Analisis Yuridis Terhadap Kewenangan Penyidik Mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi ( Studi Kasus Judicial Review Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana K

(1)

DAFTAR PUSTAKA

1. BUKU

Adji, Indriyanto Seno. Korupsi dan Hukum Pidana. Jakarta : Kantor Pengacara & Konsultasi Hukum “Prof. Oemar Seno Adji, SH&Rekan”, 2001.

Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007.

Chazawi, Adami. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung : PT. Alumni, 2006.

Davidsen, Soren. et al. Menghentikan Korupsi di Indonesia 2004-2006, Sebuah Survey Tentang Berbagai Kebijakan dan Pendekatan Pada Tingkat Nasional. Jakarta : Usindo, 2007.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta: Balai Pustaka, 1989.

Gie, Kwik Kian. Pemberantasan Korupsi, Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan. Jakarta. 2001.

Hamzah, Andi. Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Wewenang Kepolisian dan Kejaksaan di bidang Penyidikan. Jakarta : Departemen Kehakiman Hak Asasi Manusia RI, 2001.

__________________. Asas-Asas Hukum Pidan. Jakarta : Rineka Cipta, 1994.

__________________. Delik-Delik Tersebar di Luar KUHP. Jakarta : Pradnya Paramitha, 1985.

__________________. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika. 2005.


(2)

__________________. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Acara Piadan Nasional dan Internasional. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2005.

Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan (Edisi Kedua).Jakarta : Sinar Grafika, 2003.

Husein, Harun. Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana. Jakarta : Rineka Cipta, 1991.

Klitgaard, Robert. Membasmi Korupsi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2001.

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 2003.

Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Pidana; Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya. Bandung : PT Alumni, 2007.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta . 1981.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Peranan Penggunaan Kepustakaan di Dalam Penelitian Hukum. Jakarta. 1979.

_________________. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia; Normatif, Teoretis, Praktik dan Masalahnya. Bandung : PT Alumni, 2007.

Prakoso, Djoko. Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Dalam Proses Hukum Acara Pidana. Jakarta : Bina Aksara, 1987.

Prints, Darwan. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Jakarta : Sinar Grafika, 2005.


(3)

Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya.

Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1996.

___________________. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007.

Tuanakotta, Theodorus M. Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi. Jakarta : Salemba Empat, 2009.

Yuwono, Soesilo. Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHP.

Bandung : Alumni, 1982.

Hiariej, Eddy O.S. Memahami Asas Praduga Bersalah Dan Tidak Bersalah.

2002.

INTERNET

Yuntho, Emerson “ Mencermati Pemberian SP3 Kasus Korupsi ”, http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=11608&cl=Kolom,

Diakses pada Jumat, 20 Agustus 2010, pukul 15:10:21 WIB

Suripto. “Wewenang Mahkamah Konstitusi Menguji Undang-Undang”

(JudicialReview)

<http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/download/risalah_sidang_Per kara%20012.%20PUU-IV.2006.pdf>. Diakses pada Senin, 23 Agustus 2010, pukul 16:25:09 WIB.

Suara Pembaruan, “Jadikan Korupsi Extra Ordinary Crime” <http://www.prakarsarakyat.org./artikel/fokus/artikel.php?aid=29687> . Diakses pada Rabu 25 Agustus 2010, pukul 21:20:31 WIB.

“UU KPK Terus Dipermasalahkan ke Mahkamah Konstitusi” http://www.hukumonline.com/detail/asp?id=15267&cl=Berita,


(4)

Saleh, Abdul Rahman. “Korupsi Tergolong Extraordinary”

<http://www.arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Pinyuh &id=129619, Diakses Sabtu, 28 Agustus 2010, pukul 20:19:08 WIB.

<http://www.majalahkonstan.com/index2.php?option=com_content,> Diakses pada Rabu, 1 September 2010, pukul 18:33:03 WIB.

Fatwa, A.M., “Korupsi Bukan Extraordinary Crime Menyesatkan.”

< http://www.mpr.go.id/pimpinan2/?p=18>. Diakses pada Kamis, 2 September 2010 pukul 10:29:45 WIB.

Tangkere, Cornelius “ Urgensi Pengadilan Tipikor”

http://www.legalitas.org/?./problematika-dan-urgensi-pengadilan-tindak-pidana-korupsi, diakses pada Kamis, 2 September 2010, pukul 16:22:15 WIB.

Saleh, Abdul Rahman

http://www.arsip.pontianakpost.com/berita/default.asp?Berita=Pinyuh &id, Diakses Kamis, 2 September 2010, pukul 20:19:08 WIB.

Adji, Indriyanto Seno. “ Kalau Tidak Diminta, Saya Tidak Akan Mau Jadi Pengacara Puteh”.

<http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=15775&cl=Berita. Diakses pada Jumat, 3 September 2010, pukul 16:54:37 WIB.

Mengadili Eksistensi Pengadilan Tipikor”

http://www.legalitas.org/?q=node/44, diakses pada Kamis, 9 September 2010, pukul 15:20:34 WIB

http://www.legalitas.org/inclphp/buka.php?d+lain+1&f=statuta%20Roma.htm , diakses pada Jumat, 17 September 2010, pukul 19:08:30 WIB.

<http://www.antara.co.id/arc/2008/5/1/meratifikasi-statuta-roma/>, diakses pada Jumat, 17 september 2010, pukul 19:15:34 WIB.


(5)

http://ucupneptune.blogspot.com/2008/01/international-criminal-court-icc.html, Jumat, 17 september 2010, pukul 19:44:24 WIB.

Analisis Undang-undang No.30 tahun 2002 Tentang KPK

http://sahabatandalas.blogspot.com/2008/10/ini-merupakan-analisis-sederhana-yang.html

Diakses, 30 Septermber 2010, pukul 10:23:52 WIB

2. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. UUD 1945

__________. Undang-Undang Hukum Acara Pidana. UU No. 8 Tahun 1981. LN No. 76 Tahun 1981, TLN. 3209

__________. Undang-Undang Kejaksaan RI. UU No. 16 Tahun 2004. LN. No. 67 Tahun 2005, TLN No. 4401.

__________. Undang-Undang Ketentuan Pokok Kejaksaan RI. UU No. 15 Tahun 1961. LN No. 254 Tahun 1961.

__________. Undang –Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 30 Tahun 2002. LN No. 137 Tahun 2002, TLN No. 4250.

___________. Undang-Undamg Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

UU No. 31 Tahun 1999. LN No. 140 Tahun 1999, TLN No. 3874.

____________. Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia. UU No, 26 Tahun 2000. LN No. 191 Tahun 2000, TLN No. 3911.


(6)

____________. Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 20 Tahun 2001. LN No. 134 Tahun 2001, TLN No. 4150.

3. JURNAL / MAKALAH

Loebby Loqman. “ Optimalisasi Undang-Undang Terhadap Pemberantasan Korupsi.” Jurnal Reformasi Ekonomi. Vol. 7 No. 1 Januari-Juni . (2006).

Masduki, Teten dan Danang Widyoko. “ Menunggu Gebrakan KPK”. Jentera Jurnal Hukum, Edisi 8 Tahun III Maret (2005)


(7)

BAB III

LATAR BELAKANG PENETAPAN PASAL 40 UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK

PIDANA KORUPSI

A. Gambaran Umum Mengenai Permohonan Judicial Review Oleh

Mulyana W. Kusumah Atas Keberlakuan Pasal 40 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, eksistensi lembaga KPK memang semakin terlihat nyata dan membuat lembaga ini memiliki “gigi” dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Hingga saat ini dengan berbagai macam kewenangan luar biasa yang dimilikinya berdasarkan pengaturan dalam undang-undang tersebut, KPK bisa dikatakan sebagai gardu terdepan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Namun ternyata banyak pihak yang merasa hak-haknya dilanggar dengan pengaturan salah satu pasal dalam undang-undang tersebut, yakni Pasal 40 yang menyatakan bahwa KPK tidak berwenang mengeluarkan SP3. Salah satu pihak tersebut adalah Mulyana Wira Kusuma yang merupakan terpidana kasus penyuapan terhadap Khairiansyah Salman auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang sedang mengaudit Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Anggota KPU itu ditangkap di salah satu hotel di Jakarta saat berusaha menyuap Khairiansyah Salman dengan uang sebesar Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Atas perbuatannya tersebut, pengadilan tindak pidana korupsi menjatuhi hukuman dua tahun tujuh bulan penjara kepadanya. Mulyana mengajukan permohonan Judicial Review atau uji materil ke


(8)

Tahun 2002 tentang KPK. Adapun pasal yang dipermasalahkan oleh Mulyana adalah Pasal 6 huruf c, pasal 12 ayat (1) huruf a, Pasal 40, Pasal 70 dan Pasal 72.

1. POSISI KASUS

Pemohon Mulyana Wira Kusuma telah mengajukan surat permohonan bertanggal 3 Agustus 2006 yang diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 10 Agustus 2006 dengan registrasi Nomor 016/PUU-IV/2006, yang telah diperbaiki dengan perbaikan permohonan bertanggal 31 Agustus 2006 dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 11 September 2006.

Permohonan Mulyana didasarkan dengan alasan bahwa dengan berlakunya pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK telah melanggar hak konstitusionalnya yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), berarti bahwa ketentuan UU KPK tidak mengenal/melanggar asas praduga tidak bersalah, suatu asas utama dalam hukum acara, yang harus diterapkan dan ditegakkan dalam negara Republik Indonesia yang ditetapkan oleh Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 sebagai negara hukum. Mulyana juga merasa telah dirugikan dan diperlakukan dikriminatif oleh KPK. Menurutnya pasal ini telah mengebiri hak asasi warga negara sebab tanpa adanya SP3, maka seseorang yang terlanjur dinyatakan tersangka oleh KPK tidak lagi memiliki kemungkinan untuk dipulihkan kehormatan dan martabatnya. Padahal filosofi dari SP3 ini adalah sebuah mekanisme koreksi dan instrumen untuk memulihkan kehormatan dan martabatnya bila penyidik tidak cukup bukti


(9)

untuk meneruskan kasus ini ke tingkat penuntutan. Maka tanpa adanya mekanisme SP3, KPK akan memaksakan setiap kasus yang ditanganinya untuk diteruskan ke level penuntutan dan pengadilan.

Dalam rapat permusyawaratan hakim, yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi, Jimly Asshiddiqie selaku Ketua merangkap Anggota dan I Dewa Gede Palguna, Maruarar Siahaan, H. Achmad Roestandi, H.M. Laica Marzuki, H.A.S. Natabaya, Harjono, H. Abdul Mukthie Fadjar, serta Soedarsono, masing-masing sebagai anggota, pada hari Senin, 18 Desember 2006, dan diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada hari ini, Selasa, 19 Desember 2006, Majelis hakim Mahkamah Konstitusi menolak permohonan judicial review

Mulyana tersebut dengan dasar yuridis bahwa sebelumnya terhadap Pasal 40 sudah pernah diajukan permohonan judicial review, yang putusannya adalah ditolak. Adapun dasar yang diberikan Mahkamah Konstitusi adalah bahwa ketentuan Pasal 40 tidak melanggar hak konstitusional siapapun melainkan hanya salah satu bentuk dari upaya penegakan hukum yang bertujuan menciptakan kepastian hukum.

2. ANALISIS KASUS

a. Manfaat Pasal 40 UU KPK ditinjau dari perspektif kepentingan terdakwa, kepentingan publik dan kepentingan aparat penegak hukum.

Pasal 40 UU KPK tidak tepat jika dipandang dan dinilai secara tersendiri dan terlepas dari konteks keseluruhan ketentuan UU KPK lainnya. Dengan penafsiran sistematis dan teologis, maka akan tampak pesan yang hendak disampaikan pembentuk undang-undang melalui Pasal 40 UU KPK yaitu perintah


(10)

kepada KPK untuk tidak melanjutkan penyelidikan hingga ke tingkat penyidikan, lebih-lebih penuntutan, jika KPK belum yakin benar bahwa bukti-bukti untuk itu sudah mencukupi. Logikanya menjadi jelas manakala dikaitkan dengan ketentuan Pasal 44 Ayat (3) UU KPK yang menyatakan, “Dalam hal penyelidik melakukan tugasnya tidak menemukan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi menghentikan penyelidikan.” Yang masih menjadi persoalan adalah, bagaimana jika terjadi keadaan bahwa ternyata tidak terjadi tindak pidana sebagaimana yang disangkakan dan keadaan demikian baru diketahui tatkala proses telah memasuki tahap penyidikan atau penuntutan, sementara KPK tidak mempunyai kewenangan untuk menerbitkan SP3. Apakah perkara yang bersangkutan akan tetap diteruskan penyidik ke penuntut umum pada KPK, dalam hal keadaan dimaksud baru diketahui pada tahap penyidikan, atau apakah penuntut pada KPK harus tetap mengajukannya sesuai dengan tuntutan semula di depan pengadilan, dalam hal keadaan dimaksud baru diketahui pada tahap penuntutan, padahal tidak didukung dengan bukti yang cukup. Dalam keadaan demikian Mahkamah berpendapat bahwa penuntut umum pada KPK tetap berkewajiban untuk membawa terdakwa ke depan persidangan dengan mengajukan tuntutan untuk membebaskan terdakwa.119 Hal demikian adalah lebih baik daripada memberi kewenangan kepada KPK untuk menerbitkan SP3, baik dari perspektif kepentingan terdakwa, dari perspektif kepentingan publik, maupun dari perspektif kepentingan aparat penegak hukum sendiri, dalam hal ini


(11)

khususnya penyidik dan penuntut umum pada KPK. Dari perspektif kepentingan terdakwa, ia akan memperoleh kepastian mengenai ketidakbersalahannya melalui putusan hakim, yang dilihat dari sudut pandang forum maupun prosesnya lebih akuntabel daripada jika ia mendapatkannya melalui SP3 , yang bahkan oleh pembentuk undang-undang sendiri dinilai sering ada “permainan”. Sebab, putusan hakim diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Sementara itu, dari perspektif kepentingan publik, masyarakat dapat menilai secara terbuka dan objektif tentang alasan dituntut bebasnya terdakwa sehingga perasaan keadilan masyarakat sekaligus akan terlindungi. Sedangkan dari perspektif kepentingan aparat penegak hukum, in casu penyidik dan penuntut umum pada KPK, prosedur demikian akan menjauhkannya dari persangkaan akan adanya “permainan”. Dengan demikian, kredibilitas dan kewibawaan aparat penegak hukum pun akan terjaga di mata publik.

b. Pasal 40 UU KPK tidak bersifat diskriminatif

Tentang adanya anggapan Mulyana bahwa dirinya diperlakukan diskriminatif jika dibandingkan dengan mereka yang diproses melalui prosedur konvensional (melalui penyidik POLRI dan Kejaksaan), Mahkamah berpendapat jika pun perbedaan perlakuan demikian dapat dinilai sebagai bentuk diskriminasi, penyebab keadaan itu bukanlah Pasal 40 UU KPK, melainkan ketentuan lain, yang dinilai secara tersendiri dalam bagian lain pertimbangan ini.120 Pasal 40 hanyalah sebagai konsekuensi logis dari kekhususan prosedur pemberantasan

120

Analisis Undang-undang No.30 tahun 2002 Tentang KPK http://sahabatandalas.blogspot.com/2008/10/ini-merupakan-analisis-sederhana-yang.html


(12)

korupsi yang diciptakan oleh pembentuk undang-undang melalui UU KPK ini. Pemerintah berpendapat bahwa justru pasal tersebut dimaksudkan untuk mencegah KPK yang memiliki kewenangan yang sangat besar dan luas itu, menyalahgunakan kewenangannya dengan menggunakan SP3.121

c. Pasal 40 UU KPK tidak bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence)

Tidak dimilikinya wewenang untuk mengeluarkan SP3 oleh KPK tidak tepat dipertentangkan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), karena asas praduga tidak bersalah prinsip yang harus diartikan sebagai kewajiban semua pihak untuk tidak memperlakukan seorang terdakwa telah bersalah selama hakim belum memutuskan kesalahan terdakwa tersebut. Dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sampai dengan pemeriksaan di persidangan, hak-hak Pemohon yang diatur dalam hukum acara pidana tetap terjamin sebagai perwujudan asas praduga tidak bersalah. Selama belum ada keputusan hakim yang memutuskan terdakwa bersalah, maka hak dan kedudukannya sebagai orang yang belum dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana dijamin dan dilindungi. Prinsip ini tetap berlaku terlepas dari ada atau tidaknya ketentuan Pasal 40 UU KPK.

Ketentuan Pasal 40 UU KPK yang tidak memberikan kewenangan untuk melakukan penghentian penyidikan dan penuntutan tersebut justru memberikan adanya kepastian hukum terhadap seseorang, karena telah diperoleh 2 (dua) alat bukti permulaan yang cukup dinyatakan sebagai tersangka akan dijamin haknya


(13)

untuk diperiksa, diadili dan diputus di pengadilan tentang kesalahannya secara hukum. Bahkan adanya SP-3 tidak menjamin adanya kepastian hukum terhadap tersangka sebagai orang yang tidak bersalah, karena sewaktu-waktu apabila dikemudian hari ditemukan bukti baru, maka SP-3 dapat dicabut dan perkaranya akan dibuka kembali.

B. Latar Belakang Penetapan Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun

2002 tentang KPK

Dilihat dari aspek sosiologis, bahwa pengaturan pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK ini merupakan bentuk dari upaya maksimal yang dilakukan pemerintah dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi. Tujuannya adalah tidak bukan selain penegakan hukum. Bahwa penegakan hukum merupakan kewajiban dari pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum. Penegakan hukum tersebut harus dilengkapi dengan kewenangan yang sesuai agar permasalahan yang ditangani terselesaikan tanpa menimbulkan permasalahan yang baru.

Dalam hal ini penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi di masyarakat memang merupakan sasaran utama, oleh karena itu pengawasan terhadap pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana korupsi oleh aparat penegak hukum menjadi perhatian banyak kalangan masyarakat, baik


(14)

masyarakat dalam ruang lingkup bidang hukum, maupun masyarakat pada umumnya. Namun tentunya pelaksanaan penegakan hukum tersebut harus sesuai dengan hukum positif yang berlaku di negara ini.

Keberlakuan Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK terhadap proses penyidikan suatu tindak pidana korupsi merupakan suatu senjata yang dapat digunakan oleh Penyidik KPK dalam setiap proses penyidikan agar mereka dapat bekerja dan melaksanakan tugasnya secara efisien dan profesional.

Ditinjau dari aspek yuridis, bahwa pada dasarnya Undang-Undang No.30 tahun 2002 tentang KPK merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidaan Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam menjalankan tugasnya, selain berpedoman pada undang-undang tentang KPK dan pemberantasan tindak pidana korupsi, KPK juga berdasar pada peraturan perundang-undangan mengenai hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia, termasuk KUHAP. Pasal 40 tidak dapat dikatakan bertentangan dengan KUHAP karena hukum kita menganut asas lex specialis derogat lex generalis, di mana KUHAP adalah lex generalis

(ketentuan yang bersifat umum) dan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK merupakan lex specialis (ketentuan yang bersifat lebih khusus).


(15)

Sedangkan ditinjau dari aspek filosofis, pengaturan Pasal 40 ini dilatarbelakangi dari ketidakmampuan institusi penegak hukum yang ada sebelumnya, yaitu kepolisian dan kejaksaan dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi. Persepsi publik terhadap kejaksaan dan kepolisian dipandang belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, sehingga masyarakat kehilangan kepercayaan atas kedua lembaga tersebut. Untuk itu diperlukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan korupsi. Pemerintah mengakomodir hal tersebut dengan membuat sebuah undang-undang sebagai payung hukum bagi lembaga yang khusus menangani tindak pidana korupsi yakni UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Seperti yang telah dibahas Penulis pada bab sebelumnya, pemberian SP3 pada beberapa kasus korupsi besar di Indonesia seperti telah menjadi pola yang dilakukan oleh penyidik kejaksaan dengan alasan yang hampir sama pada setiap kasus, yaitu tidak ditemukannya cukup bukti untuk menaikkan perkara ke tahapan selanjutnya yaitu penuntutan. Berdasarkan data dalam bentuk tabel yang ada pada Bab sebelumnya dapat dilihat daftar perkara tindak pidana korupsi yang diberikan SP3 oleh Penyidik Kejaksaan, bahkan dari seluruh perkara yang diberikan SP3 tersebut tidak ada satu pun yang akhirnya dibuka kembali oleh kejaksaan, walaupun telah ada bukti-bukti baru mendukung. Hal ini tentu saja menunjukkan bahwa penyidik kejaksaan kurang cermat dan berhati-hati ketika melakukan penyelidikan kemudian menaikkan perkara tesebut ke tingkat penyidikan, karena sudah seharusnya sudah ditemukan bukti


(16)

yang cukup untuk sampai ke tahap penyidikan. Status tersangka yang dimiliki seseorang di dapat dari hasil proses penyelidikan dan penyidikan, artinya menurut Pasal 1 ayat (1) dan (5) KUHAP, telah ditemukan alat bukti yang cukup menyatakan suatu peristiwa sebagai tindak pidana. Jadi merupakan suatu kejanggalan ketika dikeluarkan SP3 dengan alasan tidak ditemukan cukup bukti terhadap suatu perkara pidana.


(17)

BAB IV

PENERAPAN PASAL 40 UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KPK TERHADAP PENANGANAN TINDAK PIDANA

KORUPSI OLEH KPK

A. Akibat Keberlakuan Pasal 40 Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang KPK Terhadap Proses Penyelidikan Perkara Tindak Pidana Korupsi oleh KPK

Dengan berlakunya Pasal 40 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK, mengakibatkan KPK dalam melaksanakan proses pemeriksaan suatu perkara tindak pidana korupsi harus berlandaskan pada asas kehati-hatian dan menjujunjung tinggi kepastian hukum. Asas kehati-hatian dan kepastian hukum berarti bahwa dalam proses penyelidikan , penyelidik harus memiliki bukti-bukti yang cukup serta terdapat keyakinan yang kuat bagi penyelidik dalam menaikkan suatu perkara ke tingkat penyidikan.

Dalam proses pemeriksaan suatu perkara tindak pidana korupsi yang masuk KPK, setelah dilakukan gelar hasil penyelidikan di depan seluruh penyelidik dan penyidik untuk mrnganalisa dan memutuskan apakah laporan hasil penyelidikan tersebut layak untuk ditingkatkan ke tahapan penyidikan atau tidak. Jika dalam melakukan penyelidikan ternyata tidak menemukan bukti permulaan yang cukup, maka KPK menghentikan penyelidikan. Namun, jika KPK berpendapat bahwa perkara tersebut dapat diteruskan, maka dilakukan penyidikan.122

Berdasarkan hasil wawancara dengan penyelidik dan penyidik KPK, Penulis mengetahui bahwa ketika ada laporan masuk ke KPK tentang adanya

122


(18)

dugaan kasus korupsi suatu peristiwa, KPK melakukan tindakan mencari bukti-bukti permulaan, baru bisa naik ke tahap penyelidikan, dan dari mulai penyelidikan pun penyidik dan jaksa penuntut umum sudah ikut serta dalam proses pemeriksaan itu. Jadi segala kewenangan yang luar biasa yang dimiliki KPK yang diberikan oleh undang-undang merupakan kewenangan pengganti bagi KPK atas ketidakberwenangannya KPK dalam mengeluarkan SP3. Pemikiran inilah yang mendasari pembentuk undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Berikut mekanisme penyelidikan terhadap suatu perkara tindak pidana korupsi yang ada di KPK:123

Pra Penyelidikan

Tujuan Pelaksana Kegiatan Administrasi dan

Formulir-Formulir Standar

1. Mengolah informasi tentang dugaan tindak pidana korupsi yang didukung dengan bukti awal yang memadai.

1. Penerimaan Informasi, yang meliputi

:

a. Penerimaan Informasi Eksternal Direktorat Penyelidikan, antara lain dari :

- Pimpinan KPK;

- Direktorat Pengaduan Masyarakat;

- Direktorat Pendaftaran

dan Pemeriksaan LHKPN;

- Direktorat Gratifikasi b. Penerimaan Informasi Internal Direktorat Penyelidikan, antara lain berupa:

- Pengembangan hasil

1. Mencatat semua

informasi dari masyarakat yang diterima Register

Pengaduan Masyarakat 2. Mencatat distribusi pengaduan masyarakat kepada penelaah  Register Telaahan (yang perlu ditelaah)

3. Membuat data base potensi kasus

4. Nota Dinas Direktur Lidik  perintah kepada

penyelidik untuk melakukan telaahan

5. Formulir Telaahan


(19)

penyelidikan yang sedang berjalan

- Informasi lain yang diperoleh penyelidik yang tidak terkait dengan penyelidikan yang sedang berjalan

2. Penelaahan/ Penelitian Informasi, yang meliputi :

a. Penelaahan Informasi di Kantor Sendiri, yaitu penelahaan/analisis

berdasarkan dokumen yang telah tersedia di lingkungan KPK

b. Penelitian di Luar Kantor/Lapangan, yaitu pencarian data/informasi tambahan di luar KPK

Penyelidikan

Perencanaan Pelaksanaan Pelaporan Tujuan:

Mengidentifikasi hipotesis rinci dalam menyusun langkah-langkah pengumpulan bukti, penetapan

personil dan pembagian tugasnya,

waktu/lamanya,tempat/l okasi, dan biaya yang dibutuhkan, serta dukungan sarana dan prasarana lainnya

Pelaksanaan Kegiatan:

1. Penentuan Petugas/ satuan Tugas

Penyelidikan

2. Penyusunan Rencana Teknis Penyelidikan 3. Penyusunan Anggaran

Tujuan :

1. Mengumpulkan dan mengevaluasi alat bukti dan barang bukti dalam rangka membuktikan hipotesis atau merevisi hipotesis.

2.Mengkonstruksikan pasal tindak pidana korupsi yang sesuai berdasarkan alat / barang bukti yang diperoleh.

Pelaksanaan Kegiatan:

1. Pengumpulan Surat/ Dokumen/ Barang bukti lain

2. Wawancara/

Permintaan Keterangan yang bisa dibagi sebagai berikut : Tujuan : Menyampaikan atau mengkomunikasikan hasil kegiatan penyelidikan kepada pimpinan KPK dalam format laporan yang standar serta

memberikan sarana tindak lanjutnya.

Pelaksanaan Kegiatan:

1. Penyusunan Laporan Hasil Penyelidikan dan membuat saran tindak lanjut

2. Expose Hasil


(20)

Biaya Penyelidikan 4. Penyusunan

Kebutuhan Peralatan dan Perlengkapan

5. Penyiapan Surat/ Dokumen Penugasan Penyelidikan

a. Berdasarkan Obyek, yang meliputi:

- Pihak-pihak yang terkait langsung dengan penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi - Pihak-Pihak yang yang tidak terkait langsung dengan penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi

- Pihak-Pihak yang memiliki keahlian tertentu untuk dimintai pendapatnya

b. Berdasarkan Lokasi, yang terdiri dari : - Kantor KPK

-Tempat-tempat yang terkait dengan

penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi - Tempat lain yang tidak terkait dengan

penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi, seperti Kantor Polisi dan sebagainya.

3.Penyadapan atau Perekaman

4. Pencegahan seseorang pergi ke luar negeri 5. Penyelidikan tertutup (

Surveillance dan Undercover)

6. Koordinasi dan permintaan informasi antar unit organisasi KPK eksternal KPK

pimpinan KPK 3. Menyiapkan draft Laporan Kejjadian Tindak Pidaan Korupsi ( LKTPK )

4. Menyiapkan draft surat penghentian penyelidikan

5. Menyiapkan Surat Pelimpahan Hasil Penyelidikan kepada instansi yang berwenang melaksanakan

pemberantasan pidana korupsi


(21)

Administrasi dan Formulir-Formulir

Standar :

1. Nota Dinas Direktur Penyelidikan  perintah kepada satgas lidik yntuk melakukan penyelidikan

2. Formulir Rencana Penyelidikan

3. Formulir Surat Perintah Penyelidikan 4. Formulir Surat Permintaan Bantuan Tenaga

5. Formulir Permintaan dana Operasional Formulir Permintaan Peminjaman Peralatan Administrasi dan Formulir-Formulir Standar :

1. Formulir Surat Undangan untuk

Permintaan Keterangan 2. Formulir BAPK 3. Formulir Peminjaman Dokumen

4. Formulir

Penyimpanan Dokumen 5. Formulir Permintaan Intelejen

6. Formulir Permintaan Perekaman dan

Penyadapan

7. Formulir Permintaan Data ke Unit lain (Internal dan Eksternal) 8. Formulir Surat Perintah Pencegahan Seseorang Berangkat ke luar negeri

Administrasi dan Formulir-Formulir Standar:

1. Formulir LHP 2.Formulir Matriks Pembuktian

3. Formulir LKTPK 4.Formulir surat perintah penghentian penyelidikan 5.Formulir Hasil Penyelidikan kepada instansi berwenang lainnya.

4.1 Tabel Pelaksanaan Kegiatan Penyelidikan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)

B. Penerapan Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang

KPK Dikaitkan Dengan Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption

Of Innocent)

Terhadap masalah asas praduga tak bersalah ( presumption of innoccent) yang dikaitkan dengan tidak adanya kewenangan KPK untuk mengeluarkan SP3 dapat dilihat dari dua hal. Yang pertama, ketentuan dalam Pasal 40 Undang-Undang KPK merupakan prudential and professional


(22)

principle124 bagi KPK untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Sebab, begitu ditetapkan sebagai tersangka dalam suatu kasus korupsi oleh KPK membawa konsekuensi akan dibawa sampai ke pengadilan. Prinsip ini menjadi momentum kehati-hatian bagi penyelidik sebelum menetapkan proses penyidikan suatu perkara tindak pidana korupsi. Oleh karena itu KPK dituntut untuk bekerja semaksimal dan secermat mungkin (professional), terutama yang berkaitan dengan masalah pembuktian.

Yang kedua, sebagai konsekuensi logis system peradilan pidana di Indonesia yang didominansi oleh crime control model yang menggunakan asas praduga tak bersalah. Asas praduga tak bersalah adalah pengarahan bagi aparat penegak hukum tentang bagaimana mereka harus bertindak lebih lanjut dan mengesampingkan asas praduga bersalah dalam tingkah laku mereka terhadap tersangka. Intinya asas praduga tak bersalah bersifat legal normative dan tidak berorientasi pada hasil akhir. Sedangkan asas praduga bersalah bersifat

deskriptif faktual.125 Artinya, berdasarkan fakta-fakta yang ada si tersangka akhirnya akan dinyatakan bersalah. Karena itu, terhadapnya harus dilakukan proses hukum mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan,penuntutan sampai tahap peradilan. Tidak boleh berhenti di tengah jalan.126

Sistem peradilan pidana di Indonesia tidak menganut secara ketat satu model tertentu. Kendatipun kecenderungannya pada crime control model,

namun realitanya dikombinasikan dengan model yang lain. Sebagai contoh,

124 Risalah Pembahasan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, Op., cit. 125

Hebert L Packer, 1968, hlm.164. 126


(23)

asas praduga tak bersalah tetap menjadi landasan legal normative bagi aparat penegak hukum ketika mengadakan pemeriksaan terhadap tersangka. Artinya si tersangka diberlakukan seperti orang yang tidak bersalah. Namun, disisi lain, secara formal KUHAP menyatakan dalam Pasal 17 bahwa penangkapan dan penahanan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan suatu tindak pidana. Hal ini berarti berdasarkan fakta yang ada, penyidik harus yakin bahwa terhadap orang yang sedang disidik, dia adalah pelaku kejahatan yang sesungguhnya. Karenanya asas praduga tak bersalah lebih cenderung berada pada tindakan penyidikan dan penuntutan dengan menghormati hak-hak tersangka/terdakwa, sedangkan asas praduga tak bersalah berada pada proses persidangan yang berujung pada putusan hakim.

Kiranya perlu lebih ditegaskan lagi bahwa prinsip 'praduga tidak bersalah' hanya dapat dijumpai antara lain dalam butir 3c Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman , dan Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan tidak di dalam UUD. Oleh karena itu prinsip ini telah dipertentangkan dengan undang-undang dan tidak terhadap UUD.

Dalam permohonan judicial review yang diajukan Mulyana, dikatakan oleh pihaknya bahwa dengan tidak berwenangnya KPK mengeluarkan SP3, maka tidak ada lagi kesempatan untuk membela diri dari tuduhan dugaan tindak pidana korupsi yang ditujukan kepadanya, namun sesungguhnya tersangka atau terdakwa tentu saja masih memiliki kesempatan untuk


(24)

membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah dengan proses pembuktian di pengadilan, di mana pembuktian di pengadilan tindak pidana korupsi menganut beban pembuktian terbalik, sehingga tersangka/terdakwa yang harus membuktikan bahwa tuntutan jaksa penuntut umum tidak dapat dibenarkan dan ia tidak bersalah.

Mengenai pernyataan bahwa dengan adanya Pasal 40 membuat harkat dan martabat seorang tersangka tidak bisa dipulihkan kembali, tidak dapat dikatakan benar karena dengan adannya mekanisme pembuktian, harkat dan martabat seseorang dapat dipulihkan apabila menurut putusan pengadilan orang tersebut tidak bersalah.


(25)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebagai penutup dari seluruh uraian pada bab sebelumnya, maka Penulis menyampaikan kesimpulan sebagai berikut :

1. Bahwa KPK merupakan lembaga penegak hukum yang mempunyai kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang berbeda dengan lembaga penegak hukum pada umumnya, sehingga dapat dikatakan bahwa KPK merupakan lembaga super body yang memiliki kewenangan “lebih” dalam melaksanakan tugasnya.

2. Dalam Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan bahwa KPK tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Latar belakang adanya pengaturan Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu aspek sosiologis, aspek yuridis, dan aspek filosofis. Dari aspek sosiologis perlu diingat bahwa tujuan awal dibentuknya undang-undang KPK adalah sebagai salah satu bentuk upaya maksimal dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi serta untuk penegakan hukum agar tercipta kepastian hukum dalam masyarakat. Karena itulah tidak mengherankan apabila KPK memiliki beberapa kewenangan “lebih” dibandingkan penyidik lainnya seperti


(26)

kepolisisan dan kejaksaan. Dari aspek yuridis keberlakuan Pasal 40 ini tidaklah bertentangan dengan KUHAP, karena berlaku asas Lex Spesialis Lex Generalis, di mana Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan peraturan perundang-undangan yang khusus dan KUHAP sebagai peraturan perundang-undangan umum. Jadi selama ada ketentuan yang mengatur hal yang sama mengenai suatu tindak pidana, maka yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan yang lebih khusus mengatur tindak pidana tersebut. Sedangkan dari aspek filosofis, adanya Pasal 40 berawal dari ketidak mampuan institusi penegak hukum yang ada dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi secara maksimal. Hal ini terlihat dari banyaknya perkara dugaan tindak pidana korupsi yang diberikan SP3 oleh penyidik dalam hal ini adalah kejaksaan. Pemberian SP3 terebut menutup kemungkinan bagi para tersangka dugaan tindak pidana korupsi tersebut untuk diproses lebih lanjut karena berdasarkan fakta yang ada, kejaksaan tidak pernah membuka kembali perkara-perkara yang telah di SP3-ka, walaupun terdapat bukti-bukti baru yang diajukan oleh banayak pihak.

3. Dengan berlakunya Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menimbulkan akibat bahwa KPK dalam melakukan penyidikan terhadap suatu perkara tindak pidana korupsi harus menjunjung tinggi asas kehati-hatian agar tidak melanggar hak asasi seseorang yaitu tesangka yang terhadap


(27)

perkaranya dilakukan penyidikan. Penerapan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, karena dengan tidak berwenangnya KPK mengeluarkan SP3 berarti proses pemeriksaan perkara pidana yang ditangani oleh KPK juga berbeda dari pemeriksaan terhadap tindak pidana biasanya. Perbedaan ini Penulis amati dari proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara yang masuk ke KPK. Bahwa untuk suatu perkara dinaikkan tingkat dari penyelidikan ke tahapan penyidikan harus sudah memiliki bukti yang benar-benar memadai, sehingga tidak dimungkinkan adanya istilah suatu perkara tidak memiliki bukti yang cukup saat proses penyidikan berlangsung karena pada tahapan penyelidikan semua bukti yang cukup sudah terkumpul dengan baik. Selain itu, dengan segala kewenangan “lebih” yang dimilikinya, KPK memiliki kesempatan yang besar dan lebih leluasa dalam melakukan pemeriksaan suatu perkara tindak pidana korupsi, terutama penyelidikan dan penyidikan. Dengan demikian tidak akan ada hak asasi seseorang (tersangka) yang terlanggar ketika suatu perkara dinaikkan dari tahapan penyelidikan menjadi penyidikan.

B. Saran

Adapun saran yang dapat Penulis berikan terkait dengan skripsi ini : 1. Dalam melakukan proses penyelidikan dan penyidikan aparat penegak

hukum yang melakukan pemeriksaan tersebut diharapkan dapat bekerja secara profesional, efisien dan efektif. Harus diperhatikan benar


(28)

syrat-syarat dan dan hal-hal yang harus dipenuhi sebelum terhadap suatu perkara tindak pidana korupsi dilakukan penyidikan sehingga tercipta sinergis dan koordinasi antara aparat penegak hukum dalam melakukan pemeriksaan perkara pidana. Dengan begitu tidak akan ada hak tersangka yang terlanggar dalam proses pemeriksaan tersebut.

2. Setiap produk peraturan perundang-undangan yang dihasilkan di suatu negara tentunnya diharapkan menjadi peraturan perundang-undangan yang berkualitas serta berguna bagi masyarakat. Selain itu diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan hukum yang ada, bukan menimbulkan permasalahan baru. Dengan adanya Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK terutama dengan keberlakuan Pasal 40 didalamnya, diharapkan dapat menjadi suatu alat yang berguna dalam upaya pemberantasan korupsi di negara kita. Hendaknya semua pihak mau belajar menerima dan memberikan kesempatan terhadap KPK, sebagai salah satu penegak hukum di Indonesia melalui undang-undang yang ada untu ikut serta dalam proses pemberantasan korupsi tersebut dan jangan hanya mengkritik tanpa memberikan solusi yang tepat. 3. KPK sebagai lembaga yang diberikan amanat oleh undang-undang

sebagai salah satu alat dalam upaya pemberantasan korupsi harus melaksanakan tugasnya secara transparan. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat dapat menjadi pengawas segala tindakan yang dilakukan oleh KPK sehingga tercipta check and balance dalam proses penegakan hukum. Karena sampai saat ini belum ada lembaga atau badan khusus


(29)

yang dibentuk secara resmi yang bertugas untuk mengawasi KPK. Terkait dengan hal itu, pemerintah sebaiknya membuat lembaga atau badan yang dapat mengawasi kinerja KPK agar dapat berjalan dengan baik.


(30)

BAB II

KEWENANGAN PENYIDIK MENGELUARKAN SURAT PERINTAH PENGEHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) PADA PERKARA TINDAK

PIDANA KORUPSI

A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Kamus besar bahasa Indonesia memuat pengertian korupsi sebagai berikut: penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.34 Menurut Andi Hamzah arti kata harafiah dari kata korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang menghina atau memfitnah.35 Kata korupai berasal dari bahasa Latin

Corruptio yang kemudian muncul dalam Bahasa Inggris dan Prancis Corruption,

serta dalam bahasa Belanda Korruptie.36

Sedangkan Black’s Law Dictionary mendefinisikan korupsi sebagai berikut :

”Corruption is an act done with an intent to give advantages inconsistent with official duty and the rights of others. The act of an official or fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station or character to procure some benefit for himself or for another person contrary to duty and the rights of others.37

Transparency International menyatakan :

34

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka,1989)

35

Andi Hamzah (a), Korupsi di Indonesia: Masalah dan Pemecahannya, Cet 3, (Jakarta : Gramedia,1991), hal 9.

36

Andi Hamzah (b), Delik-Delik Tersebar di Luar KUHP , (Jakarta : Pradnya Paramitha, 1985), hal 143.


(31)

”Corruption involves behavior on part of officials in the public sector wether politicians or civil servants, in which they improperly and unlawfully enrich themselves, or those close to them, by the missue of the public power entrusted them.”(korupsi mencakup perilaku dari pejabat-pejabat di sektor publik, baik politikus ataupun pegawai negeri , dimana mereka secara tidak benar dan secara melanggar hukum memperkaya diri sendiri atau pihak lain yang dekat dengan mereka, dengan cara menyalahgunakan kewenangan publik yang dipercayakan kepada mereka.)

Pengertian tindak pidana korupsi juga telah dirumuskan oleh pemerintah di dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, secara keseluruhan dapat dilihat pada Bab II ( Tindak Pidana Korupsi), salah satu yang Penulis kutip adalah pengertian korupsi pada Pasal 2 ayat (1) undang-undang ini yang menyatakan :

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

B. Tindak Pidana Korupsi Sebagai Extraordinary Crime

Tindak pidana korupsi termasuk ke dalam tindak pidana khusus karena bersumber pada peraturan perundang-undangan di luar KUHP.38 Di Indonesia tindak pidana korupsi dipayungi oleh Undang-Undang no. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. selain tindak pidana khusus, tindak pidana korupsi juga digolongkan sebagai

Extraordinary Crime atau kejahatan luar biasa yang juga membutuhkan

38

Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung : PT. Alumni, 2006), hal. 1.


(32)

penanganan luar biasa pula. Istilah extraordinary crime pada mulanya digunakan sebagai istilah untuk menyebut kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan, seperti terorisme, genosida dan pelanggaran berat terhadap Hak Asasi Manusia. 39 Dikatakan extraordinary atau luar biasa disebabkan karena hal-hal sebagai berikut:

1. Bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional dan akibat yang ditimbulkan tindak pidana korupsi tersebut selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.40

2. Tindak pidaan korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak –hak ekonomi masyarakat, maka tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.41

3. Karena korupsi di Indonesia sudah sedemikian parahnya, akibatnya tidak hanya dari kerugian rakyat banyak, melainkan merusak moral dan karakter bangsa serta sendi-sendi kehidupan nasional, akibat lebih luasnya adalah memperlemah karakter bangsa sehingga tidak bersikap disiplin, malas, tidak

39 www.majalahkonstan.com/index2.php?option=com_content, diakses pada Rabu, 1 September 2010, pukul 18:33:03 WIB.

40

Lihat bagian “menimbang” huruf a dan b, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

41

Lihat penjelasan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK bagian I Umum, paragraf 2.


(33)

bertanggung-jawab, tidak jujur, tidak proaktif , tidak percaya diri, dan tidak memiliki semangat berjuang untuk mandiri, sebaliknya mudah menyerah serta mencari jalan pintas.42

4. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah begitu meluas dalam masyarakat, perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik jumlah kasus yang terjadi, kerugia keuangan negara maupun kualitas tindak pidananya.43

5. Tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, hak sosial, ekonomi, pembangunan, akan tetapi merupakan salah satu bentuk penghancuran secara sistematis dan memporak-porandakan harkat dan martabata manusia dan lebih daripada itu akibat daripaad korupsi yang telah terstruktur dan mumbudaya maka tidak menutup kemungkinan akan mengancam keutuhan NKRI (ada perlakuan yang tidak adil dan tidak berprikemanusiaan, untuk itulah dibutuhkan penanganan yang luar biasa agar diperoleh hasil yang luar biasa.44

6. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia saat ini sudah pada titik yang tidak dapat ditolerir, begitu mengakar, membudaya dan sistematis. Kerugian negara atas menjamunya praktek korupsi

42

A.M. Fatwa, http://www.mpr.go.id/pimpinan2/?p=18, diakses pada Kamis, 2 September 2010 pukul 10:29:45 WIB.

43

Abdul Rahman Saleh, www.arsip.pontianakpost.com/berita/default.asp?Berita=Pinyuh&id, diakses Kamis, 2 September

2010, pukul 20:19:08 WIB. 44

Cornelius Tangkere www.legalitas.org/?./problematika-dan-urgensi-pengadilan-tindak-pidana-korupsi, diakses pada Kamis, 2 September 2010, pukul 16:22:15 WIB.


(34)

sudah tidak terhitung lagi. Tahun 1993, soemitro Djojohadikusumo menyebutkan bahwa kebocoran dana pembangunan antara lain tahun 1989-1993 sekitar 3% dan hasil penelitian World Bank bahwa kebocoran dana pembangunan mencapaiu 45% namun saat ini sepertinya jumlah tersebut sudah meningkat drastis.45

Penggolongan tindak pidana korupsi sebagai extraordinary crime tidak begitu saja disetujui oleh semua pihak, salah satu pihak yang tidak menyetujui ialah Prof. Indriyanto Seno Adji. Menurut Beliau tindak pidana korupsi belum dapat digolongkan seagai tindak pidana extraordinary crime melainkan hanyalah sebagai extraordinary crime melainkan hanyalah Serious Crime.46 Karena yang disebut sebagai Extraordinary Crime sifatnya sistemik secara keseluruhan, merusak sistem ketatanegaraan dan sistem perpolitikan, akibatnya pun meluas, sementara yang terjadi di Indonesia korupsinya belum melumpuhkan sistem ketatanegaraan, artinya masih normal, pusat-pusat kekuasaan legislatif , eksekyif dan yudikatif tidak lumpuh.47 Dalam hal ini Penulis tidak sependapat dengan Prof. Indriyanto, menurut pendapat Penulis bahwa korupsi memang seharusnya digolongkan sebagai salah satu extraordinary crime atau kejahatan yang luar biasa sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa pula untuk memberantasnya

45 Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, ( Jakarta, Juli 2001), hal 1.

46

Indriyanto Seno Haji http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=15775&cl=Berita, diakses pada Jumat, 3 September 2010, pukul 16:54:37 WIB.

47 Ibid.


(35)

karena tindak pidana korupsi telah merampas hak sosial, politik dan kemanusiaan rakyat yang seharusnya memperoleh kesempatan untuk menikmati pelayanan-pelayanan publik seandainya bagian-bagian tersebut tidak irampas oleh para koruptor.

Masalah korupsi dapat dikatakan sebagai masalah utama di Indonesia, karena hampir tidak ada sektor di masyarakaat yang bebas dari korupsi. Korupsi tertanam secara mendalam dilapisan masyarakat dan berbagai institusi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan, bahkan pengadilan. Khusus korupsi di pengadilan, mantan Ketua Muda Mahkamah agung (MA) Asikin Kusumah Atmadja menyatakan bahwa jumlah hakim korup di Indonesia mencapai sekitar 50%.48 Berdasarkan survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga independen anti korupsi, Indonesia masuk dalam jajaran salah satu negara terkorup di dunia.49 Tentunya masalah korupsi sudah ada sebelum rezim Soeharto berkuasa. kemudian mengalami peningkatan yang cukup tinggi di masa pemerintahan Beliau, Dengan runtuhnya kekuasaan Soeharto di tahun 1998. angka kelajuan korupsi sedikit menurun- walaupun ternyata belum menghasilkan penurunan yang cukup signifikan

Tingginya tingkat korupsi tersebut mendapat sorotan dari organisasi dan lembaga asing. Berdasarkan penelitian Transparency International (TI) misalnya, selama 5 tahun berturut-turut (1995-2000), Indonesia selalu menduduki posisi 10 besar negara paling korupsi di

48

Tim Gabungan Pembrantasan Tindakan Pidana Korupsi, Op. cit., hal 2.

49 Soren Davidsen, et, all, Menghentikan Korupsi di Indonesia 2004-2006, Sebuah Survey Tentang Berbagai Kebijakan dan Pendekatan Pada tingkat Nasional, (Jakarta : USINDO, 2007), hal 13.


(36)

dunia. Dan berdasarkan penelitian Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 1997- Indonesia menempati posisi negara terkorup di Asia. Pada tahun 2001 peringkat Indonesia turun menjadi negara terkorup ke-2 di Asia setelah Vietnam.50

C. Peraturan Perundang-undangan tentang Korupsi Setelah Era

Reformasi

Di era reformasi, pemerintahan yang berkuasa untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan berbagai upaya, diantaranya menerbitkan berbagai peraturan perundang-undangan yang diharapkan bisa berlaku secara efektif undang-undang tersebut di antaranya:

Nomor Peraturan Perundang-

undangan

Penjelasan

1 TAP MPR No.XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

2 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999

Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

4 Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 1999

Tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara 5 Keputusan Presiden No. 127

Tahun 1999

Tentang Pembentukan Komisi

Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara dan

Sekretaris Jenderal Komisi


(37)

Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara

6 Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000

Tentang Pembentukan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

7 Keputusan Presiden No. 44 Tahun 2000

Tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional

8 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

9 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002

Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)

Tabel 2.1 Peraturan Perundang-undangan Korupsi Setelah Era Reformasi

D. Kedudukan KPK Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun

2002

1. Sejarah Singkat Berdirinya KPK

Sejak awal pemerintah orde baru, Presiden Soeharto sudah membentuk beberapa komisi anti korupsi dalam usaha pemberantasan korupsi, diantaranya pada tahun 1967 di bentuk Tim Pemberantasan Korupsi yang berada di bawah Kejaksaan Agung dan pada tahun 1970, pemerintah juga pernah membentuk komisi empat di mana komisi ini bertugas untuk menemukan penyimpangan di Pertamina, Bulog, dan


(38)

Penebangan Hutan.51 Pada masa pemerintahan Ahdurahman Wahid sebagai presiden juga pernah di bentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), di mana lembaga ini dibentuk sebagai lembaga sementara sampai terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun keberadaan lembaga-lembaga tersebut sepertinya belum juga dapat memuaskan masyarakat dilihat dari kinerja dan hasil yang diberikan oleh lembaga-lembaga tersebut.

Sesuai pernyataan pada bagian sebelumnya, dengan adanya kenyataan sosiologis bahwa korupsi sebagai extraordinary crime sudah sangat merajalela dan semakin rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia maka upaya luar biasa (extraordinary efforts) yang dipilih Indonesia pada era reformasi untuk berperang melawan fenomena korupsi adalah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ide awal pembentukan KPK dimaksudkan untuk menjawab kelemahan-kelemahan pengadilan konvensional dalam berbagai aspek, misalnya kelemahan kualitas dan integritas sebagian hakim, ketiadaan akuntabilitas pengadilan yang menyebabkan maraknya praktek mafia peradilan dengan melibatkan aparat

51


(39)

penegak hukum yang bersifat korup dalam setiap proses penanganan perkara tindak pidana korupsi.52

Menurut kesimpulan hasil survey yang diadakan oleh Transparency Internasional Indonesia (TIII), inisiatif/pemicu terjadinya penyimpangan dalam suatu proses peradilan justru berasal dari pihak pengadilan itu sendiri. Kondisi ini semakin memperburuk tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kinerja lembaga peradilan sehingga lembaga peradilan dalam setiap tingkatannya selaku penyelenggara kekuasaan yudikatif dianggap belum dapat berperan maksimal sebagai wadah integrasi dan penyeimbangkepentingan negara, hukum, maupun masyarakat.

Pembentukan KPK merupakan pelaksanaan dari Pasa 43 Undang- Undang No, 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah di ubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi , di mana dinyatakan perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak fidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, meskipun terjadi keterlambatan waktu pemhentukannya.53 Selain itu dibentuknya KPK juga dilatarbelakangi alasan karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efisien dan efektif dalam memberantas tindak pidana korupsi.

52

Mengadili eksistensi pengadilan tipikor” www.legalitas.org/?q=node/44, diakses pada Kamis, 9 September 2010, pukul 15:20:34 WIB

53

Undang- undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 43 ayat (1) menyatakan : ’’Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak undang –undang


(40)

Jaksa dan kepolisian dianggap tidak efektif dalam menyelesaikan berbagai perkara tindak pidana korupsi, demikian juga dengan lembaga-lembaga yang pernah dibentuk sebelumnya. Banyaknya kasus korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum menjadi rendah. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya anggapan bagaimana mungkin memberantas korupsi bila aparat penegak hukum yang seharusnya memberantas korupsi justru terlibat korupsi pula (bagaimana kita dapat membersihkan lantai yang kotor dengan sapu yang, kotor). Karena itulah KPK, sebagai lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnva bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, memiliki kewenangan yang luar biasa, berdasarkan pada klasifikasi tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Kewenangan-kewenangan yang di miliki oleh KPK akan di bahas lebih lanjut pada bagian berikutnya dalam skripsi ini.

2. Tugas Dan Wewenang KPK

Sebagai lembaga yang berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism) KPK memiliki tugas dan wewenang yang cukup berbeda, diantaranya melakukan kordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam kasus korupsi. Hal ini berbeda dengan kewenangan yang dimiliki oleh komisi-komisi anti korupsi yang pernah di bentuk sebelumnya. Selain itu dalam pelaksanaan tugasnya, KPK


(41)

bertanggung jawab hanya kepada publik atau kepada masyarakat, KPK hanya memberi laporan secara berkala saja kepada presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)54

Kedudukan KPK yang independen dalam hal ini merupakan jawaban dari persoalan penegakan hukum kasus korupsi di Indonesia. Pada kebanyakan kasus korupsi melibatkan pejabat tinggi, elit politik, elit ekonomi atau pengusaha- pengusaha besar. Kondisi ini menyebabkan kejaksaan atau kepolisian seringkali tidak dapat leluasa untuk menegakkan hukum karena terbentur dengan campur tangan (intervensi) pihak lain. Selain itu perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK akan diadili oleh pengadilan khusus anti korupsi55, yang berbeda dengan pengadilan konvensional. Perbedaan ini terlihat dari jumlah hakimnya, pengadilan korupsi dipimpin oleh lima (S) majelis hakim.

Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK, KPK mempunyai tugas melakukan:56

1. Kordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi

2. Supervisi terhadap, instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi

3. Melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan terhadap tindak pidana korupsi 57

54 Indonesia (c) , Op. cit pasal 20 ayat (1) 55


(42)

4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan korupsi 5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan negara Dalam melakukan tugas koordinasi KPK berwenang: 58

1. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi

2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi

3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait

4. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi

5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi

Dalam melaksanakan tugas supervisinya, KPK berwewenang:59

1. Melakukan pengawasan, penelitian atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan

57

Mengenai kewenang penyidikan oleh KPK akan Penulis uraikan lebih lanjut pada bagian selanjutnya.

58

Ibid., pasal 7. 59


(43)

pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.

2. Mengambil ahli penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau ke jaksaan Dalam melaksanakan tugas pencegahan, KPK berwenanguntuk:60

1.Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan

2. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi

3. Menyelenggarakan program pendidikan anti korupsi pada setiap jenjang pendidikan

4.Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi

5. Melakukan kampanye anti korupsi kepada masyarakat umum

6. Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Sedangkan melaksanakan tugas monitor KPK berwenang untuk :61

1. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengolahan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah

2. Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengolahan administrasi tersebut berpotensi korup

60

Ibid, pasal 13. 61


(44)

3. Melaporkan kepada presiden RI, DPRdan BPK, jika saran KPK mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK berlandaskan pada lima (5) asas sebagai berikut:62

1. Asas kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadiian dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang KPK. 2. Asas keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak

masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja KPK dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

3. Asas akuntabilitas yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan KPK harus dapat dipertangung jawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4. Asas kepentingan umum , yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif .

5. Asas proporsionalitas yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggung jawab dan kewajiban KPK


(45)

3. Kewenangan KPK Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana

Korupsi

Kriteria tindak pidana korupsi di mana KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan adalah tindak pidana korupsi yang:63

1. Melibatkan aparat penegak hukum penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara

2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat

3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (Satu milyar rupiah)

Jika ternyata dalam perjalanan terdapat kasus korupsi yang tidak memenuhi kriteria tersebut, maka penanganan kasus tersebut bukanlah oleh KPK melainkan oleh institusi penegak hukum lainnya yang berwenang untuk itu, seperti kepolisian dan kejaksaan.

Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. KPK berwenang;64

1. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan

2. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk bepergian ke luar negeri

63


(46)

3. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa

4. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka terdakwa atau pihak lain yanjg terklait

5. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya

6. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait

7. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan ,transaksi perdagangan dan perjanjian lainya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang di lakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungan dengan tindak pidana korupsi yang sedang di periksa

8. Meminta bantuan lnterpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri

9. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan. dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

Dari uraian kewenangan di atas, terlihat bahwa undang-undang, memberikan kewenangan yang sangat besar dan luas kepada penyidik


(47)

KPK jika dibandingkan dengan penyidik kepolisian dan kejaksaan. Hal tersebut dikarenakan besarnya tugas yang diemban oleh KPK seiring dengan makin parahnya tindak pidana korupsi merajalela di Indonesia, sementara institusi kepolisian dan kejaksaan dinilai kurang ‘bergigi’ dalam penanganan tindak pidana korupsi yang terjadi.

Dalam menjalankan fungsinya terkait dengan kewenangan yang dimilikinya , selain berdasarkan pada Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK , KPK juga tidak lepas dari pengaturan sebagai mana diatur oleh undang-undang No 8 Tahun 1981 (KUHAP). Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 38 ayat (1 ) undang- undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang menyatakan bahwa:65

(1) Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyelidikan , dan penuntutan yang diatur dalam Undang undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalan pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam undang- undang ini.

Selain KUHAP dalam menjalankan fungsi dan kewenangan KPK juga mengacu pada pengaturan di dalam undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di mana dinyatakan dalam Pasa1 39 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK:

Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang


(48)

berlaku dan berdasarkan undang undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 hahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi, kecuali ditentukan tain dalam undang-undang ini.

Dengan berlakunya beberapa undang-undang dalam pelaksanaan fungsi dan wewenang penyidikan KPK bukanlah menunjukkan terjadi tumpang tindih hukum/ peraturan perundang-undangan, karena tetap berlaku asas lex generalis derogat lex specialis, di mana ketentuan hukum yang khusus akan mengenyampingkan hukum yang umum, jadi dalam melaksanakan fungsi penyidikannya, KPK tetap berdasar pada ketentuan peraturan umum yaitu KUHAP, kecuali terdapat hal lain yang diatur oleh Undang-undang No. 30 tahun 2002 tentang tentang KPK.

Salah satu perbedaan kewenangan dalam proses penyidikan yang dimaksud adalah pengaturan dalam Pasal 40 undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang menyatakan:

Komisi pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana kurupsi.66

Pengaturan dalam Pasal ini tentunya sangat kontroversial dan menimbulkan banyak pertayaan, pasalnya penyidik biasa, seperti kepolisian dan kejaksaan memiliki wewenang untuk mengeluarkan Surat Perintah


(49)

Penghentian penyidikan (SP3)67, lalu apa yang, melatarbelakangi pengaturan pasal ini dalam undang- undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK dan bagaimana akibat keberlakuan pasal ini terhadap proses penyidikan perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK ? Semua akan di bahas lebih lanjut pada bab 3 dan 4 skripsi ini.

E. Kewenangan Melakukan Penyidikan Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi

Kewenangan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi dimiliki oleh 3 instansi penegak hukum di Indonesia, yaitu POLRI, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal ini diatur dengan jelas oleh KUHAP, Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dan Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK. Berlakunya ketiga undang-undang ini diharapkan tidak menimbulkan persaingan dalam makna negatif di antara tiga institusi tersebut, melainkan menjadi cambukan untuk turut serta dalam proses pemberantasan korupsi di negeri kita sehingga mereka dapat berjalan dengan sinergis. Dan apabila ada hal-hal atau yang bersinggungan, maka digunakanlah asas hukum lex specialis derogat lex generalis, di mana ketentuan undang-undang yang khusus mengenyampingkan undang-undang yang umum. Dalam hal ini KUHAP merupakan undang-undang yang umum,

67

Dalam skripsi ini Penulis hanya akan membahas masalah Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), bukan penuntutan.


(50)

sedangkan undang-undang khusus adalah undang- undang No. 30 Tahun 2002 dan undang-undang No. 16 tahun 2004.

Keberlakuan KUHAP merupakan realisasi , unifikasi dan kodifikasi dalam bidang hukum acara pidana. Tujuannya agar masyarakat dapat menghayati kewajiban dan haknya dan pembinaan sikap para penegak hukum sesuai fungsi wewenangnya.68 Setiap instansi aparat harus merupakan sub sistem yang mendukung total system proses pengakuan hokum dalam suatu kesatuan yang menyeluruh. Keberlakuan KUHAP merupakan langkah pembinaan menuju suatu pelembagaan alat- alat kekuasaan penegak hukum dalam suatu pola law enforcement centre.69

Law enforcement centre adalah suatu lembaga yang menghimpun alat-alat penegak kekuasaan hukum dalam sistem penegak yang terpadu dalam suatu sentra penegakan hukum. Dalam sentra ini berlangsung proses pengakan hukum dari penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Sehingga dalam penertiban aparat yang pertama dilakukan ialah pemolaaan dan penjernihan fungsi dan wewenang di antara sesama instansi penegak hukum.70 Pada masa sebelum keberlakuan KUHAP, terdapat beberapa pejabat yang mempunyai kewenangan penyidik. Sehingga KUHAP mencoba melakukan pembidangan tugas antara instansi terkait, pembidangan tersebut tidak berarti mengkotak-kotakkan tugas,

68

Djoko Prakoso, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim Dalam Proses Hukum Acara Pidana (s.n Bina Aksara : 1987 ), hal 5.

69


(51)

wewenang dan tanggung jawab, tapi mengandung koordinasi dan sinkronisasi.71 Sebelum kita sampai pada uraian mengenai SP3, terlebih dahulu dijelaskan mengenai proses penyelidikan dan penyidikan perkara pidana.

1. Tinjauan Umum Tentang Penyelidikan

Penyelidikan merupakan tahap persiapan atau permulaan dari penyidikan. KUHAP merumuskan pengertian penyelidikan adalah

Serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang di duga sebagai suatu tindak pidana guna menentukan dapat atau tindaknya di lakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang- undang.72

Penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan, akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Berdasarkan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupkan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang, mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.73

Pengertian penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian "tindakan pengusutan"' sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti sesuatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana. Karena penyelidikan merupakan tahap persiapan atau permulaan dari

71

Djoko Prakoso, Op. cit., hal 6. 72

Indonesia (a, Op. cit., pasal 1 angka 5. 73


(52)

penyidikan, Soesilo Yuwono mengatakan bahwa lembaga penyelidikan mempunyai fungsi sebagai "penyaring", apakah suatu peristiwa dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Sehingga kekeliruan pada tindakan penyidikan yang sudah bersifat upaya paksa terhadap seseorang dapat dihindarkan sedini mungkin.74

Penegasan dan pembedaan pengertian antara penyelidikan dan penyidikan sangat berguna demi untuk kejernihan fungsi pelaksanaan penegakan hukum sehingga:75

1. Telah tercipta penahapan tindakan guna menghindarkan cara-cara penegakan hukum yang tergesa-gesa seperti yang dijumpai pada masa-masa lalu. Akibat dari cara-cara penindakan yang tergesa-gesa dapat menimbulkan sikap dan tingkah laku aparat penyidik kepolisian sering tergelincir ke arah mempermudah dan menganggap sepele nasib seseorang yang diperiksa.

2. Dengan adanya tahapan penyelidikan, diharap tumbuh sikap rasa hati-hati dan rasa tanggung jawab hukum yang lebih bersifat manusiawi dalam melaksanakan tugas penegakan hukum. Meng hindari cara-cara penindakan yang men.jurus kepada mengutamakan pemerasan

pengakuan daripada menemukan keterangan dan bukti-bukti. Apalagi jika pengertian dan tujuan penahapan pelaksanaan fungsi penyelidikan dan penyidikan dihubungkan dengan Pasal 17 KUHAP (Perintah

74 Soesilo Yuwono Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP, ( Bandung : Alumni, 1982), hal. 137.


(53)

penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup) semakin memperjelas pentingnya arti penyelidikan, sebelum dilanjutkan dengan tindakan penyidikan agar tidak terjadi tindakan yang melangar hak-hak asasi yang merendahkan harkat martabat manusia.

Mengigat pentingnya fungsi penyelidikan dalam kaitannya dengan fungsi penyidikan dengan segala konsekuensinya (terutama ganti rugi dan rehabilitasi), maka banyak hal yang harus mendapat perhatian dan ketelitian dari pejabat penyelidik dalam melaksanakan tugas-tugas penyelidikan yang dimaksud. Adapun hal-hal yang harus mendapatkan perhatian dan ketelitian tersebut antara lain:76

1. Penyelidikan sebagai rangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana.

Karena untuk dapat menentukan suatu peristiwa sebagai suatu tindak pidana atau bukan merupakan suatu tindak pidana memerlukan pengetahuan pengalaman yang memadai, maka seyogyanya penyelidikan ditangani oleh petugas-petugas penyidik yang memenuhi syarat ditinjau dari pengetahuan dan pengalamannya. Oleh karena itu adalah bijaksana apabila penugasan para pejabat penyelidik yang melakukan penyelidikan dilakukan secara selektif.

2. Penyelidikan sebagai suatu usaha untuk menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan terhadap suatu tindak pidana.

76


(54)

Setelah seorang penyelidik mendapat kepastian bahwa suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, benar-benar merupakan suatu tindak pidana, maka ia masih harus menentukan apakah terhadap tindak pidana itu dapat atau tidak dilakukan penyidikan. Hal ini erat kaitannya dengan upaya penyidikan dalam mengumpulkan bahan-bahan berupa keterangan-keterangan maupun benda- benda yang diperlukan bagi dilakukannya tindakan penyidikan atas tindak pidana tersebut. Jadi yang menjadi inti dari tindakan penyelidikan itu adalah mengarah kepada pengungkapan bukti-bukti tentang telah dilakukannya suatu tindak pidana oleh seseorang yang di curigai sebagai pelakunya. Oleh karena itu pada tahap ini meskipun masih termasuk tahap penyelidikan, penyelidik sudah harus mendapat gambaran tentang: tindak pidana apa yang terjadi, kapan dan dimana terjadinya tindak pidana itu, bagaimana pelakunya melakukan tindak pidana itu, apa akibat- akibat yang di timbulkannya, siapa yang melakukannya dan benda-benda apa yang dapat di pergunakan sebagai barang bukti.

Adapun yang merupakan Penyelidik yang berwenang melakukan penyelidikan pada perkara pidana secara umum di atur oleh KUHAP dalam pasal 1 angka 4 sebagai berikut: Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk melakukan penyelidikan.77 Selanjutnya dalam Pasal 4 KUHAP juga di

77


(55)

sebutkan bahwa yang berwenang melakukan fungsi penyelidikan adalah setiap pejabat negara Republik Indonesia.78 Tegasnya penyelidikan adalah setiap pejabat POLRI, sedangkan Jaksa atau pejabat lain tidak berwenang melakukan penyelidikan. Penyelidikan merupakan monopoli tunggal POLRI.

2.Tinjauan Umum Tentang Penyidikan

Kamus Besar Indonesia, terbitan Balai Pustaka cetakan kedua 1989 halaman 837, menemukan yang di maksud penyidikan adalah serangkaian penyidikan yang diatur oleh undang- undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti pelaku tindak pidana. 79 Penyidikan suatu istilah yang di maksudkan sejajar dengan pengertian opsporing atau onderzoek (Belanda ) dan

investigation (Inggris)atau penyiasatan atau siasat (Malaysia )menurut de Pinto, menyidik (opsporing) berarti: 80

Pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum.

KUHAP merumuskan pengertian penyidikan sebagai berikut :

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang

78

Ibid., pasal 4.

79 Harun M. Husein, Op. cit., hal 1. 80


(56)

tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.81

Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut:82

1. Ketetentuan tentang alat-alat penyidik

2. Ketentuan tentang diketahuinya terjadinya delik 3. Pemeriksaan di tempat kejadian

4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa 5. Penahanan sementara

6. Penggeledahan

7. Pemer-iksaan atau interogasi

8. Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat)

9. Penyitaan

10. Pengenyampingan perkara83

Sebelum suatu penyidikan dimulai dengan konsekuensi penggunaan upaya paksa, terlebih dahulu perlu di tentukan secara cermat berdasarkan segala data dan fakta yang di peroleh dari hasil penyelidikan bahwa suatu peristiwa yang semula diduga sebagai sesuatu tindak pidana adalah benar-benar merupakan suatu. Terhadap tindak pidana yang telah terjadi itu dapat dilakukan peyidikan, dengan demikian penyidikan merupakan tindak lanjut dari suatu penyelidikan.84 Pada tindakan peyelidikan, penekanan di letakkan pada tindakan mencari dan

81 Ibid., pasal 1 angka 2. 82

Andi Hamzah (b), Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Wewenang Kepolisian dan Kejaksaan Di Bidang Penyidikan, ( Jakarta : Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, 2001), hal 8.

83

Penulis tidak akan membahas lebih lanjut mengenai bagian-bagian hukum acara yang menyangkut penyidikan seperti yang sudah disebutkan di atas. Penulisan bagian-bagian tersebut dimaksudkan agar pembaca mengetahui ruang lingkup yang menjadi bagian dari hukum acara yangmenyangkut penyidikan.

84


(57)

menemukan suatu peristiawa yang di anggap atau diduga sebagai tindak pidana. Pada penyidikan, titik berat tekanannya di letakkan pada tindakan mencari serta mengumpulkan bukti, supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya.85 Hampir tidak ada perbedaan antara penyelidikan dan penyidikan, namun di tinjau dari beberapa segi, terdapat perbedaan antara kedua tindakan tersebut:86

1. Dari segi pejabat pelaksana, pejabat penyelidik terdiri dari “semua anggota” POLRI, dan pada dasarnya pangkat dan wewenangnya berada di bawah pengawasan penyidik

2. Penyelidik memiliki kewenangan yang sangat terbatas, hanya meliputi penyelidikan atau mencari dan menemukan data atas suatu tindakan yang diduga merupakan tindakan yang diduga merupakan tindak pidana. Hanya dalam hal-hal telah mendapat perintah dari pejabat penyidik, barulah penyelidik melakukan tindakan yang disebut pasal 5 ayat (1) huruf b (penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, penyitaan, dan sebagainya).

Adapun yang merupakan Penyidik menurut Pasal 6 KUHAP adalah:87 1) a. Pejabat polisi negara Republik Indonesia

b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang

85

M. Yahya Harahap, Op. cit., hal 109.

86 Ibid.


(1)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur , Hormat dan kemuliaan Penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala Berkat dan Penyertaan-Nya yang mampukan Penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini adalah merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam rangka ujian untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

Adapun judul skripsi ini adalah ”Analisis Yuridis Terhadap Kewenangan Penyidik Mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi ( Studi Kasus Judicial Review Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

Penulis sadar sejak awal hingga akhir penulisan skripsi ini, Penulis banyak menerima bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak M. Husni, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Abul Khair, SH, M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, masukan, petunjuk, perhatian dan dorongan kepada Penulis dalam penulisan skripsi ini.


(2)

6. Ibu Nurmalawaty, SH, M.Hum, selaku sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing II Penulis yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing, memberi masukan, dan pengarahan kepada Penulis dalam penyusunan skripsi ini.

7. Ibu Dr. Marlina , SH, M.Hum., sebagai Dosen Wali Penulis yang telah membimbing dan memberikan pengarahan kepada Penulis selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga telah membantu memberikan masukan dalam penulisan skripsi ini.

8. Guru-guru Besar, seluruh dosen dan staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Ayahanda Sehati Ginting dan Ibunda Dra. Nurlina Barus, terimakasih buat doa, kasih sayang, perhatian dan nasehat serta dorongan baik material maupun moril yang tidak terhingga kepada Penulis.

10. Buat Keluarga : Tante Rehulina Stromberg & Keluarga di Stockholm, terimakasih buat doa, kasih sayang dan dukungan moril kepada Penulis dari awal hingga akhir selama penulisan skripsi ini.

11. Kepada Dewa Pranata Bangun, Penulis ucapkan terimakasih atas semangat dan dorongan yang selalu diberikan kepada Penulis disaat Penulis mengalami kejenuhan dalam mengerjakan skripsi ini.

12. Teman-Teman stambuk 2007 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara : Juita Osti Bulan Tobing, Rialita Siregar, Novia Gracia Tobing, Nelam Napitupulu, Yulia Andriany, Erika Romauli Pardede, Muchsin Fahreza and the gank.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya bagi setiap orang yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam tulisan ini, semoga skripsi ini memberikan pemahaman baru bagi kita dan menambah referensi bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Akhir kata, Penulis ucapkan terimakasih. Tuhan Memberkati.

Medan, Desember 2010 Penulis


(3)

DAFTAR ISI

Halaman

BAB I PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

……… 1

B.

PERUMUSAN MASALAH

... 11

C.

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

………... 12

D.

KEASLIAN PENELITIAN

………... 14

E.

TINJAUAN KEPUSTAKAAN ………... 14

1.

Pengertian Penyelidikan

2.

Pengertian Penyidikan

3.

Pengertian Penyidik

4.

Pengertian Tindak Pidana Korupsi

5.

Pengertian Penghentian Penyidikan

6.

Pengertian Surat Perintah Penghentian Penyidikan

(SP3)

7.

Pengertian Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (KPK)

8.

Pengertian

Extra Ordinary Crime

F.

METODE PENELITIAN

……… 18

G.

SISTEMATIKA PENULISAN ………... 20


(4)

BAB II KEWENANGAN PENYIDIK MENGELUARKAN SURAT PERINTAH PENGEHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

A.

Pengertian

Tindak Pidana Korupsi

... 23

B.

Tindak Pidana Korupsi sebagai

Extraordinary

Crime

...

... 24

C.

Peraturan Perundang-Undangan tentang Korupsi yang

berlaku di Indonesia setelah Era Reformasi berdasarkan

Undang-Undang No 30 Tahun 2002...

29

D. Kedudukan KPK Berdasarkan Undang-Undang

No. 30 Tahun 2002

1. Sejarah singkat berdirinya KPK...

30

2. Tugas dan Wewenang KPK ...

33

3. Kewenangan KPK dalam Proses Penyidikan Tindak

Pidana Korupsi ...

38

E. Kewenangan Melakukan Penyidikan Pada Perkara

Tindak Pidana Korupsi ...

42

F. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3

)

...

56

G. Kewenangan Penyidik mengeluarkan SP3 pada perkara


(5)

BAB III LATAR BELAKANG PENETAPAN PASAL 40 UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Gambaran Umum Mengenai Permohonan

Judicial

Review

atas keberlakuan Pasal 40 Undang-Undang No 30

Tahun 2002 tentang KPK

... 73

B. Latar Belakang Penetapan Pasal 40 Undang-Undang

No.30 Tahun 2002 tentang KPK

... 79

BAB IV PENERAPAN PASAL 40 UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG KPK TERHADAP PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KPK

A. Akibat keberlakuan Pasal 40 Undang-Undang No. 30

Tahun 2002 tentang KPK terhadap Proses Pemeriksaan

Tindak Pidana Korupsi oleh KPK.

... 83

B. Penerapan Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002

tentang KPK dikaitkan dengan Asas Praduga Taak Bersalah

(

Presumption of Innocence

)

... 87

BAB V

PENUTUP

A.

KESIMPULAN

……….. 91

B.

SARAN

……….. 93


(6)

ABSTRAK

* Mahasiswa ** Dosen pembimbing I **Dosen pembimbing II

Keberhasilan penyidikan suatu tindak pidana akan sangat mempengaruhi berhasil tidaknya penuntutan Jaksa Penuntut Umum pada tahap pemeriksaan sidang pengadilan nantinya. Tetapi apabila berhenti ditengah jalan maka harus dikeluarkan SP3. Dikeluarkannya SP3 selalu menjadi bahan tudingan dari masyarakat bahwa penegak hukum tidak serius dalam menyelesaikan berbagai kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di negara ini. Jadi pada intinya sebelum dilakukan proses penyidikan, penyelidik harus lebih dahulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti yang ada sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Sedangkan penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik dalam mencari dan mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya. Dari kedua rangkaian proses ini terdapat semacam graduasi antara tahap penyelidikan menuju ke tahap penyidikan , karena itu dibutuhkan kehati-hatian yang amat besar serta alasan yang jelas, meyakinkan dan relevan ketika aparat penegak hukum meningkatkan tahap penyelidikan ke tahap penyidikan.

Dalam mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada penanganan tindak pidana korupsi perlu melihat kewenangan Penyidik, karena dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, Penyidik KPK tidak berhak mengeluarkan SP3, kemudian melihat latar belakang penetapan Pasal 40 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, serta penerapan Pasal 40 ini dalam penanganan tindak pidana korupsi.

Metode penulisan dalam pembuatan skripsi ini dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif yang berasal dari sumber buku-buku kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang dibahas didalam skripsi ini dan melakukan wawancara dengan penyidik KPK melalui email.

Dalam melakukan proses penyelidikan dan penyidikan aparat penegak hukum yang melakukan pemeriksaan tersebut diharapkan dapat bekerja secara profesional, efisien dan efektif. Setiap produk peraturan perundang-undangan yang dihasilkan di suatu negara tentunya diharapkan menjadi peraturan perundang-undangan yang berkualitas serta berguna bagi masyarakat. KPK sebagai lembaga yang diberikan amanat oleh undang-undang sebagai salah satu alat dalam upaya pemberantasan korupsi harus melaksanakan tugasnya secara transparan. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat dapat menjadi pengawas segala tindakan yang dilakukan oleh KPK sehingga tercipta check and balance dalam proses penegakan hukum.


Dokumen yang terkait

Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

3 71 102

Analisis Yuridis Terhadap Kewenangan Penyidik Mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi ( Studi Kasus Judicial Review Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana K

1 41 110

Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Perkara No.77/PID.B/2010/PN.Medan)

3 110 147

Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pemberantasan Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Di Semarang)

0 34 179

Analisis Yuridis Terhadap Kewenangan Penyidik Mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi ( Studi Kasus Judicial Review Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidan

9 105 110

Analisis Yuridis Straf Minimum Rules (Aturan Hukuman Minimal) Terhadap Tindak Pidana Korupsi Pada Pasal 2 Ayat (1) Dan Pasal 3 Undang–Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 56 84

Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

16 167 135

Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang

0 4 87

Tinjauan Yuridis Kewenangan Kejaksaan dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi

0 8 71

Tinjauan Yuridis Terhadap Upaya Pengembalian Keuangan Negara Atas Tindak Pidana Korupsi Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 6 42