Pedagang Kaki Lima Pengertian 1. Resistensi

Dalam menghadapi berbagai tekanan yang dilakukan pemerintah yang dirasa sangat membatasi ruang geraknya, para Pedagang Kaki Lima mempunyai beberapa teknik atau strategi yang sengaja mereka kembangkan untuk menghadapi tekanan tersebut. Hal itu mereka wujudkan dalam bentuk resistensi. Makna resistensi kaitannya dengan “Resistensi Pedagang Kaki Lima Terhadap Kebijakan Pemerintah Kota Semarang” ini adalah sebuah cara perlawanan yang dilakukan oleh Pedagang Kaki Lima terhadap kebijakan pemerintah Kota Semarang. Dalam penelitian ini, peneliti mencoba melihat faktor penyebab resistensi dan bentuk-bentuk resistensi seperti apakah yang dilakukan oleh Pedagang Kaki Lima di Jalan Kokrosono dan Jalan Kartini Timur.

2. Pedagang Kaki Lima

Menurut Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima yang dimaksud dengan Pedagang Kaki Lima adalah pedagang yang di dalam usahanya menggunakan sarana dan perlengkapan yang mudah dibongkar pasangdipindahkan dan atau mempergunakan tempat usaha yang menempati tanah yang dikuasai Pemerintah Daerah dan atau pihak lain Pasal1, Perda Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima . Kebanyakan Pedagang Kaki Lima memilih berjualan di tempat keramaian, seperti pasar, stasiun bis dan kereta, atau halte-halte dan tempat wisata. Pedagang Kaki Lima menggunakan berbagai perlengkapan sebagai sarana berjualan, seperti gerobak, membuat lapak, menggunakan pikulan, dan gendongan. Berikut macam-macam perlengkapan para Pedagang Kaki Lima. 1. Gerobak Ada yang biasa dipakai oleh para Pedagang Kaki Lima, gerobak sepeda dan gerobak dorong. Perbedaannya, gerobak sepeda mempunyai tiga roda, sedangkan gerobak dorong mempunyai dua roda dan satu penahan di bagian depan. 2. Lapak Lapak adalah sejenis kios kecil yang bangunanya terbuat dari kayu, triplek atau bambu. Lapak Pedagang Kaki Lima juga ada dua jenis, yang tidak permanen dan yang semisetengah permanen. Lapak yang tidak permanen, jika para Pedagang Kaki Lima selesai berjualan, dibongkar dan dibawa pulang. Sementara, yang setengah permanen, rangka kios kayu yang dipakai jualan ditutup dengan terpal, lalu dibuka lagi jika akan berjualan kembali esoknya. 3. Pikulan Ada juga Pedagang Kaki Lima yang masih memilih menggunakan pikulan untuk berjualan. Biasanya pedagang pikulan ini masih banyak terdapat di daerah-daerah, diantaranya penjual bakso, siomai, dan lain- lain. Mereka menjajakan jualanya dengan berkeliling dari rumah ke rumah. 4. Gendongan Gendongan adalah alat yang umum digunakan oleh penjual jamu tradisional Jawa. Para pedagangnya kebanyakan perempuan dan menawarkan dagangannya dari rumah ke rumah. Ada juga pedagang sayur atau makanan keliling yang menggunakan gendongan sebagai alat berjualan. Tidak jarang juga para pedagang jamu berjualan di stasiun atau terminal dan menggelar daganganya di trotoar dan emperan toko. 5. Sepeda Di beberapa daerah tertentu, ada Pedagang Kaki Lima yang memakai sepeda untuk berjualan. Jenis sepeda yang digunakan biasanya sepeda tua atau yang biasa dikenal sepeda kumbang. Sepeda mereka dimodifikasi bagian belakangnya, sehingga bisa digunakan untuk menyimpan dagangannya Permadi, 2007: 11-12. Sarana usaha sektor informal dapat dipilih menjadi sarana usaha yang bersifat permanen, semipermanen, dan tidak permanen. Sarana usaha yang bersifat permanen biasanya menggunakan bangunan yang dindingnya terbuat dari batu bata, batako, tembok atau kayupapan yang dibangun secara kuat di atas suatu lahan. Sarana usaha dibangun dalam jangka waktu yang lama. Sarana usaha yang bersifat semipermanen pemasangan bahan-bahan bangunanya dapat dibongkar pasang. Biasanya, sarana usahanya menggunakan tenda yang mudah dipindahkan. Sarana usaha yang bersifat tidak permanen menggunakan tikar, tanpa pelindung di atasnya. Sarana usaha yang bersifat tidak permanen ini mudah dipindahlkan sehingga dapat mengikuti kerumunan orang-orang yang potensial membeli barang daganganya. Sarana usaha yang dinamis dapat memberikan penghasilan yang lebih tinggi bagi pelaku sektor informal dengan sarana usaha tidak permanen dibandingkan dengan pelaku sektor informal dengan sarana usaha permanen dan semipermanen. Sektor informal dengan sarana usaha permanen dan semipermanen sebenarnya bukan sarana usaha yang dibenarkan, karena 1 telah ada peraturan yang menentukan bahwa sektor informal biasanya seharusnya memiliki sarana usaha tidak permanen, 2 kegiatan sektor informal dilakukan di ruang publik di atas lahan milik pemerintah kota sehingga sewaktu-waktu usaha tersebut harus dapat dipindahkan, 3 kehadiran sarana usaha sektor informal, khususnya Pedagang Kaki Lima dianggap menggangu keindahan kota Hariyono, 2007: 114. Setiap Pedagang Kaki Lima mempunyai hak Pasal 6, Perda Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima . 1. Mendapatkan pelayanan perijinan. 2. Penyediaan lahan lokasi Pedagang Kaki Lima. 3. Mendapatkan pengaturan dan pembinaan. Untuk melakukan kegiatannya, Pedagang Kaki Lima diwajibkan Pasal 7, Perda Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. 1. Memelihara kebersihan, keindahan, ketertiban, keamanan dan kesehatan lingkungan. 2. Menempatkan, menata barang dagangan dan peralatanya dengan tertib dan teratur serta tidak mengganggu lalu lintas dan kepentingan umum. 3. Mencegah kemungkinan timbulnya bahaya kebakaran dengan menyediakan alat pemadam kebakaran. 4. Menempati sendiri tempat usaha Pedagang Kaki Lima sesuai ijin yang dimilikinya. 5. Menyerahkan tempat usaha Pedagang Kaki Lima tanpa menuntut ganti rugi dalam bentuk apapun, apabila sewaktu-waktu dibutuhkan pemerintah Daerah. 6. Melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya yang diterapkan oleh Pemerintah daerah. Untuk melakukan kegiatannya, Pedagang Kaki Lima dilarang Pasal 8, Perda Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. 1. Merombak, menambah, mengubah fungsi dan fasilitas lokasi Pedagang Kaki Lima yang telah disediakan dan atau ditentukan oleh Pemerintah Daerah. 2. Mendirikan bangunan permanen di lokasi Pedagang Kaki Lima yang telah ditetapkan. 3. Memindahtangankan ijin tempat usaha Pedagang Kaki Lima kepada pihak lain. 4. Melakukan kegiatan usaha di luar lokasi Pedagang Kaki Lima yang telah ditetapkan oleh walikota. 5. Menempati lahanlokasi Pedagang Kaki Lima untuk kegiatan tempat tinggal hunian. Pedagang Kaki Lima kebanyakan bermodal kecil yang menjalankan profesi ini hanya untuk memenuhi tuntutan biaya hidup yang makin tinggi. Kebanyakan pula dari mereka tidak mempunyai keterampilan. Mereka hanya punya semangat untuk bertahan di tengah persaingan yang semakin ketat. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Pedagang Kaki Lima adalah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha dengan maksud memperoleh penghasilan yang sah, dilakukan secara tetap, dengan kemampuan terbatas, berlokasi di tempat atau pusat-pusat konsumen, dan tidak memiliki izin usaha. a. Ciri-ciri sektor informal Wirosardjono 1979 mengemukakan ciri-ciri sektor informal sebagai berikut. 1 Pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti waktu, permodalan, maupun penerimaan. 2 Tidak tersentuh oleh peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah sehingga sering dikatakan “liar”. 3 Modal, peralatan, dan perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil dan diusahakan atar dasar hitungan harian. 4 Tidak mempunyai tempat tetap. 5 Umumnya dilakukan oleh dan melayani golongan masyarakat yang berpendapat rendah. 6 Tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus sehingga dapat menyerap bermacam-macam tingkatan tenaga kerja. 7 Umumnya satuan usaha mempekerjakan tenaga yang sedikit dan dari lingkungan hubungan keluarga, kenalan, atau berasal dari daerah yang sama. 8 Tidak mengenal sistem perbankan, pembukuan, perkreditan, dan sebagainya Hariyono, 2007: 108. Todaro dan Abdullah Manning, 1991 menyebutkan ciri-ciri sektor informal sebagai berikut. 1 Sebagian besar memiliki produksi berskala kecil, aktivitas-aktivitas jasa dimiliki oleh perorangan atau keluarga, dan dengan menggunakan teknologi yang sederhana. 2 Umumnya para pekerja bekerja sendiri dan sedikit yang memiliki pendidikan formal yang tinggi. 3 Produktivitas pekerja dan penghasilannya cenderung lebih rendah dari pada sektor formal. 4 Para pekerja sektor informal tidak dapat menikmati perlindungan seperti yang didapat dari sektor formal dalam bentuk kelangsungan kerja, kondisi kerja yang layak, dan jaminan pensiun. 5 Kebanyakan pekerja yang memasuki sektor informal adalah pendatang baru dari desa yang tidak mendapatkan kesempatan untuk bekerja di sektor formal. 6 Motivasi mereka biasanya untuk mendapatkan penghasilan yang bertujuan hanya untuk dapat hidup survive, bukannya untuk mendapatkan keuntungan dan hanya mengandalkan pada sumber daya yang ada pada mereka untuk menciptakan pekerjaan. 7 Mereka berupaya agar sebanyak mungkin anggota keluarga mereka ikut berperan serta dalam kegiatan mendatang penghasilan dan meskipun begitu mereka untuk menciptakan pekerjaan. 8 Kebanyakan diantara mereka menempati gubuk-gubuk yang mereka buat sendiri di kawasan kumuh slum area dan pemukiman liar schelter yang umumnya kurang tersentuh pelayanan jasa seperti listrik, air, transportasi serta jasa-jasa kesehatan dan pendidikan Hariyono, 2007: 109. b. Manfaat yang dimiliki oleh sektor informal adalah: 1 mereka tidak tergantung pada sektor formal yang terbatas jumlahnya; 2 mereka sanggup menghidupi dirinya sendiri, bahkan dapat berpenghasilan lebih dari cukup disbanding sebagian pegawai sektor formal; 3 mereka dapat memberi masukan pendapatan bagi pemerintah daerah setempat dengan penarikan retribusi serta pungutan jasa parkir bagi pengunjungnya. Sektor informal dapat dibagi menjadi dua, yaitu sektor informal yang telah ditata dan sektor informal yang belum ditata. Sektor informal yang tidak tertata cenderung memberikan kesan kumuh pada lingkungan setempat, baik mengenai lingkungan sosial maupun lingkungan fisik kebersihan, kenyamanan, dan keamanan. Sedangkan sektor informal yang telah tertata justru akan memperindah kota. Penataan dapat dilakukan, misalnya dengan pengkaplingan area atau lokasi berjualan untuk setiap Pedagang Kaki Lima. Mengelompokan jenis barang dagangan yang dijual, menyiapkan dan membongkar perlengkapan berjualan pada waktu yang telah ditentukan. Menjaga kebersihan, ketertiban serta penataan sarana usaha yang rapi, indah, dan bersih sehingga kesan kumuh tidak ada atau dapat dikurangi. Aktivitas sektor informal yang telah tertata dapat menghidupkan suasana kota pada saat siang maupun malam hari, sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi kotanya Hariyono, 2007: 120. c. Penyebab munculnya Pedagang Kaki Lima adalah: 1 kesulitan Ekonomi, krisis keuangan yang terjadi sekitar tahun 1997-1999 itu menyebabkan harga-harga barang naik dengan begitu cepatnya drastis. Orang juga banyak yang kehilangan pekerjaan atau menganggur. Banyak diantara mereka lalu memilih menjadi Pedagang Kaki Lima; 2 sempitnya lapangan kerja, menyebabkan orang semakin banyak yang menganggur karena tidak adanya lapangan kerja. Mereka lalu memilih menjadi Pedagang Kaki Lima karena modalnya kecil dan tidak perlu punya kios atau toko. Yang penting mereka bisa mencari nafkah untuk menafkahi keluarganya; 3 urbanisasi, yakni perpindahan orang dari desa ke kota. Orang-orang dari desa berdatangan ke kota karena di desanya tidak ada pekerjaan dan kehidupannya miskin. Mereka berangkat ke kota tanpa modal pendidikan maupun keahlian. Akhirnya, mereka pun banyak yang menjadi Pedagang Kaki Lima. Pengertian urbanisasi dapat diperinci ke dalam pengertian-pengertian sebagai berikut: a Arus perpindahan penduduk dari desa ke kota b Bertambah besarnya jumlah tenaga kerja non-agraris di sektor industri dan sektor tersier c Tumbuhnya pemukiman menjadi kota d Meluasnya pengaruh kota di daerah- daerah pedesaan dalam segi ekonomi, sosial, budaya, dan psikologi Permadi, 2007: 7. Pedagang Kaki Lima di 2 dua lokasi ini rata-rata merasa was-was apabila sewaktu-waktu kegiatannya digusur. Apabila kebutuhan masyarakat akan kehadiran sektor informal illegal dibutuhkan dan tidak mengganggu lingkungan, dapat terjadi lokasi yang semula memiliki status ilegal bagi pedagang sektor informal, akan diberi status legal melalui peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat Hariyono, 2007: 113. Status legalisasi ini memiliki manfaat bagi pemerintah kota maupun Pedagang Kaki Lima. Beberapa manfaat diantaranya adalah pertama, secara psikologis Pedagang Kaki Lima lebih dilindungi. Jika terdapat paguyuban para Pedagang Kaki Lima, hal ini dimungkinkan dapat memperjuangkan kepentingannya. Kedua, terdapat pembinaan lingkungan yang bersih dan estetis bagi Pedagang Kaki Lima sehingga kehadiran Pedagang Kaki Lima akan ikut memelihara keindahan kota Hariyono, 2007: 113. Menurut Sairin 2002: 42 usaha untuk mendapatkan keuntungan komersil, suatu keuntungan yang diperoleh melalui tawar-menawar merupakan motif yang mendasari pertukaran pasar. Dalam hal ini proses tawar-menawar yang dilakukan antara penjual dan pembeli dalam kegiatan jual beli bertujuan untuk menentukan harga suatu barang. Jadi, para Pedagang Kaki Lima tidak mematok harga pas seperti di toko. Sebelum memperkuat posisi Pedagang Kaki Lima dalam melakukan aktivitasnya, banyak diantara Pedagang Kaki Lima yang membuat paguyuban. Menurut Soekanto 2002: 132, paguyuban adalah bentuk kehidupan bersama di mana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal. Dasar hubungan tersebut adalah cinta dan rasa kesatuan batin yang memang telah terkodratkan. Kehidupan tersebut dinamakan juga bersifat nyata dan organis, sebagaimana dapat diumpamakan dengan organ tubuh manusia atau hewan. d. Ciri-ciri Paguyuban Menurut Tonnies 2002:134 suatu paguyuban Gemeinscharf mempunyai beberapa ciri pokok, yaitu: a Intimate, hubungan menyeluruh mesra b Private, hubungan yang bersifat pribadi, yaitu khusus untuk beberapa orang saja c Exlusive, hubungan tersebut hanyalah untuk “kita” saja dan tidak untuk orang-orang lain di luar “kita”. Di dalam paguyuban Gemeinscharf terdapat suatu kemauan bersama common will, ada suatu pengertian understanding serta juga kaidah-kaidah yang timbul dengan sendirinya dari kelompok tersebut. e. Tipe Paguyuban Menurut Tonnies, di dalam setiap masyarakat selalu dapat dijumpai salah satu di antara tiga tipe paguyuban, yaitu: 1 Paguyuban karena ikatan darahGemeinscharf by blood yaitu paguyuban yang merupakan ikatan yang didasarkan pada ikatan darah atau keturunan. 2 Paguyuban karena tempat Gemeinscharf of place yaitu suatu paguyuban yang terdiri dari orang-orang yang berdekatan tempat tinggal, sehingga dapat saling tolong menolong. 3 Paguyuban karena jiwa-pikiranGemeinschafr of mind yang merupakan suatu paguyuban yang terdiri dari orang-orang yang walaupun tak mempunyai hubungan darah ataupun tempat tinggalnya tidak berdekatan, akan tetapi mereka mempunyai hubungan darah ataupun tempat tinggalnya tidak berdekatan, akan tetapi mereka mempunyai jiwa dan pikiran yang sama, ideologi yang sama Soekanto, 1990: 134-135. f. Manfaat Paguyuban Bagi Pedagang Kaki Lima, paguyuban dapat memberi manfaat antara lain: a menambah kerukunan agar Pedagang Kaki Lima tidak saling berebut lokasi jualan, b sebagai sarana untuk jualan memperlancar usahanya dalam mencari rejeki, c sebagai sarana untuk mendapatkan pengakuan, d sebagai sarana untuk menyatukan Pedagang Kaki Lima bahwa mereka senasib dan sepenanggungan, e sebagai sarana untuk bisa ngomong bersama, f untuk melakukan koordinasi dalam memperjuangkan anggotanya. Sedangkan bagi pemerintah, paguyuban juga bisa digunakan untuk: a menjembatani antara keinginan pemerintah dengan kemauan Pedagang Kaki Lima, b melakukan kerja sama yang nyata, sehingga semua program baik datang dari pemerintah maupun dari paguyuban Pedagang Kaki Lima bisa berjalan lancar, c sebagai sarana untuk memberi arah bagi pemerintah dalam rangka penataan, pembinaan, dan pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Berbagai upaya dilakukan oleh seseorang untuk mempertahankan hidup apalagi dalam situasi krisis seperti sekarang. Untuk dapat mempertahankan hidup, kebanyakan pekerja dikota mencari uang dengan jalan pintas. Bagi Pedagang Kaki Lima, kota merupakan sebuah pasar yang dapat memberi keuntungan komersial. Menurut Manning Nash dalam Sairin 2002: 96 seorang penganut aliran formalis bahwa tingkah laku memilih dan tingkah laku mencari keuntungan bersifat universal. Bagi Pedagang Kaki Lima, masalah lokasi atau tempat usaha merupakan salah satu dimensi dalam kegiatan usaha, selain manusia, produksi, pemasaran dan konsumen. Faktor lokasi merupakan hal yang terpenting dalam membuka usaha. Semakin strategis lokasi usaha, maka semakin banyak pengunjung yang datang. Semakin banyak pengunjung yang datang ke lokasi tersebut, maka semakin besar kesempatan terutama bagi Pedagang Kaki Lima untuk membuka usaha.

3. Kebijakan