Evaluasi Pengolahan Air Limbah Rumah Sakit (Studi Kasus Rumah Sakit Umum DR. Djasamen Saragih Pematang Siantar)

(1)

EVALUASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH RUMAH SAKIT

(STUDI KASUS RUMAH SAKIT UMUM DR. DJASAMEN

SARAGIH PEMATANG SIANTAR)

TUGAS AKHIR

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memenuhi Ujian Sarjana Teknik Sipil

050404077

M. DONNY AKBAR S.

BIDANG STUDI TEKNIK SUMBER DAYA AIR

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2010


(2)

ABSTRAK

Air limbah industri farmasi dan rumah sakit merupakan salah satu sumber pencemaran lingkungan yang sangat potensial. Oleh karena itu air limbah tersebut perlu diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke saluran umum. Masalah yang sering muncul dalam hal pengelolaan limbah rumah sakit adalah terbatasnya dana yang ada untuk membangun fasilitas pengolahan limbah serta biaya operasional, khususnya untuk rumah sakit tipe kecil dan menengah.

Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu dikembangkan teknologi pengolahan air limbah yang murah, mudah pengoperasiannya serta harganya terjangkau, khususnya untuk industri kecil farmasi dan rumah sakit dengan kapasitas kecil sampai sedang. Makalah ini membahas tentang rancang bangun instalasi pengolahan air limbah (IPAL) rumah sakit secara biologis yang sesuai untuk pengolahan air limbah rumah sakit proses biofilter anaerob-aerob. Dengan sistem kombinasi biofilter “Anaerob-Aerob” dapat menurunkan konsentrasi COD, BOD serta zat padat tersuspensi dengan baik. Selain itu juga dapat menurunkan kandungan amoniak dan deterjen.

RSUD dr. Djasamen Saragih adalah satu rumah sakit kelas B yang terletak kota Pematangsiantar. Dalam report tahunan diketahui adanya peningkatan jumlah pasien rawat inap yang mencapai rata-rata 19.92%. Dengan demikian volume limbah harian juga mengalami peningkatan yakni menjadi 130 m3/hari.

Dari hasil evaluasi yang dilakukan, untuk kapasitas limbah 130 m3/hari, ada beberapa unit bangunan yang harus didesain ulang agar sistem pengolahan dapat berlangsung efektif. Jumlah BOD tereduksi selama dalam sistem mencapai 93,328% dengan rincian masing-masing efisiensi reduksi BOD pada tiap bangunan adalah; Buffer Screen Basin 20%, Fluidized Bed Biofilm Reactor basin 70%, Settling basin 50%, Difusser 30% dan Desinfectan basin 20%. Dari hasil studi yang dilakukan kualitas BOD effluent yakni sebesar 26,68 mg/l dan sudah memenuhi standard yang di tetapkan.


(3)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah limpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat meyelesaikan tugas akhir ini, yang diajukan untuk memenuhi syarat dalam ujian sarjana Teknik Sipil bidang studi Teknik Sumber Daya Air pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul dari Tugas Akhir ini adalah “Studi Pemipaan Air Irigasi

Dari Intake Ke Reservoir Di Desa Gurubenua, Kabupaten Karo“.

Penulis telah berusaha dengan seluruh daya upaya dalam menyelesaikan tugas akhir ini, namun penulis menyadari masih banyak kekurangan dari setiap sisi. Keterbatasan pengetahuan dan kurangnya pengalaman merupakan penyebab dari ketidaksempurnaan tugas akhir ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari Bapak dan Ibu dosen serta rekan – rekan mahasiswa demi kemajuan penulis nantinya.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi- tingginya atas bimbingan dan bantuan yang diberikan untuk terselesaikannya tugas akhir ini kepada:

Bapak Dr. Ir. Ahmad Perwira Mulia, M.Sc selaku pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis.

Bapak Ir. Boas Hutagalung, M.Sc selaku pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis.


(4)

Bapak Prof. Dr. Ing. Johanes Tarigan sebagai Ketua Departemen Teknik Sipil, Universitas Sumatera Utara.

Bapak Ir. Terunajaya, MSc, sebagai sekretaris Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

Bapak Ir. Makmur Ginting, MSc, sebagai dosen wali saya yang telah memberikan masukan, motivasi dan saran sehingga saya dapat menyelesaikan tugas akhri ini.

Bapak/Ibu dosen di lingkungan Departemen Tenik Sipil, Universitas Sumatera Utara.

Seluruh pegawai administrasi Departemen Teknik Sipil yang telah memberikan bantuan-bantuannya.

Teristimewa untuk kedua orang tua yang penulis hormati dan sayangi Ayahanda Ilyas Gading dan Ibunda Aida Hanum, yang telah membesarkan, mendidik, memberikan dorongan baik material, spiritual serta semangat dengan sabar dan penuh kasih sayang yang tidak dapat dibalas jasa dan pengorbanannya. Hanya Allah SWT yang dapat membalasnya.

Seluruh rekan-rekan stambuk 2004, khususnya yang sudah duluan sarjana, (Aswin, Nailul, Erick, Ian, Aca, dini, nova, dkk) yang sudah memberikan semangat kepada saya dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Dan buat yang masih tertahan di kampus, jangan pernah putus asa untuk menyelesaikan studi ini.

Keluarga besar KOMPOSITS (Faisal, Rahmat, Nasrul, Delfi, Emma, Rhini, Tanti, Wida, Aprizal, Maulana, Yudi, Anggi dkk), teruslah


(5)

bersemangat dalam menebar kebaikan dan kebenaran di manapun kita berada.

Rekan-rekan Asisten Lab. Studio gambar, Rivan, Alfi, Riki, Didik, Sadikin, terima kasih banyak buat motivasi dan segala bantuannya (senang bisa berkenalan dengan kalian semua).

Abang – abang senior, adik – adik, serta teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu.

Sebagai hamba yang tak luput dari kesalahan, penulis menyadari bahwa tugas akhir yang telah terselesaikan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya, dengan ikhlas hati penulis menerima kritik dan saran demi perbaikan ke depan nantinya. Harapan penulis, agar kiranya tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Mei 2010

04 0404 055


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR xi

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Umum ... 1

1.2. Latar Belakang ... 2

1.3. Tujuan Penulisan ... 4

1.4. Ruang Lingkup Penulisan ... 4

1.5. Pembatasan Masalah ... 6

1.6. Metodelogi Penelitaian ... 7

1.7. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendahuluan ... 11

2.1.1. Latar Belakang Masalah ... 11

2.1.2. Tipe-tipe Rumah Sakit ... 13

2.1.3. Peraturan Perundangan Yang mengatur Pengelolaan Lingkungan Rumah Sakit ... 14

2.2. Limbah Rumah Sakit ... 16

2.2.1. Karateristik Air Limbah Rumah Sakit... 18

2.2.2. Teknologi Pengolahan Air Limbah ... 20

2.2.3. Pengolahan air Libah Dengan Proses Biofilter Anaerob- Aerob ... 22

2.2.4. Penguraian Aerob ... 23

2.2.5. Proses Pengolahan Lanjut ... 23

2.2.6.Pengolahan Limbah Dengan Metode Lumpur Aktif ... 25


(7)

2.2.8. Analisa Kualitas Air Olahan ... 27

2.3. Sistem Penyakuran Air buangan... 28

2.3.1. Sistem Sanitasi Setempat ... 28

2.3.2. Sistem Sanitasi Terpusat ... 32

2.3.3. Sistem Penyaluran Terpisah ... 33

2.3.4. Sistem Penyaluran Konvensional... 34

2.3.5. Sistem Riol Dangkal (shallow Sewer)... 36

2.3.6. Sistem Riol Ukuran Kecil/Small Bore Sewe ... 37

2.3.7. Sistem Penyaluran Tercampur ... 39

2.3.8. Sistem Kombinasi ... 40

2.4. Aliran Melalui Pipa ... 41

2.4.1. Hidrolika Pipa Bertekanan ... 41

2.4.2. Kehilangan energi Akibat Gesekan Pipa ... 42

2.4.3. Kehilangan Tenaga Sekunder dalam Pipa ... 47

2.5. Aliran Mantap Melalui Sistem Pipa ... 52

2.5.1.Garis Tenaga dan Garis tekanan ... 52

2.5.2. Pipa Dengan Turbin ... 53

2.5.3. Pipa Dengan Pompa ... 54

2.5.4. Pipa Hubungan Seri ... 56

BAB III GAMBARAN UMUM DAERAH STUDI 3.1. Umum ... 59

3.2 Gambaran singkat RSUD dr. Djasmen Saragih ... 59

3.2.1. Sarana dan Prasarana ... 60

3.2.2. Fasilitas ... 61

3.3. Kondisi Existing ... 61

3.3.1. Lift Station Basin ... 65

3.3.2. Buffer Basin ... 66

3.3.3. Fluidized Bed Biofilm Reactor ... 67

3.3.4. Settling Basin Diffuser dan Upflow filter ... 69

3.3.5. Desinfectant Basin dan Sludge Storadge Basin ... 70


(8)

BAB IV Evaluasi

4.1. Evaluasi raw water basin / lift station ... 72

4.2. Evaluasi buffer basin dan bar screen ... 74

4.3. Evaluasi FBBR basin ... 76

4.4. Evaluasi Pada Settling Basin ... 79

4.5. Evaluasi pada Treated Water Basin ... 81

4.6. Evaluasi pada Disnfectant Basin ... 82

4.5. Evaluasi Pembubuhan zak kimia (FeCl3) ... 83

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 86

5.2. Saran ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 90


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 : Skema pengolahan Alir Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)

RSUD Dr. Djasamen Saragih ... 5

Gambar 2.1 : Diagram Proses Pengelolaan Air Limbah Rumah Sakit secara umum ... 19

Gambar 2.2 : Cubluk Kembar ... 30

Gambar 2.3 : Tangki septik ... 31

Gambar 2.4 : Beerput ... 32

Gambar 2.5 : Sistem Sanitasi Terpusat ... 35

Gambar 2.6 : Sistem Saluran Terpisah ... 34

Gambar 2.7 : Sistem Penyaluran Konvensional ... 36

Gambar 2.8 : Layout saluran Shallow Sewerage pada perumahan ... 37

Gambar 2.9 : Skema Small Bore Sewer ... 38

Gambar 2.10 : Sistem Penyaluran Tercampur ... 40

Gambar 2.11 : Sistem Penyaluran Kombinasi ... 41

Gambar 2.12 : Bagan penjelasan aliran pipa ... 42

Gambar 2.13 : Penurunan Rumus Darcy-Weisbach ... 43

Gambar 2.14 : Diagram Moody untuk memperkirakan nilai f pipa ... 46

Gambar 2.15 : Pipa menuju kolam... 49

Gambar 2.16 : Perbesaran penampang berangsur-angsur ... 49

Gambar 2.17 : Belokkan pada pipa ... 50

Gambar 2.18 : Perbandingan nilai R/D untuk menentukan nilai K ... 51


(10)

Gambar 2.20 : Pipa dengan curat ... 53

Gambar 2.21 : Pipa dengan pompa ... 55

Gambar 2.22 : Pipa dalam hubungan seri ... 52

Gambar 3.1 : Tampak depan RSUD dr. Djasamen Saragih ... 60

Gambar 3.2 : Gedung Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) RSUD Dr. Djasamen Saragih ... 62

Gambar 3.3 : Unit Incenarator pada RSUD Dr. Djasamen Saragih ... 63

Gambar 3.4 : Diagram Alir Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) RSUD Dr. Djasamen Saragih ... 64

Gambar 3.5 : Waste water basin dan Lift Station Tank ... 65

Gambar 3.6 : Screen Filter dan Buffer Basin ... 66

Gambar 3.7 : V- notch basin dan Fluidized Bed Biofilm Reactor Basin ... 67

Gambar 3.8 : Settling Basin ... 68

Gambar 3.9 : Upflow Filter Control tank , Diffuser Basin,Bak Kloronasi .... 69

Gambar 3.10 : V Chemical Dosing Tank, Chemical Dosing Tank, Desinfektan basin dan Sei bahbolon ... 70

Gambar 3.11 : Sludge Storage Basin, Dewatering Panel Control, Sludge Cake dan Buffer Basin ... 71


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 : Baku mutu Limbah Cair Kegitan Rumah Sakit ... 27

Tabel 2.2 : Koefisien manning untuk beberapa jenis pipa ... 47

Tabel 2.3 : Koefisien Hazen-Williams, CH ... 47

Tabel 2.4 : Nilai Kc untuk berbagai nilai D2 / D1 ... 48

Tabel 2.5 : Nilai K’ untuk berbagai nilai α ... 50

Tabel 2.6 : Nilai Kb untuk berbagai nilai α ... 50

Tabel 2.7 : Nilai Kb untuk berbagai nilai R/D ... 35

Tabel 3.1 : Kualitas Limbah Cair Kegiatan Rumah Sakit ... 63

Tabel 4.2 : Data Cura Hujan Rata-rata Bulanan Thiessen ... 52

Tabel 4.3 : Data Curah Hujan Bulanan rata-rata Thiessen ... 53

Tabel 4.4 : Perhitungan Debit Andalan Rata-Rata Dengan Metode DR. FJ MOCK ... 54

Tabel 4.5 : Perhitungan Evapotranspirasi (ET) Dengan Metode Penman ... 57

Tabel 4.6 : Koefisien kebutuhan air tanaman musiman (K) untuk tanaman yang diberi Air... 58

Tabel 4.7 : Perhitungan Etc ... 60

Tabel 4.8 : Kebutuhan air selama satu periode tanam/setahun untuk tanam jeruk ... 62

Tabel 4.9 : Analisa Kebutuhan Air Selama Penyiapan Lahan ... 64

Tabel 4.10 : Koefisien Tanaman untuk padi ... 65

Tabel 4.11 : Analisa Kebutuhan air Irigasi Alternatif I ... 67


(12)

Tabel 4.13 : Perbandingan Kebutuhan Air Terhadap Ketersediaan Air (untuk areal 200 ha) ... 71 Tabel 4.14 : Spesifikasi rencana pompa ... 75 Tabel 4.15 : Spesifikasi rencana pompa ... 80


(13)

ABSTRAK

Air limbah industri farmasi dan rumah sakit merupakan salah satu sumber pencemaran lingkungan yang sangat potensial. Oleh karena itu air limbah tersebut perlu diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke saluran umum. Masalah yang sering muncul dalam hal pengelolaan limbah rumah sakit adalah terbatasnya dana yang ada untuk membangun fasilitas pengolahan limbah serta biaya operasional, khususnya untuk rumah sakit tipe kecil dan menengah.

Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu dikembangkan teknologi pengolahan air limbah yang murah, mudah pengoperasiannya serta harganya terjangkau, khususnya untuk industri kecil farmasi dan rumah sakit dengan kapasitas kecil sampai sedang. Makalah ini membahas tentang rancang bangun instalasi pengolahan air limbah (IPAL) rumah sakit secara biologis yang sesuai untuk pengolahan air limbah rumah sakit proses biofilter anaerob-aerob. Dengan sistem kombinasi biofilter “Anaerob-Aerob” dapat menurunkan konsentrasi COD, BOD serta zat padat tersuspensi dengan baik. Selain itu juga dapat menurunkan kandungan amoniak dan deterjen.

RSUD dr. Djasamen Saragih adalah satu rumah sakit kelas B yang terletak kota Pematangsiantar. Dalam report tahunan diketahui adanya peningkatan jumlah pasien rawat inap yang mencapai rata-rata 19.92%. Dengan demikian volume limbah harian juga mengalami peningkatan yakni menjadi 130 m3/hari.

Dari hasil evaluasi yang dilakukan, untuk kapasitas limbah 130 m3/hari, ada beberapa unit bangunan yang harus didesain ulang agar sistem pengolahan dapat berlangsung efektif. Jumlah BOD tereduksi selama dalam sistem mencapai 93,328% dengan rincian masing-masing efisiensi reduksi BOD pada tiap bangunan adalah; Buffer Screen Basin 20%, Fluidized Bed Biofilm Reactor basin 70%, Settling basin 50%, Difusser 30% dan Desinfectan basin 20%. Dari hasil studi yang dilakukan kualitas BOD effluent yakni sebesar 26,68 mg/l dan sudah memenuhi standard yang di tetapkan.


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Umum

Air limbah yang berasal dari daerah perkotaan merupakan bahan pencemar bagi mahluk hidup sehingga dapat merusak lingkungan di sekitarnya. Untuk menjamin supaya terdapat keseimbangan ekologis dari alam dan mahluk hidup di sekitarnya maka air limbah tersebut perlu diolah di instalasi pengolahan sebelum dialirkan ke sungai penerima.

Sistem pengolahan yang digunakan sangat tergantung pada tinggi rendahnya bahan pencemar yang terkandung di dalam air limbah. Parameter yang umum dipakai untuk menunjukkan tingkat pencemaran adalah BOD (kebutuhan oksigen biokimia), COD (kebutuhan oksigen kimia), TSS (jumlah zat padat tersuspensi) dan MPN (Most probable number coliform).

Setiap manusia akan menimbulkan buangan baik cairan , padatan maupun dalam bentuk gas. Buangan cair yang berasal dari masyarakat yang di kenal sebagai air buangan atau air limbah adalah merupakan bekas air pemakaian, baik pemakaian rumah tangga maupu pemakaian dalam proses dan operasi industri.

Cemaran atau timbulan air limbah rumah sakit yang dominan umumnya bersifat organo-mikrobiologis umumnya berasal dari rumah tinggal, kantor-kantor institusi, fasilitas hotel, tempat hiburan, daerah komersil dan fasilitas umum lainnya yang digunakan masyarakat menunjang kegiatan sehari-harinya.

Prinsip penyaluran air buangan adalah membuat suatu sistem penyaluran yang mengalirkan air buangan dari sumber ke Bangunan Pengolah Air Buangan


(15)

(BPAB) melalui jarak yang sependek-pendeknya agar waktu penyaluran yang dibutuhkan singkat.

Masalah yang ditimbulkan dari keadaan ini adalah pengaturan penyediaan energi potensial untuk mengalirkan air limbah secar gravitasi. Meskipun sebenarnya dapat diatasi dengan penggunaan pompa, namun hal itu akan menyebabkan biaya investasi yang mahal. Oleh karena itu teknologi yang akan diterapkan harus efisien dalam penggunaan energi potensial secara gravitasi. Namun pada beberapa kasus tertentu penggunaan pompa untuk menambah tekanan bagi aliran air buangan tidak dapat dihindarkan. Pada pemilihan pompa pun di harapkan pompa yang dipilih memiliki kualitas yang baik, biaya terjangkau, dan perawatannya mudah.

I.2 Latar Belakang

Rumah sakit merupakan fasilitas sosial yang tak mungkin dapat dipisahkan dengan masyarakat, dan keberadaannya sangat diharapkan oleh masyarakat, karena sebagai manusia atau masyarakat tentu menginginkan agar keseahatan tetap terjaga. Oleh karena itu rumah sakit mempunyai kaitan yang erat dengan keberadaan kumpulan manusia atau masyarakat tersebut. Di masa lalu, suatu rumah sakit dibangun di suatu wilayah yang jaraknya cukup jauh dari dareah pemukiman, dan biasanya dekat dengan sungai dengan pertimbangan agar pengelolaan limbah baik padat maupun cair tidak berdampak negatif terhadap penduduk, atau bila ada dampak negati maka dampak tersebut dapat diperkecil.

Sejalan dengan perkembangan penduduk yang sangat pesat, lokasi rumah sakit yang dulunya jauh dari daerah pemukiman penduduk tersebut sekarang umumnya telah berubah dan berada di tengah pemukiman penduduk


(16)

yang cukup padat, sehingga masalah pencemaran akibat limbah rumah sakit baik limbah padat atau limbah cair sering menjadi pencetus konflik antara pihak rumah sakit dengan masyarakat yang ada di sekitarnya.

Dengan pertimbangan alasan tersebut, maka rumah sakit yang dibangun setelah tahun 1980 an telah diwajibkan menyediakan sarana limbah padat maupun limbah cair. Namun dengan semakin mahalnya harga tanah, serta besarnya tuntutan masyarakat akan kebutuhan peningkatan sarana penunjang pelayanan kesehatan yang baik, dan di lain pihak peraturan pemerintah tentang pelestarian lingkungan juga semakin ketat, maka pihak rumah sakit umumnya menempatkan sarana pengolah limbah pada skala prioritas yang rendah. Akibatnya, sering terjadi benturan perbedaan kepentingan antar pihak rumah sakit dengan masyarakat atau pemerintah. Dengan adanya kebijakan legal yang mengharuskan pihak rumah sakit agar menyediakan fasilitas pengolahan limbah yang dihasilkan, mengakibatkan biaya investasi maupun biaya operasional menjadi lebih besar.

Air limbah rumah sakit merupakan salah satu sumber pencemaran lingkungan yang sangat potensial. Oleh karena itu air limbah tersebut perlu diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke saluran umum. Masalah yang sering muncul dalam hal pengelolaan limbah rumah sakit adalah terbatasnya dana yang ada untuk membangun fasilitas pengolahan limbah serta operasinya, khususnya untuk rumah sakit tipe kecil dan menengah. Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu dikembangkan teknologi pengolahan air limbah rumah sakit yang murah, mudah operasinya serta harganya terjangkau, khususnya untuk rumah sakit dengan kapasitas kecil sampai sedang. Selain itu perlu menyebar-luaskan informasi


(17)

teknologi khususnya untuk pengolahan air limbah rumah sakit, sehingga dalam memilih teknologi pihak pengelola rumah sakit mendapatkan hasil yang optimal. I.3 Tujuan Penulisan

Tulisan ini dimaksudkan untuk mengevaluasi sarana bangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di rumah sakit dr. Djasamen Saragih Pematang Siantar dengan tujuan utama penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis penyaluran air buangan dengan memuat perhitungan dan pendimensian tiap unit bangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di rumah sakit dr. Djasamen Saragih Pematang Siantar. 2. Membuat rencana pengolahan air limbah dengan mempertahankan kualitas

air permukaan dan air tanah sebagai air baku bersih

3. Menganalisis dimensi saluran pipa yang tersedia di lokasi studi apakah masih

memadai atau perlu pengembangan.

I.4 Ruang Lingkup Permasalahan

Permasalahan limbah atau air buangan rumah sakit pada saat ini sudah menjadi masalah yang sangat serius, karena kualitas air limbah yang tidak memadai untuk langsung dibuang ke lingkungan, oleh karena itu kita harus dapat mengevaluasi pengolahannya dan sistem penyalurannya yang nantinya dapat mengurangi kualitas air limbah yang sudah sangat buruk bagi lingkungan di sekitarnya. Untuk ruang lingkup permasalahan ini penelitian hanya dilakukan pada rumah sakit umum dr. Djasamen Saragih Pematang Siantar. Sistem


(18)

PTB- Dapur PTB- Laundry Pump Station Lift Station Screen Incenarator Buffer Basin FBBR Settling Basin Treated Water Basin

Up Flow Filter

Desinfectant Basin Effluent Basin Sludge Storage System Watering

Ke Saluran Kota Air

Pembersih

Dari bangsal, Lab, R. Operasi dll

Return Sludge

Sludge Cake Back

Limbah Padat Rumah Sakit penyaluran air limbah di rumah sakit ini merupakan sistem penyaluran terpisah di mana sistem pengumpulan air buangan sendiri.

Adapun skema pengolahan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di rumah sakit dr. Djasamen Saragih Pematang Siantar, dapat dilihat Gambar 1.1

Gambar: 1.1 Skema pengolahan Alir Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) RSUD Dr. Djasamen Saragih


(19)

Hal-hal yang dilakukan dalam pengerjaan tugas akhir yang menjadi ruang lingkup adalah :

1. Pengaruh pengelolaan air limbah terhadap kondisi lingkungan di rumah sakit.

2. Pengaruh pembuangan air limbah terhadap kualitas air Sungai Bah Bolon. 3. Evaluasi kapasitas IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) terhadap

perkembangan RSU dr. Djasamen Saragih.

4. Penentuan Jaringan penyaluran air buangan berdasarkan aspek ekonomis dan teknis.

Dari uraian di atas, pada penelitian ini akan dibahas analisa penyaluran air limbah dan pengolahannya di rumah sakit umum dr. Djasamen Saragih.

I.5 Pembatasan Masalah

Untuk mendapatkan hasil pembahasan yang maksimal maka penulis perlu membatasi masalah yang akan dibahas. Sesuai dengan tujuan dari penulisan tugas akhir ini maka batasan masalah dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Pembahasan masalah sistem saluran air limbah dikhususkan pada rumah sakit umum dr. Djasamen Saragih Pematang Siantar.

2. Pembahasan sistem saluran difokuskan pada pengolahan limbah rumah sakit serta bangunan pelengkap yang dibutuhkan.

3. Pembahasan masalah air limbah ini ditinjau dari data debit air limbah dari areal tersebut, serta karakterstik lahan di lokasi studi.


(20)

I.6 Metodologi Penelitian

Dalam menganalisa hasil penelitian ini maka penulis mencari bahan-bahan dan data – data yang diperlukan melalui :

1. Literatur

Mencari dan mempelajari pustaka yang berhubungan dengan desain penyaluran air buangan dan pengolahannya dari berbagai sumber seperti berupa literatur buku, catatan kuliah, jurnal, majalah, artikel , maupun data dari internet.

2. Pengumpulan Data

a) Data-data primer diperoleh dengan mengadakan kunjungan langsung di daerah perencanaan sehingga diperoleh kondisi eksisting pengolahan air limbah serta sistem penyaluran air buangan yang ada dan sistem pengolahan limbah rumah sakit tersebut. Pengumpulan data primer ini dilakukan dengan mengukur secara langsung dan kuesioner untuk mengetahui pengaruh yang diberikan limbah rumah sakit kepada masyarakat/lingkungan.

b) Data –data sekunder adalah meliputi data yang diperoleh dari instansi-instansi terkait dalam permasalahan dan penyelesaian sistem penyaluran dan pengolahan air limbah.

Pada Penelitian ini pengolahan data dilakukan dengan metode perhitungan debit rata - rata yang berasal dari perhitungan jumlah aliran air buangan limbah rumah sakit dan jumlah aliran air dari curah hujan maksimum yang direncanakan. Kemudian juga dilakukan perhitungan dimensi pipa yang akan direncanakan.


(21)

- Perhitungan debit air buangan dilakukan dengan rumus : Qr Dom = Fab X Qam

Dimana :

Qr Dom : Debit rata rata domestik (m3/det)

Fab :Faktor air buangan terhadap air minum (0,5-0,8)

Qam : Debit air minum

- Perhitungan dimensi pipa Dteo = 1.23(Qd)0.4 Di mana :

Dteo : Diameter teoritis (mm) Qd : debit desain (mm3/det)

4. Analisa Data

Data yang telah diperoleh kemudian diolah agar didapat kualitas air yang dihasilkan serta desain yang tepat untuk 10 tahun kedepan dan akan menjadi pembahasa terhadap proses-proses dalam pengolahan air limbah serta penyalurannya sehingga diperoleh kesimpulan yang berarti.

5. Evaluasi

Setelah dilakukan analisa data untuk selanjutnya dilakukan evaluasi atau hasil studi berkaiatan dengan metode pengolahan air, dimensi dan desain bangunan, kualitas air, proses pengolahan dan perawatan dengan data kepustakaan dan standar yang berlaku.


(22)

I.7 Sistematika Penulisan Bab I Pendahuluan

Pada Bab ini meliputi tinjauan umum, latar belakang, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi pembahasan, pembatasan masalah dan sistematika penulisan yang dipakai dalam tulisan ini.

Bab II Tinjauan Pustaka

Pada Bab ini meliputi teori dan kriteria desain perencanaan penyaluran air buangan, sistem perpipaan, pola jaringan saluran, bentuk dan bahan saluran, penempatan saluran, kedalaman penanaman pipa, tinjauan hidrolik aliran dalam saluran penyaluran air buangan dan perlengkapan saluran dan karakteristik air limbah.

Bab III Metodologi Penelitian dan Karakteristik Lokasi Studi

Pada bab ini meliputi data – data lingkungan menggambarkan kondisi fisik lokasi kajian yaitu terdiri dari keadaan sanitasi lingkungan di wilayah rumah sakit.

Bab IV Analisis Pembahasan Pada bab ini meliputi :

1. Evaluasi sistem Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada di rumah sakit umum dr. Djasamen Saragih.

2. Perencanaan sistem penyaluran air buangan : berisi tentang perencanaan sistem penyaluran air buangan yang akan diterapkan di rumah


(23)

sakit, serta

alternatif sistem penyaluran air buangan.

3. Penentuan dimensi jaringan pipa dan bangunan pelengkap : berisi perhitungan debit air buangan, dimensi pipa, perletakannya dan bangunan pelengkap lainnya.

4. Mengevaluasi hasil didapat dari perencanaan dengan sistem pengolahan air limbah yang telah ada di rumah sakit.

Bab V Kesimpulan dan Saran

Pada bab ini disampaikan kesimpulan dari hasil peninjauan evaluasi sistem penyaluran air buangan dan pengolahannya pada suatu pemukiman dilakukan di bab sebelumnya yang dilanjutkan dengan penyusunan rekomendasi, serta saran-saran.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendahuluan

Air limbah industri farmasi dan rumah sakit merupakan salah satu sumber pencemaran lingkungan yang sangat potensial. Oleh karena itu air limbah tersebut perlu diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke saluran umum. Masalah yang sering muncul dalam hal pengelolaan limbah rumah sakit adalah terbatasnya dana yang ada untuk membangun fasilitas pengolahan limbah serta biaya operasional, khususnya untuk rumah sakit tipe kecil dan menengah.

Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu dikembangkan teknologi pengolahan air limbah yang murah, mudah pengoperasiannya serta harganya terjangkau, khususnya untuk industri kecil farmasi dan rumah sakit dengan kapasitas kecil sampai sedang. Makalah ini membahas tentang rancang bangun instalasi pengolahan air limbah (IPAL) rumah sakit secara biologis yang sesuai untuk pengolahan air limbah rumah sakit proses biofilter anaerob-aerob. Dengan sistem kombinasi biofilter “Anaerob-Aerob” dapat menurunkan konsentrasi COD, BOD serta zat padat tersuspensi dengan baik. Selain itu juga dapat menurunkan kandungan amoniak dan deterjen.

2.1. 1 Latar Belakang Masalah

Berdasarkan keputusan Mentreri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor : Kep-58/MENLH/12/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi kegiatan Rumah Sakit, yang mengharuskan bahwa setiap rumah sakit harus


(25)

mengolah air limbah sampai standar yang dijinkan, maka kebutuhan akan teknologi pengolahan air limbah rumah sakit khususnya yang murah dan hasilnya baik perlu dikembangkan. Hal ini mengingat bahwa kendala yang paling banyak dijumpai yakni teknologi yang ada saat ini masih cukup mahal, sedangkan di lain pihak dana yang tersedia untuk membangun unit alat pengolah air limbah tersebut sangat terbatas sekali.

Untuk rumah sakit dengan kapasitas yang besar umumnya dapat membangun unit alat pengolah air limbahnya sendiri karena mereka mempunyai dana yang cukup. Tetapi untuk rumah sakit tipe kecil sampai dengan tipe sedang umumnya sampai saat ini masih membuang air limbahnya ke saluran umum tanpa pengolahan sama sekali.

Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu dikembangkan teknologi pengolahan air limbah rumah sakit yang murah, mudah operasinya serta harganya terjangkau, khususnya untuk rumah sakit dengan kapasitas kecil sampai sedang. Untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat kedala yang cukup besar yakni kurangnya tersedianya teknologi pengolahan yang baik dan harganya murah. Masalah ini menjadi kendala yang cukup besar terutama untuk rumah sakit kecil, yang mana pihak rumah sakit tidak/belum mampu untuk membangun unit alat pengilahan air limbah sendiri, sehingga sampai saat ini masih banyak sekali rumah sakit yang membuang air limbahnya ke saluran umum.

Untuk pengolahan air limbah rumah sakit dengan kapasitas yang besar, umumnya menggunakan teknlogi pengolahan air limbah “Lumpur Aktif” atau Activated Sludge Process, tetapi untuk kapasitas kecil cara tersebut kurang ekonmis karena biaya operasinya cukup besar, kontrol oprasionalnya lebih sulit.


(26)

Untuk mengatasi hal tersebut, perlu menyebarluaskan informasi teknologi khususya teknologi pengolahan air limbah rumah sakit berserta aspek pemilihan teknologi serta keunggulan dan kekurangannya.

Dengan adanya informasi yang jelas, maka pihak pengelola rumah sakit dapat memilih teknologi pengolahan limbah yang sesuai dengan kodisi maupun jumlah air limbah yang akan diolah, yang layak secara teknis, ekonomis dan memenuhi standar lingkungan.

2.1.2 Tipe-tipe Rumah Sakit

Rumah Sakit adalah sarana kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian. Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di Rumah sakit meliput i pelayanan rawat jalan, rawat-inap, pelayanan gawat darurat, pelayanan medik, pelayanan penunjang medik dan pelayanan non medik.

Berdasarkan bentuk pelayanannya rumah sakit dapat dibedakan:

a. Rumah Sakit Umum (RSU): yaitu Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan semua jenis penyakit dari yang bersifat dasar sampai dengan sub spesialistik.

b. Rumah Sakit Khusus (RSK): yaitu Rumah Sakit yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan berdasarkan jenis penyakit tertentu atau disiplin ilmu.

Berdasarkan pemilikan dan penyelenggaraannya, rumah sakit dapat dibedakan atas RS pemerintah dan RS Swasta. Rumah Sakit Pemerintah dimiliki dan diselenggarakan oleh: Departemen Kesehatan, Pemerintah daerah, ABRI, dan Departemen lain termasuk BUMN. Disamping Rumah Sakit Umum dan Rumah


(27)

Sakit Khusus seperti tersebut diatas, untuk meningkatkan pelayanan kesehatan jemaah haji Indonesia, telah dibangun 4 buah Rumah Sakit Haji di Ujung Pandang, Medan, Jakarta, dan Surabaya. Berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan Rumah Sakit Umum Pemerintah Departemen Kesehatan dan Pemerintah Daerah diklasifikasikan menjadi:

a. RSU KELAS A, yaitu RSU yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik dan sub spesialistik yang luas. Terdapat 4 buah RSU Kelas A yaitu RSU Cipto mangunkusumo di Jakarta, RSU Dr. Sutomo di Surabaya, RSUP Adam Malik di Medan, dan RSUP DR. Wahidin Sudiro Husodo di Ujung Pandang.

b. RSU KELAS B yaitu RSU yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik luas dan sub spesialistik terbatas.

c. RSU KELAS C yaitu RSU yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik sekurang-kurangnya spesialistik 4 dasar lengkap.

d. RSU KELAS D yaitu RSU yang mempunyai fasilitas dan kemampuan sekurang-kurangnya pelayanan medik dasar.

2.1.3 Peraturan Perundangan Yang Mengatur Pengelolaan Lingkungan Rumah Sakit

Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

• Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup


(28)

• Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1999 jo PP No. 85 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, (Rumah Sakit termasuk penghasil limbah B3 dari sumber yang spesifik dengan kode limbah D.227).

• Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 986/Menkes/Per/XI/1992 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit

• Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 928 tahun 1995 tentang penyusunan Amdal Bidang Kesehatan

• Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. Kep-58/MenLH/12/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Kegiatan Rumah Sakit

• Keputusan Direktur Jenderal PPM & PLP No. HK 00.06.6.44 tentang Persyaratan dan Petunjuk Teknis Tatacara Penyehatan Lingkungan Rumah Sakit

• Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air

• Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

• Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2001 Tentang Jenis Usaha dan atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

• Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun.


(29)

2.2 Limbah Rumah Sakit

Adanya berbagai sarana pelayanan kesehatan tersebut, akan menghasilkan limbah baik cair maupun padat. Limbah padat yang ada dapat dikelompokkan menjadi dua , yaitu limbah medis dan limbah non medis. Limbah medis adalah limbah yang dihasilkan langsung dari kegiatan medis. Limbah ini tergolong dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B-3) sehingga berpotensi membahayakan komunitas rumah sakit. Jika pembuangan limbah medis tidak memenuhi syarat akan menimbulkan bahaya terhadap masyarakat di sekitar lokasi pembuangan. Limbah non-medis adalah limbah domestik yang dihasilkan di RS tersebut. Sebagian besar limbah ini merupakan limbah organik dan bukan merupakan limbah B-3, sehingga pengelolaannya dapat dilakukan bersama-sama dengan sampah kota yang ada.

Dalam kaitan dengan pengelolaannya, limbah medis dikelompokkan menjadi lima (5), yaitu:

(a). Golongan A, terdiri dari;

• Dresing bedah, swab dan semua limbah yang terkontaminasi dari daerah ini.


(30)

• Seluruh jaringan tubuh manusia, bangkai/jaringan hewan dari laboratorium dan hal-hal lain yang berkaitan dengan swab dan dressing.

(b). Golongan B terdiri dari;

• Syrenge bekas, jarum, cartride, pecahan gelas dan benda tajam lainnya.

(c). Golongan C terdiri dari;

• Limbah dari laboratorium dan post partum, (kecuali yang termasuk dalam gol. A)

(d). Golongan D terdiri dari;

• Limbah bahan kimia dan bahan farmasi tertentu. (e). Golongan E terdiri dari;

• Pelapis bed-pan, disposable, urinoir, incontinence-pad dan stamag bags.

Berdasarkan potensi bahaya yang dapat ditimbulkannya, oleh Departemen Kesehatan RI limbah medis telah digolongkan sebagai berikut:

(a).Limbah benda tajam, yaitu obyek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung atau bagian yang menonjol yang dapat memotong atau menusuk kulit, seperti jarum hipodermik, perlengkapan intravena, pipet pasteur, pecahan gelas dan pisau bedah.

(b). Limbah infeksius, yaitu limbah yang berkaitan dengan pasien yang memerlukan isolasi penyakit menular dan limbah laboratorium yang berkaitan dengan pemeriksaan mikrobiologi dari poliklinik dan ruang perawatan/isolasi penyakit menular.


(31)

(c). Limbah jaringan tubuh, yang meliputi organ, anggota badan, darah dan cairan tubuh. Biasanya dihasilkan pada saat pembedahan atau autopsi. (d). Limbah sitotoksik, yaitu bahan yang terkontaminasi oleh obat sitotoksik selama peracikan, pengangkutan atau tindakan terapi sitotoksik. (e). Limbah farmasi, yaitu terdiri dari obat-obatan kedaluwarsa, obat yang terbuang karena karena batch yang tidak memenuhi spesifikasi atau kemasan yang terkontaminasi, obat yang tidak diperlukan lagi atau limbah dari proses produksi obat.

(f). Limbah kimia, yaitu limbah yang dihasilkan dari penggunaan bahan kimia dalam tindakan medis, veterenary, laboratorium, proses sterilisasi atau riset. Dalam hal ini dibedakan dengan buangan kimia yang termasuk dalam limbah farmasi dan sitotoksik.

(g). Limbah radioaktif, yaitu bahan yang terkontaminasi dengan radio isotop yang berasal dari penggunaan medis atau riset radionuklida

Selain limbah medis, R.S juga menghasilkan non-medis. Jenis limbah non medis tersebut antara lain, limbah cair dari kegiatan loundry, limbah domestik cair dan sampah padat.

2.2.1 Karakteristik Air Limbah Rumah Sakit

Air limbah rumah sakit adalah seluruh buangan cair yang berasal dari hasil proses seluruh kegiatan rumah sakit yang meliputi, limbah domistik cair yakni buangan kamar mandi, dapur, air bekas pencucian pakaian; limbah cair klinis yakni air limbah yang berasal dari kegiatan klinis rumah sakit misalnya air bekas cucian luka, cucian darah dll.; air limbah laboratorium; dan lainya. Air limbah


(32)

rumah sakit yang berasal dari buangan domistik maupun buangan limbah cair klinis umumnya mengadung senyawa pulutan organik yang cukup tinggi, dan dapat diolah dengan proses pengolahan secara biologis, sedangkan untuk air limbah rumah sakit yang berasal dari laboratorium biasanya banyak mengandung logam berat yang mana bila air limbah tersebut dialirkan ke dalam proses pengolahan secara biologis, logam berat tersebut dapat menggagu proses pengolahannya. Oleh karena itu untuk pengelolaan air limbah rumah sakit, maka air limbah yang berasal dari laboratorium dipisahkan dan ditampung, kemudian diolah secara kimia-fisika, Selanjutnya air olahannya dialirkan bersama-sama dengan air limbah yang lain, dan selanjutnya diolah dengan proses pengolahan secara biologis. Diagram proses pengelolaan air limbah rumah sakit secara umum dapat dilihat seperti pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Diagram Proses Pengelolaan Air Limbah Rumah Sakit

Dari hasil analisa kimia terhadap berberapa contoh air limbah rumah sakit yang ada di DKI Jakarta menunjukkan bahwa konsentrasi senyawa pencemar


(33)

sangat bervariasi misalnya, BOD 31,52 - 675,33 mg/l, ammoniak 10,79 - 158,73 mg/l, deterjen (MBAS) 1,66 - 9,79 mg/l. Hal ini mungkin disebabkan karena sumber air limbah juga bervarisi sehingga faktor waktu dan metoda pengambilan contoh sangat mempengaruhi besarnya konsentarsi.

2.2.2 Teknologi Pengolahan Air Limbah

Untuk mengolah air yang mengandung senyawa organik umumnya menggunakan teknologi pengolahan air limbah secara biologis atau gabungan antara proses biologis dengan proses kimia-fisika. Proses secara biologis tersebut dapat dilakukan pada kondisi aerobik (dengan udara), kondisi anaerobik (tanpa udara) atau kombinasi anaerobik dan aerobik. Proses biologis aeorobik biasanya digunakan untuk pengolahan air limbah dengan beban BOD yang tidak terlalu besar, sedangkan proses biologis anaerobik digunakan untuk pengolahan air limbah dengan beban BOD yang sangat tinggi. Dalam makalah ini uraian dititik beratkan pada proses pengolahan air limbah secara aerobik.

Pengolahan air limbah secara biologis aerobik secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga yakni proses biologis dengan biakan tersuspensi (suspended culture), proses biologis dengan biakan melekat (attached culture) dan proses pengolahan dengan sistem lagoon atau kolam. Proses biologis dengan biakan tersuspensi adalah sistem pengolahan dengan menggunakan aktifitas organisme untuk menguraikan senyawa polutan yang ada dalam air dan mikro-organime yang digunakan dibiakkan secara tersuspesi di dalam suatu reaktor.


(34)

Beberapa contoh proses pengolahan dengan sistem ini antara lain : proses lumpur aktif standar/konvesional (standard activated sludge), step aeration, contact stabilization, extended aeration, oxidation ditch (kolam oksidasi sistem parit) dan lainnya.

Proses biologis dengan biakan melekat yakni proses pengolahan limbah dimana mikro-organisme yang digunakan dibiakkan pada suatu media sehingga mikroorganisme tersebut melekat pada permukaan media. Beberapa contoh teknologi pengolahan air limbah dengan cara ini antara lain, trickling filter atau biofilter, Rotating Biological Contactor (RBC), contact aeration/oxidation (aerasi kontak) dan lainnnya.

Proses pengolahan air limbah secara biologis dengan lagoon atau kolam adalah dengan menampung air limbah pada suatu kolam yang luas dengan waktu tinggal yang cukup lama sehingga dengan aktifitas mikro-organisme yang tumbuh secara alami, senyawa polutan yang ada dalam air akan terurai. Untuk mempercepat proses penguraian senyawa polutan atau memperpendek waktu tinggal dapat juga dilakukam proses aerasi. Salah satu contoh proses pengolahan air limbah dengan cara ini adalah kolam aerasi atau kolam stabilisasi (stabilization pond). Proses dengan sistem lagoon tersebut kadang-kadang dikategorikan sebagai proses biologis dengan biakan tersuspensi.

Berdasarkan beberapa macam proses pengolahan air limbah seperti uraian di atas, untuk proses pengolahan air limbah Rumah Sakit tipe kecil (R.S. tipe D dan Puskesmas) sampai sedang (RS. Tipe C) proses pengolahan yang paling sesuai yakni proses pengolahan dengan Sistem Kombinasi Biofilter Anaerob dan


(35)

Aerob. Beberapa keunggulan proses pengolahan air limbah dengan biofilter anaerb-aerob antara lain yakni :

• Pengelolaannya sangat mudah.

• Biaya operasinya rendah.

• Dibandingkan dengan proses lumpur aktif, Lumpur yang dihasilkan relatif sedikit.

• Dapat menghilangkan nitrogen dan phospor yang dapat menyebabkan euthropikasi.

• Suplai udara untuk aerasi relatif kecil.

• Dapat digunakan untuk air limbah dengan beban BOD yang cukup besar.

• Dapat menghilangan padatan tersuspensi (SS) dengan baik.

2.2.3. Pengolahan air Limbah Dengan Proses Biofilter Anaerob-Aerob

Seluruh air limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit, yakni yang berasal dari limbah domestik maupun air limbah yang berasal dari kegiatan klinis rumah sakit dikumpulkan melalui saluran pipa pengumpul. Selanjutnya dialirkan ke bak kontrol. Fungsi bak kontrol adalah untuk mencegah sampah padat misalnya plastik, kaleng, kayu agar tidak masuk ke dalam unit pengolahan limbah, serta mencegah padatan yang tidak bisa terurai misalnya lumpur, pasir, abu gosok dan lainnya agar tidak masuk kedalam unit pengolahan limbah.

Dari bak kontrol, air limbah dialirkan ke bak pengurai anaerob. Bak pengurai anaerob dibagi menjadi dua buah ruangan yakni bak pengendapan atau bak pengurai awal, biofilter anaerob tercelup dengan aliran dari bawah ke atas (Up


(36)

Flow. Air limpasan dari bak pengurai anaerob selanjutnya dialirkan ke unit pengolahan lanjut. Unit pengolahan lanjut tersebut terdiri dari beberapa buah ruangan yang berisi media dari bahan PVC bentuk sarang tawon untuk pembiakan mikro-organisme yang akan menguraikan senyawa polutan yang ada di dalan air limbah.

Setelah melalui unit pengolahan lanjut, air hasil olahan dialirkan ke bak khlorinasi. Di dalam bak khlorinasi air limbah dikontakkan dengan khlor tablet agar seluruh mikroorganisme patogen dapat dimatikan. Dari bak khlorinasi air limbah sudah dapat dibuang langsung ke sungai atau saluran umum.

2.2.4. Penguraian Anaerob

Air limbah yang dihasilkan dari proses kegiatan rumah sakit atau puskesmas dikumpulkan melalui saluran air limbah, kemudian dilairkan ke bak kontrol untuk memisahkan kotoran padat. Selanjutnya, sambil di bubuhi dengan larutan kapur atau larutan NaOH air limbah dialirkan ke bak pengurai anaerob. Di dalam bak pengurai anaerob tersebut polutan organik yang ada di dalam air limbah akan diuraikan oleh mikroorganisme secara anaerob, menghasilkan gas methan dan H2S. Dengan proses tahap pertama konsentrasi COD dalam air limbah dapat diturukkan sampai kira-kira 400-500 ppm (efisiensi pengolahan ± 60-70 %). Air olahan tahap awal ini selanjutnya diolah dengan proses pengolahan lanjut dengan sistem biofilter anaerob-aerob.

2.2.5 Proses Pengolahan Lanjut

Proses pengolahan lanjut ini dilakukan dengan sistem biofilter anaerob-aerob. Pengolahan air limbah dengan proses biofilter anaerob-aerob terdiri dari


(37)

beberapa bagian yakni bak pengendap awal, biofilter anaerob (anoxic), biofilter aerob, bak pengendap akhir, dan jika perlu dilengkapi dengan bak kontaktor khlor. Air limbah yang berasal dari proses penguraian anaerob dialirkan ke bak pengendap awal, untuk mengendapkan partikel lumpur, pasir dan kotoran lainnya. Selain sebagai bak pengendapan, juga berfungasi sebagai bak pengontrol aliran, serta bak pengurai senyawa organik yang berbentuk padatan, sludge digestion (pengurai lumpur) dan penampung lumpur.

Air limpasan dari bak pengendap awal selanjutnya dialirkan ke bak kontaktor anaerob dengan arah aliran dari atas ke dan bawah ke atas. Di dalam bak kontaktor anaerob tersebut diisi dengan media plastik berbentuk sarang tawon. Jumlah bak kontaktor anaerob ini bisa dibuat lebih dari satu sesuai dengan kualitas dan jumlah air baku yang akan diolah. Penguraian zat-zat organik yang ada dalam air limbah dilakukan oleh bakteri anaerobik atau facultatif aerobik Setelah beberapa hari operasi, pada permukaan media filter akan tumbuh lapisan film mikro-organisme. Mikroorganisme inilah yang akan menguraikan zat organik yang belum sempat terurai pada bak pengendap.

Air limpasan dari bak kontaktor anaerob dialirkan ke bak kontaktor aerob. Di dalam bak kontaktor aerob ini diisi dengan media dari bahan kerikil, plastik (polyethylene), batu apung atau bahan serat, sambil diaerasi atau dihembus dengan udara sehingga mikro organisme yang ada akan menguraikan zat organik yang ada dalam air limbah serta tumbuh dan menempel pada permukaan media. Dengan demikian air limbah akan kontak dengan mikro-orgainisme yang tersuspensi dalam air maupun yang menempel pada permukaan media yang mana hal tersebut dapat meningkatkan efisiensi penguraian zat organik, deterjen serta mempercepat


(38)

proses nitrifikasi, sehingga efisiensi penghilangan ammonia menjadi lebih besar. Proses ini sering di namakan Aerasi Kontak (Contact Aeration). Dari bak aerasi, air dialirkan ke bak pengendap akhir. Di dalam bak ini lumpur aktif yang mengandung massa mikroorganisme diendapkan dan dipompa kembali ke bagian inlet bak aerasi dengan pompa sirkulasi lumpur.

Sedangkan air limpasan (over flow) dialirkan ke bak khlorinasi. Di dalam bak kontaktor khlor ini air limbah dikontakkan dengan senyawa khlor untuk membunuh mikroorganisme patogen. Air olahan, yakni air yang keluar setelah proses khlorinasi dapat langsung dibuang ke sungai atau saluran umum. Dengan kombinasi proses anaerob dan aerob tersebut selain dapat menurunkan zat organik (BOD, COD), ammonia, deterjen, padatan tersuspensi (SS), phospat dan lainnya. Dengan adanya proses pengolahan lanjut tersebut konsentrasi BOD dalam air olahan yang dihasilkan relatif rendah yakni sekitar 20-30 ppm.

2.2.6 Pengolahan Limbah Dengan Metode Lumpur Aktif

Dewasa ini metode lumpur aktif merupakan metode pengolahan air limbah yang paling banyak dipergunakan, termasuk di Indonesia, hal ini mengingat metode lumpur aktif dapat dipergunakan untuk mengolah air limbah dari berbagai jenis industry pangan, Perhotelan, rumah tinggal, Sekolah, bahan pabrik dan lain sebagainya.

Dengan menerapakan sistem ini didapatkan air bersih yang tidak lagi mengandung senyawa organik beracun dan bakteri yang berbahaya bagi kesehatan. Air tersebut dapat dipergunakan kembali sebagai sumber air untuk kegiatan industri selanjutnya. Diharapkan pemanfaatan sistem daur ulang air


(39)

limbah akan dapat mengatasi permasalahan persediaan cadangan air tanah demi kelangsungan kegiatan industri dan kebutuhan masyarakat akan air.

Air tesebut dapat dipergunakan kembali sebagi sumber air untuk kegiatan industry selanjutunya. Air daur ulang yang diproses dapat dapat dimanfaatkan dengan aman untuk kebutuhan konsumsi air seperti cooling tower, boiler laundry, toilet flusher, penyiraman tanaman, general cleaning, fish pond car wash dan kebutuhan air yang lainnya.

2.2.7 Cara Pengolahan Limbah

Limbah yang datang dari segala macam aktifitas akan ditampung kedalam bak penyaring, bak penyaring berfungsi sebagai penyaring kotoran padat dan sampah yang dapat mengganggu proses peralatan selanjutnya atau peralatan lainnya air yang telah disaring selanjutnya menuju ke bak equalizing, bak equalizing berfungsi sebagi penampung dalam proses awal agar kualitas air rata dan teratur.

Air kemudian di pompakan ke flow control box untuk selanjutnya masuk ke bak aerasi, bak ini dilengkapi dengan air diffuser yang berfungsi melarutkan udara kedalam air sehingga bakteri menjadi aktif

Di bak ini air limbah akan diproses dengan cara menambahkan atau melarutkan udara kedalam air dan menambahkan lumpur aktif yang diperoleh dari bak pengendap atau sedimentation tank. Bak ini berfungsi untuk mengendapkan lumpur yang datang dari aerasi dengan tujuan mempercepat pengendapan struktur, sehingga dibuat seperti limas segi empat.

Lumpur yang mengendap akan diangkat oleh airlift melalui udara blower kemudian lumpur ditampung ke setiap distributor box untuk di distribusikan ke


(40)

bak aerasi, bak penampungan lumpur dan bak klorinasi atau clorinasi tank. Setelah air diendapkan proses selanjutnya biasanya menambahkan bahan kimia yang berfungsi untuk membunuh kuman, namun bisa juga tidak menggunakan bahan kimia, hal tersebut dapat diatasi dengan menambahkan bakteri aktif pada saat proses aerasi. Bak penampungan air olahan atau effluent tank adalah bak yang berfungsi sebagai bak penampungan air olahan yang dihasilkan oleh unit pengolahan limbah untuk disalurkan ke watertank, air yang masuk ke bak ini adalah air yang sudah diproses bebas dari kuman.

Sebelum masuk ke make up water tank, air olahan akan di saring menggunakan pasir dan karbon untuk menghilangkan rasa, warna dan bau kemudian akan ditampung ke dalam tangki penampungan, air ditangki adalah air olahan atau recycle yang telah siap dipakai kembali sesuai kebutuhan.

2.2.8. Analisa Kualitas Air Hasil Olahan

Air limbah yang harus diolah adalah seluruh air limbah yang dihasilkan oleh kegiatan industri farmasi atau rumah sakit, yaitu air yang berasal dari dapur, laundry, air limbah dari kegiatan klinis, air limpasan tangki septik dan lainnya. Pengambilan dan pengujian kualitas air dilakukan setelah IPAL beroperasi selama tiga bulan.

Parameter yang perlu diamati adalah konsentrasi COD, BOD, TSS, kandungan amoniak dan deterjen. Hasilnya dibandingkan dengan baku mutu limbah cair kegiatan rumah sakit yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-58/MENLH/12/1995.


(41)

Parameter Kadar Maksimum (mg/l)

BOD5 75

COD 100

TSS 100

pH 6 – 9

2.3 Sistem Penyaluran Air Buangan 2.3.1 Sistem Sanitasi Setempat

Sistem sanitasi setempat (On-site sanitation) adalah sistem pembuangan air limbah dimana air limbah tidak dikumpulkan serta disalurkan ke dalam suatu jaringan saluran yang akan membawanya ke suatu tempat pengolahan air buangan atau badan air penerima, melainkan dibuang di tempat (Ayi Fajarwati, Penyaluran air buangan domestik 2000) . Sistem ini di pakai jika syarat-syarat teknis lokasi dapat dipenuhi dan menggunakan biaya relatif rendah. Sistem ini sudah umum karena telah banyak dipergunakan di Indonesia.

Kelebihan sistem ini adalah:

a) Biaya pembuatan relatif murah.

b) Bisa dibuat oleh setiap sektor ataupun pribadi.

c) Teknologi dan sistem pembuangannya cukup sederhana. d) Operasi dan pemeliharaan merupakan tanggung jawab pribadi.


(42)

Disamping itu, kekurangan sistem ini adalah:

a) Umumnya tidak disediakan untuk limbah dari dapur, mandi dan cuci. b) Mencemari air tanah bila syarat-syarat teknis pembuatan dan pemeliharaan tidak dilakukan sesuai aturannya.

Pada penerapan sistem setempat ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi (DPU 1989) antara lain:

• Kepadatan penduduk kurang dari 200 jiwa /ha.

• Kepadatan penduduk 200-5— jiwa/ha masih memungkinkan dengan syarat penduduk tidak menggunakan air tanah.

• Tersedia truk penyedotan tinja. 1. Cubluk (pit privy)

Cubluk merupakan sistem pembuangan tinja yang paling sederhana. Terdiri atas lubang yang digali secara manual dengan dilengkapi dinding rembes air yang dibuat dari pasangan batu bata berongga, anyaman bambu dan lain lain (Sugiharto 1987). Cubluk biasanya berbentuk bulat atau kotak, dengan potongan melintang sekitar 0.5-1.0 m2, dengan kedalaman 1-3 m. Hanya sedikit air yang digunakan untuk menggelontorkan tinja ke dalam cubluk. Cubluk ini biasanya di desain untuk waktu 5-10 tahun Beberapa jenis cubluk antara lain:

• Cubluk tunggal

Cubluk tunggal dapat digunakan untuk daerah yang memiliki tinggi muka air tanah > 1 m dari dasar cubluk. Cocok untuk daerah dengan kepadatan < 200 jiwa/ha. Pemakaian cubluk tunggal dihentikan setelah terisi 75%


(43)

Cubluk kembar dapat digunakan untuk daerah dengan kepadatan penduduk < 50 jiwa/ha dan memiliki tinggi muka air tanah > 2 m dari dasar cubluk . Pemakaian lubang cubluk pertama dihentikan setelah terisi 75% dan selanjutnya lubang cubluk kedua dapat disatukan. Jika lubang cubluk kedua terisi 75%, maka lumpur tinja yang ada di lubang pertama dapat dikosongkan secara manual dan dapat digunakan untuk pupuk tanaman .Setelah itu lubang cubluk dapat difungsikan kembali.

(Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Cubluk Kembar

2. Tangki Septik

Tangki septik merupakan suatu ruangan yang terdiri atas beberapa kompartemen yang berfungsi sebagai bangunan pengendap untuk menampung


(44)

jangka waktu tertentu. Untuk mendapat proses yang baik, sebuah tangki septik haruslah hampir terisi penuh dengan cairan, oleh karena itu tangki septik haruslah kedap air (Sugiharto 1987). Prinsip operasional tangki septik adalah pemisahan partikel dan cairan partikel yang mengendap (lumpur) dan juga partikel yang mengapung (scum) disisihkan dan diolah dengan proses dekomposisi anaerobik. Pada umumnya bangunan tangki septik dilengkapi dengan sarana pengolahan effluent berupa bidang resapan (sumur resapan). Tangki septik dengan peresapan merupakan jenis fasilitas pengolahan air limbah rumah tangga yang paling banyak digunakan di Indonesia. Pada umumnya diterapkan di daerah pemukiman yang berpenghasilan menengah ke atas,perkotaan, serta pelayanan umum. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penggunaan tangki septik (Gambar 2.3):

• Kecepatan daya serap tanah > 0.0146 cm/menit.

• Cocok diterapkan di daerah yang memiliki kepadatan penduduk < 500 jiwa/ha.

• Dapat dijangkau oleh truk penyedot tinja.


(45)

Gambar 2.3 Tangki septik

3. Beerput

Sistem ini merupakan gabungan antara bak septik dan peresapan. Oleh karena itu bentuknya hampir seperti sumur resapan (Sugiharto 1987). Untuk penerapan sistem beerput, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu tinggi air dalam saluran beerput pada musim kemarau tidak kurang dari 1,3 m dari dasar, jarak dengan sumur minimal 8 m, volume diameternya tidak boleh < 1m dan apabila dibuat segi empat maka sisi-sisinya harus lebih besar dari 0.9 m (Gambar 2.4).

Gambar 2.4 Beerput

2.3.2 Sistem Sanitasi Terpusat

Sistem Sanitasi Terpusat (Off site sanitation) merupakan sistem pembuangan air buangan rumah tangga (mandi, cuci, dapur, dan limbah kotoran) yang disalurkan keluar dari lokasi pekarangan masing-masing rumah ke saluran


(46)

pengumpul air buangan dan selanjutnya disalurkan secara terpusat ke bangunan pengolahan air buangan sebelum dibuang ke badan perairan (Ayi Fajarwati, Penyaluran air buangan domestik 2000).

Gambar 2.5 Sistem Sanitasi Terpusat 2.3.3 Sistem Penyaluran Terpisah

Sistem Penyaluran terpisah atau biasa disebut separate system/full sewerage adalah sistem dimana air buangan disalurkan tersendiri dalam jaringan riol tertutup, sedangkan limpasan air hujan disalurkan tersendiri dalam saluran drainase khusus untuk air yang tidak tercemar (Ayi Fajarwati, Penyaluran air buangan domestik 2000). Sistem ini digunakan dengan pertimbangan antara lain:

1. Periode musim hujan dan kemarau lama.

2. Kuantitas aliran yang jauh berbeda antara air hujan dan air buangan domestik.

3. Air buangan umumnya memerlukan pengolahan terlebih dahulu, sedangkan air hujan harus secepatnya dibuang ke badan penerima.


(47)

4. Fluktuasi debit (air buangan domestik dan limpasan air hujan) pada musim kemarau dan musim hujan relatif besar.

5. Saluran air buangan dalam jaringan riol tertutup, sedangkan air hujan dapat berupa polongan (conduit) atau berupa parit terbuka (ditch).

Kelebihan sistem ini adalah masing-masing sistem saluran mempunyai

dimensi yang relatif kecil sehingga memudahkan dalam konstruksi serta operasi

dan pemeliharaannya. Sedangkan kelemahannya adalah memerlukan tempat luas

untuk jaringan masing-masing sistem saluran (Gambar 2.6).

Gambar 2.6 Sistem Saluran Terpisah

2.3.4 Sistem Penyaluran Konvensional

Sistem penyaluran konvensional (conventional Sewer) merupakan suatu jaringan perpipaan yang membawa air buangan ke suatu tempat berupa bangunan


(48)

pengolahan atau tempat pembuangan akhir seperti badan air penerima. Sistem ini terdiri dari jaringan pipa persil, pipa lateral, dan pipa induk yang melayani penduduk untuk suatu daerah pelayanan yang cukup luas (Maryam Dewiandratika, Sistem penyaluran air limbah 2002). Setiap jaringan pipa dilengkapi dengan lubang periksa manhole yang ditempatkan pada lokasi-lokasi tertentu. Apabila kedalaman pipa tersebut mencapai 7 meter, maka air buangan harus dinaikkan dengan pompa dan selanjutnya dialirkan secara gravitasi ke lokasi pengolahan dengan mengandalkan kecepatan untuk membersihkan diri (Gambar 2.7).

Syarat yang harus dipenuhi untuk penerapan sistem penyaluran konvensional:

• Suplai air bersih yang tinggi karena diperlukan untuk menggelontor.

• Diameter pipa minimal 100 mm, karena membawa padatan.

• Aliran dalam pipa harus aliran seragam.

• Slope pipa harus diatur sehingga V cleansing terpenuhi (0.6 m/det). Aliran dalam saluran harus memiliki tinggi renang agar dapat mengalirkan padatan.

• Kecepatan maksimum pada penyaluran konvnsional 3m/detik.

Kelebihan sistem penyaluran konvensional adalah tidak diperlukannya suatu tempat pengendapan padatan atau tangki septik. Sedangkan kekurangan dari sistem penyaluran konvensional antara lain:

• Biaya konstruksi relatif mahal.

• Peraturan jaringan saluran akan sulit jika dikombinasikan dengan saluran small bore sewer, karena dua sistem tersebut membawa air buangan dengan karakteristik berbeda sehingga tidak boleh ada cabang dari sistem konvensional bersambung ke saluran small bore sewer.


(49)

Daerah yang cocok untuk penerapan sistem penyaluran konvensional:

• Daerah yang sudah mempunyai sistem jaringan saluran konvensional atau dekat dengan daerah yang punya sistem ini.

• Daerah yang mempunyai kepekaan lingkungan tinggi, misalnya daerah perumahan mewah, pariwisata.

• Lokasi pemukiman baru, dimana penduduknya memiliki penghasilan cukup tinggi, dan mampu membayar biaya operasional dan perawatan.

• Di pusat kota yang terdapat gedung-gedung bertingkat yang apabila tidak dibangun jaringan saluran, akan diperlukan lahan untuk pembuangan dan pengolahan sendiri.

• Di pusat kota, dengan kepadatan penduduk > 300 jiwa/ha dan umumnya Penduduk menggunakan air tanah, serta lahan untuk pembuatan sistem setempat sangat sulit dan permeabilitas tanah buruk.


(50)

2.3.5 Sistem Riol Dangka l (shallow Sewer)

Shallow sewerage disebut juga Simplified sewerage atau Condominial

Sewerage. Perbedaannya dengan sistem konvensional adalah sistem ini mengangkut air buangan dalam skala kecil dan pipa dipasang dengan slope lebih landai (Maryam Dewiandratika, Sistem Penyaluran air limbah 2002 ). Perletakan saluran ini biasanya diterapkan pada blok-blok rumah. Shallow sewer sangat tergantung pada pembilasan air buangan untuk mengangkut buangan padat jika dibandingkan dengan cara konvensional yang mengandalkan self clensing.

Sistem ini cocok diterapkan sebagai sewerage di daerah perkampungan dengan kepadatan tinggi, tidak di lewati oleh kendaraan berat dan memiliki kemiringan tanah sebesar 1% Shallow sewer harus dipertimbangkan untuk daerah perkampungan dengan kepadatan penduduk tinggi dimana sebagian besar penduduk sudah memiliki sambungan air bersih dan kamar mandi pribadi tanpa pembuangan setempat yang memadai. Sistem ini melayani air buangan dari kamar mandi, cucian, pipa servis, pipa lateral tanpa induk serta dilengkapi dengan pengolahan mini.

(A) (B)

Gambar 2.8 Layout saluran Shallow Sewerage pada perumahan tidak teratur (A) dan teratur (B).


(51)

2.3.6. Sistem Riol Ukuran Kecil/Small Bore Sewer

Saluran pada sistem riol ukuran kecil (small bore sewer) ini dirancang, hanya untuk menerima bagian-bagian cair dari air buangan kamar mandi, cuci, dapur dan limpahan air dari tangki septik, sehingga salurannya harus bebas zat padat. Saluran tidak dirancang untuk self cleansing, dari segi ekonomis sistem ini lebih murah dibandingkan dengan sistem konvensional (Maryam Dewiandratika, sistem Penyaluran air limbah 2002).

Daerah pelayanan relatif lebih kecil, pipa yang dipasang hanya pipa persil dan servis yang menuju lokasi pembuangan akhir, pipa lateral dan pipa induk tidak diperlukan, kecuali untuk beberapa daerah perencanaan dengan kepadatan penduduk sangat tinggi dan timbulan air buangan yang sangat besar. Sistem ini dilengkapi dengan instalasi pengolahan sederhana (Gambar 2.9).

Syarat yang harus dipenuhi untuk penerapan sistem ini:

 Memerlukan tangki yang berfungsi untuk memisahkan padatan dan cairan , tangki ini biasanya tangki septik.

 Diameter pipa minimal 50 mm karena tidak membawa padatan.  Aliran yang terjadi dapat bervariasi.

Aliran yang terjadi dalam pipa tidak harus memenuhi kecepatan self cleansing karena tidak harus membawa padatan.

 Kecepatan maksimum 3m/det.


(52)

Kelebihan Sistem Riol Ukuran Kecil:

 Cocok untuk daerah dengan kerapatan penduduk sedang sampai tinggi terutama daerah yang telah menggunakan tangki septik tapi tanah sekitarnya sudah tidak mampu lagi menyerap effluen tangki septik.

 Biaya pemeliharaan relatif murah.

 Mengurangi kebutuhan air, karena saluran tidak mengalirkan padatan.  Mengurangi kebutuhan pengolahan misalnya screening.

 Biasanya dibutuhkan di daerah yang tidak mempunyai lahan untuk bidang resapan atau bidang resapannya tidak efektif karena permebilitasnya jelek. Kekurangan Sistem Riol Ukuran Kecil antara lain:

 Memerlukan lahan untuk tangki.

 Memungkinkan untuk terjadi clogging karena diameter pipa yang kecil.

2.3.7 Sistem Penyaluran Tercampur

Sistem penyaluran tercampur merupakan sistem pengumpulan air buangan yang tercampur dengan air limpasan hujan (sugiharto 1987). Sistem ini digunakan apabila daerah pelayanan merupakan daerah padat dan sangat terbatas untuk membangun saluran air buangan yang terpisah dengan saluran air hujan, debit masing–masing air buangan relatif kecil sehingga dapat disatukan, memiliki kuantitas air buangan dan air hujan yang tidak jauh berbeda serta memiliki fluktuasi curah hujan yang relatif kecil dari tahun ke tahun (Gambar 2.10).

Kelebihan sistem ini adalah hanya diperlukannya satu jaringan sistem penyaluran air buangan sehingga dalam operasi dan pemeliharaannya akan lebih ekonomis. Selain itu terjadi pengurangan konsentrasi pencemar air buangan


(53)

karena adanya pengenceran dari air hujan. Sedangkan kelemahannya adalah diperlukannya perhitungan debit air hujan dan air buangan yang cermat. Selain itu karena salurannya tertutup maka diperlukan ukuran riol yang berdiameter besar serta luas lahan yang cukup luas untuk menempatkan instalasi pengolahan. buangan.

Gambar 2.10 Sistem Penyaluran Tercampur

2.3.8 Sistem Kombinasi

Pada sistem penyalurannya secara kombinasi dikenal juga dengan istilah interceptor, dimana air buangan dan air hujan disalurkan bersama-sama sampai tempat tertentu baik melalui saluran terbuka atau tertutup, tetapi sebelum mencapai lokasi instalasi antara air buangan dan air hujan dipisahkan dengan bangunan regulator ( Hardjosuprapto 2000).

Air buangan dimasukkan ke saluran pipa induk untuk disalurkan ke lokasi pembuangan akhir, sedangkan air hujan langsung dialirkan ke badan air


(54)

penerima. Pada musim kemarau air buangan akan masuk seluruhnya ke pipa induk dan tidak akan mencemari badan air penerima.

Sistem kombinasi ini cocok diterapkan di daerah yang dilalui sungai yang airnya tidak dimanfaatkan lagi oleh penduduk sekitar, dan di darah yang untuk program jangka panjang direncanakan akan diterapkan saluran secara konvensional, karena itu pada tahap awal dapat dibangun saluran pipa induk yang untuk sementara dapat dimanfaatkan sebagai saluran air hujan (Gambar 2.11).

Gambar 2.11 Sistem Penyaluran Kombinasi

2.4. Aliran Melalui Pipa

Pipa adalah saluran tertutup yang biasanya berpenampang lingkaran, dan digunakan untuk mengalirkan fluida dengan tampang aliran penuh, Fluida yang di alirkan melalui pipa biasanya berupa zat cair atau gas dan tekanannya bisa lebih besar atau lebih kecil dari tekanan atmosfer. Apabila zat cair di dalam pipa tidak penuh maka aliran termasuk dalam aliran saluran terbuka. Karena mempunyai


(55)

permukaan bebas, maka fluida yang di alirkan adalah zat cair. Tekanan di permukaan zat cair di sepanjang saluran terbuka adalah tekanan atmosfer

2.4.1. Hidrolika Pipa Bertekanan

Suatu pipa bertekanan adalah pipa yang dialiri dalam keadaan penuh. Pipa semacam ini seringkali lebih murah daripada saluran atau talang air, karena pada umumnya mengambil lintasan yang lebih pendek. Bila air langka didapat, pipa bertekanan dapat digunakan untuk menghindari kehilangan air akan rembesan dan penguapan yang dapat terjadi pada saluran terbuka.

Persamaan energi antara penampang A dan B pada gambar 2.8 dibawah dapat ditulis sebagai:

… (2.1)

dimana z adalah jarak tegak di atas suatu bidang persamaan mendatar, p/γ adalah tinggi tekanan air, V adalah kecepatan aliran rata-rata, hp adalah tinggi tekanan energi yang diberikan oleh pompa kepada air, dan hL adalah kehilangan tinggi tekanan keseluruhan antara penampang A dan B.


(56)

2.4.2. Kehilangan Energi Akibat Gesekan Pipa

Apabila pipa mempunyai penampang konstan, maka V 1 = V 2, dan persamaan di atas dapat ditulis dalam bentuk yang lebih sederhana untuk kehilangan tenaga akibat gesekan.

(2.2)

atau

(2.3)

Kehilangan tenaga sama dengan jumlah dari perubahan tekanan dan tinggi tempat.

Gambar 2.13 Penurunan Rumus Darcy-Weisbach

Seperti terlihat pada gambar 2.13 tampang lintang aliran melalui pipa adalah konstan yaitu A, sehingga percepatan a = 0. Tekanan pada tampang 1 dan 2 adalah p1 dan p2. Jarak antar tampang 1 dan 2 adalah ∆L. Gaya-gaya yang bekerja pada zat cair adalah gaya tekanan pada kedua tampang, gaya berat dan gaya gesekan.

Dengan menggunakan hukum Newton II untuk gaya-gaya tersebut akan didapat:


(57)

p1A - p2A+γ AL sin α - τo PL =M x 0

Dengan P adalah keliling basah pipa. Oleh karena selisih tekanan adalah

p1 maka :

pA +γ AL sin α - τo PL = 0

Kedua ruas dibagi dengan Aγ, sehingga:

atau

(2.4) (2.5) dengan ∆z = L sin α, R = A/P adalah jari-jari hidrolis dan I = hf /∆L adalah kemiringan garis energi. Untuk pipa lingkaran:

sehingga persamaan diatas menjadi:

(2.6)

Persamaan yang telah dilakukan oleh para ahli menunjukan bahwa kehilangan tenaga sebanding dengan V n di mana n ≈ 2. Untuk aliran melalui pipa dengan dimensi dan zat cair tertentu, persamaan (2.6) menunjukan bahwa hf

sebanding dengan τo. Dengan demikian apabila hf = f (V 2) berarti juga τo = f (V 2).

Dengan anggapan bahwa :

τo = CV 2 (2.7)


(58)

Dengan mendefinisikan f = 8C/ρ maka persamaan di atas menjadi:

(2.8)

Apabila panjang pipa adalah L, maka persamaan (2.8) menjadi :

(2.9)

Persamaan (2.9) disebut dengan persamaan Darcy-Weisbach untuk aliran melalui pipa lingkaran. Dalam persamaan tersebut f adalah koefisien gesekan Darcy-Weisbach yang tidak berdimensi. Koefisien f adalah merupakan fungsi dari angka Reynolds dari kekasaran pipa.

Pada tahun 1944 Moody memperkenalkan suatu grafik yang mempermudahkan dalam penentuan nilai f. Grafik ini kemudian dikenal dengan Moody Diagram (gambar 2.14)


(59)

Alternatif lain untuk menentukan nilai f dengan menggunakan koefisien manning, Chezy atau Hazen-williams.

) ( 58 .

124 1/3

2

d n

f = (2.10)

) . . ( 06 . 156 08 . 0 26 . 0 2 S d C f H = (2.11)

Tabel 2.2 Koefisien manning untuk beberapa jenis pipa

Type of pipe Manning’s n

Galvanized iron Corrugated metal Steel formed concrete Plastic (smooth) PVC

0,015 – 0,017 0,023 – 0,029 0,012 – 0,014 0,011 – 0,015 0,009 – 0,010 Sumber: Brater et al. (1996); ASCE (1976)

Tabel 2.3: Koefisien Hazen-Williams, CH

Type of pipe Manning’s n

PVC, glass, or enameled steel pipe Riveted steel pipe

Cast iron pipe

Smooth concrete pipe

Rought pipe (e.g., rough concrete pipe)

130 – 150 100 – 110 95 – 100 120 – 140 60 – 80 Sumber: Brater et al. (1996); ASCE (1976)

2.4.3 Kehilangan Tenaga Sekunder Dalam Pipa

Di samping adanya kehilangan tenaga akibat gesekan (kehilangan tenaga primer), terjadi pula kehilangan tenaga yang disebabkan oleh perubahan penampang pipa, sambungan, belokan dan katub (kehilangan tenaga sekunder). Pada pipa panjang, kehilangan tenaga primer biasanya jauh lebih besar dari pada kehilangan tenaga sekunder, sehingga pada keadaan tersebut kehilangan tenaga


(60)

sekunder dapat diabaikan. Pada pipa pendek kehilangan tenaga sekunder harus diperhitungkan. Apabila kehilangan tenaga sekunder kurang 5 % dari kehilangan tenaga primer maka kehilangan tenaga tersebut bisa diabaikan.

a. Kehilangan energi akibat penyempitan (contraction)

(2.12) dimana :

Hc = tinggi hilang akibat penyempitan

Kc = koefisien kehilangan energi akibat penyempitan

V2 = kecepatan rata-rata aliran dengan diameter D2 (yaitu di hilir dari

penyempitan)

Nilai dari Kc untuk berbagai nilai D2 / D1 tercantum pada tabel di bawah Tabel 2.4 Nilai Kc untuk berbagai nilai D2 / D1

D2/D1 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1,0

Kc 0,5 0,45 0,38 0,28 0,14 0,00

b. Kehilangan energi akibat pembesaran tampang (expansion)

(2.13) di mana

(2.14)

Apabila pipa masuk ke kolam yang besar seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.15, di mana A2 = ∞ sehingga V2 = 0 maka :


(61)

Kehilangan tenaga pada perbesaran penampang akan berkurang apabila perbesaran dibuat secara berangsur-angsur seperti ditunjukkan dalam gambar 2.15, kehilangan tenaga diberikan oleh persamaan berikut:

(2.15)

Gambar 2.15 Pipa menuju kolam

Gambar 2.16 Perbesaran penampang berangsur-angsur

dengan nilai K’ tergantung pada sudut α yang diberikan pada tabel 2.5. Tabel 2.5 Nilai K’ untuk berbagai nilai α

α 10o 20o 30o 40o 50o 60o 75o

Kc 0,078 0,31 0,49 0,60 0,67 0,72 0.72

c. Kehilangan energi akibat belokkan pipa

Kehilangan tenaga yang terjadi pada belokkan tergantung pada sudut belokkan pipa. Rumus kehilangan tenaga pada belokkan adalah sama dengan rumus pada perubahan penampang, yaitu :


(62)

Gambar 2.17 Belokkan pada pipa

dengan Kb adalah koefisien kehilangan tenaga pada belokkan, yang diberikan oleh tabel 2.6.

Tabel 2.6 Nilai Kb untuk berbagai nilai α

α 20o 40o 60o 80o 90o

Kc 0,05 0,14 0.36 0,74 0,98

Untuk sudut belokkan 90o dan dengan belokkan halus (berangsur-angsur), kehilangan tenaga tergantung pada perbandingan antara jari-jari belokkan dan diameter pipa. Nilai Kb untuk berbagai nilai R/D diberikan dalam tabel 2.7.

Gambar 2.18 Perbandingan nilai R/D untuk menentukan nilai K Tabel 2.7 Nilai Kb untuk berbagai nilai R/D

α 1 2 4 6 10 16 20

Kc 0,35 0,19 0.17 0,22 0,32 0.38 0.42

d. Tinggi energi akibat valve


(63)

dimana : Kv adalah koefisien tinggi hilang di valve, Nilai ini sangat bergantung pada jenis valve dan bukaannya.

2.5. Aliran Mantap Melalui Sistem Pipa

Aliran dalam suatu sistem pipa berfungsi untuk mengalirkan zat cair dari satu tempat ke tempat yang lain. Aliran ini dapat terjadi karena adanya perbedaan tinggi tekanan di kedua tempat, yang bisa terjadi karena adanya perbedaan elevasi muka air atau karena digunakannya pompa.

2.5.1. Garis Tenaga dan Garis Tekanan

Sesuai dengan prinsip Bernoulli, tenaga total di setiap titik pada saluran pipa adalah jumlah dari tinggi elevasi, tinggi tekanan, dan tinggi kecepatan. Garis yang menghubungkan titik-titik tersebut dinamakan garis tenaga, yang digambarkan di atas tampang memanjang pipa seperti yang ditunjukan pada gambar 2.18. Perubahan diameter pipa dan tempat-tempat tertentu di mana kehilangan tenaga sekunder terjadi ditandai dengan penurunan garis tenaga. Apabila kehilangan tenaga sekunder diabaikan, maka kehilangan tenaga hanya disebabkan oleh gesekan pipa.


(64)

2.5.2. Pipa dengan turbin

Di dalam pembangkit listrik tenaga listrik, tenaga air digunakan untuk memutar turbin. Untuk mendapatkan kecepatan yang besar guna memutar turbin, pada ujung di beri curat. Seperti di tunjukan pada gambar 2.19., dengan menganggap kehilangan tenaga sekunder kecil maka di sepanjang pipa garis tenaga berhimpit dengan garis tekanan.

Gambar 2.20 Pipa dengan curat

Dengan menganggap kehilangan tenaga sekunder diabaikan, tinggi tekanan efektif H adalah sama dengan tinggi statis Hs dikurangi kehilangan tenaga akibat gesekan hf .

H = Hs - hf

Kehilangan tenaga hf diberikan oleh persamaan Darcy-Weisbach:

mengingat

Dengan demikian tinggi tekanan efektif adalah:


(65)

Daya yang tersedia pada curat:

(2.17) dengan: Q = debit aliran (m3/d)

H = tinggi tekanan efektif (m)

γ = berat jenis zat cair (kgf/m3)

Atau dalam satuan hp (horse power, daya kuda) maka :

(hp) (2.18)

Apabila efisiensi turbin adalah η, maka daya yang diberikan oleh turbin adalah:

(hp) (2.19)

Substitusikan dari persamaan (2.16) ke dalam persamaan (2.19), maka:

(2.20)

2.5.3. Pipa dengan pompa

Jika pompa menaikkan zat cair dari kolam ataupun sumber air ke suatu kolam atau reservoir dengan selisih elevasi muka air Hs, seperti yang ditunjukan pada gambar 2.20, maka daya yang digunakan oleh pompa untuk menaikkan zat cair setinggi Hs adalah sama dengan tinggi Hs ditambah dengan kehilangan tenaga selama pengaliran dalam pipa tersebut. Kehilangan tenaga adalah ekivalen dengan penambahan tinggi elevasi, sehingga efeknya sama dengan jika pompa menaikkan zat cair setinggi H = Hs + Σhf . Dalam gambar tersebut tinggi kecepatan diabaikan sehingga garis tenaga berhimpit dengan garis tekanan.


(66)

Gambar 2.21 Pipa dengan pompa

Kehilangan tenaga terjadi pada pengaliran pipa 1 dan pipa 2 yaitu sebesar hf1 dan hf2. Pada pipa 1 yang merupakan pipa isap, garis tenaga (dan tenaga) menurun sampai di bawah pipa. Bagian pipa di mana garis tekanan di bawah sumbu pipa mempunyai tekanan negatip. Sedang pipa 2 merupakan pipa tekan. daya yang diperlukan pompa untuk menaikkan zat cair:

(2.21)

atau dalam satuan hp (horse power, daya kuda):

(2.22)

dengan η adalah efisiensi pompa. Pada pemakian pompa, efisiensi pompa digunakan sebagai pembagi dalam rumus daya pompa.

2.5.4. Pipa hubungan seri

Apabila suatu aliran pipa terdiri dari pipa-pipa dengan ukuran yang berbeda, pipa tersebut adalah dalam hubungan seri. Gambar 2.21 menunjukkan suatu sistem tiga pipa dengan karakteristik berbeda yang dihubungkan dengan


(67)

secara seri. Panjang, diameter dan koefisien gesekan masing-masing pipa adalah L1, L2, L3; D1, D2, D3 dan f1, f2, f3.

Gambar 2.22 Pipa dalam hubungan seri

Jika beda tinggi muka air kedua kolam diketahui, akan dicari besar debit aliran Q dengan menggunakan persamaan kontinuitas dan energi (Bernoulli). Langkah pertama yang harus dilakukan adalah menggambarkan garis tenaga. Seperti terlihat pada gambar, garis tenaga akan menurun kearah aliran. Kehilangan tenaga pada masing-masing pipa adalah hf1, hf2 dan hf3. Dianggap bahwa kehilangan

tenaga sekunder kecil sehingga diabaikan.

Q = Q1 = Q2 = Q3 (2.23)

Dengan menggunakan persamaan Bernoulli untuk titik 1 dan 2 (pada garis aliran):

(2.24)

Pada kedua titik, tinggi tekanan adalah H1 dan H2, dan kecepatan V1 = V2 = 0

(tampang aliran sangat besar), sehingga persamaan diatas menjadi: z1 + H1 = z2 + H2 + hf1 + hf2 + hf3

(z1 + H1) – (z2 + H2) = hf1 + hf2 + hf3


(68)

Dengan mengunakan persamaan Darcy-Weisbach, persamaan (2.25) menjadi: (2.26) Untuk masing-masing pipa kecepatan aliran:

Substitusikan nilai V1, V2, dan V3 ke dalam persamaan (2.26), didapat:

) (2.27)

Debit aliran adalah:

(2.28)

Kadang-kadang penyelesaian pipa seri dilakukan dengan suatu pipa ekivalen yang mempunyai penampang seragam. Pipa disebut ekivalen apabila kehilangan tekanan pada pengaliran di dalam pipa ekivalen sama dengan pipa-pipa yang diganti. Sejumlah pipa-pipa dengan bermacam-macam nilai f , L, dan D akan dijadikan suatu pipa ekivalen. Untuk itu diambil diameter De dan koefisien gesekan fe dari pipa yang terpanjang (atau yang telah ditentukan), dan kemudian ditentukan panjang pipa ekivalen. Kehilangan tenaga dalam pipa ekivalen:

(2.29)

Substitusikan dari persamaan tersebut ke persamaan (2.27) didapat:

) (2.30)


(69)

GAMBARAN UMUM DAERAH STUDI

3.1 Umum

Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar adalah Rumah Sakit Rujukan kelas B di mana semua masyarakat khususnya golongan menengah ke bawah mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya. Tarifnya yang murah dan terjangkau , tersedianya tenaga dokter spesialis yang cukup, fasilitas penunjang diagnostik yang memadai dan letak RS yang strategis ditengah kota menjadi salah satu alasan masyarakat untuk datang mendapatkan pengobatan di Rumah Sakit Umum baik dari kota Siantar sendiri rnaupun masyarakat dari kabupaten dan kota sekitarnya.

3.2 Gambaran singkat RSUD dr. Djasamen Saragih

RSUD dr. Djasamen Saragih pada awalnya bernama RSUD kota Pematang Siatar yang didirikan pada tahun 1911. Terletak di Jl. Sutomo No. 230 Pematang Siantar, dengan luas area ± 12,28 Ha menjadikan rumah sakit ini salah satu sentral kesehatan bagi masyarakat kota Pematang Siantar karena lokasinya yang strategis di tengah kota Pematang Siantar dan merupakan daerah lintasan dari kota Medan menuju daerah parawisata Danau Toba.

Seiring berjalannya waktu rumah sakit ini mengalami pergantian manajemen pengelolaan mulai dari pemerintah pusat, pemerintahan Provinsi Sumatera utara, dan hingga kini dekelola secara penuh oleh Pemerintah Kota Pematang Siantar. Dalam menjalakan fungsinya sebagai sarana kesehatan masyarakat, Rumah Sakit Umum Daerah Kota Pematangsiantar telah mengadakan kerjasama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia Medan


(70)

sejak tahun 1974. Rumah Sakit Umum Pematang Siantar dijadikan tempat pendidikan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran UMI melaksanakan praktek Kepaniteraan Klinik Senior ( Co-Schap ) di RSUD Pernatang Siantar. Rumah Sakit Umum Daerah Kota Pematangsiantar juga dijadikan tempat pendidikan AKPER" AKBID, dan lain-lain kejuruan, seperti Radiologi.

Gambar: 3.1 Tampak depan RSUD dr. Djasamen Saragih

3.2.1 Sarana dan Prasarana a. Prasarana

Dengan luas areal rumah sakit ± 12,28 Ha rumah sakit ini terdiri dari 59 unit bangunan yang terdiri dari Sarana gedung, terdiri dari ruang perkantoran, rawat jalan, rawat inap, ruang pertemuan, penujang medis, kamar bedah umum, kamar bedah obgin, kamar janazah, laundri, ruang rekam medis, asrama mahasiswa dan mesjid.

b. Sarana

Untuk menunjang berjalanannya kegiatan medis, rumah sakit ini dilengkapi dengan berbagai sarana antara lain:


(1)

Setelah dilakukan pegamatan dan evaluasi terhadap pengolahan air limbah rumah sakit pada Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada RSUD dr. Djasamen Saragih kota Pematangsiantar, maka didapatkan beberapa kesimpulan sebagai berikut;

1. RSUD dr. Djasamen saragih adalah RSUD kelas B yang terletak di pusat kota Pematangsiantar.

2. Dari report tahunan rumah sakit diketahui adanya peningkatan jumlah pasien rawat inap sebesar 20% yang berdampak pada peningkatan volume limbah cair sebesar 130 m3/hari .

3. Untuk pengolahan limbah padat rumah sakit ini dilengkapi dengan satu unit Incenerator yang juga digunakan untuk mengolah limbah padat dari rumah sakit, puskesmas dan klinik laboratorium yang berada di kota Pematangsiantar.

4. Untuk pengolahan limbah cair rumah sakit ini dilengkapi dengan satu bangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang mulai dibangun pada tahun 2003 dan diresmikan pada tahun 2004.

5. Instalasi Limbah ini menggunkan metode lumpur aktif (active sludge). 6. Dari hasil evaluasi yang dilakukan, untuk kapasitas limbah 130

m3/hari, ada beberapa unit bangunan yang harus didesain ulang agar sistem pengolahan dapat berlangsung efektif yang antara lain adalah; raw water basin, Fluidized Bed Biofilm Reactor, penambahan bola sebagai media tumbuh mikroba, serta penambaan volume senyawa khlor pada desinfectan basin.


(2)

7. Jumlah BOD tereduksi selama dalam sistem mencapai 93,328% yakni sebesar 26,88 mg/lt dengan rincian masing-masing efisiensi reduksi BOD pada tiap bangunan adalah; Buffer Screen Basin 20%, Fluidized Bed Biofilm Reactor basin 70%, Settling basin 50%, Difusser 30% dan Desinfectan basin 20%.

8. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-58/MENLH/12/1995 tentang baku mutu limbah cair buangan rumah sakit, kualitas BOD buangan hasil olahan pada IPAL ini sudah memenuhi syarat yang ditetapkan yakni maksimal 75 mg/l.


(3)

RSUD dr Djasamen saragih yang terletak di kota Pematangsiantar memegang peranan penting sebagai sarana kesehatan di kota Pematangsiantar dan sekitarnya. Sebagai sarana sosial rumah sakit ini juga memiliki peranan dalam menjaga kualitas lingkungan mengingat letaknya yang berada pada pusat aktifitas warga. Segala kegiatan rumah sakit yang menghasilkan limbah buangan haruslah dikelola dengan baik agar tidak berdampak kepada lingkungkan rumah sakit itu sendiri dan masyarakat sekitarnya. Dari hasil studi dilakukan, beberapa saran yang bisa meningkatkan efektifitas pengolahan limbah di rumah sakit tersebut:

1. Dengan kondisi IPAL yang ada saat ini, bila dibandingkan dengan pertambahan jumlah pasien yang di rawat inap yang berdampak pula pada peningkatan limbah cair yang di hasilkan, tentulah bangunan IPAl yang ada saat ini tidak bisa mengolah dengan. Oleh karena itu perlu adanya kebijakan dari pihak manajemen rumah sakit mengenai hal ini

2. Perlu adanya peningkatan kualitas SDM yang bertanggung jawab atas operasional pengolahan limbah.

3. Kualitas limbah cair yang dibuang haruslah tetap dijaga agar memenuhi standard yang ditetapkan dan pengujian laboratorium terhadap limbah haruslah dilakukan secara berkala.

4. Perlu adanya mengecekkan secara berkala terhadap jaringan instalasi pipa, pompa dan unit lainnya agar sistem dapat berjalan optimal.

5. Perlu adanya penambahan bak kontrol pada saluran dari bak penampungan sementara menuju lift station dikarenakan jarak antara keduanya yang cukup jauh.


(4)

DAFTAR PUSTAKA


(5)

Fair. Gordon M., 1966. Water And Wastewater Engineering Volume 1& II. John Wiley and Sons, Inc. Singapura.

Giles, R.V., 1976. Mekanika Fluida & Hidraulika Edisi Kedua. Erlangga. Jakarta

Kawamura, Susumu., 1991. Integrated Design Of Water Treatment Facilities. John Wiley and Sons, Inc. Amerika Serikat.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.76/Menkes/SK/viii/2001 Tentang Pedoman Teknis Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan

Kementrian Negara Lingkungan Hidup. 2006. Limbah Rumah Sakit.

Tanggal

akses : Juli 2010

Kodoatie, J. Robert (2002). Hidrolika Terapan : Aliran Pada Saluran Terbuka dan Pipa, Penerbit Andi, Yogyakarta.

Linsey, R. K., Franzini, J. B. dan Sasongko, D. (1986). Teknik Sumber Daya Air. jilid I dan II. Penerbit Erlangga, Jakarta

Makara kesehatan (Jurnal), vol. 10, no. 2, Desember 2006: Hal.

60-63Gambaran pengelolaan limbah cair di rumah sakit x Jakarta Februari 2006

Metcalf & Eddy., 2003. Wastewater Engineering, Treatment And Reuse. McGraw-Hill Companies, Inc. Amerika Serikat

Raswari, (1986). Teknologi Dan Perencanaan Sistem Perpipaan. UI Press, Jakarta.


(6)

Sosrodarsono, Suyuno (2006). Hidrologi Untuk Pengairan.PT Praditya Paramita

Jakarta.

Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, Kep-/MENKLH/10/1995. Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. Jakarta.

Triatmodjo, Bambang. (1993). Hidralulika I & II. Beta Offset, Yogyakarta