Latar Belakang PENDAHULUAN Kontradiksi Putusan Mahkamah Konstitusi (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008).

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pasal 24 ayat 1 UUD NRI 1945 menyatakan: “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan ”. Selanjutnya, Pasal 24 ayat 2 UUD NRI 1945 menyatakan bahwa: 1 “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi ”. Dengan demikian, kedudukan MK adalah sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman, disamping MA. 2 Kewenangan MK diatur dalam Pasal 24C ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menyatakan: 3 “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum ”. Disebutkan dalam penjelasan Umum UU MK bahwa tugas dan fungsi MK adalah menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusional tertentu dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan 1 Perubahan Keempat Undang-Udnang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2 Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan MKRI, hal, 9 3 Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bertanggungjawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. 4 Fungsi tersebut dijalankan melalui wewenang yang dimiliki yaitu memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu berdasarkan pertimbangan konstitusional. Berdasarkan hal tersebut, maka terdapat 5 lima fungsi yang melekat pada keberadaan MK dan dilaksanakan melalui wewenangnya yakni 1 Pengawal konstitusi the guardian of the constitution; 2 Penafsir final konstitusi the final interpreter of the constitution; 3 Pelindung hak asasi manusia the protector of human rights; 4 Pelindung hak konstitusional warga Negara the protector of citizen’s constitutional rights; 5 Pelindung demokrasi the protector of democracy. 5 MK dibentuk dengan fungsi untuk menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi sehingga hak-hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya. 6 Karenanya, sudah barang tentu Putusan MK menjadi hal yang selalu dinantikan oleh banyak pihak sebagai lembaga negara yang diharapkan mampu menjalankan fungsinya dalam menjaga konstitusi. Pasal 47 UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK menyatakan: “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum ”. Berdasarkan 4 A. Muktie Fajar, 2006, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat dan Kepaniteraan MK RI, hal, 119. 5 Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Op. Cit, hal, 10 6 Saifudien Djazuli, Agustus 2014 01:40, Peran dan Fungsi Mahkamah Konstitusi, dalam http:apafungsinya.blogspot.com201408peran-dan-fungsi-mahkamah-konstitusi.html , diunduh Rabu 5 Agustus 2015 pukul 23:13 ketentuan tersebut maka, sebagai pengadilan tingkat terakhir dengan putusan yang bersifat final dan mengikat sejak putusannya diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum, jelas bahwa putusan MK tidak dapat lagi diubah-ubah oleh siapapun juga. 7 Termasuk tidak dimungkinkan untuk diajukan upaya hukum lebih lanjut seperti banding, kasasi dan seterusnya. 8 Dalam praktiknya, beberapa putusan MK justru menimbulkan kebimbangan karena terdapat inkonsistensi dalam putusan yang diambil. Seperti putusan Nomor 16PUU-VIII2010 yang menyatakan bahwa Peninjauan Kembali hanya dapat dilakukan satu kali, namun Putusan Nomor 34PUU-XI2013 menyatakan bahwa Peninjauan Kembali dapat dilakukan lebih dari satu kali. 9 Demikian pula dalam Putusan Nomor 97PUU-XI2013, MK memutuskan mengabulkan permohonan para pemohon berkaitan dengan Pemilihan Kepala Daerah. Berdasarkan putusan MK terssebut, pemilihan kepala daerah tidak termasuk dalam rezim Pemilu akan tetapi masuk dalam rezim Pemerintahan Daerah, sehingga MK tidak lagi berwenang mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Dalam putusan terdahulu Nomor 072-073PUU-II-2004, mayoritas hakim secara tidak langsung telah menafsirkan bahwa penentuan pilkada sebagai bagian dari 7 Jimly Asshiddiqie, 2012, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta : Sinar Grafika, hal. 211 8 Bambang Sutiyoso, Op. Cit, hal 22. 9 Susana Rita Kumalasanti, Rabu 7 Januari 2015, Saat Konsistensi Putusan Dipertanyakan, dalam http:nasional.kompas.comread2015010713000061Saat.Konsistensi.Putusan.Dipertanyaka n. , diunduh Jumat Agustus 2015 pukul 01:31 pemilihan umum merupakan kebijakan terbuka bagi pembentuk undang- undang, sehingga MK berwenang untuk mengadili sengketa pilkada. 10 Kritik terhadap Putusan MK juga timbul pada Putusan Nomor 22- 24PUU-VI2008, menurut Maria Farida Indrati putusan tersebut disatu sisi MK mendukung adanya afirmative action bagi perempuan namun disisi lain MK seakan menafikkannya dengan menganut sistem suara terbanyak. 11 Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji kontradiksi Putusan MK yang penulis khususkan pada Putusan Nomor 22-24PUU- VI2008. Penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam rangka penulisan hukum dengan judul KONTRADIKSI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Studi Kasus Putusan Nomor 22- 24PUU-VI2008.

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah