BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Migrain 2.1.1 Definisi migrain
Migrain berasal dari kata migraine yang berasal dari bahasa Perancis, sementara itu dalam bahasa Yunani disebut hemicrania. Sedang dalam bahasa Inggris kuno dikenal dengan megrim.
Konsep klasik menyatakan bahwa migrain merupakan gangguan fungsional otak dengan manifestasi nyeri kepala unilateral yang sifatnya mendenyut atau mendentum, yang terjadi secara
mendadak disertai mual atau muntah.
1
Konsep tersebut telah diperluas oleh The Research Group on Migraine and headache of The World Federation of Neurology. Migrain merupakan gangguan yang bersifat familial dengan
karakteristik serangan nyeri kepala yang berulang-ulang, yang intensitas frekuensi dan lamanya sangat bervariasi. Nyeri kepala biasanya bersifat unilateral, dengan lama serangan 4 sampai 72
jam bertambah berat dengan aktifitas fisik, disertai mual, muntah, fotofobia dan fonofobia.
1
2.1.2 Epidemiologi migrain
Prevalensi migrain bervariasi berdasarkan umur dan jenis kelamin. Migrain timbul pada kira- kira 8 sampai 10 dari seluruh penduduk. Migrain dapat terjadi mulai masa kanak-kanak
sampai dewasa, biasanya jarang terjadi setelah umur 40 tahun. Sekitar 65-75 penderita migrain adalah wanita. Insidensnya kira-kira dua kali pria. Pada kebanyakan wanita, datangnya serangan
berkaitan dengan datangnya menstruasi beberapa hari sebelum, selama atau akhir, selama 3 bulan pertama kehamilan, biasanya penderita tidak mengalami nyeri kepala. Sejumlah kecil
penderita mulai merasakan serangan pada waktu hamil, umumnya serangan muncul pada kehamilan trimester I. selain itu sekitar 40 wanita mengalami sindrom premenstruasi dengan
gejala berupa gangguan mental dan nyeri somatik yang disebabkan oleh perubahan hormonal.
1
1.1.3 Klasifikasi migrain
Klasifikasi nyeri kepala didasarkan pada faktor waktu, lokasi, dan intensitas nyeri. Acuan yang berdasarkan faktor waktu, lokasi dan intensitas nyeri masih berlaku sampai sekarang yaitu
Classification and diagnostic criteria for headache disorders, cranial neuralgias and facial pain, yang dibuat oleh International Headache Society tahun 1988, klasifikasi migrain adalah sebagai
berikut:
1
1. Migrain tanpa aura 2. Migrain dengan aura
a. Migrain dengan aura yang tipikal b .Migrain dengan aura yang diperpanjang
c. Migrain hemiplegia familial d. Migrain basilaris
e. Migrain aura tanpa nyeri kepala f. Migrain dengan awitan aura akut
3. Migrain oftalmoplegik 4. Migrain retinal
5. Migrain yang berhubungan dengan gangguan intracranial 6. Migrain dengan komplikasi
a. Status migrain: Tanpa kelebihan penggunaan obat
Kelebihan penggunaan obat untuk migrain b. Infark migrain
7. Gangguan seperti migrain yang tak terklasifikasikan
2.1.4 Patofisiologi Migrain
Migrain merupakan reaksi neurovascular terhadap perubahan mendadak di dalam lingkungan eksternal atau internal. Masing-masing individu mempunyai
„ambang migrain‟ dengan tingkat kerentanan yang bergantung pada keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi pada
berbagai tingkat sistem saraf. Mekanisme migrain berwujud sebagai refleks trigeminovaskular yang tidak stabil dengan cacat segmental pada jalur kontrol nyeri. Cacat segmental ini
mengakibatkan masukan aferen atau dorongan kortikobulbar yang berlebihan. Hasil akhirnya adalah interaksi batang otak dan pembuluh darah kranial, dengan rangsang aferen pada
pembuluh darah yang menimbulkan nyeri kepala dengan ciri berdenyut-denyut.
9
Sementara itu, proyeksi difus locus cureleus ke korteks serebri dapat mengawali terjadinya oligemia kortikal dan mungkin pula terjadinya depresi yang meluas spreading
depression. Aktivitas di dalam sistem ini dapat menjelaskan terjadinya aura pada migrain yang dapat terjadi terpisah dari munculnya nyeri kepala.
9
Di lain pihak, nyeri kepala dapat berasal dari distensi vascular terutama apabila dinding pembuluh darah memperoleh sensitisasi oleh reaksi perivascular. Hal terakhir ini mungkin
disebabkan oleh lepasnya peptida dari sistem trigeminovaskular. Kemungkinan lain yaitu didasarkan atas inflamasi neurogenik di dalam jaringan intracranial. Inflamasi ini melibatkan
vasodilatasi dan ekstravasasi protein plasma.
9
Kemungkinan lain yaitu didasarkan atas inflamasi neurogenik di dalam jaringan intracranial. Inflamasi ini melibatkan vasodilatasi dan ekstravasasi protein plasma. Cutaneous
allodynia CA adalah nyeri yang ditimbulkan oleh stimulus non noxious terhadap kulit normal. Saat serangan migrain 79 pasien menunjukkan cutaneus allodynia CA di daerah kepala
ipsilateral dan kemudian dapat menyebar ke daerah kontralateral dan kedua lengan. Allodynia biasanya terbatas pada daerah ipsilateral kepala, yang menandakan sensitivitas yang meninggi
dari neuron trigeminal sentral orde kedua yang menerima input secara konvergen. Jika allodynia lebih menyebar lagi, ini disebabkan karena adanya kenaikan sementara daripada sensitivitas
orde ketiga neuron yang menerima pemusatan input dari kulit pada sisi yang berbeda, seperti sama baiknya dengan dari duramater maupun kulit yang sebelumnya.
7
Gambar 2.1 Jaras Traktus Paleospinotalamikus Ada 3 hipotesa dalam hal patofisiologi migrain yaitu:
6
1. Pada migrain yang tidak disertai Cutaneous allodynia CA, berarti sensitisasi neuron ganglion trigeminal sensoris yang meng inervasi duramater.
2. Pada migrain yang menunjukkan adanya Cutaneous allodynia CA hanya pada daerah nyeri rujukan, berarti terjadi sensitisasi perifer dari reseptor meninggal order
pertama dan sensitisasi sentral dari neuron komu dorsalis medula spinalis order kedua dengan daerah reseptif periorbital.
3. Pada migrain yang disertai Cutaneous allodynia CA yang meluas keluar dari area nyeri rujukan, terdiri atas penumpukan dan pertambahan sensitisasi neuron talami
order ketiga yang meliputi daerah reseptif seluruh tubuh. Pada penderita migrain, disamping terdapat nyeri intrakranial juga disertai peninggian
sensitivitas kulit. Sehingga patofisiologi migrain diduga bukan hanya adanya iritasi serabut nyeri perifer yang terdapat di pembuluh darah intrakranial, akan tetapi juga terjadi kenaikan
sensitisasi sel saraf sentral terutama pada sistem trigeminal, yang memproses informasi yang berasal dari struktur intrakranial dan kulit.
6
Fase sentral sensitisasi pada migrain, induksi nyeri ditimbulkan oleh komponen inflamasi yang dilepas dari dura, seperti oleh ion potasium, protons, histamin, 5HT serotonin, bradikin,
prostaglandin di pembuluh darah serebral, dan serabut saraf yang dapat menimbulkan nyeri kepala. Pengalih komponen inflamasi tersebut terhadap reseptor C fiber di meningens dapat
dihambat dengan obat2an NSAIDs non steroid anti inflammation drugs dan 5-HT 1B1D agonist, yang memblokade reseptor vanilloid dan reseptor acid-sensittive ion channel yang juga
berperan melepaskan unsur protein inflamator.
6
Fase berikutnya dari sensitisasi sentral di mediasi oleh aktivasi reseptor presinap NMDA yang mengikat adenosine triphosphate reseptor P2X3 dan reseptor 5-HT IBID pada terminal
sentral dari nosiseptor C fiber. Nosiseptor C-fiber memperbanyak pelepasan transmitter. Jadi obat2an yang mengurangi pelepasan transmitter seperti mu-opiate, adenosine dan 5-HT IBID
reseptor agonist, dapat mengurangi induksi daripada sensitisasi sentral.
6
Proses sensitisasi di reseptor meningeal perivaskuler mengakibatkan hipersensitivitas intrakranial dengan manifestasi sebagai perasaan nyeri yang ditimbulkan oleh berbatuk, rasa
mengikat di kepala, atau pada saat menolehkan kepala. Sedangkan sensitivitas pada sentral neuron trigeminal menerangkan proses timbulnya nyeri tekan pada daerah ektrakranial dan
cutaneus allodynia. Sehingga ada pendapat bahwa adanya cutaneus allodynia CA dapat sebagai marker dari adanya sentral sensitisasi pada migrain.
6
Pada pemberian sumaptriptan aktivitas batang otak akan stabil dan menyebabkan gejala migrain pun akan menghilang sesuai dengan pengurangan aktivasi di kortikal cingulata,
auditory dan visual. Hal itu menunjukkan bahwa patogenesis migrain sehubungan dengan adanya aktivitas yang tidak seimbang antara pengaturan antinoception batang otak dengan
control vascular. Juga diduga bahwa adanya aktivasi batang otak yang menetap itu berkaitan dengan durasi serangan migrain dan adanya serangan ulang migrain sesudah efek obat
sumatriptan tersebut menghilang.
8
2.1.5 KRITERIA DIAGNOSIS MIGRAIN