Analisis Kualitatif Kandungan Formalin dalam Tahu yang Dijual di Pasar-pasar Tradisional di Kecamatan Medan Area dan Kecamatan Medan Tembung Tahun 2011

(1)

ANALISIS KUALITATIF KANDUNGAN FORMALIN

DALAM TAHU YANG DIJUAL DI PASAR-PASAR TRADISIONAL

DI KECAMATAN MEDAN AREA

DAN KECAMATAN MEDAN TEMBUNG TAHUN 2011

Oleh:

NELLY

080100075

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

ANALISIS KUALITATIF KANDUNGAN FORMALIN

DALAM TAHU YANG DIJUAL DI PASAR-PASAR TRADISIONAL

DI KECAMATAN MEDAN AREA

DAN KECAMATAN MEDAN TEMBUNG TAHUN 2011

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh:

NELLY

080100075

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Analisis Kualitatif Kandungan Formalin dalam Tahu yang Dijual di Pasar-pasar Tradisional di Kecamatan Medan Area dan Kecamatan Medan Tembung Tahun 2011

Nama : Nelly NIM : 080100075

Pembimbing Penguji

... ... (dr. Yahwardiah Siregar, PhD) (Prof. Dr. dr. Rozaimah Zain-Hamid, MS, Sp.FK)

... (dr. Muhammad Ali, Sp.A(K))

Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

……….. (Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp. PD-KGEH)


(4)

ABSTRAK

Dalam proses pengolahan makanan, produsen selalu mengusahakan untuk menghasilkan makanan yang disukai dan berkualitas baik. Oleh karena itu, biasanya produsen sering menambahkan Bahan Tambahan Pangan (BTP) ke dalam makanan. Akan tetapi, terdapat dua permasalahan utama dalam penggunaannya. Pertama, produsen menggunakan BTP yang diizinkan akan tetapi melebihi dosis yang diizinkan. Kedua, produsen menggunakan bahan yang bukan merupakan BTP. Salah satu contoh bahan yang bukan termasuk BTP tetapi sering ditambahkan ke dalam makanan yaitu formalin. Tujuannya adalah agar makanan menjadi lebih awet (tahan lama). Makanan yang sering ditambahkan formalin adalah tahu, bakmi basah, bakso, ikan asin, ikan segar dan ayam potong.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara kualitatif apakah terdapat formalin dalam tahu yang dijual di pasar-pasar tradisional di Kecamatan Medan Area dan Kecamatan Medan Tembung.

Penelitian ini adalah secara deskriptif dengan pendekatan cross sectional dan sampel yang diambil adalah tahu yang dijual di pasar-pasar tradisional di Kecamatan Medan Area dan Kecamatan Medan Tembung dengan menggunakan teknik total sampling. Analisa terhadap sampel dilakukan di Laboratorium Terpadu FK USU dengan menggunakan reagensia Schiff yang akan memberi warna lembayung bila terdapat formalin pada tahu tersebut.

Pada hasil penelitian, ternyata tidak satupun dari 42 sampel yang diambil dari 12 pasar pada lokasi penelitian ini mengandung formalin.

Kesimpulannya, tahu yang dijual di pasar-pasar tradisional di Kecamatan Medan Area dan Kecamatan Medan Tembung bebas dari formalin.


(5)

ABSTRACT

In the process of food management, manufacturers always try to produce food that is good in quality which preferred by most consumers. Therefore, manufacturers usually add food addictives into the food to make the food looks fresh. But there are two main disadvantages behind its usage. First, some manufacturers use the food addictives with not recommended doses. Second, they might add the substances which believed are not food addictives into the food. One of the substances that are not food addictive but regularly added into the food is formaldehyde. It is used as a preservative so that food can stay good and last longer. Foods which are usually added with formaldehyde are tofu, noodles, meatballs, salted-fish, fresh fish, sliced-chicken and etc.

The objective of this study is to analyze qualitatively whether the formaldehyde is present in tofu that sold in traditional markets for instance, Kecamatan Medan Area and Kecamatan Medan Tembung.

This research is a descriptive by using cross sectional study and the samples is the tofu that sold in traditional markets of Kecamatan Medan Area and Kecamatan Medan Tembung with total sampling method. The sample was analyzed at Laboratorium Terpadu FK USU by using Schiff reagent which can give reddish purple color if there is formaldehyde in the tofu.

As the result of this study, the totals of these 42 samples that are collected from these 12 markets, none of them contain formaldehyde.

As a conclusion, all the tofu sold at Kecamatan Medan Area and Kecamatan Medan Tembung is free from formaldehyde.


(6)

KATA PENGANTAR

Terima kasih saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan anugerahNya saya dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini. Penelitian ini adalah mengenai Analisis Kualitatif Kandungan Formalin dalam Tahu yang Dijual di Pasar-pasar Tradisional di Kecamatan Medan Area dan Kecamatan Medan Tembung Tahun 2011.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing penulis yaitu dr. Yahwardiah Siregar, PhD yang telah meluangkan banyak waktu dan pikirannya serta memberikan petunjuk dan sarannya selama proses pembuatan karya tulis ilmiah dijalankan. Ucapan terima kasih juga ditujukan untuk dosen-dosen yang mengajar Ilmu Kesehatan Kedokteran (IKK) Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberi petunjuk dan bimbingan dalam mengerjakan karya tulis ilmiah ini. Terima kasih kepada keluarga dan segenap teman-teman yang telah mendukung saya selama ini.

Saya menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Saya sangat berharap saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat menyempurnakan lagi penelitian ini. Kepada semua yang membaca penelitian ini saya mengucapkan terima kasih karena telah meluangkan waktu untuk membaca hasil penelitian ini. Semoga dengan adanya karya tulis ilmiah ini dapat memberi manfaat kepada semua dan penulis sendiri.

Medan, 15 Desember 2011


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ….……….. i

ABSTRAK ……….. ii

ABSTRACT ………... iii

KATA PENGANTAR ………... iv

DAFTAR ISI ……….. v

DAFTAR TABEL ……….. vii

DAFTAR GAMBAR ………. viii

DAFTAR SINGKATAN ………... ix

DAFTAR LAMPIRAN ………. x

BAB 1 PENDAHULUAN ……….. 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ……… 3

1.3. Tujuan Penelitian ………. 3

1.4. Manfaat Penelitian ………... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ……… 4

2.1. Bahan Tambahan Pangan ……… 4

2.2. Bahan Pengawet ……….. 5

2.3. Formalin ……….. 6

2.3.1. Penyalahgunaan Formalin ……… 7

2.3.2. Ciri-ciri Makanan yang Mengandung Formalin ……….. 8

2.3.3. Dampak Formalin pada Kesehatan ……….. 10

2.4. Tahu ……… 12

2.5. Analisis Kualitatif Formalin dalam Makanan ………. 12

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ……. 13

3.1. Kerangka Konsep ……… 13

3.2. Variabel dan Definisi Operasional ……….. 14

BAB 4 METODE PENELITIAN ………. 15

4.1. Jenis Penelitian ……… 15

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ……….. 15

4.2.1. Waktu Penelitian ………... 15

4.2.2. Tempat Penelitian ………. 15


(8)

4.3.1 Populasi Penelitian ……… 15

4.3.2. Sampel Penelitian ……….……… 15

4.4. Metode Percobaan ………...…… 15

4.4.1. Alat-alat Percobaan ……….. 15

4.4.2. Bahan-bahan Percobaan ………... 16

4.4.3. Cara Percobaan ………. 16

4.5. Teknik Pengumpulan Data ……….. 17

4.6. Pengolahan dan Analisa Data ……….. 17

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……… 18

5.1. Hasil Penelitian ……… 18

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ……….. 18

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel ……… 20

5.1.3. Hasil Analisis Kualitatif Formalin ……… 20

5.2. Pembahasan ………. 24

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ………. 27

6.1. Kesimpulan ………..……… 27

6.2. Saran ………..……….. 27

DAFTAR PUSTAKA ……… 29 LAMPIRAN


(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

4.1 Perubahan Warna Terhadap Hasil Tes 17 5.1 Jumlah Pasar yang Dikelola Pemerintah,

Swasta, dan Tanpa Pengelola di Kecamatan Medan Area

19

5.2 Jumlah Pasar yang Dikelola Pemerintah, Swasta, dan Tanpa Pengelola di Kecamatan Medan Tembung Tahun 2009

20

5.3 Hasil Analisis Kualitatif Kandungan Formalin dalam Tahu yang dijual di Pasar-pasar Tradisional di Kecamatan Medan Area Tahun 2011

21

5.4 Hasil Analisis Kualitatif Kandungan Formalin dalam Tahu yang dijual di Pasar-pasar Tradisional di Kecamatan Medan Tembung Tahun 2011


(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1 Struktur Bangun Formaldehida 6 Gambar 5.1 Hasil Penelitian pada Tahu yang Dijual di

Pasar-pasar Tradisional di Kecamatan Medan Area dan Kecamatan Medan Tembung

23


(11)

DAFTAR SINGKATAN

ADI Acceptable Daily Intake BTP Bahan Tambahan Pangan Depkes Departemen Kesehatan Menkes Menteri Kesehatan

POM Pengawasan Obat dan Makanan RI Republik Indonesia


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman


(13)

ABSTRAK

Dalam proses pengolahan makanan, produsen selalu mengusahakan untuk menghasilkan makanan yang disukai dan berkualitas baik. Oleh karena itu, biasanya produsen sering menambahkan Bahan Tambahan Pangan (BTP) ke dalam makanan. Akan tetapi, terdapat dua permasalahan utama dalam penggunaannya. Pertama, produsen menggunakan BTP yang diizinkan akan tetapi melebihi dosis yang diizinkan. Kedua, produsen menggunakan bahan yang bukan merupakan BTP. Salah satu contoh bahan yang bukan termasuk BTP tetapi sering ditambahkan ke dalam makanan yaitu formalin. Tujuannya adalah agar makanan menjadi lebih awet (tahan lama). Makanan yang sering ditambahkan formalin adalah tahu, bakmi basah, bakso, ikan asin, ikan segar dan ayam potong.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara kualitatif apakah terdapat formalin dalam tahu yang dijual di pasar-pasar tradisional di Kecamatan Medan Area dan Kecamatan Medan Tembung.

Penelitian ini adalah secara deskriptif dengan pendekatan cross sectional dan sampel yang diambil adalah tahu yang dijual di pasar-pasar tradisional di Kecamatan Medan Area dan Kecamatan Medan Tembung dengan menggunakan teknik total sampling. Analisa terhadap sampel dilakukan di Laboratorium Terpadu FK USU dengan menggunakan reagensia Schiff yang akan memberi warna lembayung bila terdapat formalin pada tahu tersebut.

Pada hasil penelitian, ternyata tidak satupun dari 42 sampel yang diambil dari 12 pasar pada lokasi penelitian ini mengandung formalin.

Kesimpulannya, tahu yang dijual di pasar-pasar tradisional di Kecamatan Medan Area dan Kecamatan Medan Tembung bebas dari formalin.


(14)

ABSTRACT

In the process of food management, manufacturers always try to produce food that is good in quality which preferred by most consumers. Therefore, manufacturers usually add food addictives into the food to make the food looks fresh. But there are two main disadvantages behind its usage. First, some manufacturers use the food addictives with not recommended doses. Second, they might add the substances which believed are not food addictives into the food. One of the substances that are not food addictive but regularly added into the food is formaldehyde. It is used as a preservative so that food can stay good and last longer. Foods which are usually added with formaldehyde are tofu, noodles, meatballs, salted-fish, fresh fish, sliced-chicken and etc.

The objective of this study is to analyze qualitatively whether the formaldehyde is present in tofu that sold in traditional markets for instance, Kecamatan Medan Area and Kecamatan Medan Tembung.

This research is a descriptive by using cross sectional study and the samples is the tofu that sold in traditional markets of Kecamatan Medan Area and Kecamatan Medan Tembung with total sampling method. The sample was analyzed at Laboratorium Terpadu FK USU by using Schiff reagent which can give reddish purple color if there is formaldehyde in the tofu.

As the result of this study, the totals of these 42 samples that are collected from these 12 markets, none of them contain formaldehyde.

As a conclusion, all the tofu sold at Kecamatan Medan Area and Kecamatan Medan Tembung is free from formaldehyde.


(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) dalam makanan terutama makanan olahan merupakan hal yang tidak dapat dihindari lagi (Zuraidah, 2007). Sejak pertengahan abad ke-20, BTP khususnya bahan pengawet semakin sering digunakan dalam produksi pangan. Hal ini seiring dengan kemajuan teknologi produksi bahan tambahan pangan sintesis (Cahyadi, 2009). Yang dimaksud dengan Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan yang ditambahkan ke dalam makanan untuk mempengaruhi sifat ataupun bentuk makanan, bisa memiliki nilai gizi tetapi bisa pula tidak. Adapun jenis-jenis BTP yaitu pengawet, pewarna, penyedap, pemanis, pemutih, pengental, dan lain-lain (Yuliarti, 2007).

Akan tetapi, dalam praktek penggunaannya BTP sering tidak digunakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Ada dua permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan BTP ini. Pertama, produsen menggunakan BTP yang diizinkan pengunaannya tetapi digunakan melebihi dosis yang telah ditetapkan. Kedua, produsen menggunakan BTP yang dilarang penggunaannya untuk digunakan dalam makanan (Zuraidah, 2007).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Repubrik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 tanggal 22 September 1988 dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1168/Menkes/PER/X/1999 terdapat beberapa jenis bahan tambahan pangan yang dilarang penggunaannya. Beberapa BTP yang dimaksud yaitu: asam borat dan senyawanya, asam salisilat dan garamnya, dietilpilokarbonat, dulsin, kalium klorat, kloramfenikol, minyak nabati yang dibrominasi, nitrofurazon, dan formalin (Saparinto & Hidayati, 2006). Diantara BTP yang dilarang tersebut, yang paling sering digunakan adalah formalin dan boraks.


(16)

Formalin merupakan larutan komersial dengan konsentrasi 10–40% dari formaldehida. Fungsi formalin yang sebenarnya adalah sebagai antiseptik, germisida, dan pengawet nonmakanan (Yuliarti, 2007). Akan tetapi, formalin digunakan secara luas di masyarakat pada berbagai bahan pangan untuk memperpanjang masa simpan bahan pangan. Masyarakat pengguna formalin ini sebagian telah mengetahui fungsi formalin, tetapi tidak tahu dampak penggunaannya terhadap kesehatan (Zuraidah, 2007).

Formalin merupakan zat kimia yang berbahaya terhadap kesehatan. Adapun dampak formalin terhadap kesehatan dapat berupa dampak akut maupun kronik. Efek jangka pendeknya antara lain berupa iritasi pada saluran pernapasan, muntah-muntah, pusing, dan rasa terbakar pada tenggorokan. Jika dikonsumsi secara terus-menerus dalam jangka waktu lama, dapat menyebabkan kerusakan hati, jantung, otak, limpa, pankreas, sistem susunan saraf pusat, dan ginjal (Cahanar & Suhanda, 2006).

Pada akhir tahun 2005, marak dikabarkan di media cetak dan elektronik bahwa ada zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan manusia, seperti formaldehida (atau formalin), boraks (natrium tetraborat, mineral alam), pewarna tekstil, dan bahan kimia lainnya, digunakan dalam bahan pangan (Widmer & Frick, 2007).

Berdasarkan hasil investigasi dan pengujian laboratorium yang dilakukan Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (POM) di Jakarta, ditemukan formalin digunakan sebagai pengawet pada sejumlah produk pangan seperti ikan asin, mi basah, dan tahu. Produk pangan berformalin itu dijual di sejumlah pasar dan supermarket di wilayah DKI Jakarta, Banten, Bogor, dan Bekasi. Dari hasil pengujian Balai Besar POM di Jakarta–pada November-Desember 2005– ditemukan 56 sampel dari 98 sampel produk pangan positif mengandung formalin (Cahanar & Suhanda, 2006).

Perinciannya, dari 23 sampel mi basah, 15 sampel diantaranya tercemar formalin (65 persen). Sebanyak 46,3 persen dari 41 sampel beragam jenis tahu positif mengandung formalin. Dari 34 sampel aneka jenis ikan asin, 22 sampel


(17)

diantaranya juga tercemar formalin (64,7 persen). Sampel ikan asin yang positif berformalin itu, antara lain, ikan asin sange belah, ikan cucut daging super dan jambal roti (Cahanar & Suhanda, 2006).

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahannya adalah: Apakah terdapat formalin dalam tahu yang dijual di pasar-pasar tradisional di Kecamatan Medan Area dan Kecamatan Medan Tembung.

1.3. Tujuan Penelitian

- Untuk mengetahui apakah terdapat formalin dalam tahu yang dijual di pasar-pasar tradisional di Kecamatan Medan Area dan Kecamatan Medan Tembung.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan informasi bagi Dinas Kesehatan Kota Medan dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Cabang Medan mengenai ada atau tidaknya formalin dalam makanan yang dijual di pasar tradisional.

2. Sebagai bahan penyuluhan bagi Puskesmas mengenai ada atau tidaknya formalin dalam makanan yang dijual di pasar tradisional.

3. Sebagai bahan acuan dan pedoman bagi peneliti lain jika akan meneruskan penelitian sejenis.


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bahan Tambahan Pangan

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.772/Menkes/Per/IX/88 dan No.1168/Menkes/PER/X/1999 pengertian Bahan Tambahan Pangan (BTP) secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, dan penyimpanan. Penggunaan bahan tambahan pangan bertujuan agar dapat meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan pangan (Cahyadi, 2009).

Dalam penggunaan bahan tambahan pangan, para produsen harus mematuhi Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2004 pasal 9, yakni setiap orang yang memproduksi makanan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apapun yang dinyatakan terlarang sebagai bahan tambahan pangan, dan menggunakan bahan tambahan pangan wajib yang diizinkan (Saparinto dan Hidayati, 2006). Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 telah dicantumkan bahan tambahan pangan yang diizinkan ditambahkan dalam makanan. BTP tersebut diantaranya terdiri dari.

1. Antioksidan (antioxidant) 2. Antikempal (anticaking agent)

3. Pengaturan keasaman (acidity regulator) 4. Pemanis buatan (artificial sweeterner)

5. Pemutih dan pematang telur (flour treatment agent)

6. Pengemulsi, pemantap, dan pengental (emulsifier, stabilizer, thickener) 7. Pengawet (preservative)


(19)

9. Pewarna (colour)

10.Penyedap rasa dan aroma, penguat rasa (flavor, flavor enhancer) 11.Sekuestran (sequestrant)

BTP lain yang biasa digunakan dalam pangan selain BTP yang tercantum dalam peraturan menteri tersebut, misalnya:

1. Enzim, yaitu BTP yang berasal dari hewan, tanaman, atau mikroba, yang dapat menguraikan zat secara enzimatis, misalnya membuat pangan menjadi lebih empuk, lebih larut, dan lain-lain.

2. Penambah gizi, yaitu bahan tambahan berupa asam amino, mineral, atau vitamin, baik tunggal maupun campuran, yang dapat meningkatkan nilai gizi pangan.

3. Humektan, yaitu BTP yang dapat menyerap lembab (uap air) sehingga mempertahankan kadar air pangan.

(Cahyadi, 2009)

2.2. Bahan Pengawet

Bahan pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Biasanya bahan tambahan pangan ini ditambahkan ke dalam makanan yang mudah rusak, atau makanan yang disukai sebagai media tumbuhnya bakteri atau jamur, misalnya pada produk daging, buah-buahan, dan lain-lain (Cahyadi, 2009).

Zat pengawet terdiri dari senyawa anorganik dan organik dalam bentuk asam dan garamnya. Contoh zat pengawet anorganik yang masih sering digunakan adalah sulfit, hidrogen peroksida, nitrit dan nitrat. Zat pengawet organik yang sering digunakan untuk pengawet adalah asam sorbat, asam propionat, asam benzoat, asam asetat, dan epoksida. Zat pengawet organik lebih banyak digunakan daripada yang anorganik karena bahan ini lebih mudah dibuat (Cahyadi, 2009).


(20)

Ternyata, dalam penggunaannya produsen sering menggunakan pengawet yang sebenarnya bukan Bahan Tambahan Pangan (BTP) untuk mengawetkan makanan sehingga penggunaannya sangat membahayakan konsumen. Jenis-jenis bahan pengawet yang dilarang, diantaranya natrium tetraboraks (boraks), formalin, asam salisilat dan garamnya, dietilpilokarbonat, dulsin, kalium klorat, kloramfenikol, minyak nabati yang dibrominasi (brominated vegetable oil), nitrofurazon, dan kalium atau potassium bromat. Di antara bahan-bahan tersebut yang paling sering digunakan di masyarakat adalah formalin dan boraks (Yuliarti, 2007).

2.3. Formalin (Formaldehida)

Larutan formaldehida atau larutan formalin dengan rumus molekul CH2O

mempunyai nama dagang formalin, formol, atau mikrobisida mengandung kira-kira 37% gas formaldehida dalam air. Biasanya ditambahkan 10–15% methanol untuk menghindari polimerisasi (Windholz et al.,1983 dalam Cahyadi, 2009). Formalin bisa berbentuk cairan jernih, tidak berwarna, dan berbau menusuk, atau berbentuk tablet dengan berat masing-masing 5 gram (Saparinto dan Hidayati, 2006). Struktur kimia dari formaldehida dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut.

O

H C H

Gambar 2.1. Struktur Kimia Formaldehida

Formaldehida mempunyai sifat antimikroba karena kemampuannya menginaktivasi protein dengan cara mengkondensasi asam amino bebas dalam protein menjadi campuran lain. Kemampuan dari formaldehida meningkat seiring dengan peningkatan suhu (Lund, 1994 dalam Cahyadi, 2009). Karena kemampuan tersebut, maka formalin digunakan sebagai pengawet.


(21)

Sebenarnya formalin adalah bahan pengawet yang digunakan dalam dunia kedokteran, misalnya sebagai bahan pengawet mayat dan hewan-hewan untuk keperluan penelitian. Selain sebagai bahan pengawet, formalin juga memiliki fungsi lain sebagai berikut.

a. Zat antiseptik untuk membunuh mikroorganisme. b. Desinfektan pada kandang ayam dan sebagainya.

c. Antihidrolik (penghambat keluarnya keringat) sehingga digunakan sebagai bahan pembuat deodoran.

d. Bahan campuran dalam pembuatan kertas tisu untuk toilet.

e. Bahan baku industri pembuatan lem plywood, resin, maupun tekstil. (Saparinto & Hidayati, 2006)

2.3.1. Penyalahgunaan Formalin

Besarnya manfaat formalin di bidang industri tersebut ternyata disalahgunakan oleh produsen di bidang industri makanan. Biasanya hal ini sering ditemukan dalam industri rumahan karena mereka tidak terdaftar dan tidak terpantau oleh Depkes dan Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (POM) setempat (Yuliarti, 2007). Berdasarkan hasil penelitian Zuraidah (2007) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan formalin pada pedagang tahu di pasar flamboyan kota Pontianak didapatkan bahwa alasan pedagang menambahkan formalin ke dalam makanan adalah karena kepentingan ekonomi. Alasan ekonomi di sini berarti agar pedagang tidak mengalami kerugian bila barang dagangan mereka tidak habis terjual dalam sehari. Selain itu, kurangnya informasi tentang formalin dan bahayanya, tingkat kesadaran kesehatan masyarakat yang masih rendah, harga formalin yang sangat murah, dan kemudahannya didapat merupakan faktor-faktor penyebab penyalahgunaan formalin sebagai pengawet dalam makanan (Saparinto & Hidayati, 2006).

Formaldehida merupakan bahan tambahan kimia yang efisien, tetapi penggunaannya dilarang dalam bahan pangan (makanan). Walaupun demikian,


(22)

ada kemungkinan formaldehida digunakan dalam pengawetan susu, tahu, mie, ikan asin, mi basah, dan produk pangan lainnya (Cahyadi, 2009). Berdasarkan hasil investigasi dan pengujian laboratorium yang dilakukan Balai POM di Jakarta, ditemukan sejumlah produk makanan yang memakai formalin sebagai pengawet seperti ikan asin, mi basah, dan tahu (Yuliarti, 2007).

2.3.2. Ciri-ciri Makanan yang Mengandung Formalin

Untuk mengetahui kandungan formalin dalam bahan makanan secara akurat dapat dilakukan uji laboratorium dengan menggunakan pereaksi kimia. Akan tetapi kita juga dapat mengetahui ada tidaknya formalin dalam makanan tanpa uji laboratorium. Berikut ciri-ciri beberapa contoh bahan makanan yang menggunakan formalin sebagai bahan pengawet.

a. Bakmi basah

1. Tidak rusak sampai 2 hari pada suhu kamar (25° C) dan bertahan lebih dari 15 hari dalam lemari es (suhu 10° C).

2. Bau formalin agak menyengat.

3. Mi tampak lebih mengilap dibandingkan dengan mi normal dan tidak lengket.

4. Tidak dikerubungi lalat. 5. Tekstur mi lebih kenyal. b. Ayam potong

1. Tidak dikerubungi lalat. 2. Daging sedikit tegang (kaku).

3. Jika dosis formalin yang diberikan tinggi maka akan tercium bau formalin.


(23)

4. Dalam uji klinis, jika daging ayam dimasukkan dalam reagen maka akan muncul gelembung gas.

c. Tahu, dengan kandungan formalin 0,5–1 ppm

1. Tidak rusak sampai 3 hari pada suhu kamar (25° C) dan bertahan lebih dari 15 hari dalam lemari es (suhu 10° C).

2. Tekstur lebih keras tetapi tidak padat.

3. Terasa kenyal jika ditekan, sedangkan tahu tanpa formalin biasanya mudah hancur.

4. Bau formalin agak menyengat. 5. Tidak dikerubungi lalat. d. Bakso

1. Tidak rusak sampai 5 hari pada suhu kamar (25° C). 2. Tekstur sangat kenyal dan tidak dikerubungi lalat. e. Ikan asin

1. Tidak rusak sampai lebih dari satu bulan pada suhu kamar (25° C). 2. Tampak bersih dan cerah.

3. Tidak berbau khas ikan asin.

4. Tekstur ikan keras, bagian yang luar kering tetapi bagian dalamnya basah.

5. Tidak dikerubungi lalat dan baunya hampir netral (hampir tidak lagi berbau amis).


(24)

f. Ikan segar

1. Tidak rusak sampai 3 hari pada suhu kamar (25° C).

2. Mata ikan merah, tetapi warna insang merah tua, bukan merah segar, dan tidak cemerlang.

3. Warna daging putih bersih, dengan tekstur kaku/ kenyal.

4. Bau amis (spesifik ikan) berkurang, lendir pada kulit ikan hanya sedikit, dan tercium bau seperti bau kaporit.

5. Tidak dikerubungi lalat. (Saparindo dan Hidayati, 2006)

2.3.3. Dampak Formalin pada Kesehatan

Karakteristik risiko yang membahayakan bagi kesehatan manusia yang berhubungan dengan formaldehida adalah berdasarkan konsentrasi dari substansi formaldehida yang terdapat di udara dan juga dalam produk-produk pangan (WHO, 2002). Selain itu, gangguan kesehatan yang terjadi akibat kontak dengan formalin sangat tergantung pada cara masuk zat ini ke dalam tubuh (Yuliarti, 2007).

Pemaparan formaldehida terhadap kulit menyebabkan kulit mengeras, menimbulkan kontak dermatitis dan reaksi sensitivitas. Formalin bisa menguap di udara, berupa gas yang tidak berwarna, dengan bau yang tajam menyesakkan sehingga merangsang hidung, tenggorokan, dan mata. Bila uap formalin dengan konsentrasi 0,03-4 bpj terhirup selama 35 menit, maka akan menyebabkan iritasi membran mukosa hidung, mata, dan tenggorokan. Selain itu, dapat juga terjadi iritasi pernapasan parah, seperti batuk, disfagia, spasmus laring, bronkhitis, pneumonia, asma, edema pulmonal, dapat pula terjadi tumor hidung pada mencit (Cahyadi, 2009).


(25)

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1168/Menkes/Per/X/1999 ditegaskan bahwa formalin dilarang digunakan dalam makanan. Hal itu mengingat bahaya serius yang akan dihadapi jika formalin masuk ke dalam tubuh manusia. Formalin akan menekan fungsi sel, menyebabkan kematian sel, dan menyebabkan keracunan (Khomsan & Anwar, 2008).

Setelah menggunakan formalin, efek sampingnya tidak akan secara langsung terlihat. Efek ini hanya terlihat secara kumulatif, kecuali jika seseorang mengalami keracunan formalin dengan dosis tinggi (Saparinto & Hidayati, 2006). Jumlah formaldehida yang masih boleh diterima manusia per hari tanpa akbiat negatif pada kesehatan (Acceptable Daily Intake/ ADI) adalah 0,2 mg per kilogram berat badan (Widmer dan Frick, 2007). Formalin dapat menyebabkan kematian pada manusia bila dikonsumsi melebihi dosis 30 ml. Setelah mengonsumsi formalin dalam dosis fatal, seseorang mungkin hanya mampu bertahan selama 48 jam (Khomsan & Anwar, 2008).

Dampak akut formalin terhadap kesehatan terjadi akibat paparan formalin dalam jumlah yang banyak dalam waktu yang singkat. Efeknya berupa iritasi, alergi, kemerahan, mata berair, mual, muntah, rasa terbakar, sakit perut, pusing, bersin, radang tonsil, radang tenggorokan, sakit dada yang berlebihan, lelah, jantung berdebar, sakit kepala, diare dan pada konsentrasi yang sangat tinggi dapat menyebabkan kematian. Dampak kronik dari formalin terlihat setelah terkena paparan formalin berulang dalam jangka waktu yang lama dan biasanya formalin dikonsumsi dalam jumlah kecil dan terakumulasi dalam jaringan. Gejalanya berupa mata berair, gangguan pada: pencernaan, hati, ginjal, pankreas, sistem saraf pusat, menstruasi dan pada hewan percobaan dapat menyebabkan kanker, sedangkan pada manusia diduga bersifat karsinogen (Yuliarti, 2007).

Dari hasil analisa penelitian kohort pada pekerja di industri formalin, didapatkan hubungan antara paparan formalin dengan kejadian kanker nasofaring dan kemungkinan kejadian kanker pada beberapa bagian saluran nafas bagian atas. Akan tetapi, tidak ditemukan hubungan antara paparan formalin dengan


(26)

kejadian kanker pankreas, otak dan paru-paru (Hauptmann, Lubin, Stewart, Hayes and Blair, 2004 & Bosetti, McLaughlin, Tarone, Pira, and Vecchia, 2008).

2.4. Tahu

Produk tahu berasal dari sari kedelai yang digumpalkan dengan asam (Suprapti, 2005). Bahan dasar pembuatan tahu adalah kacang kedelai. Oleh karena itu, kandungan protein tahu sangat berkualitas namun jumlah protein dalam tahu hanya 7,8%. Protein tahu tidak terlalu tinggi karena kadar air dalam tahu sangat tinggi, yaitu mencapai 84,8%. Umumnya, makanan dengan kadar air tinggi mengandung protein yang agak rendah (Khomsan dan Anwar, 2008).

Karena mengandung kadar air yang tinggi, tahu cepat mengalami penyimpangan bau maupun rasa. Selain itu, kualitas kedelai, sumber air pembuatannya, sanitasi alat-alat pembuatan tahu dan pekerjanya mempengaruhi cita rasa tahu dan kecepatannya dalam mengalami penyimpangan bau (Khomsan dan Anwar, 2008). Jika tidak diawetkan, tahu hanya tahan disimpan selama dua hari bila direndam dalam air sumur atau air keran yang bersih.

2.5. Analisis Kualitatif Formalin dalam Makanan

Formaldehida merupakan suatu senyawa aldehida yang dapat dideteksi dengan menggunakan reagensia Schiff , yaitu larutan pararosanilin yang telah dihilangkan warnanya oleh sulfur dioksida (Stedman’s, 2003).

Eksperimen mendeteksi zat aldehida dalam suatu bahan dinamakan tes Schiff. Tes ini dilakukan dengan meneteskan larutan Schiff kedalam 2 tabung uji. Tabung uji pertama berisi 1 ml ethanol dan 0,3 ml asetaldehida sedangkan tabung uji kedua berisi 1 ml ethanol dan 0,3 ml formaldehida. Hasil positif terhadap aldehida ditandai dengan perubahan warna pada larutan yaitu dari tidak berwarna menjadi warna ungu kemerahan. Eksperimen menunjukkan terdapatnya perubahan warna pada kedua-dua tabung reaksi yang berisi zat aldehida (Keush, 2003).


(27)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Bahan Tambahan Pangan (BTP)

Penyalahgunaan formalin dalam makanan:

1. Bakmi basah 2. Ayam potong 3. Bakso

4. Ikan segar 5. Ikan asin

6. Tahu

Pengawet yang bukan BTP, tetapi digunakan untuk mengawetkan makanan:

1. Boraks

2. Formalin

3. Asam salisilat 4. Dietilpilokarbonat 5. Dulsin

6. Kalium klorat 7. Kloramfenikol

8. Minyak nabati yang dibrominasi 9. Nitrofurazon

10.Kalium bromat

Analisa kualitatif kandungan formalin dalam makanan

BTP yang diizinkan ditambahkan dalam makanan:

1. Asam sorbat 2. Asam propionat 3. Asam benzoat 4. Asam asetat 5. Epoksida 6. Sulfit

7. Hidrogen peroksida 8. Nitrat 9. Nitrit Pengawet Mengandung formalin Tidak mengandung formalin

Dampak terhadap kesehatan:

Radang, iritasi lambung, muntah, diare bercampur darah, kencing bercampur darah, dan gagalnya peredaran darah

6. Tahu 2. Formalin


(28)

3.2. Variabel dan Definisi Operasional

Definisi Operasional Formalin adalah larutan formaldehida dalam air, dengan kadar antara 10%-40%, tidak berwarna, berbau menusuk, dan bila direaksikan dengan reagensia Schiff akan memberi warna lembayung kemerahan

Cara Ukur Mengamati terjadinya perubahan warna dengan reagensia Schiff

Alat Ukur Visual

Hasil Ukur Positif = timbul warna lembayung kemerahan Negatif = tidak ada perubahan warna

Skala Pengukuran Nominal

Definisi Operasional Tahu adalah makanan yang dibuat dari kacang kedelai yang difermentasi dan diambil sarinya.

Cara Ukur Mengamati warna, bentuk dan kekenyalannya Alat Ukur Indera peraba, penciuman dan visual

Hasil Ukur Sesuai atau tidak kriteria yang ditetapkan Skala Pengukuran Nominal


(29)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan cross-sectional .

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

4.2.1. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilakukan pada bulan Juli tahun 2011.

4.2.2. Tempat Penelitian

Pemeriksaan laboratorium telah dilakukan di Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran USU.

4.3. Populasi dan Sampel

4.3.1. Populasi

Populasi penelitian adalah tahu yang dijual di pasar-pasar tradisional di Kecamatan Medan Area dan Kecamatan Medan Tembung.

4.3.2. Sampel

Sampel penelitian adalah total sampling yaitu semua tahu yang dijual di pasar-pasar tradisional pada Kecamatan Medan Area dan Kecamatan Medan Tembung.

4.4. Metode percobaan 4.4.1. Alat-alat Percobaan

1. Alat penimbang elektronik 2. Mortar

3. Tabung ukur 4. Labu Kjedahl 5. Alat destilasi 6. Erlenmeyer 7. Mikropipet


(30)

8. Tabung reaksi 9. Rak tabung reaksi

4.4.2. Bahan-bahan Percobaan

1. Tahu

2. Asam fosfat 10% 3. Aquadest

4. Reagensia Schiff 5. Formalin 10%

4.4.3. Cara Percobaan

Asam fosfat 10% dihasilkan dari asam fosfat 85% melalui teknik pengenceran dengan menggunakan rumus :

V1d1 = V2d2

*anggap volume asam fosfat 10% yang akan dihasilkan adalah sebanyak 20ml V1(85) = 20(10)

V1(85) = 200 V1 = 200/85 V1 = 2.35 ml 20ml – 2.35ml = 17.65 ml

Jadi 17.65 ml aquadest harus ditambahkan pada 2.35 ml asam fosfat 85% untuk menghasilkan 20 ml asam fosfat 10%.

Seterusnya, tahu yang dijadikan sampel ditimbang dengan menggunakan alat timbangan elektronik dan hanya 5 gram yang diambil untuk diuji. Tahu diambil dan digiling dengan mortar sehingga halus. Sampel yang telah digiling dicampurkan dengan 50 ml aquadest dan 2.5 ml larutan asam fosfat 10%. Larutan dimasukkan ke dalam labu Kjedahl dan didestilasi.

Hasil destilasi ditampung dan 1ml destilat diambil dengan mikropipet dan dimasukkan kedalam tabung reaksi yang sudah berisi 1 ml reagensia Schiff. Perubahan warna pada tabung reaksi diperhatikan seperti yang tertera dibawah ini.


(31)

Tabel 4.1. Perubahan Warna Terhadap Hasil Tes

Hasil tes Perubahan warna yang diperhatikan

Positif mengandung Formalin Tidak berwarna  lembayung Negatif mengandung Formalin Tidak terjadi perubahan warna

4.5. Teknik Pengumpulan Data

Data yang diambil adalah data yang diperoleh dari hasil percobaan laboratorium dalam analisa kualitatif kandungan formalin dalam tahu.

4.6. Pengolahan dan Analisa Data


(32)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan sampel penelitiannya adalah tahu yang dijual di pasar-pasar tradisional di Kecamatan Medan Area dan Kecamatan Medan Tembung. Sampel penelitian diambil secara total sampling. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2011.

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Pada penelitian ini, lokasi tempat pengambilan sampel adalah seluruh pasar tradisional di Kecamatan Medan Area dan Kecamatan Medan Tembung.

Di Kecamatan Medan Area terdapat 7 kelurahan dengan 5 kelurahan yang memiliki pasar yaitu Kelurahan Pandau Hulu, Kelurahan Sei Rengas II, Kelurahan Tegal Sari II, Kelurahan Sukaramai, dan Kelurahan Kota Matsum II sedangkan 2 kelurahan yang lain tidak memiliki pasar. Jumlah pasar dari ke lima kelurahan tersebut berjumlah 6 pasar dengan jumlah pedagang tahu yang bervariasi. Jumlah pedagang tahu terbanyak (9 pedagang) adalah di pasar Bakti di Kelurahan Tegal Sari II, sedangkan pasar dengan jumlah pedagang tahu yang paling sedikit adalah pasar Besi dan pasar Gajah di Kelurahan Pandau Hulu dengan masing-masing pasar ada 2 pedagang tahu. Selain itu, pasar Ramai di Kelurahan Rengas II terdapat 3 pedagang tahu, pasar Sukarame di Kelurahan Sukaramai terdapat 5 pedagang tahu dan pasar Halat di Kelurahan Kota Matsum II terdapat 6 padagang tahu. Daftar pasarnya dapat dilihat pada tabel 5.1.


(33)

Table 5.1. Jumlah Pasar yang Dikelola Pemerintah, Swasta, dan Tanpa Pengelola di Kecamatan Medan Area

Kelurahan Pasar dikelola pemerintah

Pasar dikelola swasta

Pasar tanpa pengelola

1. Pandau Hulu 0 2 0

2. Sei Rengas I 0 0 0

3. Sei Rengas II 0 1 0

4. Tegal Sari I 0 0 0

5. Tegal Sari II 1 0 0

6. Sukaramai 1 0 0

7. Kota Matsum II 0 1 0

Medan Area 2 4 0

Di Kecamatan Medan Tembung terdapat 7 kelurahan. Akan tetapi, hanya 4 kelurahan yang memiliki pasar yaitu Kelurahan Bantan Timur, Kelurahan Bantan, Kelurahan Bandar Selamat dan Kelurahan Tembung sedangkan 3 kelurahan yang lain tidak memiliki pasar. Jumlah pasar di empat kelurahan ini berjumlah 6 pasar dengan jumlah pedagang tahu yang hampir sama yaitu 2 pedagang dan 3 pedagang. Pasar dengan 2 pedagang tahu yaitu pasar Tuasan di Kelurahan Bandar Selamat, pasar Firdaus di Kelurahan Bantan Timur dan pasar Letsu di Kelurahan Tembung. Pasar dengan 3 pedagang tahu yaitu pasar Perguruan di Kelurahan Bantan, pasar Bengkok dan pasar Bersama di Kelurahan Bantan Timur. Daftar pasarnya dapat dilihat pada tabel 5.2.


(34)

Table 5.2. Jumlah Pasar yang Dikelola Pemerintah, Swasta, dan Tanpa Pengelola di Kecamatan Medan Tembung Tahun 2009

Kelurahan Pasar dikelola pemerintah

Pasar dikelola swasta

Pasar tanpa pengelola

1. Indra Kasih 0 0 0

2. Sidorejo Hilir 0 0 0

3. Sidorejo 0 0 0

4. Bantan Timur 2 1 0

5. Bandar Selamat 0 0 1

6. Bantan 0 0 1

7. Tembung 0 1 0

Medan Tembung 2 2 2

Sumber: Kantor Lurah se Kecamatan Medan Tembung

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Sampel

Dalam penelitian ini, sampel yang digunakan adalah tahu yang dijual di pasar-pasar tradisional di Kecamatan Medan Area dan Kecamatan Medan Tembung dimana jenis tahu yang dipilih adalah tahu putih.

5.1.3. Hasil Analisis Kualitatif Formalin

Berdasarkan hasil penelitian pada 42 tahu yang dijual di pasar-pasar tradisional di Kecamatan Medan Area dan Kecamatan Medan Tembung maka didapatkan hasil seperti yang terlihat pada tabel 5.3. dan tabel 5.4. berikut ini.


(35)

Tabel 5.3. Hasil Analisis Kualitatif Kandungan Formalin dalam Tahu yang dijual di Pasar-pasar Tradisional di Kecamatan Medan Area Tahun 2011

Kelurahan Tempat Pengambilan Sampel Hasil

Pandau Hulu Pasar Besi Pedagang tahu 1 − Pedagang tahu 2 − Pasar Gajah Pedagang tahu 1 − Pedagang tahu 2 − Sei Rengas II Pasar Ramai Pedagang tahu 1 − Pedagang tahu 2 − Pedagang tahu 3 − Sukaramai Pasar Sukarame Pedagang tahu 1 − Pedagang tahu 2 − Pedagang tahu 3 − Pedagang tahu 4 − Pedagang tahu 5 − Tegal Sari II Pasar Bakti Pedagang tahu 1 − Pedagang tahu 2 − Pedagang tahu 3 − Pedagang tahu 4 − Pedagang tahu 5 − Pedagang tahu 6 − Pedagang tahu 7 − Pedagang tahu 8 − Pedagang tahu 9 − Kota Matsum II Pasar Halat Pedagang tahu 1 − Pedagang tahu 2 − Pedagang tahu 3 − Pedagang tahu 4 − Pedagang tahu 5 −


(36)

Tabel 5.4. Hasil Analisis Kualitatif Kandungan Formalin dalam Tahu yang dijual di Pasar-pasar Tradisional di Kecamatan Medan Tembung Tahun 2011

Kelurahan Tempat Pengambilan Sampel Hasil

Bandar Selamat Pasar Tuasan Pedagang tahu 1 − Pedagang tahu 2 − Bantan Pasar Perguruan Pedagang tahu 1 − Pedagang tahu 2 − Pedagang tahu 3 − Bantan Timur Pasar Bengkok Pedagang tahu 1 − Pedagang tahu 2 − Pedagang tahu 3 − Pasar Bersama Pedagang tahu 1 − Pedagang tahu 2 − Pedagang tahu 3 − Pasar Firdaus Pedagang tahu 1 − Pedagang tahu 2 − Tembung Pasar Letsu Pedagang tahu 1 − Pedagang tahu 2 − Keterangan: − : Tidak terdapat formalin


(37)

Hasil dari penelitian ini adalah tidak terjadinya perubahan warna setelah destilat direaksikan dengan reagensia Schiff. Berikut adalah gambar dari hasil penelitian ini (Gambar 5.1.).

Gambar 5.1. Hasil Penelitian pada Tahu yang Dijual di Pasar-pasar Tradisional di Kecamatan Medan Area dan Kecamatan Medan Tembung

Sebagai kontrol positif maka campuran dari tahu, asam fosfat dan aquadest diteteskan 1 tetes (35 μl) larutan formalin. Setelah itu, campuran tersebut didestilasi untuk mendapatkan destilat yang kemudian ditambahkan 1 ml reagensia Schiff. Hasilnya didapatkan perubahan warna dari yang tidak berwarna menjadi lembayung. Berikut adalah gambar dari kontrol positifnya (Gambar 5.2.).


(38)

5.2. Pembahasan

Tahu merupakan makanan yang yang populer di Indonesia karena memiliki rasa yang enak, mudah diolah menjadi berbagai bentuk makanan dan harganya murah (Cahanar & Suhanda, 2006). Tahu terbuat dari kacang kedelai yang mengandung protein yang berkualitas tinggi. Akan tetapi, tahu memiliki kandungan air dalam jumlah yang tinggi. Hal ini mengakibatkan tahu mudah mengalami penyimpangan bau dan rasa (rusak) karena air merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba (Khomsan dan Anwar, 2008). Untuk memperlambat kerusakan pada tahu biasanya dilakukan perendaman di dalam air bersih atau tahu direbus terlebih dahulu sebelum disimpan. Akan tetapi, saat ini telah diketahui bahwa produk tahu banyak yang ditambahkan pengawet yang berbahaya yaitu formalin. Kadar formalin yang dicampurkan mungkin tidak dalam jumlah yang besar sehingga konsumen tidak dapat membedakan tahu yang berformalin dengan tahu yang tidak berformalin. Walaupun demikian, mengingat formalin merupakan pengawet yang dilarang maka penggunaannya dalam jumlah sekecil apapun dalam tahu tidak dibenarkan (Khomsan & Anwar, 2008).

Pada penelitian ini diteliti 42 sampel tahu yang berasal dari 12 pasar di Kecamatan Medan Area dan Kecamatam Medan Tembung. Sampel diuji dengan reagensia Schiff untuk mengetahui apakah terdapat formalin dalam tahu yang dijual. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa semua sampel memberikan hasil negatif terhadap reagensia Schiff. Artinya, tahu yang dijual di pasar-pasar tradisional di Kecamatan Medan Area dan Kecamatan Medan Tembung tidak ada satupun yang mengandung formalin.

Dari hasil peneliti lain, Aprilianti dkk (2007) dalam Program Kreativitas Mahasiswa yang berjudul “Studi Kasus Penggunaan Formalin pada Tahu Takwa di Kotamadya Kediri” menunjukkan bahwa 15 dari 24 tahu positif mengandung formalin. Hasil penelitian Zuraidah pada tahun yang sama yaitu 14 dari 21 tahu yang dijual di Pasar Flamboyan Kota Pontianak positif mengandung formalin.


(39)

Hasil penelitian Zazili (2008) pada sejumlah produk makanan yang dijual di pasar tradisional dan swalayan di Bandar Lampung menunjukkan bahwa sebanyak 59 (97%) dari 61 sampel ikan positif mengandung formalin, sebanyak 13 (81,3%) dari 16 sampel tahu positif mengandung formalin dan sebanyak 10 (77%) dari 13 sampel mie basah positif mengandung formalin.

Menurut Zuraidah (2007) terdapat beberapa alasan produsen menggunakan formalin dalam tahu. Pertama, karena alasan ekonomi yaitu agar tahu yang mereka jual tidak cepat rusak apabila tidak habis terjual dalam waktu sehari sehingga mereka tidak mengalami kerugian. Kedua, karena alasan pendidikan dan pengetahuan dimana pedagang mengetahui fungsi formalin untuk memperpanjang masa simpan tahu tetapi mereka tidak mengetahui dampak formalin terhadap kesehatan. Ketiga, karena kurangnya pembinaan (ketidaktegasan) dari petugas terhadap pedagang pengguna formalin sehingga mengakibatkan tidak ada efek jera bagi pelaku. Selain itu, karena harga formalin yang murah dan mudah didapat serta efektif sebagai pengawet walaupun dalam penggunaan yang sangat sedikit mengakibatkan produsen makanan menggunakan formalin sebagai bahan pengawet makanan (Saparinto & Hidayati, 2006).

Sebaliknya, konsumen mau membeli makanan berformalin karena ketidaktahuan dan kecenderungan untuk membeli barang yang murah dan awet. Selain itu, konsumen belum dapat membedakan makanan yang berformalin dan yang tidak mengandung formalin (Saparinto & Hidayati, 2006).

Penggunaan formalin sebagai pengawet makanan jelas dilarang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1168/ Menkes/ Per/ X/ 1999 karena bila formalin masuk ke dalam tubuh manusia maka akan berbahaya bagi kesehatan tubuh (Khomsan dan Anwar, 2008). Efek samping dari formalin tidak dapat dilihat secara langsung. Efek ini hanya dapat terlihat bila formalin telah terakumulasi dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang lama. Efek akut dari penggunaan formalin adalah tenggorokan dan perut terasa terbakar, sakit saat menelan; mual, muntah dan diare; sakit kepala dan hipotensi; kejang, tidak sadar


(40)

sampai koma; dan kerusakan hati, jantung, otak, limpa, pankreas, serta sistem susunan saraf pusat dan ginjal. Sementara itu, efek kronis penggunaan formalin adlah iritasi pada saluran pernafasan; muntah-muntah dan kepala pusing; rasa terbakar pada tenggorokan, penurunan suhu badan dan rasa gatal di dada; dan bila dikonsumsi menahun dapat mengakibatkan kanker. Bila seseorang mengalami keracunan formalin dengan dosis yang tinggi dapat menyebabkan kegagalan peredaran darah dan bermuara pada kematian (Saparinto & Hidayati, 2006). Jumlah formaldehida yang masih dapat diterima manusia per hari tanpa akibat negatif pada kesehatan (Acceptable Daily Intake/ ADI) adalah 0.2 mg perkilogram berat badan (Widmer & Frick, 2007). Dosis 30 ml formalin dapat menyebabkan kematian pada manusia (Khomsan & Anwar, 2008).

Menurut Mudjajanto (2005) dalam Aprilianti (2007), tahu yang mengandung formalin memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

1. Semakin tinggi kandungan formalin, maka tercium bau obat yang semakin menyengat; sedangkan tahu tidak berformalin akan tercium bau protein kedelai yang khas;

2. Tahu yang berformalin mempunyai sifat membal (jika ditekan terasa sangat kenyal), sedangkan tahu tak berformalin jika ditekan akan hancur;

3. Tahu berformalin akan tahan lama, sedangkan yang tak berformalin paling hanya tahan satu dua hari.

4. Tahu yang memakai pewarna buatan dapat ditandai dengan cara melihat penampakannya. Jika tahu memakai pewarna buatan, warnanya sangat homogen/seragam dan penampakan mengilap. Sedangkan jika memakai pewarna kunyit, warnanya cenderung lebih buram (tidak cerah). Jika kita potong tahunya, maka akan kelihatan bagian dalamnya warnanya tidak homogen/seragam. Bahkan, ada sebagian masih berwarna putih


(41)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa dari 42 tahu yang dijual di pasar-pasar tradisional di Kecamatan Medan Area dan Kecamatan Medan Tembung tidak ada satupun yang mengandung formalin.

6.2. Saran

Metode yang digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya kandungan formalin dalam makanan pada penelitian ini adalah melalui tahap destilasi yang kemudian destilatnya diteteskan reagensia Schiff. Tujuan dilakukan destilasi ini adalah untuk mendapatkan cairan yang mengandung formalin dari makanan tersebut. Hal ini dilakukan karena reagensia Schiff dapat mereduksi gugus aldehida baik yang terdapat dalam formalin maupun karbohidrat yang ada dalam makanan (terjadi perubahan warna menjadi lembayung) sehingga dapat terjadi false positive.

Untuk membuktikan adanya formalin dalam tahu, ternyata penting sekali sampelnya harus didestilasi karena pada penelitian ini juga dicoba dengan hanya tahu yang dihancurkan dengan mortar dan pada tahu tersebut diteteskan reagensia Schiff , maka terjadi warna lembayung. Warna tersebut timbul karena kemungkinan dijumpai karbohidrat pada tahu tersebut.

Selain false positive, perlu juga dipikirkan kemungkinan adanya false negative dalam percobaan ini. Hal ini dapat terjadi karena dilakukan penelitian pada objek yang tidak memenuhi syarat, alat penelitian yang tidak dikalibarasi maupun kesalahan peneliti dalam melakukan prosedur penelitian. Oleh karena itu, dapat dilakukan uji konfirmasi dengan menggunakan metode lain yaitu dengan metode asam kromatropat yang akan memberikan warna ungu terang sampai ungu tua bila terdeteksi gugus HCHO dalam sampel makanan yang diuji.


(42)

Bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian sejenis maka jenis makanan lain yang diduga mengandung formalin dan beredar di dalam masyarakat dapat digunakan sebagai sampel percobaan. Jenis makanan tersebut antara lain bakmi basah, bakso, ikan asin, ikan segar dan ayam potong.

Selain pengawet, peneliti lain juga dapat meneliti penggunaan zat pewarna yang dilarang digunakan dalam pembuatan tahu kuning. Zat pewarna terlarang yang sering digunakan adalah methanyl yellow yang merupakan pewarna tekstil (bukan pewarna makanan).

Saran lain yang dapat disampaikan adalah:

1. Bagi masyarakat di sekitar Kecamatan Medan Area dan Kecamatan Medan Tembung tidak perlu khawatir untuk mengonsumsi tahu-tahu yang dijual di pasar-pasar tradisional kecamatan tersebut. Akan tetapi, masyarakat harus tetap kritis dalam memilih jenis-jenis makanan yang mungkin mengandung bahan-bahan terlarang.

2. Bagi Dinas Kesehatan Kota Medan bekerja sama dengan Balai Besar POM untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan secara periodik terhadap makanan tradisional di kecamatan lain.

3. Perlu adanya larangan dan pengawasan terhadap penggunaan dan perdagangan formalin ataupun bahan tambahan pangan berbahaya lain yang tidak sesuai dengan aturan.

4. Dinas Kesehatan Kota Medan mungkin dapat memberikan pembinaan secara periodik terhadap pembuat makanan tradisional dengan memberikan penyuluhan tentang bahaya formalin ataupun pengawet terlarang lain yang berbahaya bagi kesehatan.


(43)

DAFTAR PUSTAKA

Aprilianti, A., Ma’ruf, A., Fajarini, Z.N., dan Purwanti, D., 2007. Studi Kasus Penggunaan Formalin pada Tahu Takwa di Kotamadya Kediri. Program Kreativitas Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang.

Bosetti, C., McLaughlin, J.K., Tarone, R.E., Pira, E., and Vecchia, C.L., 2008. Formaldehyde and Cancer Risk: A Quantitative Review of Cohort Studies Through 2006. Annals of Oncology, 19 (1): 29-43.

Cahanar, P. & Suhanda, I., 2006. Makan Sehat Hidup Sehat. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 180-183.

Cahyadi, W., 2009. Analisis & Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, 1-15, 254-260.

Hauptmann, M., Lubin, H.J., Stewart, P.A., Hayes, R.B., and Blair, A., 2004. Mortality from Solid Cancers among Workers in Formaldehyde Industries. American Journal of Epidemiology, 159 (12): 1117-1130.

Keush, P., 2003. Test for Aldehyde – Schiff’s Reagent. Available from:

Khomsan, A. & Anwar, F., 2008. Sehat Itu Mudah, Wujudkan Hidup Sehat dengan Makanan Tepat. Jakarta: PT Mizan Publika, 26- 28.

Menteri Kesehatan RI, 1988. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88. Bahan Tambahan Makanan. Jakarta.

Menteri Kesehatan RI, 1999. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1168/Menkes/Per/X/99. Bahan Tambahan Makanan. Jakarta.

Saparinto, C. & Hidayati, D., 2006. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta: Kanisius, 57-67.


(44)

Stedman’s Medical Dictionary for the Health Professions & Nursing, 2006. 5th ed. : Lippincot Williams & Wilkins.

Suprapti, L., 2005. Pembuatan Tahu. Yogyakarta: Kanisius, 51.

Widmer, P. & Frick, H., 2007. Hak Konsumen dan Ekolabel. Yogyakarta: Kanisius, 42-43.

WHO, 2002. Concise International Chemocal Assessment Document 40 Formaldehyde. Geneva: World Health Organizatoin.

Yuliarti, N., 2007. Awas! Bahaya di Balik Lezatnya Makanan. Edisi pertama. Yogyakarta: Penerbit Andi, 7-8, 31-44.

Zazali, A., 2008. Fungsi Hukum dalam Menanggulangi Penyalahgunaan Formalin oleh Produsen Makanan Sebagai Bahan Pengawet di Bandar Lampung. MMH, 30 (1): 1-11.

Zuraidah, Y., 2007. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Formalin pada Pedagang Tahu di Pasar Flamboyan Kota Pontianak. Pannmed, 2 (1): 9-12.


(1)

Hasil penelitian Zazili (2008) pada sejumlah produk makanan yang dijual di pasar tradisional dan swalayan di Bandar Lampung menunjukkan bahwa sebanyak 59 (97%) dari 61 sampel ikan positif mengandung formalin, sebanyak 13 (81,3%) dari 16 sampel tahu positif mengandung formalin dan sebanyak 10 (77%) dari 13 sampel mie basah positif mengandung formalin.

Menurut Zuraidah (2007) terdapat beberapa alasan produsen menggunakan formalin dalam tahu. Pertama, karena alasan ekonomi yaitu agar tahu yang mereka jual tidak cepat rusak apabila tidak habis terjual dalam waktu sehari sehingga mereka tidak mengalami kerugian. Kedua, karena alasan pendidikan dan pengetahuan dimana pedagang mengetahui fungsi formalin untuk memperpanjang masa simpan tahu tetapi mereka tidak mengetahui dampak formalin terhadap kesehatan. Ketiga, karena kurangnya pembinaan (ketidaktegasan) dari petugas terhadap pedagang pengguna formalin sehingga mengakibatkan tidak ada efek jera bagi pelaku. Selain itu, karena harga formalin yang murah dan mudah didapat serta efektif sebagai pengawet walaupun dalam penggunaan yang sangat sedikit mengakibatkan produsen makanan menggunakan formalin sebagai bahan pengawet makanan (Saparinto & Hidayati, 2006).

Sebaliknya, konsumen mau membeli makanan berformalin karena ketidaktahuan dan kecenderungan untuk membeli barang yang murah dan awet. Selain itu, konsumen belum dapat membedakan makanan yang berformalin dan yang tidak mengandung formalin (Saparinto & Hidayati, 2006).

Penggunaan formalin sebagai pengawet makanan jelas dilarang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1168/ Menkes/ Per/ X/ 1999 karena bila formalin masuk ke dalam tubuh manusia maka akan berbahaya bagi kesehatan tubuh (Khomsan dan Anwar, 2008). Efek samping dari formalin tidak dapat dilihat secara langsung. Efek ini hanya dapat terlihat bila formalin telah


(2)

sampai koma; dan kerusakan hati, jantung, otak, limpa, pankreas, serta sistem susunan saraf pusat dan ginjal. Sementara itu, efek kronis penggunaan formalin adlah iritasi pada saluran pernafasan; muntah-muntah dan kepala pusing; rasa terbakar pada tenggorokan, penurunan suhu badan dan rasa gatal di dada; dan bila dikonsumsi menahun dapat mengakibatkan kanker. Bila seseorang mengalami keracunan formalin dengan dosis yang tinggi dapat menyebabkan kegagalan peredaran darah dan bermuara pada kematian (Saparinto & Hidayati, 2006). Jumlah formaldehida yang masih dapat diterima manusia per hari tanpa akibat negatif pada kesehatan (Acceptable Daily Intake/ ADI) adalah 0.2 mg perkilogram berat badan (Widmer & Frick, 2007). Dosis 30 ml formalin dapat menyebabkan kematian pada manusia (Khomsan & Anwar, 2008).

Menurut Mudjajanto (2005) dalam Aprilianti (2007), tahu yang mengandung formalin memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

1. Semakin tinggi kandungan formalin, maka tercium bau obat yang semakin menyengat; sedangkan tahu tidak berformalin akan tercium bau protein kedelai yang khas;

2. Tahu yang berformalin mempunyai sifat membal (jika ditekan terasa sangat kenyal), sedangkan tahu tak berformalin jika ditekan akan hancur;

3. Tahu berformalin akan tahan lama, sedangkan yang tak berformalin paling hanya tahan satu dua hari.

4. Tahu yang memakai pewarna buatan dapat ditandai dengan cara melihat penampakannya. Jika tahu memakai pewarna buatan, warnanya sangat homogen/seragam dan penampakan mengilap. Sedangkan jika memakai pewarna kunyit, warnanya cenderung lebih buram (tidak cerah). Jika kita potong tahunya, maka akan kelihatan bagian dalamnya warnanya tidak homogen/seragam. Bahkan, ada sebagian masih berwarna putih


(3)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa dari 42 tahu yang dijual di pasar-pasar tradisional di Kecamatan Medan Area dan Kecamatan Medan Tembung tidak ada satupun yang mengandung formalin.

6.2. Saran

Metode yang digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya kandungan formalin dalam makanan pada penelitian ini adalah melalui tahap destilasi yang kemudian destilatnya diteteskan reagensia Schiff. Tujuan dilakukan destilasi ini adalah untuk mendapatkan cairan yang mengandung formalin dari makanan tersebut. Hal ini dilakukan karena reagensia Schiff dapat mereduksi gugus aldehida baik yang terdapat dalam formalin maupun karbohidrat yang ada dalam makanan (terjadi perubahan warna menjadi lembayung) sehingga dapat terjadi

false positive.

Untuk membuktikan adanya formalin dalam tahu, ternyata penting sekali sampelnya harus didestilasi karena pada penelitian ini juga dicoba dengan hanya tahu yang dihancurkan dengan mortar dan pada tahu tersebut diteteskan reagensia Schiff , maka terjadi warna lembayung. Warna tersebut timbul karena kemungkinan dijumpai karbohidrat pada tahu tersebut.

Selain false positive, perlu juga dipikirkan kemungkinan adanya false

negative dalam percobaan ini. Hal ini dapat terjadi karena dilakukan penelitian

pada objek yang tidak memenuhi syarat, alat penelitian yang tidak dikalibarasi maupun kesalahan peneliti dalam melakukan prosedur penelitian. Oleh karena itu,


(4)

Bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian sejenis maka jenis makanan lain yang diduga mengandung formalin dan beredar di dalam masyarakat dapat digunakan sebagai sampel percobaan. Jenis makanan tersebut antara lain bakmi basah, bakso, ikan asin, ikan segar dan ayam potong.

Selain pengawet, peneliti lain juga dapat meneliti penggunaan zat pewarna yang dilarang digunakan dalam pembuatan tahu kuning. Zat pewarna terlarang yang sering digunakan adalah methanyl yellow yang merupakan pewarna tekstil (bukan pewarna makanan).

Saran lain yang dapat disampaikan adalah:

1. Bagi masyarakat di sekitar Kecamatan Medan Area dan Kecamatan Medan Tembung tidak perlu khawatir untuk mengonsumsi tahu-tahu yang dijual di pasar-pasar tradisional kecamatan tersebut. Akan tetapi, masyarakat harus tetap kritis dalam memilih jenis-jenis makanan yang mungkin mengandung bahan-bahan terlarang.

2. Bagi Dinas Kesehatan Kota Medan bekerja sama dengan Balai Besar POM untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan secara periodik terhadap makanan tradisional di kecamatan lain.

3. Perlu adanya larangan dan pengawasan terhadap penggunaan dan perdagangan formalin ataupun bahan tambahan pangan berbahaya lain yang tidak sesuai dengan aturan.

4. Dinas Kesehatan Kota Medan mungkin dapat memberikan pembinaan secara periodik terhadap pembuat makanan tradisional dengan memberikan penyuluhan tentang bahaya formalin ataupun pengawet terlarang lain yang berbahaya bagi kesehatan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Aprilianti, A., Ma’ruf, A., Fajarini, Z.N., dan Purwanti, D., 2007. Studi Kasus

Penggunaan Formalin pada Tahu Takwa di Kotamadya Kediri. Program

Kreativitas Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang.

Bosetti, C., McLaughlin, J.K., Tarone, R.E., Pira, E., and Vecchia, C.L., 2008. Formaldehyde and Cancer Risk: A Quantitative Review of Cohort Studies Through 2006. Annals of Oncology, 19 (1): 29-43.

Cahanar, P. & Suhanda, I., 2006. Makan Sehat Hidup Sehat. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 180-183.

Cahyadi, W., 2009. Analisis & Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, 1-15, 254-260.

Hauptmann, M., Lubin, H.J., Stewart, P.A., Hayes, R.B., and Blair, A., 2004. Mortality from Solid Cancers among Workers in Formaldehyde Industries.

American Journal of Epidemiology, 159 (12): 1117-1130.

Keush, P., 2003. Test for Aldehyde – Schiff’s Reagent. Available from:

Khomsan, A. & Anwar, F., 2008. Sehat Itu Mudah, Wujudkan Hidup Sehat

dengan Makanan Tepat. Jakarta: PT Mizan Publika, 26- 28.

Menteri Kesehatan RI, 1988. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88. Bahan Tambahan Makanan. Jakarta.


(6)

Stedman’s Medical Dictionary for the Health Professions & Nursing, 2006. 5th ed. : Lippincot Williams & Wilkins.

Suprapti, L., 2005. Pembuatan Tahu. Yogyakarta: Kanisius, 51.

Widmer, P. & Frick, H., 2007. Hak Konsumen dan Ekolabel. Yogyakarta: Kanisius, 42-43.

WHO, 2002. Concise International Chemocal Assessment Document 40

Formaldehyde. Geneva: World Health Organizatoin.

Yuliarti, N., 2007. Awas! Bahaya di Balik Lezatnya Makanan. Edisi pertama. Yogyakarta: Penerbit Andi, 7-8, 31-44.

Zazali, A., 2008. Fungsi Hukum dalam Menanggulangi Penyalahgunaan Formalin oleh Produsen Makanan Sebagai Bahan Pengawet di Bandar Lampung.

MMH, 30 (1): 1-11.

Zuraidah, Y., 2007. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Formalin pada Pedagang Tahu di Pasar Flamboyan Kota Pontianak.