Muhammad Rifqi Mahmud, 2015 DESAIN DIDAKTIS UNTUK MENGATASI LEARNING OBSTACLES MATERI PENJUMLAHAN DAN
PENGURANGAN PECAHAN PADA SISWA KELAS IV SD
Universitas Pendidikan Indonesia |
\.upi.edu perpustakaan.upi.edu
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara formal dan institusional, sekolah dasar masuk pada kategori pendidikan dasar. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional No. 20 Tahun 2003 Pasal 17 ayat 1 dan 2 yang berbunyi: 1
Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.
2 Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar SD dan Madrasah Ibtidaiyah
MI atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama SMP dan Madrasah Tsanawiyah MTs, atau bentuk lain yang sederajat.
Berdasarkan isi dari pasal tersebut, seseorang yang akan melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan menengah terlebih dahulu harus menjalani
pendidikan di jenjang pendidikan dasar. Normalnya untuk jenjang pendidikan dasar di SD selama 6 tahun dan di SMP selama 3 tahun.
Pelajaran matematika mulai dipelajari siswa ketika duduk di bangku sekolah dasar.BNSP 2006, hlm 345 menyatakan bahwa matematika perlu
diberikan kepada semua peserta didik dari sekolah dasar untuk membekali mereka dengan
kemampuan-kemampuan yang
terdapat dalam
pembelajaran matematika.Kemampuan tersebut diantaranya kemampuan berpikir logis, analitis,
sistematis, kritis, dan kreatif serta kemampuan bekerjasama.Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya belajar matematika, sehinggapelajaran matematika dijadikan
salah satu pelajaran wajib yang harus dipelajari oleh siswa ketika menempuh pendidikan formal di SD, SMP, dan SMA.
Bagian penting
dalam mempelajari
matematika adalah
proses pembelajaran matematika. Jaworksy Sulistiawati, 2012, hlm 3 menyatakan
bahwa penyelenggaraan pembelajaran matematika tidaklah mudah karena fakta menunjukkan
siswa mengalami
hambatan dalam
mempelajari
Muhammad Rifqi Mahmud, 2015 DESAIN DIDAKTIS UNTUK MENGATASI LEARNING OBSTACLES MATERI PENJUMLAHAN DAN
PENGURANGAN PECAHAN PADA SISWA KELAS IV SD
Universitas Pendidikan Indonesia |
\.upi.edu perpustakaan.upi.edu
matematika.Hambatan dalam mempelajari matematika inilah yang menyebabkan siswa mempunyai kemampuan rendah dalam bidang studi matematika.
Contoh hambatan belajar atau learning obstacle yang ditemukan penulis pada pembelajaran matematika pokok bahasan penjumlahan pecahan kelas VII di
salah satu SMP Negeri di Bandung.Guru mengawali pembelajaran dengan menjelaskan konsep pecahan menggunakan gambar seperti berikut ini:
Gambar 1.1.Gambar Guru untuk Menjelaskan Konsep Pecahan
Guru menjelaskan bahwa yang diarsir pada daerah tersebut adalah
2 8
bagian. Dengan penjelasan bahwa 2 dari daerah yang diarsir dan 8 dari daerah keseluruhan yang terdapat pada Gambar 1.1.Dijelaskan pula bahwa
2 8
bagian tersebut senilai dengan
1 4
bagian, karena guru menganggap materi pecahan sudah dipelajari oleh siswa ketika di SD sehingga konsep tersebut sepertinya sudah
langsung tergambar dalam pikiran siswa. Namun, penjelasan konsep pecahan seperti di atas ternyata tidak cukup
mewakili pemahaman siswa tentang konsep pecahan yang sebenarnya.Hal ini terlihat dari pembelajaran materi selanjutnya tentang penjumlahan pecahan. Untuk
konsep penjumlahan pecahan, terlihat semua siswa sudah mengetahui aturannya, yaitu untuk menjumlahan dua atau lebih pecahan harus sama terlebih dahulu
penyebutnya, jika belum sama harus di samakan dahulu dan yang di jumlahkannya hanya pembilangnya saja. Dalam hal ini guru meminta
menggambarkan penjumlahan tersebut dalam bentuk gambar seperti pada Gambar 1.1.
Ketika siswa
diberikan pertanyaan
1 3
+
1 3
= ⋯, terlihat siswa
menggambarkannya seperti berikut:
+ =
Gambar 1.2. Gambar Siswa Mengenai Penjumlahan Pecahan
Muhammad Rifqi Mahmud, 2015 DESAIN DIDAKTIS UNTUK MENGATASI LEARNING OBSTACLES MATERI PENJUMLAHAN DAN
PENGURANGAN PECAHAN PADA SISWA KELAS IV SD
Universitas Pendidikan Indonesia |
\.upi.edu perpustakaan.upi.edu
gambar penjumlahan di atas sekilas terlihat benar, tetapi jika kita ubah ke dalam bentuk matematika menjadi seperti berikut:
1 3
+ 1
3 =
2 6
Jelas bahwa hasil dari penjumlahan tersebut salah.Dalam kasus ini, terlihat siswa sangat bergantung pada penyelesaian pemecahan masalah sebelumnya, yang
jika dibentuk gambar pecahan
1 3
dan jika dijumlahkan hasilnya yaitu
2 6
seperti pada Gambar 2.1.Hal ini menunjukkan bahwa siswa mengalami kesulitan akibat
konsep yang mereka ketahui tentang pecahan terbatas.Maka terdapatlearning obstacle pada pembelajaran tersebut yang bersifat epistemological obstacle.
Epistemological obstacleSuryadi, 2010, hlm 14 adalah keterbatasan pengetahuan konsep seseorang pada konteks tertentu, atau siswa mengalami
kesulitan dalam pembelajaran yang diakibatkan dari keterbatasan konteks. Pengetahuan siswa hanya terbatas pada pengetahuan sebelumnya yaitu jika
menjumlahkan pecahan syaratnya harus penyebut yang sama dan yang dijumlahkan hanya pembilangnya saja. Mereka hanya terbatas pemahaman
konteks seperti itu saja dan diberikan langsung. Menurut penelitian Ullya dkk.2010:88 di dalam pelaksanaan
pembelajaran di SDpada materi penjumlahan pecahan, guru tidak menanamkan konsep penjumlahan pecahan dengan menggunakan model yang nyata dalam
kehidupan sehari-hari siswa.Pada hal banyak sekali benda-benda di lingkungan siswa yang dapat digunakan untuk mempelajari pecahan.Kenyataan guru hanya
menggunakan soal-soal pecahan yang ada di dalam buku pegangan siswa yang abstrak.Serta guru sering memulai dengan definisi, sifat-sifat dan diakhiri dengan
pemberian contoh-contoh.Akibatnya siswa tidak bisa mengembangkan nalar, komunikasi serta pemecahan masalah. Sedangkan, Pusat Pengembangan
Kurikulum dan Sarana Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Heruman, 2013:43 menyatakan bahwa pecahan merupakan salah satu topik yang
sulit untuk diajarkan. Kesulitan tersebut dikarenakan kurang bermaknanya kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru dan sulitnya pengadaan media
pembelajaran.Sehingga guru biasanya langsung mengajarkan pengenalan angka
Muhammad Rifqi Mahmud, 2015 DESAIN DIDAKTIS UNTUK MENGATASI LEARNING OBSTACLES MATERI PENJUMLAHAN DAN
PENGURANGAN PECAHAN PADA SISWA KELAS IV SD
Universitas Pendidikan Indonesia |
\.upi.edu perpustakaan.upi.edu
pada suatu pecahan.Hal ini menunjukkan bahwa siswa mengalami learning obstacle yang bersifat didactical obstacle, yakni hambatan yang diakibatkan oleh
pembelajaran yang dilakukan oleh guru.Selain itu, pembelajaran yang diberikan guru kurang mempertimbangkan keragaman respon siswa atas situasi didaktis
yang dikembangkan.Sehingga rangkaian situasi didaktis yang dikembangkan berikutnya tidak lagi sesuai dengan lintasan belajar learning trajectory yang
seharusnya dilalui masing-masing siswa, yang akhirnya siswa menemukan hasil penjumlahan pecahan yang salah.
Menurut Suryadi 2010, hlm 7, kurangnya antisipasi didaktis yang tercemin dalam perencanaan pembelajaran, dapat berdampak kurang optimalnya
proses belajar bagi masing-masing siswa. Sehingga,untuk menciptakan pembelajaran yang optimal maka guru harus mempertimbangkan salah satu aspek
dalam mengembangkan antisipasi didaktis pedagogisADP yaitu adanya learning obstacles.Dalam hal ini, permasalahan yang terjadi karena adanyalearning
obstacle yang bersifat didactical obstacle dan epistemological obstacle. Tetapi tidak menutup kemungkinan ketika dilakukan identifikasimakaakan muncul juga
learning obstacle yang bersifat ontogenic obstacle. Oleh karena itu, dengan prinsip dari Didactical Design Research DDR, maka penulis akan membuat
desain didaktis yang menyangkut didalamnya antisipasi-antisipasi didaktik seperti metapedadidaktik, proses matematisasi, dan teori situasi didaktik sehingga dapat
menciptakan pembelajaran yang optimal dan hasil yang maksimal. Learning obstacle yang bersifat epistemological obstacle terjadi pada
siswa di SMP pada materi pecahan khususnya penjumlahan pecahan. Perlu diketahui bahwa materi pecahan sudah diajarkan sebelumnya di SD, sehingga ada
kemungkinan permasalahan tersebut terjadi karena kesalahan pembelajaran matematika materi pecahan di SD. Sedangkan learning obstacle yang berisfat
didactical seperti yang dijelaskan sebelumnya terjadi di SD. Melihat hal tersebut, penulis menyadari bahwa pentingnya guru merancang pembelajaran dengan
desain didaktis yang dapat mengatasi learning obstaclepada materi pecahan di SD.
Oleh karena itu, penulis akan melakukan penelitian yang berjudul “Desain
Muhammad Rifqi Mahmud, 2015 DESAIN DIDAKTIS UNTUK MENGATASI LEARNING OBSTACLES MATERI PENJUMLAHAN DAN
PENGURANGAN PECAHAN PADA SISWA KELAS IV SD
Universitas Pendidikan Indonesia |
\.upi.edu perpustakaan.upi.edu
Didaktis Konsep Penjumlahan dan Pengurangan Pecahan untuk Mengatasi Learning Obstacle pada Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
”. B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik learning obstacle pada materi penjumlahan dan
pengurangan pecahan di SD? 2.
Bagaimana desain didaktis hipotesis yang dapat mengatasi learning obstacle yang teridentifikasi dalam mempelajari konsep penjumlahan dan
pengurangan pecahan di SD? 3.
Bagaimana implementasi disain dedaktis hipotesisyang telah dibuat untuk pembelajaran matematika konsep penjumlahan dan pengurangan pecahan
di SD, khususnya ditinjau dari respon siswa yang muncul? 4.
Bagaimana gambaran learning obstacle pada materi penjumlahan dan pengurangan
pecahan di
SD setelah
desain didaktis
hipotesisdiimplementasikan? 5.
Bagaimana desain didaktis empirikberdasarkan hasil temuan penelitian ini?
C. Tujuan Penelitian