum pidana adalah sebagai langkah akhir, artinya hukum pidana diterapkan bila usaha-usaha lain kurang memadai.20

4. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio – corruptus, dalam bahasa Belanda disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption, dalam bahasa Sansekerta didalam Naskah Kuno Negara Kertagama tersebut corrupt arti harfiahnya menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan.21

17

Soedarto, Suatu Dilema Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia, (Semarang; Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1974), hal. 34.

18

Joko Prakoso, Hukum Penitensier Di Indonesia, (Yogyakarta; Liberty, 1988), hal. 42-43

19

Soedarto, Suatu Dilema Pembaharuan Sistem Pidana Indonesi, Op. cit, hal. 97 20

Sutan Remy Syahdeni, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, 2006), hal. 214.

21

Sudarto, Prof., SH, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, Cetakan Keempat, 1996, hal 115.


(22)

Korupsi menurut Henry Campbell Black dalam Black’s Law Dictionary adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.22

Dalam pengertian lain, korupsi dapat diartikan sebagai “perilaku tidak mematuhi prinsip”, dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau pejabat publik. Dan keputusan dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga, korupsi akan timbul, termasuk juga konflik kepentingan dan nepotisme.

Terlepas dari berbagai ragam pengertian korupsi diatas, secara yuridis, pengertian korupsi, baik arti maupun jenisnya telah dirumuskan, di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang sebelumya, yaitu Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971.

Dalam pengertian yuridis, pengertian korupsi tidak hanya terbatas kepada perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, tetapi meliputi juga perbuatan-perbuatan yang memenuhi rumusan delik, yang merugikan masyarakat atau orang perseorangan. Oleh karena itu, rumusannya dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

22

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Edisi VI, West Publishing , St. Paul Minesota, 1990.


(23)

2. Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif (yang disuap).

Undang-undang No. 17 Tahun 2003 merumuskan pengertian keuangan negara sebagai berikut:

Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.23

Ruang lingkup keuangan negara sesuai dengan pengertian tersebut diuraikan sebagai berikut:24

a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;

b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

c. Penerimaan Negara; d. Pengeluaran Negara; e. Penerimaan Daerah; f. Pengeluaran Daerah;

g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara atau daerah;

h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;

23

Pasal 1 angka 1 UU No. 17/2003. 24


(24)

i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.25

F. Metode Penelitian

Pengumpulan data dan informasi untuk penulisan skripsi ini telah dilakukan melalui pengumpulan data-data yang diperlukan untuk dapat mendukung penulisan skripsi ini dan hasil yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan skripsi ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka penulis menerapkan metode pengumpulan data sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif (yuridis normatif) yakni merupakan penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi (law in book). Penelitian yuridis normatif ini disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) atau hukum dikonsepkan sebagai kaedah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas26.

25

Kekayaan pihak lain ini meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara daerah.

26

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 1.


(25)

2. Jenis Data dan Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya. Data sekunder diperoleh dari :

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang.27 Dalam tulisan ini di antaranya Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi, seperti: seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

c. Bahan Hukum Tersier

Yaitu dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia dan lain-lain.

3. Metode Pengumpulan Data

27

Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal. 19.


(26)

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut:28

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan degan objek penelitian.

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel- artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan.

c. Mengelompokan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

4. Analisa Data

Data primer dan sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang

28

Ronitijo Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal. 63.


(27)

berhubungan dengan topik dengan skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I: Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II: Bab ini akan membahas tentang pengaturan pidana bersyarat menurut hukum pidana positif di Indonesia, yang mengulas tentang pengaturan pidana bersyarat dalam KUHP dan Rancangan KUHP Nasional, pidana bersyarat dalam KUHP negara lain sebagai perbandingan, dan juga membahas tentang pedoman hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat.

BAB III: Bab ini akan dibahas tentang analisis yuridis terhadap pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi (Studi Putusan MA No. 356/Pid.Sus/2008), yang akan mendiskripsikan putusan kasus dan analisis hukum terhadap kasus.

BAB IV: Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.


(28)

BAB II

PENGATURAN PIDANA BERSYARAT MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF DI INDONESIA

A. Pengaturan Pidana Bersyarat di Indonesia 1. Pengaturan Pidana Bersyarat dalam KUHP

Masuknya lembaga pidana bersyarat ke dalam Hukum Pidana Belanda dan kemudian hukum pidana Indonesia, merupakan dampak dari pertumbuhan lembaga-lembaga semacam ini di Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa Barat.29 Lembaga seperti ini pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun 1887, dengan nama probation. Melalui lembaga ini dimungkinkan untuk menunda penjatuhan pidana dengan cara menempatkan terdakwa dalam probation dengan pengawasan seorang probation officer.30

Lembaga probation berkembang dengan cepat, sampai akhirnya masuk ke negara-negara lain, seperti Inggris, Perancis, dan Belgia. Hanya saja di Perancis dan Belgia, lembaga ini berubah menjadi penundaan pelaksanaan pidana dan tidak diperlukan probation officer untuk melaksanakan pengawasan terhadap terpidana.31

Jadi, menurut sistem Amerika Serikat dan Inggris, hakim pada waktu mengadili terdakwa tidak menetapkan pidana, tetapi menentukan jangka waktu tertentu bagi terdakwa untuk berada dalam probation, dengan ketentuan atau syarat-syarat tertentu. Agar terdakwa menepati syarat-syarat tersebut, maka ia

29

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1985), hal. 33. 30

Ibid. Tahun 1878 adalah saat pertama adanya peraturan hukum tentang lembaga probation di Massachussets. Cikal bakal lembaga ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 1841 melalui kegiatan yang dilakukan seorang pembuat sepatu dari Boston yang bernama John Augustus.

31


(29)

diawasi oleh petugas. Apabila selama dalam probation, terdakwa melakukan tindak pidana atau melanggar syarat lain yang ditentukan, maka ia akan diajukan lagi ke persidangan untuk dijatuhi pidana.

Sementara pada sistem Perancis dan Belgia, hakim pada waktu mengadili terdakwa sudah menetapkan lamanya pidana penjara yang harus dijalani, tetapi karena keadaan-keadaan tertentu ia memutuskan untuk menunda pelaksanaan pidana ini. Artinya pidana yang telah dijatuhkan tidak perlu dijalani, asalkan dalam suatu waktu yang ditentukan oleh hakim, terdakwa telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan. Apabila dalam masa penundaan tersebut terpidana melanggar syarat-syarat, maka pidana yang telah ditetapkan tadi harus dijalani. Selama dalam masa penundaan, terpidana tidak dibantu oleh probation officer.32

Pidana bersyarat diberlakukan di Indonesia dengan staatblad 1926 No. 251 jo 486, pada bulan januari 1927 yang kemudian diubah dengan Staatblad No. 172. Pidana bersyarat sendiri memiliki sinonim dengan hukuman percobaan (Voorwardelijke Veroordeling). Namun berkaitan dengan penamaan ini juga ada yang mengatakan kurang sesuai, sebab penamaan ini itu memberi kesan seolah-olah yang digantungkan pada syarat itu adalah pemidanaannya atau penjatuhan pidananya. Padahal yang digantungkan pada syarat-syarat tertentu itu, sebenarnya adalah pelaksanaan atau eksekusi dari pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim. Pidana bersyarat sendiri merupakan salah satu jenis penerapan sanksi pidana di luar Lembaga Pemasyarakatan (LP), selain itu terdapat penerapan sanksi pidana lain yang di luar LP, yaitu:33

32

Ibid 33

Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, (Yogyakarta: Liberty, 2002), hal. 190.


(30)

a. Pelepasan bersyarat b. Bimbingan lebih lanjut c. Proses asimilasi/ integrasi

d. Pengentasan anak dengan cara pemasyarakatan untuk terpidana anak e. Pengentasan anak yang diserahkan negara dengan keputusan hakim atau

orang tua/ wali

Pengertian pidana bersyarat itu sendiri terdapat beberapa pendapat di kalangan para ahli hukum antara lain, yaitu P.A.F. Lamintang:34

Pidana bersyarat adalah suatu pemidanaan yang pelaksanaannya oleh hakim telah digantungkan pada syarat-syarat tertentu yang ditetapkan dalam putusannya.

Muladi menyatakan:35

Pidana bersyarat adalah suatu pidana, dalam hal mana si terpidana tidak usah menjalani pidana tersebut, kecuali bilamana selama masa percobaan terpidana telah melanggar syarat-syarat umum atau khusus yang telah ditentukan oleh pengadilan. Dalam hal ini pengadilan yang mengadili perkara tersebut mempunyai wewenang untuk mengadakan perubahan syarat-syarat yang telah ditentukan atau memerintahkan agar pidana dijalani apabila terpidana melanggar syarat-syarat tersebut. Pidana bersyarat ini merupakan penundaan terhadap pelaksanaan pidana.

R. Soesilo menyatakan:36

Pidana bersyarat yang biasa disebut peraturan tentang “hukum dengan perjanjian” atau “hukuman dengan bersyarat” atau “hukuman janggelan” artinya adalah: orang dijatuhi hukuman, tetapi hukuman itu tidak usah dijalankan, kecuali jika kemudian ternyata bahwa terhukum sebelum habis tempo percobaan berbuat peristiwa pidana atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim kepadanya, jadi keputusan penjatuhan hukuman tetap ada.

34

P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Op. cit, hal. 136. 35

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Op. cit, hal. 195-196. 36

R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana, Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus, (Bogor: Politea, 1991), hal. 53.


(31)

Selain mengenai pengertian pidana bersyarat di atas, Sosilo juga berpendapat bahwa maksud dari penjatuhan pidana bersyarat ini adalah untuk memberi kesempatan kepada terpidana supaya dalam tempo percobaan itu ia memperbaiki dirinya dengan jalan menahan diri tidak akan berbuat suatu tindak pidana lagi atau melanggar perjanjian (syarat-syarat) yang telah ditentukan oleh hakim kepadanya.37

Pengaturan mengenai pidana bersyarat ini sendiri di dalam KUHP terdapat pada:38

Pasal 14a ayat (1):

Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau kurungan, tidak termasuk kurungan pengganti, maka dalam putusannya dapat memerintahkan pula di kemudian hari ada putusan hakim yangmenentukan lain, disebabkan karena terpidana melakukan suatu perbuatan pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis atau terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat-syarat khusus yang mungkin ditentukan dalam perintah itu.

Pasal 14b KUHP

(1) Dalam perkara kejahatan dan pelanggara yang diterangkan dalam Pasal 492, 504, 505, 506 dan 536, maka percobaan itu selama-lamanya tiga tahun dan perkara pelanggaran yang lain selama-lamanya dua tahun.

(2) Masa percobaan itu mulai, segera putusan itu sudah menjadi tetap dan diberitahukan kepada orang yang dipidana menurut cara yang diperintahkan dalam undang-undang.

(3) Masa percobaan itu tidak dihitung, selama orang yang dipidana itu ditahan dengan sah.

Pasal 14c ayat (1) KUHP merumuskan sebagai berikut :

(1) Dengan perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa

37 Ibid 38

http://bakhri-drsyaifulbakhrishmh.blogspot.com/2009/11/bab-iv-pidana-bersyarat-pelepasan.html. diakses tanggal 18 Nopember 2010.


(32)

percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana, semuanya atau sebagiannya saja, yang akan ditentukan pada perintah itu dalam waktu yang akan ditentukan pada perintah itu juga, yang kurang daripada masa percobaan itu.

(2) Dalam hal menjatuhkan pidana, baik pidana penjara yang lamanya lebih dari tiga bulan, maupun pidana kurungan karana salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam pasal 492, 504, 505, 506 dan 536, maka pada perintahnya itu hakim boleh mengadakan syarat khusus yang lain pula tentang kelakuan orang yang dipidana itu, yang harus dicukupinya dalam masa percobaan itu atau dalam sebagian masa itu yang akan ditentukan pada perintah itu.

(3) Segala janji itu tidak boleh mengurangkan kemerdekaan agama atau kemerdekaan politik.

Pasal 14d

(1) Pengawasan atas hal yang mencukupi tidaknya segala janji itu diserahkan kepada pegawai negeri yang akan menyuruh menjalankan pidana itu, jika sekiranya kemudian hari diperintahkan akan menjalankannya.

(2) Jika dirasanya beralasan, maka dalam perintahnya, hakim boleh memberi perintah kepada sebuah lembaga yang bersifat badan hukum dan berkedudukan di daerah Republik Indonesia atau kepada orang yang memegang sebuah lembaga yang berkedudukan di situ atau kepada seorang pegawai neeri istimewa, supaya memberi pertolongan dan bantuan kepada orang yang dipidana itu tentang mencukupi syarat khusus itu. Pasal 14e KUHP

Baik sesudah menerima usul dari pegawai negeri yang tersebut dalam ayat pertama pasal 14d, maupun atas permintaan orang yang diberi putusan mengubah syarat khusus yang ia telah tetapkan atau waktu berlaku syarat itu diadakannya dalam masa percobaan, dapat menyerahkan hal memberi bantuan itu kepada orang lain daripada yang sudah diwajibkan atau dapat memperpanjang masa percobaan itu satu kali. Tambahan itu tidak boleh lebih dari seperdua waktu yang selama-lamanya dapat ditentukan untuk masa percobaan itu.

Pasal 14f KUHP

(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pada pasal yang di atas, maka sesudah menerima usul dari pegawai negeri yang diterangkan dalam ayat pertama pasal 14d, hakim yang mula-mula memberi putusan dapat memerintahkan supaya putusan itu dijalankan., atau menentukan supaya orang yang dipidana itu ditegur atas namanya, yaitu jika dalam masa percobaan itu orang tersebut melakukan tindak pidana dan karena itu dipidana menurut putusan yang tak dapat diubah lagi, atau jika masa percobaan itu orang tersebut dipidana menurut putusan yang tak dapat


(33)

diubah lagi karena tindak pidana yang dilakukannya sebelum masa percobaan itu mulai. Dalam hal memberi teguran itu hakim menentukan pula caranya menegur.

(2) Perintah menjalankan pidana tidak lagi dapat diberikan, jika masa percobaan sudah habis, kecuali jika sebelum habis masa percobaan itu orang yang dipidana tersebut dituntut karena melakukan tindak pidana, dan kesudahan tuntutan itu orangnya dipidana menurut putusan yang tak dapat dirubah lagi. Dalam hal itu boleh juga perintah akan mejalankan pidananya diberikan dalam dua bulan sesudah putusan pidana orang itu menjadi tak dapat dirubah lagi.

Pasal dalam KUHP tersebut oleh Muladi disimpulkan menjadi persyaratan dapat dijatuhkannya pidana bersyarat, yaitu antara lain:39

a. Dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih dari 1 (satu) tahun. Jadi dalam hal in ipidana bersyarat dapat dijatuhkan dalam hubungan dengan pidana penjara dengan syarat hakim tidak ingin menjatuhkan pidana lebih dari satu tahun, sehingga yang menentukan bukanlah ancaman pidana maksimal yang dapat dijatuhkan pada pelaku tindak pidana tersebut, tetap pada pidana y ang dijatuhkan terhadap si terdakwa, dari penjelasan tersebut nampak bahwa pidana bersyarat dipergunakan berdasarkan maksud daripada hakim dalam memutus, pada saat ia hendak memberi pidana satu tahun, maka hakim tersebut memiliki hak untukmemberikan pidana bersyarat pada terdakwa tersebut, akan tetapi perlu diperhatikan bahwa dalam pasal 14a ayat (2) hakim dibatasi secara jelas berkaitan dengan jenis tindak pidana yang tidak dapat dijatuhkan pidana bersyarat (penyimpangan), antara lain:

1) Perkara-perkara mengenai penghasilan dan persewaan negar aapabila menjatuhkan pidana denda, namun harus pula dibuktikan bahwa

39


(34)

pidana denda dan perampasan tersebut memang memberatkan terpidana

2) Kejahatan dan pelanggaran candu, perbuatan tersebut dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan negara

3) Berkaitan dengan pidana denda yang dijatuhkan tidak dapat digantikan dengan pidana kurungan

Selain ketiga hal di atas, sebagai pengeculian tidak dapat dijatuhkannya pidana bersyarat, terdapat juga pengecualian lain mengenai lamanya waktu satu tahun juga dapat disimpangi, yaitu dengan masa percobaan selama tiga tahun namun bagi kejahatan dan pelanggaran tertentu, yaitu

1) Perbuatan merintangi lalu lintas atau mengganggu ketertiban atau keamanan bagi orang-orang lain ataupun melakukan sesuatu, dalam hal ini 40

2) Perbuatan meminta-minta pemberian di depan umum, baik dilakukan oleh sendiri ataupun oleh tiga orang atau lebih secara bersama-sama dan umur mereka sudah lebih dari enam belas tahun.41

3) Perbuatan berkeliaran kemana-mana tanpa memiliki mata pencaharian, perbuatan tersebut dilakukan oleh sendiri atau tiga orang attau lebih dan usia mereka di attas nema belas tahun dan dalam hal ini perbuatan tersebut adalah bergelandangan.42

40

Pasal 492 KUHP 41

Pasal 504 KUHP 42


(35)

4) Perbuatan sebagai germo dengan mengambil keuntungan dari perbuatan susila oleh seorang wanita.43

5) Perbuatan berada di jalan umum dalam keadaan mabuk.44

b. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan sehubngan dengan pidana kurungan, dengan ketentuan tidak termasuk pidana kurungan pengganti denda, mengenai pidana kurungan ini tidak diadakan pembatasan, sebab dalam pasal 18 ayat (1) KUHP sudah jelas menyatakan bahwa pidana kurungan dapat dijatuhkan kepada terdakwa paling lama satu tahun dan paling cepat satu hari, alasan pidana kurungan pengganti dendan tidak dapat dikenakan pidana bersyarat, karena pidana kurungan itu sendiri sudah menjadi syarat apabila terpidana tidak dapat membayar denda, sehingga tidak mungkin dibebankan pidana bersyarat terhadap sesuatu yang sudah menjadi syarat dari pidana pokok yang dijatuhkan.

c. Dalam hal menyangkut pidana denda, maka pidana bersyarat dapat dijatuhkan, dengan batasan bahwa hakim harus yakin bahwa pembayaran denda betul-betul akan dirasakan berat oleh si terdakwa.

Beberapa hal yang dikemukakan di atas adala menyangkut persyaratan dapat dan tidak dapatnya dijatuhkan pidana bersyarat. Selain itu juga perlu diketahui bahwa masa percobaan yang berkaitan dengan pidana bersyarat tersebut mulai dihitung dan berlaku sejak putusan hakim itu sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan pasti (pasal 14b ayat (2)), selain itu keputusan hakim itu sendiri telah diberitahukan kepaa terpidaan sesuai dengan tata tauran hukum yang sah, apabila mengacu pada Staatblad tahun 1926 Nomor 251 jo 486 mengenai aturan

43

Pasal 506 KUHP 44


(36)

pidana bersyarat (regeling van de voorwaardelijke veroordeling) itu sendiri bahwa dalam pasal 1 menyatakan:45

ditentukan putusan pengadilan yang berisi tentang perintah pidana bersyarat setelah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan putusan pengadilan, secepat mungkin harus diberitahukan kepada terpidana secara pribadi dan menjelaskan mengenai isi dari putusan tersebut, dengan menyerahkan suatu pemberitahuan mengenai pidana yang telah dijatuhkan kepadanya dan mengenai semua isi keputusan yang berkenaan dengan perintah tersebut.

Selain syarat normatif yang diatur dalam KUHP, hakim juga perlu mempertimbangkan pendapat Muladi yang memberikan persyaratan tambahan untuk dapat dijatuhkannya pidana bersyarat terhadap pelaku tindak pidana yang terbukti berbuat, antara lain:46

a. Sebelum melakukan tindak pidana itu, terdakwa belum pernah melakukan tindak pidana lain dan selalu taat pada hukum yang berlaku

b. Terdakwa masih sangat muda (12-18 tahun)

c. Tindak pidana yang dilakukan tidak menimbulkan kerugian yang terlalu besar

d. Terdakwa tidak menduga, bahwa tindak pidana yang dilakukannya akan menimbulkan kerugian yang besar

e. Terdakwa melakukan tindak pidana disebabkan adanya hasutan orang lain yang dilakukan dengan intensitas yang besar

f. Terdapat alasan-alasan yang cukup kuat, yang cenderung untuk dapat dijadikan dasar memaafkan perbuatannya

g. Korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut

45

Staatblad tahun 1926 Nomor 251 46


(37)

h. Terdakwa telah membayar ganti rugi atau akan membayar ganti rugi kepada si korban atas kerugian-kerugian atau penderitaan-penderitaan akibat perbuatannya

i. Tindak pidaan tersebut merupakan akibat dari keadaan-keadaan yang tidak mungkin terulang lagi

j. Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain

k. Pidana perampasan kemerdekaan akan menimbulkan penderitaan yang besar, baik terhadap terdakwa maupun terhadap keluarganya

l. Terdakwa diperkirakan dapat menanggapi dengan baik pembinaan yang bersifat non-institusional

m. Tindak pidana terjadi di kalangan keluarga n. Tindak pidana terjadi karena kealpaan o. Terdakwa sudah sangat tua

p. Terdakwa adalah pelajar atau mahasiswa

q. Khusus untuk terdakwa di bawah umur, hakim kurang yakin akan kemampuan orang tua untuk mendidik.

Berkaitan dengan pelaku yang dikenai pidana bersyarat, apabila dala mproses pemeriksaan terpidana bersyarat dikenai penahanan (perampasan kemerdekaan), maka masa percobaan terhadap terpidana tersebut tidak berlaku pada saat selama terpidana tersebut dirampas kemerdekaannya.47 Bagi pelaku tindak pidana yang dijatuhi pidana bersyarat, hakim dapat memberikan syarat-syarat khusus, selain daripada syarat-syarat umum yang telah disebutkan di atas, syarat-syarat

47


(38)

khusus yang dapat dijatuhkan hakim tersebut seperti pembebanan ganti kerugian terhadap korban berkaitan dengan akibat yang timbul dari perbuatan pelaku yang telah melanggar hukum, pembebanan ganti kerugian tersebut menyangkut sebagian ataupun seluruh kegiatan yang ditimbulkan,48 akan tetapi persyaratan khusus yang dapat dijatuhkan oleh hakim tersebut tidak boleh membatasi kemerdekaan terpidana untuk beragama dan kebebasannya menurut ketatanegaraan.

Seseorang yang dikenai pidana bersyarat apabila melakukan perbuatan yang dapat dihukum dan hukuman yang diterimanya sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, ataupun jika si terpidana tidak mentaati serta melanggar syarat khusus yang telah dijatuhkan kepadanya, maka hakim yang mejatuhkan pidana bersyarat tersebut dapat memerintahkan agar hukuman sebagai konsekuensi pidana bersyarat tersebut dilaksankaan atau memberi peringatan terhukum atas perbuatan yang telah dilakukan.

Berdasarkan pengertian serta pengaturan pidana bersyarat di atas, maka Muladi memberikan pendapat mengenai manfaat-manfaat dari pidana bersyarat tersebut antara lain:49

a. Pidana bersyarat tersebut di satu pihak harus dapat meningkatkan kebebasan individu dan di lain pihak mempertahankan tertib hukum serta memberikan perlindungan kepada masyarakat secara efektif terhadap pelanggaran hukum lebih lanjut

48

Pasal 14c ayat (1) 49


(39)

b. Pidana bersyarat harus dapat meningkatkan persepsi masyarakat terhadap falsafah rehabilitasi dengan cara memelihara kesinambungan hubungan antara narapidana dengan masyarakat secara normal

c. Pidana bersyarat berusaha menghindarkan dan melemahkan akibat-akibat negatif dari pidana perampasan kemerdekaan yang seringkali menghambat usaha pemasyarakatan kembali narapidana ke dalam masyarakat

d. Pidana bersyarat mengurangi biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk membiaya sistem koreksi yang berdaya guna

e. Pidana bersyarat diharapkan dapat membatasi kerugian-kerugian dari penerapan pidana pencabutan kemerdekaan, khususnya terhadap mereka yang kehidupannya tergantung kepada si pelaku tindak pidana

f. Pidana bersyarat diharapkan dapat memenuhi tujuan pemidanaan yang bersifat integratif, dalam fungsinya sebagai sarana pencegahan (umum dan khusus), perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas masyarakat dan pengimbalan.

2. Pengaturan pidana bersyarat dalam Rancangan KUHP Nasional

Rancangan Undang-undang Hukum Pidana menggunakan istilah pidana pengawasan untuk menggantikan istilah pidana bersyarat ini. Adapun tentang pidana Pengawasan sebagaimana diatur dalam RUU-KUHP 2008, yakni;

Pasal 77 RUU KUHP“Terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, dapat dijatuhi pidana pengawasan.”


(40)

(1) Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada terdakwa mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya.

(2) Pidana pengawasan sebagaimana dimaksud pada (1) dijatuhkan untuk paling lama tiga tahun.

(3) Dalam penjatuhan pidana pengawasan dapat ditetapkan syarat-syarat: a) terpidana tidak akan melakukan tindak pidana; b) terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oelh tindak pidana yang dilakukan; dan/atau c) terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.

(4) Pengawasan dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Permasyarakatan Departemen Hukum dan HAM.

(5) Jika selama dalam pengawasan terpidana melanggar hukum, maka Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Permasyarakatan Departemen Hukum dan HAM dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpanjang masa pengawasan yang lamanya tidak melampui maksmum dua kali masa pengawasan yang belum dijalani.

(6) Jika dalam pengawasan terpidana menunjukan kelakuan baik, maka Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Permasyarakatan Departemen Hukum dan HAM dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpendek masa pengawasannya.

(7) Hakim pengawas dapat mengubah penetapan jangka waktu pengawasan setelah mendengar para pihak.


(41)

Pasal 79 RUU KUHP.

(1) Jika terpidana selama menjalani pidana pengawasan melakukan tindak pidana dan dijatuhi pidana yang bukan pidana mati atau bukan pidana penjara, maka pidana pengawasan tetap dilaksanakan.

(2) jika terpidana dijatuhi pidana penjara, maka pidana pengawasan ditunda dan dilaksanakn kembali setelah terpidana selesai menjalani pidana penjara.”

Pasal 121 RUU KUHP

Ketentuan mengenai pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dala Pasal 77, Pasal 78, dan Pasal 79 berlaku juga terhadap pidana pengawasaan

B. Pedoman Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Bersyarat

Untuk menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana korupsi, hakim membuat pertimbangan-pertimbangan. Dalam menjatuhkan pidana bersyarat terhadap pelaku tindak pidana korupsi, hakim cenderung lebih banyak menggunakan pertimbangan yang bersifat yudiris dibandingkan yang bersifat non-yudiris.

1. Pertimbangan Yuridis

Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh undangundang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Pertimbangan yang bersifat yuridis di antaranya:

a. Dakwaan jaksa penuntut umum. b. Keterangan saksi.


(42)

d. Barang-barang bukti.

e. Pasal-pasal dalam undang-undang tindak pidana korupsi. ad.a. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan (Pasal 143 ayat (1) KUHAP). Dakwaan berisi identitas terdakwa juga memuat uraian tindak pidana serta waktu dilakukannya tindak pidana dan memuat pasal yang dilanggar (Pasal 143 ayat (2) KUHAP).

Perumusan dakwaan didasarkan dari hasil pemeriksaan pendahuluan yang dapat disusun tunggal, kumulatif, alternatif maupun subsidair.50 Dakwaan disusun secara tunggal apabila seseorang atau lebih mungkin melakukan satu perbuatan saja. Namun, apabila lebih dari satu perbuatan dalam hal ini dakwaan disusun secara kumulatif. Oleh karena itu dalam penyusunan dakwaan ini disusun sebagai dakwaan kesatu, kedua, ketiga dan seterusnya. Selanjutnya dakwaan alternatif disusun apabila penuntut umum ragu untuk menentukan peraturan hukum pidana yang akan diterapkan atas suatu perbuatan yang menurut pertimbangannya telah terbukti. Dalam praktek dakwaan alternatif tidak dibedakan dengan dakwaan subsidair karena pada umumnya dakwaan alternatif disusun penuntut umum menurut bentuk subsidair yakni tersusun atas primair atau subsidair. Dakwaan penuntut umum sebagai bahan pertimbangan pengadilan dalam menjatuhkan putusan.

ad.b. Keterangan Saksi

Keterangan saksi merupakan alat bukti seperti yang diatur dalam Pasal 184

50

Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 125.


(43)

KUHAP. Sepanjang keterangan itu mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri ia lihat sendiri dan alami sendiri, dan harus disampaikan dalam sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah.

Keterangan saksi yang disampaikan di muka sidang pengadilan yang merupakan hasil pemikiran saja atau hasil rekaan yang diperoleh dari kesaksian orang lain tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah. Kesaksian semacam ini dalam hukum acara pidana disebut dengan istilah de auditu testimonium.51

Kesaksian de auditu dimungkinkan dapat terjadi di persidangan. Oleh karena itu hakim harus cermat jangan sampai kesaksian demikian itu menjadi pertimbangan dalam putusannya. Untuk itu sedini mungkin harus diambil langkah-langkah pencegahan. Yakni dengan bertanya langsung kepada saksi bahwa apakah yang dia terangkan itu merupakan suatu peristiwa pidana yang dia dengar, dia lihat dan dia alami sendiri. Apabila ternyata yang diterangkan itu suatu peristiwa pidana yang tidak dia lihat, tidak dia dengar, dan tidak dia alaminya sendiri sebaiknya hakim membatalkan status kesaksiannya dan keterangannya tidak perlu lagi didengar untuk menghindarkan kesaksian de auditu.

Ad.c. Keterangan Terdakwa

Menurut Pasal 184 KUHAP butir e. keterangan terdakwa digolongkan sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan terdakwa di sidang tentang perbuatan yang dia lakukan atau yang dia ketahui sendiri atau yang dia alami sendiri.52 Dalam praktek keterangan terdakwa sering dinyatakan dalam bentuk pengakuan dan penolakan, baik sebagian maupun keseluruhan terhadap dakwaan penuntut umum dan keterangan yang disampaikan oleh para saksi.

51

SM. Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramita), hal. 75. 52


(44)

Keterangan juga merupakan jawaban atas pertanyaan baik yang diajukan oleh penuntut umum, hakim maupun penasehat hukum. Keterangan terdakwa dapat meliputi keterangan yang berupa penolakan dan keterangan yang berupa pengakuan atas semua yang didakwakan kepadanya. Dengan demikian, keterangan terdakwa yang dinyatakan dalam bentuk penolakan atau penyangkalan sebagaimana sering dijumpai dalam praktek persidangan, boleh juga dinilai sebagai alat bukti.

Ad.d. Barang-barang Bukti

Pengertian barang-barang bukti yang dibicarakan di sini adalah semua benda yang dapat dikenakan penyitaan dan yang diajukan oleh penuntut umum di persidangan yang meliputi:53

a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga atau diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.

b. Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkan tindak pidana.

c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana.

d. Benda khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana. e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana.

Barang-barang bukti yang dimaksud di atas tidak termasuk dalam alat bukti karena menurut KUHAP menetapkan hanya lima macam alat bukti yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

53


(45)

Walaupun barang bukti bukan sebagai alat bukti namun penuntut umum menyebutkan barang bukti itu didalam surat dakwaannya yang kemudian mengajukannya kepada hakim dalam pemeriksaan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi bahkan bila perlu hakim membuktikannya dengan membacakannya atau memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan selanjutnya minta keterangan seperlunya tentang hal itu.54

Adanya barang bukti yang diperlihatkan pada persidangan akan menambah keyakinan hakim dalam menilai benar tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dan sudah barang tentu hakim akan lebih yakin apabila barang bukti itu dikenal dan diakui oleh terdakwa maupun para saksi. Ad.e. Pasal-Pasal dalam Undang-Undang tindak pidana korupsi

Hal yang sering terungkap di persidangan adalah pasal-pasal yang dikenakan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Pasal-pasal ini bermula dan terlihat dalam surat dakwaan yang diformulasikan oleh penuntut umum sebagai ketentuan hukum tindak pidana korupsi yang dilanggar oleh terdakwa.

Dalam persidangan, pasal-pasal dalam undang-undang tindak pidana korupsi itu selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa. Penuntut umum dan hakim berusaha untuk membuktikan dan memeriksa melalui alat-alat bukti tentang apakah perbuatan terdakwa telah atau tidak memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam pasal undang-undang tentang tindak pidana korupsi. Apabila ternyata perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur dari setiap pasal yang dilanggar, berarti terbuktilah menurut hukum kesalahan terdakwa melakukan perbuatan seperti dalam pasal yang didakwakan kepadanya.

54


(46)

Menurut Pasal 197 huruf f KUHAP salah satu yang harus dimuat dalam surat putusan pemidanaan adalah pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan. Pasal-pasal yang didakwakan oleh penuntut umum menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Keseluruhan putusan hakim yang diteliti oleh penulis, memuat pertimbangan tentang pasal-pasal dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilanggar oleh terdakwa. Tidak ada satu putusanpun yang mengabaikannya. Hal ini dikarenakan pada setiap dakwaan penuntut umum, pasti menyebutkan pasal-pasal yang dilanggar oleh terdakwa, yang berarti fakta tersebut terungkap di persidangan menjadi fakta hukum.

2. Pertimbangan non yuridis

Korupsi yang telah merajalela mempunyai dampak yang merugikan dan merusak tatanan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Kekayaan negara yang dikorupsi sangat besar. Hal ini berarti, jika tidak terjadi korupsi terhadap kekayaan negara maka kemampuan pembiayaan pembangunan melalui APBN dapat meningkat, dan itu berarti bahwa pelaksanaan pembangunan di berbagai sektor dapat lebih ditingkatkan terutama yang berkaitan dengan pemberantasan kemiskinan dan pembiayaan sektor yang bersfat strategis, seperti sektor pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian akan dapat mendongkrak peningkatan kualitas sumberdaya manusia pada masa depan dan diharapkan dapat berimbas pada peningkatan produktivitas secara nasional. Di samping kerugian material juga terjadi kerugian yang bersifat immaterial, yaitu citra dan martabat bangsa Indonesia di dunia internasional. Predikat Indonesia sebagai negara yang terkorup di kawasan Asia Tenggara merupakan citra yang sangat mamalukan.


(47)

Tetapi anehnya para pemimpin di negeri ini masih adem ayem, tebal muka dan tidak memiliki rasa malu sehingga membiarkan praktek korupsi semakin menjadi-jadi.

Selain kerugian material dan immaterial, korupsi juga membawa dampak pada penciptaan ekonomi biaya tinggi. Karena korupsi menyebabkan inefisiensi dan pemborosan dalam ekonomi. Uang pelicin, sogok/suap, pungutan dan sejenisnya akan membebani komponen biaya produksi. Pemerintah yang korup akan membebani sektor swasta dengan urusan-urusan yang luar biasa berat. Ditunjukan oleh Jeremy Pope bahwa di Ukraina pada tahun 1994 perusahaan-perusahaan yang disurvai melaporkan bahwa mereka menghabiskan rata-rata 28 % dari waktu kerja semata-mata untuk berurusan dengan pemerintah dan pada tahun 1996 meningkat menjadi 37 %. Jika tidak ada langkah-langkah dan tindakan nyata pemerintah dalam memberantas korupsi, maka upaya pemerintah untuk menarik investor asing menanamkan investasinya di Indonesia dengan melakukan kunjungan ke berbagai negara menghabiskan uang miliaran rupiah hanya akan merupakan tindakan yang merugi.55

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Shang-Jin-Wei , guru besar pada Kennedy School of Government, Harvard University yang dikutip oleh Jeremy Pope menunjukkan bahwa kenaikan satu angka tingkat korupsi berkorelasi dengan turunnya total investasi asing sebesar 16 persen. Karena memburuknya korupsi di suatu negara penerima investasi akan menyebabkan kenaikan tingkat pajak marginal perusahaan asing.56

55

Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional, (Jakarta; Kerjasama antara Transparency Internastional Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia, 2003), hal. 53.

56


(48)

Di samping dampak tersebut, Alatas (1987) mengemukakan enam pengaruh buruk yang dapat ditimbulkan dari korupsi, yaitu: (1) timbulnya berbagai bentuk ketidak adilan, (2) menimbulkan ketidakefisienan, (3) menyuburkan jenis kejahatan lain, (4) melemahkan semangat perangkat birokrasi dan mereka yang menjadi korban, (5) mengurangi kemampuan negara dalam memberikan pelayanan publik, dan (6) menaikkan biaya pelayanan.57

Dari berbagai dampak dan pengaruh yang ditimbulkan korupsi tersebut tidak dapat disangkal bahwa korupsi membawa dampak yang merugikan dan menghambat pelaksanaan pembangunan di segala bidang. Karena uang yang semestinya dapat digunakan untuk membiayai pelaksanaan pembangunan raib menjadi milik pribadi dan memperkaya segelintir orang. Kemampuan memberikan pelayanan publik yang berkualitas dan manusiawi menjadi berkurang. Sementara puluhan juta rakyat menjerit kesusahan dan mengharpkan uluran tangan dari pemerintah. Dengan demikian korupsi secara langsung atau tidak langsung menghambat kemajuan bangsa dan negara serta semakin memperparah kemiskinan.

Membiarkan korupsi merajalela berarti membiarkan kejahatan menggerogoti dan menguras kekayaan negara untuk kepentingan pribadi, kelompok atau golongan dengan mengabaikan kepentingan umum atau kepentingan rakyat banyak dan hal ini bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Dengan membiarkan korupsi berarti pula membiarkan negara menuju kehancuran, keterbelakangan dan pemeliharaan kemiskinan.

57


(49)

3. Hal-hal yang Memberatkan dan Meringankan Pidana

KUHP hanya mengatur tiga hal yang dijadikan alasan memberatkan pidana, yaitu sedang memangku suatu jabatan (Pasal 52 KUHP), residive atau pengulangan (titel 6 buku 1 KUHP), dan gabungan atau samenloop (Pasal 65 dan 66 KUHP).

a. Dasar Pemberatan Karena Jabatan

Pemberatan karena jabatan ditentukan dalam Pasal 52 KUHP yang rumusannya sebagai berikut: “bilamana seseorang pejabat karena melakukan tindakan pidana, melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiganya”.

Dasar pemberatan pidana tersebut dalam Pasal 52 KUHP adalah terletak pada keadaan jabatan dari kualitas si pembuat (pejabat atau pegawai negeri) mengenai 4 (empat) hal, ialah:

1) Melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya

Dalam hal ini yang dilanggar oleh pegawai negeri dalam melakukan tindak pidana itu adalah kewajiban khusus dari jabatan dan bukan kewajiban umum. Suatu jabatan public yang dipangku oleh seorang pegawai negeri terdapat satu kewajiban khusus yang merupakan suatu kewajiban yang berhubungan erat dengan tugas pekerjaan tertentu dari suatu jabatan.


(50)

Contoh seorang polisi yang diperintahkan bertugas di pos keamanan dan keselamatan bank dari penyerangan atau ancaman penyerangan terhadap keamanan dan keselamatan bank beserta seluruh orang yang berhubungan dan berkepentingan dengan bank tersebut dimana ia bertugas. Akan tetapi kewajiban khusus itu dapat pula dilanggarnya dengan melakukan tindak pidana yang justru menyerang keselamatan dan keamanan bank itu sendiri, misalnya polisi tersebut berkomplotan dengan orang lain untuk merampok bank tersebut, dia memberi informasi dan merancang kejahatan itu serta pelaku pasif (tidak berbuat sesuatu pencegahan) untuk memberi kesempatan pada teman-temannya tadi dalam menjalankan aksi perampokan.

Pada contoh ini, polisi tadi dapat diperberat pidananya dengan 1/3 dari ancaman maksimum kejahatan itu karena ikut sertanya atau terlibatnya dalam aksi perampokan tersebut.58 Tetapi pada teman-temannya tidak berlaku hal pemberatan karena jabatan, berhubung karena teman-temannya tidak memangku jabatan.

2) Melakukan tindak pidana dengan menggunakan kekuasaan dari jabatannya

Suatu jabatan, in casu jabatan public di samping membebankan kewajiban khususnya dari kewajiban umum dari jabatannya, juga memiliki status kekuasaan jabatan, suatu kekuasaan yang melekat yang timbul dari jabatan yang dipangku. Kekuasaan yang dimilikinya ini

58


(51)

dapat disalahgunakan pemangkunya untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang berhubungan dengan kekuasaan itu.

Contoh seorang penyidik karena jabatannya itu ia memiliki kekuasaan untuk menangkap dan menahan seorang tersangka. Dengan kekuasaannya ini ia menangkap seorang musuh pribadi yang dibencinya dan menahannya tanpa memperdulikan ada tidaknya alasan penahanannya atau merekayasa alasan-alasan dari tindakannya itu. Makan oknum polisi ini dapat diperberat pidananya dengan ditambah 1/3 dari 8 tahun penjara.59

3) Menggunakan kesempatan karena jabatannya

Pegawai negeri dalam melaksanakan tugas pekerjaannya berdasarkan hak dan kewajiban jabatan yang dipangkunya, manakala memiliki suatu waktu (timing) yang tepat untuk melakukan perbuatan yang melanggar undang-undang, apabila kesempatan ini disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana itu, maka ia dipidana dengan dapat diperberat 1/3 nya dari ancaman pidana maksimum yang ditentukan dalam pidana yang dilakukannya tersebut.

Contoh: seorang penyidik pembantu dalam melaksanakan penyitaan barang-barang perhiasan di toko perhiasan, ketika ia mempunyai kesempatan utuk mengambil dengan melawan hukum sebagian dari perhiasan yang disita, maka pada kesempatan yang demikian melakukan perbuatan terlarang itu, atau seorang polisi bertugas mengamankan barang-barang penumpang dari suatu kecelakaan bis,

59


(52)

mengambil dengan maksud memiliki segepok uang dari seorang korban atau penumpang.

4) Menggunakan sarana yang diberikan karena jabatannya

Seorang pegawai negeri dalam menjalankan kewajiban dan tugas jabatannya diberikan sarana-sarana tertentu, dan sarana mana dapat digunakan untuk melakukan tindak pidana tertentu. Di sini dapat diartikan menyalahgunakan sarana dari jabatannya untuk melakukan suatu tindak pidana.

Contoh: seorang polisi yang diberi hak menguasai senjata api, dan dengan senjata api itu ia menembak musuh pribadi yang dibencinya. Maka dapat diperberat pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya dengan ditambah 1/3 dari 15 tahun pidana (sebagaimana ketentuan Pasal 338 KUHP) atau sampai maksimum 20 tahun.

Jadi, pemberatan pidana yang didasarkan pada angka 4 (empat) keadaan yang melekat atau timbul dari jabatan adalah wajar, mengingat dari keadaan-keadaan jabatan itu dapat memperlancar/mempermudah tindak pidana (segi objektif) dan juga dari orang itu membuktikan dari niat buruknya yang lebih kuat untuk mewujudkan tindak pidana, yang keadaan-keadaan diketahuinya atau disadarinya dapat mempermudah dalam mewujudkan apa yang dilarang undang-undang atau segi subjektif.

Pemberatan pidana berdasarkan Pasal 52 ini tidak berlaku pada kejahatan jabatan maupun pelanggaran jabatan, melainkan berlakunya pada kejahatan dan pelanggaran lain, sebab pidana yang diancamkan pada kejahatan jabatan dan pelanggaran jabatan karena dari kualitasnya sebagai pegawai negeri telah


(53)

diperhitungkan. Jadi, pemberatan pidana berdasarkan Pasal 52 ini berlaku umum untuk seluruh jenis dan bentuk pidana, kecuali pada kejahatan dan pelanggaran jabatan seperti yang dijelaskan di atas. Walaupun subjek tindak pidana pada Pasal 52 dengan subjek hukum kejahatan dan pelanggaran jabatan adalah sama, yakni pegawai negeri, tetapi ada perbedaan antara tindak pidana memberat atas dasar Pasal 52 ini dengan kejahatan dan pelanggaran jabatan, yaitu:

1. Tindak pidana yang dapat diperberat dengan menggunakan Pasal 52 ini pada dasarnya adalah tindak pidana yang dapat dilakukan setiap orang 2. Sedangkan tindak pidana berupa kejahatan dan pelanggaran jabatan

hanyalah dapat dilakukan subjek hukum yang berkualitas pegawai negeri saja.

Pegawai negeri menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 199960, Pasal 1 butir 2 dirumuskan sebagai berikut:

Pegawai negeri adalah meliputi:

a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang kepegawaian

b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam kitab undang-undang hukum pidana

c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah d. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang

mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

b. Pengulangan (recidive)

60

Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti), 2002, hal. 142.


(54)

Seseorang yang sering melakukan perbuatan pidana dank arena dengan perbuatan-perbuatannya itu telah dijatuhi pidana bahkan telah sering dijatuhi pidana disebut recidivist. Istilah recidive menunjuk kepada kelakuan mengulangi perbuatan pidana, sedangkan residivist itu menunjuk kepada orang yang melakukan pengulangan perbuatan pidana.

Menurut doktrin yang menganut ajaran recidive dilihat dari sudut sifat pemberatan pidana itu dapat digolongkan sebagai berikut:61

1) General recidive atau recidive umum, yaitu apabila seseorang

melakukan kejahatan dan kejahatan tersebut telah dijatuhi pidana, maka apabila setelah bebas menjalani pidananya, kemudian ia melakukan kejahatan lagi yang dapat merupakan bentuk kejahatan semacam apapun.

2) Speciale recidive atau recidive khusus, yaitu apabila seseorang

melakukan kejahatan dan terhadap kejahatan itu telah dijatuhi pidana oleh hakim, kemudia dia melakukan kejahatan lagi yang sama atau sejenis.

3) Tuksen stelsel, yaitu apabila seseorang melakukan kejahatan, misalnya pencurian, setelah diputus dengan dijatuhi pidana dan bebas menjalani pidananya, ia mengulangi perbuatan pidana yang merupakan golongan tertentu menurut undang-undang, misalnya penggelapan atau penipuan.

Ada dua arti pengulangan, yang satu menurut masyarakat dan yang satu menurut hukum pidana. Menurut arti yang pertama yaitu masyarakat menganggap

61

Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hal. 181.


(1)

terdakwa-terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka pidana bersyarat yang dijatuhkan majelis hakim kepada para terdakwa pada kasus ini, menurut analisis penulis sebenarnya sudah mewakili rasa keadilan dan telah sesuai dengan penerapan hukum yang sesungguhnya. Penulis berpendapat bahwa walaupun korupsi merupakan sebuah extra ordinary crime, yang dapat mengancam masyarakat, berbangsa dan bernegara, namun apabila dikaitkan dengan perkara korupsi dalam kasus ini, tentunya dampak yang ditimbulkan dari perbuatan para terdakwa tidaklah terlalu besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ditambah lagi dengan selain dijatuhkan pidana bersyarat, para terdakwa juga dibebani oleh putusan pengadilan untuk mengembalikan keseluruhan kerugian keuangan negara dan membayar denda atas perbuatannya. Oleh karenanya, pidana bersyarat selama satu tahun dan diakumulasikan dengan pengembalian kerugian keuangan negara dan pembayaran denda dalam putusan perkara ini, merupakan sebuah putusan yang menurut hemat penulis sudah mewakili rasa keadilan.


(2)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pidana bersyarat diatur dalam pasal 14a sampai pasal 14f KUHP. Pada hakikatnya pidana bersyarat bukan merupakan pidana pokok, melainkan hanya suatu cara penerapan pidana penjara, yang penjatuhannya dikaitkan dengan syarat-syarat tertentu. Pidana bersyarat dijatuhkan dalam hal: pertama, dalam putusan yang menjatuhkan pidana penjara, asal lamanya tidak lebih dari satu tahun, dan kedua, pidana bersyarat dapat dijatuhkan jika dikenakan pidana kurungan.

2. Berdasarkan ketentuan dalam undang-undang No. 31 tahun 1971 pada pasal 12 (2), hakim dimungkinkan menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun. Pada undang No. 31 tahun 1999 Jo undang-undang No. 20 tahun 2001, dengan ancaman pidana minimum khusus paling singkat satu tahun, memungkinkan hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun. Hakim pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung RI, dalam putusannya dibenarkan menerapkan pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi. Terbukanya kemungkinan penerapan pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi, akibat putusan hakim yang menyimpang dari ancaman pidana yang diatur dalam undang-undang tindak pidana korupsi, sejauh putusan demikian dapat dibenarkan. Hakim beralasan, penyimpangan putusan disebabkan ancaman pidana penjara minimum khusus membatasi kebebasan hakim dalam menjatuhkan pidana, dan tidak jelasnya ukuran yang digunakan


(3)

dalam menentukan lamanya ancaman pidana penjara minimum khusus sehingga dapat menimbulkan rasa ketidakadilan.

B. Saran

1. Perlu ditinjau kembali beberapa ketentuan mengenai pidana bersyarat dalam konsep Rancangan KUHP agar pengaturan tentang pidana bersyarat di masa mendatang lebih mencerminkan rasa keadilan.

2. Dalam perkara tindak pidana korupsi, sebaiknya pidana bersyarat tidak diterapkan bagi terdakwa, sebab korupsi merupakan salah satu bentuk extra ordinary crime yang memiliki dampak luar biasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Alatas, S. H, Korupsi Sifat, Sebab dan Fungsi. Jakarta: LP3ES, 1987. Amin, SM, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Jakarta: Pradnya Paramita.

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006.

Bagian Pembuka dari United Nation Convention Against Corruption

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005.

Djaja, Ermansjah, Memberantas Korupsi Bersama KPK: Kajian Yuridis Normatif Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Versi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Djisman Samosir, Fungsi Pidana Penjara dalam Sistem Pemidanaan Indonesia, Bandung: Bina Cipta, 1992.

Lamintang, P.A.F, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997.

________, P.A.F, Hukum Penintesier Indonesia, Bandung: Armico, 1984.

Mertokusumo, Soedikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, 1988.

Moeljatno, “Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Dalam Hukum Pidana”, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1955. Muhammad, Rusli, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2006.

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 1985

______, Pidana dan Pemidanaan, Semarang; Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1984.

Muladi & Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1992.


(5)

Poernomo, Bambang, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta: Liberty, 2002.

Pope, Jeremy, Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional, Jakarta; Kerjasama antara Transparency Internastional Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia, 2003.

Prakoso, Joko, Hukum Penitensier Di Indonesia, Yogyakarta; Liberty, 1988. Prinst, Darwan, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT. Citra

Aditya Bakti.

Sahetapy, J. E, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Malang: Setara Press, 2009.

Sakidjo, Aruan dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.

_______, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung; Alumni, 1981.

Soedarto, Suatu Dilema Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia, Semarang; Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1974.

Soemitro, Ronitijo Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.

Soesilo, R, Pokok-pokok Hukum Pidana, Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus, Bogor: Politea, 1991.

Sunarso, Siswanto, Penegakan Hukum dalam Kajian Sosiologi Hukum, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004.

Sutiyoso, Bambang, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta: UII Press, 2007.

Syahdeni, Sutan Remy, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Grafiti Pers, 2006.

Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana


(6)

Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tahun 2008

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-undang Nomor 31 tahun tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Undang-undang Nomor 31 tahun tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Internet

http://bakhri-drsyaifulbakhrishmh.blogspot.com/2009/11/bab-iv-pidana-bersyarat-pelepasan.html. diakses tanggal 18 Nopember 2010.