2.1.2 Patogenesis dan Patofisiologi
Walaupun banyak penyakit yang dapat menyebabkan lesi pada ginjal, secara keseluruhan intinya adalah perubahan adaptif pada ginjal
akan mengarah pada konsekuensi yang maladaptif. Teori yang paling dapat diterima adalah hiperfiltrasi pada nefron ginjal yang tersisa setelah
terjadi kehilangan nefron akibat lesi. Peningkatan tekanan glomerular menyebabkan hiperfiltrasi ini. Hiperfiltrasi terjadi sebagai kosekuensi
adaptif untuk mempertahankan laju filtrasi glomerulus LFG, namun kemudian akan menyebabkan cedera pada glomerulus. Permeabilitas
glomerulus yang abnormal umum terjadi pada gangguan glomerular, dengan proteinuria sebagai tanda klinis Conchol, 2005.
2.1.3 Gambaran Klinik Penyakit Ginjal Kronik
Gambaran klinik penyakit ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ
seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa,
dan kelainan neuropsikiatri.
1. Kelainan hemopoeisis Anemia normokrom dan normositer, sering ditemukan pada
pasien gagal ginjal kronik. Anemia sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg atau penjernihan kreatinin kurang dari 25 ml per
menit.
2. Kelainan saluran cerna Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari
sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai
hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia NH3. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau
rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran
Universitas Sumatera Utara
cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.
3. Kelainan mata Visus hilang azotemia amaurosis hanya dijumpai pada
sebagian kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang
adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis, dan pupil asimetris. Kelainan retina
retinopati mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik. Penimbunan atau
deposit garam kalsium pada konjungtiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin
juga dijumpai pada beberapa pasien penyakit ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tertier.
4. Kelainan kulit Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum
jelas dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi.
Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.
5. Kelainan selaput serosa Kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering
dijumpai pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan salah satu indikasi mutlak untuk
segera dilakukan dialisis.
Universitas Sumatera Utara
6. Kelainan neuropsikiatri Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi,
insomnia, depresi. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis. Kelainan mental ringan atau berat
ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya personalitas. Pada kelainan
neurologi, kejang otot atau muscular twitching sering ditemukan pada pasien yang sudah dalam keadaan yang berat, kemudian terjun menjadi
koma.
7. Kelainan kardiovaskular Patogenesis gagal jantung kongestif GJK pada gagal ginjal
kronik sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, penyebaran kalsifikasi mengenai sistem vaskuler, sering
dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Hal ini dapat menyebabkan gagal faal jantung.
8. Hipertensi Patogenesis hipertensi ginjal sangat kompleks, banyak faktor
turut memegang peranan seperti keseimbangan natrium, aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron, penurunan zat dipresor dari
medulla ginjal, aktivitas sistem saraf simpatis, dan faktor hemodinamik lainnya seperti cardiac output dan hipokalsemia.
Retensi natrium dan sekresi renin menyebabkan kenaikan volume plasma VP dan volume cairan ekstraselular VCES.
Ekspansi VP akan mempertinggi tekanan pengisiaan jantung cardiac filling pressure dan cardiac output pressure COP. Kenaikan COP
akan mempertinggi tonus arteriol capacitance dan pengecilan diameter arteriol sehinga tahanan perifer meningkat. Kenaikan tonus
vaskuler akan menimbulkan aktivasi mekanisme umpan balik feed- back mechanism sehingga terjadi penurunan COP sampai mendekati
Universitas Sumatera Utara
batas normal tetapi kenaikan tekanan darah arterial masih dipertahankan.
Sinus karotis mempunyai faal sebagai penyangga buffer yang mengatur tekanan darah pada manusia. Setiap terjadi kenaikan tekanan
darah selalu dipertahankan normal oleh sistem mekanisme penyangga tersebut. Pada pasien azotemia, mekanisme penyangga dari sinus
karotikus tidak berfaal lagi untuk mengatur tekanan darah karena telah terjadi perubahan volume dan tonus pembuluh darah arteriol
Sukandar, 2006.
2.1.4 Hemodialisis