Voeging dan Splitsing Tugas dan wewenang Jaksa Penuntut Umum

11. Mengadakan “tindakan lain” dalam lingkup tugas dan tanggung jawab selaku Penuntut Umum Pasal 14 huruf i 12. Apabila Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, maka dalam waktu secepatnya ia membuat surat dakwaan pasal 140 ayat 1. 13. Membuat surat penetapan penghentian penuntutan Pasal 140 ayat 2 huruf a, dikarenakan : · Tidak terdapat cukup bukti · Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana · Perkara ditutup demi kepentingan umum. 14. Melakukan penuntutan terhadap tersangka yang dihentikan penuntutan dikarenakan adanya alasan baru Pasal 140 ayat 2 huruf d. 15. Mengadakan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan Pasal 141. 16. Mengadakan pemecahan penuntutan terhadap satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan beberapa orang tersangka Pasal 142. 17. Melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan disertai surat dakwaan Pasal 143 18. Membuat surat dakwaan Pasal 143 ayat 2 19. Untuk maksud penyempurnaan atau untuk tidak melanjutkan penuntutan, Penuntut Umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang atau selambat- lambatnya 7 tujuh hari sebelum sidang dimulai Pasal 144.

3.2.2 Voeging dan Splitsing

A. Penggabungan Perkara Voeging Dalam hukum acara pidana salah satu tugas penuntut umum adalah melakukan penggabungan perkara. Pada umumnya tiap-tiap perkara diajukan tersndiri dalam sidang pengadilan, namun apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan penuntut umum menerima berkas perkara dari penyidik ia dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dlam satu surat dakwaan. Menurut pasal 141 KUHAP dijelaskan tentang kemungkinan-kemungkinan penggabungan perkara pidana : “Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal: 1. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya; 2. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain 3. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan. 18 Dalam suatu tindak pidana dianggap mempunyai sangkut paut hubungan dengan yang lain, apabila tindak pidana tersebut dilakukan: 1. Oleh lebih seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat bersamaan 2. Oleh lebih dilakukan dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda, akan tetapi merupakan merupakan pelaksanaan dari kesepakatan tindak pidana yang dibuat oleh mereka. 3. Oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapatkan alat yang digunakan melakukan tindak pidana lain atau menghindarkan diri dari pemidanaan karena tindak pidana lain. B. Pemisahan Perkara Splitsing Pada dasarnya pemisahan berkas perkara disebabkan faktor pelaku tindak pidana. Sesuai dengan bunyi Pasal 142 “Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.” Apabila terdakwa terdiri dari beberapa orang, penuntut umum dapat memisah berkas perkara menjadi beberapa berkas sesuai dengan jumlah terdakwa, sehingga : a Berkas yang semula diterima penuntut umum dari penyidik, dipecah menjadi dua atau beberapa perkas perkara. b Pemisahan dilakukan apabila dalam kasus pidana tersebut terdirir beberapa orang pelaku. Dengan pemisahan berkas tersebut, masing-masing tersangka didakwa dengan satu surat dakwa c Pemeriksaan perkara dalam persidangan dilakukan dalam satu persidangan. Masing- masing terdakwa diperiksa dalam persidangan yang berbeda d Pada umumnya, pemisahan berkas perkara sangat penting, apabila dalam perkara tersebut kurang barang bukti dan saksi. Maka dengan pemecahan berkas perkara menjadi beberapa perkara yang berdiri sendiri antara seorang terdakwa dengan terdakwa lainnya, masing-masing dapat dijadikan sebagai saksi secara timbal balik. Sedangkan apabila mereka digabungkan dalam satu berkas dan pemeriksaan sidang pengadilan, antara satu dengan lainnya tidak dapat dijadikan saksi. Sebagai ilustrasi, contoh kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah, yang menurut Mahkamah Agung dalam putusannya terhadap kasus pembunuhan Marsinah MA Reg. No. 1174Pid.1974 menyatakan bahwa tidak dibenarkan terdakwa bergantian dijadikan saksi. Alasannya : “... para saksi adalah para terdakwa bergantian dalam perkara yang sama dengan dakwaan yang sama yang dipecah-pecah bertentangan dengan hukum acara pidana yang menjujung tingga hak asasi manusia. Bergantian menjadi saksi itu bukanlah saksi mahkota kroongetuide. Saksi mahkota berarti salah se orang terdakwa paling ringan kesalahannya dijadikan menjadi saksi, jadi seperti diberi mahkota, yang tidak akan dijadikan terdakwa. Hal ini dibolehkan berdasarkan adigium, bahwa jaksa adalah dominus litis dalam penuntutan terdakwa. 19

3.2.3 Penghentian dan Penyampingan Penuntutan