Partisipasi Calon Legislatif Perempuan di Sumatera Utara pada Pemilu 2009

(1)

SKRIPSI

Partisipasi Perempuan Pada Pemilu Legislatif 2009

( Studi Kasus Daerah Pemilihan Sumatera Utara I Medan ) D

I S U S U N OLEH

ALLES SANDRO TURNIP 040905062

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL FAKULTAS ILMUS SOSIAL DAN ILNU POLITIK

UNIVRSITAS SUMATERA UTARA 2010


(2)

ABSTRAK

Peran perempuan dalam pengambilan keputusan sangat penting bagi kancah perpolitikan, karena perempuan lebih memahami persoalan yang terjadi pada perempuan itu sendiri dan lebih mengerti bagaimana memperjuangkan kepentingan perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Pada kenyataannya keterwakilan perempuan sangat minim di lembaga-lembaga pemerintaan khususnya legislative kota medan, Padahal kita ketahui bahwa jumlah perempuan lebih banyak ketimbang jumlah laki-laki, namun hal itu tidak membuat perempuan untuk lantas banyak duduk di lembaga-lembaga pemerintahan khususnyha legislative, ini dikarenakan kebudayaan Indonesia khususnya kota medan masih mengandung budaya patriarkhi, yang dmana jumlah laki-laki masih menguasai pekerjaan dilembaga-lembaga pemerintahan, sedangkan perempuan masih tetap terbelakang dan masih ditempatkan mereka pada posisi domestic yaitu mengurus anak-anak dan masih tetap bekerja didapur.sehingga perempuan masih terpingir dikalangan masyarakat. Oleh sebab itu focus penelitian ini adalah bagaimana partisipasi perempuan untuk duduk dilegislatif khususnya kota medan dan bagaiman strategi perempuan dalam menghadapi budaya patriarkhi. Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif, informan dari penelitian ini adalah calon angota maupun anggota terpilih legislative perempuan, bagaimana cara mereka agar dapat duduk dilembaga legislative kota medan, dengan ikut serta berpartisipasi pada salah satu partai politik dan bagaiman mereka menarik simpatisan masyarakat kota medan agar bisa memilihnya sebagai keterwakilan perempuan di DPRD Sumut. Walaupun pemerintah telah menetapkan keterwakilan perempuan paling rendah 30% namun itu tidak membawa perubahan pada kedudukan perempuan dilegislatif khususnya dapem 1 karena dari hasil pemilu 2009 hanya 16 % wanita atau hanya 3 orang yang terpilih wanita dari 21 kursi di DPRD Sumut. berarti masih minimnya perempuan untuk berpartisipasi pada legislative 2009 dan masih kurang ada kepercayaan masyarakat untuk memilih perempuan sebagai pemegang jabatan di legislative khususnya DPRD Sumut.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat kasih karunia dan penyertaanNya penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “

Partisipasi Calon Legislatif Perempuan di Sumatera Utara pada Pemilu 2009“. setiap kesulitan yang terjadi dalam pembuatan skripsi ini , tidak luput dari

campur tangan Tuhan dalam penyertaanNya sehari-hari dalam Penelitian. Terima kasih Tuhan untuk setiap hari yang Kau berikan untuk anak mu ini, hingga penulis bisa selalu mengucap syukur atas setiap rancanganMu yang dahsyat dan luar biasa.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua saya yang tercinta dan selalu sabar menanti diriku ini untuk wisuda untuk bapak M Turnip Spd dan Ibu R Sihotang. Terima kasih buat dukungan doa, materi, semangat, yang penulis terima selama ini. Penulis bangga memiliki kalian yang telah membesarkan penulis dengan penuh cinta, kasih sayang, didikan tentang disiplin. Walau kadang tidak sesuai dengan yang penulis mau. Penulis juga berterima kasih kepada ketiga adik ku yang aku sayangi Apri Turnip, Oktria Turnip dan Anggara Turnip. Kalian menjadi sumber semangat untuk penulis agar dapat memberikan yang terbaik untuk semuanya. Di kesempatan ini penulis juga tak lupa mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Badaruddin Harahap sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Zulkifli Lubis, MA sebagai ketua Departemen Antropologi Sosial FISIP USU.


(4)

3. Bapak Lister Berutu MA, sebagai dosen pembimbing, yang telah

membimbing penulis dengan sabar dan memberikan masukan yang berguna bagi penulis selama masa pengerjaan skripsi ini.

4. Bapak Drs. Irfan Simatupang Msi, sebagai ketua penguji pada saat penulis melaksanakan ujian komprehensif. Terima kasih untuk semua saran yang diberikan dalam penyempurnaan skripsi ini.

5. Ibu Dra. Sabariah Bangun , selaku dosen penguji pada saat penulis melaksanakan ujian komprehensif. Terima kasih untuk semua saran yang diberikan dalam penyempurnaan skripsi ini.

6. Abangda Nurman Ahmad,S.Sos,M.Soc selaku Penasehat Akademik yang selalu memberikan motivasi dan nasehat untuk menyelesaikan skripsi penulis selama masa perkuliahan..

7. Seluruh dosen di Departemen Antropologi yang telah memberikan ilmu yang mereka miliki selama penulis mengikuti perkuliahan.

8. Terima kasih juga kepada Helen lucen Silalahi yang selama ini telah memberikan motivasi buat penulis selama ini berkat kasih sayang dan kesabarannya serta perhatiannya penulis dapat mengerjakan skripsi dengan selesai.

9. Teman-teman seperjuangan antro'04 yaitu Hariman Silalahi, Joseph silalahi, Kia Sagala, Arnov copo, Kardo hutauruk.. Teman-teman antro'04 yang telah terlebih dahulu meraih gelar sarjana.dan kepada kerabat-kerabat lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu.


(5)

10.Teman – teman komunitas Warkop “ KILA “ yang selalu menemani penulis pada saat penulis sedang bimbang sambil bermainkan jemari tangannya. 11.Buat bapauda dan nangudaku yang ada di Helvet terimakasih atas perhatian


(6)

DAFTAR ISI

Lembaran Pengesahan………i

Abstrak……… ii

Kata Pengantar………...iii

Daftar isi………..iv

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah……….………… 1

2. Perumusan Masalah……….………..10

3. Lokasi Penelitian……….…... 10

4. Tujuan dan Manfaat Penelitian………... 11

5. Tinjauan Pustaka……….. 11

6. Metode Penelitian ………. 20

6.1. Teknik Pengumpulan Data………. ... 21

6.1.1 Teknik Observasi ……….………… 21

6.1.2 teknik wawancara………. 22

7. teknik analisa data………. 23

BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PEMILIHAN SUMATERA UTARA I 2.1.Lokasi dan Jumlah Pemilih……….……..…. 24

2.1.1.Kependudukan………..…..….. 26

2.2. Penyelenggara Pemilu………...……. 34


(7)

BAB III PROSES PEMILU LEGISLATIF 2009 DAN PARTISIPASI PEREMPUAN DI DAERAH PEMILIHAN SUMATERA UTARA I

3.1.Peserta Pemilu dan Pencalonan………31 3.1.1. Kendala Pada Tahap Penetapan Dan Pendaftaran Calon

Legislatif 2009……….. 44

3.1.2. Kendala Pada Tahap Pelaksanaan Kampanye……… 46

3.2.Partisipasi Perempuan……… 49

3.2.1 Menjadi Anggota Partai Politik……….. 52

3.2.2.Kader Perempuan Partai Politik………. 53

3.2.3. Pemberdayaan Perempuan Partai Golkar……… 59

BAB IV TANTANGAN DAN KENDALA YANG DIHADAPI PEREMPUAN 4.1. Motif Elit Politik Perempuan dalam Berpartisipasi Politik……… 61

4.2.Hambatan-Hambatan Perempuan Dalam Berpolitik……….. 63

4.2.1.Tantangan-Tantangan Diskursif/Ideologis………. 63

4.2.2.Hambatan Sosio-Ekonomi……… 63

4.2.3.Hambatan Politis dan Kelembagaan………... 65


(8)

4.2.4.Hambatan Pribadi dan Psikologis………... 66

4.3.Kerangka Kebijakan Untuk Meningkatkan Partisipasi Perempuan Di Ranah Publik………. 72

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan……… 80

5.2.Saran/Rekomendasi………. 82

DAFTAR PUSTAKA……… 85


(9)

ABSTRAK

Peran perempuan dalam pengambilan keputusan sangat penting bagi kancah perpolitikan, karena perempuan lebih memahami persoalan yang terjadi pada perempuan itu sendiri dan lebih mengerti bagaimana memperjuangkan kepentingan perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Pada kenyataannya keterwakilan perempuan sangat minim di lembaga-lembaga pemerintaan khususnya legislative kota medan, Padahal kita ketahui bahwa jumlah perempuan lebih banyak ketimbang jumlah laki-laki, namun hal itu tidak membuat perempuan untuk lantas banyak duduk di lembaga-lembaga pemerintahan khususnyha legislative, ini dikarenakan kebudayaan Indonesia khususnya kota medan masih mengandung budaya patriarkhi, yang dmana jumlah laki-laki masih menguasai pekerjaan dilembaga-lembaga pemerintahan, sedangkan perempuan masih tetap terbelakang dan masih ditempatkan mereka pada posisi domestic yaitu mengurus anak-anak dan masih tetap bekerja didapur.sehingga perempuan masih terpingir dikalangan masyarakat. Oleh sebab itu focus penelitian ini adalah bagaimana partisipasi perempuan untuk duduk dilegislatif khususnya kota medan dan bagaiman strategi perempuan dalam menghadapi budaya patriarkhi. Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif, informan dari penelitian ini adalah calon angota maupun anggota terpilih legislative perempuan, bagaimana cara mereka agar dapat duduk dilembaga legislative kota medan, dengan ikut serta berpartisipasi pada salah satu partai politik dan bagaiman mereka menarik simpatisan masyarakat kota medan agar bisa memilihnya sebagai keterwakilan perempuan di DPRD Sumut. Walaupun pemerintah telah menetapkan keterwakilan perempuan paling rendah 30% namun itu tidak membawa perubahan pada kedudukan perempuan dilegislatif khususnya dapem 1 karena dari hasil pemilu 2009 hanya 16 % wanita atau hanya 3 orang yang terpilih wanita dari 21 kursi di DPRD Sumut. berarti masih minimnya perempuan untuk berpartisipasi pada legislative 2009 dan masih kurang ada kepercayaan masyarakat untuk memilih perempuan sebagai pemegang jabatan di legislative khususnya DPRD Sumut.


(10)

BAB I PENDAHULUAN 1.Latar Belakang Masalah

Sejarah Tentang Perempuan Di Parlemen Indonesia (Dewan Perwakilan Rakyat-Republik Indonesia/ TK-I dan TK-II) merupakan sebuah proses panjang, tentang perjuangan perempuan di wilayah publik. Kongres Wanita Indonesia pertama, pada tahun 1928, yang membangkitkan kesadaran dan meningkatkan rasa nasionalisme di kalangan perempuan merupakan tonggak sejarah, karena berperan dalam meningkatkan kesempatan bagi perempuan Indonesia untuk berpartisipasi dalam pembangunan, termasuk dalam politik(Ani, 2000: 56)

Oleh karena itu, berbagai strategi harus dipelajari untuk mengatasi hambatan tersebut, sehingga tujuan untuk meningkatkan representasi perempuan di parlemen bisa diwujudkan. Studi kasus ini menyajikan bagaiman partisipasi politik perempuan di Indonesia, dan mengkaji hambatan yang dapat menghalangi wanita untuk menjadi anggota parlemen. Selain itu, ditawarkan berbagai strategi yang bisa dipertimbangkan untuk mengatasi permasalahan keterwakilan ini. Dalam negara yang menganut sistem nilai patriarkal, seperti Indonesia, kesempatan perempuan untuk menjadi politisi relatif terbatasi karena persepsi masyarakat mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, yang cenderung bisa ke arah membatasi peran wanita hanya pada urusan rumah tangga. Namun demikian. pada masa perjuangan kemerdekaan, kebutuhan akan kehadiran banyak pejuang, baik laki-laki maupun perempuan, membuka kesempatan luas bagi para perempuan untuk berkiprah di luar lingkup domestik dengan tanggungjawab urusan rumah tangga. Masyarakat menerima dan


(11)

menghargai para pejuang perempuan yang ikut berperan di medan perang, dalam pendidikan, dalam pengobatan, dan lain-lain. Kesempatan ini memberi kemudahan pada perempuan untuk memperjuangkan isu-isu yang berhubungan dengan kepentingan mereka atau yang terjadi di sekitar mereka, selain isu politik.

Dalam pemilihan umum pertama pada tahun 1955, 6,5 % dari anggota parlemen adalah perempuan. Kemudian, representasi perempuan Indonesia di parlemen mengalami pasang surut, dan mencapai angka tertinggi sebesar 13,0% pada tahun 1987. Saat ini, jumlah perempuan mencapai 8,8% dari seluruh anggota perwakilan terpilih. Kurangnya keterwakilan perempuan di parlemen disebabkan oleh serangkaian hambatan yang membatasi kemajuan mereka.pada pemilihan umum tahun 1955, pada masa Orde Lama, jumlah perempuan di DPR mencapai 17 orang, Pemilihan umum pertama di nilai sebagai demokratis, dengan partisipasi perempuan dalam politik didasarkan pada kemampuan mereka sebagai pemimpin dari unit-unit yang ada dalam organisasi-organisasi partai.(Romany S. 2007 : 160)

Berbeda dengan periode Orde Lama (era Soekarno), pada masa Orde Baru (era Soeharto) dengan konsep partai mayoritas tunggal, representasi perempuan dalam lembaga legislatif dan dalam institusi-institusi kenegaraan, ditetapkan oleh para pemimpin partai di tingkat pusat, Akibatnya, sebagian perempuan yang menempati posisi penting memiliki hubungan keluarga atau kekerabatan dengan para pejabat dan pemegang kekuasaan di tingkat pusat. Hal ini di mungkinkan karena dalam sistem pemilu, pemilih tidak memilih kandidat (orang), tetapi simbol partai, untuk berbagai tingkatan pemerintahan, yaitu tingkat kabupaten, propinsi dan nasional. Akibatnya, sebagian dari mereka tidak melewati tahapan


(12)

dalam proses pencalonan/ pemilihan, dan mungkin tidak memiliki kemampuan mengartikulasikan kepentingan konstituennya (Nauli, 1993:77)

Dalam pemilihan umum 1999, proses pemilihan mengalami perubahan cukup berarti, dimana rekrutmen kandidat partai untuk lembaga legislatif, termasuk perempuan, harus disetujui oleh daerah, para pengambil keputusan partai di daerah (hal ini tidak berlaku bagi wakil dari angkatan bersenjata dan polisi). Sebagian besar wakil perempuan yang terpilih berpartisipasi dalam proses pemilu, antara lain dalam upaya pembelaan terhadap masyarakat, diskusi, ceramah dan kegiatan partai lainnya yang berhubungan dengan kampanye pemilu (Anugrah, 2008:17)

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola seleksi antara laki-laki dan perempuan sebagai anggota legislatif. Faktor pertama berhubungan dengan konteks budaya di Indonesia yang masih sangat kental asas patriarkalnya. Persepsi yang sering dipegang adalah bahwa arena politik untuk laki-laki, dan bahwa tidaklah pantas bagi wanita untuk menjadi anggota parlemen. Faktor kedua berhubungan dengan proses seleksi dalam partai politik. Seleksi terhadap para kandidat biasanya di lakukan oleh sekelompok kecil pejabat atau pimpinan partai, yang hampir selalu laki-laki. Di beberapa negara, termasuk Indonesia, di mana kesadaran mengenai kesetaraan gender dan keadilan masih rendah, pemimpin laki-laki dari partai-partai politik mempunyai pengaruh yang tidak proporsional terhadap politik partai, khususnya dalam hal gender. Perempuan tidak memperoleh banyak dukungan dari partai-partai politik karena struktur kepemimpinannya didominasi oleh kaum laki-laki. Ketiga, berhubungan dengan media yang berperan penting dalam membangun opini publik mengenai


(13)

pentingnya representasi perempuan dalam parlemen. Keempat, tidak adanya jaringan antara organisasi massa, LSM dan partai-partai politik untuk memperjuangkan representasi perempuan. Jaringan organisasi-organisasi wanita di Indonesia baru mulai memainkan peranan penting sejak tahun 1999 (Matland, 2001)

Dalam kehidupan sosial bernegara, setiap warga negara pada dasarnya tidak ada pembedaan atas hak dan kewajibannya, semuanya sama dihadapan hukum dan pemerintahan. Termasuk dalam hal ini adalah hak berpolitik, hak untuk memberikan pendapat dan hak untuk melakukan koreksi atas pemerintahan. Semua hal tersebut tentunya dilaksanakan dengan cara-cara dan mekanisme yang telah diatur oleh sistem pemerintahan. Pergantian kepemimpinan sebagai salah satu keniscayaan dalam sistem demokrasi menuntut keterlibatan warga negara di dalamnya. Adapun aturan main dalam sistem demokrasi nasional salah satunya adalah pemilu. Kegiatan pemilu sendiri ditujukan sebagai sarana untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga legislatif. Pemilu 2009 memiliki banyak sisi yang unik untuk dikaji. Salah satunya adalah keterlibatan perempuan dalam pemilu. Pemilu dan perempuan seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, karena membahas tentang pemilu kuranglah lengkap bila tanpa menyertakan perempuan di dalamnya (Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008)

Dalam sejarah perpolitikan di Indonesia dan negara berkembang pada umumnya, peranan perempuan memang dipandang terlambat dalam keterlibatan di dunia politik. Stigma-stigma bahwa perempuan dalam posisi domestik dianggap sebagai salah satu hal yang mengakibatkan perempuan terlambat berkiprah dalam dunia politik. Salah satu indikatornya adalah jumlah perempuan


(14)

yang memegang jabatan publik masih sangat sedikit. Fenomena tersebut bukan hanya terjadi pada tingkat pusat tetapi juga berimbas pada tingkatan lokal atau daerah. Terlebih lagi bahwa posisi kaum perempuan kurang di untungkan secara politis karena jarang sekali terlibat dalam pengambilan keputusan, khususnya yang berkenaan dengan permasalahan perempua n itu sendiri. Peran dan status perempuan dewasa ini lebih di pengaruhi oleh masa lampau, kultur, ideologi, dan praktek hidup sehari-hari. Inilah yang menjadi kunci mengapa partisipasi perempuan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara mengalami kelemahan.

Kedudukan perempuan yang demikian, ternyata tidak dapat di pertahankan, karena dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pandangan yang meletakkan perempuan untuk terus-menerus tersubordinat dalam bidang sosial, ekonomi da politik tidak dapat dipertahankan lagi.

Arief Budiman ( 1985 ) menyatakan bahwa pembagian pekerjaan antara pria dan wanita merupakan sebuah lembaga kemasyarakatan tertua dan terkuat, yang umurnya sudah ribuan tahun dan sampai sekarang masih bertahan dengan gagahnya

Maka berdasarkan sejarah tradisi dan budaya Indonesia, kedudukan perempuan sangat terbatas.Mulai dari diri perempuan itu sendiri yang telah di tempah sedemikian rupa disekitar lingkungan yaitu didominasi sistem patriarki yang menjadikannya sebagai perempuan dengan kepribadian menerima apa adanya sampai faktor eksternal yang juga memainkan peran yang cukup signifikan dalam membatasi peran perempuan di ruang publik dan di parlemen.

Merujuk peran perempuan di atas maka perempuan dikatakan sebagai the “Second Human Being” (manusia kelas kedua), yang berada di bawah superioritas


(15)

laki-laki yang membawa implikasi luas dalam kehidupan sosial di masyarakat. Situ Musda Mulia, 2005:5). Sejarah sistem politik di sebagian besar negara menunjukkan adanya diskriminasi terhadap perempuan dalam proses politik mulai di tingkat lokal sampai tingkat nasional. Adanya pembagian antara peran publik dan domestik menjadikan perempuan terpotong aksesnya dalam partisipasi politik dan terdiskriminasi dalam sistem politik.

Menyikapi hal diatas, selama ini ada anggapan di masyarakat bahwa kuatnya culture patriakhi di indonesia menyebabkan kepemimpinan perempuan di Indonesia terbatas. Banyak perempuan-perempuan yang belum berani mengambil kesempatan-kesempatan yang tersedia baginya. Walaupun perempuan Indonesia sudah diberi kesempatan secara bebas untuk menentukan pilihan kariernya dimana perempuan sudah di pahami sebagai manusia lincah dan berperan aktif sebagai mitra sejajar yang di ikut sertakan dalam mengambil keputusan disegala bidang pembangunan, hal ini akan mendorong perempuan Indonesia untuk berproses mengembangkan dirinya sebagai pribadi yang utuh .( Murniati. 2004 : 221 )

Sebuah masyarakat dapat dikatakan demokratis jika dalam kehidupannya menghargai hak asasi manusia secara adil dan setara, mengakui dan memajukan akan kebebasan. Dalam penghargaan terhadap hak yang adil dan setara tersebut tercermin adanya penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya terhadap kelompok-kelompok minoritas. Hal ini juga mencakup adanya jaminan partisipasi politik bagi semua warga. Partisipasi dalam sistem politik merupakan tugas yang kompleks dan menantang, khususnya bagi sektor-sektor masyarakat yang secara tradisional terpinggirkan. Perempuan mewakili


(16)

salah satu kelompok yang dirugikan sebagai akibat dari peran-peran yang di terjemahkan secara sosial dan budaya dan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam hal produktif, reproduktif dan politik.

Meskipun kita ketahui bahwa komposisi perempuan lebih banyak ketimbang laki-laki, namun itu bukan sebagai jaminan atas hak-hak mereka dalam Publik karena Faktor budaya merupakan salah satu penghambat bagi perempuan untuk tampil dalam forum publik. Kuatnya peran laki-laki dalam kehidupan publik sangat menentukan setiap keputusan-keputusan yang diambil meskipun itu menyangkut kehidupan perempuan.

Institusi struktural kekuasaan yang paling tinggi adalah negara, yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dan berpengaruh terhadap kehidupan perempuan. Negara sebagai sebuah wilayah dengan struktur ekonomi, sosial, politik dan budaya, merupakan sebuah kompleksitas kekuasaan yang dominan dan menjadi pusat otoritas di tingkat publik. Idealnya, negara dengan kekuasaan tertinggi yang dimiliki mampu menjadi tempat perlindungan bagi perempuan dalam memperoleh keadilan. Tetapi kenyataannya dalam banyak kasus, negara justru semakin membuat posisi perempua n makin terjepit. Tetapi kondisi tersebut tidak menjadikan isu perempuan menjadi sesuatu yang diangap vital.

Di sinilah bangsa Indonesia diuji dalam pendistribusian kekuasaan antara laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan public, yang merupakan bagian terpenting dalam pencapaian kehidupan yang lebih demokratis, setara dan berkeadilan gender. Sehingga, bukan hal yang berlebihan kalau saat ini kaum perempuan menuntut hak-hak politiknya dengan menuntut diberikan ruang


(17)

keterwakilan politik perempuan juga harus di maknai sebagai tindakan yang sangat strategis untuk mengurangi hambatan individu dalam berkiprah di kancah politik sekaligus meminimalkan ketidakadilan gender yang ada dalam kehidupan masyarakat.( Kompas 10 febuari.2009).

Padahal keterwakilan perempuan di bidang politik sangat diperlukan untuk mempengaruhi proses demokrasi dengan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender, walaupun tidak mudah bagi perempuan untuk masuk kewilayah politik. Seperti yang sudah diatur dalam undang-undang pemilu pasal 20 UU No 2 tahun 2008:

“ kepengurusan Partai politik tingkat propinsi dan kabupaten/kota sebagaiman dimaksud pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30 % yang diatur dalam AD dan ART partai politik masing-masing.“ (Anugrah, 2008)

Dengan adanya undang-undang tersebut tidak diperkenankan suatu partai politik menyimpang dari system kuota 30 % dengan alasan apapun, oleh sebab itu partai politik hendaknya mampu melakukan pendidikan politik, mencerdaskan, dan memajukan kaum perempuan. Dengan begitu, suatu partai politik tidak tersandung dan jatuh atau tidak mampu berkompetisi dengan Parpol lainnya.

Meskipun perempuan mempunyai peluang yang sama untuk menjadi pemimpin, masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih kental dengan budaya patriarkhi masih sulit untuk menerima pemimpin perempuan. Selain karena alasan lemahnya kepemimpinan mereka, perempuan juga dinilai kurang mempunyai kemampuan. Ini bisa dilihat tingkat keseriusan partai dalam menempatkan caleg perempuan, kalaupun ada perempuan yang mereka usung


(18)

dalam pemilihan legislatife, tidak sedikit di antaranya artis perempuan, figure terkenal, atau bahkan hanya karena perempuan itu salah satu kerabat terdekat pengurus partai. Ironisnya, pada banyak kasus, nama-nama caleg perempuan tersebut hanya untuk memenuhi persyaratan partai untuk menuju pemilu 2009. ( Yas mashfiyah, 2009 )

Agar suara dan kebutuhan perempuan tersalurkan dalam semua perumusan kebijakan public, maka perlu memilih partai politik atau calon legislatif yang memberikan kesempatan bagi perempuan dalam proses pengambilan keputusan, mempunyai komitmen dan konsistensi dalam menerapkan peraturan yang tidak diskriminatif terhadap perempuan, memiliki program untuk menghilangkan peraturan dan perundang-undangan yang merugikan perempuan sekaligus memiliki pandangan untuk menggantikan peraturan-peraturan dengan peraturann yang lebih adil bagi perempuan.

Hal penting lain yang melandasi pentingnya keterwakilan perempuan dalam lembaga politik khususnya legislative adalah fakta dimana separuh jumlah penduduk perempuan Indonesia adlah perempuan. Mengabaikan perempuan dalam pembuatan keputusan politik sama halnya dengan menyingkirkan mayoritas penduduk Indonesia dalam proses politik. Perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang hanya dapat di pahami dengan baik oleh perempuan yang memiliki persepektif gender.

Pemilu 2009 memberikan kesempatan yang luas kepada perempuan, ada banyak peran yang dapat di lakukan dalam proses penting kenegaraan tersebut. Bagaimanapun juga perempuan merupakan salah satu entitas yang memiliki potensi, kemampuan, dan kelebihan yang tidak kalah dengan laki-laki. Atas dasar


(19)

kenyataan inilah kemudian peneliti mengambil judul Partisipasi Perempuan

pada Pemilu Legislatif khususnya Dapem 1 Sumatera Utara ( Medan ) Pemilu Tahun 2009.

2. Perumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana bentuk Partisipasi calon legislatif Perempuan Khususnya Daerah Pemilihan 1 Sumatera Utara ( Medan ) dalam Pemilu Tahun 2009? 2. Bagaimana strategi perempuan dalam menghadapi Budaya Patriarkhi

guna mengikuti Pencalonan Pemilu legislatif Khususnya Dapem 1 Sumatera Utara ( Medan ) ?

3.Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Daerah Pemilihan 1 Sumatera Utara ( Medan) Alasan pemilihan Lokasi Penelitian adalah karena medan merupakan termasuk kota Metropolitan, yang memiliki kemajemukan dalam masyarakat, baik dari agama, ras, suku dan golongan. Perbedaan-perbedaan tersebut biasanya dapat mempengaruhi partsipasi politik masyarakat khususnya kaum perempuan itu sendiri. Selain itu juga penelitian ini dilakukan untuk mempermudah untuk mengambil data yang lebih akurat, karena Kantor KPU sumut berada di kota Medan.


(20)

4. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian

Atas dasar perumusan masalah, maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan atau menggambarkan bagaimana perempuan dalam menghadapi pemilihan umum 2009 dengan salah satunya ikut sebagai calon legislatif perempuan, dan dapat mewakili suara atau aspirasi sebagian kaum perempuan, yang selama ini mengalami pendiskriminasikan dalam bidang politik oleh kaum laki-laki.

Manfaat Penelitian

Adapun Manfaat dari hasil penelitian ini sebagai pemahaman bagi semua pihak bagaimana perempuan itu memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki dalam menduduki sebuah jabatan di Parlementer atau bidang public lainnya dan menghapuskan pendeskriminasiaan terhadap perempuan, yang dulunya perempuan hanya bisa bekerja di bidang domestic(Rumah tangga) saja.

5.Tinjauan Pustaka

Paolo Freire ( Freire, 1972) mensimulasi pengaruh konstruksi budaya yang perlu menjadi perhatian kita semua dan hal ini sejalan dengan permasalahan mendasar tentang pemahaman gender. Gender adalah persepsi seseorang terhadap perempuan dan laki-laki yang terbentuk sejak anak-anak, bukan atas dasar sex atau jenis kelaminnya, tetapi terkonstruksi dan bercampur dengan nilai-nilai budaya dan lingkungannya. Sebab itu upaya pengaruh utama gender ke seluruh


(21)

lapisan masyarakat, kelompok dan golongan harus terus di galakkan. Perlu disadari kesadaran gender (gender awareness) tidak dapat sekaligus di mengerti dan di laksanakan oleh masyarakat. Penyadaran gender perlu waktu untuk terjadinya perubahan pola pikir dan tingkah laku, sehingga di perlukan kesabaran dan ketekunan untuk mengubah nilai dan kebiasaan masyarakat.

Peran serta posisi perempuan dalam bermasyarakat tergantung pada nilai budaya yang mengaturnya, seringkali orang langsung dapat menyimpulkan bahwa perempuan sebagai makhluk yang dinomor duakan, akibat adanya budaya patriarkhi, padahal asumsi tersebut tidak terjadi pada semua kelompok masyarakat misalnya ; Masyarakat minangkabau yang dikenal dengan prinsip Matrineal, Prinsip matrineal memperhitungkan hubungan kekerabatan melalui garis keturunan perempuan, sehingga semua kaum kerabat ibu termasuk dalam batas kekerabatnya, sedangkan semua kaum kerabat ayah berada diluar batas itu (Koendjaraningrat, 1998 : 123).

Gender diartikan sebagai konstruksi sosiokultural yang membedakan karaketeristik maskulin dan feminim. Gender berbeda dengan seks dan jenis kelamin laki-laki dan perempuan(Henrietta L, 1998). Walaupun jenis kelamin laki-laki sering berkaitan erat dengan gender maskulin dan jenis kelamin perempuan berhubungan dengan gender feminim, kaitan antara jenis kelamin dengan gender bukanlah merupakan korelasi absolut. Hal ini disebabkan yang dianggap maskulin dalam suatu kebudayaan dapat dianggap feminim dalam budaya lain. Dengan kata lain, kategori feminim dan maskulin itu bergantung pada konteks sosial budaya setempat. Gender membagi atribut dan pekerjaan menjadi maskulin dan feminim. Realitas sosial menunjukkan bahwa pembagian


(22)

peran berdasarkan gender melahirkan suatu keadaan yang tidak seimbang saat perempuan menjadi tersubordinasi oleh laki-laki.

Sedangkan yang dimaksud dengan Maskulin adalah sifat-sifat yang di percaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ciri-ciri yang ideal bagi pria. Sedangkan Feminin nerupakan ciri-ciri atau sifat-sifat yang dipercaya dan di bentuk oleh budaya sebagai ideal bagi wanita. Femininitas dan Maskulinitas ini berkaitan dengan stereotip peran gender. Stereotip peran gender ini di hasilkan dari pengkategorian antara perempuan dan laki-laki, yang merupakan suatu representasi sosial yang ada dalam struktur kognisi kita.

Konflik peran gender beroperasi pada empat tingkatan yang saling tumpang tindih dan kompleks, yakni kognisi, pengalaman-pengalaman afektif, perilaku-perilaku dan pengalaman-pengalaman ketidaksadaran. Konflik peran gender yang dialami pada tingkatan kognitif berasal dari cara-cara seseorang yang berfikir terbatas (restrictive) tentang peran-peran maskulin dan feminin. Sikap-sikap yang stereotip dan pandangan dunia tentang laki-laki dan perempuan hasil dari keterbatasan kognitif. Konflik peran gender yang dialami pada tingkatan afektif berasal dari gangguan emosional yang mendalam tentang peran-peran maskulin dan feminin. Konflik peran gender yang dialami pada tingkatan perilaku berasal dari pengalaman konflik yang nyata dengan maskulinitas dan femininitas sebagai mana kita berperilaku, bereaksi dan berinteraksi dengan diri kita sendiri dan orang lain. Konflik peran gender sebagai fenomena ketidaksadaran merepresentasikan konflik

Adanya perbedaan jenis kelamin antara pria dan wanita dalam hal pembagian kerja baik sector public dan sebagainya, namun pada dasarnya


(23)

berputar pada dua teori besar yaitu: teori nature dan teori nuture. Teori nature beranggapan bahwa perbedaan tersebut adalah sesuatu yang alam atau disebabkan oleh factor-faktor biologis, Teori nuture beranggapan bahwa perbedaan itu tercipta melalui proses belajar dari lingkungan itu sendiri.(Arif budiman.1985: 2).

Dalam wacana perempuan dan analisi tentang isu-isu hubungan antara pria dan perempuan dalam mengupayakan terwujudnya hasil-hasil pembangunan nasional, telah lahir kebutuhan untuk menggunakan istilah yaitu gender. Secara historis, konsep Gender pertama kali dibedah oleh sosiolog asal Inggiris yaitu Ann Oaklyey yaitu ia membedakan antara gender dan seks. perbedaan seks berarti perbedaan atas dasar ciri-ciri biologis yaitu yang menyangkut prokreasi (menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui). Perbedaan gender adalah perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan seks tetapi tidak selalu identik dengannya. Jadi kelihatan di sini gender lebih mengarahkepada simbol-simbol sosial yang diberikan pada suatu masyarakat tertentu.(Daulay, 2007:3)

Fakh (1996) mengemukakan konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya: Perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan sedang laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat yang dapat dipertukarkan. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta antara sifat perempuan dan laki-laki yang bixz berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari satu kelas ke kelas lain itulah yang dikenal sebagai konsep gender(Daulay, Ibid:6)


(24)

Kata gender berarti jenis kelamin, sedangkan gene mengandung arti plasam pembawa sifat di dalam keturunan. Saptari & Holzner (Abdullah, 1997) menjelaskan bahwa gender adalah keadaan individu yang lahir secara biologis sebagai laki-laki dan perempuan, memperoleh ciri-ciri sosial sebagai laki-laki dan perempuan melalui atribut-atribut maskulinitas dan femenintas yang sering didukung oleh nilai-nilai atau sistem simbol masyarakat yang bersangkutan.

Jadi gender adalah perbedaan antara laki-laki dan permpuan (maskulin dan feminin) yang di ciptakan oleh manusia, dapat ditukar dan diubah sesuai tempat, waktu, dan lingkungan sosial. Maka menurut Kementrian UPW (1994), gender adalah hubungan dalam bentuk pembagian kerja serta alokasi peranan, kedudukan dan tanggung jawab serta kewajiban dan pola hubungan yang berubah dari waktu ke waktu dan berbeda antar budaya. (Budiman, 1985:56)

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa peran gender adalah sekumpulan pola-pola tingkah laku atau sikap-sikap yang di tuntut lingkungan dan budaya tempat individu itu berada, untuk disampaikan secara berbeda oleh laki-laki dan perempuan sesuai jenis kelaminnya.

Persoalannya yang dihadapi perempuan pada saat ini terkendala dengan nilai social budaya yang tidak memberi akses dan kesempatan perempuan menduduk i posisi sentral di lembaga-lembaga tertinggi, kendati dari aspek kemampuan intelegensi dan kepemimpinan perempuan memiliki kualitas yang memadai, namun sering tidak dipromosikan pada jabatan yang lebih tinggi, karena dunia public sarat dengan pencerminan karakter yang tegas dan lugas, independent, rasional, dan mampu mengambil keputusan yang terlekat pada laki-laki. Oleh sebab itu, ranah politik didominasi oleh laki-laki-laki.


(25)

( Romany S 2007 :165 )

Perilaku politik pada umumnya di tentukan oleh faktor internal dari individu sendiri seperti idealisme, tingkat kecerdasan, kehendak hati dan oleh faktor eksternal (kondisi lingkungan) seperti kehidupan beragama, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya yang mengelilinginya. Sehingga perilaku politik sebagai fungsi dari kondisi sosial dan ekonomi serta kepentingan, maka perilaku politik sebagian diantaranya adalah produk dari perilaku sosial ekonomi dan kepentingan suatu masyarakat atau golongan dalam masyarakat tersebut. Sedangkan menurut Jack C. Plano dkk dalam Moh. Ridwan, perilaku politik adalah: “Pikiran dan tindakan manusia yang berkaitan dengan proses memerintah. Yang termasuk perilaku politik adalah tanggapan-tanggapan internal (pikiran, persepsi, sikap dan keyakinan) dan juga tindakan-tindakan yang nampak (pemungutan suara, gerak protes, kampanye dan demonstrasi).

Dalam negara berkembang masalah partisipasi Politik adalah masalah yang cukup rumit. Partisipasi menjadi tolak ukur penerimaan atas sistem politik yang dibangun oleh sebuah negara. Maju dan berkembangnya pembangunan dalam suatu negara sangat tergantung dari keterlibatan warga negaranya tanpa membedakan jenis kelamin, baik itu laki-laki maupun perempuan. Memahami partisipasi politik tentu sangatlah luas. Mengingat partisipasi politik itu sendiri merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Asumsi yang mendasari demokrasi (dan partisipasi) orang yang paling tahu tentang yang baik bagi dirinya adalah orang itu Karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat maka warga masyarakat berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik. .


(26)

Menurut Gabriel A. Almond, proses politik akan melahirkan bentuk-bentuk partisipasi politik yang dilakukan oleh individu dan kelompok yang kemudian akan disosialisasikan melalui transmisi kebudayaan, baik melalui pendidikan keluarga, kelompok-kelompok pergaulan, di lingkungan pekerjaan, interaksi melalui model media komunikasi massa, maupun interaksi politik secara langsung. Sehingga Almond kemudian memilahkan kategori budaya politik tersebut atas tiga pemilahan, yaitu budaya politik partisipan, budaya politik subyek dan budaya politik parokialik.

Dalam pendekatan perilaku, terdapat interaksi antara manusia satu dengan lainnya dan akan selalu terkait dengan pengetahuan, sikap dan nilai seseorang yang kemudian memunculkan orientasi sehingga timbul perilaku itu. Orientasi politik itulah yang kemudian membentuk tatanan dimana interaksi-interaksi yang muncul tersebut akhirnya mempengaruhi perilaku politik yang dilakukan seseorang.

Orientasi politik tersebut dapat dipengaruhi oleh orientasi individu dalam memandang obyek-obyek politik. Almond dan Verba mengajukan klasifikasi tipe-tipe orientasi politik, yaitu (Almond, 1990):

a. Orientasi Kognitif, yakni pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya.

b. Orientasi Afektif, yakni perasaan terhadap sistem politik, peranan, keberadaan aktor dan penampilannya.

c. Orientasi Evaluatif, yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.


(27)

Sementara dalam menjelaskan orientasi seseorang terhadap obyek-obyek politik, pada bagian lain Almond mengklasifikasikan sebagai berikut:

1) Orientasi Positif, yaitu orientasi yang ditunjukkan dengan tingkat pengetahuan dan frekuensi kesadaran yang tinggi, perasaan dan evaluasi positif terhadap obyek politik

2) Orientasi Negatif, yaitu orientasi yang ditunjukkan dengan tingkat pengetahuan dan frekuensi kesadaran yang rendah, evaluasi dan perasaan negatif yang tinggi terhadap obyek politik.

3) Orientasi Netral, yaitu orientasi yang ditunjukkan oleh frekuensi ketidakpedulian yang tinggi atau memiliki tingkat orientasi yang sangat terbatas bahkan tidak memiliki orientasi sama sekali terhadap obyek-obyek politik.

Orientasi politik sebenarnya merupakan suatu cara pandang dari suatu golongan masyarakat dalam suatu struktur masyarakat. Timbulnya orientasi itu dilatarbelakangi oleh nilai-nilai yang ada dalam masyarakat maupun dari luar masyarakat yang kemudi an membentuk sikap dan menjadi pola mereka untuk memandang suatu obyek politik secara detail (Apter, 1985)

Ketika perempuan menjadi politisi, ia tidak berhenti menjadi perempuan. Keperempuanan ini yang harus berada di tempat pertama, karena ia mengandung kekuatan intelektual dan potensi-potensi kreatif yang berbeda. Namun masih ada keraguan dalam masyarakat tertentu apakah perempuan siap dan mampu menjalankan fungsi dan peran dikancah politik karena kalangan tertentu beranggapan bahwa dunia politik merupakan milik laki-laki. Sesungguhnya keragu-raguan itu sangat tidak beralasan sebagaiman dijelaskan oleh Saparinah


(28)

sadli bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai potensi kecerdasan yang sama. Hal telah dibuktikan dalam sejumlah studi psikologi tentang taraf intelegensi perempuan dan laki-laki. Dalam realitas sehari-hari perempuan Indonesia sejak masih didunia pendidikan maupun dalam menerapkan keahliannya tidak kalah dengan laki-laki bahkan kerap jauh lebih baik. ( Kompas, 18 november 2002 )

Di banyak negara, tradisi tetap berlaku untuk menekan, bahkan sering mendikte, peranan utama perempuan sebagai ibu dan istri. Sistem nilai tradisional, kuat dan patriarki menyokong peranan-peranan yang terpisahkan secara seksual, dan apa yang disebut sebagai “nilai-nilai kultural tradisional” menghalang-halangi kemajuan, perkembangan dan partisipasi perempuan dalam setiap proses politik. Masyarakat di seluruh dunia didominasi oleh suatu ideologi tentang “kedudukan perempuan”. Menurut persepsi ini, perempuan tidak harus memainkan peran “ibu yang bekerja”, yang secara umum mendapat upah rendah dan apolitis.

Ani Sutjipto ( 2000 : 299 ) kehadiran perempuan di parlemen lebih terkait dengan profesi dan karier suami, rekutmen dalam partai lebih karena keinginan untuk mendukung profesi dan kedudukan suami mereka. Tidaklah heran kalau mereka kurang memiliki kemandirian atau rasa percaya diri dan komitmen yang kuat dalam menyuarakan aspirasi perempuan.

Kurangnya rasa percaya diri adalah salah satu sebab utama atas kurang terwakilinya perempuan dalam lembaga-lembaga politik formal, termasuk parlemen, pemerintahan, dan partai-partai politik. Dengan adanya kepercayaan diri dan tekad yang bulat, perempuan dapat meraih derajat tertinggi dalam proses politik. Untuk itulah mengapa perempuan harus percaya pada diri mereka sendiri dan harus membuang jauh persepsi yang berkembang luas bahwa laki-laki harus


(29)

menjadi pemimpin mereka. Perempuan setara dan mempunyai potensi yang sama seperti laki-laki tetapi hanya bagi mereka yang dapat memperjuangkan hak-haknya. Perempuan adalah juru kampanye, organisatoris dan mobilisator dukungan yang sangat baik, tetapi rasa khawatir kadang-kadang menghalangi mereka untuk ikut berkompetisi dalam pemilihan dan berpartisipasi dalam kehidupan politik.

6.Metode Penelitian

Menurut Hadari Nawawi (Nawawi, 1987: 63) metode penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Penelitian deskriptif melakukan analisis dan menyajikan data-data dan fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat dipahami dan disimpulkan.

Tujuan penelitian deskriptif analisis adalah untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Di samping itu penelitian ini juga menggunakan teori-teori, data-data dan konsep-konsep sebagai kerangka acuan untuk menjelaskan hasil penelitian, menganalisis dan sekaligus menjawab persoalan yang diteliti. Oleh karena itu jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif.


(30)

6.1. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan maka penulis melakukan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

a. Data primer yang didasarkan pada peninjauan langsung pada objek yang di teliti untuk memperoleh data-data yang di butuhkan. Studi lapangan yang di lakukan dengan datang langsung ke lokasi penelitian dengan wawancara langsung terhadap informan dan melakukan observasi dengan menggunakan pedoman wawancara.

b. Data sekunder yaitu dengan mencari sumber data dan informasi melalui buku-buku, jurnal, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan penelitian ini

Adapun teknik yang digunakan dalam pencarian data-data di lapangan adalah:

6.1.1.Teknik Observasi

Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Pengamatan dan pencatatan yang dilakukan terhadap objek di tempat terjadi atau berlangsungnya peristiwa, sehingga observer berada bersama objek yang diselidiki, disebut observasi langsung.

Sedangkan observasi tidak langsung adalah pengamatan yang dilakukan tidak pada saat berlangsungnya peristiwa yang akan diselidiki misalnya peristiwa tersebut diamati melalui film, rangkaian slide atau rangkaian photo. (Rachman,1999: 77). Pengamatan yang peneliti laksanakan adalah pengamatan


(31)

secara langsung terhadap lokasi terjadinya peristiwa yakni dengan mendatangi kantor partai politik dan ke rumah atau ke kantor para calon tetap anggota Legislatif 2009 yang terpilih atau yang tidak terpilih.

6.1.2 Teknik Wawancara

Metode wawancara merupakan sebuah metode yang sangat efektif dalam penelitian kualitatif. Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara ( interview Quide ) tujuannya sebagai pengarah agar tidak meluasnya data yang diperoleh. Dengan adanya variasi-variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi tersebut bertujuan untuk memperoleh keterangan rinci dan mendalam mengenai pandangan informan dan memperoleh informasi mengenai suatu peristiwa, situasi, dan keadaan tertentu.

Dalam pelaksanaan wawancara ini, peneliti menemui informan langsung dan subyek penelitian sesuai dengan waktu dan lokasi yang telah disepakati untuk memperoleh data yang sesuai dengan pokok permasalahan yang di ajukan. Wawancara ditujukan pada calon legislative perempuan pemilu 2009 namun hanya 3 orang yang dapat diwawancarai serta 1 orang pemenang yang terpilih menjadi anggota legislatif DPRD Sumut, dan Pengurus Partai Politik yaitu PDI Perjuangan, Golongan Karya, PKS, dan anggota KPU Sumut, Jumlah informan yang disesuaikan dengan kebutuhan, artinya bila permasalahan telah terjawab maka penambahan informan dihentikan.


(32)

7. Teknik Analisa Data

Data yang telah di kumpulkan kemudian disusun, di analisa dan disajikan untuk memperoleh gambaran sistematis tentang kondisi dan situasi yang ada. Data-data tersebut diolah dan di eksplorasi secara mendalam yang selanjutnya menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan masalah di teliti.

BAB II


(33)

2.1.Lokasi dan Jumlah Pemilih

Secara umum penyelenggaraaan pemilu tahun 2009 di Kota Medan tergolong sukses, aman, tertib, dan lancar, artinya pelaksanaan Pemilu telah sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku. Reformasi yang bergulir sejak tahun 1998 sampai tahun 2004 telah memberikan dampak yang berarti terhadap perubahan pola pikir dan sikap sebagian besar warga Kota Medan dalam partisipasi politiknya. Sikap warga masyarakat dalam berpolitik ada yang apatis, yaitu tidak berminat, sinis, bersikap curiga, alienasi yaitu merasa terasing dari kehidupan politik dan pemerintahan masyarakat, dan ada yang anomi yaitu perasaan kehilangan nilai dan arah hidup, sehingga tidak memiliki motivasi untuk mengambil tindakan-tindakan yang berarti dalam hidup ini, seperti tidak ada niat dalam pemilihan sehingga terkadang tidak peran aktif dalam pemilihan atau sama sekali tidak tahu siapa yang akan dipilih.

Pemilu tahun 2009 bagi warga Kota Medan secara umum dianggap sama saja dengan tahun-tahun sebelumnya, yang terpenting mereka datang ke TPS pada saat pemungutan suara dilakukan. Akan tetapi, dalam pemilu tahun 2009 ada perbedaan yang signifikan daripada pemilu sebelumnya yakni masyarakat memilih secara langsung calon legislatif dengan suara terbanyak yang akan duduk di lembaga legislatif.

Pemilu tahun 2009 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Utara memberikan tahapan-tahapan ( Peraturan ) pemilihan umum yang terdiri dari 9 tahap sebagai berikut :

1. Pendaftaran Pemilih


(34)

3. Penetapan Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan

4. Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. 5. Kampanye

6. Pemungutan Suara dan Penghitungan Suara. 7. Penetapan Hasil Pemilu.

8. Penetapan Perolehan Jumlah Kursi dan Calon Terpilih 9. Pengucapan Sumpah/Janji

(Sumber : KPU Kota Medan,)

Dalam pemilu tahun 2009 tidak luput dari dinamika yang terjadi. Hal ini terlihat dari aktivitas-aktivitas politik dalam pemilu seperti kesertaan warga dalam kampanye partai politik maupun pada saat pelaksanaan pemilu. Terjadinya perbedaan-perbedaan pilihan politik juga merupakan suatu bentuk konsekuensi logis dari sistem politik dan demokrasi yang semakin terbuka.

Sehingga dapat diketahui dari jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya ( golput ) pada Pemilu legislative berkisar 53% dari jumlah Daftar Pemilih Tetap ( DPT ) Kota medan berkisar 1.849.602 pemilih. Hal ini diketahui dari masyarakat yang menggunakan hak pilihnya pada pemilu legislative 9 april 2009 dimedan berkisar 870.976 orang ( 47 %) saja yang ikut memilih.

Perbedaan-perbedaan pilihan tersebut menjadi sangat wajar sebab masing-masing individu memiliki pemahaman dan kesadaran yang berbeda. Apalagi tingkat intelektualitas, latar belakang keluarga, lingkungan tempat tinggal turut menjadi faktor pendorong atas perbedaan-perbedaan tersebut. Namun, secara umum perbedaan-perbedaan itu tidaklah mengakibatkan pada suatu kondisi yang mengarah pada sifat destruktif. Artinya warga Kota Medan telah mulai memahami


(35)

demokrasi dengan menghargai perbedaan-perbedaan pilihan politik masing-masing individu

Lain halnya dengan pemilu yang berada di daerah-daerah lain di Sumatera Utara suasana pertikaian dan konflik menjadi suatu tontonan yang sebenarnya tidak pantas terjadi. Konflik antar pendukung, pembakaran faslitas-faslitas pemerintahan, dan demontstrasi massa yang anarkis adalah suatu bentuk ketidakpuasan atas penyelenggaraan pemilu.Tetapi di Kota Medan meskipun ada gejolak atau riak-riak kecil yang muncul tidaklah membuat hasil dari pelaksanaan pemilu berubah atau masyarakat menjadi risau. Terbukti sampai dengan saat ini hasil pemilihan umum 2009 diakui secara legitimate oleh semua pihak dan semua pihak menerima dengan lapang dada.

2.1.1.Kependudukan

Garis-garis Besar Haluan Negara menyatakan bahwa jumlah penduduk yang besar dan berkualitas akan menjadi modal dasar yang efektif bagi pembangunan nasional. Namun dengan pertumbuhan yang pesat sulit untuk meningkatkan mutu kehidupan dan kesejahteraan secara layak dan merata. Hal ini berarti bahwa penduduk yang besar dengan kualitas yang tinggi tidak akan mudah untuk dicapai.

Program kependudukan di kota Medan seperti halnya di daerah Indonesia lainnya meliputi: pengendalian kelahiran, penurunan tingkat kematian bayi dan anak, perpanjangan usia harapan hidup, penyebaran penduduk yang seimbang serta


(36)

pengembangan potensi penduduk sebagai modal pembangunan yang terus ditingkatkan.

Komponen kependudukan umumnya menggambarkan berbagai dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun kultural. Menurunnya tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas), meningkatnya arus perpindahan antar daerah (migrasi) dan proses urbanisasi, termasuk arus ulang alik, akan mempengaruhi kebijakan kependudukan yang diterapkan.

Tabel. 2.1

Jumlah, Laju Pertumbuhan Dan Kepadatan Penduduk Di Kota Medan Tahun 2001 – 2007

T a h u n

Jumlah Penduduk

Laju Pertumbuhan

Penduduk

Luas Wilayah (KM²)

Kepadatan Penduduk (Jiwa/KM²)

[1] [2] [3] [4] [5]

2001 1.926.052 1,17 265,10 7.267

2002 1.963.086 1,94 265,10 7.408

2003 1.993.060 1,51 265,10 7.520

2004 2.006.014 0,63 265,10 7.567

2005 2.036.018 1,50 265,10 7.681

2006 2.067.288 1,53 265,10 7.798


(37)

INDIKATOR SATUAN

TAHUN

2006 2007 *)

[1] [2] [3] [4]

Jumlah Penduduk Jiwa 2.067.288 2.083.156

Laju Pertumbuhan Penduduk

Persen (%) 1,53 0,77

Luas Wilayah KM² 265, 10 265,10

Kepadatan Penduduk Jiwa 7.798 7.858

Sumber BPS Kota Medan

Keterangan : * Angka Sementara

Tabel 2.2

Persentase Jumlah Penduduk Kota Medan Menurut Kelompok Umur Tahun 2007


(38)

GOLONGAN UMUR

LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH

JIWA

PERSEN (%)

JIWA

PERSEN (%)

JIWA

PERSEN (%)

[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7]

0 - 4 89.206 8,62 92.853 8,86 182.059 8,74

5 - 9 96.559 9,33 91.885 8,76 188.444 9,05

10 - 14 98.519 9,52 100.590 9,59 199.109 9,56

16 - 19 111.263 10,75 105.426 10,06 216.689 10,40

20 - 24 116.164 11,23 121.385 11,58 237.549 11,40

25 - 29 99.499 9,62 102.041 9,73 201.540 9,67

30 - 34 83.325 8,05 75.926 7,24 159.251 7,64

35 - 39 75.482 7,30 83.180 7,93 158.662 7,62

40 - 44 70.091 6,77 75.926 7,24 146.017 7,01

45 - 49 57.837 5,59 53.680 5,12 111.517 5,35

50 - 54 47.054 4,55 47.393 4,52 94.447 4,53

55 - 59 30.879 2,98 31.434 3,00 62.313 2,99

60 - 64 26.468 2,56 22.246 2,12 48.714 2,34

65 + 32.350 3,13 44.495 4,24 76.845 3,69

Jumlah 1.034.696 100,00 1.048.460 100,00 2.083.156 100

Sumber : BPS Kota Medan

Keterangan : Angka sementara penduduk pertengahan tahun 2007

Berdasarkan tabel - tabel diatas diketahui bahwa ada kecenderungan peningkatan jumlah penduduk Kota Medan dari 2.067.288 jiwa pada tahun 2006 menjadi 2.083.156 jiwa pada tahun 2007. Laju pertumbuhan berkisar 1,53% pada


(39)

tahun 2006 dan 0,77% pada tahun 2007. Walaupun meningkat namun tidak terlalu mencolok, bahkan laju pertumbuhan penduduk cenderung lebih rendah tahun 2007 dibandingkan tahun 2006. Faktor alami yang diperkirakan mempengaruhi peningkatan laju pertambahan penduduk adalah seperti tingkat kelahiran, kematian, dan arus urbanisasi. Upaya-upaya pengendalian kelahiran melalui program Keluarga Berencana (KB) perlu terus dipertahankan untuk menekan angka kelahiran.

Seiring bertambahnya jumlah penduduk maka pada tahun 2006 menjadi 7.858 jiwa/KM² pada tahun 2007. Tingkat kepadatan tersebut relatif tinggi, sehingga termasuk salah satu permasalahan yang harus diantisipasi. Apalagi dengan luas lahan yang relatif terbatas, sehingga berpeluang terjadi ketidak seimbangan antara daya dukung dan daya tampung lingkungan yang ada.

Faktor lain yang juga secara berarti mempengaruhi peningkatan laju pertumbuhan penduduk adalah meningkatnya arus urbanisasi dan commuters serta kaum pencari kerja ke Kota Medan. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, faktor utama yang menyebabkan komutasi ke Kota Medan adalah adanya pandangan bahwa : (1) bekerja di kota lebih bergengsi (2) di kota lebih gampang mencari pekerjaan, (3) Tidak ada lagi yang dapat diolah (dikerjakan) di daerah asalnya, dan (4) upaya mencari nafkah yang lebih baik. Besarnya dorongan untuk menjadi penglaju tentunya berpengaruh terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan pelayanan umum yang harus disediakan secara keseluruhan.

Faktor lain yang secara umum mempengaruhi semakin menurunnya angka pertumbuhan penduduk pada periode 2006 - 2007 adalah peningkatan derajat


(40)

pendidikan masyarakat Kota Medan. Pada umumnya peningkatan derajat pendidikan masyarakat secara langsung meningkatkan rata-rata pendidikan generasi muda, yang merupakan calon orang tua yang memasuki kehidupan rumah tangga. Melalui tingkat pendidikan yang semakin memadai, apresiasi, dan pandangan masyarakat terkait dengan upaya peningkatan kesejahteraan semakin meningkat. Adanya anggapan mengenai jumlah anggota keluarga yang tidak besar akan memudahkan usaha untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga, karena beban ekonomi yang harus dipikul menjadi lebih ringan, mendorong Pasangan Usia Subur (PUS) cenderung mengikuti konsep Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS). Bahkan sebagian PUS baru memilih untuk menunda kelahiran dengan berbagai alasan ekonomi (bekerja) ataupun alasan sosial dan psikologis lainnya.

a. Komposisi penduduk

Kota Medan berpengaruh terhadap kebijakan pembangunan kota, baik sebagai subjek maupun objek pembangunan. Keterkaitan komposisi penduduk dengan upaya-upaya pembangunan kota yang dilaksanakan, didasarkan kepada kebutuhan pelayanan yang harus disediakan kepada masing-masing kelompok usia penduduk, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan bahkan pelayanan kesejahteraan sosial lainnya.

Proporsi anak-anak berusia di bawah lima tahun (balita) dalam kelompok penduduk Kota Medan sekitar 9% dari jumlah penduduk. Relatif besarnya proporsi dan jumlah penduduk anak-anak balita ini berimplikasi pada kebutuhan


(41)

prasarana dan sarana kesehatan usia balita, dan sarana pendidikan usia dini baik secara kualitas maupun kuantitas.

Pada kelompok usia anak-anak dan remaja, kebijakan yang ditempuh diarahkan pada peningkatan status gizi anak, pengendalian tingkat kenakalan anak dan remaja, peningkatan kualitas pendidikan dan lain-lain. Upaya ini diharapkan dapat terus dilakukan untutk mempersiapkan masa depan anak-anak dan remaja sehingga mendukung terbentuknya sumber daya manusia yang semakin berkualitas.

Berdasarkan gambar diatas diketahui bahwa komposisi penduduk terbesar berada pada kelompok usia 15-64 tahun sebagai kelompok usia produktif atau kelompok usia aktif secara ekonomis. Diluar kelompok usia produktif terdapat kelompok usia tidak produktif yang cenderung akan ditanggung oleh kelompok


(42)

usia produktif, yang biasa disebut dengan angka beban tanggungan (ABT). Untuk Kota Medan angka beban tanggungan berkisar 45, atau sekitar setiap 45 orang ditanggung oleh 100 orang produktif.

Jumlah penduduk Kota Medan yang sampai saat ini diperkirakan berjumlah 2,083 juta lebih, dan diproyeksikan mencapai 2,167 juta penduduk pada tahun 2010, ditambah beban arus penglaju juga menjadi beban pembangunan yang harus ditangani secara terpadu dan komprehensif.Disamping itu, pengendalian kuantitas, peningkatan kualitas dan pengarahan mobilitas penduduk yang sesuai dengan pertumbuhanekonomi wilayah, sangat diperlukan pada masa datang.

Beberapa masalah kependudukan dapat diringkas sebagai berikut :

• Kecenderungan adanya penurunan flukturasi laju pertumbuhan penduduk. • Kecenderungan peningkatan arus ulang alik ke Kota Medan yang

berimplikasi kepada pemenuhan fasilitas sosial yang dibutuhkan.

• Masalah kemiskinan, tenaga kerja dan permasalahan sosial lain yang dipengaruhi oleh iklim perekonomian nasional dan global.

• Penyediaan pelayanan pendidikan, kesehatan dan pelayanan dasar lainnya termasuk sarana dan prasarana permukiman.

2.2.Penyelenggara Pemilu

Pemilu legislative 2009 membuat para penyelenggara Pemilu harus selalu bersikap adil, jujur dan Netral dalam menyikapi masalah yang terjadi pada Pemilu, penyelenggara Pemilu juga harus bisa mengawasi perjalanan kertas suara


(43)

kedaerah-daerah tujuan pemilihan hingga sampai kertas suara yang berisi nama-nama anggota calon legislative dan partai politik tersebut dipilih oleh measyarakat sesuai dengan hati nuraninya tanpa ada kecurangan.

Proses pemilu pada tanggal 9 april 2009 membuat penyelenggara Pemilu atau KPU Sumut menyediakan 21 PPK disetiap kecamatan, 151 PPS ( Pemantau Pemunguan Suara ) dan 4593 Tempat Pemungutan Suara ( TPS ) yang didatangi masyarakat untuk memilih salah satu calon legislative dan Partai politik yang dianggap betul-betul bisa membangun Kota medan.

2.3.Sejarah Kota Medan

Pada zaman dahulu Kota Medan ini dikenal dengan nama Tanah Deli dan keadaan tanahnya berawa-rawa kurang lebih seluas 4000 Ha. Beberapa sungai melintasi Kota Medan ini dan semuanya bermuara ke Selat Malaka. Sungai-sungai itu adalah Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan dan Sei Sulang Saling/Sei Kera.

Pada mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru Patimpus lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan orang selalu merangkaikan Medan dengan Deli (Medan–Deli). Setelah zaman kemerdekaan lama kelamaan istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap sehingga akhirnya kurang popular.

Dahulu orang menamakan Tanah Deli mulai dari Sungai Ular (Deli Serdang) sampai ke Sungai Wampu di Langkat sedangkan Kesultanan Deli yang berkuasa pada waktu itu wilayah kekuasaannya tidak mencakup daerah diantara kedua sungai tersebut.Secara keseluruhan jenis tanah di wilayah Deli terdiri dari


(44)

tanah liat, tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat dan tanah merah. Hal ini merupakan penelitian dari Van Hissink tahun 1900 yang dilanjutkan oleh penelitian Vriens tahun 1910 bahwa disamping jenis tanah seperti tadi ada lagi ditemui jenis tanah liat yang spesifik. Tanah liat inilah pada waktu penjajahan Belanda ditempat yang bernama Bakaran Batu (sekarang Medan Tenggara atau Menteng) orang membakar batu bata yang berkwalitas tinggi dan salah satu pabrik batu bata pada zaman itu adalah Deli Klei. Mengenai curah hujan di Tanah Deli digolongkan dua macam yakni : Maksima Utama dan Maksima Tambahan. Maksima Utama terjadi pada bulan-bulan Oktober s/d bulan Desember sedang Maksima Tambahan antara bulan Januari s/d September. Secara rinci curah hujan di Medan rata-rata 2000 pertahun dengan intensitas rata-rata 4,4 mm/jam.

Menurut Volker pada tahun 1860 Medan masih merupakan hutan rimba dan disana sini terutama dimuara-muara sungai diselingi pemukiman-pemukiman penduduk yang berasal dari Karo dan semenanjung Malaya. Pada tahun 1863 orang-orang Belanda mulai membuka kebun Tembakau di Deli yang sempat menjadi primadona Tanah Deli. Sejak itu perekonomian terus berkembang sehingga Medan menjadi Kota pusat pemerintahan dan perekonomian di Sumatera Utara.

Sekitar tahun 1612 setelah dua dasa warsa berdiri Kampung Medan, Sultan Iskandar Muda yang berkuasa di Aceh mengirim Panglimanya bernama Gocah Pahlawan yang bergelar Laksamana Kuda Bintan untuk menjadi pemimpin yang mewakili kerajaan Aceh di Tanah Deli. Gocah Pahlawan membuka negeri baru di Sungai Lalang, Percut. Selaku Wali dan Wakil Sultan Aceh serta dengan


(45)

memanfaatkan kebesaran imperium Aceh, Gocah Pahlawan berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga meliputi Kecamatan Percut Sei Tuan dan Kecamatan Medan Deli sekarang. Dia juga mendirikan kampung-kampung Gunung Klarus, Sampali, Kota Bangun, Pulau Brayan, Kota Jawa, Kota Rengas Percut dan Sigara-gara.

Dengan tampilnya Gocah pahlawan mulailah berkembang Kerajaan Deli dan tahun 1632 Gocah Pahlawan kawin dengan putri Datuk Sunggal. Setelah terjadi perkawinan ini raja-raja di Kampung Medan menyerah pada Gocah Pahlawan.Gocah Pahlawan wafat pada tahun 1653 dan digantikan oleh puteranya Tuangku Panglima Perunggit, yang kemudian memproklamirkan kemerdekaan Kesultanan Deli dari Kesultanan Aceh pada tahun 1669, dengan ibukotanya di Labuhan, kira-kira 20 km dari Medan.

Jhon Anderson seorang Inggris melakukan kunjungan ke Kampung Medan tahun 1823 dan mencatat dalam bukunya Mission to the East Coast of Sumatera bahwa penduduk Kampung Medan pada waktu itu masih berjumlah 200 orang tapi dia hanya melihat penduduk yang berdiam dipertemuan antara dua sungai tersebut. Anderson menyebutkan dalam bukunya “Mission to the East Coast of Sumatera“ (terbitan Edinburg 1826) bahwa sepanjang sungai Deli hingga ke dinding tembok mesjid Kampung Medan di bangun dengan batu-batu granit berbentuk bujur sangkar. Batu-batu ini diambil dari sebuah Candi Hindu Kuno di Jawa.

Pesatnya perkembangan Kampung "Medan Putri", juga tidak terlepas dari perkebunan tembakau yang sangat terkenal dengan tembakau Delinya, yang


(46)

merupakan tembakau terbaik untuk pembungkus cerutu. Pada tahun 1863, Sultan Deli memberikan kepada Nienhuys Van der Falk dan Elliot dari Firma Van Keeuwen en Mainz & Co, tanah seluas 4.000 bahu (1 bahu = 0,74 ha) secara erfpacht 20 tahun di Tanjung Sepassi, dekat Labuhan. Contoh tembakau deli. Maret 1864, contoh hasil panen dikirim ke Rotterdam di Belanda, untuk diuji kualitasnya. Ternyata daun tembakau tersebut sangat baik dan berkualitas tinggi untuk pembungkus cerutu.

BAB III

PROSES PEMILU LEGISLATIF 2009 DAN PARTISIPASI PEREMPUAN DI DAERAH PEMILIHAN SUMATERA UTARA I

3.1.Peserta Pemilu dan Pencalonan

Jika pada pemilu-pemilu sebelumnya para pemilih tidak mengetahui calon anggota legislatif yang akan duduk di lembaga legislatif maka di pemilu 2009


(47)

setiap pemilih dapat memilih dengan bebas partai sekaligus calon yang dianggap sesuai bagi harapan mereka.

Berdasarkan UU Partai Politik No.2 Tahun 2008 bahwa salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap partai politik yang terkait dengan pencalonan anggota legislatif adalah setiap partai harus menyertakan calon perempuan sebanyak 30% dari keseluruhan calon yang diajukan.

Kebijakan yang diatur dalam Undang-undang tersebut merupakan suatu bentuk kemajuan dalam sistem politik dan demokrasi di Indonesia. Perempuan kini diberikan kesempatan lebih untuk turut terlibat dalam pencalonan sebagai anggota legislatif.

Gambaran data yang jelas mengenai keikutsertaan perempuan dalam proses pencalonan sebagai anggota legislatif adalah sebagai berikut :

Tabel.3.1

Calon anggota Legislatif Perempuan

Berdasarkan partai politik Daerah Pemilihan Sumatera Utara I (Pemilu 2009 Kota Medan)

No Partai Politik Perempuan Persen Laki-Laki Persen Jumlah

1 HANURA 7 49% 8 51% 15

2 Partai Karya

Peduli Bangsa

1 30% 3 70% 4

3 Partai Pengusaha

Dan Pekerja


(48)

4 Partai Peduli Rakyat Nasional

7 31,8% 15 68,2% 22

5 Partai Gerakan

Indonesia Raya

4 40% 6 60% 10

6 PARTAI

BARISAN NASIONAL

2 18,2% 9 81,8% 11

7 Partai Keadilan

Dan Persatuan Indonesia

3 23% 10 77% 13

8 Partai Keadilan

Sejahtera

10 55,6% 8 44,4% 18

9 Partai Amanat

Nasional

3 21,5% 11 78,5% 14

10 Partai Perjuangan

Indonesia Baru

4 28,6% 10 71,4% 14

11 Partai Kedaulatan 3 60% 2 40% 5

12 Partai Persatuan

Daerah

1 25% 3 75% 4

13 Partai

Kebangkitan Bangsa

2 40% 3 60% 5

14 Partai Pemuda

Indonesia

1 30% 2 70% 3

15 Partai Nasional

Indonesia Marhaenisme

1 30% 2 70% 3

16 Partai Demokrasi

Pembaruan

3 37,5% 5 62,5% 8

17 Partai Karya

Perjuangan

3 50% 3 50% 6

18 Partai Matahari

Bangsa

2 40% 3 60% 5

19 Partai Penegak

Demokrasi Indonesia

- 0% 3 100% 4

20 Partai Demokrasi

Kebangsaan

2 22% 7 78% 9

21 Partai Republika

Nusantara

2 25% 6 75% 8

22 Partai Pelopor 2 50% 2 50% 4


(49)

Karya

24 Partai Persatuan

Pembangunan

6 27% 12 73% 22

25 Partai Damai

Sejahtera

5 26% 14 74% 19

26 Partai Nasional

Benteng Kerakyatan Indonesia

3 33% 6 67% 9

27 Partai Bulan

Bintang

5 26% 14 74% 19

28 Partai Demokrasi

Indonesia Perjuangan

4 23,5% 13 76,5% 17

29 Partai Bintang

Reformasi

5 36% 9 64% 14

30 Partai Patriot 4 44,5% 5 55,5% 9

31 Partai Demokrat 8 35% 14 65% 24

32 Partai Kasih

Demokrasi Indonesia

4 35% 8 65% 12

33 Partai Indonesia

Sejahtera

3 43% 4 57% 7

34 Partai

Kebangkitan Nasional Ulama

2 50% 2 50% 4

41 Partai Merdeka 2 25% 6 75% 8

42 Partai Persatuan

Nahdlatul Ummah Indonesia

0 0% 2 100% 2

43 Partai Sarikat

Indonesia

1 30% 2 70% 3

44 Partai Buruh 2 40% 3 60% 5

Sumber: Komisi Pemilihan Umum Sumatera Utara Tahun 2009

Dari tabel 3.1 dapat dilihat bahwa dari keseluruhan jumlah calon legislatif perempuan sebanyak 38 orang. Artinya tingkat partisipasi perempuan secara kuota aturan belum mencapai 30%. Bahkan ada dua partai politik yag tidak


(50)

mencalonkan perempuan di wilayah Sumut I yaitu Partai Penegak Demokrasi Indonesia dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia

Berikut ini adalah tabel anggota legislatif perempuan hasil pemilu tahun 2009 Untuk Daerah Pemilihan Sumut I :

Tabel 3.2

Daftar Terpilih

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Pemilihan Umum Tahun 2009

Provinsi Sumatera Utara Daerah Pemilihan Sumatera Utara I

No Partai Politik No.Urut DCT (Daftar Calon Tetap)

Nama Calon Terpilih

Suara Sah Peringkat Suara Sah 1 Partai Keadilan

Sejahtera

1 Sigit Pramono Asri 49.059 1

2 Partai Keadilan Sejahtera

5 Taufik Hidayat 6.762 2

3 Partai Keadilan Sejahtera

3 Siti Aminah 6.300 3

4 Partai Keadilan Sejahtera

12 Muhammad Nasir 3.740 1

5 Partai Amanat Nasional

1 Ir.H.Kamaluddin

Harahap, MSI

8.649 1

6 Partai Golongan Karya

1 H.M.Ali Umri, SH,

M.KN

10.043 1

7 Partai Damai Sejahtera

1 Tonnies Sianturi, SP

6.931 1

8 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

4 Ir.Tagor

Pandapotan Simangunsong

9.762 1

9 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

7 Brilian Moktar, SE 8.772 2

10 Partai Demokrat 1 H.Arifin

Nainggolan, SH., Msi


(51)

11 Partai Demokrat 6 Hj.Meilizar Latif, SE.,MM

15.258 2

12 Partai Demokrat 4 M.Yusuf Siregar 12.702 3

13 Partai Demorat 3 Nurhasanah, S.Sos 10.978 4

14 Partai Demokrat 2 Drs.Tunggul

Siagian

10.029 5

15 Partai Demokrat 8 Enda Mora Lubis, SH

7.012 6

16 Partai Demokrat 5 Robert

Nainggolan, SE.Ak

6.376 7

17 Partai Hati Nurani Rakyat

1 Musdalifah, BSC 3.148 1

18 Partai Peduli Rakyat Nasional

4 Ir.Washington

Pane, MSc

4.898 1

19 Partai Gerakan Indonesia Raya

1 Iman B Nasution,

SE

3.889 1

20 Partai Perjuangan Indonesia Baru

1 Sonny Firdaus, SH 10.592 1

21 Partai Persatuan Pembangunan

1 Drs.H.Rizal Sirait 6.875 1

Sumber: Komisi Pemilihan Umum Sumatera Utara Tahun 2009

Berikut ini adalah tabel anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara Perempuan hasil pemilu tahun 2009

Tabel 3.3

Daftar Nama Keterwakilan Perempuan Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara Pemilihan Umum 2009

No Nama Partai Politik No.Urut DCT Daerah

Pemilihan 1 Siti Aminah Amd, SpdI Partai Keadilan

Sejahtera


(52)

2 Hj.Meilizar Latif, SE.,MM Partai Demokrat 6 Sumut 1

3 Nurhasanah, S.Sos Partai Demokrat 3 Sumut 1

4 Hj.Syafrida Fitrie, SP, M.SP Partai Golongan Karya

1 Sumut 2

5 Mulyani, SH Partai Gerakan

Indonesia Raya

2 Sumut 2

6 Arlene Manurung Partai Damai Sejahtera

1 Sumut 2

7 Hj.Evi Diana Partai Golongan

Karya

2 Sumut 3

8 Helmiati Partai Golongan

Karya

4 Sumut 4

9 Hj.Ida Budiningsih, SH Partai Demokrat 3 Sumut 5

10 Nur Azizah Tambunan, SS Partai Keadilan Sejahtera

1 Sumut 5

11 Tiaisah Ritonga Partai Demokrat 2 Sumut 6

12 Hj.Rahmianna Delima Pulungan

Partai Peduli Rakyat Nasional

4 Sumut 6

13 Rooslynda Marpaung Partai Peduli Rakyat Nasional

1 Sumut 8

14 Megalia Agustina Partai Demokrat 3 Sumut 9

15 Rinawati Sianturi Partai Peduli Rakyat Nasional

1 Sumut 9

16 Ristiwati Partai Demokrat 3 Sumut 11


(53)

3.1.1. Kendala Pada Tahap Penetapan Dan Pendaftaran Calon Legislatif 2009

Tahapan pelakanaan pemilu legislatif 2009 seperti pendafataran dan penetapan calon legislatif pada pemilu legislatif 2009 partai politik peserta pilkada. Di dalam partai

Golkar proses ini dilakukan dengan mengadakan rapat mulai dari pengurus keluarahan, kecamatan hinga pengurus daerah untuk menetapkan siapa yang bakal dimajukan sebagai calon legislatif 2009. Pertimbangan untuk menjadi calon legislatif 2009 adalah loytalitas dari kader partai terhadap partai Golkar. Dalam hal ini Partai Golkar memperhatikan aspirasi dari masyarakat untuk menjadi calon legislatif dalam pemilu 2009

Di PDI P proses rekruitmen calon kepala daerah dilakukan dengan cara setiap anak cabang maupun ranting mengirimkan masing-masing calon legislatifnya untuk kemudian dikirimkan ke pusat untuk diambil keputusan oleh pusat, mana yang berhak maju sebagai calon legislatif dalam pemilu legislatif dari PDIP. Tampak disini bahwa pengurus pusat di partai ini memiliki pengaruh yang cukup besar dalam meloloskan bakal calon yang diajukan dari pengurus daerah.

Meskipun dalam proses ini mengajukan calon kader perempuan, namun tetap saja keputusan berada di tangan pengurus pusat. Disini lobi-lobi terhadap pimpinan juga sangat menentukan proses seleksi ini akan tetapi tidak semua kader perempuan mau melakukannya karena mereka menganggap bahwa mereka tidak punya kemampuan untuk melakukan lobi-lobi seperti itu.


(54)

Selain itu masalah keterbatasan waktu yang dimiliki oleh kader perempuan untuk dapat terlibat penuh dalam kegiatan partai juga merupakan kendala yang sangat mereka rasakan dan sangat menghambat aktivitas mereka dalam partai, sehingga menyebabkan mereka tidak dapat hadir dalam pertemuan-peretemuan ataupun rapat partai yang umumnya dilakukan pada malam hari dan membuat mereka tidak bias menghadiri rapat dan mempengaruhi keputusan rapat tersebut, karena memang mereka kesulitan membagi waktu antara mengikuti kegiatan partai atau tetap berada ditengah-tengah keluarganya.

Faktor lain yang mempengaruhi keterlibatan kader perempuan dalam partai yakni karena rendahnya pengetahuan perempuan tentang hak-hak politiknya dankurangnya wawasan dan pemahaman perempuan tentang politik sehingga menyebabkan perempuan jauh tertinggal dari laki-laki. Selain itu untuk bisa maju dalam suatu pemilihan kader perempuan harus dihadapkan pada masalah dana yang menjadi modal awal bagi kita untuk bisa maju baik itu sebagai caleg maupun sebagai calon kepala daerah. Apalagi dalam pemilu legislatif 2009 menggunakan dana pribadi, bukan dari partai, maka

secara otomatis bagi calon yang hendak maju dalam pemilu legislatif 2009 harus menyiapkan sejumlah dana yang cukup besar untuk mendanai kampanye dan kegiatan lainnya dalam rangka penggalangan suara sebanyak-banyaknya dari masyarakat.

Sedangkan kader perempuan pada umumnya adalah seorang istri atau ibu rumah tangga yang tidak semuanya bekerja, dalam hal ini tentu saja kader perempuan tersebut kesulitan untuk dapat mengumpulkan sejumlah dana yang besar untuk bisa maju dalam pemilihan. karena bagi perempuan masih banyak hal


(55)

lain didalam rumah tangga yang harus dipikirkan soal materi ini, mereka harus bisa berpikir logis untuk bisa mengorbankan sejumlah materi yang besar untuk bisa maju dalam suatu pemilihan. Hal ini menunjukkan bahwa kader perempuan tersebut belum memiliki kesiapan mental untk mengambil resiko dalam setiap usaha politik yang dilakukannya.

Selain itu kendala psikologis yang juga kerap kali dirasakan oleh kader perempuan yaitu diantaranya seperti kesulitan untuk menghilangkan perasaan malu, tidak percaya diri dan merasa rendah dir, dan hal tersebut sangat sulit untuk mereka hilangkan. Seorang kader perempuan dari PDIP mengakui bahwa untuk melakukan suatu usaha politik pada tahap penetapan calon dari partai lobi-lobi dengan pimpinan partai sangat menentukan hasilnya nanti, dan untuk dapat melakukan usaha tersebut mereka mengaku tidak suka melakukan hal seperti itu.

3.1.2. Kendala Pada Tahap Pelaksanaan Kampanye

Setelah masing-masing daftar calon legislatif dari masing-masing parpol peserta Pemilu legislatif 2009 didaftarkan ke KPUD, maka kegiatan selanjutnya yang dilakukan oleh partai politik yaitu menggalang dukungan suara sebanyak-banykanya dari masyarakat melalui kegiatan kampanye dalam berbagai bentuk, seperti tatap muka dan dialog, penyebaran melalui media cetak dan elektronik, penyebaran bahan kampanye kepada umum, rapat umum, debat public dan lainnya yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan.

Kendala lain yang juga dirasakan sangat menghambat kader perempuan untuk dapat beraktivitas penuh dalam kegiatan parpol terutama dalam kegiatan kampanye yaitu masalah waktu. Perempuan kesulitan dalam membagi waktu


(56)

antara kegiatan rumah tangga, kerja dan kegiatan di aprtai. Sekali waktu muncul persolan dilematis dalam diri kader perempuan tersebut untuk memilih mana yang harus didahulukan antara keluarga dan kegiatan partai. Dalam hal ini dukungan dari keluarga diraakan sangat dibutuhkan sekali untuk diri perempuan itu dapat melangkah mengikuti kegiatan partai yang kadang tidak mengenal waktu dan tempat. Kadang sebagai pengurus mereka harus hadir dalam rapat-rapat partai yang dilakukan pada malam hari. Hal senada juga disampaikan oleh keder perempuan dari Kelompok Perempuan Partai Golkar (KPPG) yang memiliki dilema untk memilih mengikuti kegiatan di partai dan rumah tangga. Selain itu sebagai seorang warga masyarakat lingkungan sangat berpengaruh sekali dalam pemberntukan prilaku seseorang sehari-hari. Ada sebagian masyarakat yang memandang buruk terhadap aktivitas seorang perempuan didalam partai. Mereka menganggap patai adalah dunia laki-laki dan tidak pantas bagi seorang perempuan bergaul dan beraktivitas dalam dunia lakilaki tersebut. Ada juag sebagian daerah yang tidak ingin perempuan itu maju, karena mereka menganggaptidak baik melangkahi laki-laki dan menjadi pemimpin bagi laki-laki. Hal-hal seperti ini tentu saja dapat membentuk persepsi tersendiri bagi masing-masing kader perempuan untuk dapat melangkah dan beraktivitas dalam partai politik.

Tabel

lGender Modalitas Pemilu dari Kuota Gender

Modalitas Pemilu

Modalitas Pemilu


(57)

Zipper System Menjamin keterwakilan 30 persen Perempuan

1. Tidak mempertimbangkan pilhan pemilih

2. Memaksakan kekuasaan dan dominasi

pimpinan politik

Wajib bagi parpol untuk memilih 30 persen perempuan sebagai perwakilan di DPR

- Menjamin keterwakilan 30 persen Perempuan

Tidak adil bagi mereka yang benar-benar

terpilih

- Mungkin akan ada kemarahan dari mereka

yang terpilih oleh pemilih namun tidak oleh

partai politik mereka.

Konstituensi Anggota Ganda 1. Menjamin 30 persen keterwakilan perempuan

2. Anggota legislatif perempuan akan memiliki konstituen langsung

1. Jumlah Anggota Legislatif akan meningkat

2. Belanja Pemerintah untuk Parlemen akan membengkak 3. Metode berbeda untuk

perempuan mungkin akan mengecilkan legitimasi politik mereka

Sistem daftar terbuka dengan sangsi bagi parpol yang tidak patuh

1. Pilihan pemilih

2. Menciptakan basis kekuasaan 3. Mengurangi monopoli

pimpinan parpol

1. Mungkin tidak bisa menjamin keterwakilan 30 persen

2. Kompetisi antara calon legsilatif masing-masing


(58)

parpol

Sistem zipper yang dilaksanakan dengan peraturan bahwa calon legislatif yang akan mendapatkan suara terbanyak akan terpilih tidak peduli posisinya didaftar calo

1. Memastikan 30% keterwakilan perempuan 2. Memperlemah pengaruh pimpinan parpol terhadap nominasi

3. Memberikan pilihan bagi para pemilih

Tidak Ada

3.2.Partisipasi Perempuan

Hasil pemilu tahun 2009 yang menempatkan 3 anggota perempuan di lembaga legislatif untuk daerah pemilihan Sumatera Utara I mengundang penilaian berbagai kalangan. Walaupun aturan kuota 30% perempuan diterapkan pada kenyataannya tetap saja tidak mampu mendongkrak perolehan kursi perempuan di legislatif. Hal ini dikarenakan sebagian besar partai politik menempatkan calon perempuan berada pada nomor bawah, sehingga kesempatan perempuan untuk terpilih sebagai anggota legislatif menjadi kecil kemungkinannya. Mengenai hal tersebut tersebut, salah seorang informan dari KPU Sumut yaitu Pak Manurung mengungkapkan bahwa :

“Keterwakilan perempuan di tiap-tiap partai yang mengajukan itu masih kurang, karena kebanyakan perempuan itu ditempatkan di nomor buntut atau kunci, jarang yang berada di nomor urut satu kalaupun ada biasanya mereka adalah orang-orang yang lama berkecimpung di partai politik tersebut, jadi bukan orang-orang baru” (Wawancara tanggal 15 Mei 2010)

Selain itu pencalonan perempuan sebagai anggota legislatif tidak terlepas dari peran partai politik sebagai penentu kebijakan. Bagaimanapun juga partai


(1)

Kelima, dalam meyikapi kuota 30%, jika didasarkan pada analisis feminis maka sebagian besar informan menggunakan cara pandang liberal dan sebenarnya agak bertentangan dengan kuota 30% sendiri yaitu affirmative action (perlakuan khusus sementara). Baik informan laki-laki maupun perempuan, selalu mendasarkan diri pada kualitas sebagai titik tolaknya menyikapi isu keterwakilan perempuan 30%, bahwa perempuan jika terlibat dalam partai politik harus mempunyai kualitas untuk bisa bersaing merebut kursi DPR/DPRD.

Keenam, ada beberapa faktor yang mendorong keterlibatan perempuan dalam aktivitas publik. Tetapi faktor dominan yang mendorong perempuan aktif di organisasi partai politik adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan kultur agama, tradisi turun menurun suatu lembaga yang aktif daam organisasi yang sama, penyaluran aspirasi dan pergaulan , figure dan kekaguman terhadap karisma kepemimpinan seseorang baik di dalam organisasi maupun partai politik.

Ketujuh, berbagai cara dan jalan ditempuh perempuan untuk mampu bertahan dalam proses politik yang patriarkhis dan sentralistik. Beberapa perempuan yang aktif di ormas dan partai politik mulai melakukan affiliasi dengan kelompok-kelompok perempuan yang memiliki fokus pada isu-isu perempuan dan kegiatan-kegiatan pendidikan kritis perempuan.

Namun sebagaiman kenyataan dilapangan, mereka kurang memunculkan strategi untuk melakukan pengorganisasian dan advokasi bagi kepentingan perempuan. Oleh karenanya, secara umum memang pengetahuan politik perempuan di Sumatera Utara terbilang belum menyentuh level perubahan kebijakan, termasuk tahapan-tahapan strategi dari proses tersebut.


(2)

5.2.Saran/Rekomendasi

Inti dari politik adalah kekuasaan (power) dan pengambilan keputusan (decision making), yang lingkupannya dimulai dari kelurarga sampai ke jenjang/lembaga politik tertinggi dan meliputi segala bidang kehidupan. Kekuasaan tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan atau menurunkan atau merebut kekuasaan dari tangan laki-laki, melainkan dimaksudkan agar bisa menjadi mitra. Kemitraan yang demikian baru memungkinkan apabila keduanya sudah berada dalam kedudukan yang sama sederajat, sehingga kebersamaan/kemitraan, perempuan dan laki-laki bisa saling menguntungkan

Berikut ada 5 (Lima) rekomendasi yang kita anggap penting dalam upaya untuk memperkuat dan meningkatkan kterwakilan jumlah dan kualitas perempuan dalam politik di sektor publik adalah sebagai berikut:

1. Melaksanakan Pendidikan politik yang berperspektif perempuan dalam institus-institusi tersebut untuk mendorong partisipasi politik perempuan sehingga kebijakan-kebijakan yang dihasilkan memperhatikan kepentingan perempuan

2. Melakukan capacity building aktivis-aktivis perempuan terutama dengan peningkatan skill (kemampuan berpolitik) sehingga bekal untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan di tingkat publik

3. Mendesakkan kepada institusi-institusi/lembaga, baik parlamen, partai politik maupun birokrasi pemerintah untuk membuat mekanisme dan menciptakan kultur yang demokratis sehingga memberikan peluang lebih


(3)

untuk memenuhi jumlah kandidat tersebut dan tercapainya jumlah keterwakilan perempuan yang signifikan di lembaga legislatif, yaitu:

a. Meningkatkan kesadaran politik kaum perempuan untuk terjun di politik.

b. Meyakinkan partai politik bahwa peran serta perempuan dalam pengambilan kebijakan publik sangat penting dalam daftar calon tetap partai politik

c. Meyakinkan masyarakat, termasuk media masaa, agar mendukung keterwakilan perempuan pada lembaga legislatif, khususnya lembaga legislatif daerah/

4. Secara intens membangun kerjasama dengan berbagai pihak termasuk kelompok-kelompok kristis, agamawan, danmedia untuk secara bertahap melakukan pendidikan kritis bagi masyarakat terutama perempuan tentang hak-hak politik, sipil, ekonomi, serta hak sosia dan budaya sebagai bagian dari HAM dan sebagai warga negara.

5. Secara sistematis, membangun jaringan secara terus menerus untuk melakukan koreksi dan asistensi atas kebijakan negara/pemerintah yang akan berpengaruh pada kondisi perempuan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

.Abdullah,Irwan. 1997. Sangkan Peran Gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Almond, Gabriel A. dan Verba, Sidney. 1990. Budaya Politik, Tingkah Laku

Politik dan Demokrasi di Lima Negara. Bina Aksara. Jakarta

Anugerah, Astrid. SH. 2008. UU Parpol 2008,(UU No 2 Tahun 2008) Dan Keterwakiolan Perempuan dalam Parpol. Pancur Alam; Jakarta.


(5)

Cora Vreede-De Stuers. 2008, Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapain, Jakarta: Komunitas Bambu.

E.Good & S.Holmes. 1995; Fifteen Years of Theory and Research on Men's Gender Role Conflict: New Paradigms for Empirical Research dalam Levant & Pollack (ed); A New Psychology of Man; Basic Books. Freire, Paolo. (1993). Pedagogy of The Oppressed. England, Penguin Books G.E.Good & S.Holmes. 1995. Fifteen Years of Theory and Research on Men's

Gender Role Conflict: New Paradigms for Empirical Research dalam Levant & Pollack (ed); A New Psychology of Man; Basic Books.

Harmona Daulay. 2007. Perempuan dalam Kemelut Gender, Medan: USU Press Koentjaraningrat. 1998. pengantar Antropologi “ Pokok-Pokok Etnografi II.

Rineka cipta. Jakarta. .

Matland, Richard E. 2001. “Untuk Indonesia”. Di dalam Keterwakilan Perempuan dan Sistem Pemilihan Umum,” Jakarta:

Mulia,Situ Musda. 2005. Perempuan dan Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum

Munniarti,Nunuk A. 2004. Getar gender. Magelang, Indonesia

Moore, Henrietta. L. 1988. feminism and antropology Cambridge : politik press..

Nauly, M. 1993. Perbandingan Peran jenis Kelamin dan Fear of Success pada Wanita Bekerja Suku Bangsa Batak, Jawa dan Minangkabau; Jakarta: Skripsi Fakultas Psikologi UI.


(6)

Nawawi, Hadari. 1987. Metodologi Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Romany, S. 2007. Perempuan,Kesetaraan,& Keadilan suatu tinjauan Berwawasan Gender. PT Raja Grafindo Persada : Jakarta.

Rush, Michael dan Althoff, Philip. 1990. Pengantar Sosiologi Politik. Rajawali Pers. Jakarta.

Soejipto, Ani. 2000. Hak politik Wanita Indonesia dalam Penghapusan Diskriminasi terhadap perempuan. (T.O.Ilrom ed ) Bandung.

Harian kompas, 18 November 2002. Harian kompas,10 Febuari 2009