positif menyenangkan yaitu menuruti keinginannya untuk tidak meronggeng lagi dan pilihan yang lain memiliki motif negatif tidak menyenangkan yaitu
ia harus mengesampingkan keinginannya dan bersedia menanggung demi kebaikan warga masyarakat Dukuh Paruk; 2 konflik mendekat-mendekat,
ketika Srintil harus memilih salah satu di antara dua laki-laki yaitu Rasus dan Bajus yang keduanya disukai oleh Srintil; 3 konflik menjauh-menjauh, ketika
Srintil dihadapkan pada dua pilihan yang keduanya merugikan bagi Srintil, yaitu ia harus melakukan perzinahan atau kembali masuk ke dalam penjara.
Berdasarkan uraian tentang penelitian terdahulu, maka dapat dilihat bahwa keaslian penelitian dengan judul “Konflik Batin Tokoh Midah dan
Firdaus dalam Novel
Langit Mekah Berkabut Merah
karya Aguk Irawan: Tinjauan Psikologi Sastra” dapat dipertanggungjawabkan, karena
sepengetahuan penulis belum pernah ada yang meneliti novel
Langit Mekah Berkabut Merah
dengan menganalisis aspek konflik batin dan menggunakan tinjauan psikologi sastra. Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi
hasil-hasil penelitian yang terdahulu dengan sudut pandang psikologi sastra.
G. KAJIAN TEORI
1. Novel dan Unsur-Unsurnya
Novel Inggris:
novel
dan cerita pendek Inggris:
short story
merupakan dua bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Sebutan novel dalam bahasa Inggris inilah yang kemudian masuk ke Indonesia-
berasal dari bahasa Itali
novella
. Secara harfiah
novella
berarti „sebuah barang baru yang kecil‟ dan kemudian diartikan sebagai „cerita pendek
dalam bentuk prosa‟ Abrams dalam Nurgiyantoro, 2009:9. Dewasa ini istilah
novella
dan
novelle
mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelet Inggris:
novelette
, yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga
tidak terlalu pendek Nurgiyantoro, 2009:10. Novel mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada suatu
saat yang tegang, dan pemusatan kehidupan yang tegas. Novel Indonesia secara “resmi” muncul setelah terbitnya buku
Si Jamin dan Si Johan
, tahun 1919, oleh Marari Siregar, yang merupakan saduran dari novel
Belanda, kemudian pada tahun berikutnya terbit novel
Azab dan Sengsara
oleh pengarang yang sama; sejak itu mulailah berkembang sastra fiksi yang dinamai novel ini dalam khazanah sastra Indonesia Semi, 1988:32-
33. Novel adalah cerita rekaan
fiction
, disebut juga teks naratif
narrative text
atau wacana naratif
narrative discourse
. Melalui novel pengarang menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan,
hidup dan kehidupan setelah menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang diungkapkannya kembali melalui sarana
fiksi sesuai dengan prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan
hubungan-hubungan antar manusia. Pendek kata, novel merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab kreatif sebagai
karya seni yang berunsur estetik dengan menawarkan model-model kehidupan sebagaimana yang diidealkan oleh pengarang Al-
Ma‟Ruf, 2010:15.
Menurut Wellek Warren dalam Al- Ma‟Ruf, 2010:16 unsur-
unsur pembangun novel itu secara konvensional dapat dibagi menjadi dua yakni unsur intrinsik
intrinsic
dan ekstrinsik
extrinsic
. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang secara langsung turut membangun karya sastra
itu, yang secara faktual terdapat di dalam karya sastra. Adapun unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi
secara tidak langsung turut mempengaruhi bangunan karya sastra itu Al- Ma‟Ruf, 2010:16-17.
Novel mampu menghadirkan perkembangan satu karakter, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit
karakter, dan berbagai peristiwa yang ruwet yang terjadi beberapa tahun silam secara lebih mendetail. Ciri khas novel ada pada kemampuannya
untuk menciptakan satu semesta yang lengkap sekaligus lebih sulit dibaca jika dibandingkan dengan cerpen. Novel tidak bergaya padat seperti
cerpen karena novel memiliki ruang lebih untuk menggambarkan setiap situasi di dalamnya secara penuh karena novel menyulitkan pembaca
untuk berkonsentrasi Stanton, 2007:104.
Novel menurut Nurgiyantoro dibedakan menjadi dua, yaitu novel populer dan novel serius. Novel populer adalah novel yang populer pada
masanya dan banyak penggemarnya, khususnya di kalangan remaja. Novel populer tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan, sebab jika
demikan novel populer akan menjadi berat dan berubah menjadi novel serius. Pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditampilkan dalam
novel serius disoroti dan diungkapkan sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal. Novel serius bertujuan memberikan pengalaman
yang berharga kepada pembaca, atau paling tidak mengajaknya untuk meresapi
dan merenungkan
secara sungguh-sungguh
tentang permasalahan yang dikemukakan Nurgiyantoro, 2009:19.
Sebuah novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan.
Stanton 2007:11-36 membedakan unsur pembangun sebuah novel ke dalam tiga bagian: fakta, tema, dan sarana pengucapan Sastra.
a. Fakta Cerita
Fakta
fact
dalam sebuah cerita meliputi karakter tokoh cerita, plot, dan setting. Ketiga unsur tersebut harus dipandang sebagai satu
kesatuan dalam rangkaian keseluruhan cerita, bukan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah satu dengan yang lain. Ketiga unsur ini
disebut juga struktur faktual. 1
Penokohan
Tokoh merupakan bagian atau unsur dari suatu keutuhan artistik yakni karya sastra, yang seharusnya selalu menunjang
keutuhan artistik itu Kenney dalam Al- Ma‟Ruf, 2010:77. Tokoh
cerita menurut Abrams dalam Nurgiyantoro, 2009:165 adalah orang -orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau
drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan
dan apa yang dilakukan. Kendati berupa rekaan atau hanya imajinasi pengarang,
masalah penokohan merupakan satu bagian penting dalam membangun sebuah cerita. Tokoh-tokoh tersebut tidak saja
berfungsi untuk memainkan cerita, tetapi juga berperan untuk menyampaikan
ide, motif,
plot, dan
tema. Semakin
berkembangnya ilmu jiwa, terutama psiko-analisa, merupakan pula salah satu alasan pentingnya peranan tokoh cerita sebagai bagian
yang ditonjolkan oleh pengarang Jakob Sumardjo dalam Fananie 2002:86-87.
Dalam sebagian besar cerita dapat ditemukan satu „karakter
utama‟ yaitu karakter yang terkait dengan semua peristiwa yang berlangsung dalam cerita Stanton, 2007:33. Analisis tokoh dapat
dilakukan dari nama tokoh. Penamaan tokoh
naming
menurut Wellek dan Warren dalam Al-
Ma‟Ruf, 2010:77 merupakan cara
paling sederhana untuk menampilkan tokoh. Berbeda dengan pendapat Wellek dan Warren, Semi 1988:37 mengemukakan cara
mengungkapkan sebuah karakter dapat dilakukan melalui pernyataan langsung, melalui peristiwa, melalui percakapan,
melalui monolog batin, melalui tanggapan atas pernyataan atau perbuatan dari tokoh-tokoh lain, dan melalui kiasan atau sindiran.
Penokohan secara
wajar dapat
diterima jika
dapat dipertanggungjawabkan dari sudut psikologis, fisiologis, dan
sosiologis. Ketiga sudut itu masih mempunyai berbagai aspek Lubis dalam Al-
Ma‟Ruf, 2010:77. Termasuk psikologis antara lain cita-cita, ambisi, kekecewaan, kecakapan, temperamen, dan
sebagainya. Aspek yang masuk dalam fisiologis misalnya jenis kelamin, tampang, kondisi tubuh, dan lain-lain.Sudut sosiologis
terdiri atas misalnya lingkungan, pangkat, status sosial, agama, kebangsaan, dan sebagainya.
Jika dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam pengembangan plot dapat dibedakan adanya tokoh utama dan tokoh tambahan, dilihat
dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh utama adalah tokoh yang paling
banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian, sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang
hadir jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama. Tokoh
protagonis adalah tokoh yang menarik perhatian pembaca, disebut juga tokoh hero, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-
norma, nilai-nilai, yang ideal bagi pembaca sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang menjadi penyebab terjadinya konflik.
Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh sederhana adalah
tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu sedangkan tokoh bulat adalah tokoh yang oleh pengarang diungkap
berbagai sisi kehidupannya di dalam novel, baik sisi kepribadiannya dan jati dirinya Nurgiyantoro, 2009:178-181.
2 Alur
Salah satu elemen terpenting dalam membentuk sebuah karya fiksi adalah plot cerita. Dalam pengertiannya yang paling umum,
plot atau alur sering diartikan sebagai keseluruhan rangkaian peristiwa yang terdapat dalam cerita Siti Sundari, et.al, dalam
Fananie 2002:93. Namun dalam pengertian yang lebih khusus, plot sebuah cerita tidaklah hanya sekedar rangkaian peristiwa yang
termuat dalam topik-topik tertentu, melainkan mencakup beberapa faktor penyebab terjadinya peristiwa Fananie, 2002:93.
Menurut Stanton dalam Nurgiyantoro, 2009:113 plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya
dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa yang satu disebabkan
atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Kenny dalam Nurgiyantoro, 2009:113 mengemukakan plot sebagai peristiwa-
peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu
berdasarkan kaitan sebab-akibat. Alur yang berhasil adalah alur yang mampu mengiring
pembaca menyelusuri cerita secara keseluruhan, tidak ada bagian yang tidak ditinggalkan yang dianggap tidak penting Semi,
1988:44-45. Ada lima tahapan plot menurut Tasrif dalam Nurgiyantoro
2009:149 yaitu sebagai berikut: a
Tahap
situation
: tahap penyituasian, tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh -
tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama
berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.
b Tahap
generating circumstances
: tahap pemunculan konflik, masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut
terjadinya konflik mulai muncul. Tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan
berkembang atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.
c Tahap
rising action
: tahap peningkatan konflik, konflik yang telah
dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang
dan dikembangkan
kadar intensitasnya.
Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan.
d Tahap
climax
: tahap klimaks, konflik dan atau pertentangan yang terjadi, yang dilalui dan atau ditimpakan kepada para
tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang berrperan
sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. e
Tahap
denoument
: tahap penyelesaian, konflik yang telah mencapai
klimaks diberi
penyesuaian, ketegangan
dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, sub-subkonflik, atau konflik-konflik tambahan, jika ada, juga diberi jalan keluar,
cerita diakhiri. Nurgiyantoro 2009:153-157 membedakan plot menjadi tiga
berdasarkan kriteria urutan waktu, yaitu sebagai berikut. a
Plot Lurus progresif Plot sebuah novel dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa
yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa--peristiwa
yang pertama diikuti oleh atau menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa yang kemudian.
b Plot Sorot-balik,
flash-back
Urutan kejadian tidak dimulai dari tahap awal yang benar- benar merupakan awal cerita secara logika melainkan
mungkin dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan.
c Plot Campuran
Plot yang secara garis besar progresif, tetapi di dalamnya betapapun kadar kejadiannya, sering terdapat adegan-adegan
sorot-balik. Demikian pula sebaliknya. 3
Latar Latar menurut Stanton 2007:35 adalah lingkungan yang
melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.
Abrams dalam Nurgiyantoro, 2009:216 mengemukakan latar atau seting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran
pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Lebih
lanjut Abrams dalam Al- Ma‟Ruf, 2010:103 memberikan
deskripsi latar dalam karya sastra menjadi tiga yakni latar tempat, waktu dan sosial.
Senada dengan pendapat Abrams, Nurgiyantoro 2009:227- 233 membedakan unsur latar ke dalam tiga unsur pokok yaitu:
a Latar tempat, menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan pada sebuah karya fiksi. b
Latar waktu, berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
c Latar sosial, menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan
perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Walaupun seting dimaksudkan untuk mengidentifikasi situasi yang tergambar dalam cerita, keberadaan elemen seting hakikatnya
tidaklah hanya sekedar menyatakan di mana, kapan, dan bagaimana situasi peristiwa berlangsung, melainkan berkaitan juga
dengan gambaran tradisi, karakter, perilaku sosial, dan pandangan masyarakat pada waktu cerita ditulis. Dari kajian seting akan dapat
diketahui sejauh mana kesesuaian dan korelasi antara perilaku dan watak tokoh dengan kondisi masyarakat, situasi sosial, dan
pandangan masyarakatnya Fananie, 2002:98. b.
Tema Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Tema
merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang
menyangkut persamaan-persamaan
atau perbedaan-perbedaan
Hartoko Rahmanto dalam Nurgiyantoro, 2009:68. Tema menurut Stanton 2007:36 merupakan aspek cerita yang sejajar dengan
„makna‟ dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Tema selalu berkaitan dengan berbagai
pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut,
religius, dan
sebagainya. Nurgiyantoro
2009:70 mengemukakan tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan
dasar umum, sebuah karya novel. Gagasan dasar umum inilah yang tentunya telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang yang
dipergunakan untuk mengembangkan cerita. Semi 1988:43 menuturkan dalam pengertian tema tercakup
persoalan dan tujuan atau amanat pengarang kepada pembaca. Tema menyorot dan mengacu pada aspek-aspek kehidupan sehingga
nantinya akan ada nilai-nilai tertentu yang melingkupi cerita. Tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak.
Cara paling efektif untuk mengenali tema sebuah karya adalah dengan mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalamnya Stanton,
2007:37-42. Untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, ia haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-
bagian tertentu cerita Nurgiyantoro 2009:68. Menurut Fananie 2002:84 sebagai sebuah karya imajinatif, tema dapat diungkapkan
melalui berbagai cara, seperti melalui dialog tokoh-tokohnya, melalui konflik yang dibangun, atau melalui komentar secara tidak langsung,
karena itu tema yang baik pada hakikatnya adalah tema yang tidak diungkapkan secara langsung dan jelas.
c. Sarana Sastra
Sarana sastra adalah teknik yang digunakan pengarang untuk menyusun detil-detil cerita berupa peristiwa dan kejadian-kejadian
menjadi pola yang bermakna. Sarana sastra dipakai untuk memungkinkan pembaca melihat dan merasakan fakta seperti yang
dilihat dan dirasakan pengarang. Sarana sastra antara lain berupa sudut pandang penceritaan, gaya bahasa, dan nada, simbolisme, dan ironi
Stanton, 2007:9-10.
2. Teori Strukturalisme