Fitofarmaka fba tugas kelompok semuanya

mekanisme umpan-balik, yaitu HMG-KoA reduktase di hati dihambat oleh mevalonat yang merupakan intermediate, dan oleh kolesterol yang merupakan produk utama lintasan tersebut. Aktivitas HMG-KoA reduktase dapat ditingkatkan dengan pemberian hormon insulin atau hormon tiroid, sedangkan hormon glukagon atau glukokortikoid akan menurunkannya Puedjiadi dan Supriyanti, 2005. Berikut kriteria kolesterol : Kriteria Kolesterol total mgdL Rendah 200 Normal 200-239 Tinggi 240 Kolesterol yang melebihi batas normal di dalam tubuh, yaitu lebih dari 240 mgdL dapat menyebabkan arterosklerosis penyumbatan pada pembuluh darah. Selain itu, kenaikan kadar kolesterol total dapat menyebabkan dislipdemia. Dislipidemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat kelainan metabolism lipid yang ditandai oleh kelainan fraksi lipid dalam plasma Adam dkk., 2004.

2.3 Fitofarmaka

Fitofarmaka merupakan obat dari bahan alam terutama dari alam nabati, yang khasiatnya jelas dan terbuat dari bahan baku, baik berupa simplisia atau sediaan galenik yang telah memenuhi persyaratan minimal, sehingga terjamin keseragaman komponen aktif, keamanan dan kegunaannya. Perbedaan fitofarmaka dengan jamu dan OHT obat tradisional yaitu pembuktian khasiat dan keamanan berdasarkan uji preklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadi distandarisasi, serta banyak digunakan untuk pelayanan kesehatan formal BPOM, 2004. Tahapan pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka adalah sebagai berikut: a. Seleksi Sebelum memulai penelitian, perlu dilakukan pemilihan jenis obat tradisionalobat herbal yang akan diteliti dan dikembangkan. Jenis obat tradisionalobat herbal yang diprioritaskan untuk diteliti dan dikembangkan adalah diharapkan berkhasiat untuk penyakit yang menduduki urutan atas dalam angka kejadiannya berdasarkan pola penyakit, serta berdasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit tertentu. b. Uji Preklinik Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat tradisional yang akan dikembangkan menjadi fitofarmaka. Uji preklinik dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba untuk melihat toksisitas dan efek farmakodinamiknya.  Uji Toksisitas Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik, kronik, dan uji toksisitas khusus yang meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan karsinogenisitas. Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk menentukan LD50 lethal dose 50 yaitu dosis yang mematikan 50 hewan coba, menilai berbagai gejala toksik, spektrum efek toksik pada organ, dan cara kematian. Uji LD50 perlu dilakukan untuk semua jenis obat yang akan diberikan pada manusia. Untuk pemberian dosis tunggal cukup dilakukan uji toksisitas akut. Pada uji toksisitas subkronik obat diberikan selama satu atau tiga bulan, sedangkan pada uji toksisitas kronik obat diberikan selama enam bulan atau lebih. Uji toksisitas subkronik dan kronik bertujuan untuk mengetahui efek toksik obat tradisional pada pemberian jangka lama. Lama pemberian sediaan obat pada uji toksisitas ditentukan berdasarkan lama pemberian obat pada manusia. Uji toksisitas khusus tidak merupakan persyaratan mutlak bagi setiap obat tradisional agar masuk ke tahap uji klinik. Uji toksisitas khusus dilakukan secara selektif bila: a. Obat tradisional berisi kandungan zat kimia yang potensial menimbulkan efek khusus seperti kanker, cacat bawaan. b. Obat tradisional potensial digunakan oleh perempuan usia subur c. Obat tradisional secara epidemiologik diduga terkait dengan penyakit tertentu misalnya kanker. d. Obat digunakan secara kronik  Uji Farmakodinamik Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertujuan untuk meneliti efek farmakodinamik dan menelusuri mekanisme kerja dalam menimbulkan efek dari obat tradisional tersebut. Penelitian dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba. Cara pemberian obat tradisional yang diuji dan bentuk sediaan disesuaikan dengan cara pemberiannya pada manusia. Hasil positif secara in vitro dan in vivo pada hewan coba hanya dapat dipakai untuk perkiraan kemungkinan efek pada manusia. c. Standarisasi sederhana, penentuan identitas dan pembuatan sediaan terstandar. Pada tahap ini dilakukan standarisasi simplisia, penentuan identitas, dan menentukan bentuk sediaan yang sesuai. Bentuk sediaan obat herbal sangat mempengaruhi efek yang ditimbulkan. Bahan segar berbeda efeknya dibandingkan dengan bahan yang telah dikeringkan. Proses pengolahan seperti direbus, diseduh dapat merusak zat aktif tertentu yang bersifat termolabil. d. Uji Klinik Uji klinik pada manusia hanya dapat dilakukan apabila obat tradisionalobat herbal tersebut telah terbukti aman dan berkhasiat pada uji preklinik. Pada uji klinik obat tradisional seperti halnya dengan uji klinik obat moderen, maka prinsip etik uji klinik harus dipenuhi. Sukarelawan harus mendapat keterangan yang jelas mengenai penelitian dan memberikan informed-consent sebelum penelitian dilakukan. Uji klinik dibagi empat fase yaitu:  Fase I : dilakukan pada sukarelawan sehat, untuk menguji keamanan dan tolerabilitas obat tradisional  Fase II awal: dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas, tanpa pembanding  Fase II akhir : dilakukan pada pasien jumlah terbatas, dengan pembanding  Fase III : uji klinik definitif  Fase IV : pasca pemasaran,untuk mengamati efek samping yang jarang atau yang lambat timbulnya Dewoto, 2007. Untuk obat tradisional yang sudah lama beredar luas di masyarakat dan tidak menunjukkan efek samping yang merugikan, setelah mengalami uji preklinik dapat langsung dilakukan uji klinik dengan pembanding. Untuk obat tradisional yang belum digunakan secara luas harus melalui uji klinik pendahuluan fase I dan II guna mengetahui tolerabilitas pasien terhadap obat tradisional tersebut Depkes, 2000.

2.4 Tablet